14 BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Konsep Penempatan Kerja 2.1.1.1 Pengertian Penempatan Kerja Penempatan (placement) merupakan kegiatan pengadaan sumber daya manusia, seperti yang dikemukakan oleh Malayu S.P. Hasibuan (2004:22) bahwa: Pengadaan (procurement) adalah proses penarikan, seleksi, penempatan, orientasi, dan induksi untuk mendapatkan karyawan yang sesuai dengan kebutuhan. Setelah calon pegawai dinyatakan lulus seleksi/diterima, maka pegawai tersebut akan ditempatkan pada jabatan atau posisi kerja yang sesuai dengan kualifikasi yang dimilikinya (Bambang Wahyudi, 2002:95). Penempatan adalah proses kegiatan dalam suatu perusahaan untuk menentukan lokasi dan posisi seorang pegawai dalam melakukan pekerjaan. Menurut pendapat Veithzal Rivai (2009:198) bahwa : Penempatan karyawan berarti mengalokasikan para karyawan pada posisi kerja tertentu, hal ini khusus terjadi pada karyawan baru. Kepada karyawan lama yang telah menduduki jabatan atau pekerjaan termasuk sasaran fungsi penempatan karyawan dalam arti mempertahankan pada posisinya atau memindahkan pada posisi yang lain. Hal ini senada dengan pendapat dari Sondang P. Siagian (2008:168-169) bahwa: “Penempatan tidak hanya berlaku bagi para pegawai baru, akan tetapi berlaku pula bagi para pegawai lama yang mengalami alih tugas dan mutasi”.
31
Embed
BAB II ) merupakan kegiatan pengadaan sumber daya ) adalah ...a-research.upi.edu/operator/upload/s_pkr_0705606_chapter2(1).pdf · 2.1.1.1 Pengertian Penempatan ... berlaku pula bagi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
14
BAB II
KERANGKA TEORITIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Konsep Penempatan Kerja
2.1.1.1 Pengertian Penempatan Kerja
Penempatan (placement) merupakan kegiatan pengadaan sumber daya
manusia, seperti yang dikemukakan oleh Malayu S.P. Hasibuan (2004:22) bahwa:
Pengadaan (procurement) adalah proses penarikan, seleksi, penempatan, orientasi,
dan induksi untuk mendapatkan karyawan yang sesuai dengan kebutuhan.
Setelah calon pegawai dinyatakan lulus seleksi/diterima, maka pegawai
tersebut akan ditempatkan pada jabatan atau posisi kerja yang sesuai dengan
kualifikasi yang dimilikinya (Bambang Wahyudi, 2002:95). Penempatan adalah
proses kegiatan dalam suatu perusahaan untuk menentukan lokasi dan posisi
seorang pegawai dalam melakukan pekerjaan.
Menurut pendapat Veithzal Rivai (2009:198) bahwa :
Penempatan karyawan berarti mengalokasikan para karyawan pada posisi kerja tertentu, hal ini khusus terjadi pada karyawan baru. Kepada karyawan lama yang telah menduduki jabatan atau pekerjaan termasuk sasaran fungsi penempatan karyawan dalam arti mempertahankan pada posisinya atau memindahkan pada posisi yang lain.
Hal ini senada dengan pendapat dari Sondang P. Siagian (2008:168-169)
bahwa: “Penempatan tidak hanya berlaku bagi para pegawai baru, akan tetapi
berlaku pula bagi para pegawai lama yang mengalami alih tugas dan mutasi”.
15
Dikatakan demikian karena sebagaimana halnya dengan para pegawai
baru, pegawai lama pun perlu direkrut secara internal, perlu dipilih dan biasanya
juga menjalani program pengenalan sebelum mereka ditempatkan pada posisi
yang baru dan melakukan pekerjaan baru pula.
Kemudian menurut Gouzali Saydam (2000:218) yang dimaksud dengan
penempatan SDM adalah “proses kegiatan yang dilaksanakan Manager SDM
dalam suatu perusahaan untuk menentukan lokasi dan posisi seorang karyawan
dalam melakukan pekerjaan”.
Pendapat lain menurut Bedjo Siswanto (2002:162) menyatakan bahwa :
Penempatan tenaga kerja adalah proses pemberian tugas dan pekerjaan, kepada tenaga kerja yang lulus seleksi untuk dilaksanakan sesuai dengan lingkup yang telah ditetapkan serta mampu mempertanggungjawabkan segala resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi atas tugas dan pekerjaan, wewenang serta tanggung jawabnya.
Menurut Randall S. Schuler dan Susan E. Jackson (1997:276) bahwa :
Penempatan (placement) berkaitan dengan pencocokan seseorang dengan jabatan yang akan dipegangnya, berdasarkan pada kebutuhan jabatan dan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, preferensi, dan kepribadian karyawan tersebut.
2.1.1.2 Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam Penempatan kerja
Pegawai yang telah lulus seleksi kemudian akan ditempatkan oleh manajer
dimana manajer perlu memperhatikan beberapa faktor yang harus diperhatikan
dalam penempatan kerja pegawai demi kelangsungan perusahaan. Manajer yang
profesional biasanya selalu jeli terhadap karakteristik dan kualifikasi yang
dimiliki pegawai yang akan ditempatkan dalam satu tugas atau pekerjaan.
Menurut Bedjo Siswanto (2001:89-94) faktor-faktor yang perlu diperhatikan
dalam penempatan kerja pegawai adalah sebagai berikut:
16
1. Faktor Prestasi Akademis
Prestasi akademis yang dimiliki tenaga kerja selama mengikuti
pendidikan sebelumnya harus dipertimbangkan, khususnya dalam penempatan
tenaga kerja tersebut untuk menyelesaikan tugas pekerjaan, serta mengemban
wewenang dan tanggung jawab. Prestasi akademis yang perlu dipertimbangkan
tidak terbatas pada jenjang terakhir pendidikan tetapi termasuk jenjang pendidikan
yang pernah dialaminya.
Tenaga kerja yang mempunyai prestasi akademis yang tinggi harus
ditempatkan pada tugas dan pekerjaan yang diperkirakan dia mampu
mengembannya, walaupun tugas dan pekerjaan tersebut dipandang berat yakni
memerlukan wewenang dan tanggung jawab yang besar. Sebaliknya bagi tenaga
kerja yang mempunyai latar belakang akademis yang pas di bawah standar harus
ditempatkan pada tugas dan pekerjaan yang ringan pula yaitu suatu tugas dan
pekerjaan yang hanya mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang relatif
rendah. Latar belakang pendidikan yang pernah dialami sebelumnya harus pula
dijadikan pertimbangan dalam menempatkan dimana yang bersangkutan harus
bekerja.
