5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipertensi 2.1.1. Definisi Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi (Triyanto, 2015) Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan peningkatan risiko kejadian kardiovaskuler, serebrovaskuler dan renovaskuler (Tedjasukmana, 2012) 2.1.2. Epidemiologi Berdasarkan data WHO pada tahun 2014 terdapat sekitar 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia (Hafiz et al, 2016). Menurut American Heart Association (AHA), penduduk Amerika berusia diatas 20 tahun yang menderita hipertensi sudah mencapai 74,5 juta jiwa dan hampir sekitar 90-95% kasus tidak diketahui penyebabnya. Di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sebanyak 36% orang dewasa menderita hipertensi dan penyakit ini telah membunuh 1,5 juta orang setiap tahunnya (Mutmainah et al, 2016).Prevalensi hipertensi di Indonesia pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8%. Sebagian besar (63,2%) kasus hipertensi di masyarakat tidak terdiagnosis. Hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki. (RISKESDAS, 2013). WHO memperkirakan pada 2025 mendatang, diproyeksikan sekitar 29% warga dunia terkena hipertensi ( Mutmainah et al, 2016)
37
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/56203/2/BAB II.pdf · 2019. 11. 20. · 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipertensi 2.1.1. Definisi Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipertensi
2.1.1. Definisi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan
tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada
pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama
yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi (Triyanto, 2015) Peningkatan
tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten) dapat
menimbulkan peningkatan risiko kejadian kardiovaskuler, serebrovaskuler dan
renovaskuler (Tedjasukmana, 2012)
2.1.2. Epidemiologi
Berdasarkan data WHO pada tahun 2014 terdapat sekitar 600 juta penderita
hipertensi di seluruh dunia (Hafiz et al, 2016). Menurut American Heart Association
(AHA), penduduk Amerika berusia diatas 20 tahun yang menderita hipertensi sudah
mencapai 74,5 juta jiwa dan hampir sekitar 90-95% kasus tidak diketahui
penyebabnya. Di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sebanyak 36% orang
dewasa menderita hipertensi dan penyakit ini telah membunuh 1,5 juta orang setiap
tahunnya (Mutmainah et al, 2016).Prevalensi hipertensi di Indonesia pada umur ≥18
tahun sebesar 25,8%. Sebagian besar (63,2%) kasus hipertensi di masyarakat tidak
terdiagnosis. Hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki.
(RISKESDAS, 2013). WHO memperkirakan pada 2025 mendatang, diproyeksikan
sekitar 29% warga dunia terkena hipertensi ( Mutmainah et al, 2016)
6
2.1.3. Klasifikasi
Seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik ≥
140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang
berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar
penentuan diagnosis hipertensi. Pembagian derajat keparahan hipertensi pada
seseorang merupakan salah satu dasar penentuan dari tatalaksana hipertensi.
(Weber, et al., 2014)
Klasifikasi Tekanan
Darah
Tekanan Darah
Sistolik
(mmHg)
Tekanan Darah
Diastolik
(mmHg)
Optimal
Normal
Normal tinggi
Hipertensi derajat 1
Hipertensi derajat 2
Hipertensi derajat 3
Hipertensi sistolik
terisolasi
<120
120-129
130-139
140-159
160- 179
>180
> 140
<80
80-84
85-89
90-99
100-109
>110
>90
(PERKI, 2015) Gambar 2. 1
Klasifikasi tekanan darah menurut PERKI
Selain itu terdapat klasifikasi dari hipertensi krisis. Hipertensi krisis
merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular yang sering dijumpai di
instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis ditandai dengan peningkatan tekanan darah
akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi
dari peningkatan darah tersebut. Hal ini merupakan komplikasi yang sering terjadi
7
dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang
mengancam jiwa. 20% pasien hipertensi yang datang ke Unit Gawat Darurat (UGD)
adalah pasien dengan hipertensi krisis. Data di Amerika Serikat menunjukkan dari
seluruh total penduduk 30% diantaranya menderita hipertensi dan 1%-2%
diantaranya akan berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ.
