7 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi Intrapersonal Peristiwa yang sama akan ditanggapi berbeda oleh setiap orang. Hal itu diakibatkan oleh karakteristik personal setiap orang yang berbeda. Karakteristik personal tergantung pada bagaimana komunikasi intrapersonal individu, yakni bagaimana individu menerima informasi, mengolahnya, menyimpannya, dan menghasilkan informasi kembali (Rakhmat, 2011: 48). Dalam komunikasi intrapersonal, proses pengolahan informasi tersebut meliputi proses sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Sensasi adalah proses menangkap stimuli. Sensasi juga bisa disebut dengan penerimaan rangsangan oleh indera. Persepsi adalah proses memberi makna pada setiap stimulus, sehingga bisa dikatakan bahwa persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Memori adalah proses penyimpanan informasi dan memanggilnya kembali. Dengan memori, individu akan menyimpan setiap informasi yang didapatkannya, dan ketika dibutuhkan, informasi tersebut akan dipanggil serta diingat olehnya. Sementara berpikir adalah mengolah dan memanipulasi informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respons (Rakhmat, 2011: 48). Namun, dalam bab ini penulis tidak akan menjelaskan secara detail mengenai proses-proses dalam komunikasi intrapersonal yang telah disebut di atas. Melainkan penulis hanya akan fokus pada persepsi yang mana merupakan salah satu bagian dari komunikasi intrapersonal. 2.2 Persepsi 2.2.1 Pengertian Persepsi Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna stimulus inderawi (Rahmat, 2011: 50). Menurut Jalaludin Rahmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi, untuk mendapatkan persepsi terlebih dahulu harus melewati proses sensasi, yaitu penginderaan makna dari suatu informasi.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Sistem Komunikasi Intrapersonal
Peristiwa yang sama akan ditanggapi berbeda oleh setiap orang. Hal itu diakibatkan
oleh karakteristik personal setiap orang yang berbeda. Karakteristik personal
tergantung pada bagaimana komunikasi intrapersonal individu, yakni bagaimana
individu menerima informasi, mengolahnya, menyimpannya, dan menghasilkan
informasi kembali (Rakhmat, 2011: 48).
Dalam komunikasi intrapersonal, proses pengolahan informasi tersebut meliputi
proses sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Sensasi adalah proses menangkap
stimuli. Sensasi juga bisa disebut dengan penerimaan rangsangan oleh indera. Persepsi
adalah proses memberi makna pada setiap stimulus, sehingga bisa dikatakan bahwa
persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Memori adalah proses penyimpanan
informasi dan memanggilnya kembali. Dengan memori, individu akan menyimpan
setiap informasi yang didapatkannya, dan ketika dibutuhkan, informasi tersebut akan
dipanggil serta diingat olehnya. Sementara berpikir adalah mengolah dan
memanipulasi informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respons
(Rakhmat, 2011: 48).
Namun, dalam bab ini penulis tidak akan menjelaskan secara detail mengenai
proses-proses dalam komunikasi intrapersonal yang telah disebut di atas. Melainkan
penulis hanya akan fokus pada persepsi yang mana merupakan salah satu bagian dari
komunikasi intrapersonal.
2.2 Persepsi
2.2.1 Pengertian Persepsi
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan
yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi
ialah memberikan makna stimulus inderawi (Rahmat, 2011: 50). Menurut Jalaludin
Rahmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi, untuk mendapatkan persepsi terlebih
dahulu harus melewati proses sensasi, yaitu penginderaan makna dari suatu informasi.
8
Benyamin B. Wolman mengungkapkan bahwa, sensasi adalah pengalaman elementer
yang segera, yang tidak menguraikan verbal, simbolis, atau konseptual, dan terutama
sekali berhubungan dengan alat indera (Rahmat, 2011: 48). Senada dengan Rakhmat,
Bimo Walgito (2003: 53) menjelaskan secara singkat bahwa persepsi merupakan suatu
proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan itu sendiri merupakan suatu
proses penerimaan stimulus oleh individu melalui alat indera. Lahlry (1991) dalam
Severin dan Tankard (2011) juga mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses yang
digunakan untuk menginterpretasikan data-data sensoris (Severin & Tankard, 2011:
83).
Persepsi ialah proses pemaknaan terhadap stimulus. Jika stimulusnya berupa
benda disebut object perception dan jika stimulusnya berupa manusia disebut social
perception. Menurut Baron dan Byrne (2000), persepsi sosial adalah suatu usaha untuk
memahami orang lain dan diri kita sendiri (Rahman, 2013: 79). Sementara Joseph A.
DeVito menyebutkan bahwa persepsi merupakan proses yang menjadikan individu
sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indera (Mulyana, 2016: 180).
Pengertian lain menyebutkan bahwa, persepsi merupakan proses di mana
individu memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasi apa yang dibayangkan
tentang media di sekelilingnya. Jadi, dengan mempersepsi setiap individu memandang
dunia berkaitan dengan apa yang dia butuhkan, apa yang dia nilai, apakah sesuai
dengan keyakinan dan budayanya (Liliweri, 2011: 153).
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Bimo Walgito mengungkapkan ada dua faktor yang mempengaruhi persepsi
seseorang, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan apa
yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir,
kerangka acuan, dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu. Sedangkan faktor
eksternal merupakan sesuatu yang berasal dari luar seperti stimulus dan lingkungan
(Walgito, 2003: 54).
Hasil penelitian telah mengidentifikasi dua jenis pengaruh dalam persepsi, yaitu
pengaruh struktural dan pengaruh fungsional. Pengaruh struktural pada persepsi
berasal dari aspek-aspek fisik rangsangan yang terpapar pada kita, misalnya titik-titik
yang disusun berdekatan secara berjajar akan terlihat seperti sebentuk garis. Pengaruh-
pengaruh fungsional merupakan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi persepsi,
9
dan karena itu membawa pula pada subjektivitas ke dalam proses (Severin & Tankard,
2011: 83).
Liliweri (2011) menyebutkan tujuh faktor yang mempengaruhi persepsi.
Pertama, fisiologis dan kemampuan sensoris yang meliputi audio-visual, fisik, dan
umur. Kedua, kebudayaan yang meliputi kepercayaan, nilai-nilai, pemahaman, dan
asumsi taken for granted. Ketiga, stand point theory yang meliputi komunikasi sosial,
ras, etnisitas, gender, kelas ekonomi, agama, spiritualitas, umur, orientasi seksual,
serta posisi kekuasaan dalam hierarki sosial. Keempat, peranan sosial yang meliputi
peranan sosial ketika berkomunikasi dengan orang lain, harapan terhadap kepenuhan
peran, dan pilihan karier. Kelima, kemampuan kognitif. Keenam, kompleksitas
kognitif, serta ketujuh persepsi yang berpusat pada orang (Liliweri, 2011: 155).
Sedangkan Latipah (2017: 61) mengidentifikasi bahwa ada empat faktor yang
mempengaruhi persepsi, yakni faktor bawaan, periode kritis, psikologis dan budaya.
Faktor bawaan terjadi karena kemampuan penginderaan dan persepsi yang dimiliki
individu sejak lahir, sehingga kemampuan ini bisa berkembang seiring berjalannya
waktu. Faktor periode kritis berasal dari pengalaman. Individu dapat mempersepsi
sesuatu manakala sebelumnya telah mengetahui hal yang berkaitan dengan sesuatu
yang akan dipersepsinya. Sedangkan faktor psikologis berasal dari kebutuhan,
kepercayaan, emosi, dan ekspektasi. Individu akan mempersepsi sesuatu berdasarkan
apa yang dibutuhkan dan menarik perhatiannya. Selain itu, apa yang dianggap benar
sesuai kepercayaan yang dimiliki juga akan mempengaruhi persepsi individu terhadap
sesuatu. Hal lain yang termasuk faktor psikologis adalah emosi dan ekspektasi
individu terhadap suatu hal atau pesan akan berpengaruh terhadap persepsinya. Faktor
terakhir adalah budaya. Budaya di mana individu tinggal akan sangat mempengaruhi
persepsi tiap individu. Budaya juga mengajarkan pada individu tentang apa yang
penting untuk disadari atau diabaikan.
Sementara Jalaluddin Rakhmat (2011) mengungkapkan ada tiga faktor yang
mempengaruhi persepsi, yakni perhatian (attention), faktor fungsional, serta faktor
sturktural.
10
1. Perhatian (Attention)
Kenneth E. Andersen (1972) dalam Rakhmat (2011: 51) mendefinisikan
perhatian sebagai proses mental ketika stimulus atau rangkaian stimulus
menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimulus lainnya melemah.