2. Faktor Pengalaman
Pengalaman bekerja pada pekerjaan sejenis, perlu mendapatkan
pertimbangan dalam penempatan tenaga kerja. Kenyataan menunjukkan makin
lama tenaga kerja bekerja, makin banyak pengalaman yang dimiliki tenaga kerja
yang bersangkutan. Sebaliknya makin singkat masa kerja, makin sedikit
pengalaman yang diperoleh. Pengalaman bekerja banyak memberikan keahlian
17
dan keterampilan kerja. Pengalaman bekerja yang dimiliki seseorang kadang-
kadang lebih dihargai daripada tingkat pendidikan yang menjulang tinggi.
Tenaga kerja berdasarkan pengalaman bisa langsung memegang suatu
tugas dan pekerjaan, mereka hanya memerlukan latihan dan petunjuk yang relatif
singkat, sebaliknya tenaga kerja yang hanya mengandalkan latar belakang
pendidikan dan gelar yang disandangnya, belum tentu mampu mengerjakan tugas
dan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Mereka perlu diberikan latihan dan
petunjuk yang memakan alokasi waktu dan biaya yang tidak sedikit.
3. Faktor Kesehatan Fisik dan Mental
Dalam menempatkan tenaga kerja, faktor kesehatan fisik dan mental
perlu dipertimbangkan untuk menghindari kerugian perusahaan. Selanjutnya perlu
dipertimbangkan tempat yang cocok bagi tenaga kerja yang bersangkutan sesuai
dengan kondisi fisiknya.
Tenaga kerja yang kondisi fisik dan mentalnya lemah/rendah
sebaiknya ditempatkan pada bagian-bagian yang tidak begitu memerlukan tenaga
yang kuat, jadi bukan pada bagian operasi mesin-mesin produksi. Sebaliknya
untuk dipekerjakan pada bagian yang berat, seharusnya dicari tenaga kerja yang
kuat dan benar-benar sehat jasmani dan rohaninya.
4. Faktor Status Perkawinan
Status perkawinan tenaga kerja juga merupakan hal penting untuk
diketahui. Status perkawinan dapat menjadi bahan pertimbangan, khususnya
menempatkan tenaga kerja yang bersangkutan. Seperti tenaga kerja wanita yang
memiliki suami dan anak perlu dipertimbangkan penempatannya. Jika telah
18
memiliki anak, tenaga kerja yang bersangkutan ditempatkan tidak pada
perusahaan yang jauh dari tempat tinggal suaminya, baik perusahaan maupun
kantor pusat perusahaan.
5. Faktor Usia
Dalam menempatkan tenaga kerja, faktor usia tenaga kerja yang lulus
seleksi perlu dipertimbangkan sepenuhnya. Hal ini untuk menghindarkan
rendahnya produktivitas yang dihasilkan tenaga kerja bersangkutan.
Tenaga kerja yang umurnya sudah agak tua sebaiknya ditempatkan
pada pekerjaan yang tidak begitu mempunyai resiko tenaga fisik dan tanggung
jawab yang berat, cukup diberikan pekerjaan yang seimbang dengan kondisi
fisiknya. Sebaliknya tenaga kerja yang masih muda dan masih energik sebaiknya
diberikan pekerjaan yang agak berat dibandingkan dengan tenaga kerja yang tua.
Sedangkan menurut Bambang Wahyudi (1991:32) yang mengemukakan
bahwa dalam melakukan penempatan pegawai hendaklah mempertimbangkan
faktor-faktor sebagai berikut:
1. Pendidikan, yaitu pendidikan minimum yang disyaratkan yaitu menyangkut:
a. Pendidikan yang seharusnya, artinya pendidikan yang harus dijalankan
dengan syarat
b. Pendidikan alternatif, yaitu pendidikan lain yang apabila terpaksa dengan
tambahan latihan tertentu dapat mengisi syarat pendidikan yang
seharusnya.
2. Pengetahuan, yaitu pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang tenaga
kerja agar dapat melakukan kerja dengan wajar, pengalaman kerja sebelum
19
ditempatkan dan yang harus diperoleh pada waktu ia bekerja dalam pekerjaan
tersebut.
3. Keterampilan, yaitu kecakapan atau keahlian untuk melakukan suatu
pekerjaan yang hanya diperoleh dalam praktek.
4. Pengalaman, yaitu pengalaman seorang tenaga kerja untuk melakukan
pekerjaan tertentu, pengalaman ini dinyatakan dalam:
a. Pekerjaan yang harus dilakukan.
b. Lamanya melakukan pekerjaan itu.
c. Senioritas jabatan.
Sementara itu, Schuler and Jackson (1997:276) mengemukakan faktor-
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penempatan pegawai adalah
keterampilan, kemampuan, preferensi dan kepribadian karyawan. Kepribadian
mengacu pada campuran unik sejumlah karakteristik yang mendefinisikan
seseorang dan menentukan pola interaksinya dengan lingkungan. Menurut Schuler
and Jackson (1997:300), kepribadian seseorang meliputi lima dimensi, yaitu:
1. Ekstraversi (social, talkactive, assertive)
2. Agreeableness (good-nature, kooperatif, dapat dipercaya)
3. Conscientiouness (tanggung jawab, mandiri, gigih, berorientasi pada
hasil)
4. Stabilitas atau instabilitas emosi (ketegangan, merasa kurang aman,
gugup)
5. Keterbukaan terhadap pengalaman (penuh imajinasi, perasaan seni,
intelektual)
20
Perlu disadari penempatan bukanlah masalah sederhana, sebab kesalahan
penempatan akan dapat dirasakan akibatnya tidak saja pada unit kerja yang
bersangkutan tetapi juga pada unit kerja yang lain, sehingga operasi perusahaan
akan terganggu tidak saja untuk saat ini tetapi juga pada masa yang akan datang.
Pada hakikatnya apa yang menjadi sasaran proses penempatan pegawai ini
menurut Gouzali Saydam (2000:219) adalah untuk :
a. Mengisi lowongan pekerjaan yang tersedia dalam perusahaan. b. Agar orang yang ditempatkan itu tidak terombang-ambing lagi dalam
menunggu tempat dan apa yang akan dikerjakan. c. Menempatkan orang yang tepat pada posisi dan tempat yang tepat.
