Top Banner
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geriatri Geriatri berasal dari bahasa Yunani yaitu "Geros", seorang pria tua dan "Iatros", penyembuh. Kata ini pertama kali digunakan oleh Ignas Leo Nascher, seorang dokter Amerika pada tahun 1909 (Barton dan Mulley, 2002:230). Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari penyakit dan masalah kesehatan pada usia lanjut menyangkut aspek preventif, diagnosis, dan tata laksana. Pasien geriatri adalah pasien lanjut usia yang memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari pasien usia lanjut pada umumnya (Setiati, 2013:235). Menurut Undang-undang Republik Indonesia No 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pada bab I pasal 1 ayat 2, yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Kemenkes RI, 2013:1). Saat ini, tidak ada kriteria numerik standar PBB untuk lansia, tetapi cutoff yang disepakati PBB adalah 60+ untuk merujuk pada populasi lansia (http://www.who.int/healthinfo/survey/agi ngdef nolder/en/). Periode lansia ditandai dengan terjadinya kemunduran sel-sel karena proses penuaan yang berakibat pada lemahnya organ, kemunduran fisik, dan timbul berbagai penyakit degeneratif (Parasari dan Lestari, 2015:75). Menurut WHO, batasan lanjut usia (lansia) adalah kelompok usia 45 - 59 tahun disebut usia pertengahan (middle/ young elderly), usia 60 - 74 tahun disebut lansia (ederly), usia 75 - 90 tahun disebut tua (old), usia diatas 90 tahun disebut sangat tua (very old) (Efendi dan Makhfudli, 2009:243). Penuaan ditandai dengan hilangnya integritas fisiologis yang progresif, yang memicu gangguan fungsi fisiologis dan meningkatkan risiko kematian. Kemunduran fungsi ini menjadi faktor risiko utama patologi pada manusia meliputi kanker, diabetes, kelainan kardiovaskular, dan penyakit neurodegeneratif (Lopez; et all, 2013:5).
38

BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

Oct 25, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Geriatri

Geriatri berasal dari bahasa Yunani yaitu "Geros", seorang pria tua

dan "Iatros", penyembuh. Kata ini pertama kali digunakan oleh Ignas Leo

Nascher, seorang dokter Amerika pada tahun 1909 (Barton dan Mulley,

2002:230). Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari

penyakit dan masalah kesehatan pada usia lanjut menyangkut aspek preventif,

diagnosis, dan tata laksana. Pasien geriatri adalah pasien lanjut usia yang

memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari pasien usia lanjut

pada umumnya (Setiati, 2013:235). Menurut Undang-undang Republik

Indonesia No 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pada bab I

pasal 1 ayat 2, yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah

mencapai usia 60 tahun ke atas (Kemenkes RI, 2013:1). Saat ini, tidak ada

kriteria numerik standar PBB untuk lansia, tetapi cutoff yang disepakati PBB

adalah 60+ untuk merujuk pada populasi lansia

(http://www.who.int/healthinfo/survey/agingdef

nolder/en/).

Periode lansia ditandai dengan terjadinya kemunduran sel-sel karena

proses penuaan yang berakibat pada lemahnya organ, kemunduran fisik, dan

timbul berbagai penyakit degeneratif (Parasari dan Lestari, 2015:75).

Menurut WHO, batasan lanjut usia (lansia) adalah kelompok usia 45 - 59

tahun disebut usia pertengahan (middle/ young elderly), usia 60 - 74 tahun

disebut lansia (ederly), usia 75 - 90 tahun disebut tua (old), usia diatas 90

tahun disebut sangat tua (very old) (Efendi dan Makhfudli, 2009:243).

Penuaan ditandai dengan hilangnya integritas fisiologis yang progresif, yang

memicu gangguan fungsi fisiologis dan meningkatkan risiko kematian.

Kemunduran fungsi ini menjadi faktor risiko utama patologi pada manusia

meliputi kanker, diabetes, kelainan kardiovaskular, dan penyakit

neurodegeneratif (Lopez; et all, 2013:5).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

7

B. Sifat Penyakit pada Lanjut Usia (Lansia)

Beberapa sifat penyakit pada lansia yang membedakannya dengan

penyakit pada orang dewasa seperti yang dijelaskan berikut ini (Maryam;

dkk, 2008:63).

1. Penyebab Penyakit

Penyebab penyakit pada lansia pada umumnya berasal dari dalam

tubuh (endogen), sedangkan pada orang dewasa berasal dari luar tubuh

(eksogen). Hal ini disebabkan karena pada lansia telah terjadi penurunan

fungsi dari berbagai organ-organ tubuh Akibat kerusakan sel-sel karena

proses menua, sehingga produksi hormon, enzim, dan zat-zat yang diperlukan

untuk kekebalan tubuh menjadi berkurang. Dengan demikian lansia akan

lebih mudah terkena infeksi. sering pula, penyakit lebih dari satu jenis

(multipatologi), dimana satu sama lain dapat berdiri sendiri maupun saling

berkaitan dan memperberat. Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan

memompa darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas

pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah

perifer sehingga tekanan darah meningkat (Maryam; dkk, 2008:63).

2. Gejala penyakit sering tidak khas/tidak jelas

Gejala penyakit sering tidak jelas pada lansia, misalnya penyakit

infeksi paru (pneumonia) seringkali tidak didapati demam tinggi dan batuk

darah, gejala terlihat ringan padahal penyakit Sebenarnya cukup serius,

sehingga penderita menganggapnya penyakitnya tidak berat dan tidak perlu

berobat.

3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi)

Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

memerlukan obat yang beranekaragam dibandingkan dengan orang dewasa.

Selain itu, perlu diketahui bahwa fungsi organ-organ vital tubuh seperti hati

dan ginjal yang berperan dalam mengolah obat-obat yang masuk ke dalam

tubuh telah berkurang. Hal ini menyebabkan kemungkinan besar obat tersebut

akan menumpuk dalam tubuh dan Terjadi keracunan obat dengan segala

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

8

komplikasinya jika diberikan dengan dosis yang sama dengan orang dewasa.

Oleh karena itu, dosis obat perlu dikurangi pada lansia.

Efek samping obat sering pula terjadi pada lansia yang menyebabkan

timbulnya penyakit-penyakit baru akibat pemberian obat tadi (iatrogenik),

misalnya poliuri/sering BAK akibat pemakaian obat diuretik (obat untuk

meningkatkan pengeluaran air seni), dapat terjatuh akibat penggunaan obat

obat penurun tekanan darah, penenang, antdepresi, dan lain-lain. Efek

samping obat pada lansia biasanya terjadi karena diagnosis yang tidak tepat,

ketidakpatuhan minum obat, serta penggunaan obat yang berlebihan dan

berulang-ulang dalam waktu yang lama.

4. Perjalanan Penyakit

Pada umumnya perjalanan penyakit geriatri adalah kronik (menahun),

diselingi dengan eksaserbasi akut. Selain itu, penyakitnya bersifat progresif

dan sering menyebabkan kecacatan lama sebelum akhirnya penderita

meninggal dunia.

C. Penyakit Kardiovaskular

Fungsi sistem kardiovaskular adalah memberikan dan mengalirkan

suplai oksigen dan nutrisi ke seluruh jaringan dan organ tubuh yang

diperlukan dalam proses metabolisme. Secara normal setiap jaringan dan

organ tubuh akan menerima aliran darah dalam jumlah yang cukup sehingga

jaringan dan organ tubuh menerima nutrisi dengan adekuat. (Muttaqin,

2009:2)

Sistem kardiovaskular merupakan suatu sistem transpor tertutup yang

terdiri atas jantung komponen darah dan pembuluh darah. Penyakit

kardiovaskular adalah penyakit yang menyerang komponen kardiovaskular.

