12 BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI PENDIDIKAN FORMAL Bab II merupakan tinjauan pustaka. Bab ini terbagi-bagi dalam beberapa sub-bab. Dalam bab ini penulis menguraikan secara lebih terperinci buku-buku rujukan dan artikel-artikel mengenai materi-materi yang berhubungan dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut diantaranya konsep dasar pendidikan nonformal, sejarah perkembangan pendidikan nonformal, dan upaya pencerdasan bangsa dan pengembangan kewirausahaan. A. Konsep Dasar Pendidikan Nonformal Untuk buku-buku rujukan yang membahas konsep-konsep dasar pendidikan luar sekolah atau nonformal yang meliputi pengertian pendidikan nonformal, tujuan dan fungsi pendidikan nonformal, ciri-ciri pendidikan nonformal, satuan/wadah kegiatan pendidikan nonformal, sifat-sifat pendidikan nonformal, syarat-syarat pendidikan nonformal, penilaian pendidikan nonformal, dan kaitan bimbingan belajar dengan pendidkan nonformal, diantaranya: Buku yang pertama berjudul “Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah” karya S. Joesoef. Dalam buku tersebut, S. Joesoef mencoba mengajak pembaca untuk memahami konsep-konsep dasar mengenai pendidikan luar sekolah atau nonformal. Pengarang membagi bukunya menjadi beberapa bab. Salah satunya
26
Embed
BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
12
BAB II
LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI
PENDIDIKAN FORMAL
Bab II merupakan tinjauan pustaka. Bab ini terbagi-bagi dalam beberapa
sub-bab. Dalam bab ini penulis menguraikan secara lebih terperinci buku-buku
rujukan dan artikel-artikel mengenai materi-materi yang berhubungan dengan
permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut
diantaranya konsep dasar pendidikan nonformal, sejarah perkembangan
pendidikan nonformal, dan upaya pencerdasan bangsa dan pengembangan
kewirausahaan.
A. Konsep Dasar Pendidikan Nonformal
Untuk buku-buku rujukan yang membahas konsep-konsep dasar
pendidikan luar sekolah atau nonformal yang meliputi pengertian pendidikan
nonformal, tujuan dan fungsi pendidikan nonformal, ciri-ciri pendidikan
nonformal, satuan/wadah kegiatan pendidikan nonformal, sifat-sifat pendidikan
nonformal, syarat-syarat pendidikan nonformal, penilaian pendidikan nonformal,
dan kaitan bimbingan belajar dengan pendidkan nonformal, diantaranya:
Buku yang pertama berjudul “Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah”
karya S. Joesoef. Dalam buku tersebut, S. Joesoef mencoba mengajak pembaca
untuk memahami konsep-konsep dasar mengenai pendidikan luar sekolah atau
nonformal. Pengarang membagi bukunya menjadi beberapa bab. Salah satunya
13
adalah bab mengenai pendidikan luar sekolah. Dalam bab tersebut, dibahas secara
definitif dan terperinci mengenai pengertian pendidikan luar sekolah atau
nonformal, ciri-ciri pendidikan nonformal, dan satuan/wadah kegiatan pendidikan
nonformal. Upaya ini memudahkan pembaca dan penulis untuk mengidentifikasi
secara jelas mengenai apa itu pendidikan nonformal dan apa saja konsep yang
berhubungan dengan pendidikan nonformal. Buku tersebut memberikan
kontribusi terhadap penelitian ini yaitu dalam menjelaskan konsep dasar
pendidikan nonformal.
Bimbingan belajar merupakan bentuk satuan pendidikan nonformal.
Pengertian dari pendidikan nonformal seperti yang dijelaskan pada Komunikasi
Pembaruan Nasional Pendidikan dalam Joesoef (2004: 50), yaitu:
“Setiap kesempatan di mana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya”. Bimbingan belajar juga merupakan bentuk satuan pendidikan nonformal
yang memiliki beberapa ciri khusus. Ciri-ciri pendidikan nonformal seperti
dijelaskan dalam Joesoef (2004: 72-73), yaitu:
1. Diselenggarakan oleh pemerintah dan atau pihak swasta.
2. Pada umumnya tidak dibagi atas jenjang.
3. Waktu penyampaian diprogram lebih pendek.
4. Usia siswa di sesuatu kursus tidak perlu sama.
14
5. Para siswa umumnya berorientasi studi jangka pendek, praktis, agar segera
dapat menerapkan hasil pendidikannya.
6. Materi mata pelajaran pada umumnya lebih banyak bersifat praktis dan
khusus.
7. Merupakan respon daripada kebutuhan khusus yang mendesak.
8. Credentials (ijazah, dan sebagainya) umumnya kurang memegang peranan
penting terutama bagi penerimaan siswa.
Menurut Joesoef (2004: 63), terdapat banyak satuan/wadah kegiatan
pendidikan nonformal ada tiga salah satunya yaitu bimbingan belajar. Bimbingan
belajar adalah suatu lembaga kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan dalam
jangka waktu tertentu. Bimbingan belajar tetap memenuhi unsur belajar mengajar
seperti warga belajar, sumber belajar, program belajar, tempat belajar, dan
fasilitas belajar. Sistem pengajaran dapat berupa ceramah, diskusi, latihan,
praktek, dan penugasan. Dan pada akhir kegiatan bimbingan belajar ada evaluasi
untuk menentukan keberhasilan.
