16 BAB II SASTRA JAWA, DAKWAH ISLAM DAN PENGARUH ISLAM DALAM SASTRA JAWA 2.1. Perkembangan Islam di Jawa Ada berbagai pandangan di kalangan para sejarawan, mengenai kedatangan Islam ke Indonesia. Diantaranya menyebutkan bahwa Islam masuk Jawa bukan dari Timur Tengah, akan tetapi dari India dan Islam seperti inilah yang telah disaring melalui pengalaman agama dan India yang bernuansa mistis dan mendapatkan dasarnya yang sudah dipersiapkan dengan baik dan telah dipengaruhi oleh agama Hindu (HJ. Benda, 1980: 31). Senada dengan pendapat tersebut Geertz (1981: 170) menyatakan bahwa Islam di Jawa datang dari India yang dibawa oleh para pedagang. Karena cita rasa Timur Tengah telah ditumpulkan dan dibelokkan ke dalam mistik India, maka hanya manghasilkan kekontrasan pada campuran antara Hinduisme, Budhisme dan animisme yang mempesona orang Indonesia (baca: Jawa). Pendapat lain engatakan bahwa penyebaran Islam dilakukan oleh pedagang Melayu yang dibantu oleh orang- orang Asia Barat dan Cina yang beragang di Jawa (MT. Arifin, 1987: 31-32). Selain itu, dikatakan pula oleh Amin Budiman (1979: 10) bahwa pada tahun 1426 M, Ma Huan (seorang angkatan perang Cina yang beragama Islam) ikut dalam rombongan Laksamana Muhammad Cheng Ho ke Majapahit telah memberikan laporan bahwa kota-kota pelabuhan terbesar di majapahit telah ada
34
Embed
BAB II SASTRA JAWA, DAKWAH ISLAM DAN PENGARUH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/15/jtptiain-gdl-s1... · pada hakikatnya tumbuh dan berkembang dari tradisi lisan, yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
16
BAB II
SASTRA JAWA, DAKWAH ISLAM DAN PENGARUH ISLAM DALAM
SASTRA JAWA
2.1. Perkembangan Islam di Jawa
Ada berbagai pandangan di kalangan para sejarawan, mengenai
kedatangan Islam ke Indonesia. Diantaranya menyebutkan bahwa Islam masuk
Jawa bukan dari Timur Tengah, akan tetapi dari India dan Islam seperti inilah
yang telah disaring melalui pengalaman agama dan India yang bernuansa mistis
dan mendapatkan dasarnya yang sudah dipersiapkan dengan baik dan telah
dipengaruhi oleh agama Hindu (HJ. Benda, 1980: 31). Senada dengan pendapat
tersebut Geertz (1981: 170) menyatakan bahwa Islam di Jawa datang dari India
yang dibawa oleh para pedagang. Karena cita rasa Timur Tengah telah
ditumpulkan dan dibelokkan ke dalam mistik India, maka hanya manghasilkan
kekontrasan pada campuran antara Hinduisme, Budhisme dan animisme yang
mempesona orang Indonesia (baca: Jawa). Pendapat lain engatakan bahwa
penyebaran Islam dilakukan oleh pedagang Melayu yang dibantu oleh orang-
orang Asia Barat dan Cina yang beragang di Jawa (MT. Arifin, 1987: 31-32).
Selain itu, dikatakan pula oleh Amin Budiman (1979: 10) bahwa pada tahun
1426 M, Ma Huan (seorang angkatan perang Cina yang beragama Islam) ikut
dalam rombongan Laksamana Muhammad Cheng Ho ke Majapahit telah
memberikan laporan bahwa kota-kota pelabuhan terbesar di majapahit telah ada
17
orang Islam, yakni orang Cina dan Arab, sedangkan penduduk asli Jawa masih
menyembah hantu.
Sementara itu, Sulaeman al-Siraati menyatakan bahwa Islam dibawa oleh
pedagang-pedagang Arab ke Jawa (al-Habib Alwi bin Thahir al-Hadad, 1995:
48). Hal ini diperkuat oleh Van der Berg yang menjelaskan bahwa hasil nyata
dalam penyiaran Islam adalah orang-orang yang bergelar sayyid-syarif dan
dengan perantara mereka inilah agama Islam tersiar kepada raja-raja Hindu
Jawa dan lainnya (al-Habib Alwi bin Thahir al-Hadad, 1995: 52).
Sedangkan mengenai proses masuknya Islam ke Jawa, Prabowo (2003:
13) melihat ada dua kemungkinan, yaitu (1) penduduk pribumi berhubungan
dengan pedagang-pedagang yang beragama Islam dan kemudian menganutnya,
(2) orang-orang asing Asia yang telah masuk Islam datang dan bertempat
tinggal secara permanen di Jawa dengan melakukan perkawinan percampuran.
Namun begitu ada sebuah benang merah yang bisa dipegang dari
beberapa teori tentang masuknya Islam ke Jawa, yakni bahwa agama Islam di
Jawa telah sempurna pada abad ke-16 M seiring dengan berdirinya kerajaan
Islam Demak (Ridin Sofwan dalam Anasom (ed.), 2004: 3).
Kedatangan Islam, sebagai suatu sistem nilai, jelaslah hal yang baru
ketika itu. Sebelum itu, masyarakat Jawa (Nusantara) menganut agama Hindu
dan Buddha, di samping nilai-nilai budaya asli. Sesuai dengan kondisi
lingkungan dan struktur sosialnya, ajaran Islam itu lebih cepat tumbuh dan
terintegrasi di masyarakat pesisiran. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh dan
18
berdiri Kerajaan Demak, maka pertumbuhan Islam semakin terasa hegemonik.
