Page 1
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. SKIZOFRENIA
1. Pengertian
Skizofrenia merupakan bentuk sspikologis fungsional paling berat, dan
menimbulkan disorganisasi persoalan yang terberat. Dalam kasus berat pasien
tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya
abnormal. Perjalanan penyakit ini akan berjalan kearah kronisitas, tetapi dalam
waktu sekali-kali dapat timbul serangan.(ingram, et al 1995).
Kaplan dan sadock (1997) mengatakan bahwa reaksi spikologik pada
penderita skizofrenia berbeda dengan penderita cacat mental atau spikologis
karena kerusakan otak. Jadi skizofrenia bukan dementia, melainkan tedapat
suatu disharmoni dari jiwanya, dengan banyak tedensi-tedensi yang kontradiktif
sehingga kepribadiannya seolah-olah terbelah(skizoz :pecah belah atau
bercabang, phrein : jiwa)
Skizofrenia adalah gangguan spikotik yang kronis, mengalami kambuh dan
remisi dengan manifestasi yang banyak dan tidak khas, penyesuaian pamoroit,
gelaja dan perjalanannya bervariasi. Pada skizofrenia ditemukan gejala yang
berat, ketidak mampuan pasien untuk merawat dirinya sendiri, pemburukan
social yang bertahap, halusinasi yang menimbulkan tegangan, perilaku yang
kacau, inkohorensi, agitasi, dan penelantaran (www.wikipedia.co.id)
B. Gejala - Gejala
Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan
seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak
acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah,
kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan
atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau
memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri
Page 2
secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas,
mengganggu dan tak disiplin.
Secara umum, gejala-gejala yang muncul pada penderita skizofrenia adalah
sebagai berikut:
muncul delusi dan halusinasi. Delusi adalah keyakinan/pemikiran yang salah
dan tidak sesuai kenyataan, namun tetap dipertahankan sekalipun dihadapkan
pada cukup banyak bukti mengenai pemikirannya yang salah tersebut. Delusi
yang biasanya muncul adalah bahwa penderita skizofrenia meyakini dirinya
adalah Tuhan, dewa, nabi, atau orang besar dan penting. Sementara halusinasi
adalah persepsi panca indera yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya
penderita tampak berbicara sendiri tetapi ia mempersepsikan ada orang lain yang
sedang ia ajak berbicara.
kehilangan energi dan minat untuk menjalani aktivitas sehari-hari, bersenang-
senang, maupun aktivitas seksual, berbicara hanya sedikit, gagal menjalin
hubungan yang dekat dengan orang lain, tidak mampu memikirkan konsekuensi
dari tindakannya, menampilkan ekspresi emosi yang datar, atau bahkan ekspresi
emosi yang tidak sesuai konteks (misalkan tiba-tiba tertawa atau marah-marah
tanpa sebab yang jelas).
menampilkan perilaku tidak terorganisir, misalnya menampilkan pose tubuh
yang aneh, pembicaraan yang tidak tertata dengan baik (bicara melompat-lompat
dari satu topik ke topik yang lain atau 'tidak nyambung').
Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:
1. Gejala-gejala Positif. Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran
(kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas
yang dapat diamati oleh orang lain.
2. Gejala-gejala Negatif. Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena
merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk
kurang atau tidak mampu menampakkan/ mengekspresikan emosi pada wajah
Page 3
dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati
kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia).
Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita skizofrenia atau penyakit
psikotik yang lainnya, keberadaan skizofrenia pada grup ini sangat sulit dibedakan
dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom Asperger atau ADHD atau
gangguan perilaku dan gangguan Post Traumatic Stress Dissorder. Oleh sebab itu
diagnosa penyakit psikotik atau skizofrenia pada anak-anak kecil harus dilakukan
dengan sangat berhati-hati oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor
predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan
berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid
yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta
selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku atau tampilan diri
aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh
pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali,
pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang
termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang
menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala
skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang
normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak
mampu mengatasi. Beberapa jenis obat-obatan terlarang seperti ganja, halusinogen atau
amfetamin (ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-gejala psikosis.
Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga perlu
menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu
memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan.
Perawatan terpenting dalam menyembuhkan penderita skizofrenia adalah perawatan
obat-obatan antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis.
Page 4
C. Klasifikasi Skizofrenia
Gangguan skizofrenia sebenarnya dapat dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu:
1. Skizofrenia paranoid (curiga, bermusuhan, garang dsb)·
2. Skizofrenia katatonik (seperti patung, tidak mau makan, tidak mau minum, dsb)
3. Skizofrenia hebefrenik (seperti anak kecil, merengek-rengek, minta-minta, dsb)
4. Skizofrenia simplek (seperti gelandangan, jalan terus, kluyuran)·
5. Skizofrenia Latent (autustik, seperti gembel)
Pada umumya, gangguan skizofrenia yang terjadi pada lansia adalah skizofrenia
paranoid, simplek dan latent. Sulitnya dalam pelayanan keluarga, para lansia dengan
gangguan kejiwaan tersebut menjadi kurang terurus karena perangainya dan
tingkahlakunya yang tidak menyenangkan orang lain, seperti curiga berlebihan, galak,
bersikap bermusuhan, dan kadang-kadang baik pria maupun wanita perilaku seksualnya
sangat menonjol walaupun dalam bentuk perkataan yang konotasinya jorok dan porno
(walaupun tidak selalu).
Gangguan Jiwa Afektif
Gangguan jiwa afektif adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya
gangguan emosi (afektif) sehingga segala perilaku diwarnai oleh ketergangguan keadan
emosi. Gangguan afektif ini antara lain:
a. Gangguan Afektif tipe Depresif --- Gangguan ini terjadi relatif cepat dalam beberapa
bulan. Faktor penyebabnya dapat disebabkan oleh kehilangan atau kematian pasangan
hidup atau seseorang yang sangat dekat atau oleh sebab penyakit fisik yang berat atau
lama mengalami penderitaan.Gangguan ini paling banyak dijumpai pada usia
pertengahan, pada umur 40 – 50 tahun dan kondisinya makin buruk pada lanjut usia
(lansia). Pada usia pertengahan tersebut prosentase wanita lebih banyak dari laki-laki,
akan tetapi diatas umur 60 tahun keadaan menjadi seimbang. Pada wanita mungkin ada
kaitannya dengan masa menopause, yang berarti fungsi seksual mengalami penurunan
karena sudah tidak produktif lagi, walaupun sebenarnya tidak harus begitu, karena
kebutuhan biologis sebenarnya selama orang masih sehat dan masih memerlukan tidak
Page 5
ada salahnya bila dijalankan terus secara wajar dan teratur tanpa menggangu
kesehatannya.
Gejala gangguan afektif tipe depresif adalah: sedih, sukar tidur, sulit berkonsentrasi,
merasa dirinya tak berharga, bosan hidup dan kadang-kadang ingin bunuh diri.
Beberapa pandangan menganggap bahwa terdapat 2 jenis depresi yaitu Depresi tipe
Neurotik dan Psikotik. Pada tipe neurotik kesadaran pasien tetap baik, namun memiliki
dorongan yang kuat untuk sedih dan tersisih. Pada depresi psikotik, kesadarannya
terganggu sehingga kemampuan uji realitas (reality testing ability) ikut terganggu dan
berakibat bahwa kadang-kadang pasien tidak dapat mengenali orang, tempat, maupun
waktu atau menjadi seseorang yang tak tahu malu, tak ada rasa takut, dsb.
