9 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Pluralisme Agama a. Makna Pluralisme Masalah pluralitas dan pluralisme begitu hangat diperbincangkan akhir-akhir ini, bahkan mengundang perdepatan hingga pro dan kontra. Pluralisme yang secara umum diartikan sebagai cara pandang terhadap fenomena pliralitas atau kemajemukan, begitu sering dikumandangkan dan sekaligus ditentang. Bagi para penganjur pluralisme, paham ini sangat diperlukan, karena kita hidup dilingkungan majemuk, serba berbeda dan serba beragam, sehingga kita harus mengakui perbedaan tersebut sebagai suatu keniscayaan. Sanusi (2009: 359), (sunnatullah) dalam kehidupan, di lain pihak, para penentang pluralisme selalu memperingatkan bahwa pluralisme adalah paham yang berbahaya, karena dalam mengakui pluralisme kita berarti mengakomodasi pandangan dan keyakinan lain, sehingga kita bisa kehilangan identitasnya. Secara harfiah, makna pluralisme adalah suatu keadaan dimana terdapat dua atau lebih kelompok, prinsip, keyakinan, kekuasaan, dan lain-lain yang berada atau hidup secara berdampingan, dalam wilayah yang lebih sempit yaitu pluralisme agama, pluralisme disini sebagai paham sebelumnya, naturalisme, eksklusivisme, dan inklusivisme. Makna pluralisme agama adalah suatu realitas tunggal tertinggi yang dipahami dan diyakini secara berbeda-beda dalam tradisi agama, dimana agama tersebut menawarkan jalan yang berbeda-beda menuju tujuan tertinggi yang sama. 9
22
Embed
BAB II LANDASAN TEORI A. 1. Pluralisme Agama a. Makna ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB21410140039.pdfDefinisi di atas adalah definisi literal. Namun demikian, banyak pihak
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Pluralisme Agama
a. Makna Pluralisme
Masalah pluralitas dan pluralisme begitu hangat diperbincangkan akhir-akhir ini,
bahkan mengundang perdepatan hingga pro dan kontra. Pluralisme yang secara
umum diartikan sebagai cara pandang terhadap fenomena pliralitas atau
kemajemukan, begitu sering dikumandangkan dan sekaligus ditentang. Bagi para
penganjur pluralisme, paham ini sangat diperlukan, karena kita hidup dilingkungan
majemuk, serba berbeda dan serba beragam, sehingga kita harus mengakui perbedaan
tersebut sebagai suatu keniscayaan. Sanusi (2009: 359), (sunnatullah) dalam
kehidupan, di lain pihak, para penentang pluralisme selalu memperingatkan bahwa
pluralisme adalah paham yang berbahaya, karena dalam mengakui pluralisme kita
berarti mengakomodasi pandangan dan keyakinan lain, sehingga kita bisa kehilangan
identitasnya.
Secara harfiah, makna pluralisme adalah suatu keadaan dimana terdapat dua atau
lebih kelompok, prinsip, keyakinan, kekuasaan, dan lain-lain yang berada atau hidup
secara berdampingan, dalam wilayah yang lebih sempit yaitu pluralisme agama,
pluralisme disini sebagai paham sebelumnya, naturalisme, eksklusivisme, dan
inklusivisme. Makna pluralisme agama adalah suatu realitas tunggal tertinggi yang
dipahami dan diyakini secara berbeda-beda dalam tradisi agama, dimana agama
tersebut menawarkan jalan yang berbeda-beda menuju tujuan tertinggi yang sama.
9
10
Definisi di atas adalah definisi literal. Namun demikian, banyak pihak yang
mendefinisikan pluralisme, khususnya pluralisme agama, sebagai “semua agama
sama saja”, jadi boleh memeluk agama ini atau itu, dan bebas melakukan pribadatan
agam ini atau itu, dan dengan bebas bisa berpindah-pindah agama, pemahaman
seperti ini nampaknya cukup beredar luas dimasyakat, entah apakah mereka
membentuk pemahaman sendiri ataukah ditanamkan oleh kelompok tertentu dengan
pemahaman semacam itu. Bertolak dari pemahaman yang demikian, biasanya mereka
kemudian menolak atau menentang pluralisme.
Tampaknya atas dasar pemahaman seperti itu Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme (beserta sekularisme, dan liberalisme, biasa
disingkat “sipilis”) adalah haram. Dalam fatwa No. 7/MUNAS VII/MUI/II/2005
tersebut, MUI menyebutkan pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif.
Pluralisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam. Oleh
karena itu umat Islam haram mengikuti paham pluralisme agama.