Hal ini, selain faktor historis karena adanya peran para wali penganjur Islam,
karena posisi Demak memang terletak di kawasan pesisiran. Namun kemudian,
ketika hegemoni Demak mulai surut dan pusat kekuasaan mulai bergeser ke
selatan, maka mau tidak mau Islam harus berbagi kembali dengan nilai-nilai
lama (Hindu, Buddha dan nilai-nilai lokal lainnya) yang masih dianut oleh
masyarakat daratan (pedalaman) di Jawa.
Di tengah situasi yang demikian ini, penguasa baru di kerajaan-kerajaan
Islam pasca-Demak, khususnya Mataram Islam, tentu tetap memandang perlu
membangun integrasi wilayahnya. Posisinya yang berada di pedalaman, mau
tidak mau membuat Mataram Islam harus mulai menghitung kekuatan-kekuatan
lokal masyarakat pedalaman, basis utama penyangga kekuasaannya. Namun
demikian, kekuatan pesisiran yang kental dengan corak Islamnya tidak boleh
diabaikan begitu saja. Dari sinilah, upaya pencarian titik temu antara Islam dan
Jawa mulai digalakkan. Strategi budaya untuk membangun pertemuan nilai itu
di antaranya lewat "subversi" nilai melalui karya sastra.
Salah satu hasil proses Islamisasi di Jawa yang cukup penting adalah
lahirnya unsur tradisi keagamaan Santri dalam kehidupan sosio-kultural
masyarakat Jawa. Tradisi keagamaan Santri ini bersama dengan unsur
Pesantren dan Kyai telah menjadi inti terbentuknya Tradisi Besar (Great
Tradition) Islam di Jawa, yang pada hakekatnya merupakan hasil akulturasi
antara Islam dan tradisi pra-Islam di Jawa. Selain itu, Islamisasi di Jawa juga
19
telah melahirkan sebuah tradisi besar Kraton Islam-Jawa, yang menjadikan
keduanya, yaitu tradisi Santri dan tradisi Kraton, sebagai bagian (subkultur)
yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa.
H.J.Benda, menyebutkan bahwa proses Islamisasi di Jawa telah
melahirkan peradaban santri (santri civilization), yang besar pengaruhnya
terhadap kehidupan agama, masyarakat dan politik (H.J.Benda, 1983:12-14).
Sementara Clifford Geertz memandang kehadiran Islam di Jawa telah
menyebabkan terbentuknya varian sosio-kultural masyarakat Islam di Jawa
yang disebut Santri, yang berbeda dengan tradisi sosio-kultural lainnya, yaitu
Abangan dan Priyayi (Clifford Geertz, 1976: 5-6; 121-226). Tradisi
sosiokultural Santri ditandai dengan wujud perilaku ketaatan para
pendukungnya dalam menjalankan ibadah agama Islam yang sesuai dengan
ajaran syari'at agama, sementara tradisi Abangan, ditandai dengan orientasi
kehidupan sosio-kultural yang berakar pada tradisi mistisisme pra-Hindu, dan
tradisi Priyayi lebih ditandai dengan orientasi kehidupan yang berakar pada
tradisi aristokrasi Hindu-Jawa (Clifford Geertz, 1976: 5-6; 121-226).
Baik Geertz (1976), Benda (1983) maupun para ahli Islam di Jawa
lainnya, sependapat bahwa tradisi Santri dan kepemimpinan Kyai atau ulama
merupakan unsur kebudayaan Islam-Jawa yang memiliki pengaruh besar
terhadap dinamika kehidupan agama, sosial dan politik dalam masyarakat Jawa
dan Indonesia. Kecenderungan ini berlangsung secara berkelanjutan dari masa
tradisional sampai dengan masa kononial dan masa Indonesia merdeka. Tidak
20
lain, karena tradisi Santri dan Kyahi, bukan hanya menjadi segmen sosial-
kultural, melainkan juga menjadi basis kekuatan sosial dan politik. Dari
perspektif historis dapat ditunjukkan bahwa tradisi Santri secara berkelanjutan
telah menjadi basis kekuatan sosial politik pada masa awal pendirian kerajaan
Demak, Cirebon dan Banten di daerah pesisir utara Jawa dan pada masa
kerajaan Mataram Islam di daerah pedalaman Jawa.
Pada masa kolonial abad ke-19, yaitu setelah kerajaan-kerajaan Islam
runtuh, tradisisi besar Santri menjadi basis kekuatan sosial politik masyarakat
pedesaan dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda. Demikian pula halnya
pada periode kelahiran nasionalisme di Indonesia, tradisi besar Santri kembali
menjadi basis kekuatan sosial politik bagi berdirinya organisasi pergerakan
nasional seperti SDI, SI, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Partai Sarekat
Islam Indonesia, dan Masyumi (Dawam Rahardjo, 1974).
2.2. Perkembangan Sastra Jawa
2.2.1. Jenis Sastra Jawa
Perkembangan Sastra Jawa dapat diketahui dan dikenali melalui
dua sumber, yaitu sumber tertulis dan sumber lisan. Sastra tulis sendiri
pada hakikatnya tumbuh dan berkembang dari tradisi lisan, yang
merupakan bagian terpenting dalam awal pertumbuhan Sastra Jawa pada
masa pra-Islam (Hindu-Budha). Masuknya Hindu dan Budha ke Jawa
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan Sastra
21
Jawa Sansekerta, berdampingan dengan tradisi lisan dalam kebudayaan
Jawa (Herry Mardianto dan Harwi Mardianto, 1996: i).