Perhatian terjadi apabila individu memfokuskan diri pada satu indera dan
mengabaikan fungsi dan masukan indera-indera lainnya. Perhatian
dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor eksternal dan faktor internal.
a. Faktor eksternal
Faktor ini meliputi gerakan, intensitas stimulus, kebaruan, dan
perulangan. Manusia secara visual tertarik kepada objek-objek yang
bergerak. Individu akan lebih tertarik memerhatikan sesuatu yang
bergerak dibandingkan dengan sesuatu yang mati/ tidak bergerak. Selain
itu, manusia juga tertarik terhadap suatu intensitas stimuli. Dengan
intensitas stimulus, manusia akan sangat susah lolos untuk tidak
memerhatikan sesuatu yang berbeda dan menonjol. Individu lebih
tertarik untuk memerhatikan seseorang yang tinggi di tengah orang-orang
pendek, suara keras di tengah kesunyian, dan lain sebagainya yang
menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hal lain yang membuat
individu merasa tertarik adalah kebaruan. Seseorang akan sangat antusias
dengan sesuatu yang baru. Orang yang suka membaca novel akan
mencari novel yang baru terbit, orang yang suka nonton film akan lebih
suka menonton film-film terbaru, dan lain sebagainya. Tanpa hal-hal
yang baru, stimulus akan terasa monoton, membosankan, tidak berwarna,
dan akhirnya tidak menjadi pusat perhatian orang-orang (Rakhmat, 2011:
51).
Kemudian hal terakhir yang memengaruhi perhatian adalah
perulangan. Sesuatu yang disajikan berkali-kali dengan disertai sedikit
variasi akan mudah mendapat perhatian. Dalam hal ini, unsur familiarity
(yang sudah dikenal) berpadu dengan unsur novelty (yang baru dikenal).
Perulangan ternyata mengandung unsur sugesti juga, yakni dapat
memengaruhi alam bawah sadar seseorang. Maka dari itu, tidak heran
jika para pengiklan sering mengulang-ulang jingles dari produk yang
11
dipasarkan. Selain itu, para politisi juga menggunakan prinsip ini untuk
menaklukkan masyarakat (Rakhmat, 2011: 51).
b. Faktor Internal
Seringkali indera manusia tidak bisa dipercaya, tentu karena keterbatasan
manusia itu sendiri. Apa yang menjadi perhatian seseorang seringkali
lolos dari perhatian orang lain, atau sebaliknya. Akan ada kecenderungan
setiap orang untuk memusatkan perhatiannya. Inilah yang disebut faktor
internal yang memengaruhi perhatian (Rakhmat, 2011: 52).
Faktor internal ini meliputi, faktor biologis, sosio-psikologis,
sosiogenis, sikap, kebiasaan, dan kemauan. Seseorang yang lapar akan
sangat senang memerhatikan makanan. Seseorang yang melihat
kerumunan orang dalam suatu foto akan memiliki tanggapan yang
berbeda dengan orang lain yang melihat foto yang sama. Lefrancois
(1974) dalam Rakhmat (2011) menganalogikan perbedaan perhatian
setiap individu dalam sebuah perjalanan naik gunung yang diikuti oleh
geolog, ahli botani, ahli zoologi, dan seniman. Geolog akan
memerhatikan batuan, ahli botani memerhatikan bunga-bungaan, ahli
zoologi memerhatikan binatang, dan seniman akan memerhatikan warna
dan bentuk gunung itu. Dengan begitu, dapat digambarkan bahwa latar
belakang kebudayaan, pengalaman, serta pendidikan akan memengaruhi
perhatian setiap individu (Rakhmat, 2011: 53).
Dengan begitu, perhatian merupakan proses yang aktif dan dinamis, bukan
pasif dan refleksif. Individu secara sengaja akan mencari stimulus tertentu
dan mengarahkan pada perhatiannya. Namun meski begitu, walaupun
perhatian terhadap suatu stimulus sangat kuat, bukan berarti persepsi dalam
individu akan cermat. Kadang-kadang konsentrasi yang sangat kuat dapat
mendistorsi persepsi seseorang. Maka dari itu, individu akan cenderung
memersepsi apa yang ingin dipersepsi olehnya (Rakhmat, 2011: 54).
2. Faktor Fungsional
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal
lain yang termasuk apa yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Yang
menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimulus, tetapi karakteristik
orang yang memberikan respon pada stimulus itu (Rakhmat, 2011: 54). Dari
12
hal tersebut, Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi yang pertama
yakni, “persepsi bersifat selektif secara fungsional”. Maksudnya, objek-
objek yang mendapat tekanan dalam persepsi biasanya adalah objek-objek
yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. Dalam hal ini,
contohnya adalah pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional,
dan latar belakang budaya terhadap persepsi (Rakhmat, 2011: 55).
Selain itu, kerangka referensi (frame of reference) juga merupakan
salah satu faktor fungsional yang sangat memengaruhi persepi. Kerangka
referensi ini memengaruhi bagaimana seseorang memberikan makna pada
suatu pesan yang diterimanya. Penilaian terhadap objek tergantung pada
pengetahuan yang dimiliki individu. Seorang mahasiswa kedokteran akan
sangat asing dengan teori dan bahasa-bahasa dalam ilmu komunikasi, begitu
pula mahasiswa komunikasi akan sangat kebingungan dan tidak memberikan
makna apa-apa terhadap istilah-istilah kedokteran (Rakhmat, 2011: 56-57).
3. Faktor Struktural
Faktor ini dipengaruhi oleh teori Gestalt. Menurut teori ini, individu akan
memersepsi sesuatu sebagai bagian dari keseluruhan tanpa melihat bagian-
bagiannya, kemudian baru menghimpunnya menjadi suatu makna. Menurut
Kohler, jika ingin memahami suatu peristiwa maka harus memandangnya
dalam hubungan secara keseluruhan. Dengan begitu, tidak harus meneliti
bagian-bagian atau fakta-fakta yang terpisah. Untuk memahami seseorang,
individu harus melihat konteksnya, lingkungannya, dan masalah yang
dihadapinya (Rakhmat, 2011: 57).
Dari prinsip tersebut, Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi
yang kedua, yakni “medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan
diberi arti.” Individu mengorganisasikan stimulus berdasarkan konteksnya.
Walaupun stimulusnya tidak lengkap, individu akan mengisinya dengan
interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimulus yang dipersepsi
(Rakhmat, 2011: 57-58).
Dalam hubungannya dengan konteks, Krech dan Crutchfield
merumuskan dalil persepsi yang ketiga, yaitu “sifat-sifat perseptual dan
kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur
secara keseluruhan.” Jika individu dianggap sebagai anggota suatu
13
kelompok, maka sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan
dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek berupa asimilasi
dan kontras (Rakhmat, 2011: 58).
Asimilasi adalah sesuatu yang cenderung sangat mirip, sedangkan
kontras adalah perbedaan. Asimilasi terjadi ketika adanya sedikit perbedaan
antara substruktur dan struktur utama. Sementara kontras muncul ketika
perbedaan yang begitu besar nampak antara keduanya (Syam, 2012: 97).
Dengan adanya kontras, individu akan menilai sesuatu secara berlebihan
apabila melihat sifat-sifat objek persepsi bertolak belakang dengan sifat-sifat
kelompoknya (Rakhmat, 2011: 59).
Manusia akan selalu memandang sesuatu berdasarkan konteks dan
strukturnya. Struktur ini diperoleh berdasarkan kedekatan atau kesamaannya.
Jika sesuatu memliki kesamaan dengan yang lain, maka ini dianggap satu
kelompok (Rakhmat, 2011: 59). Menurut Nina W Syam (2012), cara
memandang orang bukanlah berupa anggapan yang keliru, tetapi harus
diperoleh secara universal atas dasar proses kognitif dan perseptual. Persepsi
tentang individu akan cenderung berubah dan dipengaruhi oleh struktur
kognitif utama. Maksudnya, untuk memersepsi seseorang, individu harus
melihat secara spesifik kelompok orang tersebut (Syam, 2012: 97).
Dari prinsip tersebut, Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi
yang keempat, yaitu “objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruangan
dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai
bagian dari struktur yang sama.” Dalil ini umumnya bersifat struktural dalam
mengelompokkan objek-objek fisik. Namun dalam persepsi sosial
pengelompokkan tidaklah murni struktural, sebab apa yang dianggap sama
oleh seseorang belum tentu sama oleh orang lain (Rakhmat, 2011, 59-60).
Dengan begitu kerangka rujukan turut andil dalam melihat kesamaan.
Sesuatu yang baru dilihat akan dianggap sama dengan sesuatu yang
sebelumnya pernah dilihat, meskipun pada hakikatnya tetap ada perbedaan.
Selain kerangka rujukan, kebudayaan juga memiliki peran dalam melihat
kesamaan. Dalam suatu budaya, akan terjadi suatu pengelompokkan kultural,
seperti orang kaya dan orang miskin, orang terdidik dan tidak terdidik, dan
lain sebagainya. Contoh lainnya ketika ada orang yang mengakrabkan
14
dirinya dengan orang yang memiliki kredibilitas tinggi, maka dia akan
dianggap memiliki kredibilitas tinggi pula. Jadi, kedekatan dalam ruang dan
waktu menyebabkan stimulus dianggap sebagai bagian dari struktur yang
sama. (Rakhmat, 2011: 60).
