Page 1
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Geriatri
Geriatri berasal dari bahasa Yunani yaitu "Geros", seorang pria tua
dan "Iatros", penyembuh. Kata ini pertama kali digunakan oleh Ignas Leo
Nascher, seorang dokter Amerika pada tahun 1909 (Barton dan Mulley,
2002:230). Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari
penyakit dan masalah kesehatan pada usia lanjut menyangkut aspek preventif,
diagnosis, dan tata laksana. Pasien geriatri adalah pasien lanjut usia yang
memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari pasien usia lanjut
pada umumnya (Setiati, 2013:235). Menurut Undang-undang Republik
Indonesia No 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pada bab I
pasal 1 ayat 2, yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah
mencapai usia 60 tahun ke atas (Kemenkes RI, 2013:1). Saat ini, tidak ada
kriteria numerik standar PBB untuk lansia, tetapi cutoff yang disepakati PBB
adalah 60+ untuk merujuk pada populasi lansia
(http://www.who.int/healthinfo/survey/agingdef
nolder/en/).
Periode lansia ditandai dengan terjadinya kemunduran sel-sel karena
proses penuaan yang berakibat pada lemahnya organ, kemunduran fisik, dan
timbul berbagai penyakit degeneratif (Parasari dan Lestari, 2015:75).
Menurut WHO, batasan lanjut usia (lansia) adalah kelompok usia 45 - 59
tahun disebut usia pertengahan (middle/ young elderly), usia 60 - 74 tahun
disebut lansia (ederly), usia 75 - 90 tahun disebut tua (old), usia diatas 90
tahun disebut sangat tua (very old) (Efendi dan Makhfudli, 2009:243).
Penuaan ditandai dengan hilangnya integritas fisiologis yang progresif, yang
memicu gangguan fungsi fisiologis dan meningkatkan risiko kematian.
Kemunduran fungsi ini menjadi faktor risiko utama patologi pada manusia
meliputi kanker, diabetes, kelainan kardiovaskular, dan penyakit
neurodegeneratif (Lopez; et all, 2013:5).
Page 2
7
B. Sifat Penyakit pada Lanjut Usia (Lansia)
Beberapa sifat penyakit pada lansia yang membedakannya dengan
penyakit pada orang dewasa seperti yang dijelaskan berikut ini (Maryam;
dkk, 2008:63).
1. Penyebab Penyakit
Penyebab penyakit pada lansia pada umumnya berasal dari dalam
tubuh (endogen), sedangkan pada orang dewasa berasal dari luar tubuh
(eksogen). Hal ini disebabkan karena pada lansia telah terjadi penurunan
fungsi dari berbagai organ-organ tubuh Akibat kerusakan sel-sel karena
proses menua, sehingga produksi hormon, enzim, dan zat-zat yang diperlukan
untuk kekebalan tubuh menjadi berkurang. Dengan demikian lansia akan
lebih mudah terkena infeksi. sering pula, penyakit lebih dari satu jenis
(multipatologi), dimana satu sama lain dapat berdiri sendiri maupun saling
berkaitan dan memperberat. Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan
memompa darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas
pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah
perifer sehingga tekanan darah meningkat (Maryam; dkk, 2008:63).
2. Gejala penyakit sering tidak khas/tidak jelas
Gejala penyakit sering tidak jelas pada lansia, misalnya penyakit
infeksi paru (pneumonia) seringkali tidak didapati demam tinggi dan batuk
darah, gejala terlihat ringan padahal penyakit Sebenarnya cukup serius,
sehingga penderita menganggapnya penyakitnya tidak berat dan tidak perlu
berobat.
3. Memerlukan lebih banyak obat (polifarmasi)
Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya
memerlukan obat yang beranekaragam dibandingkan dengan orang dewasa.
Selain itu, perlu diketahui bahwa fungsi organ-organ vital tubuh seperti hati
dan ginjal yang berperan dalam mengolah obat-obat yang masuk ke dalam
tubuh telah berkurang. Hal ini menyebabkan kemungkinan besar obat tersebut
akan menumpuk dalam tubuh dan Terjadi keracunan obat dengan segala
Page 3
8
komplikasinya jika diberikan dengan dosis yang sama dengan orang dewasa.
Oleh karena itu, dosis obat perlu dikurangi pada lansia.
Efek samping obat sering pula terjadi pada lansia yang menyebabkan
timbulnya penyakit-penyakit baru akibat pemberian obat tadi (iatrogenik),
misalnya poliuri/sering BAK akibat pemakaian obat diuretik (obat untuk
meningkatkan pengeluaran air seni), dapat terjatuh akibat penggunaan obat
obat penurun tekanan darah, penenang, antdepresi, dan lain-lain. Efek
samping obat pada lansia biasanya terjadi karena diagnosis yang tidak tepat,
ketidakpatuhan minum obat, serta penggunaan obat yang berlebihan dan
berulang-ulang dalam waktu yang lama.
4. Perjalanan Penyakit
Pada umumnya perjalanan penyakit geriatri adalah kronik (menahun),
diselingi dengan eksaserbasi akut. Selain itu, penyakitnya bersifat progresif
dan sering menyebabkan kecacatan lama sebelum akhirnya penderita
meninggal dunia.
C. Penyakit Kardiovaskular
Fungsi sistem kardiovaskular adalah memberikan dan mengalirkan
suplai oksigen dan nutrisi ke seluruh jaringan dan organ tubuh yang
diperlukan dalam proses metabolisme. Secara normal setiap jaringan dan
organ tubuh akan menerima aliran darah dalam jumlah yang cukup sehingga
jaringan dan organ tubuh menerima nutrisi dengan adekuat. (Muttaqin,
2009:2)
Sistem kardiovaskular merupakan suatu sistem transpor tertutup yang
terdiri atas jantung komponen darah dan pembuluh darah. Penyakit
kardiovaskular adalah penyakit yang menyerang komponen kardiovaskular.
Penyakit kardiovaskular disebabkan oleh berbagai faktor risiko. Faktor
tersebut ada yang tidak dapat diubah, antara lain usia, jenis kelamin, dan
riwayat keluarga dengan infark miokard. Sementara itu faktor risiko yang
dapat diubah antara lain kebiasaan merokok, berat badan berlebihan, aktivitas
fisik yang kurang, kadar lemak dan gula yang tinggi, serta hipertensi.
Penyebab timbulnya gejala-gejala penyakit kardiovaskular antara antara lain
Page 4
9
iskemia miokard, gangguan kontraksi dan relaksasi miokardium, atau akibat
dari Irama kecepatan yang abnormal (Syamsudin, 2011:6).
Pembagian penyakit kardiovaskular adalah sebagai berikut
(Syamsudin, 2011).
1. Gagal Jantung
Gagal jantung terjadi jika curah jantung tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh akan O2. Kondisi ini sangat letal, dengan mortalitas berkisar
antara 15-50% per tahun, bergantung pada keparahan penyakitnya. Mortalitas
meningkat sebanding dengan usia, dan risiko pada laki-laki lebih besar dari
pada perempuan (Farmakologi dan Terapi, 2016:304). Karena gagal jantung
sering menyerang lansia, prevalensinya akan naik seiring kenaikan usia
populasi (Syamsudin, 2011:57).
2. Aritmia
Aritmia adalah kelainan dalam kecepatan, irama, tempat asal dari
impuls, atau gangguan konduksi yang menyebabkan perubahan dalam urutan
normal aktivasi atrium dan ventrikel (Farmakologi dan Terapi, 2016:321).