b. Gangguan Afektif tipe Manik --- Gangguan ini sering timbul secara bergantian pada
pasien yang mengalami gangguan afektif tipe depresi sehingga terjadi suatu siklus yang
disebut gangguan afektif tipe Manik Depresif. Dalam keadaan Manik, pasien
menunjukkan keadaan gembira yang tinggi, cenderung berlebihan sehingga mendorong
pasien berbuat sesuatu yang melampaui batas kemampuannya, pembicaraan menjadi
tidak sopan dan membuat orang lain menjadi tidak enak. Kondisi ini lebih jarang terjadi
dari pada tipe depresi. Kondisi semacam ini kadang-kadang silih berganti, suatu ketika
pasien menjadi eforia, aktif, riang gembira, pidato berapi-api, marah-marah, namun tak
lama kemudia menjadi sedih, murung, menangis tersedu-sedu yang sulit dimengerti.
c. Neurosis --- Gangguan neurosis dialami sekitar 10-20% kelompok lanjut usia (lansia).
Sering sukar untuk mengenali gangguan ini pada lanjut usia (lansia) karena disangka
sebagai gejala ketuaan. Hampir separuhnya merupakan gangguan yang ada sejak masa
mudanya, sedangkan separuhnya lagi adalah gangguan yang didapatkannya pada masa
memasuki lanjut usia (lansia). Gangguan neurosis pada lanjut usia (lansia) berhubungan
erat dengan masalah psikososial dalam memasuki tahap lanjut usia (lansia). Gangguan
ini ditandai oleh kecemasan sebagai gejala utama dengan daya tilikan (insight) serta
daya menilai realitasnya yang baik. Kepribadiannya tetap utuh, secara kualitas perilaku
orang neurosis tetap baik, namun secara kuantitas perilakunya menjadi irrasional.
Sebagai contoh : mandi adalah hal yang biasa dilakukan oleh orang normal sehari 2 kali,
namun bagi orang neurosis obsesive untuk mandi, ia akan mandi berkali-kali dalam satu
Page 6
hari dengan alasan tidak puas-puas untuk mandi. Secara umum gangguan neurosis dapat
dikategorikan sebagai berikut:
Neurosis cemas dan panic
Neurosis obsesif kompulsif
Neurosis fobik
Neurosis histerik (konversi)
Gangguan somatoform
Faktor resiko penyakit ini termasuk:
1. Riwayat skizofrenia dalam keluarga
2. Perilaku premorbid yang ditandai dengan kecurigaan, eksentrik, penarikan diri,
dan/atau impulsivitas.
3. Stress lingkungan
4. Kelahiran pada musim dingin. Faktor ini hanya memiliki nilai prediktif yang
sangat kecil.
5. Status sosial ekonomi yang rendah sekurang-kurangnya sebagian adalah karena
dideritanya gangguan ini
Tidak ada jalur etiologi tunggal yang telah diketahui menjadi penyebab
skizofrenia. Penyakit ini mungkin mewakili sekelompok heterogen gangguan yang
mempunyai gejala-gejala serupa. Secara genetik, sekurang-kurangnya beberapa individu
penderita skizofrenia mempunyai kerentanan genetic herediter. Kemungkinan menderita
gangguan ini meningkat dengan adanya kedekatan genetic dengan, dan beratnya
penyakit, probandnya. Penelitian Computed Tomography (CT) otak dan penelitian post
mortem mengungkapkan perbedaan-perbedaan otak penderita skizofrenia dari otak
normal walau pun belum ditemukan pola yang konsisten. Penelitian aliran darah,
glukografi, dan Brain Electrical Activity Mapping (BEAM) mengungkapkan turunnya
aktivitas lobus frontal pada beberapa individu penderita skizofrenia. Status
hiperdopaminergik yang khas untuk traktus mesolimbik (area tegmentalis ventralis di
otak tengah ke berbagai struktur limbic) menjadi penjelasan patofisiologis yang paling
luas diterima untuk skizofrenia.
Page 7
Semua tanda dan gejala skizofrenia telah ditemukan pada orang-orang bukan
penderita skizofrenia akibat lesi system syaraf pusat atau akibat gangguan fisik lainnya.