2.2.3 Proses Terjadinya Persepsi
Liliweri (2011: 158) menyebutkan ada lima tahapan dalam membentuk
persepsi, yakni:
a. Tahap 1, individu menerima stimulus (rangsangan dari luar), di saat ini indra
akan menangkap makna terhadap stimulus
b. Tahap 2, stimulus tadi diorganisasikan berdasarkan tatanan tertentu, misalnya
berdasarkan schemata (membuat semacam diagram tentang stimulus) atau
dengan script (refleks perilaku)
c. Tahap 3, individu membuat interpretasi dan evaluasi terhadap stimulus
berdasarkan pengalaman masa lalu atau pengetahuan tentang apa yang dia
terima itu
d. Tahap 4, stimulus yang sudah diperhatikan itu terekam dalam memori
e. Tahap 5, semua rekaman itu dikeluarkan, dan itulah yang dinamakan persepsi.
Deddy Mulyana (2016) menjelaskan bahwa ada tiga tahap dalam proses
pembentukan persepsi, yaitu proses sensasi, atensi, dan interpretasi.
a. Sensasi. Pada tahap ini, individu akan menerima stimulus melalui alat indera
(mata, telinga, hidung, kulit-otot, dan lidah). Semua indera mempunyai andil
bagi proses berlangsungnya komunikasi manusia. Melalui penginderaan,
manusia dapat mengetahui dunia. Manusia hanya dapat mempersepsi sesuatu
yang dapat dilihat, didengar, dicium, dicicipi, dan disentuh. Namun meski
begitu, kemampuan indera setiap orang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena
berbagai faktor, mulai dari usia, genetis, maupun kecelakaan. Inilah yang
mengakibatkan persepsi orang juga berbeda-beda (Mulyana, 2016: 182).
b. Atensi. Tahap ini menjelaskan bahwa individu akan mempersepsi sesuatu yang
menarik perhatiannya. Rangsangan yang menarik perhatian seseorang
cenderung diartikan sebagai sesuatu yang penting, sedangkan sebaliknya
sesuatu yang tidak menarik perhatiannya dianggap sebagai sesuatu yang tidak
15
penting. Rangsangan semacam ini dianggap sebagai penyebab kejadian-
kejadian berikutnya (Mulyana, 2016: 182).
c. Interpretasi (penafsiran). Tahap ini merupakan tahap terpenting dalam proses
pembentukan persepsi. Interpretasi terjadi hanya ketika individu mendapat
informasi dari indera. Pengetahuan yang diperoleh melalui persepsi bukan
pengetahuan mengenai objek yang sebenarnya, melainkan pengetahuian
bagaimana tampaknya objek tersebut (Mulyana, 2016: 182).
2.3 Teori Penilaian Sosial (Social Judgement Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Muzafer Sherif dan Hovland, dengan
menggabungkan sudut pandang psikologi, sosiologi, dan antropologi. Dasar teori ini
adalah individu akan membentuk situasi yang penting bagi dirinya, yang mana
mencakup faktor intern (emosi, sikap, motiv, pengalaman individu) dan faktor ekstern
(individu lain, lingkungan fisik, benda-benda). Faktor-faktor tersebut kemudian
menjadi kerangka acuan yang akan mempengaruhi penilaian sosial untuk bertingkah
laku. Adapun intisari teori ini yakni menjelaskan proses individu dalam memberikan
penilaian sosial terhadap stimulus (Santoso, 2010: 256). Kerangka acuan yang
dimaksud Sherif bukanlah tentang sesuatu yang abstrak seperti idealisme, norma-
norma, dan lain-lain, tetapi lebih kepada sesuatu yang konkret dan menyangkut
perilaku tertentu pada tempat dan waktu tertentu (Sarwono, 2013: 187).
Teori penilaian sosial berupaya memperkirakan bagaimana orang menilai pesan
dan bagaimana penilaian yang dibuat tersebut dapat memengaruhi sistem kepercayaan
yang sudah dimiliki sebelumnya (Morissan, 2010: 19). Teori ini juga berpandangan
bahwa sekali individu memberikan penilaian terhadap suatu pesan yang baru masuk ke
wilayah penerimaan, maka dia akan menyesuaikan sikapnya dengan pesan tersebut
(Morissan, 2010: 25).
Menurut teori ini, individu akan memberikan penilaian terhadap suatu pesan
karena adanya pengaruh keterlibatan ego, jangkar sikap, serta efek kontras dan
asimilasi. Berikut penjelasannya.
1. Keterlibatan Ego
Tingkat penerimaan atau penolakan seseorang terhadap suatu pesan akan
dipengaruhi oleh satu variabel penting yang disebut sebagai “keterlibatan
ego”, yaitu adanya hubungan personal dengan isu bersangkutan. Artinya,
16
keterlibatan ego mengacu pada seberapa penting suatu isu dalam kehidupan
seseorang (Morissan, 2010: 21).
Individu yang memiliki keterlibatan ego yang tinggi terhadap suatu isu
memiliki tiga struktur sikap yang menjadi ciri khasnya. Pertama, jarang
berada dalam wilayah yang nonkomitmen. Kedua, adanya wilayah
penolakan yang lebar, ia memiliki perasaan yang mendalam terhadap suatu
isu. Ketiga, orang yang memiliki kepedulian yang mendalam terhadap suatu
isu akan memiliki pandangan yang ekstrim terhadap isu yang menjadi
perhatiannya (Morissan, 2010: 22).
2. Jangkar Sikap
Individu akan menggunakan jangkar sikap sebagai pembanding atau acuan
ketika menerima sejumlah pesan yang berbeda-beda atau bahkan
bertentangan. Acuan ini tersimpan dalam kepala berdasarkan pengalaman
sebelumnya. Individu mengandalkan pada referensi internal atau disebut
reference point. Namun menurut Sherif, seseorang sering mengalami apa
yang disebur dengan “bias sistematis” ketika memberikan penilaian terhadap
pesan yang diterima. Bias sistematis terjadi ketika orang yang terlibat secara
mendalam terhadap suatu isu namun mendengarkan pandangan yang berbeda
terhadap isu tersebut. Dengan menggunakan standar atau acuan atau jangkar
sikap yang dimiliki, maka pesan yang sebenarnya biasa-biasa saja akan
diterima sebagai sesuatu yang sangat berbeda (Morissan, 2010: 23-24).
3. Efek Kontras dan Asimilasi
Efek kontras adalah suatu distorsi persepsi yang mengarah pada terjadinya
polarisasi ide. Namun, menurut Sherif, kontras hanya terjadi bila pesan
masuk ke dalam kategori wilayah penolakan. Jika pesan masuk ke dalam
wilayah penerimaan disebut sebagai asimilasi. Asimilasi adalah penilaian
yang bertolak belakang dengan kontras. Dengan asimilasi, pengirim dan
penerima pesan akan memiliki pandangan yang sama. Hal itu karena
asimilasi mendorong suatu ide ke arah jangkar sikap penerima pesan
(Morissan, 2010: 24).
Namun meski begitu, efek asimilasi dan kontras ini diperkuat dengan
keterlibatan ego penerima pesan. Jika penerima pesan memiliki keterlibatan
17
ego yang tinggi, maka kedua efek tersebut akan menjadi semakin kuat
(Morissan, 2010: 25).
Menurut teori penilaian sosial, terdapat tiga faktor yang berperan penting dalam
menentukan suatu ide atau pernyataan akan masuk ke dalam wilayah penerimaan atau
penolakan, di antaranya adalah kredibilitas narasumber, ambiguitas pesan, dan
pemikiran dogmatis.
Pesan yang disampaikan oleh narasumber yang memiliki kredibilitas tinggi akan
mampu memperluas atau memperpanjang wilayah penerimaan pihak penerima pesan
dibandingkan dengan narasumber dengan kredibilitas rendah. Namun demikian, pesan
yang ambigu (samar-samar) dan tidak jelas seringkali diterima sebagai pesan yang
bagus dan menarik sehingga akan memberikan efek yang lebih positif dibandingkan
dengan pesan yang jelas dan lugas. Misalnya kalimat “Bangsa yang besar adalah
bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Sebenarnya pesan ini ambigu dan
tidak jelas karena yang dimaksud dengan menghargai jasa pahlawan itu biasa
diidentikkan dengan upacara penghormatan atau ziarah ke kuburan para pahlawan
(Morissan, 2013: 28).
Namun apakah dengan melakukan ziarah ke kuburan lantas bangsa ini akan
menjadi besar dan dihormati bangsa-bangsa lain? Contoh lainnya adalah sebuah lagu
dengan lirik yang tidak jelas sering kali menarik perhatian para pendengarnya. Dengan
begitu, yang dimaksud ambiguitas pesan adalah seberapa menarik suatu pesan
menurut masyarakat. Jika menurut masyarakat menarik maka akan masuk ke wilayah
penerimaan, begitu pun sebaliknya jika pesan tidak menarik maka akan masuk ke
wilayah penolakan (Morissan, 2013: 28)
Hal terakhir yang menentukan suatu pesan atau ide masuk ke wilayah penerimaan
atau penolakan adalah pemikiran dogmatis. Masyarakat yang berpikir secara dogmatis
adalah kelompok orang yang paling sulit mengalami perubahan sikap. Hal itu karena
kelompok tersebut menggunakan prinsip kaca mata kuda sehingga pemikirannya kaku.