Aritmia ditimbulkan oleh gangguan pembentukan impuls, gangguan
komnduksi impuls atau kombinasi keduanya (Syamsudin, 2011:130).
3. Hipertensi
Hipertensi adalah kondisi di mana jika tekanan darah sistole 140
mmHg atau lebih tinggi dan tekanan darah diastole 90 mmHg atau lebih
tinggi (Syamsudin, 2011:22). Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan
tingginya TD dan berdasarkan etiologinya. Berdasarkan TD seseorang
dikatakan hipertensi bila TD-nya >140-90 mmHg. Berdasarkan etiologinya
hipertensi dibagi menjadi hipertensi esensial dan hipertensi sekunder
(Farmakologi dan Terapi, 2016:345). faktor risiko penderita hipertensi adalah
perokok, dislipidemia, diabetes, usia > 60 tahun, riwayat penderita (yang
memiliki riwayat penyakit jantung) wanita < 65 tahun, pria < 55 tahun. Pada
wanita, prevalensi berhubungan erat dengen usia dan peningkatan terjadi
setelah usia 50 tahun atau pascamenopause (Syamsudin, 2011:30).
Page 5
10
4. Angina Pektoris (Iskemia Miokard)
Iskemia miokard ialah suatu keadaan dimana terjadi
ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen jantung.
Penyebab umum iskemia miokard ialah arterosklerosis pembuluh darah
epikardial. Gangguan perfusi miokardium pada insufisiensi koroner
menimbulkan perubahan biokimiawi, elektrofisiologik dan mekanik jantung
(Farmakologi dan Terapi, 2016:366). Faktor risiko penyakit iskemia miokard
adalah pria berusia > 45 tahun, wanita > 55 tahun, riwayat keluarga, perokok,
hipertensi dengan tekanan darah 140/90 mmHg, kadar LDL tinggi, kadar
HDL rendah dan penderita DM (Syamsudin, 2011:78).
5. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia adalah kenaikan kadar lipid dan kolesterol di dalam
darah. Hiperlipidemia juga dikenal dengan dislipidemia untuk
menggambarkan manifestasi penyakit metabolisme lipoprotein yang berbeda
(Syamsudin, 2011:157).
D. Penatalaksanaan Penyakit Kardiovaskular
1. Gagal Jantung
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan
penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit
jantung Sangatlah penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan
pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular yang
sering dijumpai (PERKI, 2015:12).
a. Tatalaksana Non-farmakologi
1) Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan
gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan
prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai
tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari
perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal
perburukan gagal jantung.
Page 6
11
2) Ketaatan Pasien Berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan
kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat
pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi.
3) Pemantauan Berat Badan Mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat
kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis
diuretik atas pertmbangan dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).
4) Asupan Cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada
pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin
pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan
keuntungan klinis (kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C).
5) Pengurangan Berat Badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan
gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,
mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa,
tingkatan bukti C).
6) Kehilangan Berat Badan Tanpa Rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung
berat. Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan
angka kelangsungan hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 %
dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien
didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan
hati-hati (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).
7) Latihan Fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung
kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik
dikerjakan di rumah sakit atau di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti
A).
8) Aktivitas Seksual
Page 7
12
Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi
tekanan pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut
dan tidak boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat (kelas rekomendasi
III, tingkatan bukti B).
b. Tatalaksana farmakologis
1) Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik
dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % kecuali kontraindikasi. ACEI
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukanfungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh
sebab itu ACEIhanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan
kadar kalium normal.
a) Indikasi pemberian ACEI
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala
b) Kontraindikasi pemberian ACEI
Riwayat angioedema
Stenosis renal bilateral
Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
Stenosis aorta berat
c) Cara pemberian ACEI pada gagal jantung
Inisiasi pemberian ACEI
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu
setelah terapi ACEI
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
Page 8
13
Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia. Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di rumah
sakit. Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat di toleransi. Periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis target atau yang dapat
ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali.
2) Penyekat β
Penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % kecuali kontraindikasi.
Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan
kelangsungan hidup.
a) Indikasi pemberian penyekat β
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
b) Kontraindikasi pemberian penyekat β
Asma
Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu
jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)
c) Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung
Inisiasi pemberian penyekat β
Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati. Dosis awal lihat
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau
bradikardi (nadi < 50 x/menit)
Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
Page 9
14
d) Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β:
Hipotensi simtomatik
Perburukan gagal jantung
Bradikardia
3) Antagonis Aldosteron
Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal
jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa
hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat (kecuali kontraindikasi).
Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
a) Indikasi pemberian antagonis aldosterone
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
b) Kontraindikasi pemberian antagonis aldosterone
Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
Kombinasi ACEI dan ARB
c) Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung
Inisiasi pemberian spironolakton
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 - 8 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah
menaikan dosis
d) Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi
Page 10
15
e) Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:
Hiperkalemia
Perburukan fungsi ginjal
Nyeri dan/atau pembesaran payudara
4) Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan
ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis
aldosterone (kecuali kontraindikasi). Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada
pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian
karena penyebab kardiovaskular.
a) Indikasi pemberian ARB
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan
batuk
b) Kontraindikasi pemberian ARB
Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI
c) Cara pemberian ARB pada gagal jantung
Inisiasi pemberian ARB
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
Naikan dosis secara titrasi
Page 11
16
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hyperkalemia
Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat ditoleransi
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai
dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
d) Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB sama
seperti ACEI, kecuali ARB tidak menyebabkan batuk
5) Hydralazine Dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran
terhadap ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).
a) Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN
Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak
dapat ditoleransi
Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat
β dan ARB atau antagonis aldosterone
b) Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
Hipotensi simtomatik
Sindroma lupus
Gagal ginjal berat
c) Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung
Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN
Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine 50 mg
dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-
ISDN:
Page 12
17
Hipotensi simtomatik
Nyeri sendi atau nyeri otot
6) Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat
digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain
(seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung
simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin
dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)
a) Indikasi
Fibrilasi atrial
dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat aktifitas> 110 -
120 x/menit
Irama sinus
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
Dosis optimal ACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis aldosteron jika
ada indikasi.
b) Kontraindikasi
Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika pasien diduga
sindroma sinus sakit
Sindroma pre-eksitasi
Riwayat intoleransi digoksin
c) Cara pemberian digoksin pada gagal jantung
Inisiasi pemberian digoksin
Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada
pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125
atau 0,0625 mg, 1 x/hari
Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik. Kadar terapi
digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL
Page 13
18
Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah (amiodaron,
diltiazem, verapamil, kuinidin)
d) Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:
Blok sinoatrial dan blok AV
Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hypokalemia
Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat
warna
7) Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda
klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B). Tujuan
dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan
hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai
kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
a) Cara pemberian diuretik pada gagal jantung
Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit
Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid
karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang
resisten
Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan tanda
kongesti
Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa
retensi cairan), untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi. Tujuan
terapi adalah mempertahankan berat badan kering dengan dosis diuretik
minimal
Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis
diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan
tanda-tanda klinis dari retensi cairan
2. Aritmia
Page 14
19
Pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat
mengontrol respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal
kalsium non-dihidropiridin oral dapat digunakan pada pasien dengan
hemodinamik stabil. Antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin hanya boleh
dipakai pada pasien dengan fungsi sistolik ventrikel yang masih baik. Obat
intravena mempunyai respon yang lebih cepat untuk mengontrol respon irama
ventrikel. Digoksin atau amiodaron direkomendasikan untuk mengontrol laju
ventrikel pada pasien dengan fibrasi atrium dan gagal jantung atau adanya
hipotensi. Namun pada fibrasi atrium dengan preeksitasi obat terpilih adalah
antiaritmia kelas I (propafenon, disopiramid, mexiletine) atau amiodaron.