Gejala dan tanda psikotik tidak satu pun khas pada semua penderita skizofrenia. Hal ini
menyebabkan sulitnya menegakkan diagnosis pasti untuk gangguan skizofrenia.
Keputusan klinis diambil berdasarkan sebagian pada:
1. Tanda dan gejala yang ada
2. Riwayat psikiatri
3. Setelah menyingkirkan semua etiologi organic yang nyata seperti keracunan dan
putus obat akut.
D. Terapi Penyakit Skizofrenia
Pemberian obat-obatan
Obat neuroleptika selalu diberikan, kecuali obat-obat ini terkontraindikasi,
karena 75% penderita skizofrenia memperoleh perbaikan dengan obat-obat
neuroleptika. Kontraindikasi meliputi neuroleptika yang sangat antikolinergik seperti
klorpromazin, molindone, dan thioridazine pada penderita dengan hipertrofi prostate
atau glaucoma sudut tertutup. Antara sepertiga hingga separuh penderita skizofrenia
dapat membaik dengan lithium. Namun, karena lithium belum terbukti lebih baik dari
neuroleptika, penggunaannya disarankan sebatas obat penopang. Meskipun terapi
elektrokonvulsif (ECT) lebih rendah dibanding dengan neuroleptika bila dipakai
sendirian, penambahan terapi ini pada regimen neuroleptika menguntungkan beberapa
penderita skizofrenia.
Pendekatan Psikologi
Hal yang penting dilakukan adalah intervensi psikososial. Hal ini dilakukan
dengan menurunkan stressor lingkungan atau mempertinggi kemampuan penderita
untuk mengatasinya, dan adanya dukungan sosial. Intervensi psikososial diyakini
berdampak baik pada angka relaps dan kualitas hidup penderita. Intervensi berpusat
pada keluarga hendaknya tidak diupayakan untuk mendorong eksplorasi atau ekspresi
perasaan-perasaan, atau mempertinggi kewaspadaan impuls-impuls atau motivasi bawah
sadar.
Page 8
Tujuannya adalah:
1. Pendidikan pasien dan keluarga tentang sifat-sifat gangguan skizofrenia.
2. Mengurangi rasa bersalah penderita atas timbulnya penyakit ini. Bantu penderita
memandang bahwa skizofrenia adalah gangguan otak.
3. Mempertinggi toleransi keluarga akan perilaku disfungsional yang tidak
berbahaya. Kecaman dari keluarga dapat berkaitan erat dengan relaps.
4. Mengurangi keterlibatan orang tua dalam kehidupan emosional penderita.
Keterlibatan yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko relaps.
5. Mengidentifikasi perilaku problematik pada penderita dan anggota keluarga
lainnya dan memperjelas pedoman bagi penderita dan keluarga.
Psikodinamik atau berorientasi insight belum terbukti memberikan keuntungan
bagi individu skizofrenia. Cara ini malahan memperlambat kemajuan. Terapi individual
menguntungkan bila dipusatkan pada penatalaksanaan stress atau mempertinggi
kemampuan social spesifik, serta bila berlangsung dalam konteks hubungan terapeutik
yang ditandai dengan empati, rasa hormat positif, dan ikhlas. Pemahaman yang empatis
terhadap kebingungan penderita, ketakutan-ketakutannya, dan demoralisasinya amat
penting dilakukan.
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang parah dan sulit ditangani. Penderita
skizofrenia tidak dapat disembuhkan secara total, dalam arti halusinasi dan delusi tidak
dapat hilang total, karena tanpa pengobatan yang terus-menerus dan dukungan dari
lingkungan, maka gejala-gejala skizofrenia dapat kembali muncul saat individu berada
dalam tekanan atau mengalami stres. Intervensi sejak dini merupakan hal yang sangat
penting dan bermanfaat dalam penanganan skizofrenia demi mencegah perkembangan
gangguan ke arah yang semakin parah. Penanganan gangguan skizofrenia membutuhkan
berbagai pendekatan selain dengan obat-obatan, tetapi juga dengan terapi-terapi baik
terapi individu, kelompok (difokuskan pada keterampilan sosial, penyelesaian masalah,
perubahan pemikiran, dan keterampilan persiapan memasuki dunia kerja), maupun
keluarga.