Pada masa itu sastra tulis tumbuh dan berkembang hanya di
lingkungan Keraton dan kaum Brahmana. Sedangkan sastra lisan
sebagai tradisi kerakyatan otentik tumbuh dan berkembang di kalangan
rakyat. Sastra tulis merekam karya sastra dalam bentuk naskah atau
sebuah buku, sedangkan sastra lisan merekam dalam penghayatan. Dari
pelbagai naskah itu kita akan jumpai naskah yang berupa Babad, Serat-
serat, sastra pewayangan, sastra suluk (Herry Mardianto dan Harwi
Mardianto, 1996: 1). Babad umumnya berisi tentang sejarah kerajaan
atau tokohnya, Serat berisi tentang ajaran ajaran atau piwulang atau
kisah dalam dunia pewayangan, khususnya pada kisah Mahabrata dan
Ramayana, suluk berisi ajaran mengenai hubungan antara manusia
dengan Tuhan Yang Maha Esa, ajaran moral dan lain-lain.
2.2.2. Periode Perkembangan Sastra Jawa
2.2.2.1. Sastra Jawa Kuna
Periode awal pertumbuhan sastra Jawa, khususnya
sastra tulis sangat dipengaruhi oleh sastra Hindu dan budaya
India. Hal ini terlihat dalam karya Sastra Jawa kakawin dan
kitab-kitab parwa. Dari segi bahasa pun banyak karya sastra
yang menggunakan bahasa sansekerta. Kitab-kitab Hindu
banyak yang menjadi sumber rujukan bagi pengarang Jawa,
22
teruma dua kitab yang paling masyhur yaitu, kitab Ramayana
dan Mahabarata. Bahkan ada yang berpendapat bahwa
munculnya Sastra Jawa adalah bersamaan dengan sejak
lahirnya kitab Ramayana Kakawin pada abad ke-9
(Sitanggang, dkk., 1996: 14).
Seiring dengan proses perkembangan Sastra Jawa tulis,
Sastra Jawa lisan juga mewarnai perkembangan Sastra Jawa
Kuna. Pengaruh-pengaruh Hindu-Budha diolah oleh nilai-nilai
asli yang dihayati dari tradisi masyarakat Jawa pada waktu itu
(Sitanggang, dkk., 1996: 14). Sastra Jawa Kuna identik dengan
sastra keraton. Para pujangganya pun hanya berasal dari
kalangan keraton. Periode ini sering disebut sebagai zaman
Renaisans Jawa I, yang berlangsung antara abad 8 – 15, yakni
Jawa Budha dan Jawa Hindu (Linus Suryadi, 1995: 5).
Para pujangga pada zaman ini antara lain; Empu Sedah,
Penyebaran agama Islam di Jawa harus berhadapan dengan dua jenis
budaya kejawen, yaitu budaya istana yang telah canggih dalam mengolah
unsur-unsur Hindu dan budaya pedesaan yang hidup dalam tradisi animisme-
dinamisme. Dalam perjalanan sejarah, ternyata budaya istana sulit menerima
agama baru ini dan hal tersebut membuat para penyebar agama Islam
menekankan kegiatannya pada lingkungan pedesaan (Simuh dalam Anashom
(ed.), 2004: 32). Di sini Islam sebagai agama telah menempatkan fungsi sosial
yang berorientasi ke lapisan bawah. Islam telah hadir dengan menawarkan
30
kehidupan sosial yang memberikan rasa egalitarianisme bagi setiap orang
(Syafi’i Ma’arif dalam Amien Rais (ed.), 1994: 178-179).
Dalam perkembangan selanjutnya, penyebaran agama Islam di Jawa
semakin menarik banyak simpati masyarakat bawah yang dibuktikan dengan
bertambahnya pemeluk yang kemudian membentuk komunitas dengan struktur
sosial yang baru, yakni struktur sosial yang ditegakkan atas dasar persamaan
yang berhadapan dengan struktur berlapis-lapis. Dari struktur ini, orang Jawa
yang telah beragama Islam menjadi kelompok sendiri yang dikenal dengan
istilah santri. Kelompok santri ini kemudian membangun komunitas religius
yang berpusat di masjid. Dengan munculnya komunitas santri ini kemudian
berimplikasi pada tersebarnya kitab-kitab yang berbahasa Arab. Dari sini
muncullah kebudayaan intelektual pesantren yang menjadi saingan tradisi
istana. Dalam tradisi baru ini kemudian muncul kiyai yang sangat dihormati dan
dikeramatkan oleh masyarakat hingga akhirnya diantara mereka ada yang
menjadi kesultanan, antara lain Demak dalam Surabaya (Simuh dalam
Anashom (ed.), 2004: 33).
Interaksi antara tradisi santri dan tradisi istana ini kemudian berkembang
dalam tataran pengenalan nilai-nilai luhur pesantren kepada komunitas priyayi
Jawa (baca: Istana) dan ini menjadi awal penyadapan para priyayi Jawa
terhadap nilai-nilai budaya Islam pesantren. Konsekwensi yang muncul dari
proses penyadapan ini adalah lahirnya naskah-naskah Jawa yang mengungkap
ajaran Islam (Simuh dalam Anashom (ed.), 2004: 35).
31
Interkasi dua budaya ini mulai jelas terlihat setelah berdirinya kerajaan
Demak yang berhasil melahirkan dua jenis sastra, yaitu Sastra Jawa Pesantren
dan Sastra Islam Kejawen. Dalam Sastra Jawa Pesantren, bahasa dan sastra
Jawa dijadikan media untuk memperkenalkan ajaran Islam sehingga unsur
agama menjadi inti ajaran. Sedangkan dalam Sastra Islam Kejawen, unsur Islam
disadap oleh sastrawan jawa untuk mengembangkan, memperkaya dan meng-
Islam-kan warisan Sastra Jawa Hindu (Simuh dalam Anashom (ed.), 2004: 37).