Menurut penulis, buku yang pertama cukup informatif untuk menjelaskan
mengenai konsep dasar pendidikan nonformal. Namun, pengarangnya tidak
memberikan penjelasan yang definitif dan terperinci mengenai persamaan antara
pendidikan luar sekolah dan pendidikan nonformal. Pengarangnya menjelaskan
bahwa pendikan nonformal dan informal sama dengan pendidikan luar sekolah.
Ketidakjelasan ini membuat penulis sedikit kesulitan dalam hal menentukan
apakah pendidikan luar sekolah itu sama dengan pendidikan nonformal atau tidak.
15
Sama halnya dengan buku kedua yang berjudul “Filsafat Pendidikan
Nonformal” karya Oong Komar. Dalam buku tersebut, Oong Komar menjelaskan
secara definitif dan terperinci mengenai konsep dasar pendidikan nonformal.
Pengarangnya membagi buku tersebut ke dalam tiga bagian. Salah satunya adalah
bagian ketiga yang terdiri dari enam bab. Beberapa bab dari bab-bab tersebut
berisi pembahasan mengenai konsep dasar pendidikan nonformal yaitu pengertian
pendidikan nonformal, tujuan pokok dan fungsi pendidikan nonformal, program
pendidikan nonformal, dan satuan pendidikan nonformal.
Menurut Komar (2006: 216), definisi operasional Pendidikan Nonformal
dalam bentuk satuan bimbingan belajar adalah usaha sadar untuk mengembangkan
diri melalui kegiatan pengajaran dan pelatihan yang berlangsung di luar satuan/
jalur kegiatan pendidikan sekolah (TK, SD, SMP, SLTA dan PT), baik yang
dilembagakan maupun tidak, baik peningkatan kemampuan kerja dan mengikuti
kemajuan zaman.
Hoxeng (1973) dan Srinivasan (1977) dalam Komar (2006: 236)
mengklasifikasikan program pendidikan nonformal atas dasar pendekatan
pembelajaran yang digunakan, yakni: (a) pembelajaran yang memusatkan pada
bahan belajar, (b) pembelajaran yang memusatkan pada pemecahan masalah, (c)
pembelajaran yang memusatkan pada perubahan keadaan masyarakat, dan (d)
pembelajaran yang memusatkan pada kreativitas perencanaan dan pengembangan
sumber daya manusia. Jadi, dapat penulis simpulkan bahwa bimbingan belajar
merupakan satuan pendidikan nonformal yang programnya didasari atas
pendekatan pembelajaran yang memusatkan pada bahan belajar.
16
Menurut Pasal 7, SK Mendikbud Nomor: 015a/U/1981 dalam Komar
(2006: 238-239), bimbingan belajar termasuk ke dalam rumpun kursus khusus.
Berbeda dengan buku yang pertama, buku yang kedua berisi pembahasan
yang lebih definitif dan terperinci karena banyak mengutip dari banyak ahli baik
dari dalam maupun luar negeri serta lebih jelas dibandingkan dengan buku yang
pertama karena pengarangnya menjelaskan persamaan antara konsep pendidikan
luar sekolah dengan pendidikan nonformal sehingga tidak terjadi ketidakjelasan.
Namun, pengarangnya tidak menjelaskan perbedaan antara pendidikan nonformal
dengan pendidikan-pendidikan yang lainnya (pendidikan formal dan pendidikan
informal) sehingga penulis tidak bisa memahami perbedaan pendidikan formal,
pendidikan nonformal dengan pendidikan informal secara jelas.
Buku yang ketiga berjudul “Pedoman Pendidikan Luar Sekolah” karya W.
P. Napitupulu. Dalam buku tersebut, W. P. Napitupulu membahas mengenai
konsep dasar pendidikan nonformal. Pengarangnya membagi bukunya ke dalam
dua bab. Dalam bab yang kedua berisi pembahasan mengenai peraturan
pemerintah Republik Indonesia tentang pendidikan luar sekolah atau pendidikan
nonformal.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun
1991 tentang Pendidikan Luar sekolah (Nonformal) BAB I Pasal 1 ayat (1) dan
(4) dalam Napitupulu (1992: 37):
1. Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan luar sekolah adalah pendidikan
yang diselenggarakan di luar sekolah baik dilembagakan maupun tidak.
17
4. Bimbingan belajar adalah satuan pendidikan luar sekolah yang terdiri atas
sekumpulan warga masyarakat yang memberikan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap mental tertentu bagi warga belajar.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun
1991 tentang Pendidikan Luar sekolah (Nonformal) BAB II Pasal 2 dalam
Napitupulu (1992: 38), penyelenggaraan bimbingan belajar sebagai satuan
pendidikan nonformal bertujuan:
1. Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini
mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu
kehidupannya;
2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari
nafkah atau melanjutkan ke tingkat dan / atau jenjang pendidikan yang
lebih tinggi; dan
3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam
jalur pendidikan sekolah
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1991
tentang Pendidikan Luar sekolah (Nonformal) BAB IX Pasal 14 ayat (1) dalam
Napitupulu (1992: 41), bentuk satuan pendidikan nonformal, yaitu:
1. Bimbingan belajar diselenggarakan bagi warga belajar yang memerlukan
bekal untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah dan/atau
melanjutkan ke tingkat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
18
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1991
tentang Pendidikan Luar sekolah (Nonformal) BAB IX Pasal 20 ayat (1) dan (2)
dalam Napitupulu (1992: 43), penilaian/evaluasi dari bimbingan belajar sebagai
satuan pendidikan nonformal, diantaranya:
1. Terhadap hasil belajar warga belajar dapat diadakan penilaian yang dapat
dinyatakan dengan surat keterangan lulus, ijasah, atau sertifikat.