Obat yang menghambat NAV tidak boleh digunakan pada kondisi fibrasi
atrium dengan preeksitasi karena dapat menyebabkan aritmia letal. Pada fase
akut, target laju jantung adalah 80-100 kpm. Pada layanan kesehatan primer
yang jauh dari pusat rujukan sekunder/tersier, untuk sementara kendali laju
dapat dilakukan dengan pemberian obat antiaritmia oral. Diharapkan laju
jantung akan menurun dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian antagonis
kanal kalsium (diltiazem 30 mg atau verapamil 80 mg), penyekat beta
(propanolol 20-40 mg, bisoprolol 5 mg, atau metoprolol 50 mg). Dalam hal
ini penting diperhatikan untuk menyingkirkan adanya riwayat dan gejala
gagal jantung. Kendali laju yang efektif tetap harus dengan pemberian obat
antiaritmia intravena di layanan kesehatan sekunder/tersier. Fibrilasi atrium
dengan respon irama ventrikel yang lambat, biasanya membaik dengan
pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan pemberian atropin
pasien masih simtomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi atau
pemasangan pacu jantung sementara (PERKI, 2014:31)
3. Hipertensi
a. Non farmakologis
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan
tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan
risiko permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi
derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup
sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya
Page 15
20
selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan
penurunan tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko
kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi
farmakologi (PERKI, 2015:3)
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah:
1) Penurunan berat badan
2) Mengurangi asupan garam
3) Olahraga
4) Mengurangi konsumsi alkohol
5) Berhenti merokok
b. Farmakologi
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada
pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah
setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan
hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu
diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping,
yaitu :
1) Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
2) Berikan obat generik (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
3) Berikan obat pada pasien usia lanjut (diatas usia 80 tahun) seperti pada usia
55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
4) Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i)
dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
5) Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi
6) Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.
4. Angina
Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk
dilakukan strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi
invasif melibatkan dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien
dengan tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan
Page 16
21
angiografi ditentukan berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4
kategori, yaitu:
a. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent) (kelas I-C).
Dilakukan bila pasien memenuhi salahs atu kriteria risiko sangat tinggi (very
high risk)
b. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam (kelas I-A).
Dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu
kriteria risiko tinggi (high risk) primer
c. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam (kelas I-A).
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk)
atau dengan gejala berulang
d. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif (kelas
III-A)
Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif tidak dilakukan secara rutin.
Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi
dan dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut ini:
1) Nyeri dada tidak berulang
2) Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung
3) Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-6
hingga 9)
4) Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6 hingga 9)
5) Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)
Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti GRACE dan
TIMI juga dapat berguna dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan
strategi konservatif. Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien-pasien ini
berdasarkan evaluasi PJK. Sebelum dipulangkan, dapat dilakukan stress test
untuk menentukan adanya iskemi yang dapat ditimbulkan (inducible) untuk
perencanaan pengobatan dan sebelum dilakukan angiografi elektif. Risk
Score >3 menurut TIMI menunjukkan pasien memerlukan revaskularisasi.
Timing revaskularisasi dapat ditentukan berdasarkan penjelasan di atas
(PERKI, 2015:29)
5. Hiperlipidemia
Page 17
22
a. Statin (inhibitor HMG-coA reduktase)
Statin adalah obat penurun lipid pertama yang harus digunakan untuk
menurunkan kolesterol LDL. Dalam keadaan tidak toleran terhadap statin,
direkomendasikan pemakaian ezetimibe, inhibitor PCSK9, atau bile acid
sequestrant monoterapi.
b. Inhibitor absorpsi kolesterol
Ezetimibe merupakan obat penurun lipid pertama yang menghambat
ambilan kolesterol dari diet dan kolesterol empedu tanpa mempengaruhi
absorpsi nutrisi yang larut dalam lemak. Dosis ezetimibe yang
direkomendasikan adalah 10 mg/hari dan harus digunakan bersama statin.
Pada keadaan tidak toleran terhadap statin, ezetimibe dapat dipergunakan
secara tunggal. Tidak diperlukan penyesuaian dosis bagi pasien dengan
gangguan hati ringan atau insufisiensi ginjal berat. Kombinasi statin dengan
ezetimibe menurunkan kolesterol LDL lebih besar daripada menggandakan
dosis statin.
c. Inhibitor PCSK9
Penemuan yang menunjukkan PCSK9 menyebabkan degradasi
reseptor LDL memunculkan cara baru dalam mengontrol kolesterol LDL.
Peningkatan konsentrasi atau fungsi PCSK9 berhubungan dengan penurunan
ekspresi reseptor LDL dan peningkatan konsentrasi kolesterol LDL di
plasma. Penelitian awal untuk mereduksi PCSK9 difokuskan pada
penggunaan antibodi monoklonal untuk mengurangi konsentrasi PCSK9 yang
beredar di sirkulasi. Pendekatan ini mengurangi jumlah PCSK9 yang
berikatan dengan reseptor LDL. Proprotein convertase subtilisin–kexin type 9
yang beredar di sirkulasi hampir seluruhnya berasal dari hepar, sehingga
pendekatan untuk menghambat produksi PCSK9 di hepar menawarkan
alternatif terhadap terapi menggunakan antibodi monoklonal. Inclisiran
adalah obat penghambat produksi PCSK9 yang telah dievaluasi pada
penelitian fase 2.
d. Bile Acid
Terdapat 3 jenis bile acid sequestrant yaitu kolestiramin, kolesevelam,
dan kolestipol. Bile acid sequestrant mengikat asam empedu (bukan
Page 18
23
kolesterol) di usus sehingga menghambat sirkulasi enterohepatik dari asam
empedu dan meningkatkan perubahan kolesterol menjadi asam empedu di
hati. Dosis harian kolestiramin, kolestipol, dan kolesevelam berturutan adalah
4-24 gram, 5-30 gram, dan 3,8- 4,5 gram. Penggunaan dosis tinggi (24 g
kolestiramin atau 20 g of kolestipol) menurunkan konsentrasi kolesterol LDL
sebesar 18-25%. Bile acid sequestrant tidak mempunyai efek terhadap
kolesterol HDL sementara konsentrasi TG dapat meningkat.
e. Fibrat
Fibrat adalah agonis dari PPAR-α. Melalui reseptor ini, fibrat
menurunkan regulasi gen apoC-III serta meningkatkan regulasi gen apoA-I
dan A-II. Berkurangnya sintesis apoC-III menyebabkan peningkatan
katabolisme TG oleh lipoprotein lipase, berkurangnya pembentukan
kolesterol VLDL, dan meningkatnya pembersihan kilomikron. Peningkatan
regulasi apoA-I dan apoA-II menyebabkan meningkatnya konsentrasi
kolesterol HDL.
f. Inhibitor CETP
Cholesteryl ester transfer protein berfungsi membantu transfer
cholesteryl ester dari kolesterol HDL kepada VLDL dan LDL yang
selanjutnya akan dibersihkan dari sirkulasi melalui reseptor LDL di hepar.