Agar perusahaan dapat bertindak efisien dengan memanfaatkan sumber
daya manusia yang berhasil direkrut.
Akibat dari kesalahan penempatan menurut Bambang Wahyudi (1991:96)
diantaranya adalah:
1. Meningkatnya Labour Turn Over (LTO) 2. Timbulnya konflik 3. Timbul atau meningkatnya angka kecelakaan kerja
2.1.1.3 Sistem Penempatan Pegawai
Organisasi adalah suatu kebulatan yang utuh dan terpadu, untuk itu dalam
pelaksanaannya diperlukan suatu sistem yang utuh termasuk sistem dalam
penempatan pegawai, sehingga tercipta suatu efisiensi kerja dalam menempatkan
pegawainya dengan prinsip the right man in the right job. Sistem penempatan
pegawai dapat didefinisikan sebagai rangkaian komponen ketenagakerjaan
khususnya dalam menempatkan pegawai yang tepat pada posisi yang tepat dan
dirancang dapat mencapai daya guna yang sebesar-besarnya sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
21
Berkaitan dengan sistem penempatan pegawai Bedjo Siswanto
Sastrohadiwiryo (2003:166) mengemukakan:
Pertama, haruslah terdapat suatu maksud atau tujuan, dalam merancang sistem penempatan karyawan. Kedua, haruslah terdapat pendekatan rancangan atau suatu susunan komponen ketenagakerjaan. Ketiga, masukkan informasi ketenagakerjaan yang tersedia harus disesuaikan dengan rencana yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Berikut ini gambar rancangan suatu sistem penempatan pegawai sebagai
berikut :
Gambar 2. 1 Rancangan Suatu Sistem Penempatan Pegawai
Sumber: Bedjo Siswanto Sastrohadiwiryo (2003:166)
Rancangan sistem penempatan ini dimaksudkan untuk mencapai daya
guna dan hasil guna sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Apabila tugas
dan pekerjaan tersebut dianggap ruwet maka sistem penempatan ini dapat
dimodifikasi sesuai dengan yang diinginkan perusahaan.
2.1.1.4 Prosedur Penempatan Pegawai
Prosedur penempatan pegawai yang diambil merupakan hasil dari
pengambilan keputusan dari manajer sumber daya manusia, khususnya bagian
penempatan pegawai, baik yang telah diambil berdasarkan pertimbangan rasional
maupun pertimbangan objektif ilmiah (didasarkan fakta keterangan dan data yang
dianggap representatif atau berdasarkan hasil dari seleksi yang telah dilakukan).
Rancangan Penempatan Pegawai Masukan Alat Transformasi
Keluaran
22
Menurut Bedjo Siswanto (2002:168-169) dalam setiap kegiatan diperlukan
tahapan yang harus dilalui dalam pelaksanaannya. Tahapan tersebut merupakan
urutan kronologis yang dilaksanakan tahap demi tahap (step by step) tanpa
meninggalkan prinsip dan asas yang berlaku. Prosedur penempatan tenaga kerja
merupakan urutan kronologis untuk menempatkan tenaga kerja yang tepat pada
posisi yang tepat pula. Secara sistematik mekanisme kerja bagian penempatan
kerja dan bagian seleksi kerja dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. 2 Mekanisme Kerja Bagian Penempatan Tenaga Kerja
Keterangan :
1. Manager tenaga kerja mendelegasikan kekuasaannya (delegation of
authority) kepada bagian seleksi tenaga kerja untuk melaksanakan seleksi
tenaga kerja guna mengisi lowongan formasi yang telah tersedia
berdasarkan kualifikasi tertentu.
2. Atas pelaksanaan seleksi tenaga kerja, bagian seleksi tenaga kerja
melaporkan atau mempertanggung jawabkan segala kegiatan yang telah
dilaksanakan dalam rangka seleksi tenaga kerja, kepada manajer tenaga
kerja yang merupakan atasan langsung.
Manajemen Tenaga Kerja
Bagian Seleksi
Bagian Penempatan
Proses Fungsi
Sebelumnya
Proses Fungsi
Selanjutnya
23
3. Setelah menerima laporan seleksi (selection report), manajer tenaga kerja
mendelegasikan kekuasaannya kepada bagian penempatan tenaga kerja
untuk menempatkan tenaga kerja yang telah lulus seleksi berdasarkan
kondisi yang ada, dan berdasarkan laporan bagian seleksi tenaga kerja.
4. Bagian seleksi tenaga kerja atas dasar pelaksanaan fungsi horizontal
memberikan laporan hasil seleksi (calon tenaga kerja yang lulus seleksi)
kepada bagian penempatan tenaga kerja untuk menempatkan tenaga kerja
tersebut dalam posisi yang tepat.
5. Atas pelaksanaan fungsi dalam penempatan tenaga kerja, bagian
penempatan tenaga kerja melaporkan atau mempertanggung jawabkan
segala kegiatannya kepada manager tenaga kerja yang merupakan pihak
yang mendelegasikan kekuasaan atau atasan langsung kepada bagian
penempatan tenaga kerja.
Dalam mekanisme kerja tersebut, bagian seleksi tenaga kerja sangat
bergantung pada fungsi manager tenaga kerja sebelumnya. Demikian juga bagian
penempatan tenaga kerja sangat bergantung pada posisi manager tenaga kerja
selanjutnya.
2.1.2 Konsep Semangat Kerja
2.1.2.1 Pengertian Semangat Kerja
Istilah moral berbeda jauh dengan moril kerja, semangat kerja, serta gairah
kerja. Hal ini senada dengan pendapat Gouzali Saydam (2000:443) bahwa :
“Moril berasal dari kata morale (semangat juang). Jadi istilah moril berbeda jauh
dengan moral (akhlak; budi pekerti). Sedangkan kegairahan kerja berasal dari kata
24
anthusiasm (kegairahan atau kegembiraan yang besar)”. Semangat kerja dan
kegairahan kerja sulit untuk dipisahkan. Hal ini senada dengan pendapat Alex S.