Penyakit kardiovaskular disebabkan oleh berbagai faktor risiko. Faktor

tersebut ada yang tidak dapat diubah, antara lain usia, jenis kelamin, dan

riwayat keluarga dengan infark miokard. Sementara itu faktor risiko yang

dapat diubah antara lain kebiasaan merokok, berat badan berlebihan, aktivitas

fisik yang kurang, kadar lemak dan gula yang tinggi, serta hipertensi.

Penyebab timbulnya gejala-gejala penyakit kardiovaskular antara antara lain

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

9

iskemia miokard, gangguan kontraksi dan relaksasi miokardium, atau akibat

dari Irama kecepatan yang abnormal (Syamsudin, 2011:6).

Pembagian penyakit kardiovaskular adalah sebagai berikut

(Syamsudin, 2011).

1. Gagal Jantung

Gagal jantung terjadi jika curah jantung tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan tubuh akan O2. Kondisi ini sangat letal, dengan mortalitas berkisar

antara 15-50% per tahun, bergantung pada keparahan penyakitnya. Mortalitas

meningkat sebanding dengan usia, dan risiko pada laki-laki lebih besar dari

pada perempuan (Farmakologi dan Terapi, 2016:304). Karena gagal jantung

sering menyerang lansia, prevalensinya akan naik seiring kenaikan usia

populasi (Syamsudin, 2011:57).

2. Aritmia

Aritmia adalah kelainan dalam kecepatan, irama, tempat asal dari

impuls, atau gangguan konduksi yang menyebabkan perubahan dalam urutan

normal aktivasi atrium dan ventrikel (Farmakologi dan Terapi, 2016:321).

Aritmia ditimbulkan oleh gangguan pembentukan impuls, gangguan

komnduksi impuls atau kombinasi keduanya (Syamsudin, 2011:130).

3. Hipertensi

Hipertensi adalah kondisi di mana jika tekanan darah sistole 140

mmHg atau lebih tinggi dan tekanan darah diastole 90 mmHg atau lebih

tinggi (Syamsudin, 2011:22). Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan

tingginya TD dan berdasarkan etiologinya. Berdasarkan TD seseorang

dikatakan hipertensi bila TD-nya >140-90 mmHg. Berdasarkan etiologinya

hipertensi dibagi menjadi hipertensi esensial dan hipertensi sekunder

(Farmakologi dan Terapi, 2016:345). faktor risiko penderita hipertensi adalah

perokok, dislipidemia, diabetes, usia > 60 tahun, riwayat penderita (yang

memiliki riwayat penyakit jantung) wanita < 65 tahun, pria < 55 tahun. Pada

wanita, prevalensi berhubungan erat dengen usia dan peningkatan terjadi

setelah usia 50 tahun atau pascamenopause (Syamsudin, 2011:30).

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

10

4. Angina Pektoris (Iskemia Miokard)

Iskemia miokard ialah suatu keadaan dimana terjadi

ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen jantung.

Penyebab umum iskemia miokard ialah arterosklerosis pembuluh darah

epikardial. Gangguan perfusi miokardium pada insufisiensi koroner

menimbulkan perubahan biokimiawi, elektrofisiologik dan mekanik jantung

(Farmakologi dan Terapi, 2016:366). Faktor risiko penyakit iskemia miokard

adalah pria berusia > 45 tahun, wanita > 55 tahun, riwayat keluarga, perokok,

hipertensi dengan tekanan darah 140/90 mmHg, kadar LDL tinggi, kadar

HDL rendah dan penderita DM (Syamsudin, 2011:78).

5. Hiperlipidemia

Hiperlipidemia adalah kenaikan kadar lipid dan kolesterol di dalam

darah. Hiperlipidemia juga dikenal dengan dislipidemia untuk

menggambarkan manifestasi penyakit metabolisme lipoprotein yang berbeda

(Syamsudin, 2011:157).

D. Penatalaksanaan Penyakit Kardiovaskular

1. Gagal Jantung

Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi

morbiditas dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan

penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit

jantung Sangatlah penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan

pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular yang

sering dijumpai (PERKI, 2015:12).

a. Tatalaksana Non-farmakologi

1) Manajemen Perawatan Mandiri

Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan

pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan

gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan

prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai

tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari

perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal

perburukan gagal jantung.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

11

2) Ketaatan Pasien Berobat

Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan

kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat

pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi.

3) Pemantauan Berat Badan Mandiri

Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat

kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis

diuretik atas pertmbangan dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).

4) Asupan Cairan

Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada

pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin

pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan

keuntungan klinis (kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C).

5) Pengurangan Berat Badan

Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan

gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,

mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa,

tingkatan bukti C).

6) Kehilangan Berat Badan Tanpa Rencana

Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung

berat. Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan

angka kelangsungan hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 %

dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien

didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan

hati-hati (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).

7) Latihan Fisik

Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung

kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik

dikerjakan di rumah sakit atau di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti

A).

8) Aktivitas Seksual

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

12

Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi

tekanan pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut

dan tidak boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat (kelas rekomendasi

III, tingkatan bukti B).

b. Tatalaksana farmakologis

1) Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)

ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik

dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % kecuali kontraindikasi. ACEI

memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan

rumah sakit karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka

kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).

ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukanfungsi ginjal,

hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh

sebab itu ACEIhanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan

kadar kalium normal.

a) Indikasi pemberian ACEI

Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala

b) Kontraindikasi pemberian ACEI

Riwayat angioedema

Stenosis renal bilateral

Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L

Serum kreatinin > 2,5 mg/dL

Stenosis aorta berat

c) Cara pemberian ACEI pada gagal jantung

Inisiasi pemberian ACEI

Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit

Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu

setelah terapi ACEI

Naikan dosis secara titrasi

Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

13

Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau

hiperkalemia. Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di rumah

sakit. Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target

atau dosis maksimal yang dapat di toleransi. Periksa fungsi ginjal dan serum

elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis target atau yang dapat

ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali.

2) Penyekat β

Penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung

simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % kecuali kontraindikasi.

Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi

perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan

kelangsungan hidup.

a) Indikasi pemberian penyekat β

Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)

ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan

Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada

kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)

b) Kontraindikasi pemberian penyekat β

Asma

Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu

jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)

c) Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung

Inisiasi pemberian penyekat β

Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien

dekompensasi secara hati-hati. Dosis awal lihat

Naikan dosis secara titrasi

Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan

naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau

bradikardi (nadi < 50 x/menit)

Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis target

atau dosis maksimal yang dapat di toleransi

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

14

d) Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β:

Hipotensi simtomatik

Perburukan gagal jantung

Bradikardia

3) Antagonis Aldosteron

Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus

dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal

jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa

hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat (kecuali kontraindikasi).

Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan

gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.

a) Indikasi pemberian antagonis aldosterone

Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)

Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)

b) Kontraindikasi pemberian antagonis aldosterone

Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L

Serum kreatinin> 2,5 mg/dL

Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium

Kombinasi ACEI dan ARB

c) Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung

Inisiasi pemberian spironolakton

Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.

Naikan dosis secara titrasi

Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 - 8 minggu. Jangan

naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.

Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah

menaikan dosis

d) Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau

dosis maksimal yang dapat di toleransi

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

15

e) Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:

Hiperkalemia

Perburukan fungsi ginjal

Nyeri dan/atau pembesaran payudara

4) Angiotensin Receptor Blockers (ARB)

ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi

ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan

ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis

aldosterone (kecuali kontraindikasi). Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi

ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena

perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada

pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian

karena penyebab kardiovaskular.

a) Indikasi pemberian ARB

Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat

(kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI

ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan

hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan

batuk

b) Kontraindikasi pemberian ARB

Sama seperti ACEI, kecuali angioedema

Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan

Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan

bersama ACEI

c) Cara pemberian ARB pada gagal jantung

Inisiasi pemberian ARB

Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit

Naikan dosis secara titrasi

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

16

Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan

naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hyperkalemia

Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau

dosis maksimal yang dapat ditoleransi

Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai

dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali

d) Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB sama

seperti ACEI, kecuali ARB tidak menyebabkan batuk

5) Hydralazine Dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)

Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,

kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran

terhadap ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).

a) Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN

Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi

Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak

dapat ditoleransi

Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat

β dan ARB atau antagonis aldosterone

b) Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN

Hipotensi simtomatik

Sindroma lupus

Gagal ginjal berat

c) Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung

Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN

Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari

Naikan dosis secara titrasi

Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.

Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik

Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine 50 mg

dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)

Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-

ISDN:

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

17

Hipotensi simtomatik

Nyeri sendi atau nyeri otot

6) Digoksin

Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat

digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain

(seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung

simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin

dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena

perburukan gagal jantung, tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka

kelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)

a) Indikasi

Fibrilasi atrial

dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat aktifitas> 110 -

120 x/menit

Irama sinus

Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)

Dosis optimal ACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis aldosteron jika

ada indikasi.

b) Kontraindikasi

Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika pasien diduga

sindroma sinus sakit

Sindroma pre-eksitasi

Riwayat intoleransi digoksin

c) Cara pemberian digoksin pada gagal jantung

Inisiasi pemberian digoksin

Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada

pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125

atau 0,0625 mg, 1 x/hari

Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik. Kadar terapi

digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

18

Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah (amiodaron,

diltiazem, verapamil, kuinidin)

d) Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:

Blok sinoatrial dan blok AV

Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hypokalemia

Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat

warna

7) Diuretik

Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda

klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B). Tujuan

dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan

hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai

kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.

a) Cara pemberian diuretik pada gagal jantung

Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum

elektrolit

Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong

Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid

karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.

Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang

resisten

Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan tanda

kongesti

Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa

retensi cairan), untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi. Tujuan

terapi adalah mempertahankan berat badan kering dengan dosis diuretik

minimal

Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis

diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan

tanda-tanda klinis dari retensi cairan

2. Aritmia

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

19

Pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat

mengontrol respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal

kalsium non-dihidropiridin oral dapat digunakan pada pasien dengan

hemodinamik stabil. Antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin hanya boleh

dipakai pada pasien dengan fungsi sistolik ventrikel yang masih baik. Obat

intravena mempunyai respon yang lebih cepat untuk mengontrol respon irama

ventrikel. Digoksin atau amiodaron direkomendasikan untuk mengontrol laju

ventrikel pada pasien dengan fibrasi atrium dan gagal jantung atau adanya

hipotensi. Namun pada fibrasi atrium dengan preeksitasi obat terpilih adalah

antiaritmia kelas I (propafenon, disopiramid, mexiletine) atau amiodaron.

Obat yang menghambat NAV tidak boleh digunakan pada kondisi fibrasi

atrium dengan preeksitasi karena dapat menyebabkan aritmia letal. Pada fase

akut, target laju jantung adalah 80-100 kpm. Pada layanan kesehatan primer

yang jauh dari pusat rujukan sekunder/tersier, untuk sementara kendali laju

dapat dilakukan dengan pemberian obat antiaritmia oral. Diharapkan laju

jantung akan menurun dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian antagonis

kanal kalsium (diltiazem 30 mg atau verapamil 80 mg), penyekat beta

(propanolol 20-40 mg, bisoprolol 5 mg, atau metoprolol 50 mg). Dalam hal

ini penting diperhatikan untuk menyingkirkan adanya riwayat dan gejala

gagal jantung. Kendali laju yang efektif tetap harus dengan pemberian obat

antiaritmia intravena di layanan kesehatan sekunder/tersier. Fibrilasi atrium

dengan respon irama ventrikel yang lambat, biasanya membaik dengan

pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan pemberian atropin

pasien masih simtomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi atau

pemasangan pacu jantung sementara (PERKI, 2014:31)

3. Hipertensi

a. Non farmakologis

Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan

tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan

risiko permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi

derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup

sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

20

selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan

penurunan tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko

kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi

farmakologi (PERKI, 2015:3)

Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah:

1) Penurunan berat badan

2) Mengurangi asupan garam

3) Olahraga

4) Mengurangi konsumsi alkohol

5) Berhenti merokok

b. Farmakologi

Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada

pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah

setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan

hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu

diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping,

yaitu :

1) Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal

2) Berikan obat generik (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya

3) Berikan obat pada pasien usia lanjut (diatas usia 80 tahun) seperti pada usia

55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid

4) Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i)

dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)

5) Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi

farmakologi

6) Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.

4. Angina

Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk

dilakukan strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi

invasif melibatkan dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien

dengan tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

21

angiografi ditentukan berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4

kategori, yaitu:

a. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent) (kelas I-C).

Dilakukan bila pasien memenuhi salahs atu kriteria risiko sangat tinggi (very

high risk)

b. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam (kelas I-A).

Dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu

kriteria risiko tinggi (high risk) primer

c. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam (kelas I-A).

Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk)

atau dengan gejala berulang

d. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif (kelas

III-A)

Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif tidak dilakukan secara rutin.

Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi

dan dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut ini:

1) Nyeri dada tidak berulang

2) Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung

3) Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-6

hingga 9)

4) Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6 hingga 9)

5) Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)

Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti GRACE dan

TIMI juga dapat berguna dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan

strategi konservatif. Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien-pasien ini

berdasarkan evaluasi PJK. Sebelum dipulangkan, dapat dilakukan stress test

untuk menentukan adanya iskemi yang dapat ditimbulkan (inducible) untuk

perencanaan pengobatan dan sebelum dilakukan angiografi elektif. Risk

Score >3 menurut TIMI menunjukkan pasien memerlukan revaskularisasi.

Timing revaskularisasi dapat ditentukan berdasarkan penjelasan di atas

(PERKI, 2015:29)

5. Hiperlipidemia

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

22

a. Statin (inhibitor HMG-coA reduktase)

Statin adalah obat penurun lipid pertama yang harus digunakan untuk

menurunkan kolesterol LDL. Dalam keadaan tidak toleran terhadap statin,

direkomendasikan pemakaian ezetimibe, inhibitor PCSK9, atau bile acid

sequestrant monoterapi.

b. Inhibitor absorpsi kolesterol

Ezetimibe merupakan obat penurun lipid pertama yang menghambat

ambilan kolesterol dari diet dan kolesterol empedu tanpa mempengaruhi

absorpsi nutrisi yang larut dalam lemak. Dosis ezetimibe yang

direkomendasikan adalah 10 mg/hari dan harus digunakan bersama statin.

Pada keadaan tidak toleran terhadap statin, ezetimibe dapat dipergunakan

secara tunggal. Tidak diperlukan penyesuaian dosis bagi pasien dengan

gangguan hati ringan atau insufisiensi ginjal berat. Kombinasi statin dengan

ezetimibe menurunkan kolesterol LDL lebih besar daripada menggandakan

dosis statin.

c. Inhibitor PCSK9

Penemuan yang menunjukkan PCSK9 menyebabkan degradasi

reseptor LDL memunculkan cara baru dalam mengontrol kolesterol LDL.