Dalam terapi keluarga, diberikan informasi dan edukasi mengenai skizofrenia
dan pengobatannya, selain itu terapi juga diarahkan untuk menghindarkan sikap saling
Page 9
menyalahkan dalam keluarga, meningkatkan komunikasi dan keterampilan pemecahan
masalah dalam keluarga, mendorong penderita dan keluarga untuk mengembangkan
kontak sosial, dan meningkatkan motivasi penderita skizofrenia dan keluarganya.
Prognosis Penyakit Skizofrenia
Fase residual sering mengikuti remisi gejala psikotik yang tampil penuh,
terutama selama tahun-tahun awal gangguan ini. Gejala dan tanda selama fase ini mirip
dengan gejala dan tanda pada fase prodromal; gejala-gejala psikotik ringan menetap
pada sekitar separuh penderita. Penyembuhan total yang berlangsung sekurang-
kurangnya tiga tahun terjadi pada 10% pasien, sedangkan perbaikan yang bermakna
terjadi pada sekitar dua per tiga kasus. Banyak penderita skizofrenia mengalami
eksaserbasi intermitten, terutama sebagai respon terhadap situasi lingkungan yang
penuh stress. Pria biasanya mengalami perjalanan gangguan yang lebih berat dibanding
wanita. Sepuluh persen penderita skizofrenia meninggal karena bunuh diri.
Prognosis baik berhubungan dengan tidak adanya gangguan perilaku
prodromal, pencetus lingkungan yang jelas, awitan mendadak, awitan pada usia
pertengahan, adanya konfusi, riwayat untuk gangguan afek, dan system dukungan yang
tidak kritis dan tidak terlalu intrusive. Skizofrenia Tipe I tidak selalu mempunyai
prognosis yang lebih baik disbanding Skizofrenia Tipe II. Sekitar 70% penderita
skizofrenia yang berada dalam remisi mengalami relaps dalam satu tahun. Untuk itu,
terapi selamanya diwajibkan pada kebanyakan kasus.
2. ISOLASI SOSIAL
Masalah Utama : Menarik diri: solasi Sosial
Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993). Terjadinya
perilaku menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan stressor
presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor
predispoisi terjadinya perilaku menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat
Page 10
mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu, takut
salah , pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari
orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Keadaan
menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain,
menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri, kegiatan
sehari-hari hampir terabaikan.
Gejala Klinis :
Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
Menghindar dari orang lain (menyendiri).
Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan
klien lain/perawat.
Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk.
Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas.
Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan
atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.
Posisi janin saat tidur. (Budi Anna Keliat, 1998)
b. Penyebab dari Menarik Diri
Salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah. Harga diri
adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa
jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat
digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan
diri, merasa gagal mencapai keinginan.
Gejala Klinis :
Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi).
Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri).
Gangguan hubungan sosial (menarik diri).
Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan).
Page 11
Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
( Budi Anna Keliat, 1999)
c. Akibat dari Menarik Diri
Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakibat adanya terjadinya resiko
perubahan sensori persepsi (halusinasi). Halusinasi ini merupakan salah satu
orientasi realitas yang maladaptive, dimana halusinasi adalah persepsi klien
terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, artinya klien
menginterprestasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus/rangsangan eksternal.
Gejala Klinis :
Bicara, senyum dan tertawa sendiri.
Menarik diri dan menghindar dari orang lain.
Tidak dapat membedakan tidak nyata dan nyata.
Tidak dapat memusatkan perhatian.
Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya),
takut.
Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung. (Budi Anna Keliat, 1999)
Rentang Respon
Hubungan dengan orang lain dan lingkungan menimbulkan respon sosial pada
individu
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Menyendiri,otonimi bekerja sama, interdependen
Merasa sendiri, depensi curiga
Menarik diri, ketergantungan, manipulasi, curiga
Page 12
Respon Adaptif :
a. Respon individu dalam menyelesaikan masalah yang masih dapat diterima
oleh norma - norma sosial dan budaya yang umum berlaku (masih dalam batas
normal), meliputi :
b. Menyendiri : respon seseorang untuk merenungkan apa yg telah dilakukan
diilingkungan sosial dan juga suatu caralmengevaluasi diri untuk menentukan
langkah berikutnya.langkah berikutnya.
c. Otonomi : Kemampuan individu menentukan dan menyampaikan ide, pikiran,
perasaan dlm hubungan sosialpikiran, perasaan dlm hub sosial
d. Kebersamaan : indivud mampu saling memberi dan menerima.
Respon Maladaptif :
a. Respon individu dalam penyelesaian masalah menyimpang dari norma – norma
sosial dan budaya lingkungannya, meliputi :
b. Manipulasi : orang lain diperlakukan sebagai objek, hubungan terpusat
pada masalah pengendalian orang lain dan individu cenderung
berorientasi pada diri sendiri atau tujuan, bukan pada orang lain.
c. Impulsif : individu impulsif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak
mampu belajar dari pengalaman, tidak dapat diandalkan
d. Narkisisme : harga diri yang rapuh, secara terussmenerus berusaha
mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap egosentris, pencemburu,
marah jika orang lain tidak mendukung.orang lain tidak m’dukung
B. Fase Terjadinya Masalah
Menurut (Stuart. G. W ; 2007 ) isolasi sosial di sebabkan oleh beberapa faktor
antara lain :
Faktor Predisposisi
a. Faktor tumbang : tugas perkembangan pada fase tumbang tidak terselesaikanf
b. Faktor komunikasi dalam keluarga : komunikasi yang tidak jelas (suatu
keadaan dimana seorang menerimapesan yang saling bertentangan dlm waktu
yg bersamaan), ekpresi emosi yang tinggi dalam keluarga yg menghambat
untuk berhubungan dengan lingkungan diluar keluarga.
Page 13
c. Faktor Sosial Budaya :Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan
sosial, disebabkan norma - norma yang salah dianut keluarga, seperti : anggota
keluarga tidak produktif ( lansia, berpenyakit kronis dan penyandang cacat)
diasingkan dari lingkungan sosialnya.
d. Faktor biologis : gangguan dalam otak, seperti pada skizofrenia terdapat
struktur otak yang abnormal ( atropi otak, perubahan ukuran dan bentuk sel –
sel dalam limbik dan daerah kortikal).
Faktor Presipitasi
a. Faktor eksternal : stressor sosial budaya : stress yang ditimbulkan oleh faktor
sosial budaya ( keluarga.
b. Faktor Internal : stresor psikologik : stres terjadi akibat ansietas
berkepanjangan disertaiaketerbatasan kemampuan m’atasinyaketerba
Mekanisme Kopingtasan kemampuan m’atasinya
a. Perilaku curiga : regresi, proyeksi, represiPerilaku curiga : regresi, \\proyeksi, r
b. Perilaku dependen : regresiPerilaku dependen : regresi
c. Perilaku manipulatif : regresi, represiPerilaku manipulatif : regresi, represi
d. Isolasi/ menarik diri : regresi, represi, isolasi
Perilaku
a Menarik diri : kurang spontan, apatis, ekspresiiwajah kurang berseri, defisit
perawatan diri, komunikasi kurang, isolasi diri, aktivitas menurun, kurang
berenergi, rendah diri, postur tubuh sikap fetus.
b. Curiga :tidak percaya orang lain, bermusuhan, isolasi sosial, paranoiaisolasi
c. Manipulasi : kurang asertif, isolasi sosial, hargadiri rendah, tergantung pd orang
lain, ekspresi perasaan tdk langsung pd tujuan.