Nitisemito (1991:160) yang menyatakan bahwa :
Meskipun semangat kerja tidak mesti disebabkan oleh kegairahan kerja, tetapi kegairahan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap semangat kerja. Oleh karena itulah antara semangat kerja dan kegairahan kerja sulit untuk dipisah-pisahkan, sehingga orang lebih senang menggunakan istilah semangat dan kegairahan kerja. Semangat kerja adalah melakukan pekerjaan secara lebih giat, sehingga
dengan demikian pekerjaan akan dapat diharapkan lebih cepat dan lebih baik.
Sedang kegairahan kerja adalah kesenangan yang mendalam terhadap pekerjaan
yang dilakukan. (Alex S. Nitisemito, 1991:160)
Semangat kerja merupakan hal yang sangat penting yang harus dimiliki
oleh setiap pegawai. Dengan demikian pekerjaan yang dikerjakan dapat
terselesaikan dengan baik. Biasanya semangat kerja pegawai tergantung pada
situasi atau kondisi pada diri bawahan, situasi lingkungannya, dan bisa juga
dipengaruhi oleh atasannya, situasi pribadinya, dan sebagainya. Hal ini selaras
dengan pendapat IG. Wursanto (1998) yang menyatakan bahwa “Semangat kerja
adalah sikap seseorang maupun kelompok terhadap pekerjaannya, lingkungan
kerjanya, teman kerjanya dalam melaksanakan pekerjaan secara lebih baik dalam
rangka pencapaian tujuan bersama”.
Menurut Sondang P. Siagian (2003:57) mengemukakan bahwa semangat
kerja karyawan menunjukkan sejauh mana karyawan bergairah dalam melakukan
tugas dan tanggung jawabnya di dalam perusahaan.
25
Menurut Malayu S.P. Hasibuan (1990:105) mengatakan bahwa semangat
kerja adalah keinginan dan kesungguhan seseorang mengerjakan pekerjaannya
dengan baik serta berdisiplin untuk mencapai prestasi kerja yang maksimal.
Bedjo siswanto (2002:130), mengemukakan bahwa :
Semangat kerja adalah suatu kondisi rohaniah, perilaku individu tenaga kerja dan kelompok-kelompok yang menimbulkan kesenangan yang mendalam pada diri tenaga kerja dan giat serta konsekuen dalam mencapai tujuan yang ditetapkan oleh pihak perusahaan. Moekijat (1999:30) berpendapat bahwa :
Semangat kerja menggambarkan suatu perasaan, agak berhubungan dengan tabiat, semangat kelompok, kegembiraan, untuk kelompok pekerja-pekerja, penggunaan yang sudah lazim bahwa semangat kerja menunjukkan iklim dan suasana pekerjaan. Adapun menurut Alfred R. Lateiner (1983:66) mengatakan bahwa :
Semangat kerja adalah sikap individu untuk bekerja sama dengan disiplin dan rasa tanggung jawab terhadap kegiatannya. Dari beberapa pendapat ilmuan di atas, maka penulis menyimpulkan
sendiri bahwa semangat kerja adalah kemauan dari setiap individu maupun
kelompok untuk saling bekerja sama dengan giat, disiplin, dan penuh rasa
tanggung jawab dalam melaksanakan tujuan yang telah ditetapkan oleh
perusahaan.
Dengan meningkatnya semangat kerja pegawai, maka kesalahan dan
kerusakan yang dilakukan oleh para pegawai akan dapat dikurangi, absensi akan
dapat diperkecil, kemungkinan perpindahan pegawai ke perusahaan lain dapat
diperkecil seminimal mungkin dan sebagainya.
26
2.1.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Semangat Kerja
Semangat kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan dan
mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan
prestasi kerja. Banyak faktor yang mempengaruhi semangat kerja, diantaranya
sistem pengupahan, kondisi lingkungan kerja, penempatan posisi yang tepat,
penghargaan kerja dan sebagainya. Penempatan kerja yang tepat akan
menimbulkan semangat kerja yang dicapai lebih tinggi.
Menurut Alex S. Nitisemito (1991:170-181) faktor-faktor untuk
meningkatkan semangat kerja antara lain :
a. Gaji yang Cukup
Setiap perusahaan seharusnya dapat memberikan gaji yang cukup kepada
pegawainya. Pengertian “cukup” ini adalah sebenarnya sangat relatif sifatnya.
Cukup disini adalah jumlah yang mampu dibayarkan tanpa menimbulkan
kerugian bagi perusahaan tersebut. Dan dengan sejumlah gaji yang diberikan
tersebut akan mampu memberikan semangat dan kegairahan kerja pada para
pegawainya.
b. Memperhatikan Kebutuhan Rohani
Besarnya gaji yang diberikan pada para pegawai mempunyai pengaruh positif
terhadap kegairahan kerjanya. Walaupun demikian sebenarnya yang dapat
mempengaruhi semangat dan kegairahan kerja bukanlah hanya besarnya gaji
yang mereka terima.
Selain kebutuhan materi yang berwujud gaji yang cukup, maka mereka juga
membutuhkan kebutuhan rohani. Kebutuhan rohani ini antara lain adalah
27
menyediakan tempat untuk menjalankan ibadah, rekreasi, partisipasi dan
sebagainya.
c. Sekali-sekali Perlu Menciptakan Suasana Santai
Suasana kerja yang rutin seringkali menimbulkan kebosanan dan ketegangan
kerja bagi para pegawai. Untuk menghindarkan hal-hal seperti itu maka
perusahaan perlu sekali kadang-kadang (dalam waktu tertentu) menciptakan
suasana santai.
d. Harga Diri Perlu Mendapatkan Perhatian
Pihak perusahaan perlu memperhatikan harga diri pegawai, yaitu dengan
memberikan penghargaan, baik berupa surat penghargaan maupun dalam
bentuk hadiah materi, bagi para pegawai yang memiliki prestasi kerja
menonjol.
e. Tempatkan Para Pegawai Pada Posisi yang Tepat
Setiap perusahaan harus mampu menempatkan para pegawainya pada posisi
yang tepat. Artinya tempatkan mereka dalam posisi yang sesuai dengan
keterampilan dan keahliannya masing-masing, apabila terjadi ketidaktepatan
dalam penempatan posisi dapat menurunkan prestasi kerja pegawai dan
semangat kerja pegawai karena tidak sesuai dengan kemampuan yang ia
miliki.
f. Berikan Kesempatan untuk Maju
Semangat dan kegairahan kerja pegawai akan timbul jika mereka mempunyai
harapan untuk dapat maju. Perusahaan hendaknya memberikan kesempatan
kepada para pegawainya. Berikan penghargaan kepada para pegawai yang
28
berprestasi. Penghargaan dapat berupa pengakuan yang kemudian disertai
hadiah, kenaikan gaji, kenaikan pangkat, pemindahan ke posisi yang lebih
sesuai dan sebagainya.