Peningkatan konsentrasi atau fungsi PCSK9 berhubungan dengan penurunan

ekspresi reseptor LDL dan peningkatan konsentrasi kolesterol LDL di

plasma. Penelitian awal untuk mereduksi PCSK9 difokuskan pada

penggunaan antibodi monoklonal untuk mengurangi konsentrasi PCSK9 yang

beredar di sirkulasi. Pendekatan ini mengurangi jumlah PCSK9 yang

berikatan dengan reseptor LDL. Proprotein convertase subtilisin–kexin type 9

yang beredar di sirkulasi hampir seluruhnya berasal dari hepar, sehingga

pendekatan untuk menghambat produksi PCSK9 di hepar menawarkan

alternatif terhadap terapi menggunakan antibodi monoklonal. Inclisiran

adalah obat penghambat produksi PCSK9 yang telah dievaluasi pada

penelitian fase 2.

d. Bile Acid

Terdapat 3 jenis bile acid sequestrant yaitu kolestiramin, kolesevelam,

dan kolestipol. Bile acid sequestrant mengikat asam empedu (bukan

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

23

kolesterol) di usus sehingga menghambat sirkulasi enterohepatik dari asam

empedu dan meningkatkan perubahan kolesterol menjadi asam empedu di

hati. Dosis harian kolestiramin, kolestipol, dan kolesevelam berturutan adalah

4-24 gram, 5-30 gram, dan 3,8- 4,5 gram. Penggunaan dosis tinggi (24 g

kolestiramin atau 20 g of kolestipol) menurunkan konsentrasi kolesterol LDL

sebesar 18-25%. Bile acid sequestrant tidak mempunyai efek terhadap

kolesterol HDL sementara konsentrasi TG dapat meningkat.

e. Fibrat

Fibrat adalah agonis dari PPAR-α. Melalui reseptor ini, fibrat

menurunkan regulasi gen apoC-III serta meningkatkan regulasi gen apoA-I

dan A-II. Berkurangnya sintesis apoC-III menyebabkan peningkatan

katabolisme TG oleh lipoprotein lipase, berkurangnya pembentukan

kolesterol VLDL, dan meningkatnya pembersihan kilomikron. Peningkatan

regulasi apoA-I dan apoA-II menyebabkan meningkatnya konsentrasi

kolesterol HDL.

f. Inhibitor CETP

Cholesteryl ester transfer protein berfungsi membantu transfer

cholesteryl ester dari kolesterol HDL kepada VLDL dan LDL yang

selanjutnya akan dibersihkan dari sirkulasi melalui reseptor LDL di hepar.

Terapi dengan inhibitor CETP mempunyai efek ganda yaitu meningkatkan

konsentrasi kolesterol HDL dan menurunkan konsentrasi kolesterol LDL

melalui reverse cholesterol transport. Inhibitor CETP dapat bersifat

proaterogenik jika cholesteryl ester dari kolesterol VLDL atau LDL diambil

oleh makrofag. Sebaliknya, jika cholesteryl ester diambil oleh hepar melalui

reseptor LDL, inhibitor CETP bersifat antiaterogenik.

g. Aferesis kolesterol LDL

Tindakan aferesis ditujukan bagi pasien dengan HoFH atau HeFH

berat. Dengan teknik yang mahal tetapi efektif ini, kolesterol LDL dan Lp(a)

dibuang dari plasma selama dilakukan sirkulasi ekstrakorporeal setiap 1 atau

2 minggu sekali. Mengingat terapi dengan inhibitor PCSK9 sangat

menjanjikan bagi pasien dengan HeFH, tindakan aferesis kolesterol LDL

sebaiknya diindikasikan bagi pasien dislipidemia familial di mana terapi

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

24

dengan inhibitor PCSK9 gagal menurunkan konsentrasi kolesterol LDL

(PERKI, 2017:32)

E. Obat Kardiovaskular

1. Penggolongan Obat Kardiovaskular

a. Angiotensin Converting Enzim Inhibitor (ACEI)

ACE inhibitor menghambat perubahan angiotensin 1 menjadi

angiotensin 2 sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosterone.

Obat

b. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida

sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya

terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme

tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga

menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di

ruang interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang

selanjutnya menghambat influks kalsium. Diuretik golongan tiazid bekerja

dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal

ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl

- meningkat. Diuretik kuat bekerja di

Ansa henle asenden bagian epitel tebal dengan cara menghambat kotransport

Na+, K

+, Cl

- dan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Diuretik hemat

kalium digunakan untuk mengurangi pengeluaran Ca atau Mg oleh ginjal dan

atau memperkuat respons diuresis terhadap obat lain.

c. Beta-blocker

Beta blocker memblok beta‐ adrenoseptor. Reseptor ini

diklasifikasikan menjadi reseptor beta‐ 1 dan beta‐ 2. Reseptor beta‐ 1

terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta‐ 2 banyak ditemukan

di paru‐ paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta‐ 2 juga

dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta‐ 1 juga dapat dijumpai

pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor

beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang

meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐ 1 pada

nodus sino‐ atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

25

kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan

rennin, meningkatkan aktivitas system rennin‐ angiotensin‐ aldosteron. Efek

akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan

peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air.

Beta‐ blocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective

beta‐ blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐ 1.

Beta‐ blocker yang non‐ selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor

beta‐ 1 dan beta‐ 2.

d. Glikosida jantung

Glikosida jantung memiliki mekanisme inotropik positif dan

kronotropik negatif. Mekanisme inotropik positif yaitu dengan menghambat

pompa Na-K-ATPase pada membran sel otot jantung sehingga meningkatkan

kadar Na+ intrasel, dan ini menyebabkan berkurangnya pertukaran Na

+ - Ca

++

selama Repolarisasi dan relaksasi otot jantung. Sehingga, Ca2+

tertahan dalam

sel, kadar Ca2+

intrasel meningkat dan ambilan ke dalam retikulum

sarkoplasmik (SR) meningkat. Dengan demikian, Ca2+

yang tersedia dalam

SR untuk dilepaskan ke dalam sitosol untuk kontraksi meningkat, sehingga

kontraktilitas otot jantung meningkat. Mekanisme kronotropik negatif yaitu

meningkatkan tonus vagal dan mengurangi aktivitas simpatis di nodus SA

maupun AV, sehingga dapat menimbulkan bradikardia sinus sampai henti

jantung dan/atau perpanjang konduksi AV sampai meningkatnya blok AV.

Efek pada nodus AV inilah yang mendasari penggunaan glikosida jantung

pada pengobatan fibrilasi atrium.

e. Antitrombotik

Antitrombotik adalah obat yang menghambat agregrasi trombosit

sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan thrombus yang terutama

sering ditemukan pada sistem arteri.

f. Alpha-blocker

Alpha‐ blocker (penghambat adreno‐ septor alfa‐ 1) memblok

adrenoseptor alfa‐ 1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena

merelaksaasi otot polos pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang

resisten.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

26

g. Adrenolitik Sentral

Adrenolitik sentral bekerja dengan menstimulasi reseptop α-2 di

sentral sehingga mengurangi sinyal simpatis ke perifer.

h. penghambat saraf adrenergik

Obat golongan ini bekerja dengan cara mencegah pelepasan

noradrenalin dari saraf adrenergik pasca ganglion. Obat-obat golongan ini

tidak mengendalikan tekanan darah pada posisi berbaring dan dapat

menyebabkan hipotensi postural. Karena itu, obat-obat ini sudah jarang sekali

digunakan, tetapi mungkin masih diperlukan bersama terapi lain pada

hipertensi yang resisten. Jarang digunakan pada anak-anak.

i. Vasodilator

Menurunkan tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos

pembuluh darah.

j. Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)

Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target

lainnya. Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1

memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan

penglepasan aldosteron dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat.

Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas. Antagonis reseptor

angiotensin II (AIIRA) mempunyai banyak kemiripan dengan ACEi, tetapi

AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena efeknya pada ginjal, ACEi dan

AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada

stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu.

k. Nitrat Organik

Secara in vivo nitrat organik merupakan pro drug yaitu menjadi aktif

setelah dimetabolisme dan mengeluarkan nitrogen monoksida.

l. Calcium channel blocker

Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke

dalam sel miokard, sel‐ sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐ sel otot

polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung,

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

27

menekan membentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan

memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos

pembuluh darah.

m. asam fibrat

Asam fibrat bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor peroxisom

proliferator-activated receptors (PPAR) yang mengatur transkripsi gen.

Akibat interaksi obat ini dengan PPAR isotipe Alpha (PPARα), maka

terjadilah peningkatan oksidasi asam lemak, sintesis LDL dan penurunan

ekspresi apo C-III. Peninggian kadar LDL meningkatkan klirens lipoprotein

yang kaya trigliserida. Penurunan produksi Apo C-III hati akan menurunkan

VLDL. HDL meningkat secara moderat karena peningkatan ekspresi apo A-I

dan A-II.

n. Penghambat HMG CoA Reduktase

Penghambat HMG CoA Reduktase bekerja dengan cara menghambat

sintesis kolesterol dalam hati, dengan menghambat enzim HMG CoA

reduktase. Akibat penurunan sintesis kolesterol ini, maka SREBP yang

terdapat pada membran dipecah oleh protease, lalu di angkut ke nukleus.