2. Terhadap satuan pendidikan yang memerlukan pengesahan dari
Pemerintah diadakan penilaian.
Ada hal yang menurut penulis merupakan nilai tambah dalam buku
tersebut yaitu berisi tentang status hukum dari keberadaan pendidikan nonformal
itu sendiri di Indonesia. Dalam buku tersebut, dinyatakan bahwa perencanaan,
pendirian, dan pelaksanaan dari bimbingan belajar sebagai satuan pendidikan
nonformal di Indonesia telah disahkan secara legal menurut undang-undang yakni
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991. Jadi, dalam buku tersebut penulis
dapat mengetahui status hukum dari bimbingan belajar.
Hal ini sejalan dengan pendapat S. Joesoef dalam buku yang pertama. S.
Joesoef juga mencantumkan peraturan-peraturan yang merupakan pedoman dari
pendidikan nonformal yaitu berdasarkan Pembukaan dan UUD 1945, Garis-garis
Besar Haluan Negara, dan Pelita, sehingga penulis dapat lebih memahami tentang
status hukum dari pendidikan nonformal. Namun, menurut penulis buku yang
ketiga merupakan buku yang paling tidak lengkap dan paling sedikit memberikan
kontribusi untuk penelitian dibandingkan buku-buku yang lainnya karena sedikit
membahas mengenai konsep dasar pendidikan nonformal.
19
Dalam buku yang keempat yang berjudul “Pendidikan Nonformal:
Wawasan, Sejarah Perkembangan, Filsafat dan Teori Pendukung, serta Asas”
karya Djudju Sudjana, menurut penulis merupakan buku yang paling lengkap dan
paling banyak memberikan kontribusi untuk penelitian jika dibandingkan dengan
buku-buku yang lainnya. Djudju Sudjana membagi bukunya ke dalam tujuh bab.
Salah satu dari bab tersebut yaitu bab 1 membahas secara lebih definitif dan
terperinci mengenai konsep dasar pendidikan nonformal, seperti: pengertian
pendidikan nonformal, tujuan dan fungsi pendidikan nonformal, ciri-ciri
pendidikan nonformal, satuan/wadah kegiatan pendidikan nonformal, sifat-sifat
pendidikan nonformal, syarat-syarat pendidikan nonformal, dan lain-lain.
Menurut Sudjana (2004: 22) bimbingan belajar sebagai satuan pendidikan
nonformal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar sistem
persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian
penting penting dari kegiatan yang lebih luas yang sengaja dilakukan untuk
melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya.
Definisi yang diusulkan oleh Coombs dan teman sekerjanya telah diterima
secara umum. Mereka mendefinisikan bimbingan belajar sebagai salah satu
bentuk satuan pendidikan nonformal sebagai berikut:
“Suatu aktivitas pendidikan yang diatur di luar sistem pendidikan formal baik yang berjalan tersendiri ataupun sebagai suatu bagian yang penting dalam aktivitas yang lebih luas yang ditujukan untuk melayani sasaran didik yang dikenal dengan tujuan-tujuan pendidikan.”
20
Bimbingan belajar sebagai satuan pendidikan nonformal (luar sekolah)
memiliki ciri-ciri tertentu yang hal ini dikemukakan oleh Sudjana (2004: 29-32)
yaitu antara lain:
1. Dilihat dari tujuan, bimbingan belajar bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan belajar tertentu yang fungsional bagi kehidupan masa kini dan
masa depan
2. Dilihat dari waktu, pelaksanaan bimbingan belajar relatif singkat dan
tergantung dari kebutuhan warga belajar
3. Dilihat dari proses belajar mengajar, yang mana proses belajar dalam
bimbingan belajar dipusatkan di lingkungan masyarakat dan lembaga serta
struktur program yang sifatnya fleksibel
4. Dilihat dari isi program. Dalam hal ini kurikulum yang beragam dan
berpusat pada kepentingan peserta didik dengan mengutamakan aplikasi
5. Dilihat dari pengendalian program, yang mana dilakukan oleh pelaksana
program dan peserta didik
Sehubungan dengan pembahasan di atas, lembaga bimbingan belajar baik
Primagama, Ganesha Operation (GO), Nurul Fikri, maupun Sony Sugema College
(SSC) merupakan sebuah lembaga/satuan pendidikan nonformal yang memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: (a) bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar tertentu
yakni meningkatkatkan prestasi dan membatu memasuki sekolah atau perguruan
tinggi negeri favorit, (b) waktunya disesuaikan dengan kebutuhan (relatif singkat),
(c) proses belajar mengajar dipusatkan di suatu lembaga bimbel, dan (d)
kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan lebih praktis.
21
Menurut penulis, dalam buku yang keempat pengarangnya tidak
membahas mengenai konsep-konsep dasar pendidikan nonformal tersebut secara
klasifikatif sehingga penulis kesulitan dalam mengklasifikasi dan
mengidentifikasi konsep-konsep tersebut.
B. Sejarah Perkembangan Pendidikan Nonformal
Untuk buku-buku rujukan yang membahas mengenai sejarah
perkembangan pendidikan nonformal di Indonesia yang meliputi asal-usul/latar
belakang pendidikan nonformal, faktor pendukung perkembangan pendidikan
nonformal, dan perencanaan pendidikan nonformal diantaranya:
Buku yang pertama berjudul “Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah”
karya S. Joesoef. Dalam buku tersebut, S. Joesoef mencoba mengajak pembaca
untuk memahami asal-usul atau latar belakang dari pendidikan luar sekolah atau
nonformal di Indonesia. Pengarang membagi bukunya menjadi beberapa bab.