g. Perasaan Aman Menghadapi Masa Depan Perlu Diperhatikan
Semangat dan gairah kerja para pegawai akan terpupuk jika mereka
mempunyai perasaan aman terhadap masa depan profesi mereka. Untuk
menciptakan rasa aman perusahaan melaksanakan program pensiun, mereka
memiliki alternatif lain yaitu mewajibkan pegawai untuk menyisihkan
sebagian penghasilannya untuk ditabung dalam bentuk polis asuransi.
h. Usahakan Agar Para Pegawai Mempunyai Loyalitas
Kesetiaan/Loyalitas para pegawai terhadap perusahaan akan dapat
menimbulkan rasa tanggung jawab. Tanggung jawab dapat menciptakan
kegairahan dan semangat kerja. Untuk dapat menimbulkan loyalitas para
pegawai terhadap perusahaan maka pihak pimpinan harus mengusahakan agar
para pegawai merasa senasib dengan perusahaan. Salah satu cara
menimbulkan sikap loyalitas para pegawai terhadap perusahaan yaitu
memberi gaji yang cukup dan memenuhi kebutuhan rohani mereka.
i. Sekali-sekali Para Pegawai Perlu Juga Diajak Berunding
Mengajak pegawai berunding dalam mengambil keputusan, mereka akan
memiliki rasa tanggung jawab dan semangat untuk mewujudkannya.
j. Pemberian Insentif yang Terarah
Perusahaan hendaknya memberikan insentif kepada para pegawai yang
menunjukkan kelebihan prestasi kerjanya, kesenangan dan loyalitas mereka.
29
Cara seperti ini sangat efektif untuk mendorong semangat kerja para pegawai.
Tentu saja cara seperti itu harus disertai dengan kebijaksanaan yang tepat.
k. Fasilitas yang Menyenangkan
Bilamana memungkinkan perusahaan hendaknya menyediakan fasilitas yang
menyenangkan bagi para pegawai. Fasilitas tersebut dapat berupa tempat
rekreasi cafetaria, tempat olah raga, balai pengobatan, tempat ibadah, kamar
kecil yang bersih, dan pendidikan untuk anak.
Adapun menurut Alfred R. Lateiner (dalam Alex S. Nitisemito, 1996:103)
faktor-faktor yang dapat meningkatkan semangat kerja pegawai diantaranya
adalah :
a. Memberikan kepada karyawan bagaimana kemampuannya.
b. Membicarakan dengan para karyawannya terlebih dahulu tentang perubahan-
perubahan yang akan terjadi.
c. Mempergunakan kemampuan tiap-tiap orang dengan sebaik-baiknya.
d. Membuat cara penempatan tenaga kerja dan melaksanakan aturan yang
berlaku.
e. Menjaga jangan sampai mempergunakan kekuasaan dengan sewenang-
wenangnya.
Bedjo Siswanto (2002:268) mengungkapkan cara yang biasa ditempuh
oleh perusahaan dalam rangka meningkatkan semangat kerja pegawai sebagai
berikut:
a. Memberikan kompensasi kepada pegawai dalam posisi yang wajar, akan
tetapi tidak memaksa kemauan perusahaan
30
b. Menciptakan iklim dan lingkungan kerja
c. Perlu saat penyegaran sebagai media pengurangan ketegangan kerja dengan
memperkokoh rasa kesetiakawanan antara pegawai maupun manajer
d. Memperhatikan kebutuhan yang berhubungan dengan spiritual pegawai
e. Penempatan pegawai pada posisi yang tepat
f. Peran serta pegawai untuk mengembangkan aspirasinya mendapatkan tempat
yang wajar
g. Memperhatikan masa depan pegawai
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa cara-cara yang tepat
untuk meningkatkan semangat dan kegairahan kerja pegawai. Dan banyak pula
pekerjaan yang gagal atau kurang memberikan hasil yang memuaskan karena
cara-cara tersebut di atas kurang diperhatikan pimpinan perusahaan.
Perlu diketahui, bahwa semangat kerja juga menentukan kualitas dan
kuantitas hasil pekerjaan. Disamping itu, untuk meningkatkan semangat kerja
pegawai, selain memenuhi kebutuhan material juga tidak kalah pentingnya
memenuhi kebutuhan nonmaterial.
2.1.2.3 Indikasi Semangat Kerja
1. Indikasi Semangat Kerja yang Rendah
Selain terdapat beberapa cara untuk meningkatkan semangat kerja
pegawai, adapula indikasi semangat kerja pegawai yang rendah. Semangat kerja
membutuhkan perhatian yang teratur, diagnosis, dan pengobatan yang layak
seperti halnya dengan kesehatan. Semangat kerja agak sukar diukur karena
sifatnya abstrak. Semangat kerja merupakan gabungan dari kondisi fisik, sikap,
31
perasaan, dan sentimen pegawai. Untuk mengetahui adanya semangat kerja yang
rendah dalam perusahaan dapat dilihat dari beberapa indikasi. Dengan demikian,
perusahaan dapat mengetahui faktor penyebabnya dan berusaha untuk mengambil
suatu tindakan yang lebih dini.
Alex S. Nitisemito (1991:161-166) menguraikan indikasi-indikasi
turunnya semangat dan kegairahan kerja antara lain adalah :
a. Turun/rendahnya produktivitas kerja Turunnya produktivitas kerja ini dapat diukur atau diperbandingkan dengan waktu sebelumnya. Produktivitas kerja yang turun ini dapat terjadi karena kemalasan, penundaan pekerjaan dan sebagainya.
b. Tingkat absensi yang naik/tinggi Pada umumnya bila semangat dan kegairahan kerja turun, maka mereka akan malas untuk setiap hari datang bekerja.
c. Labour Turn Over (Tingkat perpindahan buruh) yang tinggi Tingkat keluar masuknya pegawai yang tinggi selain dapat menurunkan produktivitas kerja, juga dapat mengganggu kelangsungan jalannya perusahaan.
d. Tingkat kerusakan yang naik/tinggi Naiknya tingkat kerusakan tersebut sebetulnya menunjukkan bahwa perhatian dalam pekerjaan berkurang, terjadinya kecerobohan dalam pekerjaan dan sebagainya.
e. Kegelisahan dimana-mana Kegelisahan di mana-mana akan terjadi bilamana semangat dan kegairahan kerja turun. Sebagai seorang pemimpin harus mengetahui adanya kegelisahan-kegelisahan yang timbul. Kegelisahan-kegelisahan itu dapat terwujud dalam bentuk ketidaktenangan kerja, keluh kesah serta hal-hal yang lain.
f. Tuntutan yang seringkali terjadi Sering terjadi tuntutan juga sebetulnya merupakan indikasi semangat dan kegairahan kerja yang turun. Tuntutan merupakan perwujudan dari ketidakpuasan, dimana pada tahap tertentu akan menimbulkan keberanian untuk mengajukan tuntutan. Oleh karena itu, bilamana dalam suatu perusahaan sering terjadi tuntutan maka perusahaan tersebut harus waspada.
g. Pemogokan Pemogokan merupakan perwujudan dari ketidakpuasan, kegelisahan dan lain sebagainya. Bilamana hal ini telah memuncak dan tidak tertahan lagi, maka akan menimbulkan tuntutan dan apabila tidak berhasil pada umumnya berakhir dengan suatu pemogokan.
32
Tanda-tanda perubahan semangat kerja perlu diketahui oleh perusahaan.
Perusahaan dapat mengambil tindakan-tindakan perbaikan jika ternyata diketahui
bahwa dari tanda-tanda tersebut menunjukkan semangat kerja yang menurun,
sehingga perusahaan dapat terhindar dari kerugian. Alex. S. Nitisemito (1996:9)
mengemukakan bahwa menurunnya tingkat semangat kerja pegawai pada suatu
perusahaan dapat digambarkan sebagai berikut:
…perusahaan seperti itu jalannya akan sangat terhambat karena kemalasan para pegawainya. Mereka banyak yang absen, pekerjaan banyak salah, barang-barang banyak yang rusak karena kurang terurus. Para pegawai yang susah payah telah dididik berpindah ke perusahaan lain. Selain itu masih banyak kerugian-kerugian lain diakibatkan karena tidak ada semangat kerja pada diri pegawai.
Semangat kerja memiliki perilaku yang dapat diamati dan digambarkan
yang disebut indikasi semangat kerja. Menurut Moekijat (1999:130) bahwa:
Apabila mereka merasa baik, bahagia, optimis, kebanyakan orang menggambarkan orang-orang tersebut sebagai mempunyai moril yang tinggi. Apabila orang suka membantah, menyakitkan hati, kelihatan aneh, merasa dalam kesulitan, dan tidak tenang/tentram maka keadaan mereka dapat digambarkan sebagai mengandung moril yang rendah.
Adapun menurut Carlaw, Deming & Friedman (2003) semangat kerja
yang rendah sering ditunjukkan dengan perilaku sebagai berikut:
a. Menjadi sangat tenang karena tidak tertarik dengan pekerjaannya b. Tidak bersosialisasi dengan rekan kerja c. Selalu datang terlambat dan pulang lebih awal d. Kurangnya kinerja yang dimiliki pegawai e. Menjadi mudah terganggu dari pekerjaan yang mereka kerjakan
2. Indikasi Semangat Kerja yang Tinggi
Piet A. Suhertian dan Frans Mataheru (1991:276) mengemukakan bahwa :
Indikator semangat kerja yang tinggi ditandai dengan perilaku positif individu maupun kelompok dalam lingkungan kerjanya. Indikator moral kerja yang tinggi antara lain ditandai oleh sikap penuh kegembiraan,
33
ketetapan hati, antusiasme, rasa senasib dan sepenanggungan, ingin bekerja sama dan selalu mengambil inisiatif.
Carlaw, Deming, dan Friedman (2003) menyatakan bahwa yang menjadi
indikasi semangat kerja yang tinggi adalah sebagai berikut:
a. Ceria. Senyum dan tertawa mencerminkan kebahagiaan individu dalam bekerja. Walaupun individu tidak memperlihatkan senyum dan tawanya, tetapi di dalam dirinya individu merasa tenang dan nyaman bekerja serta menikmati tugas yang dilaksanakan.
b. Memiliki Insiatif Individu yang memiliki semangat kerja yang tinggi akan memiliki kemauan diri untuk bekerja tanpa pengawasan dan tanpa perintah dari atasan.
c. Berfikir Kreatif dan Luas Individu mempunyai ide-ide baru dan tidak mempunyai hambatan untuk menyalurkan ide-idenya dalam menyelesaikan tugas.
d. Menyenangi apa yang sedang dilakukan Individu lebih fokus terhadap pekerjaan daripada memperlihatkan gangguan selama melakukan pekerjaan.
e. Tertarik dengan pekerjaannya Individu menaruh minat pada pekerjaan karena sesuai keahlian dan keinginannya.
f. Bertanggung jawab Individu bersungguh-sungguh dalam menjalankan pekerjaan.
g. Memiliki Kemauan Bekerja Sama Individu memiliki kesediaan untuk bekerja sama dengan individu yang lain untuk mempermudah atau mempertahankan kualitas kerja.
h. Berinteraksi dengan Atasan Adanya interaksi yang baik dengan atasan, sehingga pegawai merasa nyaman tanpa ada rasa takut dan tertekan.
2.1.2.4 Indikator untuk Mengukur Semangat Kerja
Ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran dalam menentukan
tinggi rendahnya semangat kerja. Adapun indikasi semangat kerja menurut I.G.
Wursanto (1998:150) :
1. Disiplin 2. Human Relation 3. Loyalitas 4. Antusias
34
Bedjo Siswanto (1989:264) indikator-indikator untuk mengukur semangat
Menurut Benge yang dikutip Yadi Purwanto (1995:22) ada tiga aspek
yang dapat dijadikan tolak ukur tinggi rendahnya semangat kerja pegawai yakni
sebagai berikut:
1) Aspek sikap terhadap pekerjaan, merupakan sikap pegawai secara umum terhadap aspek-aspek pekerjaan yang meliputi jenis pekerjaan, kemampuan melakukan pekerjaan, suasana fisik lingkungan kerja, hubungan dengan rekan sekerja, serta sikap terhadap imbalan yang diterima.