Terdapat 2 macam krisis hipertensi yaitu hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi. (Devicaesaria, 2014). Kerusakan organ target yang dimaksud antara lain
adalah ensefalopati hipertensif, infark miokard akut, gagal jantung kiri disertai
edema paru, diseksi aneurisma aorta, dan eklamsia. Klasifikasi ini berdampak pada
tata laksana pasien (Lubis, 2013).
Hipertensi emergensi (darurat) adalah peningkatan tekanan darah sistolik
>180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ
target. Hipertensi emergensi harus ditangani secepat mungkin dalam satu jam
dengan memberikan obat-obatan anti-hipertensi intravena. Hipertensi urgensi
(mendesak) adalah peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik >
120 mmHg secara mendadak tetapi tidak disertai kerusakan organ target. Pada
hpertensi emergensi tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan
memberikan obat-obatan anti-hipertensi oral. (Devicaesaria, 2014)
2.1.4. Etiologi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi digolongkan menjadi dua yaitu hipertensi
primer (esensial atau idiopatik) dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial yaitu
hipertensi yang terjadi pada sekitar 90% kasus dan kausa atau penyebabnya tidak
8
diketahui (idiopatik). Hipertensi esensial terjadi pada seseorang yang memiliki
kecenderungan genetik yang kuat yang dapat dipercepat atau diperburuk oleh
beberapa faktor seperti obesitas, stress, merokok maupun kebiasaan
makan.(Sherwood, 2016) Pada 70-80% kasus hipertensi esensial, didapatkan
riwayat hipertensi di dalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan
padakedua orang tua, maka kemungkinan hipertensi esensial lebih
besar.(Situmorang, 2015)
Obesitas merupakan faktor risiko dari hipertensi yang dapat dikendalikan.
Sebanyak 70% kasus baru penyakit hipertensi adalah orang dewasa yang berat
badannya sedang bertambah. Saat berat badan seseorang bertambah, volume darah
juga akan bertambah, sehingga beban jantung untuk memompah darah juga semakin
berat. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu produksi insulin, apabila berat badan
bertambah, terdapat kecenderungan pengeluaran insulin yang bertambah, dengan
bertambahnya insulin, penyerapan natrium dalam ginjal akan berkurang. Kemudian
akan terjadi retensi cairan dalam tubuh yang menyebabkan peningkatan tekanan
darah. Hubungan stress dengan hipertensi melalui aktivitas saraf simpatis, dalam
kondisi stress adrenalin akan dilepas dalam aliran darah, sehingga menyebabkan
kenaikan tekanan darah. (Situmorang, 2015)
Pola makan yang kurang baik juga dapat menyebabkan hipertensi seperti
asupan garam yang berlebihan sehingga menyebabkan retensi cairan serta diet yang
kurang mengandung buah, sayuran dan produk susu yaitu rendah kalium dan
kalsium. Kalium yang banyak terdapat pada buah dan sayur dapat menurunkan
tekanan darah dengan merelaksasi arteri. Selain dari itu terdapat kemungkinan
9
etiologi hipertensi esensial yang sedang diteliti seperti gangguan penanganan garam
oleh ginjal,kelainan membran plasma, kelainan pada NO, endotelin dan bahan kimia
vasoaktif lain yang bekerja lokal, serta kelebihan vasopressin (Sherwood, 2016).
Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang hanya dapat ditemukan pada 10%
kasus dan memiliki kausa atau penyebab yang jelas.Contoh dari kausa hipertensi
sekunder adalah feokromositoma yaitu tumor medula adrenal yang mengeluarkan
epinefrin dan noepinefrin secara berlebihan sehingga dapat terjadi peningkatan curh
jantung dan vasokonstriksi yang dapat menyebabkan hipertensi. Selain itu dapat
pula disebabkan oleh pembuluh darah yang menyempit pada arteri renalis misalnya
karena aterosklerosis. Pada keadaan ini ginjal kekurangan aliran darah sehingga
merespon dengan mengaktifkan jalur renin-angiotensin-aldosteron yang akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah. (Sherwood, 2016)
2.1.5. Patofisiologi
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total resistensi perifer.
Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang tidak
terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh memiliki
sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah yang disebabkan oleh
gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas tekanan darah dalam jangka
panjang. Sistem pengaturan tekanan darah adalah sistem yang sangat kompleks.
Pengaturan dimulai dari sistem reaksi cepat seperti reflex kardiovaskuler melalui
sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal
dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos. Sedangkan sistem pengendalian reaksi
10
lambat melalui perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial
yang dikontrol oleh hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan
sistem poten dan berlangsung dalam jangka panjang yang dipertahankan oleh sistem
pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ. (Nuraini B, 2015)
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang
peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung
angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin
(diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE, angiotensin
I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan utama
dalam menaikkan tekanan darah melalui dua cara utama. Cara pertama adalah
meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi
di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur
osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang
diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan
ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya,
volume darah meningkat yang pada akhirnya akan berefek meningkatkan tekanan
darah. Cara kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal.
Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi
NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi
NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan
11
ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
Sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun
(Nuraini B, 2015)
2.1.6. Sistem Renin Angiotensin
Renin disintesis di ginjal sebagai bentuk tidak aktif dan dilepaskan ke
sirkulasi sebagai respon terhadap natrium intratubular yang rendah, hipotensi pada
arteriol aferen pada glomerulus ginjal, dan aktivasi simpatis. Dalam aliran darah pro-
renin diaktifkan oleh mekanisme proteolitik dan non-proteolitik untuk menghasilkan
bentuk aktif. Renin yang aktif mengubah glikoprotein angiotensinogen menjadi
angiotensin I. Angiotensin I diubah oleh angiotensin-converting enzyme (ACE)
untuk menghasilkan angiotensin II (Durango, et al., 2016).
Angiotensin II menyebabkan oksidase NADPH di dalam pembuluh
darah,ginjal dan otak, yang menyebabkan peningkatan ROS,seperti O2- dan H2O2
(Sousa et al,2012). Superoxide (O2-) adalah komponen mayor yang menyebabkan
degradasi NO. Superoxide bereaksi dengan NO dan membentuk Peroxynitrite dan
Peroxynitrite bereaksi dengan NO residu. Proses ini akan berlanjut kemudian akan
menyebabkan pengurangan pada jumlah NO (Leung,2012). Hidrogen peroksida
(H2O2) dapat menyebabkan penurunan aktivasi dari Protein Kinase B (Akt/PKB)
dan endothelial NO synthase(e-NOS) protein sehingga menginhibisi pembentukan
Nitric Oxide (NO) yang merupakan vasodilator, hal ini menyebabkan vasokonstriksi
serta peningkatan tekanan perifer sehingga menyebabkan hipertensi.(Xiao, et al.,
2015 dan Jang, et al., 2015).
2.1.7. Gejala klinis
12
Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri kepala saat terjaga yang
kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan tekanan darah
intrakranial, penglihatan kabur akibat kerusakan retina, ayunan langkah tidak
mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia (peningkatan urinasi pada malam
hari) karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen
akibat peningkatan tekanan kapiler. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat
menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai
paralisis sementara pada satu sisi atau hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan.
Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga
berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang kunang (Corwin
EJ, 2009)
2.1.8. Komplikasi
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung,
gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Mortalitas
pada pasien hipertensi lebih cepat jika hipertensinya tidak terkontrol dan telah terjadi
komplikasi ke beberapa organ vital. Komplikasi yang terjadi pada hipertensi dapat
mengenai mata, ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina,
gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan
yang sering ditemukan pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard.