Terapi dengan inhibitor CETP mempunyai efek ganda yaitu meningkatkan
konsentrasi kolesterol HDL dan menurunkan konsentrasi kolesterol LDL
melalui reverse cholesterol transport. Inhibitor CETP dapat bersifat
proaterogenik jika cholesteryl ester dari kolesterol VLDL atau LDL diambil
oleh makrofag. Sebaliknya, jika cholesteryl ester diambil oleh hepar melalui
reseptor LDL, inhibitor CETP bersifat antiaterogenik.
g. Aferesis kolesterol LDL
Tindakan aferesis ditujukan bagi pasien dengan HoFH atau HeFH
berat. Dengan teknik yang mahal tetapi efektif ini, kolesterol LDL dan Lp(a)
dibuang dari plasma selama dilakukan sirkulasi ekstrakorporeal setiap 1 atau
2 minggu sekali. Mengingat terapi dengan inhibitor PCSK9 sangat
menjanjikan bagi pasien dengan HeFH, tindakan aferesis kolesterol LDL
sebaiknya diindikasikan bagi pasien dislipidemia familial di mana terapi
Page 19
24
dengan inhibitor PCSK9 gagal menurunkan konsentrasi kolesterol LDL
(PERKI, 2017:32)
E. Obat Kardiovaskular
1. Penggolongan Obat Kardiovaskular
a. Angiotensin Converting Enzim Inhibitor (ACEI)
ACE inhibitor menghambat perubahan angiotensin 1 menjadi
angiotensin 2 sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosterone.
Obat
b. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida
sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya
terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme
tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga
menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di
ruang interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang
selanjutnya menghambat influks kalsium. Diuretik golongan tiazid bekerja
dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal
ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl
- meningkat. Diuretik kuat bekerja di
Ansa henle asenden bagian epitel tebal dengan cara menghambat kotransport
Na+, K
+, Cl
- dan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Diuretik hemat
kalium digunakan untuk mengurangi pengeluaran Ca atau Mg oleh ginjal dan
atau memperkuat respons diuresis terhadap obat lain.
c. Beta-blocker
Beta blocker memblok beta‐ adrenoseptor. Reseptor ini
diklasifikasikan menjadi reseptor beta‐ 1 dan beta‐ 2. Reseptor beta‐ 1
terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta‐ 2 banyak ditemukan
di paru‐ paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta‐ 2 juga
dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta‐ 1 juga dapat dijumpai
pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor
beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang
meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐ 1 pada
nodus sino‐ atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan
Page 20
25
kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan
rennin, meningkatkan aktivitas system rennin‐ angiotensin‐ aldosteron. Efek
akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan
peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air.
Beta‐ blocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective
beta‐ blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐ 1.
Beta‐ blocker yang non‐ selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor
beta‐ 1 dan beta‐ 2.
d. Glikosida jantung
Glikosida jantung memiliki mekanisme inotropik positif dan
kronotropik negatif. Mekanisme inotropik positif yaitu dengan menghambat
pompa Na-K-ATPase pada membran sel otot jantung sehingga meningkatkan
kadar Na+ intrasel, dan ini menyebabkan berkurangnya pertukaran Na
+ - Ca
++
selama Repolarisasi dan relaksasi otot jantung. Sehingga, Ca2+
tertahan dalam
sel, kadar Ca2+
intrasel meningkat dan ambilan ke dalam retikulum
sarkoplasmik (SR) meningkat. Dengan demikian, Ca2+
yang tersedia dalam
SR untuk dilepaskan ke dalam sitosol untuk kontraksi meningkat, sehingga
kontraktilitas otot jantung meningkat. Mekanisme kronotropik negatif yaitu
meningkatkan tonus vagal dan mengurangi aktivitas simpatis di nodus SA
maupun AV, sehingga dapat menimbulkan bradikardia sinus sampai henti
jantung dan/atau perpanjang konduksi AV sampai meningkatnya blok AV.
Efek pada nodus AV inilah yang mendasari penggunaan glikosida jantung
pada pengobatan fibrilasi atrium.
e. Antitrombotik
Antitrombotik adalah obat yang menghambat agregrasi trombosit
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan thrombus yang terutama
sering ditemukan pada sistem arteri.
f. Alpha-blocker
Alpha‐ blocker (penghambat adreno‐ septor alfa‐ 1) memblok
adrenoseptor alfa‐ 1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena
merelaksaasi otot polos pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang
resisten.
Page 21
26
g. Adrenolitik Sentral
Adrenolitik sentral bekerja dengan menstimulasi reseptop α-2 di
sentral sehingga mengurangi sinyal simpatis ke perifer.
h. penghambat saraf adrenergik
Obat golongan ini bekerja dengan cara mencegah pelepasan
noradrenalin dari saraf adrenergik pasca ganglion. Obat-obat golongan ini
tidak mengendalikan tekanan darah pada posisi berbaring dan dapat
menyebabkan hipotensi postural. Karena itu, obat-obat ini sudah jarang sekali
digunakan, tetapi mungkin masih diperlukan bersama terapi lain pada
hipertensi yang resisten. Jarang digunakan pada anak-anak.
i. Vasodilator
Menurunkan tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos
pembuluh darah.
j. Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target
lainnya. Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1
memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan
penglepasan aldosteron dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat.
Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas. Antagonis reseptor
angiotensin II (AIIRA) mempunyai banyak kemiripan dengan ACEi, tetapi
AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena efeknya pada ginjal, ACEi dan
AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada
stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu.
k. Nitrat Organik
Secara in vivo nitrat organik merupakan pro drug yaitu menjadi aktif
setelah dimetabolisme dan mengeluarkan nitrogen monoksida.
l. Calcium channel blocker
Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke
dalam sel miokard, sel‐ sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐ sel otot
polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung,
Page 22
27
menekan membentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan
memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos
pembuluh darah.
m. asam fibrat
Asam fibrat bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor peroxisom
proliferator-activated receptors (PPAR) yang mengatur transkripsi gen.
Akibat interaksi obat ini dengan PPAR isotipe Alpha (PPARα), maka
terjadilah peningkatan oksidasi asam lemak, sintesis LDL dan penurunan
ekspresi apo C-III. Peninggian kadar LDL meningkatkan klirens lipoprotein
yang kaya trigliserida. Penurunan produksi Apo C-III hati akan menurunkan
VLDL. HDL meningkat secara moderat karena peningkatan ekspresi apo A-I
dan A-II.
n. Penghambat HMG CoA Reduktase
Penghambat HMG CoA Reduktase bekerja dengan cara menghambat
sintesis kolesterol dalam hati, dengan menghambat enzim HMG CoA
reduktase. Akibat penurunan sintesis kolesterol ini, maka SREBP yang
terdapat pada membran dipecah oleh protease, lalu di angkut ke nukleus.
Faktor-faktor transkripsi kemudian akan berikatan dengan gen reseptor LDL,
Sehingga terjadi peningkatan sintesis reseptor LDL. Peningkatan jumlah
reseptor LDL pada membran sel hepatosit akan menurunkan kadar kolesterol
darah lebih besar lagi.
o. Asam nikotinat
Asam nikotinat menghambat hidrolisis trigliserida oleh hormone-
sensitive lipase pada jaringan lemak, sehingga mengurangi transport asam
lemak bebas ke hati dan mengurangi sintesis trigliserida hati. Penurunan
sintesis trigliserida ini akan menyebabkan berkurangnya produksi VLDL
sehingga kadar LDL menurun. Selain itu asam nikotinat juga meningkatkan
aktivitas LPL yang akan menurunkan kadar kilomikron dan trigliserida
VLDL. Kadar HDL meningkat sedikit sampai sedang karena menurunnya
katabolisme Apo AI oleh mekanisme yang belum diketahui. Obat ini tidak
dipengaruhi katabolisme VLDL, sintesis kolesterol total atau ekskresi asam
empedu.