Sumber Koping
Sumber koping individu harus dikaji dengan pemahaman tentang pengaruh
gangguan otak pada prilaku. Kekuatan dapat meliputi model, seperti intelegensi
dan kretifitas yang tinggi. Orang tua harus secara aktif mendidik anak – anak dan
Page 14
dewasa muda tentang keterampilan koping kerena mereka biasanya tidak hanya
belajar dari pangalaman.p
3. Pohon Masalah
Resiko Perubahan Sensori-persepsi :Halusinasi ……..
Isolasi sosial : menarik diri Core Problem
Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah
( Budi Anna Keliat, 1999)
Resiko menciderai diri, Resiko Persepsi sensori
orang lain, lingkungan Halusinasi
Tidak efektifnya Defisit
Penatalaksanaan Isolasi sosial : Perawatan diri
Regiment terapeutik Menarik Diri
Tidak efektifnya Menurunnya
Koping keluarga: Gangguan Motivasi
Ketidakmampuan Harga Diri Rendah Perawatan
Keluarga merawat Diri
Anggota keluarga
Yang sakit
Page 15
4. Masalah Keperawatan dan Data yang perlu dikaji
a. Masalah Keperawatan
1. Resiko perubahan persepsi - sensori : halusinasi
2. Isolasi Sosial : menarik diri
3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
b. Data yang perlu dikaji
1. Resiko perubahan persepsi - sensori : halusinasi
1). Data Subjektif
a. Klien mengatakan mendengar bunyi tanpa ada yang stimulus nyata.
b. Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata.
c. Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus.
d. Klien merasa makan sesuatu.
e. Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya.
f. Klien takut pada suara/bunyi/gambar yang dilihat dan didengar.
g. Klien ingin memukul/melempar barang-barang.
2). Data Objektif
a. Klien berbicara dan tertawa sendiri.
b. Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu.
c. Klien berhebti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu.
d. Disorientasi.
2. Isolasi Sosial : menarik diri
1). Data Subyektif
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
2). Data Obyektif
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup.
Page 16
3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
1). Data subyektif:
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
2). Data obyektif:
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup
5. Diagnosia Keperawatan
1). Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi ... berhubungan dengan menarik
diri.
2). Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
6. Rencana Tindakan Keperawatan
Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi ... berhubungan dengan menarik diri.
Tujuan Umum :
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Rasional : Hubungan saling percaya merupakan landasan utama untuk hubungan
selanjutnya.
Tindakan:
1). Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik dengan cara :
a. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal.
b. Perkenalkan diri dengan sopan.
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai.
d. Jelaskan tujuan pertemuan.
Page 17
e. Jujur dan menepati janji.
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien.
2. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Rasional :
Memberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya dapat membantu
mengurangi stres dan penyebab perasaaan menarik diri.
Tindakan :
1). Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya.
2). Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri atau mau bergaul.
3). Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
penyebab yang muncul.
4). Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya.
3. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Rasional :
Untuk mengetahui keuntungan dari bergaul dengan orang lain.
Untuk mengetahui akibat yang dirasakan setelah menarik diri.
Tindakan :
3.1 Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan
dengan orang lain.
3.1.1 Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain.
3.1.2 Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan
orang lain.
Page 18
3.1.3 Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain.
3.2 Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan
orang lain.
3.2.1 Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan
dengan orang lain.
3.2.2 Biskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan
dengan orang lain.
3.2.3 Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
4. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial.
Rasional :
Mengeksplorasi perasaan klien terhadap perilaku menarik diri yang biasa
dilakukan.
Untuk mengetahui perilaku menarik diri yang dilakukan dan dengan bantuan
perawat bisa membedakan perilaku konstruktif dan destruktif.