Faktor-faktor transkripsi kemudian akan berikatan dengan gen reseptor LDL,

Sehingga terjadi peningkatan sintesis reseptor LDL. Peningkatan jumlah

reseptor LDL pada membran sel hepatosit akan menurunkan kadar kolesterol

darah lebih besar lagi.

o. Asam nikotinat

Asam nikotinat menghambat hidrolisis trigliserida oleh hormone-

sensitive lipase pada jaringan lemak, sehingga mengurangi transport asam

lemak bebas ke hati dan mengurangi sintesis trigliserida hati. Penurunan

sintesis trigliserida ini akan menyebabkan berkurangnya produksi VLDL

sehingga kadar LDL menurun. Selain itu asam nikotinat juga meningkatkan

aktivitas LPL yang akan menurunkan kadar kilomikron dan trigliserida

VLDL. Kadar HDL meningkat sedikit sampai sedang karena menurunnya

katabolisme Apo AI oleh mekanisme yang belum diketahui. Obat ini tidak

dipengaruhi katabolisme VLDL, sintesis kolesterol total atau ekskresi asam

empedu.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

28

p. Probukol

Probukol menurunkan kadar kolesterol serum dengan menurunkan

kadar LDL. Obat ini tidak menurunkan kadar trigliserida serum pada

kebanyakan pasien. Kadar HDL menurun lebih banyak daripada kadar LDL

sehingga menimbulkan rasio LDL:HDL yang kurang menguntungkan.

Penyelidikan menunjukkan probukol meningkatkan kecepatan katabolisme

fraksi LDL pada pasien hiperkolesterolemia familia heterozigot dan

homozigot lewat jalur non-reseptor

q. Resin

Resin menurunkan kadar kolesterol dengan cara mengikat asam

empedu dalam saluran cerna, mengganggu sirkulasi enterohepatik sehingga

ekskresi steroid yang bersifat asam dalam tinja meningkat.

2. Obat-obat Kardiovaskular

Jantung merupakan organ yang terletak di dalam rongga dada,

diantara kedua paru yang berfungsi untuk memompa darah ke seluruh bagian

tubuh. Proses ini dinamakan sistem kardiovaskular atau juga dikenal sebagai

sistem peredaran darah. Darah yang beredar dalam sistem kardiovaskular

diangkut keseluruh tubuh. Darah tersebut mengandung sari-sari makanan, sisa

metabolisme tubuh, hormon, dan bahan lainnya yang penting untuk

berlangsungnya fungsi organ pada tubuh manusia (Asikin; dkk, 2016)

a. Obat gagal jantung

Tujuan primer pengobatan gagal jantung adalah mencegah terjadinya

gagal jantung dengan cara mengobati kondisi-kondisi yang menuju terjadinya

gagal jantung, terutama hipertensi dan/atau arteri koroner (Farmakologi dan

Terapi, 2016).

Obat-obatan yang digunakan pada kasus gagal jantung (Farmakologi

dan Terapi, 2016):

1) Penghambat ace: kaptopril, enalapril, lisinopril, ramipril, trandolapril,

kuinapril, fosinopril, perindopril.

2) ARB: Kandesartan, Losartan, Vasaltran.

3) Diuretik: Diuretik Kuat Furosemid, Bumetanid, Torasemid, Tiazid HCT,

Klortalidon, Indapamid, Diuretik Hemat K Amilorid, Triamteren.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

29

4) Beta-Blocker: Bisoprolol, Metoprolol suksinat CR, Kervedilol.

5) Vasodilator Lain: hidralazin-isosorbid dinitrat, Na nitroprusid, nitrogliserin,

nesiritid.

6) Glikosida jantung: digoksin

7) Inotropik lain: dopamine dan dobutamine, fosfodiesterase.

8) Antitrombotik: warfarin

9) Antiaritmia: Beta-Blocker, Amiodaron

b. Antiaritmia

Farmakoterapi aritmia jantung didasarkan pada pengetahuan tentang

mekanisme, manifestasi klinik dan perjalanan alamiah aritmia yang hendak

diobati dan pengertian yang jernih tentang farmakologi dari obat yang hendak

digunakan.

Obat-obatan yang digunakan pada kasus aritmia :

1) Kelas IA: kuinidin, prokainamid, disopiramid

2) Kelas IB: Lidokain, fenitoin, tokainid, meksiletin

3) Kelas IC: Flekainid, Enkainid, proprafenon

4) Kelas II: propranolol, asebutolol, esmolol

5) Kelas III: bretilium, amiodaron dan sotalol, dofetilid dan ibutilid

6) Kelas IV: Verapamil, Diltiazem

7) Kelas V: digitalis, adenosin dan magnesium

c. Antihipertensi

Obat-obatan yang digunakan pada kasus hipertensi :

1) Diuretik:

a) Diuretik tiazid: hidroklotiazid, klortalidon, indapamid, bendroflumeitazid,

metozalon, metozalon rapid acting, xipamide

b) Diuretik kuat: furosemide, torsemide, bumetanide, as. Etakrinat

c) Diuretik hemat kalium: amiloride, spironolakton, triameteren

2) Penghambat adrenergik

3) Penghambat adrenoreseptor beta

a) Kardioselektif: asebutolol, atenolol, bisoprolol, metoprolol biasa dan lepas

lambat

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

30

b) Nonselektif: alprenolol, karteolol, nadolol, oksprenolol biasa dan lepas

lambat, pindolol, propranolol, timolol, karvedilol, labetalol

4) Penghambat adrenosetor alfa: Prazosin, terazosin, bunazosin, doksazosin

5) Adrenolitik sentral: Metildopa, klonidin, guanfasin, guanabenz, moksinidin,

rilmedin

6) Penghambat saraf adrenergik: reserpine, guanetidin dan guanadrel

7) Penghambat ganglion: trimetafan

8) Vasodilator

Hidralazin, minoksidil, diazoksid, natrium nitroprusid

9) Penghambat system renin angiotensin

a) ACEI: kaptopril, benazepril, enalapril, fosinopril, lisinopril, perindopril,

quinapril, ramipril, trandolapril, imidapril

b) ARB: losartan, valsartan, irbesartan, telmisartan, candesartan

c) Penghambat renin: aliskiren

10) Antagonis kalsium

Nifedipine, nifedipine (long action), amlodipine, felodipine, isradipin,

nicardipine, nicardipine SR, nisoldipin, verapamil, diltiazem, diltiazem SR,

verapamil SR.

d. Antiangina

Obat-obatan yang digunakan pada kasus angina:

1) Nitrat Organik:

a) Kerja singkat: amilnitrat, nitrogliserin, isosorbide dinitrat, eritritil tetranitrat

b) Nitrat kerja lama:

Preparat oral isosorbid dinitrat lepas lambat, isosorbid mononitrat lepas

lambat, nitro gliserin lepas lambat, eritritol tetranitrate, pentaeritritol

tetranitrate.

Preparat salep nitrogliserin

Preparat transdermal nitrogliserin disc/patch

Preparat lepas lambat bukal nitrogliserin

Intravena nitrogliserin

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

31

2) Beta blocker: asebutolol, atenolol, bisoprolol, labetalol, metoprolol, nadolol,

penbutolol, pindolol, propranolol

3) Penghambat kanal ca++: nifedipin, verapamil, diltiazem

4) Trimetazidin

5) Terapi kombinasi: NO dengan beta-blocker, penghambat kanal ca++ dengan

beta-blocker, penghambat kanal kalsium dengan NO, kombinasi penghambat

kanal kalsium, beta-blocker dan NO.

e. Hipolipidemik

Hipolipidemik adalah obat yang digunakan untuk menurunkan kadar

lipid plasma. Menurunkan kadar lipid plasma merupakan salah satu tindakan

yang ditujukan untuk menurunkan risiko penyulit ateroslerosis. Ateroslerosis

adalah suatu penyakit yang ditandai dengan penebalan dan hilangnya

elastisitas diding arteri (Farmakologi dan Terapi, 2016).