Page 23
28
p. Probukol
Probukol menurunkan kadar kolesterol serum dengan menurunkan
kadar LDL. Obat ini tidak menurunkan kadar trigliserida serum pada
kebanyakan pasien. Kadar HDL menurun lebih banyak daripada kadar LDL
sehingga menimbulkan rasio LDL:HDL yang kurang menguntungkan.
Penyelidikan menunjukkan probukol meningkatkan kecepatan katabolisme
fraksi LDL pada pasien hiperkolesterolemia familia heterozigot dan
homozigot lewat jalur non-reseptor
q. Resin
Resin menurunkan kadar kolesterol dengan cara mengikat asam
empedu dalam saluran cerna, mengganggu sirkulasi enterohepatik sehingga
ekskresi steroid yang bersifat asam dalam tinja meningkat.
2. Obat-obat Kardiovaskular
Jantung merupakan organ yang terletak di dalam rongga dada,
diantara kedua paru yang berfungsi untuk memompa darah ke seluruh bagian
tubuh. Proses ini dinamakan sistem kardiovaskular atau juga dikenal sebagai
sistem peredaran darah. Darah yang beredar dalam sistem kardiovaskular
diangkut keseluruh tubuh. Darah tersebut mengandung sari-sari makanan, sisa
metabolisme tubuh, hormon, dan bahan lainnya yang penting untuk
berlangsungnya fungsi organ pada tubuh manusia (Asikin; dkk, 2016)
a. Obat gagal jantung
Tujuan primer pengobatan gagal jantung adalah mencegah terjadinya
gagal jantung dengan cara mengobati kondisi-kondisi yang menuju terjadinya
gagal jantung, terutama hipertensi dan/atau arteri koroner (Farmakologi dan
Terapi, 2016).
Obat-obatan yang digunakan pada kasus gagal jantung (Farmakologi
dan Terapi, 2016):
1) Penghambat ace: kaptopril, enalapril, lisinopril, ramipril, trandolapril,
kuinapril, fosinopril, perindopril.
2) ARB: Kandesartan, Losartan, Vasaltran.
3) Diuretik: Diuretik Kuat Furosemid, Bumetanid, Torasemid, Tiazid HCT,
Klortalidon, Indapamid, Diuretik Hemat K Amilorid, Triamteren.
Page 24
29
4) Beta-Blocker: Bisoprolol, Metoprolol suksinat CR, Kervedilol.
5) Vasodilator Lain: hidralazin-isosorbid dinitrat, Na nitroprusid, nitrogliserin,
nesiritid.
6) Glikosida jantung: digoksin
7) Inotropik lain: dopamine dan dobutamine, fosfodiesterase.
8) Antitrombotik: warfarin
9) Antiaritmia: Beta-Blocker, Amiodaron
b. Antiaritmia
Farmakoterapi aritmia jantung didasarkan pada pengetahuan tentang
mekanisme, manifestasi klinik dan perjalanan alamiah aritmia yang hendak
diobati dan pengertian yang jernih tentang farmakologi dari obat yang hendak
digunakan.
Obat-obatan yang digunakan pada kasus aritmia :
1) Kelas IA: kuinidin, prokainamid, disopiramid
2) Kelas IB: Lidokain, fenitoin, tokainid, meksiletin
3) Kelas IC: Flekainid, Enkainid, proprafenon
4) Kelas II: propranolol, asebutolol, esmolol
5) Kelas III: bretilium, amiodaron dan sotalol, dofetilid dan ibutilid
6) Kelas IV: Verapamil, Diltiazem
7) Kelas V: digitalis, adenosin dan magnesium
c. Antihipertensi
Obat-obatan yang digunakan pada kasus hipertensi :
1) Diuretik:
a) Diuretik tiazid: hidroklotiazid, klortalidon, indapamid, bendroflumeitazid,
metozalon, metozalon rapid acting, xipamide
b) Diuretik kuat: furosemide, torsemide, bumetanide, as. Etakrinat
c) Diuretik hemat kalium: amiloride, spironolakton, triameteren
2) Penghambat adrenergik
3) Penghambat adrenoreseptor beta
a) Kardioselektif: asebutolol, atenolol, bisoprolol, metoprolol biasa dan lepas
lambat
Page 25
30
b) Nonselektif: alprenolol, karteolol, nadolol, oksprenolol biasa dan lepas
lambat, pindolol, propranolol, timolol, karvedilol, labetalol
4) Penghambat adrenosetor alfa: Prazosin, terazosin, bunazosin, doksazosin
5) Adrenolitik sentral: Metildopa, klonidin, guanfasin, guanabenz, moksinidin,
rilmedin
6) Penghambat saraf adrenergik: reserpine, guanetidin dan guanadrel
7) Penghambat ganglion: trimetafan
8) Vasodilator
Hidralazin, minoksidil, diazoksid, natrium nitroprusid
9) Penghambat system renin angiotensin
a) ACEI: kaptopril, benazepril, enalapril, fosinopril, lisinopril, perindopril,
quinapril, ramipril, trandolapril, imidapril
b) ARB: losartan, valsartan, irbesartan, telmisartan, candesartan
c) Penghambat renin: aliskiren
10) Antagonis kalsium
Nifedipine, nifedipine (long action), amlodipine, felodipine, isradipin,
nicardipine, nicardipine SR, nisoldipin, verapamil, diltiazem, diltiazem SR,
verapamil SR.
d. Antiangina
Obat-obatan yang digunakan pada kasus angina:
1) Nitrat Organik:
a) Kerja singkat: amilnitrat, nitrogliserin, isosorbide dinitrat, eritritil tetranitrat
b) Nitrat kerja lama:
Preparat oral isosorbid dinitrat lepas lambat, isosorbid mononitrat lepas
lambat, nitro gliserin lepas lambat, eritritol tetranitrate, pentaeritritol
tetranitrate.
Preparat salep nitrogliserin
Preparat transdermal nitrogliserin disc/patch
Preparat lepas lambat bukal nitrogliserin
Intravena nitrogliserin
Page 26
31
2) Beta blocker: asebutolol, atenolol, bisoprolol, labetalol, metoprolol, nadolol,
penbutolol, pindolol, propranolol
3) Penghambat kanal ca++: nifedipin, verapamil, diltiazem
4) Trimetazidin
5) Terapi kombinasi: NO dengan beta-blocker, penghambat kanal ca++ dengan
beta-blocker, penghambat kanal kalsium dengan NO, kombinasi penghambat
kanal kalsium, beta-blocker dan NO.
e. Hipolipidemik
Hipolipidemik adalah obat yang digunakan untuk menurunkan kadar
lipid plasma. Menurunkan kadar lipid plasma merupakan salah satu tindakan
yang ditujukan untuk menurunkan risiko penyulit ateroslerosis. Ateroslerosis
adalah suatu penyakit yang ditandai dengan penebalan dan hilangnya
elastisitas diding arteri (Farmakologi dan Terapi, 2016).
Obat-obatan yang digunakan pada kasus hiperlipidemik
1) Asam fibrat: klofibrat, gemfibrozil, fenofibrat, siprofibrat, bezafibrat
2) Resin: colesevelam, kolestiramin, kolestipol
3) Penghambat HMG CoA reductase: lovastatin, mevastatin, simvastatin,
pravastatin, Fluvastatin, atorvastatin, rosuvastatin
4) Asam nikotinat: asiPIMsoks
5) Probucol
6) Penghambat absorpsi kolesterol intestinal: ezetimibe
7) Neomisin sulfat
8) Beta sitosterol
9) Dekstrotiroksin
10) Bekatul
f. Benzodiazepine
Benzodiazepin adalah kelas obat yang bekerja di sistem saraf pusat
dan digunakan untuk berbagai kondisi medis, seperti kecemasan, kejang, dan
untuk penghentian alkohol. Benzodiazepin tampaknya bekerja dengan
menghalangi aktivitas saraf yang berlebihan di otak dan area lain di sistem
saraf pusat. benzodiazepin serupa dalam cara kerjanya di otak tetapi memiliki
potensi dan durasi aksi yang berbeda.