Pada otak sering terjadi stroke dimana terjadi perdarahan yang disebabkan oleh
pecahnya mikroaneurisma yang dapat mengakibakan kematian. Kelainan lain yang
dapat terjadi adalah proses tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara
(Transient Ischemic Attack/TIA). Gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi
13
hipertensi yang lama. Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa
penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari
kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain
adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif. Penelitian lain
juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam
berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan
pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β (TGF-
β). Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan oleh
hipertensi. Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intra kranial yang meninggi,
atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan
tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang
mendarahi otak mengalami hipertropi atau penebalan, sehingga aliran darah ke
daerah-daerah yang diperdarahinya akan berkurang. Arteri-arteri di otak yang
mengalami arterosklerosis melemah sehingga meningkatkan kemungkinan
terbentuknya aneurisma. Ensefalopati juga dapat terjadi terutama pada hipertensi
maligna atau hipertensi dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan
tersebut menyebabkan peningkatan tekanan kapiler, sehingga mendorong cairan
masuk ke dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf pusat. Hal tersebut
menyebabkan neuron-neuron di sekitarnya kolap dan terjadi koma bahkan kematian.
Kardiovaskular Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner mengalami
arterosklerosis atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah yang
melalui pembuluh darah tersebut, sehingga miokardium tidak mendapatkan suplai
14
oksigen yang cukup. Kebutuhan oksigen miokardium yang tidak terpenuhi
menyebabkan terjadinya iskemia jantung, yang pada akhirnya dapat menjadi infark.
Ginjal Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus
akan mengakibatkan darah mengalir ke unitunit fungsional ginjal, sehingga nefron
akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal. Kerusakan
membran glomerulus juga akan menyebabkan protein keluar melalui urin sehingga
sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotik koloid plasma yang
berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi kronik. Retinopati Tekanan
darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah pada retina.
Makin tinggi tekanan darah dan makin lama hipertensi tersebut berlangsung, maka
makin berat pula kerusakan yang dapat ditimbulkan. Kelainan lain pada retina yang
terjadi akibat tekanan darah yang tinggi adalah iskemik optik neuropati atau
kerusakan pada saraf mata akibat aliran darah yang buruk, oklusi arteri dan vena
retina akibat penyumbatan aliran darah pada arteri dan vena retina. Penderita
retinopati hipertensif pada awalnya tidak menunjukkan gejala, yang pada akhirnya
dapat menjadi kebutaan pada stadium akhir. Kerusakan yang lebih parah pada mata
terjadi pada kondisi hipertensi maligna, di mana tekanan darah meningkat secara
tiba-tiba. Manifestasi klinis akibat hipertensi maligna juga terjadi secara mendadak,
antara lain nyeri kepala, kehilangan penglihatan secara tiba tiba (Nuraini B, 2015)
2.1.9. Terapi
Pada pasien dengan menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko
kardiovaskular lain, makastrategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap
15
awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu
tersebut,tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan ataudidapatkan
faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkanuntuk memulai terapi
farmakologi.(Soenarta, et al., 2015)
Setiap penurunan berat badan 10 kg dapat mengurangi tekanan darah sistolik
5-20 mmHg. Direkomendasikan ukuran pinggang kurang dari 94 cm untuk pria dan
kurang dari 80 cm untuk wanita dan indeks massa tubuh (IMT) kurang dari 25
kg/m2. Penurunan berat badan diraih dengan mengurangi asupan kalori dan
meningkatkan aktivitas fisik.
1. Mengkonsumsi makanan rendah garam. Konsumsi garam harian (sodium
klorida) < 6 g/ hari ( 100 mmol sodium/hari) dapat menurunkan tekanan darah
sistolik sebanyak 2-8 mmHg.
2. Aktivitas fisik intensitas sedang setiap hari dapat menurunkan tekanan darah
sistolik 4-9 mmHg.
3. Membatasi konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-4
mmHg, maksimum 2 minuman standar/ hari: 1 oz atau 30 ml ethanoluntuk pria
dan 1 minuman standar/hari untuk wanita
4. Berhenti merokok untuk mengurangi resiko kardiovaskular.(Muhadi, 2016)
Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII
yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis, beta
blocker, calcium chanel blocker atau calcium antagonist, Angiotensin Converting
Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor