2.1. DEFINISI Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik
yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit,
sistem saraf perifer, namun dapat juga terjadi sistem pernapasan
bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan testis dan
sendi-sendi.1
2.2 ETIOLOGI Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman
ini bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara
in vitro , berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 8 m x 0,5
m, bersifat tahan asam dan alkohol2. Kuman ini memunyai afinitas
terhadap makrofag dn sel Schwann, replikasi yang lambat di sel
Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang
menyebabkan reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan
di perineurium, dapat ditemukan iskemia, fibrosis, dan kematian
akson.3 Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu
27C 30C, tidak dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit
dan sistem saraf kutan Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih
dingin (kulit, sistem saraf perifer,hidung, cuping telinga,
anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan
tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis
tengah punggung.1
Gambar 2.1 Mycobacterium leprae
(http://www.who.int/lep/microbiology/en/index.html)
2.3. EPIDEMIOLOGI Insiden rate penyakit kusta meningkat sesuai
umur dengan puncaknya terjadi pada umur 10 20 tahun dan kemudian
menurun.Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umurnya dan
puncaknya pada umur 30 50 tahun dan kemudian perlahan lahan
menurun.Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas
yang berbeda beda. Diantara 11 negara penyumbang penderita kusta di
dunia, Indonesia menduduki urutan ke 4. Penyebaran penyakit kusta
dari suatu tempat di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.Di seluruh
dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita
kusta.India adalah negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti
oleh Brasil dan Myanmar.Pada 1999, insidensi penyakit kusta di
dunia diperkirakan 640.000, pada 2000, 738.284 kasus ditemukan.Pada
1999, 108 kasus terjadi di Amerika Serikat.Pada 2000, WHO membuat
daftar 91 negara yang endemik kusta.70% kasus dunia terdapat di
India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di
seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta
dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan
Nepal.
Gambar 2.2 Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003.Situasi
kusta di Sulawesi Utara pada tahun 2006 ditinjau dari beberapa
indikator menunjukkan keadaan sebagai berikut : angka penemuan
penderita baru (case detection rate/CDR) 20,3 per 100.000 penduduk,
angka prevalensi 2,2 per 10.000 penduduk, angka cacat tingkat II
4,7 %, dan angka penderita anak < 15 tahun adalah 7,8%.Kelompok
berisikoKelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang
tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat
tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang
buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat
menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali
lebih tinggi dari wanita.Situasi globalSebagaimana yang dlaporkan
oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di
Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal
tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada tahun
sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan
lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya
fakta bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun
yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi terdaftar.
Penemuan secara globa terhadap kasus baru menunjukkan
penurunan.
Tabel 2.1 Prevalensi pada awal 2006, dan tren penemuan kasus
baru pada 2001-2005, tidak termasuk di Eropa.
DaerahPrevalensi terdaftar(rate/10,000 pop.)Kasus baru yang
ditemukan pada tahun
Awal 200620012002200320042005
Afrika40.830 (0.56)39.61248.24847.00646.91842.814
Amerika32.904 (0.39)42.83039.93952.43552.66241.780
Asia Tenggara133.422
(0.81)668.658520.632405.147298.603201.635
Mediterania Timur4.024 (0.09)4.7584.6653.9403.3923.133
Pasifik Barat8.646 (0.05)7.4047.1546.1906.2167.137
Total219.826763.262620.638514.718407.791296.499
Total112.09260.00153.19280.70781.28967.614
Tabel 2.2 Prevalensi dan PenemuanNegaraPrevalensi
terdaftar(rate/10,000 pop.)Penemuan kasus baru(rate/100,000
pop.)
Awal 2004Awal 2005Awal 2006Selama 2003Selama 2004Selama 2005
Brasil79.908 (4.6)30.693 (1.7)27.313 (1.5)49.206 (28.6)49.384
(26.9)38.410 (20.6)
Republik Demokratik Kongo6.891 (1.3)10.530 (1.9)9.785 (1.7)7.165
(13.5)11.781 (21.1)10.737 (18.7)
Madagaskar5.514 (3.4)4.610 (2.5)2.094 (1.1)5.104 (31.1)3.710
(20.5)2.709 (14.6)
Mozambik6.810 (3.4)4.692 (2.4)4.889 (2.5)5.907 (29.4)4.266
(22.0)5.371 (27.1)
Nepal7.549 (3.1)4.699 (1.8)4.921 (1.8)8.046 (32.9)6.958
(26.2)6.150 (22.7)
Tanzania5.420 (1.6)4.777 (1.3)4.190 (1.1)5.279 (15.4)5.190
(13.8)4.237 (11.1)
Total112.09260.00153.19280.70781.28967.614
2.4 KLASIFIKASIMenurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu
pausi basiler (indeterminate dan tuberculoid) dan multi basiler
(borderline dan lepromatous).
Tabel 2.3 Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO (Kosasih, 2010)PB
(Pausibasilar)MB (Multibasilar)
Lesi kulit (makula yang datar, papul yang meninggi, infiltrate,
plak eritem, nocus)1-5 lesiHipopigmentasi/eritemaDistribusi tidak
simetris>5 lesiDistribusi lebih simetris
Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf yang terkenaHilangnya sensasi yang
jelasHanya satu cabang sarafHilangnya sensasi kurang jelasBanyak
cabang saraf
BTANegatifPositif
TipeIndeterminate (I), Tuberkuloid (T), Borderline tuberkuloid
(BT)Lepromatosa (LL), Borderline lepromatous (BL), Mid borderline
(BB)
Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta
dibagi menjadi : a. Indeterminate leprosy(I) : makula
hipopigmentasi, terkadang makula eritema. Kehilangan rasa sensoris
belum ada. Sekitar 75% penderita mengalami kesembuhan spontan,
sedangkan pada yang lainnya akan tetap pada bentuk ini sampai
ketika imunitas menurun, maka akan berubah menjadi bentuk yang lain
(Lewis, 2010).b. Tuberculoid leprosy(TT): lesi kulit minimal.
Biasanya hanya berupa satu plak eritem dengan bagian tepi yang
meninggi. Predileksi pada wajah, ekstremitas, intertriginosa, dan
kepala. Lesi kering, skuama, hipohidrotik, dan tanpa rambut. Pada
bentuk ini, lesi pada kulit sudah mengalami anestesi (Lewis, 2010).
c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe
tuberculoid, namun lesi lebih kecil dan banyak. Berupa makula
anestesi atau plak yang disertai lesi satelit di pinggirnya.
Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama tidak jelas.
Saraf tidak terlalu membesar dan tidak terlalu menyebabkan alopesia
dibandingkan tipe tuberculoid.Bentuk ini biasanya bertahan/tetap,
namun dapat kembali pada tipe tuberkuloid atau progresif menuju
bentuk lepromatosa (Lewis, 2010).d. Borderline borderline
leprosy(BB) : tipe yang paling tidak stabil, disebut juga dimorfik
dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak
ireguler. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun
distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched outyaitu hipopigmentasi
yang oval pada bagian tengah. Distribusi menyerupai bentuk
lepromatosa, namun asimetris. Dapat terjadi adenopati regional
(Lewis, 2010).e. Borderline lepromatous leprosy(BL): lesi banyak
dan terdiri atas makula, papula, plak dan nodul. Terdapat lesi
punched-out annular. Anestesi tidak terjadi (Lewis, 2010).f.
Lepromatous leprosy(LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula
kecil, difus dan simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini,
saraf tidak menebal, dan hidrotik. Hilangnya rangsang saraf lambat
dan progresif(Lewis, 2010).
Tabel 2.4 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta
PBKarakteristikTuberkuloid (TT)Borderline Tuberkuloid
(BT)Indeterminate (I)
Lesi
BentukMakula atau makula dibatasi infiltratMakula dibatasi
infiltrat; infiltrat sajaHanya infiltrat
Jumlah Satu atau beberapaSatu dengan lesi satelitSatu atau
beberapa
Distribusi Terlokasi dan asimetrisasimetrisBervariasi
Permukaan Kering,skuamaKering,skuamaHalus agak berkilat
AnestesiaJelas Jelas Tidak ada sampai tidak jelas
BatasJelasJelasDapat jelas atau tidak jelas
BTA
Pada lesi kulitnegatifNegatif, atau 1+Biasanya negatif
Tes LeprominPositif kuat (3+)Positif lemahDapat positif lemah
atau negatif
Tabel 2.3 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta
MBKarakteristikLepromatosa (LL)Borderline Lepromatosa
(BL)Mid-borderline (BB)
Lesi
BentukMakula, infiltrat difus, papul, nodusMakula, plak,
papulPlak, lesi bentuk kubah, lesi punched out
JumlahBanyak distribusi luas, praktis tidak ada kulit
sehatBanyak tapi kulit sehat masih adaBeberapa, kulit sehat (+)
DistribusiSimetris Cenderung simetrisAsimetris
Permukaan Halus berkilatHalus berkilatSedikit berkilap, beberapa
lesi kering
AnestesiaTidak jelasTidak jelasLebih jelas
BatasTidak jelasAgak jelasAgak jelas
BTA
Pada lesi kulitBanyak Banyak Agak banyak
Sekret hidungBanyak Biasanya tidak adaTidak ada
Tes LeprominNegatifNegatif Biasanya negatif
TTBTI
LLBLBB
Gambar 2.3 Tipe Kusta
2.5. PATOGENESIS M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh
yang relatif lebih dingin. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang
menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh
yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya
lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada
intensitas infeksinya. Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh
masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah
memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet
pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh, M leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas
seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang rendah,
waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan
nontoksis.1Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC
(Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal
pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah tergantung pada
TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan
oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah
produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul
kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28.
Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan
berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan
membantu differensiasi To menjadi Th1.6Th 1 akan menghasilkan IL 2
dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis makrofag( fenolat
glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan
dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan
difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan
mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I
akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion
superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara
kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth
factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya
makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan
organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah
disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan
membentuk granuloma. 6Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL
13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan
mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B untuk
menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi
sel mast.6Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya
sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan
menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan
melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2
sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi
dibandingkan dengan Th1.6
2.6 GEJALA KLINIS Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen
Pausibasilar dan Multibasilar disajikan dalam tabel berikut:PB
(Pausibasilar)MB (Multibasilar)
Lesi kulit (macula yang datar, papul yang meninggi, infiltrate,
plak eritem, nocus)1-5 lesiHipopigmentasi/eritemaDistribusi tidak
simetris>5 lesiDistribusi lebih simetris
Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf yang terkenaHilangnya sensasi yang
jelasHanya satu cabang sarafHilangnya sensasi kurang jelasBanyak
cabang saraf
BTANegatifPositif
TipeIndeterminate (I), Tuberkuloid (T), Borderline tuberkuloid
(BT)Lepromatosa (LL), Borderline lepromatous (BL), Mid borderline
(BB)
Gejala klinik Morbus-Hansen
PausibasilarKarakteristikTuberkuloidBorderline
TuberkuloidIndeterminate
Lesi
Tipe Macula atau macula dibatasi infiltrateMacula dibatasi
infiltratMacula
Jumlah Satu atau beberapaSatu dengan lesi satelitSatu atau
beberapa
Distribusi Terlokasi dan asimetrisasimetrisBervariasi
Permukaan Kering,skuamaKering,skuamaDapat halus agak
berkilat
Sensibilitas hilanghilangAgak terganggu
BTA
Pada lesi kulitnegatifNegatif, atau 1+Biasanya negatif
Tes Lepromin*Positif kuat (3+)Positif (2+)Meragukan
*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya
baru dapat diketahui setelah 3minggu.Gejala klinik Morbus-Hansen
MultibasilarKarakteristikLepromatosaBorderline
LepromatosaMid-borderline
Lesi
TipeMacula, infiltrate difus, papul, nodusMacula, plak,
papulPlak, lesi bentuk kubah, lesi punched out
JumlahBanyak distribusi luas, praktis tidak ada kulit
sehatBanyak tapi kulit sehat masih adaBeberapa, kulit sehat (+)
DistribusiSimetris Cenderung simetrisAsimetris
Permukaan Halus dan berkilapHalus dan berkilapSedikit berkilap,
beberapa lesi kering
SensibilitasTidak tergangguSedikit berkurangBerkurang
BTA
Pada lesi kulitBanyak Banyak Agak banyak
Pada hembusan hidungBanyak Biasanya tidak adaTidak ada
Tes Lepromin*NegatifNegatif Biasanya negatif
*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya
baru dapat diketahui setelah 3minggu.Perbedaan lepra tipe
tuberculoid dan lepromatous ditunjukkan lewat skema berikut ini
:
(www.ncbi.nlm.nih.gov, 2001)
Gambar 2.3 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Punggung
Gambar 2.4 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Wajah
2.6. DIAGNOSIS Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis
klinik, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu digunakan
pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu jarum, kapas,
tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin,
pensil, dan sebagainya. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa
komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau
keduanya. Kusta mendapat julukan The great imitator dalam penyakit
kulit sehingga perlu didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit
kulit yang lain. Diagnosa bandingnya antara lain adalah:
dermatofitosis, tinea versikolor, ptiriasis rosea, ptiriasis alba,
dermatitis seboroika, psoriasis, neurofibromatous, granuloma
anulare, xantomatosis, skleroderma, leukemia kutis, tuberkulosis
kutis verukosa dan birth mark (Kosasih, 2002). Kalau secara
inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak
mebantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini
dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa
nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa suhu,
yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat dipertegas dengan
menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai
dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan
adanya alopesia di daerah lesi (Siregar, 2003). Mengenai saraf
perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan
nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan
perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N.
radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N.
tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya
bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan
sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Deformitas
pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat
lansung oleh granuloma yang terbentuk sebgai reaksi terhadap M.
leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu
kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan
wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf,
umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena
kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf: 1. N. ulnaris:
anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,
clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto
interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial2. N. medianus:
anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari,
telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar
dan kedua otot lumbrikalis lateral3. N. radialis: anestesia dorsum
manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist
drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan4. N.
poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan
dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.5.
N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis
otot intristik kaki dan kolaps arkus pedis6. N. fasialis:
lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular
dan servikal)7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan
konjungtiva mata.
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan
dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama tama harus ditentukan
lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset
dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6
tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain
yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau
tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga
biasanya didapati banyak M. leprae3. Kepadatan BTA tanpa membedakan
solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks
bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila
tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).1 + Bila 1 10 BTA
dalam 100 LP2+Bila 1 10 BTA dalam 10 LP3+Bila 1 10 BTA rata-rata
dalam 1 LP4+Bila 11 100 BTA rata-rata dalam 1 LP5+Bila 101 1000BTA
rata-rata dalam 1 LP6+Bila> 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP Indeks
morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah
solid dan non solid.IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non
solid Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi
100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100
BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+
maksimum harus dicari 100 lapangan. Pemeriksaan histopatologi,
gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi
subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa
dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline
terdapat campuran unsur unsur tersebut. Sel virchow adalah
histiosit yang dijadikan M. leprae sebagai tempat berkembangbiak
dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Pemeriksaan serologik,
didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi
oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium
Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR. Tes
lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis
lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan
sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin
dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal.
Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 4
minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat
indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi
terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti
mantoux test (PPD) pada tuberkolosis3.
2.8 DIAGNOSIS BANDING Pada lesi makula, differensial
diagnosisnya adalah vitiligo, ptiriasis versikolor, ptiriasis alba,
Tinea korporis. Pada lesi papul, granuloma annulare, lichen planus.
Pada lesi plak, tinea korporis, ptiriasis rosea, psoriasis. Pada
lesi nodul, acne vulgaris, neurofibromatosis. Pada lesi saraf,
amyloidosis, diabetes, trachoma3.
2.9 PENATALAKSANAAN Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai
penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai
tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi
dini dan pengobatan penderita.4 Dapson, diamino difenil sulfon
bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat
pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari
para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk
sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia
hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan
vertigo.4Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan
dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat
siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah
warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan
kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri
lambung.4Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin
bekerja dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada
sel bakteri dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya
adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.Prednison, untuk penanganan
dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk penderita kusta
dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan
kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk
penderita kusta tipe PB I.Regimen pengobatan kusta disesuaikan
dengan yang direkomendasikan oleh WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu
klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:1. Pausi Basiler (PB)2.
Multi Basiler (MB)Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi
Drug Treatment. Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang
semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita dalam
berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi
Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.3,4Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB
dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin
Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT/=Release From
Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak
di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati
dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn
pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5). Tabel
2.3 Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut
WHO/DEPKES RIRifampicinOfloxacinMinocyclin
Dewasa(50-70 kg)600 mg400 mg100 mg
Anak(5-14 th)300 mg200 mg50 mg
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan
selama (6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT
(Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat.Tabel 2.4
Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)2,3RifampicinDapson
Dewasa600 mg/bulanDiminum di depan petugas kesehatan100 mg/hr
diminum di rumah
Anak-anak(10-14 th)450 mg/bulanDiminum di depan petugas
kesehatan50 mg/hari diminum di rumah
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini
bisa diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12
dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu
berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara
pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.Tabel
2.5 Regimen MDT pada kusta Multibasiler
(MB)2,3RifampicinDapsonLamprene
Dewasa600 mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan100 mg/hari
diminum di rumah300 mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50 mg/hari diminum di rumah
Anak-anak(10-14 th)450 mg/bulan diminum di depan petugas50
mg/hari diminum di rumah150 mg/bulan diminum di depan petugas
kesehatan dilanjutkan dg 50 mg selang sehari diminum di rumah
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan
cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang
permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan
Prinsip pengobatan Reaksi Kusta yaitu immobilisasi / istirahat,
pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi,
MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.Pada reaksi ringan,
istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg
31 selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis
yang tidak diubah.Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah
sakit, pemberian analgesik dan sedative, MDT (obat kusta)
diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti
reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya
prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg
setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari,
Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3
ml secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml.
Antimon jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide juga jarang
dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400 mg/hari
kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.Pemberian
Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi
hari lebih baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis
diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon
maksimal1,2,3.
Gambar 2.6 Regimen MDT
2.9 Prognosis Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat
stadium penyakit. Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien
terhadap pengobatan. Terkadang asien dapat mengalami kelumpuhan
bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun2.
BAB IIIKESIMPULANDengan megetahui penyebab, penyebaran penyakit,
dan pengobatannya maka tidaklah perlu timbul lepraphobia. Hal ini
dapat dilihat dengan penting peranan penyuluhan kesehatan kepada
penderita dan keluarga serta masyarakat dimana dengan penyuluhan
ini diharapkan penderita dapat berobat secara teratur, dan tidak
perlu dijauhi oleh keluarga malahan keluarga sebagai pendukung
proses penyembuhan serta masyarakat tidak perlu mempunyai rasa
takut yang berlebihan. Penderita kusta sebagai manusia yang juga
mendapat perlakuan secara manusia, jadi keluarga dan masyarakat
tidak perlu mendorong untuk mengasingkan penderita kusta
tersebut.