Page 27
32
Benzodiazepin bekerja di sistem saraf pusat, secara selektif
menempati area protein tertentu di otak yang disebut reseptor GABA-A. Ada
tiga jenis reseptor GABA (gamma-aminobutyric) di otak: GABA-A, GABA-
B, dan GABA-C. GABA adalah neurotransmitter penghambat utama di otak
(bahan kimia yang membantu untuk memblokir aksi saraf). GABA membantu
mengatur kontrol gerakan, penglihatan, kegelisahan, dan banyak fungsi otak
lainnya.
Benzodiazepin meningkatkan respons terhadap penghambat
neurotransmitter GABA dengan membuka saluran klorida yang diaktifkan
GABA dan memungkinkan ion klorida memasuki neuron. Tindakan ini
memungkinkan neuron menjadi bermuatan negatif dan resisten terhadap
eksitasi, yang mengarah pada berbagai aktivitas anti-kecemasan, sedatif, atau
anti-kejang yang terlihat dengan obat-obatan ini. lama
(https://www.drugs.com
/article/benzodiazepines.html).
Beberapa benzodiazepin (diazepam, chlordiazepoxide) memiliki
metabolit aktif yang tetap dalam sistem untuk jangka waktu yang lama (long-
acting), dan ini dapat menjadi masalah bagi pasien, terutama pasien yang
lebih tua. Pasien lanjut usia mungkin mengalami kerusakan hati dan kesulitan
menghilangkan obat dari sistem mereka. Efek samping, seperti pusing,
kebingungan, atau kegelisahan dapat bertahan pada lansia yang diresepkan
benzodiazepin kerja lama (https://www.drugs.com/article/benzodiazepines.ht
ml). Pada penelitian Frels C, 2002, menemukan sebanyak 40% pasien
mengalami jatuh yang di akibatkan efek singkat dari benzodiazepine.
F. Polifarmasi
Polifarmasi adalah istilah yang dipakai untuk persiapan obat yang
banyak dan berlainan jenisnya, yang sekaligus diberikan pada seorang pasien.
Istilah ini mengandung pengertian mubazir, berlebihan yang mungkin tidak
diperlukan, dan sebagian dapat dihentikan tanpa mempengaruhi hasil
pengobatannya. Polifarmasi merupakan suatu medical error yang menyangkut
pengobatan karena tidak semua gejala penyakit perlu diberi obat. The rule of
fives ialah suatu peringatan untuk mencegah polifarmasi. Jika pasien
Page 28
33
menerima lebih dari 5 jenis obat yang berlainan, harus segera dikaji ulang
apakah memang semua obat itu sangat diperlukan dan harus dipikirkan
ketaatan dalam minum obat dan kemungkinan timbulnya efek yang tidak
diinginkan (Santoso, dan Ismail; 2009:58-59).
Polifarmasi dapat mengakibatkan interaksi antar obat dan efek
samping obat dan masalah-masalah yang juga berhubungan dengan
obatobatan (drug-related problem=DRP) sehingga dapat mengganggu luaran
klinis. Polifarmasi berkaitan dengan underprescribing, penggunaan medikasi
yang tidak tepat (termasuk duplikasi terapi), dan ketidakpatuhan (Adriane,
Sastramihardja, Ruslami, 2016). Menurut Hussar 2007, salah satu dari tipe
interaksi obat adalah duplikasi, yaitu ketika dua obat yang sama efeknya
diberikan (Bintarizki, 2016:4).
G. Kriteria STOPP START
STOPP (Screening Tool of Older Persons’ potentially inappropriate
Prescriptions) adalah sebuah alat evaluasi obat terbaru yang ditentukan
dengan system yang terdefinisi. Kinerja dari kriteria STOPP digabungkan
dengan kriteria beers dalam mendeteksi PIMs dan ADE pada pasien lansia
yang datang ke rumah sakit (Gallagher, P; et all, 2008:673). Kriteria STOPP
didasarkan pada PIMs yang biasa dijumpai dan terdaftar menurut system
fisiologis, seperti halnya kebanyakan formularium obat. Termasuk 65 contoh
dari PIMs yang lebih umum dan penting mempengaruhi ADEs pada lansia
(Hamilton, H; et all, 2011:1014).
Kriteria STOPP merupakan hasil konsensus 18 ahli farmakoterapi
geriatri, digunakan untuk mereview pengobatan pada kelompok umur lebih
dari 65 tahun dengan melihat risiko dan manfaatnya. Kriteria STOPP adalah
alat untuk mengidentifikasi Potentially Inappropriate Prescriptions (PIP)
sering juga disebut Potentially Inappropriate Medications (PIMs) (Gallagher,
P; et all, 2008:673). Alat ini divalidasi pada pasien berusia 65 tahun ke atas
tetapi masih ada tempat untuk penilaian klinis dalam memutuskan apakah
seseorang sudah “tua” dalam hal efek potensial dari pengobatan (NHS,
2017:6).
Page 29
34
Potentially Inappropriate Medications (PIMs) adalah obat-obat yang
harus dihindari atau dapat digunakan dengan hatihati pada pasien geriatri
yang berusia > 65 tahun (Syuaib; dkk, 2015:79). Obat-obatan yang memiliki
risiko ADEs (Adverse Drug Effects) lebih dari manfaat klinis yang diberikan
kepada lansia dan dapat digantikan dengan alternatif yang lebih baik, disebut
juga Potentially Inappropriate Medications (PIMs) (Holt; et all, 2010:543).
Kriteria STOPP pada pasien kardiovaskular (NHS England, 2017) :
1. Digoksin pada penggunaan jangka panjang dosis > 125 ug/hari jika eGFR
<30ml/min/1.73m2 → meningkatkan risiko toksisitas digoksin jika kadar
plasma tidak diukur
2. Diuretik monoterapi pada penderita hipertensi → terdapat alternative yang
lebih efektif dan aman
3. Diuretik tiazid pada pasien penderita gout → dapat memperburuk kondisi
gout
4. Penghambat beta non-kardioselektif pada penderita asma → resiko
bronkospasma
5. Penggunaan beta blocker dengan verapamil → resiko henti jantung
6. Penggunaan diltiazem atau verapamil pada penderita gagal jantung →
memperburuk kondisi gagal jantung
7. Penggunaan calcium channel blocker pada penderita konstipasi kronik →
memperburuk kondisi konstipasi
8. Penggunaan aspirin bersamaan dengan warfarin tanpa pelindung GI → resiko
perdarahan pada GI
9. Penggunaan dipyridamole pada pasien stroke → tidak terdapat bukti
efikasinya
10. Aspirin pada penderita tukak lambung → resiko perdarahan
11. Aspirin dengan dosis > 150 mg/hari → resiko perdarahan, tidak terdapat bukti
peningkatan efikasi
12. Penggunaan asipirin pada penderita arteri perifer → tidak diindikasikan
13. Penggunaan aspirin untuk mengatasi pusing tidak disebabkan oleh stroke →
tidak diindikasikan
Page 30
35
14. Penggunaan warfarin > 6 bulan pada penderita DVT → tidak terbukti adanya
keuntungan tanmbahan
15. Penggunaan warfarin pada penderita emboli paru → tidak terbukti adanya
keuntungan
Kriteria STOPP pada pasien berisiko jatuh (NHS England, 2017) :
1. Penggunaan benzodiazepine pada pasien yang berisiko jatuh → Sedatif, dapat
menyebabkan berkurangnya sensorium dan gangguan keseimbangan
2. Penggunaan obat neuroleptic pada pasien yang berisiko jatuh → dapat
menyebabkan gait dyspraxia dan Parkinson
3. Penggunaan antihistamin generasi pertama pada pasien yang berisiko jatuh →
sedatif, dapat merusak sensorium
Kriteria STOPP pada duplikasi kelas obat (NHS England, 2017) :
1. Segala duplikasi kelas obat → Optimalisasi monoterapi dalam satu kelas obat
harus diamati sebelum mempertimbangkan kelas obat baru.