Kelompok ini merupakan orang-orang yang memiliki wilayah penolakan tinggi
terhadap isu-isu yang berbeda dengan apa yang selama ini dipahaminya sebagai benar
(Morissan, 2013: 29).
18
2.4 Komunikasi Politik dalam Pilkada Langsung
Sebelum UU N0. 22/1999 diubah menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah (yang tahun 2008 diperbaiki menjadi UU No. 12/2008), komunikasi politik
para calon kepala daerah lebih memfokuskan kepada para anggota DPRD. Hal itu
bertujuan agar mereka mendapat simpati para anggota DPRD. Calon kepala daerah
yang dapat meraih simpati besar dari anggota DPRD diasumsikan akan memperoleh
suara terbanyak dari anggota DPRD sehingga dialah yang akan menjadi kepala daerah
terpilih (Hikmat, 2011: 175).
Namun, ketika lahir UU No. 32/2004 yang melandasi pilkada langsung, fokus
komunikasi politik mereka tidak lagi dalam rangka meraih simpati anggota DPRD,
tetapi seluruh rakyat daerah. Model komunikasi politik yang dikembangkan para calon
kepala daerah dalam pilkada langsung tidak hanya difokuskan pada komunikan
kelompok kecil, tapi kelompok komunikan yang sangat besar. Semua rakyat daerah
memiliki hak yang sama untuk memilih, sehingga secara umum komunikasi politik
calon kepala daerah pun harus sampai kepada seluruh rakyat (Hikmat, 2011: 175).
Calon kepala daerah, sebagai politisi yang memiliki das wollen (keinginan)
menjadi kepala daerah, dapat menggunakan komunikasi politik sebagai salah satu
strategi dalam mewujudkan keinginannya. Calon kepala daerah dapat dapat
menjadikan kegiatan komunikasi politik, yakni sosialisasi dan pendidikan politik,
sebagai upaya real untuk meraih simpati dari rakyat pemilihnya (Hikmat, 2011: 177).
2.5 Pembicaraan Politik
Pembicaraan politik adalah suatu wacana dinamik dari kekuasaan, pengaruh, dan
kewenangan yang mendamaikan pertikaian melalui kegiatan simbolik (kata-kata
politik). Namun, kata-kata politik itu sendiri merupakan pokok pertikaian.
Pembicaraan politik menyelesaikan konflik sosial dengan menegosiasikan definisi
makna kata-kata yang diperselisihkan (semantika) dan aturan permainan kata
(sintatika). Melalui kegiatan politik, orang akan memperoleh keuntungan maupun
kerugian. Banyak jenis keuntungan dan kerugian, tapi ingat semuanya masuk ke
dalam tiga kategori umum yaitu material, solidaritas, dan ekspresif. Terdapat beberapa
tujuan dari pembicaraan politik, di antaranya pembicaraan politik untuk pencapaian
material, peningkatan status, identitas, serta pemberian informasi (Nimmo, 2011: 100-
101).
19
2.5.2 Pembicaraan Politik untuk Pencapaian Material
Dalam kehidupan, orang akan selalu berinteraksi melalui lambang-lambang
tertentu. Lambang membuat kehidupan menjadi bermakna. Begitu pula dengan
lambang politik yang juga bermakna bagi kehidupan politik itu sendiri. Oleh
karena lambang membuat pengalaman-pengalaman dalam kehidupan jadi
bermakna, maka dari itu akan menimbulkan keputusan untuk perolehan material.
Agar pembicaraan politik tetap dalam batas kewajaran, maka kelompok-kelompok
pemerintah dan swasta membuat struktur dan membatasi pembicaraan politik
dengan dua cara, yakni jaminan dan penggerak (Nimmo, 2011: 101).
Cara yang pertama adalah dengan memberikan jaminan kepada rakyat bahwa
masalah sedang diatasi, walaupun sebetulnya relatif kecil yang telah dicapai oleh
kebijakan yang berlaku. Dengan kata lain, membela kaum dan ketertiban akan
memberikan kesan keberhasilan meskipun tingkat kejahatan sedang melambung
tinggi. Itulah kenapa pemerintah dan swasta membuat struktur dan membatasi
pembicaraan politik, yakni supaya mereka mendapatkan keuntungan dan aktualitas
yang buruk dapat diterima oleh masyarakat. (Nimmo, 2011: 101-102).
Fungsi lambang politik dalam meyakinkan rakyat penting ketika pemerintah
akan membagikan keuntungan pada sebagian golongan dan kerugian kepada
golongan lain. Namun tentunya itu bisa dilakukan selama golongan yang dirugikan
menanggapi lambang tujuan kebijakan tersebut, bukan menanyakan bagaimana
sebenarnya jalan kebijakan itu, justru golongan ini menunjukkan sedikit
kecenderungan untuk protes dan menyatakan bahwa “kami telah dirugikan”
(Nimmo, 2011: 104-105).
Dengan begitu, kebijakan pemerintah adalah simbolik dalam arti yang sama
dengan bentuk-bentuk bahasa “hukum dan ketertiban”, “damai secara terhormat”,
“swasembada energi”. Bahasa-bahasa itu mengakibatkan rakyat percaya bahwa
pemerintah telah melayani rakyatnya dengan baik. Namun, lambang-lambang
politik yang diketahui umum seringkali berbeda dengan lambang politik di antara
para pejabat politik. Misalnya, meskipun pemilu membuat rakyat merasa
dilibatkan dalam memilih pemimpin dengan menyuarakan kepuasan dan
ketidakpuasannya, namun hanya sedikit sangkut pautnya dalam pembuatan
kebijakan (Nimmo, 2011: 105).
20
Cara yang kedua dalam membatasi pembicaraan politik adalah dengan
penggerakkan. Maksudnya para pemimpin politik menggerakkan rakyat, bentuk-
bentuk bahasa, tindakan-tindakan pemerintah, lembaga-lembaga, dan prosedur-
prosedur itu untuk mempengaruhi kepercayaan, nilai, dan pengharapan sejumlah
besar rakyat dalam situasi-situasi yang ambigus. Oleh karenanya, para politikus
akan mendapat penerimaan dan dukungan rakyat, baik karena kepemimpinan
emosional maupun karena kemampuan mereka membagikan ganjaran material
(Nimmo, 2011: 107).
Kata Edelman, tindakan politik terutama menggerakkan atau memuaskan
rakyat bukan dengan memenuhi atau menahan tuntutan mereka yang nyata dan
mantap, melainkan dengan mengubah tuntutan dan pengharapan mereka (Nimmo,
2011: 107).
2.5.3 Pembicaraan Politik untuk Peningkatan Status
Para penguasa politik tidak hanya menggunakan lambang politik untuk
membagikan barang-barang material, tapi juga untuk membagikan autoritas. Hal
itu diakibatkan karena meskipun kelompok-kelompok politik berbicara untuk
memperoleh ganjaran material, namun banyak di antara mereka yang kurang
berminat untuk memperoleh keuntungan material tertentu dibandingkan dengan
minat untuk memperoleh status yang berkuasa di dalam tatanan sosial (Nimmo,
2011: 107-108).
Selain untuk meningkatkan kepentingan material, bahasa juga akan sangat
membantu dalam memperoleh status berkuasa kelompok-kelompok politik.
Bahasa-bahasa yang digunakan pada akhirnya akan menciptakan dan memperkuat
kepercayaan, perasaan, dan pengharapan bahwa beberapa orang mempunyai hak
untuk memerintah karena mereka lebih pantas dari pada yang lain. Bahasa juga
dapat membangun hubungan antara pembicaraan dengan status (Nimmo, 2011:
108).
Herbert Marcuse (1960) seorang filosof berargumentasi bahwa pembicaraan
politik adalah bahasa keseluruhan pemerintahan, yakni suatu wacana manipulasi
dan kendali autoriter. Dalam bahasa keseluruhan pemerintahan, pengaruh dan
pembicaraan autoritas dapat meningkatkan status orde yang memerintah dengan
menghapus berpikir kritis. Misalnya dengan membujuk warga negara agar tidak
21
usah memikirkan dan melibatkan diri dalam kebijakan, biar para wakil rakyat
melakukannya (Nimmo, 2011: 110).
2.5.4 Pembicaraan Politik untuk Identitas
Para komunikator politik yang mengejar materi pribadi yang melayani diri sendiri
dan mengejar keuntungan status menggunakan simbol-simbol untuk membuat
rakyat bertindak dengan cara tertentu. Misalnya diam-diam rakyat menerima
kebijakan-kebijakan yang mereka sendiri tidak mengetahui dampak secara
langsung yang akan diterimanya, entah itu keuntungan atau kerugian. Para
komunikator politik juga dapat membangkitkan dukungan rakyat untuk tujuan-
tujuan tertentu yang lebih sempit, misalnya untuk identitas diri agar bisa lebih
terkenal. Juga agar rakyat patuh kepada para pemimpin yang dalam status sosial
lebih tinggi dari mereka dan memiliki autoritas untuk memerintah (Nimmo, 2011:
111).