Senada dengan itu, berita yang cukup menghebohkan baru-baru ini adalah hasil
survei yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang menyatakan bahwa sebagian besar dosen
perguruan tinggi islam, khusunya studi islam (Islam Studies) ternyata bersikap
menentang pluralisme. Survei tersebut dilakukan pada bulan Oktober 2008 kepada
500 orang dosen studi islam diseluruh pulau Jawa. PPIM sampai pada kesimpulan
tersebut dengan melihat butir-butir hasil survei antara lain: sebanyak 62,4% dari
mereka yag menolak pemimpin non-muslim, 68,6% menolak pejabat non muslim di
kampus, 73,1% menentang umat agama lain mendirikan tempat beribadah
dilingkungan sekitar mereka, direktur PPMF Jajat Burhanudin dalam Nafi‟ah (2010:
363) menyatakan bahwa ternyata konservatisme atau radikalisme tidak hanya terjadi
kepada dan ditanamkan oleh kelompok-kelompok tertentu, namun sudah begitu
mengakar dalam sistem pendidikan kita.
11
Selanjutnya Osman (2006: 4), menambahkan bahwa pluralisme menuntut suatu
pendekatan terhadap upaya memahami pihak lain dan kerjasama yang membangun
untuk kebaikan semua, semua manusia seharusnya dapat menikmati hak-hak dan
kesempatan yang sama, sekaligus harus memenuhi kewajiban yamg sama, setiap
kelompok harus memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang memelihara
identitas dan kepentingannya, dan menikmati kesetaraan hak dan kewajiban baik
dalam suatu negara maupun dunia internasional.
Menurut Narwoko dalam Effendi ( 2009: 76 ), istilah pluralisme berasal dari
akar kata latin, plus, pluris, yang secara harfiah berarti lebih dari satu. Dalam
pengertian filosofinya, pluralisme adalah paham atau ajaran yang mengacu kepada
keberbagaian kelompok didalam masyarakat, dan juga mempuyai pandangan yang
beraneka terhadap apa yang secara sosial dipahaminya dan dikehendakinya.
Berdasarkan penjelasan di atas menurut penulis, makna pluralisme adalah
dapat dipahami bahwa sesungguhnya pluralisme itu lebih mengacu kepada
keberagaman dalam beragama yang ada dalam berbagi kelompok atau masyarakat
dimana kita tinggal.Sebagimana diketahui, bahwa dalam masyarakat selalu ada
berbagai kelompok masyarakat yang keberadaannya dikonkretasikan dalam lembaga-
lembaga sosial. Dimana lembaga-lembaga sosial seperti itu terbentuk, makin marak
pula pluralisme didalam masyarakat.
Pluralisme tidak semata menunjukan pada kenyataan tantang adanya
kemajemukan, seperti pengertian pluralisme itu sendiri menurut kamus lengkap
Bahasa Indonesia modern oleh Ali ( 2000: 318), yang diambil dari kata “pluralis”,
yang artinya “Jamak”, atau lebih dari satu, namun yang dimaksud adalah keterlibatan
aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Seseorang baru dapat dikatakan
menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam
lingkungan kemajemukanya.
12
Menurut Diana dalam Shofan (2008: 57-58), Professor of comparative
religion ang Indian studies dan pluralism project di Harvard University, menyatakan
ada tiga hal tentang pluralisme yang dapat menjelaskan arti proyek pluralisme itu
sendiri, yaitu:
1. Pluralisme bukan hanya beragam atau majemuk, pluralisme lebih sekedar
majemuk atau beragam dengan ikatan aktif kepada kemajemukan tadi. Meski
pluralisme dan keragaman terkadang diartikan sama, namun ada perbedaan
yang harus ditekankan. Keragaman adalah fakta yang dapat dilihat tentang
dunia dengan budaya yang beraneka ragam, sedangkan pluralisme
membutuhkan keikutsertaan didalamnya.
2. Pluralisme bukan sekedar toleransi, pluralisme lebih dari sekedar toleransi
dengan usaha yang aktif untuk memahami orang lain. Toleransi dapat
menciptakan iklim untuk menahan diri, namun tidak untuk memahami.
Toleransi saja tidak banyak menjembatani jurang stereotip dan kehawatiran
yang bisa jadi justru mendominasi gambaran bersama mengenai orang lain.
Sebuah dasar yang terlalu rapuh untuk sebuah masyarakat yang kompleks
secara religius.
3. Bahwa pluralisme bukan sekedar relativisme, pluralisme adalah peraturan
antara komitmen religius yang nyata. Pluralisme didasarkan pada perbedaan
bukan persamaan, pluralisme adalah sebuah ikatan bukan pelepasan
perbedaan dan kekhususan, dan kita harus saling menghormati dan hidup
bersama secara damai.
Bahkan Hamdie ( 2009:119), dalam pembicaraanya tentang “akar-akar pluralisme
dan dialog antar agama dalam sufisme”, mengatakan bahwa pluralisme tidak cukup
hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk,
tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan itu sebagai
sebuah nilai positif. Pluralisme tidak boleh dipahami sekedar kebaikan negatif yang
dilihat kegunaanya untuk menyingkirkan fanatisme, yang hanya mengesankan
13
fragmentasi. Tetapi pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan keadaban, dan bahkan pluralisme adalah masalah ajaran agama, dan
keharusan bagi keselamatan umat manusia, bukan masalah prosedur atau tata cara
pergaulan semata.