2) Aspek sikap terhadap atasan, sikap terhadap atasan dipengaruhi oleh bagaimana perlakuan atasan terhadap karyawan, cara menangani keluhan karyawan, cara penyampaian informasi, perencanaan tugas, tindakan pendisiplinan karyawan, dan bagaimana pandangan terhadap kemampuan atasannya dalam melaksanakan tugas.
3) Aspek sikap terhadap perusahaan, sikap terhadap perusahaan atau organisasi dipengaruhi oleh kebijakan yang berlaku, pemenuhan kebutuhan karyawan, pembanding dengan perusahaan lain, semangat kelompok, dan hubungan dengan pihak atasan.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
aspek atau indikator untuk mengukur semangat kerja pegawai tidak hanya
berkisar kepada persoalan karakter individu terhadap pekerjaannya, melainkan
juga terhadap lingkungan kerjanya. Pegawai yang memiliki semangat kerja tinggi
akan menunjukkan perilaku yang baik yang akan berdampak positif pada hasil
kerja demi pencapaian tujuan perusahaan.
35
2.2 Kerangka Berpikir
Dasar pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah untuk mengkaji
masalah semangat kerja pegawai ditinjau dari penempatan kerja pegawai. Asumsi
dasarnya bahwa penempatan kerja memiliki pengaruh terhadap semangat kerja
pegawai.
Berdasarkan hal tersebut terdapat dua konsep yang memerlukan penjelasan
dan akan diukur melalui variabel-variabel penelitian yang disandarkan kepada
teori yang melandasinya. Konsep tersebut adalah penempatan kerja dan semangat
kerja.
Pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian ini
menggunakan pendekatan psikologi tentang perilaku, khususnya teori perilaku
organisasi. Luthans (1985) dan Gibson, et al. (1997) (dalam Sambas Ali Muhidin,
2007:61-62) mengungkapkan bahwa konsep dasar psikologi pada dasarnya
dilandasi oleh proses-proses psikis pada diri individu atau organisme di dalam
lingkungan tertentu. Kerangka konseptual psikologi tentang perilaku individu
dapat digambarkan sebagai berikut:
36
Sumber: Luthans (2006:198)
Gambar 2. 3 Kerangka Konseptual Model Analisis Perilaku S-O-B-C
Tampak dalam gambar di atas, bahwa Stimulus (S) dalam model di atas
merupakan rangsangan dan mewakili segala hal yang berada dalam lingkungan
organisasi sebagaimana dapat diamati, dihayati dan dialami, yang semuanya
merupakan stimulus bagi organisme atau individu (O). Individu akan berinteraksi
dengan stimulus, yang akan menimbulkan persepsi atau interpretasi tentang
stimulus (S). Hasil interpretasi tentang stimulus (S) akan melahirkan perilaku (B)
tertentu, yang pada gilirannya akan menentukan hasil perilaku atau konsekuensi-
konsekuensi (C) organisasi tertentu.
STIMULUS / SITUASI ORANG
Lingkungan Eksternal Stimulasi Sensual Lingkungan Fisik
Kantor Area Pabrik Laboratorium
Penelitian Toko Cuaca dll.
Lingkungan Sosial Budaya
Gaya manajemen Nilai Diskriminasi
Konfrontasi Stimulus khusus
(misalnya, penyelia atau
prosedur baru)
Registrasi Stimulus (misalnya
mekanisme sensor dan
saraf)
Interprestasi Stimulus (misalnya
motivasi, pembelajaran, dan
kepribadian)
Umpan balik Untuk klarifikasi
(misalnya, kinestetik/ psikologis)
Perilaku (misalnya, seperti terburu-buru atau menyembunyikan suatu perbuatan
sebagai suatu sikap)
Konsekuensi (misalnya,
penguatan respons stimulus/hukuman atau beberapa hasil
organisasi)
PERILAKU
KONSEKUENSI
37
Subproses yang ada dalam stimulus sebelum melahirkan suatu persepsi
adalah adanya registrasi, interpretasi, dan umpan balik (feedback). Dalam masa
registrasi suatu gejala yang nampak adalah mekanisme fisik yang berupa
penginderaan dan syaraf seseorang terpengaruh, kemampuan fisik untuk
mendengar dan melihat akan mempengaruhi persepsi. Dalam hal ini seseorang
mendengar atau melihat informasi terkirim pada individu. Mulailah semua
informasi yang terdengar dan terlihat itu terdaftar. Setelah terdaftarnya semua
informasi yang sampai kepada seseorang, subproses berikutnya adalah interpretasi
yang merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang amat penting. Proses
interpretasi ini tergantung pada cara pendalaman, motivasi, dan kepribadian
seseorang. Pendalaman, motivasi, dan kepribadian seseorang akan berbeda
dengan orang lain. Oleh karena itu, interpretasi terhadap sesuatu informasi yang
sama, akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. Disinilah letak sumber
perbedaan pertama dari persepsi, dan itulah sebabnya mengapa interpretasi
merupakan subproses yang penting. Subproses yang terakhir adalah umpan balik
yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang. Hal ini seperti yang diungkapkan
Miftah Toha (2009:146).
Model di atas menunjukkan bahwa perilaku tergantung pada individu dan
lingkungan yang dihadapinya. Artinya, individu dan lingkungan akan selalu
berada dalam satu hubungan yang tidak terpisah. Stimulus merupakan rangsangan
dari situasi lingkungan, baik yang teramati maupun yang tidak, baik yang bersifat
fisik, sosio-kultural, maupun teknologi. Organisme erat kaitannya dengan proses
kognitif yang terjadi pada diri manusia. Behaviour mempunyai arti sebagai segala
38
sesuatu yang dilakukan oleh manusia, baik yang teramati maupun yang tidak
teramati. Consequence seperti halnya stimulus, merupakan konsekuensi-
konsekuensi yang berasal dari lingkungan organisasi, baik yang teramati maupun
tidak.
Dalam konteks penelitian ini, penempatan kerja mewakili situasi yang
menyediakan stimulus (S) yang dapat diamati, dihayati, dan dialami oleh
organisme (O) atau individu, melahirkan persepsi atau interpretasi terhadap
stimulus yang pada akhirnya melahirkan perilaku (B) tertentu. Selanjutnya
perilaku yang ditampilkan individu akan menimbulkan perubahan di
lingkungannya berupa hasil perilaku C (consequence). Dengan demikian
berdasarkan model teori SOBC ini, penempatan kerja dapat memberikan pengaruh
terhadap perilaku atau hasil perilaku pegawai dalam bekerja yang berbentuk
semangat kerja.