Salah satunya adalah bab mengenai pendidikan luar sekolah. Dalam bab tersebut,
dibahas secara terperinci mengenai alasan-alasan timbulnya sistem pendidikan
luar sekolah. Pengarangnya mengklasifikasi dan mengidentifikasi alasan-alasan
tersebut ke dalam tiga segi yaitu: (1) Alasan dari segi faktual – historis, yang
meliputi kesejarahan, kebutuhan pendidikan, keterbatasan sistem persekolahan,
potensi sumber belajar, dan keterlantaran pendidikan luar sekolah, (2) Alasan dari
segi analitis – perspektif, yang meliputi pelestarian identitas bangsa dan
kecenderungan belajar individual, dan (3) Alasan dari segi formal – kebijakan
22
yang meliputi Pembukaan dan UUD 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara, dan
Pelita.
Selain itu, dalam bab berikutnya yaitu bab mengenai pendidikan informal,
formal, dan nonformal, pengarangnya juga mengklasifikasi dan mengidentifikasi
pendapatnya mengenai latar belakang dari pendidikan nonformal. Dalam bagian
tersebut, pengarangnya membagi latar belakang pendidikan nonformal ke dalam
dua sudut tinjauan yaitu peningkatan pendidikan informal dan kelengkapan
pendidikan formal. Upaya ini memudahkan pembaca untuk mengklasifikasi dan
mengidentifikasi secara jelas mengenai apa itu pendidikan nonformal, apa saja
konsep yang berhubungan dengan pendidikan nonformal, dan bagaimana sejarah
perkembangan/latar belakang pendidikan luar sekolah dan pendidikan nonformal.
Dan buku tersebut memberikan kontribusi terhadap penelitian yaitu membantu
penulis dalam mencari sumber mengenai sejarah perkembangan pendidikan
nonformal.
Menurut Joesoef (2004: 67-69), latar belakang diselenggarakannya
pendidikan nonformal dapat ditinjau dari dua sudut tinjauan yaitu:
1. Peningkatan pendidikan informal
Dalam masyarakat yang sudah kompleks dengan sistem pembagian kerja
yang tajam, pendidikan informal kurang memberikan kepuasan pada
manusia akan kebutuhan pendidikan yang harus dimiliki/diperlukan. Dan
pendidikan informal yang selama ini berlangsung sudah dirasa kurang
efektif dan efisien baik bagi anak didik maupun pendidikan sehingga perlu
peningkatan.
23
2. Kelengkapan pendidikan formal
Pendidikan formal mengakibatkan manusia terus menerus berada dalam
setting buatan, yang bersifat modern, yang kadang-kadang membahayakan
anak didik sendiri yakni “menjadi golongan manusia tersendiri dalam
masyarakatnya”. Selain itu, pendidikan formal yang semakin terperinci
menjadikan seseorang hanya menguasai bidang tertentu.
Menurut penulis, buku yang pertama cukup informatif untuk menjelaskan
mengenai sejarah perkembangan pendidikan luar sekolah dan nonformal. Namun,
pengarangnya tidak memberikan penjelasan yang definitif dan terperinci
mengenai persamaan antara pendidikan luar sekolah dan pendidikan nonformal.
Pengarangnya menjelaskan bahwa pendikan nonformal dan informal sama dengan
pendidikan luar sekolah. Ketidakjelasan ini membuat penulis sedikit kesulitan
dalam hal menentukan apakah pendidikan luar sekolah itu sama dengan
pendidikan nonformal atau tidak.
Selain itu, kekurangan dari buku yang pertama yaitu tidak dicantumkannya
periode dalam pembahasan mengenai sejarah pendidikan luar sekolah dan latar
belakang pendidikan nonformal, sehingga penulis tidak mengetahui secara pasti
kapan pertama kali pendidikan nonformal itu muncul di Indonesia.
Dalam buku yang pertama juga tidak dibahas secara spesifik mengenai
sejarah dan latar belakang berdirinya lembaga bimbingan belajar di Indonesia
sehingga penulis kesulitan dalam meneliti dan membahas mengenai latar belakang
dan peranan lembaga bimbingan belajar di Indonesia.
24
Sama halnya dengan buku kedua yang berjudul “Filsafat Pendidikan
Nonformal” karya Oong Komar. Dalam buku tersebut, Oong Komar menjelaskan
secara definitif dan terperinci mengenai sejarah perkembangan pendidikan
nonformal di Indonesia. Pengarangnya membagi buku tersebut ke dalam tiga
bagian. Salah satunya adalah bagian ketiga yang terdiri dari enam bab. Bab 14
dalam buku tersebut berisi pembahasan mengenai sejarah perkembangan
pendidikan nonformal di Indonesia dari mulai masa sebelum penjajahan, masa
penjajahan, masa revolusi fisik, awal kemerdekaan dan masa agresi, orde
pembangunan, sampai era reformasi.
Sama halnya seperti buku yang pertama, dalam buku yang kedua juga
tidak dibahas secara spesifik mengenai sejarah dan latar belakang berdirinya
lembaga bimbingan belajar di Indonesia sehingga penulis kesulitan dalam meneliti
dan membahas mengenai latar belakang dan peranan lembaga bimbingan belajar
di Indonesia.
