Top Banner
7 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi Intrapersonal Peristiwa yang sama akan ditanggapi berbeda oleh setiap orang. Hal itu diakibatkan oleh karakteristik personal setiap orang yang berbeda. Karakteristik personal tergantung pada bagaimana komunikasi intrapersonal individu, yakni bagaimana individu menerima informasi, mengolahnya, menyimpannya, dan menghasilkan informasi kembali (Rakhmat, 2011: 48). Dalam komunikasi intrapersonal, proses pengolahan informasi tersebut meliputi proses sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Sensasi adalah proses menangkap stimuli. Sensasi juga bisa disebut dengan penerimaan rangsangan oleh indera. Persepsi adalah proses memberi makna pada setiap stimulus, sehingga bisa dikatakan bahwa persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Memori adalah proses penyimpanan informasi dan memanggilnya kembali. Dengan memori, individu akan menyimpan setiap informasi yang didapatkannya, dan ketika dibutuhkan, informasi tersebut akan dipanggil serta diingat olehnya. Sementara berpikir adalah mengolah dan memanipulasi informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respons (Rakhmat, 2011: 48). Namun, dalam bab ini penulis tidak akan menjelaskan secara detail mengenai proses-proses dalam komunikasi intrapersonal yang telah disebut di atas. Melainkan penulis hanya akan fokus pada persepsi yang mana merupakan salah satu bagian dari komunikasi intrapersonal. 2.2 Persepsi 2.2.1 Pengertian Persepsi Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna stimulus inderawi (Rahmat, 2011: 50). Menurut Jalaludin Rahmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi, untuk mendapatkan persepsi terlebih dahulu harus melewati proses sensasi, yaitu penginderaan makna dari suatu informasi.
32

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

Apr 20, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

7

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Sistem Komunikasi Intrapersonal

Peristiwa yang sama akan ditanggapi berbeda oleh setiap orang. Hal itu diakibatkan

oleh karakteristik personal setiap orang yang berbeda. Karakteristik personal

tergantung pada bagaimana komunikasi intrapersonal individu, yakni bagaimana

individu menerima informasi, mengolahnya, menyimpannya, dan menghasilkan

informasi kembali (Rakhmat, 2011: 48).

Dalam komunikasi intrapersonal, proses pengolahan informasi tersebut meliputi

proses sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Sensasi adalah proses menangkap

stimuli. Sensasi juga bisa disebut dengan penerimaan rangsangan oleh indera. Persepsi

adalah proses memberi makna pada setiap stimulus, sehingga bisa dikatakan bahwa

persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Memori adalah proses penyimpanan

informasi dan memanggilnya kembali. Dengan memori, individu akan menyimpan

setiap informasi yang didapatkannya, dan ketika dibutuhkan, informasi tersebut akan

dipanggil serta diingat olehnya. Sementara berpikir adalah mengolah dan

memanipulasi informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respons

(Rakhmat, 2011: 48).

Namun, dalam bab ini penulis tidak akan menjelaskan secara detail mengenai

proses-proses dalam komunikasi intrapersonal yang telah disebut di atas. Melainkan

penulis hanya akan fokus pada persepsi yang mana merupakan salah satu bagian dari

komunikasi intrapersonal.

2.2 Persepsi

2.2.1 Pengertian Persepsi

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan

yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi

ialah memberikan makna stimulus inderawi (Rahmat, 2011: 50). Menurut Jalaludin

Rahmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi, untuk mendapatkan persepsi terlebih

dahulu harus melewati proses sensasi, yaitu penginderaan makna dari suatu informasi.

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

8

Benyamin B. Wolman mengungkapkan bahwa, sensasi adalah pengalaman elementer

yang segera, yang tidak menguraikan verbal, simbolis, atau konseptual, dan terutama

sekali berhubungan dengan alat indera (Rahmat, 2011: 48). Senada dengan Rakhmat,

Bimo Walgito (2003: 53) menjelaskan secara singkat bahwa persepsi merupakan suatu

proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan itu sendiri merupakan suatu

proses penerimaan stimulus oleh individu melalui alat indera. Lahlry (1991) dalam

Severin dan Tankard (2011) juga mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses yang

digunakan untuk menginterpretasikan data-data sensoris (Severin & Tankard, 2011:

83).