Obat-obatan yang digunakan pada kasus hiperlipidemik

1) Asam fibrat: klofibrat, gemfibrozil, fenofibrat, siprofibrat, bezafibrat

2) Resin: colesevelam, kolestiramin, kolestipol

3) Penghambat HMG CoA reductase: lovastatin, mevastatin, simvastatin,

pravastatin, Fluvastatin, atorvastatin, rosuvastatin

4) Asam nikotinat: asiPIMsoks

5) Probucol

6) Penghambat absorpsi kolesterol intestinal: ezetimibe

7) Neomisin sulfat

8) Beta sitosterol

9) Dekstrotiroksin

10) Bekatul

f. Benzodiazepine

Benzodiazepin adalah kelas obat yang bekerja di sistem saraf pusat

dan digunakan untuk berbagai kondisi medis, seperti kecemasan, kejang, dan

untuk penghentian alkohol. Benzodiazepin tampaknya bekerja dengan

menghalangi aktivitas saraf yang berlebihan di otak dan area lain di sistem

saraf pusat. benzodiazepin serupa dalam cara kerjanya di otak tetapi memiliki

potensi dan durasi aksi yang berbeda.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

32

Benzodiazepin bekerja di sistem saraf pusat, secara selektif

menempati area protein tertentu di otak yang disebut reseptor GABA-A. Ada

tiga jenis reseptor GABA (gamma-aminobutyric) di otak: GABA-A, GABA-

B, dan GABA-C. GABA adalah neurotransmitter penghambat utama di otak

(bahan kimia yang membantu untuk memblokir aksi saraf). GABA membantu

mengatur kontrol gerakan, penglihatan, kegelisahan, dan banyak fungsi otak

lainnya.

Benzodiazepin meningkatkan respons terhadap penghambat

neurotransmitter GABA dengan membuka saluran klorida yang diaktifkan

GABA dan memungkinkan ion klorida memasuki neuron. Tindakan ini

memungkinkan neuron menjadi bermuatan negatif dan resisten terhadap

eksitasi, yang mengarah pada berbagai aktivitas anti-kecemasan, sedatif, atau

anti-kejang yang terlihat dengan obat-obatan ini. lama

(https://www.drugs.com

/article/benzodiazepines.html).

Beberapa benzodiazepin (diazepam, chlordiazepoxide) memiliki

metabolit aktif yang tetap dalam sistem untuk jangka waktu yang lama (long-

acting), dan ini dapat menjadi masalah bagi pasien, terutama pasien yang

lebih tua. Pasien lanjut usia mungkin mengalami kerusakan hati dan kesulitan

menghilangkan obat dari sistem mereka. Efek samping, seperti pusing,

kebingungan, atau kegelisahan dapat bertahan pada lansia yang diresepkan

benzodiazepin kerja lama (https://www.drugs.com/article/benzodiazepines.ht

ml). Pada penelitian Frels C, 2002, menemukan sebanyak 40% pasien

mengalami jatuh yang di akibatkan efek singkat dari benzodiazepine.

F. Polifarmasi

Polifarmasi adalah istilah yang dipakai untuk persiapan obat yang

banyak dan berlainan jenisnya, yang sekaligus diberikan pada seorang pasien.

Istilah ini mengandung pengertian mubazir, berlebihan yang mungkin tidak

diperlukan, dan sebagian dapat dihentikan tanpa mempengaruhi hasil

pengobatannya. Polifarmasi merupakan suatu medical error yang menyangkut

pengobatan karena tidak semua gejala penyakit perlu diberi obat. The rule of

fives ialah suatu peringatan untuk mencegah polifarmasi. Jika pasien

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

33

menerima lebih dari 5 jenis obat yang berlainan, harus segera dikaji ulang

apakah memang semua obat itu sangat diperlukan dan harus dipikirkan

ketaatan dalam minum obat dan kemungkinan timbulnya efek yang tidak

diinginkan (Santoso, dan Ismail; 2009:58-59).

Polifarmasi dapat mengakibatkan interaksi antar obat dan efek

samping obat dan masalah-masalah yang juga berhubungan dengan

obatobatan (drug-related problem=DRP) sehingga dapat mengganggu luaran

klinis. Polifarmasi berkaitan dengan underprescribing, penggunaan medikasi

yang tidak tepat (termasuk duplikasi terapi), dan ketidakpatuhan (Adriane,

Sastramihardja, Ruslami, 2016). Menurut Hussar 2007, salah satu dari tipe

interaksi obat adalah duplikasi, yaitu ketika dua obat yang sama efeknya

diberikan (Bintarizki, 2016:4).

G. Kriteria STOPP START

STOPP (Screening Tool of Older Persons’ potentially inappropriate

Prescriptions) adalah sebuah alat evaluasi obat terbaru yang ditentukan

dengan system yang terdefinisi. Kinerja dari kriteria STOPP digabungkan

dengan kriteria beers dalam mendeteksi PIMs dan ADE pada pasien lansia

yang datang ke rumah sakit (Gallagher, P; et all, 2008:673). Kriteria STOPP

didasarkan pada PIMs yang biasa dijumpai dan terdaftar menurut system

fisiologis, seperti halnya kebanyakan formularium obat. Termasuk 65 contoh

dari PIMs yang lebih umum dan penting mempengaruhi ADEs pada lansia

(Hamilton, H; et all, 2011:1014).

Kriteria STOPP merupakan hasil konsensus 18 ahli farmakoterapi

geriatri, digunakan untuk mereview pengobatan pada kelompok umur lebih

dari 65 tahun dengan melihat risiko dan manfaatnya. Kriteria STOPP adalah

alat untuk mengidentifikasi Potentially Inappropriate Prescriptions (PIP)

sering juga disebut Potentially Inappropriate Medications (PIMs) (Gallagher,

P; et all, 2008:673). Alat ini divalidasi pada pasien berusia 65 tahun ke atas

tetapi masih ada tempat untuk penilaian klinis dalam memutuskan apakah

seseorang sudah “tua” dalam hal efek potensial dari pengobatan (NHS,

2017:6).

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

34

Potentially Inappropriate Medications (PIMs) adalah obat-obat yang

harus dihindari atau dapat digunakan dengan hatihati pada pasien geriatri

yang berusia > 65 tahun (Syuaib; dkk, 2015:79). Obat-obatan yang memiliki

risiko ADEs (Adverse Drug Effects) lebih dari manfaat klinis yang diberikan

kepada lansia dan dapat digantikan dengan alternatif yang lebih baik, disebut

juga Potentially Inappropriate Medications (PIMs) (Holt; et all, 2010:543).