Dalam konteks ini, lambang politik bukanlah tujuan, namun sebagai alat
untuk mencapai tujuan material dan sosial. Namun, ada sebagian orang yang
merasa bangga dan puas ketika mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian
dari suatu kelompok politik, misalnya dengan menyatakan “Saya seorang
Demokrat” (Nimmo, 2011: 111).
Setiap orang akan menyusun, memodifikasi, dan menyajikan citra diri yang
bermakna melalui komunikasi dengan yang lain, termasuk pembicaraan politik.
Dengan demikian dalam pembicaraan politik, seseorang akan mengekspresikan
dirinya sesuai dengan apa yang disukainya. Pembicaraan yang ekspresif adalah
wacana untuk menyingkap identitas politik seseorang (Nimmo, 2011: 111).
Jika pemimpin politik ingin memiliki kemampuan untuk meyakinkan,
membangkitkan, dan memperoleh kepatuhan dari rakyat, maka hal yang harus
diperhatikan adalah dengan tidak menuntut perihal biaya material dan sosial
kepada rakyat. Dengan begitu, rakyat akan menerima setiap kebijakan pemimpin
politi tanpa banyak bicara, dan mematuhi imbauan-imbauan secara simbolik
(Nimmo, 2011: 112).
2.5.5 Pembicaraan Politik untuk pemberian Informasi
Sebenarnya, pembicaraan politik bertujuan untuk memberi informasi, yakni untuk
menyingkap siapa yang mencari keuntungan dari pembagian material, menantang
autoritas dan status politik, serta merangsang partisipasi rakyat melebihi perilaku
22
ekspresif. Pembicaraan seperti itu sangatlah penting untuk keberlangsungan hidup
setiap negara. Pembicaraan tersebut juga merupakan variasi dari kegiatan simbolik
dan pertukaran intelegensi setiap elemen-elemen dalam komunikasi politik
(Nimmo, 2011: 113).
Dalam pembicaraan politik tentang materi, status, dan identitas, terdapat
penyimpangan komunikasi yang mana merupakan komunikasi yang relatif sedikit
tidak berkepentingan. Claus Mueller membicarakan tiga penyimpangan dalam
pembicaraan politik. Pertama, adanya komunikasi terarah, maksudnya pemimpin
politik berusaha menstrukturkan bahasa untuk melegitimasikan autoritas kelompok
tertentu dan untuk melambangkan status kawula kelompok yang lain. Kedua,
adanya komunikasi yang tertahan yakni keterbatasan linguistik rakyat
mengakibatkan tuntutan mereka tidak diakui. Ketiga, komunikasi politik yang
terkekang, yakni pembicaraan politik para kaum elit yang melayani diri sendiri
untuk memanjukan kepentingan material mereka, sehingga kepentingan rakyat
secara tidak langsung diabaikan (Nimmo, 2011: 113).
2.6 Media Persuasi Politik dalam Kampanye Pemilihan
Dalam kontes antar partai ada tiga tujuan kampanye. Pertama, untuk membangkitkan
kesetiaan alami para pengikut suatu partai dan agar mereka memilih sesuai dengan
kesetiaan itu. Kedua, untuk mengetahui warga negara yang tidak terikat pada partai
dan untuk mengidentifikasi golongan independen. Ketiga, kampanye yang ditujukan
untuk oposisi, bukan dirancang untuk mengalihkan kepercayaan dan nilai keanggotaan
partai, melainkan untuk meyakinkan rakyat bahwa akan lebih baik jika memilih
kandidat dari partai lain (Nimmo, 2011: 192).
Untuk melancarkan persuasi dalam kampanye, para kandidat dan tim suksesnya
memerlukan media agar mendapatkan hasil yang diinginkan. Beberapa media lebih
unggu ldalam beberapa hal dari yang lain. Dalam rencana kampanye, para persuader
mengharapkan saluran massa, interpersonal, dan organisasi tertentu untuk mencapai
tujuan yang berbeda-beda. Berikut akan dijelaskan bagaimana kampanye dalam media
massa, interpersonal, dan organisasi (Nimmo, 2011: 195).
2.6.2 Kampanye Massa
23
Ada berbagai cara untuk melakukan kampanye massa, mulai dari dilakukan secara
tatap muka di depan massa, sampai melalui media perantara seperti media
elektronik, maupun media cetak. Berikut penjelasannya.
a. Kampanye Tatap Muka
Kampanye ini umumnya dilakukan dengan cara melakukan rapat umum
politik yang dilakukan di depan khalayak massa. Namun, sebagian besar orang
yang hadir dalam dalam rapat tersebut karena memang merupakan pendukung
dari partai politik yang melakukan rapat tersebut. Dalam kampanye ini, tujuan
kandidat bukanlah untuk membelokkan oposisi, tapi untuk memperkuat
golongan yang setia, mempublikasikan gaya pribadi, memanfaatkan acara-
acara televisi yang berkaitan dengan kampanye, serta membantu pengumpulan
dana (Nimmo, 2011: 195).
Untuk mencapai tujuan tersebut bergantung pada persiapan yang
dilakukan pelopor, yakni anggota organisasi kampanye dengan datang ke
tempat kampanye jauh sebelum kampanye dilakukan. Untuk memastikan
kampanye diatur dengan baik, pelopor harus mampu menjamin fasilitas yang
memadai, mempersiapkan tempat, mendatangkan cukup banyak khalayak,
menghadirkan pers, menyediakan poster kandidat dan lencana bagi
pengunjung. Unsur penting lainnya dalam sebuah kampanye tatap muka
adalah persiapan pidato (Nimmo, 2011: 195-196).
b. Kampanye Telepon
Telepon sebagai alat komnikasi lisan mempunyai beberapa kegunaan bagi
kampanye kontemporer. Yang pasti, jika organisasi kampanye ingin
mengumpulkan dana, dengan menggunakan media telepon mungkin akan
lebih mudah. Telepon juga bisa menambah jumlah pemilih yang datang.
Terutama ketika kandidat menginginkan banyak pemilih yang hadir dalam
distrik dan seksi yang diketahuinya banyak terdapat simpati dan laten terhadap
pencalonannya (Nimmo, 2011: 196).
c. Kampanye Radio
McLuhan mengatakan bahwa yang harus ditekankan adalah terdapat resonansi
antara radio dan telinga serta pikiran manusia, resonansi ini menyajikan
peluang besar bagi kampanye radio. Kelebihan radio dibandingkan dengan
media lain di antaranya, lebih murah daripada televisi ataupun surat kabar.
24
Radio juga merupakan saluran massa dan saluran minoritas. Berbagai stasiun
radio melayani khalayak khusus. Kandidat akan menyebarkan imbauan ke
wilayah-wilayah yang relevan dengan kampanyenya karena kemungkinan
besar jenis pemilih ini akan menanggapi (Nimmo, 2011: 197).
d. Kampanye Televisi
Sebagai saluran komunikasi massa, televisi juga bisa menjadi saluran
komunikasi politik dalam kampanye pemilihan. Televisi dapat digunakan
dalam skala luas sebagai saluran komunikasi kampanye sehingga ini
memudahkan kandidat untuk mempersuasi rakyat. Adapun tekanan dalam
kampanye televisi adalah pembuatan citra, yaitu penggunaan media untuk
memproyeksikan atribut-atribut terpilih dari kandidat. Dalam membuat citra
kandidat dibutuhkan strategi yang jelas. Strategi itu meliputi penempatan
penampilan yang akan ditayangkan di televisi untuk mencapai khalayak
penonton maksimum, penggunaan format program televisi seperti komersial
spot 20 detik, 30 detik, dan 60 detik sebagai pengganti pidato televisi dan film
dokumenter yang berdurasi setengah jam, serta hanya menekankan masalah
yang relevan dengan citra yang diinginkan (Nimmo, 2011: 199).
Periklanan politik dalam televisi memberi informasi kepada para pemilih
tentang pokok masalah dan bahkan bisa lebih mempengaruhi keputusan
mereka ketimbang berita televisi. Komersial lima menit pun sama cocoknya
untuk pembuatan citra, terutama ketika pembinaan pengenalan nama,
pengingatan atribut kandidat, dan peningkatan jumlah pemilih (Nimmo, 2011:
200).
e. Kampanye Surat Langsung
Berbagai perusahaan komersial melakukan kampanye surat langsung, dan
beberapa melakukan spesialisasi dalam pengiriman surat regional dan nasional
selama pemilihan. Tujuan dari kampanye surat langsung adalah untuk
pengumpulan dana, pembinaan pengenalan nama dan citra kandidat, dan
imbauan untuk mengumpulkan duara. Namun demikian, surat langsung
nampaknya tidak memiliki cukup pengaruh terhadap tingkat informasi
pemilih, pandangan kandidat, tujuan memberikan suara dalam pemilihan, atau
pemilihan kandidat (Nimmo, 2011: 201-202).
f. Kampanye Surat Kabar
25
Dalam kampanye surat kabar, pembuatan citra adalah yang utama. Fokus
utama dalam sebuah pembuatan berita surat kabar adalah pada atribut para
kandidat ketimbang pokok masalahnya. Kepada pembaca, surat kabar
menyajikan cerita yang membina kesan tentang pentingnya kredibilitas,
watak, gaya, dan reputasi kandidat melalui sarana seperti penempatan cerita,
judul, isi, dan banyaknya liputan yang ditujukan kepada setiap pencari jabatan
(Nimmo, 2011: 202).