Berbeda dengan buku yang pertama, buku yang kedua berisi pembahasan
yang lebih terperinci jika dibandingkan dengan buku yang pertama karena buku
yang kedua membahas sejarah perkembangan pendidikan nonformal di Indonesia
dari periode yang paling awal sampai periode yang paling akhir. Dalam hal ini,
pengarangnya mengklasifikasi dan mengidentifikasi perkembangan pendidikan
nonformal secara periodik (berdasarkan waktu/zaman). Upaya ini memudahkan
pembaca dan penulis untuk mengklasifikasi dan mengidentifikasi secara jelas
mengenai kapan pendidikan nonformal muncul di Indonesia dan kapan pendidikan
nonformal berkembang dan berperan di Indonesia. Namun, menurut penulis buku
25
yang kedua memiliki kekurangan yang sama dengan buku yang pertama yaitu
pengarangnya tidak membahas mengenai praktisi-praktisi pendidikan nonformal
dan pengkritik-pengkritik persekolahan (pendidikan formal).
Buku yang ketiga berjudul “Perencanaan Pendidikan Nonformal” karya M.
Sardjan Kadir. Dalam buku tersebut, M. Sardjan Kadir membahas mengenai
perkembangan pendidikan nonformal yang lebih difokuskan kepada pembahasan
mengenai perencanaan pendidikan nonformal. Pengarangnya membagi bukunya
ke dalam tiga bab. Dalam bab yang kedua berisi pembahasan secara terperinci
mengenai perkembangan pendidikan nonformal yang meliputi praktisi-praktisi
pendidikan nonformal, pengkritik-pengkritik persekolahan (pendidikan formal),
dan pengkritik pendidikan nonformal.
Menurut Kadir (1982: 97-99), selain terdapat kritik-kritik terhadap
pendidikan formal (persekolahan), terdapat juga kritik-kritik terhadap pendidikan
nonformal, diantaranya:
1. Aktivitas-aktivitas pendidikan nonformal biasanya bukan suatu proses
untuk memberikan suatu penghargaan dan karena itu lulusannya tidak
dapat bersaing secara efektif dengan lulusan pendidikan formal untuk
mendapatkan suatu pekerjaan.
2. Orang-orang yang masuk program-program pendidikan nonformal secara
relatif memiliki harapan yang lebih rendah daripada orang-orang yang
masuk sekolah.
Ada hal yang menurut penulis merupakan nilai tambah dalam buku
tersebut dan tidak dibahas dalam buku-buku yang lainnya yaitu berisi tentang
26
kritik mengenai pendidikan nonformal itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa
pengarang dalam buku tersebut bersifat netral. Namun, menurut penulis buku
yang ketiga merupakan buku yang paling tidak lengkap dan paling sedikit
memberikan kontribusi untuk penelitian jika dibandingkan dengan buku-buku
yang lainnya karena dalam buku tersebut sedikit membahas mengenai sejarah
perkembangan pendidikan nonformal, khususnya tidak membahas secara
kronologis/periodik mengenai awal mula lahirnya pendidikan nonformal sampai
pada perkembangan terakhirnya.
Sama halnya seperti buku yang pertama dan buku yang kedua, dalam buku
yang ketiga juga tidak dibahas secara spesifik mengenai sejarah dan latar belakang
berdirinya lembaga bimbingan belajar di Indonesia sehingga penulis kesulitan
dalam meneliti dan membahas mengenai latar belakang dan peranan lembaga
bimbingan belajar di Indonesia.
Dalam buku yang keempat yang berjudul “Pendidikan Nonformal:
Wawasan, Sejarah Perkembangan, Filsafat dan Teori Pendukung, serta Asas”
karya Djudju Sudjana, menurut penulis merupakan buku yang paling lengkap dan
paling banyak memberikan kontribusi untuk penelitian jika dibandingkan dengan
buku-buku yang lainnya. Djudju Sudjana membagi bukunya ke dalam tujuh bab.
Salah satu dari bab tersebut yaitu bab 2 membahas secara lebih terperinci
mengenai sejarah perkembangan pendidikan nonformal yang meliputi: (1) Asal-
usul Pendidikan Nonformal yang terdiri dari pengaruh pendidikan informal,
pengaruh tradisi masyarakat, dan pengaruh agama dan (2) Faktor Pendukung
Pendidikan Nonformal yang terdiri dari para praktisi di masyarakat,
27
berkembangnya kritik terhadap pendidikan formal, dan para perencana pendidikan
untuk pembangunan.
Menurut Sudjana (2004: 71-80), faktor-faktor pendukung Pendidikan
Nonformal, di antaranya:
1. Sebagai pelengkap atau komplemen pendidikan sekolah. Bimbingan
belajar/kursus berfungsi untuk melengkapi kemampuan peserta didik
dengan memberikan pengalaman belajar yang tidak diperoleh dalam
kurikulum pendidikan formal
2. Sebagai penambah atau suplemen pendidikan sekolah. Bimbingan
belajar/kursus juga bertujuan untuk menyediakan kesempatan belajar
dalam rangka memperdalam pemahaman dan penguasaan materi tertentu
yang sudah diperoleh dalam program pendidikan
3. Sebagai pengganti atau substitusi pendidikan sekolah. Bimbingan
belajar/kursus menyediakan kesempatan belajar bagi masyarakat yang
dengan berbagai alasan tidak memperoleh kesempatan untuk sekolah
sekalipun memasuki sekolah dasar.
Dalam hal ini, lembaga-lembaga bimbingan belajar baik Primagama,
Ganesha Operation (GO), Nurul Fikri, maupun Sony Sugema College (SSC)
memiliki fungsi sebagai pelengkap dan penambah pendidikan formal (sekolah).