Kriteria STOPP pada pasien kardiovaskular (NHS England, 2017) :

1. Digoksin pada penggunaan jangka panjang dosis > 125 ug/hari jika eGFR

<30ml/min/1.73m2 → meningkatkan risiko toksisitas digoksin jika kadar

plasma tidak diukur

2. Diuretik monoterapi pada penderita hipertensi → terdapat alternative yang

lebih efektif dan aman

3. Diuretik tiazid pada pasien penderita gout → dapat memperburuk kondisi

gout

4. Penghambat beta non-kardioselektif pada penderita asma → resiko

bronkospasma

5. Penggunaan beta blocker dengan verapamil → resiko henti jantung

6. Penggunaan diltiazem atau verapamil pada penderita gagal jantung →

memperburuk kondisi gagal jantung

7. Penggunaan calcium channel blocker pada penderita konstipasi kronik →

memperburuk kondisi konstipasi

8. Penggunaan aspirin bersamaan dengan warfarin tanpa pelindung GI → resiko

perdarahan pada GI

9. Penggunaan dipyridamole pada pasien stroke → tidak terdapat bukti

efikasinya

10. Aspirin pada penderita tukak lambung → resiko perdarahan

11. Aspirin dengan dosis > 150 mg/hari → resiko perdarahan, tidak terdapat bukti

peningkatan efikasi

12. Penggunaan asipirin pada penderita arteri perifer → tidak diindikasikan

13. Penggunaan aspirin untuk mengatasi pusing tidak disebabkan oleh stroke →

tidak diindikasikan

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

35

14. Penggunaan warfarin > 6 bulan pada penderita DVT → tidak terbukti adanya

keuntungan tanmbahan

15. Penggunaan warfarin pada penderita emboli paru → tidak terbukti adanya

keuntungan

Kriteria STOPP pada pasien berisiko jatuh (NHS England, 2017) :

1. Penggunaan benzodiazepine pada pasien yang berisiko jatuh → Sedatif, dapat

menyebabkan berkurangnya sensorium dan gangguan keseimbangan

2. Penggunaan obat neuroleptic pada pasien yang berisiko jatuh → dapat

menyebabkan gait dyspraxia dan Parkinson

3. Penggunaan antihistamin generasi pertama pada pasien yang berisiko jatuh →

sedatif, dapat merusak sensorium

Kriteria STOPP pada duplikasi kelas obat (NHS England, 2017) :

1. Segala duplikasi kelas obat → Optimalisasi monoterapi dalam satu kelas obat

harus diamati sebelum mempertimbangkan kelas obat baru.

Kriteria START pada pasien kardiovaskular (NHS England, 2017) :

1. START antikoagulan pada pasien yang mengalami fibrasi atrial

2. START Aspirin atau clopidogrel pada pasien dengan gangguan vaskuler dan

in sinus rhythm

3. START Antihipertensi pada pasien dengan tekanan darah >160 mmHg

(konsisten)

4. START statin pada pasien dengan gangguan vaskuler, dimana melakukan

aktivitas sehari-hari sendiri, dan memiliki harapan hidup > 5 tahun

5. START Angiotensin Converting Enzym Inhibitor pada pasien dengan gagal

jantung kronik

6. START Angiotensin Converting Enzym Inhibitor diberikan pada pasien

dengan infrak miokardial akut

7. Start Beta Blocker pada pasien dengan angina stable kronik

H. Kejadian PIMs

Potentially Inappropriate Medications (PIMs) adalah obat-obat yang

harus dihindari atau dapat digunakan dengan hatihati pada pasien geriatri

yang berusia >65 tahun (Syuaib; dkk, 2015:79). PIMs dapat didefinisikan

sebagai obat-obat yang berasosiasi dengan peningkatan risiko reaksi obat

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

36

yang tidak dikehendaki, yang harus dihindari pada populasi geriatri

(Abdullah; dkk, 2015:230). Potentially Inapproriate Medications (PIMs)

diasumsikan ketika risiko efek samping melebihi manfaat klinis yang

diharapkan, terutama ketika terapi alternative yang lebih aman atau lebih

efektif tersedia untuk kondisi yang sama. Penggunaan PIMs adalah masalah

utama pada lansia, dan dapat berkontribusi terhadap peningkatan efek

samping obat dan menigkatkan interaksi antara obat dengan obat dan

interaksi antara obat dengan penyakit (Ubeda; et all, 2011:84).

faktor yang mempengaruhi kejadian PIMs (Holmes, 2012:163):

1. Usia

Bahkan jika mayoritas orang dengan polifarmasi berusia kurang dari

70 tahun, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa rata-rata perawat obat

meningkat dengan bertambahnya usia, karena usia adalah salah satu faktor

risiko paling umum untuk polifarmasi berlebihan.

Dengan bertambahnya usia, prevalensi penyakit meningkat,

menghasilkan proporsi yang lebih besar dari obat yang diresepkan. Dalam

seluruh populasi nasional, prevalensi polifarmasi meningkat dari 18,4% pada

kelompok usia 40 hingga 79 tahun, menjadi 75,1% pada 80 hingga 89 tahun,

dan 77,7% pada kelompok usia 90 tahun ke atas. Jumlah rata-rata obat resep

yang dibagikan per individu selama periode studi 12 bulan adalah 7,9 untuk

pasien 70 hingga 79 tahun, 9,3 untuk 80 hingga 89 tahun, dan 9,7 untuk 90

tahun ke atas.

2. Jenis Kelamin

Secara umum, wanita mengonsumsi lebih banyak obat daripada pria,

dengan prevalensi polifarmasi yang lebih tinggi daripada pria. Oleh karena

itu, beberapa penelitian telah mendefinisikan gender sebagai faktor risiko

polifarmasi berlebihan. Dalam kategori usia yang lebih tinggi, risiko relatif

untuk polifarmasi untuk wanita dibandingkan pria tidak sama, dan tidak ada

faktor gender umum untuk orang lansia (geriatri) yang dapat diidentifikasi.

Ketika penelitian di seluruh populasi nasional, risiko relatif untuk perempuan

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

37

dan laki-laki untuk menerima lima atau lebih obat ditemukan 3,1 pada

kelompok usia 20 hingga 29, diikuti oleh penurunan berturut-turut menjadi

1,1 pada kelompok usia 70 tahun ke atas.

3. Jumlah Obat

Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

memerlukan obat yang beranekaragam dibandingkan dengan orang dewasa.

Selain itu, perlu diketahui bahwa fungsi organ-organ vital tubuh seperti hati

dan ginjal yang berperan dalam mengolah obat-obat yang masuk ke dalam

tubuh telah berkurang. Hal ini menyebabkan kemungkinan besar obat tersebut

akan menumpuk dalam tubuh dan Terjadi keracunan obat dengan segala

komplikasinya jika diberikan dengan dosis yang sama dengan orang dewasa.

Oleh karena itu, dosis obat perlu dikurangi pada lansia (Maryam; dkk,

2008:63).

Jumlah obat yang diresepkan (polifarmasi) adalah faktor prediktor

utama yang berhubungan dengan PIMs pada pasien geriatri dan sesuai dengan

temuan dari beberapa peneliti lain diantaranya Bhavya dan Torgal (2014),

menemukan bahwa polifarmasi adalah faktor prediktor utama yang

berhubungan dengan PIMs. Penelitian yang dilakukan oleh Lima et all, 2013

juga menyimpulkan bahwa polifarmasi berhubungan dengan PIMs (Syuaib;

dkk, 2015:79).

4. Komorbiditas

Komorbiditas adalah suatu keadaan ketika seseorang menderita dua

penyakit atau lebih, dalam waktu yang sama (Joewana, 2005:201). Pasien

lansia memang rentan untuk terjadinya ROTD kerena kompleksnya

pengobatan, tingginya komorbiditas, adanya faktor penuaan yang

berhubungan dengan gangguan metabolisme obat, penurunan cadangan

fisiologi (hati, ginjal dan fungsi kardiovaskular) dan kekurangan gizi

(Wulandari; dkk, 2016:65). Sering pula, penyakit lebih dari satu jenis

(multipatologi), dimana satu sama lain dapat berdiri sendiri maupun saling

berkaitan dan memperberat (Maryam; dkk, 2008:63). Pada penelitian

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

38

Radiyanti 2016 terdapat indeks komordibitas yang lebih tinggi pada pasien

yang mengalami Adverse Drug Events (ADEs) atau efek samping obat.