Tindakan :
4.1 Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain.
4.2 Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui
tahap :
K – P
K – P – P lain
K – P – P lain – K lain
K – Kel/Klp/Masyarakat
4.3 Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
4.4 Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan.
4.5 Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi
waktu.
4.6 Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan.
4.7 Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan.
Page 19
5. Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang
lain.
Rasional : Dapat membantu klien dalam menemukan cara yang
dapat menyelesaikan masalah.
Tindakan :
5.1 Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan
dengan orang lain.
5.2 Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan
orang lain.
5.3 Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan
manfaat berhubungan dengan orang lain.
6. Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga.
Rasional : memberikan penanganan bantuan terapi melalui pengumpulan data
yang lengkap dan akurat kondisi fisik dan non fisik klien serta
keadaan perilaku dan sikap keluarganya.
Tindakan :
6.1 Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
Salam, perkenalan diri.
Jelaskan tujuan.
Buat kontrak.
Eksplorasi perasaan klien.
6.2 Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
Perilaku menarik diri.
Penyebab perilaku menarik diri.
Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi.
Cara keluarga menghadapi klien menarik diri.
6.3 Dorong anggota keluarga untuk memberikan dukungan kepada klien untuk
berkomunikasi dengan orang lain.
Page 20
6.4 Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien
minimal satu kali seminggu.
6.5 Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh
keluarga
Diagnose II : Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri
rendah.
Tujuan umum :
Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Rasional : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran
hubungan interaksi selanjutnya
Tindakan :
Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik :
a.sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c.Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e.Jujur dan menepati janji
f. Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g. Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
Rasional :
Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri
atau integritas ego diperlakukan sebagai dasar asuhan keperawatannya.
Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri klien.
Page 21
Pujian yang realistik tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan hanya
karena ingin mendapatkan pujian.
Tindakan:
2.1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
2.1. Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negatif.
2.1. Utamakan memberikan pujian yang realistik.
3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
Rasional :
Keterbukaan dan pengertian tentang kemampuan yang dimiliki adalah
prasyarat untuk berubah.
Pengertian tentang kemampuan yang dimiliki diri memotivasi untuk tetap
mempertahankan penggunaannya.
Tindakan:
3.1. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama
sakit.
3.2. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.
4. Klien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki.
Rasional :
Membentuk individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Klien perlu bertindak secara realistis dalam kehidupannya.
Contoh peran yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk melaksanakan
kegiatan.
Tindakan:
4.1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari
sesuai kemampuan.
Kegiatan mandiri.
Page 22
Kegiatan dengan bantuan sebagian.
Kegiatan yang membutuhkan bantuan total.
4.2. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.
4.3. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan.
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
Rasional :
Memberikan kesempatan kepada klien mandiri dapat meningkatkan motivasi
dan harga diri klien.
Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien.
Memberikan kesempatan kepada klien ntk tetap melakukan kegiatan yang
bisa dilakukan.
Tindakan:
5.1. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.
5.2. Beri pujian atas keberhasilan klien.
5.3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Rasional:
Mendorong keluarga untuk mampu merawat klien mandiri di rumah.
Support sistem keluarga akan sangat berpengaruh dalam mempercepat
proses penyembuhan klien.
Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien di rumah.
Tindakan:
1. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan
harga diri rendah.
2. Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat.
Page 23
3. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Azis R, dkk. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino
Gondoutomo. 2003
2. Boyd MA, Hihart MA. Psychiatric Nursing : Contemporary Practice.
Philadelphia : Lipincott-Raven Publisher. 1998
3. Budi Anna Keliat. Asuhan Klien Gangguan Hubungan Sosial: Menarik Diri.
Jakarta : FIK UI. 1999
4. Keliat BA. Proses Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC. 1999
5. Stuart GW, Sundeen SJ. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC.
1998
6. Tim Direktorat Keswa. Standar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 1.
Bandung : RSJP Bandung. 2000