Persepsi ialah proses pemaknaan terhadap stimulus. Jika stimulusnya berupa

benda disebut object perception dan jika stimulusnya berupa manusia disebut social

perception. Menurut Baron dan Byrne (2000), persepsi sosial adalah suatu usaha untuk

memahami orang lain dan diri kita sendiri (Rahman, 2013: 79). Sementara Joseph A.

DeVito menyebutkan bahwa persepsi merupakan proses yang menjadikan individu

sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indera (Mulyana, 2016: 180).

Pengertian lain menyebutkan bahwa, persepsi merupakan proses di mana

individu memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasi apa yang dibayangkan

tentang media di sekelilingnya. Jadi, dengan mempersepsi setiap individu memandang

dunia berkaitan dengan apa yang dia butuhkan, apa yang dia nilai, apakah sesuai

dengan keyakinan dan budayanya (Liliweri, 2011: 153).

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Bimo Walgito mengungkapkan ada dua faktor yang mempengaruhi persepsi

seseorang, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan apa

yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir,

kerangka acuan, dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu. Sedangkan faktor

eksternal merupakan sesuatu yang berasal dari luar seperti stimulus dan lingkungan

(Walgito, 2003: 54).

Hasil penelitian telah mengidentifikasi dua jenis pengaruh dalam persepsi, yaitu

pengaruh struktural dan pengaruh fungsional. Pengaruh struktural pada persepsi

berasal dari aspek-aspek fisik rangsangan yang terpapar pada kita, misalnya titik-titik

yang disusun berdekatan secara berjajar akan terlihat seperti sebentuk garis. Pengaruh-

pengaruh fungsional merupakan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi persepsi,

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

9

dan karena itu membawa pula pada subjektivitas ke dalam proses (Severin & Tankard,

2011: 83).

Liliweri (2011) menyebutkan tujuh faktor yang mempengaruhi persepsi.

Pertama, fisiologis dan kemampuan sensoris yang meliputi audio-visual, fisik, dan

umur. Kedua, kebudayaan yang meliputi kepercayaan, nilai-nilai, pemahaman, dan

asumsi taken for granted. Ketiga, stand point theory yang meliputi komunikasi sosial,

ras, etnisitas, gender, kelas ekonomi, agama, spiritualitas, umur, orientasi seksual,

serta posisi kekuasaan dalam hierarki sosial. Keempat, peranan sosial yang meliputi

peranan sosial ketika berkomunikasi dengan orang lain, harapan terhadap kepenuhan

peran, dan pilihan karier. Kelima, kemampuan kognitif. Keenam, kompleksitas

kognitif, serta ketujuh persepsi yang berpusat pada orang (Liliweri, 2011: 155).

Sedangkan Latipah (2017: 61) mengidentifikasi bahwa ada empat faktor yang

mempengaruhi persepsi, yakni faktor bawaan, periode kritis, psikologis dan budaya.

Faktor bawaan terjadi karena kemampuan penginderaan dan persepsi yang dimiliki

individu sejak lahir, sehingga kemampuan ini bisa berkembang seiring berjalannya

waktu. Faktor periode kritis berasal dari pengalaman. Individu dapat mempersepsi

sesuatu manakala sebelumnya telah mengetahui hal yang berkaitan dengan sesuatu

yang akan dipersepsinya. Sedangkan faktor psikologis berasal dari kebutuhan,

kepercayaan, emosi, dan ekspektasi. Individu akan mempersepsi sesuatu berdasarkan

apa yang dibutuhkan dan menarik perhatiannya. Selain itu, apa yang dianggap benar

sesuai kepercayaan yang dimiliki juga akan mempengaruhi persepsi individu terhadap

sesuatu. Hal lain yang termasuk faktor psikologis adalah emosi dan ekspektasi

individu terhadap suatu hal atau pesan akan berpengaruh terhadap persepsinya. Faktor

terakhir adalah budaya. Budaya di mana individu tinggal akan sangat mempengaruhi

persepsi tiap individu. Budaya juga mengajarkan pada individu tentang apa yang

penting untuk disadari atau diabaikan.