Lebih jauh, Sri Suhandjati (Anashom (ed.), 2004: 122) melihat bahwa
dalam tataran lebih lanjut, antara budaya Islam dan Jawa ini saling berhubungan
diantara keduanya, sastra keraton bersumber pada sastra pesantren dan sastra
pesantren dapat berkembang karena adanya dukungan dari pihak keraton. Oleh
karenanya, sebagian pujangga keraton Surakarta adalah santri yang menjadi
pujangga.
Kebudayaan Jawa pada masa Pra-Hindu Budha, belum dikenal secara
luas dan pasti, tetapi dapat disimpulkan bahwa pada masa itu kehidupan
masyarakat Jawa masih sangat sederhana. Sistem religi animisme-dinamisme
merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan
masyarakat Jawa waktu itu. Di samping itu, masyarakat Jawa pada masa itu di
tandai oleh kuatnya solidaritas dan hubungan pertalian darah. Salah satu
contohnya adalah pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang, yang
kemudian menimbulkan penyembahan terhadap nenek moyang (Simuh, 2002:
114).
32
Setelah masuknya Hindu-Budha ke Jawa, maka terjadilah akulturasi dan
kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan
kebudayaan India untuk memperbaharui dan mengembangkan kebudayaan
Jawa. Cerita Ajisaka, menggambarkan keberhasilan cendekiawan Jawa dalam
mengubah huruf Hindu menjadi huruf Jawa, serta dijadikannya tahun Saka
untuk mencacat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Penyalinan Kitab Ramayana
dan Mahabarata dari bahasa Sansekerta ke dalam Bahasa Jawa Kuno, juga
merupakan bukti pengembangan di bidang tata tulis yang membawa
pertumbuhan di bidang kepustakaan Jawa (Simuh, 2002: 119).
Pada jaman Majapahit muncul pula karya sastra piwulang yang berisi
ajaran tentang norma kelakuan individu dalam masyarakat. Misalnya kitab
Nitisastra dan Dharmasunya. Munculnya kitab sastra piwulang ini juga
merupakan salah satu pembaharuan di bidang sastra Jawa. Pandangan
masyarakat telah bergeser, bukan lagi terpusat pada individu sebagai elemen
“jagad gedhe”, melainkan individu secara mandiri telah dihargai sebagai “jagad
cilik”. Ajaran moral yang tercantum dalam kedua kitab diatas pada dasarnya
menuntun individu agar bertanggungjawab atas jagad ciliknya sendiri.
Setelah Islam masuk, muncullah kitab suluk, kitab yang berisi ajaran
tentang tuntunan bersatunya seorang mahluk dengan Tuhannya. Berbeda
dengan pandangan Jawa Hindu, seseorang hanya bisa berhubungan dengan
Tuhan, kalau dia itu pendeta, raja dan pujangga. Mereka inilah yang dapat
bersatu dengan dewa. Sedangkan kitab-kitab suluk mengajarkan seseorang
33
dapat berhubungan dengan Tuhannya tanpa perantara, dan ini berarti suatu
penghargaan individu yang sangat tinggi.
Pada jaman Islam ini, disamping kitab-kitab suluk muncul pula kitab-
kitab yang berciri mitologi Islam seperti kitab Kejajahan, kitab Menak, kitab
Rengganis dan kitab Ambiya. Karya-karya sastra jaman Hindu-Budha terdesak
ke belakang. Lahir pula karya sastra piwulang, seperti serat Nitisruti, serat
Nitipraja, dan serat Sewaka, yang ketiganya berisi petunjuk cara mengabdi
kepada raja dan cara memerintah.
Kedatangan Islam ke Indonesia, khususnya ke jawa membawa perubahan
yang besar dalam pandangan manusia terhadap hidup dan dunianya. Bahkan
Islam telah mengenalkan dasar-dasar pemikiran modern, seperti konsep waktu
yang bersifat linier (hari ini, kemarin, dan esok) suatu progresif yang bergerak
ke depan dan juga memperkenalkan Mekkah sebagai pusat ruang yang
mendorong berkembangnya kebudayaan pesisiran dan membudayakan peta
geografis (Simuh, 2002: 126).
Karakteristik kebudayaan Jawa pada zaman Islam, baik zaman Demak,
Pajang, maupun Mataram, masih tetap mempertahankan tradisi hindu-Budha
dan Animisme-dinamisme, tetapi telah diperkaya dan dimasukkan unsur-unsur
Islam. Kepercayaan akan suratan nasib atau kodrat alam (takdir Tuhan) dan
ramalan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Jawa masa itu. Ini terkait
dengan falsafah mistik yang mempercayai adanya orang-orang pilihan (Para
Wali Allah) yang mampu menyingkap rahasia alam gaib dan mengetahui
34
sesuatu yang akan terjadi, yang dalam bahasa jawa disebut waskitha (Simuh,
2002: 134).
Ciri lain dari kebudayaan Jawa yang tampak menonjol adalah sangat
bersifat teokratis. Pengkeramatan raja sebagai pembawa esensi kedewataan di
dunia adalah salah satu bukti sifat teokratis. Cerita legenda dalam Ramayana
dan Mahabarata memang dimanfaatkan oleh sastrawan jawa untuk
menanamkan konsep raja binathara (raja titising dewa). Konsep ini menuntut
ketaatan rakyat kepada raja baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Maka
dalam konsep budaya jawa tradisional, otonomi adalah hak mutlak raja. Karena
di dalam diri Raja terpadu derajat kependetaan (raja-pinandhita) dan derajat
ketuhanan (raja-binathara). Rakyat hanyalah budak raja dan kaum priyayi
(Simuh, 2002: 139).
Pada zaman Islam, yakni sesudah zaman kerajaan Mataram, muncul
bentuk otonomi manusia yang dipengaruhi oleh ajaran tasawuf, yakni ajaran
tentang insan kamil (manusia yang sempurna) yang dalam konteks mistik
kejawen diungkapkan melalui konsep manunggaling kawula-gusti (union-
mistik), yakni kebebasan manusia yang mutlak seperti kemutlakan Tuhan.
Tetapi otonomi manusia di sini tidak berkaitan dengan orientasi pemikiran
ilmiah dan kemampuan manusia untuk menguasai alam serta membebaskan diri
dari segala bentuk ikatan.
Menurut Clifford Geertz, ajaran mistik di Jawa merupakan metafisika
terapan, yang berisi serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan
35
batin yang didasarkan pada analisa intelektual dan pengalaman empiris
(Purwadi, 2003: 239). Pengalaman spiritual adalah pengalaman yang sangat
unik dan sangat individual sifatnya, sehingga kaidah-kaidah yang paling
dogmatispun tak akan mampu memberikan hasil yang sama bagi individu yang
berbeda. Perjalanan spiritual adalah proses panjang sebagai upaya manusia
untuk pencapaian tataran-kahanan (strata, maqom) pembebasan, yaitu
kemerdekaan untuk menjadi merdeka (freedom to be free) dari segala bentuk
keterikatan dan kemelekatan serta kepemilikan yang membelenggu, baik yang
bersifat jasmani maupun rohani, seperti dijalani oleh para penuntun spiritual
dimasa lampau.
Tujuan pencarian mistik dan sekaligus tujuan keagamaan orang jawa
adalah pengetahuan tentang rasa tertinggi. Untuk mencapai keadaan mistik
seseorang harus ngesti. Ngesti berarti menyatakan semua kekuatan individu dan
mengarahkannya langsung kepada suatu tujuan tunggal, memusatkan
kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang khusus. Hal ini
meupakan penggalian mental secara terus menerus dalam pencarian pengertian
yang didukung oleh kehendak yang tak tertahankan dan suatu penggabungan ke
dalam satu keseluruhan sederhana dariberbagai kekuatan dalam individu. Di
sini, semua indera, emosi bahkan seluruh proses fisik tubuh, semuanya dibawa
ke dalam satu kesatuan dan dipusatkan kepada tujuan tunggal (Clifford Geertz,
1981:. 430).
Berkaitan dengan pengalaman mistik, Niels Mulder mengatakan bahwa
36
jika manusia tunduk kepada Tuhan dan setia mempraktekkan mistik dengan
kepercayaan yang penuh, harmoni dan menyatu dengan tujuan kosmos, akan
menimbulkan kondisi-kondisi moral dan material bermanfaat di dunia ini.
Masyarakat menjadi teratur, adil dan makmur serta menunjukkan hubungan
yang harmonis dengan alam adikodrati (Niels Mulder, 1984: 15).
2.4. Dakwah
2.4.1. Pengertian Dakwah
Dilihat secara etimologis, kata “dakwah” berarti panggilan,
seruan, atau ajakan. Kata dakwah merupakan isim masdar, yang berasal
dari fi’il (kata kerja) “da’a, yad’u, da’watan yang berarti memanggil,
mengajak, atau menyeru (Asmuni Syukir, 1983: 17). Sedangkan orang
yang melakukan seruan atau ajakan disebut da’i (orang yang menyeru).
Sedangkan secara terminologis (menurut istilah), dakwah
mengandung beberapa arti yang beraneka ragam, banyak para ahli
dakwah memberikan pengertian atau definisi terhadap istilah dakwah.
Menurut Prof. Toha Yahya Umar, MA., dakwah memiliki maksud
mengajak manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan yang benar
sesuai dengan perintah Tuhan Allah untuk kemaslahatan dan
kebahagiaan mereka di dunia dan juga di akhirat (Hafi Anshari, 1993:
10).
Sedangkan Prof. K. H. Abdul Kahar Muzakkir berpendapat
bahwa dakwah adalah tugas suci atas tiap-tiap muslim di mana dan
37
bilamana ia berada di dunia ini, yaitu menyeru dan menyampaikan
Agama Islam kepada masyarakat dan kewajiban tersebut untuk selama-
lamanya (Hafi Anshari, 1993: 10).
Prof. H.M. Arifin M. Ed. (1993: 6.), memberikan pengertian
“dakwah” sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan,
tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan
terencana dalam usaha mempengaruhi orang lain, baik secara individu
maupun kelompok supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian,
kesadaran dan sikap penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran
agama sebagai message yang disampaikan kepadanya dengan tanpa
adanya unsur-unsur paksaan.
Menurut Syeikh Ali Makhfuz, dakwah adalah mendorong
manusia agar berbuat kebaikan dan menurut petunjuk, menyeru mereka
berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar agar
mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat (Abd. Rosyad
Shaleh, 1977: 8).
Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan di atas, maka
dapat dirumuskan bahwa pengertian dakwah adalah suatu usaha
manusia secara sadar dalam rangka menyampaikan nilai-nilai ajaran
Islam secara lisan maupun tulisan sebagai realisasi amar ma’ruf nahi
munkar untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
38
Sebagai proses penyampaian ajaran Islam, dakwah agaknya
mempunyai persamaan dengan proses komunikasi, baik dilihat dari segi
proses maupun komponennya. Oleh karena proses memanggil atau
menyeru tersebut juga merupakan suatu proses penyampaian (tablîgh)
atas pesan-pesan tertentu, maka dikenal pula istilah Muballigh yaitu
orang yang dikenal sebagai komunikator untuk menyampaikan pesan
(message) kepada pihak komunikan (Toto Tasmara, 1997: 31).
Dari segi bahasa, tabligh berasal dari kata ballagha, yang berarti
‘menyampaikan’, yakni menyampaikan seruan atau ajaran Allah kepada
manusia. Dengan demikian dakwah dan tabligh merupakan suatu proses
penyampaian pesan-pesan tertentu yang berupa ajakan atau seruan
dengan tujuan agar orang lain mengikuti ajakan tersebut.
Berdasarkan telaah kesejarahan terhadap dakwah dan perjuangan
Nabi Muhammad saw. di masa permulaan penyebaran agama Islam,
Asghar Ali Engineer menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad adalah
seorang revolusioner, baik dalam ucapan maupun dalam tindakan dan
beliau berjuang untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal
dalam struktur masyarakat. Oleh karena itu, dengan berpijak pada
pemikiran seperti ini, Asghar Ali memberikan kualifikasi tentang
seorang dâ’i yang harus mempunyai 94 kualifikasi yang kemudian
diringkas menjadi empat kelompok, yaitu: kualifikasi pendidikan,
kualifikasi administratif, kualifikasi moral dan teritorial, dan yang
39
terakhir adalah kualifikasi keluarga dan kepribadian (Djohan Effendi
(ed.), 1993: Vii.). Dari keempat kualifikasi tersebut dapat penulis
simpulkan bahwa esensi dakwah Islam adalah upaya penyadaran
terhadap ketertindasan dan melawan kezaliman.
2.4.2. Dasar Hukum Dakwah
Dakwah hukumnya adalah wajib dengan dasar-dasar yang
termaktub dalam firman Allah dan Hadits Nabi. Allah berfirman dalam
al-Qur’an:
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. an-Nahl : 125) (Departemen Agama RI., 1989: 94.)
Kata ud’û (عاد) yang diterjemahkan “ajakan, seruan”
berkedudukan sebagai fi’il amr (perintah); dalam terminologi ush al-
fiqh, setiap fi’il amr adalah perintah dan setiap perintah adalah wajib
yang harus dilaksanakan selama tidak ada dalil lain yang
memalingkannya dari kewajiban itu kepada sunnah atau hukum lain.
Para ‘ulamâ berbeda pendapat dalam memandang konteks dakwah,
yaitu, mengenai siapa yang mendapatkan kewajiban tersebut. Perbedaan
tersebut bermula dari perbedaan dalam menafsirkan kata “min kum”
(ãäßã ) dalam surat Ali Imran ayat 104 (Aminuddin Sanwar, 1985: 34-
40
35.). ‘Ulamâ’ kelompok pertama menafsirkan “min kum” dengan “li al-
tabyîn” atau “li al-bayanah”, maksudnya, “menerangkan”, sehingga
merujuk pada fardhu ‘ain—kewajiban yang harus dijalani setiap
muslim(ah).
Melaksanakan dakwah Islam dalam hadits ini berarti kewajiban
pribadi setiap muslim mukallaf, menurut kemampuan dan kesanggupan
masing-masing—sesuai kondisi, situasi, dedikasi, dan profesi masing-
masing adalah wajib (mengikat) bagi segenap umat Islam yang
mukallaf—siapapun, di tempat manapun, dan pada saat apapun.
Kelompok pendapat kedua menafsirkan kata كممن dengan li al-
tab’îd atau sebagian, sehingga, merujuk kepada hukum fardhu kifâyah
(kewajiban kolektif).
Sedang pendapat kedua, menyandarkan pendapatnya kepada
firman Allah surat âli ‘Imrân ayat 110, yaitu:
مرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون باللهكنتم خير أمة أخرجت للناس تأ
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah”.
Perbedaan kedua kelompok pendapat tersebut tetap mengerucut
pada kesepakatan bahwa kegiatan berdakwah adalah wajib. Alwi Shihab
(1998: 252.) mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memandang
setiap penganutnya sebagai dâ’i bagi dirinya sendiri dan orang lain.
41
Karena Islam tidak menganut adanya hirarki relegius, maka setiap
muslim bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri di hadapan Allah.
Namun demikian karena ajaran agama Islam bersifat universal dan
ditujukan pada seluruh manusia, kaum muslim memiliki kewajiban
untuk memastikan bahwa ajarannya sampai kepada seluruh manusia
sepanjang sejarah.
Pertumbuhan Islam sendiri tidak bisa dilepaskan dari usaha
dakwah. Keindahan dan kesesuaian Islam dengan perkembangan zaman
baik dalam sejarah maupun praktiknya, sangat ditentukan oleh kegiatan
dakwah yang dilakukan umatnya (Didin Hafidhuddin, 1998: 20.).
Dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan, atau usaha
mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik
terhadap pribadi maupun masyarakat. Perwujudan dakwah bukan
sekedar usaha peningkatan pemahaman keagamaan dalam tingkah laku
dan pandangan hidup saja. Tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas
(Quraisy Shihab, 1996: 194.). Untuk itu kebenaran inilah yang harus
disebarkan kepada masyarakat dengan sikap dan pandangan yang
bijaksana, nasehat yang indah dan argumentasi yang kukuh (Amin Rais,
1992: 24.).
Dâ’i adalah setiap muslim laki-laki dan wanita yang sudah baligh
dan berakal, baik ulama maupun bukan ulama. Karena kewajiban
dakwah adalah kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang Islam.