Bagi penulis, pluralisme itu sesungguhnya bukan hanya sekedar mengetahui dan
menerima keberagaman beragama yang ada dikehidupan masyarakat, melainkan
pluralisme itu sendiri lebih kepada keikutsertaan setiap pribadi kedalam kehidupan
masyarakat yang majemuk tersebut dengan memahami setiap perbedaan yang ada.
Dengan demikian, jika setiap masyarakat sadar dan benar-benar memahami makna
pluralisme tersebut, maka kehidupan masyarakat yang majemuk ini dapat berjalan
dengan baik sesuai dengan kebhinekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Pengertian Agama
Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk, yang terdiri dari berbagai suku,
bangsa dan hidup dalam sebuah negara kepulauan. Masing-masing mempuyai latar
belakang yang sosio-kultural yang berbeda. Tambahan lagi dalam kehidupan dan
pertumbuhan masyarakat kebangsaan kita, hidup dan berkembang berbagai agama
dengan berbagai alirannya masing-masing. Hal ini menambah tingkat dan
kemajemukan bangsa kita dengan berbagai, aspek kehidupan, sosial, politik, ekonomi
maupun budaya.
Kemajemukan sebagai kemajemukan tidaklah serta merta bersifat dan berakibat
negatif dan destruktif, bahkan batas tertentu, justru unsur dinamik dan kreatif dari dan
dalam kehidupan masyarakat. Ia memacu dinamika dan kreatifitas masyarakat untuk
mempertahankan dan mengembangkan eksistensi masing-masing. Mungkin terjadi
persaingan yang kalau dikelolah dan diarahkan akan menjadi unsur pemacu kemajuan
hidup masyarakat kita. Akibat negatif akan muncul apabila persaingan beralih
menjadi pertentangan yang mewujudkan dalam konflik sosial.
14
Memang sudah kodrati bahwa kemajemukan itu terkandung potensi konflik,
persoalanya adalah bagaimana mengarahkan kemajemukan hingga tidak tumbuh liar
dan tidak mengejewantah dalam konflik sosial dalam kehidupan masyarakat kita
dalam kaitan inilah masalah pengembangan etika sosial lebih penting. (Effendi,
2010:78).
Agama mengajarkan para penganutnya untuk mengatur hidupnya agar dapat
memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat, baik kepada dirinya sendiri maupun
kepada masyarakat sekitarnya.Sebagai suatu sistem keyakinan, agama berbeda dari
sistem-sistem keyakinan atau isme-isme lainya karena landasan keyakinan
keagamaan adalah pada konsep suci (sacred), dan pada yang ghaib atau supranatural
yang menjadi lawan dari hukum-hukum alamiah.
Agama juga dibedakan dari isme-isme lainya karena ajaran-ajaran agama selalu
bersumber pada wahyu yang berisikan petunjuk –petunjuk tuhan dan wangsit (dalam
agama-agama primitif atau lokal) yang diturunkan kepada nabi atau pesuruhnya,
agama sebagai sebuah keyakinan, berisikan ajaran dan petunjuk bagi para
penganutnya supaya selamat dalam kehidupan setelah mati. Dengan cara mengikuti
kewajiban-kewajiban dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan agama yang dianut
dan diyakininya.
Merujuk agama berdasarkan Kamus lengkap Bahasa Indonesia Modern, maka
agama diartikan sebagai “kepercayaan kepada Tuhan, ajaran kebaikan yang bertalian
dengan kepercayaan itu”( Ali, 2000 : 3).
Berbeda dengan pendapatnya Thalhas (2006: 19), menjelaskan bahwa, secara
harfiah, agama bersal dari bahasa sansakerta, menurut pengertian umat Hindu
penganut mazhab Siwa, kata agama yang dipergunakan dalam bahasa indonesia
sebagi istilah kerohaniaan berasal dari kata “agam” yang berarti pergi, gam diberi
awalan “a” yang berarti “agam” yakni kebalikan dari pergi yang artinya datang, dan
diberi akhiran “a” menjadi “agama” dengan arti kedatangan. Kata agama yang
15
berarti kedatangan itu kemudian berubah maknanya dari arti semula menjadi
“pramana” yang berarti ukuran, jalan, atau cara. Sementara itu, adapula yang
mengartikan bahwa agama menurut bahasa sansakerta terdiri dari dua kata “a” dan
“gama” a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau balau, jadi agama
mempuyai arti tidak kacau balau (teratur).
Dari pengertian awal yang mengartikan agama sebagai kedatangan atau sesuatu
yang datang, kemudian berubah arti menjadi jalan atau cara, dan adapula yang
mengartikan sebagai sesuatu yang tidak kacau, maka peneliti mengambil kesimpulan
bahwa sesungguhnya agama itu adalah sesuatu yang datang dengan jalan kebenaran
dan kebaikan untuk mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau.
Sedangkan kahmad (2009: 13), agama dikenal dengan kata Al-din dan al-milah.
Kata al-din sendiri mengandung berbagai arti. Ia dapat diartikan sebagai al-mulk,