Sudjana (2004: 81-97) juga menjelaskan bahwa sejumlah praktisi dan
pakar pendidikan melontarkan kritik terhadap pendidikan formal, diantaranya:
a. Phillip H. Coombs
28
Menurut Coombs, pendidikan formal memiliki empat kelemahan.
Pertama, sebagai akibat pertambahan penduduk yang makin pesat maka
keinginan masyarakat untuk memperoleh kesempatan pendidikan makin
meningkat sehingga menyebabkan beban yang dipikul oleh pendidikan formal
semakin berat. Kedua, sumber-sumber yang digunakan untuk pendidikan kurang
memadai sehingga pendidikan formal mengalami hambatan untuk merespons
secara tepat terhadap kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Ketiga,
kelambatan sistem pendidikan formal itu sendiri untuk menyesuaikan dengan
perkembangan yang terjadi di luar pendidikan. Keempat, kelambanan masyarakat
itu sendiri dalam memanfaatkan lembaga dan lulusan pendidikan formal sehingga
jurang perbedaan antara jumlah dan kemampuan para lulusan dengan lapangan
kerja semakin melebar.
b. Ivan Illich
Menurut Illich, sekolah memonopoli pendidikan dan lebih menitikberatkan
produknya berupa lulusan yang hanya didasarkan atas hasil penilaian dengan
menggunakan angka-angka dan ijazah.
c. Paulo Freire
Menurut Freire, guru cenderung bertindak sebagai penekan (guru sebagai
pusat belajar) dan sekolah tidak berhasil dalam untuk mengembangkan situasi
pembelajaran yang memberikan kemampuan kepada para peserta didik untuk
berpikir kritis sehingga mereka dapat mengenali, menganalisis, dan memecahkan
masalah yang timbul dalam dunia kehidupannya.
d. Carl Rogers
29
Menurut Rogers, proses pembelajaran dalam pendidikan formal lebih
berpusat pada guru sehingga tidak ada kebebasan peserta didik dalam
mengeluarkan pendapat dan bertukar pengalaman.
e. Abraham H. Maslow
Menurut Maslow, kegiatan pembelajaran di sekolah cenderung tidak
didasarkan atas kebutuhan peserta didik. Menurutnya, taraf kehidupan peserta
didik yang terus meningkat dan disertai dengan telah berkembang kemampuan
untuk mengenali kenyataan diri melalui interaksi dengan lingkungannya melalui
penggunaan cara-cara baru tidak didukung sepenuhnya oleh sekolah dalam hal
pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri peserta didik.
f. Jerome S. Bruner
Menurut Brunner, proses pembelajaran pengetahuan akan berjalan dengan
baik apabila didasarkan atas dorongan yang tumbuh dari dalam diri peserta didik,
adanya kebebasan peserta didik untuk memilih dan berbuat dalam kegiatan
belajar, dan tidak adanya keterikatan peserta didik oleh pengaruh ganjaran dan
hukuman yang datangnya dari luar dirinya yaitu guru.
g. B. F. Skinner
Menurut Skinner, pada umumnya kegiatan pembelajaran yang dilakukan
dalam pendidikan tidak didasarkan atas perkembangan lingkungan dan lebih
didominasi oleh pendidik (guru) dan bukan oleh bahan dan cara belajar.
h. Malcolm S. Knowles
Menurut Knowles, pendidik tidak perlu memaksakan pendapat dan
keinginannya sendiri kepada para peserta didik, melainkan ia harus lebih banyak
30
melimpahkan tanggung jawab pengelolaan kegiatan belajar kepada para peserta
didik.
Sama seperti buku yang ketiga, pengarang dalam buku yang keempat
membahas pendapat-pendapat para ahli mengenai kritik mereka terhadap
pendidikan formal. Namun, sama halnya seperti buku yang pertama, buku yang
keempat pun pengarangnya tidak mencantumkan periode dalam pembahasan
mengenai asal-usul pendidikan nonformal sehingga penulis tidak mengetahui
secara pasti kapan pertama kali pendidikan nonformal itu muncul di Indonesia.
Dalam buku yang pertama juga tidak dibahas secara spesifik mengenai
sejarah dan latar belakang berdirinya lembaga bimbingan belajar di Indonesia
sehingga penulis kesulitan dalam meneliti dan membahas mengenai latar belakang
dan peranan lembaga bimbingan belajar di Indonesia.
C. Upaya Pencerdasan Bangsa dan Pengembangan Kewirausahaan
Untuk buku-buku yang mengkaji/membahas mengenai Upaya Pencerdasan
Bangsa dan Pengembangan Kewirausahaan, diantaranya:
Buku pertama yang mengemukakan tentang kewirausahaan adalah buku
berjudul Kewirausahaan (1999), yang ditulis oleh Buchari Alma, dalam buku
tersebut memaparkan hal sebagai berikut:
Sehubungan dengan pengertian wiraswasta menurut Hisrich-Petters
(1995:10) yang dikutif Buchari Alma (1999:36) adalah:
“entrepreneurship is the process of creating something different with value by devoting the necessary time and effort, assuming the accompanying financial, psychic, and social risks, and receiving the
31
resulting rewards of monetary and personal satisfaction and indefendence.” Artinya kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang lain
dengan menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal dan resiko serta
menerima balas jasa dan kepuasan serta kebebasan pribadi.