Yang penting dalam menimbang peran surat kabar dalam oersuasi politik
ialah dampak dukungan surat kabar kepada bagaimana orang memilih. Dalam
sebuah riset dikemukakan bahwa para pemilih lebih menaruh perhatian pada
dukungan editorial ketimbang yang pernah diduga. Maka dari itu, komponen
editorial merupakan saluran signifikan dari persuasi kampanye (Nimmo, 2011:
203).
g. Kampanye Poster
Seperti media lain dari kampanye politik, poster mencari dukungan luas untuk
kandidat, partai, dan program partai. Selain itu untuk mengumumkan
pertemuan politik dan rapat umum partai yang akan datang, membantu
mengumpulkan dana, mengkritik oposisi, membina pengenalan nama bagi
kandidat yang belum dikenal, dan membangkitkan semangat para pekerja
kampanye (Nimmo, 2011: 204).
Gary Yanker menjelaskan bagaimana poster menarik pemilih. Pertama,
ada tanda yang mudah dikenal, misalnya tangan yang diangkat,
mengacungkan jempol, dua jari, dan sebagainya. Kedua, melalui pengulangan
poster ini menjadi lambang yang dominan, misalnya kandidat yang
menggulung bajunya dianggap mewakili seseorang yang informal, pekerja
keras, dan penuh inisisatif. Ketiga, lambang tersebut itu bertindak sebagai
motif bagi periklanan politik di masa depan (Nimmo, 2011: 204).
Yanker mengamati berbagai jenis pemilih berdasarkan warna dari poster.
Golongan moderat dan konservatif akan terhadap biru, pemilih yang canggih
dari kota terhadap hitam dan putih, reformis terhadap kuning, radikal terhadap
merah. Jingga di atas biru dan merah di atas hitam adalah kombinasi warna
terbaik untuk mengidentifikasi kandidat yang belum dikenal (Nimmo, 2011:
205).
26
2.6.3 Kampanye Interpersonal
Dalam kampanye interpersonal, kandidat akan melakukannya dengan cara
bertatap muka maupun dengan perantara. Kampanye secara tatap muka ada tiga
jenis. Pertama, penampilan pribadi yang dilakukan oleh kandidat dalam seting
yang relatif informal. Seperti kandidat yang bangun dini hari hanya demi bertemu
dan berjaba tangan dengan para pegawai pabrik yang bekerja pada jam 05:00 atau
06:00, bertemu dengan petani untuk ketika mereka sedang melakukan
pekerjaannya, bahkan bertemu dengan pers pun merupakan suatu strategi
kampanye yang tidak boleh diabaikan (Nimmo, 2011: 205).
Kedua, kampanye melalui kebaikan kantor pemuka pendapat. Para kandidat
melakukan komunikasi interpersonal secara tatap muka dengan tokoh-tokoh
penting dalam masyarakat, seperti guru, pakar politik, ustadz, kyai, dan lain
sebagainya yang memiliki reputasi baik dalam masyarakat. Dukungan dari
pemuka pendapat ini sering kali lebih efektif dibandingkan dengan iklan dan
poster yang berbayar. Ketiga, orang-orang yang sukarela melakukan kampanye.
Orang-orang ini mengunjungi setiap rumah dalam masyarakat untuk kepentingan
kandidat. Ada dua jenis sukarelawan yakni sukarelawan sejati dan sukarelawan
berbayar. Sukarelawan sejati ialah mereka yang tidak mendapat imbalan sama
sekali setelah membantu mengkampanyekan seorang kandidat. Sedangkan
sukarelawan berbayar adalah mereka yang dibayar oleh kandidat untuk membantu
proses kampanye (Nimmo, 2011: 206).
Sementara itu, perantara dalam kampanye interpersonal yang pertama
adalah telepon. Selain untuk menjangkau khalayak massa, telepon juga bisa
digunakan untuk media interpersonal antara kandidat dengan pemilih seperti
untuk menelpon rekan kerja, keluarga, tetangga, teman-teman, dan lain
sebagainya. Perantara yang lainnya adalah pameran pribadi, seperti lencana,
stiker, bendera, peci, pena, pensi, dan lain sebagainya yang bisa dibawa kemana-
mana. Perantara-perantara itu digunakan untuk mengetahui kesetiaan dari para
pendukung, jika mereka selalu membawa barang-barang itu maka mereka telah
mengiklankan kesetiaan mereka pada seorang kandidat (Nimmo, 2011: 206).
2.6.4 Kampanye Organisasi
Dalam kampanye ini, berbagai organisasi turut serta untuk mendukung para
kandidat. Salah satu di antaranya adalah organisasi kandidat itu sendiri. Selain itu,
27
organisasi berkepentingan khusus yang menduduki posisi, membantu dana dan
sumber daya lain, mengerahkan anggota, dan memberikan tekanan kepada calon
pejabat. Organisasi kepentingan khusus ini merupakan mata rantai yang vital di
antara kandidat dan anggota kelompok. Selain kedua jenis organisasi tersebut, ada
juga organisasi yang berfungsi sebagai penyokong. Tujuan dari organisasi ini
adalah untuk memberikan sokongan kepada kandidat dengan memberikan kesan
mendapat dukungan rakyat yang luas melebihi barisan partisan, pegawai, dan
etnik (Nimmo, 2011: 206-207).
Organisasi yang terakhir adalah partai politik. Saluran komunikasi partai
terdiri atas kantor partai khusus dan hubungan partai dengan para pemilih. Partai-
partai politik menyampaikan pesan mereka langsung kepada rakyat dengan cara
sukarela. Setiap partai akan menyampaikan pesannya hanya kepada daerah yang
simpatisannya diketahui, bukan berkeliaran di daerah lawan. Hubungan partai dan
dukungan yang lebih besar terhadap partai membuat upaya itu cocok. Setidaknya
dalam mempengaruhi golongan independen dan simpatisan partai (Nimmo, 2011:
207-208).
2.7 Jenis-jenis Pemberi Suara
Dan Nimmo (2010) mengklasifikasikan jenis-jenis pemberi suara menjadi empat
jenis, yakni pemberi suara rasional, reaktif, responsif, serta pemberi suara aktif.
2.7.2 Pemberi suara rasional
Pemberi suara ini selalu mempertimbangkan pilihannya berdasarkan
rasionalitas pada dirinya. Orang yang rasional ialah orang yang (1) selalu
dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif; (2) memilih
alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama
saja, atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain; (3)
menyusun alternatif-alternatif dengan cara transitif: jika A lebih disukai dari
pada B, dan B dari pada C, maka A lebih disukai dari pada C; (4) selalu
memilih alternatif yang peringkat preferensinya paling tinggi; (5) selalu
mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif-alternatif
yang sama (Nimmo, 2010: 162-163).
Pemberi suara rasional selalu dimotivasi untuk bertindak jika
dihadapkan pada pilihan politik, secara aktif memperoleh informasi-
28
informasi tentang berbagai alternatif, aktif berdiskusi tentang masalah
politik untuk mencapai peringkat alternatif, serta bertindak berdasarkan
prinsip, bukan kebetulan dan kebiasaan melainkan berkenaan dengan
standar dan kepentingan umum (Nimmo, 2010: 163).
2.7.3 Pemberi suara reaktif
Pemberi suara ini seolah-olah digerakkan oleh partai politik dan para
kandidat untuk memberikan suaranya. Yang terpenting bagi pemberi suara
reaktif adalah ikatan emosional kepada partai politik, karena partai politik
merupakan agen pembentuk opini yang sangat penting. Pemberi suara
reaktif juga bisa diidentifikasi akan memberikan suaranya kepada partai dan
kandidat mana dikarenakan faktor sosio-demografi seperti ukuran kelas
sosial termasuk pekerjaan, pendidikan, pendapatan, serta atribut usia, jenis
kelamin, ras, agama, wilayah tempat tinggal, dan sebagainya (Nimmo,
2010: 164).
Pemberi suara reaktif merupakan pemberi suara yang tetap, stabil, dan
kekal. Hal itu karena ikatan emosional antara pemberi suara ini dengan
partai politik. Dengan kata lain, pemberi suara reaktif adalah pemberi suara
yang setia. Pemberi suara ini secara selektif memersepsi para kandidat yang
bersaing, bukan secara rasional menghargai kekurangan dan kelebihan
mereka. Maka dari itu kebanyakan dari mereka akan menentukan sejak awal
kampanye kepada siapa mereka akan memberikan suaranya (Nimmo, 2010:
164).