Berdasarkan uraian di atas, secara sederhana kerangka konseptual
psikologi tentang perilaku individu dalam organisasi dapat diragakan pada gambar
2.3:
Sumber: Sambas dan Uep, 2011 mengadaptasi Luthans (1985)
Gambar 2. 4 Perilaku Individu dalam Konteks Perilaku Organisasi
PenempatanKerja
STIMULUS
(S)
Anggota Organisasi
INDIVIDU (O)
Perilaku Individu
PERILAKU (B)
Semangat Kerja
HASIL PERILAKU (C)
39
Bertitik tolak dari kerangka konseptual sebagaimana diragakan di atas,
mengisyaratkan bahwa pertama, perilaku individu dalam organisasi tercipta dari
berbagai situasi yang dapat diamati, dihayati, dan dialami oleh individu, yang
kemudian melahirkan persepsi atau interpretasi dan akhirnya melahirkan perilaku
tertentu. Kedua, semangat kerja yang merupakan perwujudan perilaku individu
dalam organisasi ditentukan oleh sejumlah faktor. Artinya, tinggi rendahnya
semangat kerja tergantung pada seberapa besar faktor-faktor tersebut memberikan
tekanan pada perilaku individu. Semangat kerja dapat diartikan sebagai suatu
kondisi rohaniah atau perilaku individu tenaga kerja dan kelompok-kelompok
yang dapat menimbulkan kesenangan yang mendalam pada diri tenaga kerja untuk
bekerja dengan giat dan konsekuen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
perusahaan. (Bedjo siswanto, 2002:130)
Semangat kerja pegawai merupakan fokus kajian dalam penelitian ini.
Semangat kerja adalah melakukan pekerjaan secara lebih giat, sehingga dengan
demikian pekerjaan akan lebih cepat terselesaikan dan menjadi lebih baik. (Alex
S. Nitisemito, 1991:160). Lebih lanjut Alex S. Nitisemito (1991: 160) menyatakan
bahwa, dengan meningkatkan semangat kerja dan kegairahan kerja, maka
pekerjaan akan lebih cepat diselesaikan, kerusakan dapat diperkecil seminim
mungkin.
Adapun untuk mengukur dan melihat tingkat semangat kerja pegawai,
menurut I.G. Wursanto (1998:150), dapat melalui :
1. Disiplin 2. Human Relation 3. Loyalitas 4. Antusias
40
Mengingat semangat kerja pegawai merupakan salah satu cara
meningkatkan kinerja pegawai sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai, maka
dari itu perlu adanya rangsangan untuk meningkatkan semangat kerja, salah
satunya adalah penempatan kerja pegawai.
Setiap perusahaan mengharapkan pegawainya dapat bekerja dengan baik
dan dengan semangat yang tinggi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah
ditetapkan, karena semangat kerja merupakan kunci sukses dari sebuah
perusahaan. Oleh sebab itu, agar pegawai dapat bekerja dengan semangat yang
tinggi dan hasil kerjanya optimal maka perusahaan harus menempatkan posisi
pegawai dengan tepat. Hal ini seperti dikemukakan oleh Malayu S.P. Hasibuan
(2002:64) bahwa :
Penempatan yang tepat merupakan motivasi yang menimbulkan antusias dan moral kerja yang tinggi bagi karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Jadi, dengan penempatan yang tepat merupakan kunci sukses untuk memperoleh hasil kerja optimal dari setiap karyawan selain moral kerja, kreativitas, dan prakarsanya juga akan berkembang. Apabila kebijakan dalam penempatan pegawai kurang memperhatikan
jabatan dan kualifikasi individu, serta kebutuhan pribadi pegawai dikhawatirkan
akan menimbulkan gejolak intern yang menjurus kepada terjadinya konflik yang
nantinya akan menimbulkan ketidakpuasan dan menurunnya semangat dalam diri
pegawai yang secara tidak langsung akan mengakibatkan kerugian yang cukup
besar dalam upaya mencapai tujuan perusahaan.
Untuk dapat melaksanakan semboyan “the right man in the right place”,
maka ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Dalam hal ini Bambang
41
Wahyudi (1991:32) mengemukakan bahwa : Faktor yang harus dipertimbangkan
dalam penempatan tenaga kerja pada posisi yang tepat antara lain :
a. Pendidikan b. Pengetahuan c. Keterampilan d. Pengalaman
Adapun menurut Schuler and Jackson (1997:276), mengemukakan faktor-
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penempatan pegawai adalah
keterampilan, kemampuan, preferensi, dan kepribadian karyawan. Kepribadian
mengacu pada campuran unik sejumlah karakteristik yang mendefinisikan
seseorang dan menentukan pola interaksinya dengan lingkungan.
Dari pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penempatan
pegawai di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada umumnya faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan proses penempatan pegawai antara
lain : pendidikan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan karakteristik
kepribadian.
Dengan penempatan yang tepat, diharapkan semangat dan gairah kerja,
mental kerja, serta prestasi kerja akan mencapai hasil yang optimal. Namun
permasalahannya tidaklah sesederhana itu, karena justru keberhasilan dari
keseluruhan program pengadaan tenaga kerja terletak pada ketepatan dalam
penempatan tenaga kerja yang bersangkutan. Pada kenyataannya menunjukan
bahwa tidak jarang seseorang yang lulus seleksi secara langsung dapat
ditempatkan sesuai pada jabatan yang tepat.
Kesalahan penempatan akan dapat dirasakan akibatnya tidak saja pada unit
kerja yang bersangkutan tetapi juga kepada unit kerja yang lainnya, sehingga
42
kinerja dan produktivitas organisasi/perusahaan kurang optimal. Hal ini seperti
dikemukakan oleh Alex S. Nitisemito (1991:12) bahwa :
Dengan penempatan yang keliru dapat menimbulkan beberapa akibat, antara lain keresahan, turunnya semangat dan kegairahan kerja, produktivitas yang menurun, tanggung jawab yang kurang, kekeliruan dalam melaksanakan tugas dan sebagainya. Adapun akibat lain dari kesalahan penempatan di antaranya :
a. Meningkatnya labour turnover (LTO) b. Timbulnya konflik c. Timbul/meningkatnya angka kecelakaan kerja
Secara teoritis terlihat bahwa penempatan kerja dapat berpengaruh
terhadap semangat kerja pegawai, dimana apabila semangat kerja menurun dapat