Kriteria START pada pasien kardiovaskular (NHS England, 2017) :
1. START antikoagulan pada pasien yang mengalami fibrasi atrial
2. START Aspirin atau clopidogrel pada pasien dengan gangguan vaskuler dan
in sinus rhythm
3. START Antihipertensi pada pasien dengan tekanan darah >160 mmHg
(konsisten)
4. START statin pada pasien dengan gangguan vaskuler, dimana melakukan
aktivitas sehari-hari sendiri, dan memiliki harapan hidup > 5 tahun
5. START Angiotensin Converting Enzym Inhibitor pada pasien dengan gagal
jantung kronik
6. START Angiotensin Converting Enzym Inhibitor diberikan pada pasien
dengan infrak miokardial akut
7. Start Beta Blocker pada pasien dengan angina stable kronik
H. Kejadian PIMs
Potentially Inappropriate Medications (PIMs) adalah obat-obat yang
harus dihindari atau dapat digunakan dengan hatihati pada pasien geriatri
yang berusia >65 tahun (Syuaib; dkk, 2015:79). PIMs dapat didefinisikan
sebagai obat-obat yang berasosiasi dengan peningkatan risiko reaksi obat
Page 31
36
yang tidak dikehendaki, yang harus dihindari pada populasi geriatri
(Abdullah; dkk, 2015:230). Potentially Inapproriate Medications (PIMs)
diasumsikan ketika risiko efek samping melebihi manfaat klinis yang
diharapkan, terutama ketika terapi alternative yang lebih aman atau lebih
efektif tersedia untuk kondisi yang sama. Penggunaan PIMs adalah masalah
utama pada lansia, dan dapat berkontribusi terhadap peningkatan efek
samping obat dan menigkatkan interaksi antara obat dengan obat dan
interaksi antara obat dengan penyakit (Ubeda; et all, 2011:84).
faktor yang mempengaruhi kejadian PIMs (Holmes, 2012:163):
1. Usia
Bahkan jika mayoritas orang dengan polifarmasi berusia kurang dari
70 tahun, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa rata-rata perawat obat
meningkat dengan bertambahnya usia, karena usia adalah salah satu faktor
risiko paling umum untuk polifarmasi berlebihan.
Dengan bertambahnya usia, prevalensi penyakit meningkat,
menghasilkan proporsi yang lebih besar dari obat yang diresepkan. Dalam
seluruh populasi nasional, prevalensi polifarmasi meningkat dari 18,4% pada
kelompok usia 40 hingga 79 tahun, menjadi 75,1% pada 80 hingga 89 tahun,
dan 77,7% pada kelompok usia 90 tahun ke atas. Jumlah rata-rata obat resep
yang dibagikan per individu selama periode studi 12 bulan adalah 7,9 untuk
pasien 70 hingga 79 tahun, 9,3 untuk 80 hingga 89 tahun, dan 9,7 untuk 90
tahun ke atas.
2. Jenis Kelamin
Secara umum, wanita mengonsumsi lebih banyak obat daripada pria,
dengan prevalensi polifarmasi yang lebih tinggi daripada pria. Oleh karena
itu, beberapa penelitian telah mendefinisikan gender sebagai faktor risiko
polifarmasi berlebihan. Dalam kategori usia yang lebih tinggi, risiko relatif
untuk polifarmasi untuk wanita dibandingkan pria tidak sama, dan tidak ada
faktor gender umum untuk orang lansia (geriatri) yang dapat diidentifikasi.
Ketika penelitian di seluruh populasi nasional, risiko relatif untuk perempuan
Page 32
37
dan laki-laki untuk menerima lima atau lebih obat ditemukan 3,1 pada
kelompok usia 20 hingga 29, diikuti oleh penurunan berturut-turut menjadi
1,1 pada kelompok usia 70 tahun ke atas.
3. Jumlah Obat
Akibat banyaknya penyakit pada lansia, maka dalam pengobatannya
memerlukan obat yang beranekaragam dibandingkan dengan orang dewasa.
Selain itu, perlu diketahui bahwa fungsi organ-organ vital tubuh seperti hati
dan ginjal yang berperan dalam mengolah obat-obat yang masuk ke dalam
tubuh telah berkurang. Hal ini menyebabkan kemungkinan besar obat tersebut
akan menumpuk dalam tubuh dan Terjadi keracunan obat dengan segala
komplikasinya jika diberikan dengan dosis yang sama dengan orang dewasa.
Oleh karena itu, dosis obat perlu dikurangi pada lansia (Maryam; dkk,
2008:63).
Jumlah obat yang diresepkan (polifarmasi) adalah faktor prediktor
utama yang berhubungan dengan PIMs pada pasien geriatri dan sesuai dengan
temuan dari beberapa peneliti lain diantaranya Bhavya dan Torgal (2014),
menemukan bahwa polifarmasi adalah faktor prediktor utama yang
berhubungan dengan PIMs. Penelitian yang dilakukan oleh Lima et all, 2013
juga menyimpulkan bahwa polifarmasi berhubungan dengan PIMs (Syuaib;
dkk, 2015:79).
4. Komorbiditas
Komorbiditas adalah suatu keadaan ketika seseorang menderita dua
penyakit atau lebih, dalam waktu yang sama (Joewana, 2005:201). Pasien
lansia memang rentan untuk terjadinya ROTD kerena kompleksnya
pengobatan, tingginya komorbiditas, adanya faktor penuaan yang
berhubungan dengan gangguan metabolisme obat, penurunan cadangan
fisiologi (hati, ginjal dan fungsi kardiovaskular) dan kekurangan gizi
(Wulandari; dkk, 2016:65). Sering pula, penyakit lebih dari satu jenis
(multipatologi), dimana satu sama lain dapat berdiri sendiri maupun saling
berkaitan dan memperberat (Maryam; dkk, 2008:63). Pada penelitian
Page 33
38
Radiyanti 2016 terdapat indeks komordibitas yang lebih tinggi pada pasien
yang mengalami Adverse Drug Events (ADEs) atau efek samping obat.
5. Lama Rawat
Efek samping yang terjadi akibat ketidaktepatan penggunaan obat
dapat terjadi ketika pasien menjalani perawatan di rumah sakit. Efek samping
ini merupakan hal yang tidak terpisahkan dari terapi farmakologis. Faktor
yang berpengaruh untuk terjadinya efek samping ini adalah dosis obat,
frekuensi pemberian obat, genetika pasien, profil farmakokinetika pasien, dan
penurunan fungsi organ pasien (Hidayat; dkk, 2016:2). Lama perawatan juga
dipengaruhi oleh jumlah penggunaan obat yang tidak tepat. Pasien usia lanjut
yang mendapatkan > 2 jenis obat yang tidak tepat memiliki rata-rata LOS 15
hari, sedangkan pasien yang mendapatkan ≤ 2 jenis obat yang tidak tepat
memiliki rata-rata LOS sebanyak 5 hari (Nobili; et all, 2011:12).