Sehubungan dengan konsep kewirausahaan yang berasal dari bahasa
Inggris yaitu entrepreneurship, Raymond Kao (1993) mengemukakan pengertian
kewirausahaan sebagai suatu proses melakukan sesuatu yang baru dan berbeda
dengan tujuan menciptakan kemakmuran bagi individu dan memberikan
tambahan nilai pada masyarakat”. Entrepreneur sendiri yang dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan menjadi wirausaha didefinisikan sebagai “orang yang
menciptakan kemakmuran dan juga proses peningkatan nilai tambah melalui
gagasan yang dimilikinya, serta memadukan berbagai sumber daya yang ada dan
membuat gagasan menjadi kenyataan.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang diungkapkan diatas, penulis dapat
menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya kewirausahaan merupakan sikap
mental yang senantiasa berusaha untuk memanfaatkan sesuatu, baik barang
maupun situasi tertentu agar memiliki nilai manfaat yang lebih tinggi untuk
meningkatkan penghasilan melalui keterampilan yang dimilikinya. Selain itu,
seorang wirausaha juga harus mampu melihat suatu peluang dan memanfaatkan
untuk mencapai kelangsungan hidupnya dengan cara mengkoordinasikan dan
memanfaatkan keterampilan yang dimilikinya, modal dan teknologi untuk
mencapai tujuan.
32
Seseorang yang memiliki jiwa wirausaha akan selalu berusaha untuk
mengoptimalkan sumber daya yang ada dan memanfaatkan peluang dan datang
untuk mengembangkan diri dalam lingkungannya. Dengan keberanian dalam
mengambil resiko dan kreativitas serta kemampuan mengorganisasikan sumber
daya yang dimilikinya secara tepat guna dan efisien.
Berikut penulis uraikan karakteristik kewirausahaan menurut pendapat ahli
sebagai gambaran karakter yang mencerminkan jiwa wirausaha yang berpotensi
dalam mengembangkan diri menuju keberhasilan dalam mencapai tujuan.
Karakteristik kewirausahaan menurut M. Scarborough dan Thomas W
Zimmer (Suryana, 2000: 8-9) adalah:
1. Disire for responsibility: memiliki rasa taggung jawab baik dalam mengontrol sumber daya yang digunakan maupun tanggung jawab terhadap keberhasilan berwirausaha juga atas usaha-usaha yang dilakukannya. Orang yang memiliki tanggung jawab akan selalu mawas diri secara internal.
2. Preference for moderate risk: lebih memilih resiko mederat, artinya menghindari resiko yang rendah dan tinggi. Wirausaha harus balajar untuk mengelola resiko.
3. Desire for immediate feed back: menghendaki umpan balik yang segera. Ia selalu ingin mengetahui hasil dari apa yang dikerjakannya. Oleh karena itu, dalam memperbaiki kinerjanya, ia selalu memiliki kemampuan untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan selalu belajar dari kegagalan.
4. Confidence in their ability to success: ia cenderung optimis dan memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk berhasil.
5. High level energy: memiliki tingkat energi yang tinggi di atas rata-rata orang lainnya. Ia lebih suka kerja keras walaupun dalam waktu yang relatif lama. Memiliki semangat dan suka kerja keras untuk mewujudkan keinginannya demi masa depan yang lebih baik.
6. Future orientation: berorientasi pada masa depan, persfektif dan berwawasan jauh kedepan untuk tumbuh dan berkembang.
7. Skill at organizing: memilki keterampilan dalam mengorganisasikan sumber daya untuk menciptakan nilai tambah. Memiliki kemampuan untuk menggunakan pengaruh tanpa kekuatan (power), memiliki taktik mediator dan negotiator daripada dictator.
8. Value of achievement over money: selalu menilai prestasi dengan uang. Uang baginya berarti penghargaan bagi keberhasilan yang diraihnya.
33
Wirausahawan selalu berusaha untuk menjaga komitmennya dalam
melakukan tugasnya sampai berhasil. Ia tidak setengah-setengah dalam
melakukan pekerjaannya. Karena itu, ia selalu tekun, ulet, dan pantang menyerah,
sebelum tujuannya tercapai. Dalam melakukan pekerjaanya tersebut, wirausaha
tidak bertindak spekulatif, tetapi selalu penuh perhitungan. Ia berani mengambil
resiko terhadap pekerjaanya karena sudah diperhitungkan. Oleh sebab itu
wirausaha selalu berani mengambil resiko yang moderat atau resiko yang tidak
tinggi maupun tidak rendah, artinya resiko yang didukung oleh komitmen yang
kuat, hal ini akan menjadi pendorong untuk terus berjuang mencari peluang
sampai ada hasil.
Bagi penulis, buah karya Buchari Alma tersebut memberikan kontribusi
yang cukup besar. Kelebihan buku tersebut yaitu selain lugas membahas
pengertian wirausaha secara lengkap dan terperinci, tiap sub-bab yang terkandung
di dalamnya juga dinilai memiliki korelasi yang baik antara satu sama lain,
sehingga secara keseluruhan mampu memberikan gambaran dan pemahaman yang
jelas bagi penulis.
Buku kedua yang membahas mengenai kewirausahaan adalah buku karya
Suhono Harso dengan judul Entrepreneurial Economic Development (2004). Pada
dasarnya pembahasan dalam buku tersebut, hampir sama dengan apa yang
dikemukakan oleh Buchari Alma, terutama mengenai pengertian kewirausahaan.