5. Lama Rawat

Efek samping yang terjadi akibat ketidaktepatan penggunaan obat

dapat terjadi ketika pasien menjalani perawatan di rumah sakit. Efek samping

ini merupakan hal yang tidak terpisahkan dari terapi farmakologis. Faktor

yang berpengaruh untuk terjadinya efek samping ini adalah dosis obat,

frekuensi pemberian obat, genetika pasien, profil farmakokinetika pasien, dan

penurunan fungsi organ pasien (Hidayat; dkk, 2016:2). Lama perawatan juga

dipengaruhi oleh jumlah penggunaan obat yang tidak tepat. Pasien usia lanjut

yang mendapatkan > 2 jenis obat yang tidak tepat memiliki rata-rata LOS 15

hari, sedangkan pasien yang mendapatkan ≤ 2 jenis obat yang tidak tepat

memiliki rata-rata LOS sebanyak 5 hari (Nobili; et all, 2011:12).

I. Evaluasi Pengobatan pada Pasien Geriatri

Evaluasi penggunaan obat merupakan salah satu pelayanan farmasi

untuk mengoptimalisasikan pengobatan pasien, khususnya pada pasien

geriatri. Evaluasi penggunaan obat merupakan kegiatan yang dilakukan untuk

menguji mutu penggunaan obat agar penggunaannya terjamin ketepatan,

efektivitas, dan keamanannya. Salah satu aspek dalam evaluasi penggunaan

obat adalah optimalisasi penggunan obat. optimalisasi penggunaan obat

bertujuan untuk meningkatkan mutu penggunaan obat, agar efek terapi yang

ditimbulkan lebih tepat.

Salah satu populasi yang harus diperhatikan dalam optimalisasi

penggunaan obatnya adalah pasien lanjut usia (geriatri). Penggunaan obat

pada pasien geriatri memerlukan perhatian khusus. Perubahan fisiologis

banyak terjadi pada pasien geriatric akibat adanya perubahan usia, khususnya

pada organ-organ yang berpengaruh langsung pada obat-obatan seperti hati

dan ginjal, sehingga dapat berdampak pada farmakokinetika dan

farmakodinamika dari obat yang digunakan (Rahma, 2016).

J. Rumah Sakit

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara Paripurna yang

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

39

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 58 tahun 2014: 1).

Tugas dan fungsi rumah sakit (undang-undang Republik Indonesia

NO: 44 tahun 2009 ; 4,5) :

1. Tugas

Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna.

2. Fungsi

Rumah sakit memiliki fungsi :

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan Sesuai

dengan standar pelayanan rumah sakit

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis

c. Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dan pemberian pelayanan kesehatan

d. Penyelenggaraan penelitian dan pembangunan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan

memperhatikan etika ilmu pengetahuan kesehatan.

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

40

Pasien Geriatri dengan

Gangguan Kardiovaskular

Gagal Jantung Aritmia Hipertensi Angina Pektoris Hiperlipidemia

Penatalaksanaan

Kardiovaskular

Terapi farmakologi Terapi nonfarmakologi

Pengobatan

Obat

Kardiovaskular

Obat Gagal Jantung:

1. ACEI: Kaptopril,

Enalapril

2. Antagonis AT2:

Kandesartan, Losartan

3. Diuretik:

a. Kuat: Furosemid,

Bumetanid

b. Tiazid: HCT,

Klortalidon

c. Hemat K: Amilorid,

Triamteren

4. Beta Blocker:

a. Kardioselektif:

Asebutolol, Atenolol

b. Nonselektif:

Alprenolol, Karteolol

5. Vasodilator: Nesiritid,

Nitrogliserin

6. Glikosida jantung:

Digoksin

7. Inotropik: Dopamine,

Dobutamine

8. Antitrombotik:

Warfarin

9. Antiaritmia:

Amiodaron

Antiaritmia:

1. Kelas IA:

Kuinidin,

Prokainamid

2. Kelas IB:

Lidokain, Fenitoin

3. Kelas IC:

Flekainid,

Enkainid

4. Kelas II:

Propanolol,

Asebutolol

5. Kelas III:

Bretilium,

Amiodaron

6. Kelas IV:

Verapamil,

Diltiazem

7. Kelas V: Digitalis,

Adenosin

Antihipertensi:

1. Diuretik:

a. Kuat: Furosemid,

Bumetanid

b. Tiazid: HCT,

Klortalidon

c. Hemat K: Amilorid,

Triamteren

2. Beta Blocker:

a. Kardioselektif:

Asebutolol, Atenolol

b. Nonselektif:

Alprenolol, Karteolol

3. Alfa Blocker:

Prazosin, Terazosin

4. Adrenolitik Sentral:

Metildopa, Klonidin

5. Vasodilator:

Hidralazin,

Minoksidil

6. ACEI: Kaptopril,

Lisinopril

7. ARB: Losartan,

Kandesartan

8. Penghambat kanal

kalsium: Nifedipin,

Amlodipine

Antiangina:

1. Nitrat organik

2. Beta Blocker:

a. Kardioselektif:

Asebutolol,

Atenolol

b. Nonselektif:

Alprenolol,

Karteolol

3. Penghambat Kanal

Kalsium: nifedipin,

Amlodipine

4. Trimetazidin

5. Terapi Kombinasi:

NO dengan Beta-

blocker, CCB

dengan NO

Hipolipidemik:

1. Asam Fibrat: Klorfibrat,

Fenofibrat

2. Resin: Kolestipol,

Kolestiramin

3. Penghambat HMG CoA

Reductase: Lovastatin,

Simvastatin

4. Asam Nikotinat:

AsiPIMsoks

5. Probucol

6. Penghambat Absorbsi

Kolesterol Intestinal:

ezetimibe

Kondisi Khusus pada

Pasien Geriatri:

1. Usia

2. Jenis Kelamin

3. Jumlah Obat

4. Komobiditas

5. Lama Rawat

Kriteria

STOPP

K. Kerangka Teori

Sumber: NHS England, 2017; Gunawan, 2016

Gambar 2.1 Kerangka Teori.

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

41

L. Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Penggunaan Obat

Kardiovaskular pada

Pasien Geriatri Rawat

Inap Berdasarkan

Kriteria STOPP

1. Penggunaan obat kardiovaskular

berdasarkan kondisi Khusus Pasien Geriatri

(usia, jenis kelamin, jumlah obat, komorbid,

lama rawat).

2. Penggunaan obat kardiovaskular

berdasarkan kriteria STOPP (Screening Tool

of Older Persons Prescription)

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

42

M. Definisi Operasional

Tabel 2.1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

1.

2.

3.

Karakteristik Sosio-

Demografi

a. Usia

b. Jenis Kelamin

Karakteristik Klinis

c. Jumlah Obat

d. Komorbid

e. Lama Rawat

PIMS (Potentially

Innapropriate

Medications)

Usia responden yang

dihitung dari tahun

saat penelitian

dikurangi tahun lahir

responden

(Masturoh dan

Anggita, 2018:115)

Identitas gender

pasien

Jumlah obat yang

diberikan selama

rawat inap

suatu keadaan ketika

seseorang menderita

dua penyakit atau

lebih, dalam waktu

yang sama

(Joewana, 2005:201)

Lama hari pasien

melakuan

pengobatan.

obat-obat yang harus

dihindari atau dapat

digunakan dengan

hatihati pada pasien

geriatri yang berusia

(Syuaib; dkk,

2015:79)

Observasi

dokumen

Rekam

Medik

Observasi

dokumen

Rekam

Medik

Observasi

dokumen

Rekam

Medik

Observasi

dokumen

Rekam

Medik

Observasi

dokumen

Rekam

Medik

Observasi

dokumen

Rekam

Medik

Form

Pengumpulan

Data

Form

Pengumpulan

Data

Form

Pengumpulan

Data

Form

Pengumpulan

Data

Form

Pengumpulan

Data

Kriteria

STOPP

1 = 65-69

2 = 70-79

3 = > 80

(BPS, 2013)

1 = Perempuan

2 = Laki-laki

1 = < 5

2 = > 5

1 = Tidak Ada

2 = Ada

1 = < 5 Hari

2 = > 5 Hari

1 = Tidak Ada

2 = Ada

Interval

Nominal

Nominal

Nominal

Nominal

Nominal

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/417/3/BAB II.pdf · 3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi) Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya

43