Sementara Jalaluddin Rakhmat (2011) mengungkapkan ada tiga faktor yang

mempengaruhi persepsi, yakni perhatian (attention), faktor fungsional, serta faktor

sturktural.

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

10

1. Perhatian (Attention)

Kenneth E. Andersen (1972) dalam Rakhmat (2011: 51) mendefinisikan

perhatian sebagai proses mental ketika stimulus atau rangkaian stimulus

menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimulus lainnya melemah.

Perhatian terjadi apabila individu memfokuskan diri pada satu indera dan

mengabaikan fungsi dan masukan indera-indera lainnya. Perhatian

dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor eksternal dan faktor internal.

a. Faktor eksternal

Faktor ini meliputi gerakan, intensitas stimulus, kebaruan, dan

perulangan. Manusia secara visual tertarik kepada objek-objek yang

bergerak. Individu akan lebih tertarik memerhatikan sesuatu yang

bergerak dibandingkan dengan sesuatu yang mati/ tidak bergerak. Selain

itu, manusia juga tertarik terhadap suatu intensitas stimuli. Dengan

intensitas stimulus, manusia akan sangat susah lolos untuk tidak

memerhatikan sesuatu yang berbeda dan menonjol. Individu lebih

tertarik untuk memerhatikan seseorang yang tinggi di tengah orang-orang

pendek, suara keras di tengah kesunyian, dan lain sebagainya yang

menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hal lain yang membuat

individu merasa tertarik adalah kebaruan. Seseorang akan sangat antusias

dengan sesuatu yang baru. Orang yang suka membaca novel akan

mencari novel yang baru terbit, orang yang suka nonton film akan lebih

suka menonton film-film terbaru, dan lain sebagainya. Tanpa hal-hal

yang baru, stimulus akan terasa monoton, membosankan, tidak berwarna,

dan akhirnya tidak menjadi pusat perhatian orang-orang (Rakhmat, 2011:

51).

Kemudian hal terakhir yang memengaruhi perhatian adalah

perulangan. Sesuatu yang disajikan berkali-kali dengan disertai sedikit

variasi akan mudah mendapat perhatian. Dalam hal ini, unsur familiarity

(yang sudah dikenal) berpadu dengan unsur novelty (yang baru dikenal).

Perulangan ternyata mengandung unsur sugesti juga, yakni dapat

memengaruhi alam bawah sadar seseorang. Maka dari itu, tidak heran

jika para pengiklan sering mengulang-ulang jingles dari produk yang

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

11

dipasarkan. Selain itu, para politisi juga menggunakan prinsip ini untuk

menaklukkan masyarakat (Rakhmat, 2011: 51).

b. Faktor Internal

Seringkali indera manusia tidak bisa dipercaya, tentu karena keterbatasan

manusia itu sendiri. Apa yang menjadi perhatian seseorang seringkali

lolos dari perhatian orang lain, atau sebaliknya. Akan ada kecenderungan

setiap orang untuk memusatkan perhatiannya. Inilah yang disebut faktor

internal yang memengaruhi perhatian (Rakhmat, 2011: 52).

Faktor internal ini meliputi, faktor biologis, sosio-psikologis,

sosiogenis, sikap, kebiasaan, dan kemauan. Seseorang yang lapar akan

sangat senang memerhatikan makanan. Seseorang yang melihat

kerumunan orang dalam suatu foto akan memiliki tanggapan yang

berbeda dengan orang lain yang melihat foto yang sama. Lefrancois

(1974) dalam Rakhmat (2011) menganalogikan perbedaan perhatian

setiap individu dalam sebuah perjalanan naik gunung yang diikuti oleh

geolog, ahli botani, ahli zoologi, dan seniman. Geolog akan

memerhatikan batuan, ahli botani memerhatikan bunga-bungaan, ahli

zoologi memerhatikan binatang, dan seniman akan memerhatikan warna

dan bentuk gunung itu. Dengan begitu, dapat digambarkan bahwa latar

belakang kebudayaan, pengalaman, serta pendidikan akan memengaruhi

perhatian setiap individu (Rakhmat, 2011: 53).