I. Evaluasi Pengobatan pada Pasien Geriatri
Evaluasi penggunaan obat merupakan salah satu pelayanan farmasi
untuk mengoptimalisasikan pengobatan pasien, khususnya pada pasien
geriatri. Evaluasi penggunaan obat merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
menguji mutu penggunaan obat agar penggunaannya terjamin ketepatan,
efektivitas, dan keamanannya. Salah satu aspek dalam evaluasi penggunaan
obat adalah optimalisasi penggunan obat. optimalisasi penggunaan obat
bertujuan untuk meningkatkan mutu penggunaan obat, agar efek terapi yang
ditimbulkan lebih tepat.
Salah satu populasi yang harus diperhatikan dalam optimalisasi
penggunaan obatnya adalah pasien lanjut usia (geriatri). Penggunaan obat
pada pasien geriatri memerlukan perhatian khusus. Perubahan fisiologis
banyak terjadi pada pasien geriatric akibat adanya perubahan usia, khususnya
pada organ-organ yang berpengaruh langsung pada obat-obatan seperti hati
dan ginjal, sehingga dapat berdampak pada farmakokinetika dan
farmakodinamika dari obat yang digunakan (Rahma, 2016).
J. Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara Paripurna yang
Page 34
39
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 58 tahun 2014: 1).
Tugas dan fungsi rumah sakit (undang-undang Republik Indonesia
NO: 44 tahun 2009 ; 4,5) :
1. Tugas
Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna.
2. Fungsi
Rumah sakit memiliki fungsi :
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan Sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis
c. Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dan pemberian pelayanan kesehatan
d. Penyelenggaraan penelitian dan pembangunan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan kesehatan.
Page 35
40
Pasien Geriatri dengan
Gangguan Kardiovaskular
Gagal Jantung Aritmia Hipertensi Angina Pektoris Hiperlipidemia
Penatalaksanaan
Kardiovaskular
Terapi farmakologi Terapi nonfarmakologi
Pengobatan
Obat
Kardiovaskular
Obat Gagal Jantung:
1. ACEI: Kaptopril,
Enalapril
2. Antagonis AT2:
Kandesartan, Losartan
3. Diuretik:
a. Kuat: Furosemid,
Bumetanid
b. Tiazid: HCT,
Klortalidon
c. Hemat K: Amilorid,
Triamteren
4. Beta Blocker:
a. Kardioselektif:
Asebutolol, Atenolol
b. Nonselektif:
Alprenolol, Karteolol
5. Vasodilator: Nesiritid,
Nitrogliserin
6. Glikosida jantung:
Digoksin
7. Inotropik: Dopamine,
Dobutamine
8. Antitrombotik:
Warfarin
9. Antiaritmia:
Amiodaron
Antiaritmia:
1. Kelas IA:
Kuinidin,
Prokainamid
2. Kelas IB:
Lidokain, Fenitoin
3. Kelas IC:
Flekainid,
Enkainid
4. Kelas II:
Propanolol,
Asebutolol
5. Kelas III:
Bretilium,
Amiodaron
6. Kelas IV:
Verapamil,
Diltiazem
7. Kelas V: Digitalis,
Adenosin
Antihipertensi:
1. Diuretik:
a. Kuat: Furosemid,
Bumetanid
b. Tiazid: HCT,
Klortalidon
c. Hemat K: Amilorid,
Triamteren
2. Beta Blocker:
a. Kardioselektif:
Asebutolol, Atenolol
b. Nonselektif:
Alprenolol, Karteolol
3. Alfa Blocker:
Prazosin, Terazosin
4. Adrenolitik Sentral:
Metildopa, Klonidin
5. Vasodilator:
Hidralazin,
Minoksidil
6. ACEI: Kaptopril,
Lisinopril
7. ARB: Losartan,
Kandesartan
8. Penghambat kanal
kalsium: Nifedipin,
Amlodipine
Antiangina:
1. Nitrat organik
2. Beta Blocker:
a. Kardioselektif:
Asebutolol,
Atenolol
b. Nonselektif:
Alprenolol,
Karteolol
3. Penghambat Kanal
Kalsium: nifedipin,
Amlodipine
4. Trimetazidin
5. Terapi Kombinasi:
NO dengan Beta-
blocker, CCB
dengan NO
Hipolipidemik:
1. Asam Fibrat: Klorfibrat,
Fenofibrat
2. Resin: Kolestipol,
Kolestiramin
3. Penghambat HMG CoA
Reductase: Lovastatin,
Simvastatin
4. Asam Nikotinat:
AsiPIMsoks
5. Probucol
6. Penghambat Absorbsi
Kolesterol Intestinal:
ezetimibe
Kondisi Khusus pada
Pasien Geriatri:
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Jumlah Obat
4. Komobiditas
5. Lama Rawat
Kriteria
STOPP
K. Kerangka Teori
Sumber: NHS England, 2017; Gunawan, 2016
Gambar 2.1 Kerangka Teori.
Page 36
41
L. Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Penggunaan Obat
Kardiovaskular pada
Pasien Geriatri Rawat
Inap Berdasarkan
Kriteria STOPP
1. Penggunaan obat kardiovaskular
berdasarkan kondisi Khusus Pasien Geriatri
(usia, jenis kelamin, jumlah obat, komorbid,
lama rawat).
2. Penggunaan obat kardiovaskular
berdasarkan kriteria STOPP (Screening Tool
of Older Persons Prescription)
Page 37
42
M. Definisi Operasional
Tabel 2.1 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1.
2.
3.
Karakteristik Sosio-
Demografi
a. Usia
b. Jenis Kelamin
Karakteristik Klinis
c. Jumlah Obat
d. Komorbid
e. Lama Rawat
PIMS (Potentially
Innapropriate
Medications)
Usia responden yang
dihitung dari tahun
saat penelitian
dikurangi tahun lahir
responden
(Masturoh dan
Anggita, 2018:115)
Identitas gender
pasien
Jumlah obat yang
diberikan selama
rawat inap
suatu keadaan ketika
seseorang menderita
dua penyakit atau
lebih, dalam waktu
yang sama
(Joewana, 2005:201)
Lama hari pasien
melakuan
pengobatan.
obat-obat yang harus
dihindari atau dapat
digunakan dengan
hatihati pada pasien
geriatri yang berusia
(Syuaib; dkk,
2015:79)
Observasi
dokumen
Rekam
Medik
Observasi
dokumen
Rekam
Medik
Observasi
dokumen
Rekam
Medik
Observasi
dokumen
Rekam
Medik
Observasi
dokumen
Rekam
Medik
Observasi
dokumen
Rekam
Medik
Form
Pengumpulan
Data
Form
Pengumpulan
Data
Form
Pengumpulan
Data
Form
Pengumpulan
Data
Form
Pengumpulan
Data
Kriteria
STOPP
1 = 65-69
2 = 70-79
3 = > 80
(BPS, 2013)
1 = Perempuan
2 = Laki-laki
1 = < 5
2 = > 5
1 = Tidak Ada
2 = Ada
1 = < 5 Hari
2 = > 5 Hari
1 = Tidak Ada
2 = Ada
Interval
Nominal
Nominal
Nominal
Nominal
Nominal