42
2.4.3. Tujuan Dakwah
Sebenarnya tujuan utama dan tertinggi dari usaha dakwah hanya
semata-mata mengharap dan mencari ridla Allah swt. Sedangkan secara
materiil arah tujuan usaha dakwah antara lain (Hafi Anshari, 1993:
hlm.142):
a. Menyadarkan manusia akan arti hidup yang sebenarnya (Q. S. al-
Anfal: 24).
b. Mengeluarkan manusia dari kegelapan/kesesatan menuju ke alam
yang terang benderang di bawah sinar petunjuk Ilahi (Q.S. Ibrahim:
1).
2.4.4. Materi dan Media Dakwah
a. Materi Dakwah
Tema sentral dakwah adalah Dinul Islam (Said Bin Ali al-
Qahtalani, 1994: 94.). Maka yang menjadi materi dakwah adalah
seluruh ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah
Rasul, sedang pengembangannya kemudian akan mencakup seluruh
kultur Islam yang murni yang bersumber dari kedua sumber pokok
ajaran Islam itu (Syafa’at Habib, 1982: 94).
Menurut Asmuni Syukir (1983: 60.), materi dakwah dapat
diklasifikasikan menjadi tiga hal yaitu:
43
1. Masalah Aqidah
Akidah Islam sebagai sistem kepercayaan yang berpokok
pangkal atas kepercayaan dan keyakinan. yang sungguh-sungguh
akan keesaan Allah swt., akidah ini meliputi hal-hal yang
diimani dan hal-hal yang dilarang. Sedangkan hal-hal yang
diimani itu ada enam, dimana rukun yang pertama adalah iman
kepada Allah yang merupakan pokok dari rukun iman yang lain.
Sedang masalah yang dilarang antara lain syirik, ingkar dengan
adanya Tuhan dan lain-lain.
2. Masalah Syari’ah
Syari’ah dalam ajaran Islam adalah berhubungan erat
dengan amal lahir (nyata) dalam rangka mentaati semua
peraturan atau hukum Allah guna mengatur pergaulan hidup
antar manusia. Materi dakwah di bidang syari’ah ini meliputi
berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut antara lain (Drs.
Aminuddin Sanwar, 1985: 76):
- Ibadah, ibadah di sini adalah amal perbuatan yang
dilaksanakan menurut pedoman ilahi. Masalah ini mencakup
segala amal perbuatan yang mendekatkan hamba kepada
Tuhannya, dan juga memberi kesan membersihkan jiwa
44
seseorang hamba dari persoalan duniawi dan mendorong
jiwa untuk meningkatkan ke arah kesempurnaan menurut
tuntutan Allah.
- Hukum mengenai ekonomi, meliputi; jual beli, perburuhan,
gadai pertanian, dan lain-lain.
- Masalah hukum pidana, meliputi; masalah-masalah qisas,
ta’zir, dan lain-lain.
- Hukum tata negara, meliputi; masalah ghanimah, perang,
perjanjian dengan negara lain dan masalah lainnya.
- Al-Ahwalus Syakhsiyah, yang terkait dengan masalah
hukum waris, pernikahan nasab dan semua persoalan yang
lainnya.
3. Masalah Akhlak (budi pekerti), Akhlak di sini sebagai
penyempurna dari ke-Islaman.
Materi yang demikian luas sudah tentu memerlukan
pemilihan yang cermat, di samping perlunya diperhatikan situasi
dan kondisi kemasyarakatan yang ada. Materi yang sudah
dikemas sedemikian rupa akan tidak berarti jika disampaikan
dengan rencana yang tidak matang. Untuk itu persoalan lain
yang dirasa sangat vital untuk menyampaikan materi dakwah
adalah media.
b. Media Dakwah
45
Media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat
dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah
ditentukan. Pada prinsipnya media yang dipergunakan dalam
pelaksanaan dakwah ada dua macam, yaitu: media lisan dan media
tulisan. Menurut Asmuni Syukir (1983: 163), media dakwah
merupakan segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat
untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan.
Dakwah sebagai suatu kegiatan keagamaan dihadapkan
kepada perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi. Artinya,
dakwah dituntut agar dikemas dengan terapan media komunikasi
sesuai dengan mad'u yang dihadapi. Dakwah yang menggunakan
media komunikasi lebih efektif dan efisien (Bahri Ghazali, 1997:
33).
Menurut Bahri Ghazali (1997: 34-43), ada beberapa media
komunikasi yang dapat digunakan dalam kegiatan dakwah, yaitu:
1. Media Visual, yaitu alat komunikasi yang dapat digunakan
dengan memanfaatkan indra penglihatan dalam menangkap data.
Media visual ini meliputi Film slide, Overhead Projector (OHP),
gambar, foto dan komputer.
2. Media Additive, merupakan alat komunikasi yang dapat
digunakan dengan memanfaatkan indera pendengaran. Media
jenis ini meliputi radio, tape recorder, telegram dan telepon.
46
3. Media Audio Visual, media ini dapat diakses dengan
menggunakan media indra penglihatan dan pendengaran. Contoh
dari media ini adalah film, televisi, dan media cetak (buku,
koran, majalah dan surat kabar).
Asmuni Syukir (1983: 166) memberikan beberapa prinsip
yang harus diperhatikan dalam rangka menentukan media dakwah
yang tepat dalam suatu aktifitas dakwah. Prinsip-prinsip tersebut
adalah (a) Tidak ada suatu media pun yang paling baik, (b) Media
yang dipilih sesuai dengan tujuan dakwah yang hendak dicapai, (c)
Media yang dipilih sesuai dengan sifat materi dakwah, (d) Media
yang dipilih sesuai dengan kemampuan sasaran dakwah, (e)
Pemilihan media dakwah hendaknya dilakukan sesuai dengan cara
yang objektif dan (f) Efektifitas dan efisiensi harus diperhatikan.