Kontribusi buku Entrepreneurial Economic Development dapat membantu
penulis dalam memahami kewirausahaan. Kekurangan dari Entrepreneurial
Economic Development yaitu kurang terperincinya penjelasan mengenai
34
kewirausahaan. Hal tersebut dikarenakan buku tersebut memuat beberapa bab
yang terdiri dari jurnal-jurnal penelitian, yang mana jurnal-jurnal tersebut kurang
sinergis karena tidak hanya terfokus kepada aspek kewirausahaan.
Dan buku ketiga yang memuat kewirausahaan yaitu karyanya Thoby
Multis dengan judul Kewirausahaan yang Berproses (1995). Buku tersebut
memaparkan pendapat para ahli sebagai berikut:
Ahli ekonomi Adam Smith dan Jean Baptiste Say mengatakan, bahwa
seorang wirausaha adalah seorang yang menyatukan faktor-faktor produksi.
Pendapat tersebut kemudian dilengkapi oleh Joseph Schumpeter Ahli ekonomi
Austria yang menambahkan inovasi dan pemanfaatan peluang usaha sebagai
bagian dari aktivitas wirausaha. Adapun Jose Carlos Jarillo Mossi mendefinisikan,
kewirausahaan sebagai “seorang yang merasakan adanya peluang, mengejar
peluang-peluang yang ada sesuai dengan situasi dirinya, dan percaya bahwa
kesuksesan merupakan suatu hal yang bisa dicapai.”
Sementara itu Heru Sutojo menegaskan pendapat dari J.A. Schumpeter
yang mengatakan, bahwa entrepreneur adalah orang yang bisa mengadakan
kombinasi baru, di mana kombinasi itu merupakan fenomena yang fundamental
bagi pembangunan ekonomi, dengan sifat-sifat entrepreneur sebagai berikut:
selalu memiliki prakarsa otoritas, melihat ke masa depan, mempunyai intuisi yang
kuat, mempunyai kebebasan mental, mempunyai jiwa kepemimpinan dan
pemberontak sosial (social deviance).
Entrepreneurship adalah sikap untuk melakukan suatu usaha karena ada
suasana yang mendukung untuk merealisasikannya. Seorang entrepreneur akan
35
selalu berpikir untuk bertindak mencari pemecahan (looking at solution), sesuai
dengan inisiatif yang muncul untuk meraih target dengan kedinamisan tertentu.
Sementara itu, Mc. Clelland berpendapat bahwa entrepreneur adalah orang yang
mengorganisasikan badan usaha dan berusaha untuk meningkatkan kapasitas
produktifnya.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang diungkapkan di atas, penulis
dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya para ahli telah berusaha
mengidentifikasi ciri-ciri pribadi para wirausaha. Di antaranya yang paling sering
diungkapakan adalah adanya kebutuhan untuk mencapai sesuatu (achievement),
adanya kebutuhan akan kontrol, orientasi intuitif dan kecenderungan untuk
mengambil resiko.
Kelebihan sumber buku kewirausahaan yang berproses yakni mampu
melengkapi pemaparan dalam buku kewirausahaan karya Buchari Alma.
Dalam buku tersebut dikemukakan banyak pendapat dari para ahli,
sehingga membantu penulis untuk mengetahui lebih jelas mengenai pengertian
kewirausahaan. Akan tetapi meskipun buku tersebut memberikan banyak
pencerahan terhadap penulis, pembahasan dalamya terlalu luas.
Masih dalam buku yang sama, dikemukakan bahwa munculnya jiwa
kewirausahaan sesungguhnya adalah keinginan yang kuat untuk mencapai prestasi
gemilang yang dikerjakan melalui penampilan kerja yang baik. Bagi Mc. Clelland,
nilai kerja yang baik khususnya dalam era pembangunan terletak pada “spirit”
atau “semangat” seseorang dalam menghadapi pekerjaanya. Inilah yang oleh Mc.
Clelland disebut sebagai motivasi berprestasi.
36
Adapun ciri pikiran dan tingkah laku yang menggambarkan adanya motif
berprestasi tinggi pada seseorang adalah:
1. Menyatakan kebutuhan akan prestasi
2. Mengharapkan atau memperkirakan keberhasilan
3. Membayangkan atau memperkirakan kegagalan
4. Antisipasi hambatan luar dalam diri
5. Mengharapkan bantuan dan dorongan dari orang lain
6. Memiliki pikiran atau perasaan positif dan negatif
7. Mengaitkan atau memikirkan masa depan. (McClelland dalam Soewarsono,
1994:31).
Sehubungan dengan teori tersebut, Lembaga bimbingan belajar baik
Primagama, Ganesha Operation (GO), Nurul Fikri (NF), maupun Sony Sugema
College (SSC) merupakan sebuah lembaga yang terbentuk dari semangat dan
keinginan kuat dari setiap pendirinya/pemiliknya untuk mencapai keberhasilan
melalui perencanaan yang matang.
Buku yang terakhir adalah Pedoman Pendidikan Luar Sekolah karya W. P.
Napitupulu (1992). Dalam bukunya dijelaskan bahwa keberadaan lembaga
bimbingan belajar semakin kuat dengan hadirnya Undang-undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu hal yang ditekankan dalam
UU Nomor 2 tahun 1989 adalah terkait dengan tanggung jawab penyelenggaraan
pendidikan, yakni bahwa pada dasarnya beban penyelenggaraan pendidikan tidak
saja dipikul oleh pemerintah saja, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat
(Napitupulu, 1992: 37).
37
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Lembaga
bimbingan belajar baik Primagama, Ganesha Operation (GO), Nurul Fikri (NF),
maupun Sony Sugema College (SSC) merupakan lembaga yang ikut serta
program pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa disamping mengembangkan kewirausahaan