2.7.4 Pemberi suara responsif
Pemberi suara responsif memiliki karakter impermanen, berubah
mengikuti waktu, peristiwa politik, dan pengaruh yang berubah-ubah
terhadap pilihan para pemberi suara. Pemberi suara ini dipengaruhi oleh
faktor sosio-demografi seperti layaknya pemberi suara aktif, tapi faktor ini
tidak menentukan apakah pemberi suara akan memilih suatu partai atau
tidak. Pemberi suara ini juga memiliki kesetiaan terhadap suatu partai, tapi
kesetiaannya ini lebih rasional ketimbang emosional (seperti pemberi suara
raktif). Selain itu pemberi suara ini lebih dipengaruhi faktor-faktor jangka
pendek, artinya pemberi suara responsif bukanlah gambaran pemilih yang
dibelenggu oleh determinan sosial atau digerakkan oleh dorongan bawah
29
sadar yang dipicu oleh propagandis partai seperti layaknya pemberi suara
reaktif. Akan tetapi, pemberi suara ini lebih digerakkan oleh perhatiannya
kepada masalah pokok dan relevan tentang kebijakan umum dan relevan,
serta tentang prestasi dan kepribadian pemerintah (Nimmo, 2010: 169)
2.7.5 Pemberi suara aktif
Pemberi suara ini secara aktif menginterpretasikan peristiwa, isu, partai,
dan personalitas yang kemudian dapat menetapkan kepada siapa pilihannya
akan diberikan. Dengan demikian individu yang aktif ketika mendapat
rangsangan politik akan menginterpretasikannya dan memberikannya
makna. Tanggapan setiap orang terhadap rangsangan politik tidaklah sama.
Ada yang memperhatikan kampanye dengan cermat, aktif, yang lainnya
hanya melirik judul berita saja, bahkan ada yang sama sekali tidak
memperhatikan berita kampanye (Nimmo, 2010: 171).
Para pemberi suara merumuskan citra tentang partai yang mereka
perhitungkan, citra tersebut dapat berbeda-beda setiap orangnya. Sehingga
bisa dikatakan bahwa kampanye politik dan pemberian suara merupakan
tindakan komunikasi (Nimmo, 2010: 172).
2.8 Kampanye, Komunikasi, dan Pemberi Suara
Kampanye merupakan kegiatan komunikasi secara simbolik, orang-orang akan
menginterpretasikan objek dan tindakan yang diterimanya. Interaksi simbolik
merupakan suatu perilaku untuk pencarian makna dari suatu objek atau tindakan yang
oleh Mead disebut dengan “lambang signifikan”. Dalam kampanye politik, yang
melakukan kampanye berusaha untuk mengatur kesan tentang mereka dengan
mengungkapkan lambang-lambang yang diharapkan dapat memberi imbauan kepada
pemberi suara. Para pemberi suara pun secara selektif memperhatikan hal-hal tertentu
dalam kampanye, memperhitungkan dan menginterpretasikannya. Dengan demikian,
pemberi suara akan menyusun citra tentang kampanye dan yang melakukan
kampanye, yakni citra yang memberikan signifikansi kepada lambang-lambang yang
disodorkan (Nimmo, 2010: 173).
Banyak hal yang dipertimbangkan dan diperhitungkan untuk memahami proses
pemberian suara oleh pemberi suara. Namun, ada tiga hal di antaranya sangat
signifikan dalam membentuk latar belakang pemberi suara dalam memberikan
suaranya, yakni atribut, perspekstif, dan persepsi pemberi suara (Nimmo, 2010: 174).
30
2.8.2 Atribut Pemberi Suara: Karakteristik Sosial Demografi
Pola tradisional mengenai hubungan faktor sosio-demografi dengan partisipasi
politik ialah bahwa orang-orang yang cenderung mengambil bagian dalam
politik adalah mereka yang pekerjaannya kelas menengah ke atas,
berpendidikan, berpendapatan sedang atau lebih baik, serta setengah baya.
Orang-orang tersebut memiliki tingkat memberikan suara yang lebih tingi
dibanding yang lain (Nimmo, 2010: 175).
Hal yang harus diperhatikan tentang perbedaan karakteristik sosial
demografi antar pemberi suara adalah kecenderungan para pemberi suara
terhadap suatu partai atau kandidat. Pemberi suara akan mengidentifikasikan
diri mereka sendiri sebagai bagian dari suatu partai atau kandidat (Nimmo,
2010: 175). Pemberi suara cenderung membedakan antara partai yang satu
dengan yang lainnya. Hal tersebut terjadi karena publik melihat perbedaan
setiap partai berdasarkan apa yang penting menurut mereka. Ketika masyarakat
mengalihkan dukungannya terhadap partai lain atau kandidat lain, kebanyakan
hanya sebagai tanggapan terhadap trend nasional, bukan karena alasan yang
menyangkut kelompok tertentu (Nimmo, 2010: 177).
2.8.3 Perspektif Pemberi Suara: Mengembangkan Citra Diri Politik
Orang yang memasuki kampanye politik dan membawa citra diri politiknya
akan melihat segala sesuatunya tidak hanya berdasarkan apa yang dilihat (citra
diri jangka pendek atau persepsi mereka tentang objek politik), melainkan
dengan mengamati dari segi individual (citra diri politik jangka panjang atau
perspekstif mereka terhadap objek politik). Berikut pokok-pokok yang
menguntungkan ketika pemberi suara membawa citra diri politik dalam sebuah
kampanye (Nimmo, 2010: 178).
a. Citra diri partisan
Citra diri partisan itu mengondisikan pemberian suara tanpa terpengaruh
oleh perubahan dalam isu, kandidat dan peristiwa. Pendukung pandangan
pemberi suara itu membentuk perspektif warga negara sehingga pemberi
suara memandang seluruh rangsangan politik sesuai dengan identifikasi
partai, dengan menyaring informasi yang tidak sesuai dengan kepartisanan
serta hanya memilih komunikasi yang mempekuat kecenderungan partisan
(Nimmo, 2010: 178).
31
Namun, identifikasi partai bukanlah perspektif yang serba menentukan
atau serba mewarnai pemberi suara kontemporer. Alasannya, pertama
meskipun para pemberi suara pada umumnya menilai objek politik dari
sudut pandang partisan, hal ini tidak selalu demikian. Kedua setiap partisan
belum tentu akan memilih kandidat dari partai yang diikutinya. Ketiga
lebih banyak orang yang mengidentifikasikan dirinya sebagai independen,
karena independen memberikan lebih banyak bagian dalam keseluruhan
suara split ticket (suara seseorang yang diberikan kepada lebih dari satu
kandidat) (Nimmo, 2010: 178-179).
Meski begitu, bukan berarti identifikasi partai bukanlah faktor penting
dalam pemberian suara. Hanya saja perspektif yang diberikan oleh citra
diri partai memiliki pengaruh langsung yang semakin berkurang terhadap
pemberian suara dan pengaruh langsung yang semakin menurun dalam
pembentukan citra pemberi suara tentang kampanye (Nimmo, 2010: 180).
b. Citra kelas
Citra kelas mengacu kepada kelas sosial tempat mengidentifikasikan diri
dan menganggap dirinya sebagai anggotanya. Namun yang belum
ditunjukkan secara meyakinkan adalah menilai objek politik dan pemberian
suara melalui kesadaran kelas. Dalam hal ini ada dua alasan, yang pertama
pemberi suara yang mengidentifikasikan dirinya sebagai kelas menengah
dan kelas pekerja tidak menunjukkan pola yang konsisten tentang
dukungan kepada partai atau kandidat dengan identifikasi kelasnya. Kedua,
ukuran kelas seperti pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan bukanlah kelas
tempat orang mengidentifikasikan diri, melainkan sebagai kategori sosial
yang cocok bagi pemberi suara. Singkatnya, pemberian suara tidak mesti
dipengaruhi oleh pembagian kelas pada setiap pemberi suara (Nimmo,
2010: 180).
c. Citra diri ideologis
Dalam melihat hubungan antara perspektif ideologis, penilaian terhadap
objek politik, dan perilaku memberikan suara pada seseorang nampaknya
agak sukar. Namun, dalam penelitian terbaru tentang pemberian suara
ternyata citra diri ideologis pemberi suara sesuai dengan sikapnya terhadap
isu politik. Ini berarti bahwa jika seseorang memiliki ideologi yang sama
32
seperti partai yang didukungnya, besar kemungkinan ia akan memberikan
suaranya kepada partai tersebut (Nimmo, 2010: 181).
d. Citra pemegang jabatan yang ideal
Para pemberi suara tentu mengharapkan pemegang jabatan yang ideal.
Oleh karena itu, pemberi suara mempunyai standarnya tersendiri seperti
apa sifat-sifat yang harus dimiliki pemegang jabatan pemerintahan. Para
pemilih mencari sifat yang abstrak seperti kedewasaan, kejujuran,
kesungguhan, kekuatan, kegiatan dan energi. Sifat-sifat tersebut merupakan
gabungan sifat pahlawan politik (Nimmo, 2010: 182).