Dari beberapa media dakwah di atas, media yang efektif
adalah media yang dapat diterima oleh semua pihak, baik oleh dâ’i
maupun mad’u. oleh karena itu pemilihan suatu media harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi di mana kegiatan dakwah
berlangsung.
2.5. Sastra Sebagai Materi Dakwah
Islam adalah agama dakwah, yakni agama yang memerintahkan
umatnya untuk menyiarkan dan menyebarkan Islam kepada seluruh umat
manusia (Abd. Rosyad Shaleh, 1977: 1). Hakekat dakwah adalah menyeru,
47
mempengaruhi dan mengajak manusia untuk mengikuti (menjalankan) ideologi
(pengajaknya). Sedangkan pengajak (da’i) sudah barang tentu memiliki tujuan
yang hendak dicapainya. Agar proses dakwah dapat mencapai tujuan yang
efektif dan efisien, da’i harus mengorganisir komponen-komponen dakwah
secara baik dan tepat (Asmuni Syukir, 1983: 165.). Salah satu komponen
tersebut adalah materi dakwah.
Materi merupakan salah satu komponen vital dalam komunikasi
dakwah, sehingga termasuk dalam suatu sistem yang sudah barang tentu ada
keterkaitan dengan komponen sistem lainnya. Maka dalam hal ini materi
dakwah mempunyai peran dan kedudukan yang sama dengan komponen
lainnya. Apalagi dalam penentuan strategi dakwah, pemilihan materi yang akan
disampaikan merupakan suatu hal yang sangat penting. Hal ini karena objek
dakwah (mad’u) terdiri dari berbagai macam perbedaan, seperti berbeda dalam
kemampuan, kehendak, sifat, kebudayaan, ideologi, filsafat dan lain
sebagainya.
Mengingat beragamnya perbedaan kemampuan, sifat, kebudayaan, dan
ideologi sasaran dakwah, maka juru dakwah harus lebih jeli dalam memberikan
materi yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi mad’u. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi misalnya, telah menimbulkan pergeseran dalam
masyarakat, baik pola pikir, sikap maupun tingkah laku. Oleh sebab itu di dunia
yang semakin kompleks ini, perlu diupayakan media-media alternatif dalam
berdakwah, salah saatunya adalah melalui karya sastra.
48
Di tengah beragamnya perbedaan kemampuan sasaran dakwah, menurut
hemat penulis, sastra sebagai wahana penuangan ide dan gagasan
pengarangnya, diharapkan tampil memperkaya materi dakwah. Hal ini sangat
memungkinkan karena sastra mempunyai kedudukan yang penting dalam
masyarakat. Kehadiran sastra tidak pernah dapat dilepaskan dari relasinya
dengan habitat tekstual masyarakat tempat seorang pengarang hidup, disamping
keterkaitan tekstual sastra dengan sejarah perjalanan konvensi dan tradisi sastra
itu sendiri (Agus R. Sarjono, 2001: 27).
Teks sastra dari sudut pandang teori komunikasi, mempunyai tiga
lapisan komunikasi yang dapat dikenali, yaitu; berkenaan dengan hubungan
komunikasi antara pengarang, teks, dan pembaca; adanya komunikasi antara
narator dan pembaca implisit (implied reader, menunjuk pada peran pembaca
dalam teks); dan hubungan komunikasi timbal balik antar-pelaku dalam teks
(Rien T. Segers, 2000: 15.). Dalam konteks ini teks sastra dilihat sebagai suatu
pesan yang dicerna (decoded) oleh pembaca (Receiver) dan dikirim (encoded)
oleh pengirim (sender).
Suatu karya sastra, ditulis orang bukan semata-mata merupakan suatu
karya yang dikhayal-khayalkan belaka. Tetapi di dalamnya ada pertaruhan
nilai-nilai, juga analisis terhadap suatu masalah. Dengan demikian maka jelas
hal-hal yang bersifat intelektual bisa juga ditemukan dalam karya sastra.
Bahkan banyak karya sastra yang bersifat religius sebagaimana diungkapkan
oleh Danarto bahwa tak sedikit karya sastra yang berangkat dari Hadits Nabi
49
dan ayat-ayat al-Qur’an. Jadi nilai spiritualitas di dalam karya sastra selalu
bermuara pada agama, atau nilai-nilai tradisi.
Dalam konteks Jawa, salah satu media yang digunakan oleh walisongo
untuk berdakwah adalah kesenian, baik berupa seni wayang kulit, seni suara,
maupun seni ukir. Karena cara ini merupakan sebagian cara yang bijaksana
dalam pendekatan dan menarik simpati rakyat Jawa dalam memperkenalkan
ajaran Islam (Nur Amin Fattah, 1984: 51). Kesenian ini sangat terkait dengan
sastra, karena sastra adalah suatu karya seni. Seorang dalang dalam wayang
dianggap oleh penonton sebagai seorang ahli seni sastra. Dan cerita wayang
sendiri bersumber dari karya sastra klasik, meskipun telah direnovasi oleh
Sunan Kalijaga.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa dalam karya sastra terdapat
proses komunikasi (penyampaian pesan), sang pengarang kepada masyarakat
sebagai pembacanya. Oleh karena itu sastra dapat dijadikan sebagai materi
dakwah, sebab sastra mengandung pesan-pesan atau nilai-nilai yang dapat