Miller dan Jackson dalam penelitiannya menemukan bahwa (Nimmo,
2010: 182):
1) Struktur citra rakyat terhadap pemegang jabatan sangat stabil
2) Citra demikian memiliki dimensi-dimensi yang jelas, termasuk
bagaimana orang membayangkan sifat pribadi, latar belakang
profesional, afiliasi partai, dan pendirian ideologis kandidat yang
ideal
3) Kelebihan seorang kandidat terhadap yang lain dalam pikiran
memberi suara sebagian besar merupakan fungsi dari bagaimana
setiap kandidat memenuhi sifat-sifat ideal yang diinginkan
4) Perbandingan citra ideal pemberi suara dengan persepsi mereka
tentang kandidat pada dimensi-dimensi sifat personal dan latar
belakang profesional dalam menyajikan perkiraan yang akurat
tentang hasil pemilihan umum.
e. Perhatian pribadi
Setiap pemilih tentu akan memusatkan perhatian mereka pada hal yang
berbeda-beda. Ada yang memerhatikan masalah ekonomi, sosial,
kesejahteraan, luar negeri, lingkungan, energi, dan lain sebagainya. Selain
itu, mereka juga memerhatikan apakah pemimpin politik dan lembaga-
lembaga itu dapat diandalkan, jujur, patut dipercaya, dan cepat tanggap
atau tidak. Maka dari itu, tugas para kandidat adalah menyadap perhatian
para pemilih dengan harapan mendapatkan dukungan (Nimmo, 2010: 183).
33
2.8.4 Persepsi Pemberi Suara: Citra Politik Khas Kampanye
Para pemberi suara secara selektif mempersepsi partai, kandidat, isu, dan
peristiwa dalam kampanye. Kemudian memberi makna kepada mereka yang
mana hal tersebut menentukan pemberian suara. Pemberi suara tidak hanya
memperhitungkan citra jangka panjang, melainkan juga menyusun citra jangka
pendek tentang objek kampanye (Nimmo, 2010: 183).
a. Citra partai
Seseorang bisa jadi mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari suatu
partai, namun bisa jadi dia tidak menyukai apa yang dilakukan partai
tersebut. Dengan begitu, citra partai terdiri atas apa yang dipercaya dan
diharapkan rakyat terhadap partai. Citra partai memiliki tiga dimensi, yakni
hubungan persepsi rakyat terhadap partai dan kandidatnya, prestasi umum
tentang prestasi partai, serta acuan kepada kepentingan yang didukung oleh
partai (Nimmo, 2010: 184).
Citra partai sangat cepat tanggap terhadap faktor-faktor yang bekerja
di dalam kampanye dan menjadi lebih atau kurang penting dalam
menentukan pilihan. Citra politik secara efektif memainkan peran
penerjemah tentang apa yang berlangsung dalam dunia politik kepada
pemberi suara, sehingga pemberi suara memperoleh makna dari suatu
kegiatan politik (Nimmo, 2010: 184).
b. Citra kandidat
Para pemberi suara akan memilih kandidat yang sesuai atau mendekati
pemimpin yang ideal menurut mereka. Hal itu menunjukkan bahwa citra
yang disusun rakyat tentang para kandidat merupakan faktor utama dalam
pemilihan umum. Seseorang bisa saja berpaling dari kubu partai dan
kandidatnya, dan lebih memilih kubu lawan karena memiliki citra positif
dimatanya. Dengan begitu, setiap kandidat harus memiliki keistimewaan
tersendiri dibandingkan dengan lawannya. Citra kandidat ini tentunya
dipengaruhi oleh komunikasi politik kandidat itu sendiri terhadap pemberi
suara (Nimmo, 2010: 185-186).
c. Isu politik
Dalam penelitian terdahulu yang dilakukan sebelum 1964 menyebutkan
bahwa secara khas para pemilih tidak menyadari adanya isu kampanye,
34
kurang peduli terhadapnya, dan tidak tahu di pihak mana partai dan
kandidat itu berdiri terhadap isu. Namun setelah tahun 1964, para peneliti
mulai menanyakan dalam surveinya tentang isu apa yang dianggap penting
oleh responden (Nimmo, 2010: 186).
Para pemberi suara tidak dapat membedakan isu tentang partai atau
kandidat karena partai dan para kandidat dengan sengaja menyembunyikan
perbedaan isu agar dapat memobilisasi dukungan yang luas. Namun,
peristiwa-peristiwa dalam kampanye yang sangat didramatiskan dan
dipublikasikan secara luas ternyata tidak menjadi isu yang menonjol bagi
para pemberi suara (Nimmo, 2010: 186).
2.9 Konsep Elektabilitas
Elektabilitas sering disama artikan dengan popularitas. Padahal keduanya
memiliki makna dan konotasi yang berbeda. Meskipun keduanya memiliki korelasi
yang besar. Popularitas berkaitan dengan sejauh mana seseorang dikenal oleh
masyarakat, baik dikenal dalam hal positif maupun negatif. Sedangkan elektabilitas
berkaitan dengan kesediaan masyarakat untuk memilih seseorang untuk jabatan
tertentu. Artinya, elektabilitas berkaitan dengan jabatan yang ingin dicapai.
Elektabilitas kandidat presiden tidak bisa disamakan dengan elektabilitas kandidat
bupati (Kadir, 2014: 147-148).
Untuk mendapatkan elektabilitas yang tinggi, diperlukan publikasi dan
kampanye yang tepat. Publikasi dan kampanye digunakan untuk memperkenalkan
seseorang atau kandidat kepada masyarakat. Semakin seseorang dikenal baik secara
meluas dalam masyarakat, maka semakin tinggi pula elektabilitasnya. Jika ada orang
yang ahli dalam bidangnya yang berkaitan dengan jabatan publik tapi tidak
diperkenalkan kepada masyarakat, maka besar kemungkinan elektabilitasnya rendah.
Sebaliknya, jika ada orang yang ahli dalam bidangnya namun tidak berkaitan dengan
jabatan publik, bisa jadi mendapatkan elektabilitas tinggi karena diperkenalkan dengan
cara yang tepat kepada masyarakat (Kadir, 2014: 148).
Popularitas dan elektabilitas tergantung pada dua hal, yaitu teknik kampanye
yang dipergunakan dan tingkat kematangan masyarakat. Masyarakat yang relatif maju
akan berbeda pandangan dengan masyarakat yang masih berkembang. Masyarakat
maju akan memperhatikan profesi kandidat dalam memberikan pilihannya, sedangkan
35
masyarakat yang masih berkembang tidak bergitu mempedulikan profesi kandidat
dalam menentukan pilihannya (Kadir, 2014: 149).
Yang perlu diingat adalah tidak semua kampanye berhasil meningkatkan
elektabilitas para kandidat. Kampanye yang menyentuh kepentingan publik
diharapkan akan menghasilkan elektabilitas yang tinggi bagi kandidat yang
dikampanyekan. Sedangkan kampanye yang asal kampanye, tidak menyentuh
kepentingan publik, dan menggunakan bahasa-bahasa yang tidak relevan dengan
kondisi masyarakat nampaknya tidak dapat meningkatkan elektabilitas kandidatnya
(Kadir, 2014: 149).
2.10 Penelitian Terdahulu
1. Muh. Yunus (2015) Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin, Filsafat Dan Politik
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar dalam skripsinya yang
berjudul “PENGARUH ELIT POLITIK TERHADAP ELEKTABILITAS CALON
ANGGOTA LEGISLATIF PARTAI DEMOKRAT DAPIL 2 PADA
PEMILU 2014 DI KOTA MAKASSAR”1. Persamaan antara penelitian ini dengan
penelitian terbaru adalah sama-sama meneliti tentang elektabilitas dalam sebuah
pemilihan umum.
Sementara perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian terbaru yaitu variabel
penelitian penulis adalah pesepsi masyarakat dan elektabilitas paslon Cagub-
Cawagub, sedangkan variabel penelitian terdahulu adalah elit politik dan
elektabilitas caleg. Selain itu, penulis menggunakan jenis penelitian kuantitatif
dengan pendekatan survei, sementara penelitian terdahulu menggunakan jenis
penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Perbedaan yang paling jelas
adalah tempat penelitian keduanya, yakni penelitian terdahulu di Kota Makassar
dan penelitian terbaru di Kecamatan Pabuaran Kabupaten Cirebon.
2. Indra Gosal (2015) Program Studi Ilmu Politik Jurusan Ilmu Politik Dan
Pemerintahan Universitas Hasanuddin dalam skripsinya yang berjudul
“ELEKTABILITAS SYAHRUL YASIN LIMPO PADA PEMILIHAN
GUBERNUR 2013 DI KABUPATEN TORAJA UTARA”2. Persamaan antara
1 Repositori.uin-aluddin.ac.id/3742/1/MUH.%2520YUNUS.pdf diakses pada 20-01-2018