Dengan begitu, perhatian merupakan proses yang aktif dan dinamis, bukan

pasif dan refleksif. Individu secara sengaja akan mencari stimulus tertentu

dan mengarahkan pada perhatiannya. Namun meski begitu, walaupun

perhatian terhadap suatu stimulus sangat kuat, bukan berarti persepsi dalam

individu akan cermat. Kadang-kadang konsentrasi yang sangat kuat dapat

mendistorsi persepsi seseorang. Maka dari itu, individu akan cenderung

memersepsi apa yang ingin dipersepsi olehnya (Rakhmat, 2011: 54).

2. Faktor Fungsional

Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal

lain yang termasuk apa yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Yang

menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimulus, tetapi karakteristik

orang yang memberikan respon pada stimulus itu (Rakhmat, 2011: 54). Dari

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

12

hal tersebut, Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi yang pertama

yakni, “persepsi bersifat selektif secara fungsional”. Maksudnya, objek-

objek yang mendapat tekanan dalam persepsi biasanya adalah objek-objek

yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. Dalam hal ini,

contohnya adalah pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional,

dan latar belakang budaya terhadap persepsi (Rakhmat, 2011: 55).

Selain itu, kerangka referensi (frame of reference) juga merupakan

salah satu faktor fungsional yang sangat memengaruhi persepi. Kerangka

referensi ini memengaruhi bagaimana seseorang memberikan makna pada

suatu pesan yang diterimanya. Penilaian terhadap objek tergantung pada

pengetahuan yang dimiliki individu. Seorang mahasiswa kedokteran akan

sangat asing dengan teori dan bahasa-bahasa dalam ilmu komunikasi, begitu

pula mahasiswa komunikasi akan sangat kebingungan dan tidak memberikan

makna apa-apa terhadap istilah-istilah kedokteran (Rakhmat, 2011: 56-57).

3. Faktor Struktural

Faktor ini dipengaruhi oleh teori Gestalt. Menurut teori ini, individu akan

memersepsi sesuatu sebagai bagian dari keseluruhan tanpa melihat bagian-

bagiannya, kemudian baru menghimpunnya menjadi suatu makna. Menurut

Kohler, jika ingin memahami suatu peristiwa maka harus memandangnya

dalam hubungan secara keseluruhan. Dengan begitu, tidak harus meneliti

bagian-bagian atau fakta-fakta yang terpisah. Untuk memahami seseorang,

individu harus melihat konteksnya, lingkungannya, dan masalah yang

dihadapinya (Rakhmat, 2011: 57).

Dari prinsip tersebut, Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi

yang kedua, yakni “medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan

diberi arti.” Individu mengorganisasikan stimulus berdasarkan konteksnya.

Walaupun stimulusnya tidak lengkap, individu akan mengisinya dengan

interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimulus yang dipersepsi

(Rakhmat, 2011: 57-58).

Dalam hubungannya dengan konteks, Krech dan Crutchfield

merumuskan dalil persepsi yang ketiga, yaitu “sifat-sifat perseptual dan

kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur

secara keseluruhan.” Jika individu dianggap sebagai anggota suatu

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

13

kelompok, maka sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan

dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek berupa asimilasi

dan kontras (Rakhmat, 2011: 58).

Asimilasi adalah sesuatu yang cenderung sangat mirip, sedangkan

kontras adalah perbedaan. Asimilasi terjadi ketika adanya sedikit perbedaan

antara substruktur dan struktur utama. Sementara kontras muncul ketika

perbedaan yang begitu besar nampak antara keduanya (Syam, 2012: 97).

Dengan adanya kontras, individu akan menilai sesuatu secara berlebihan

apabila melihat sifat-sifat objek persepsi bertolak belakang dengan sifat-sifat

kelompoknya (Rakhmat, 2011: 59).

Manusia akan selalu memandang sesuatu berdasarkan konteks dan

strukturnya. Struktur ini diperoleh berdasarkan kedekatan atau kesamaannya.

Jika sesuatu memliki kesamaan dengan yang lain, maka ini dianggap satu

kelompok (Rakhmat, 2011: 59). Menurut Nina W Syam (2012), cara

memandang orang bukanlah berupa anggapan yang keliru, tetapi harus

diperoleh secara universal atas dasar proses kognitif dan perseptual. Persepsi

tentang individu akan cenderung berubah dan dipengaruhi oleh struktur

kognitif utama. Maksudnya, untuk memersepsi seseorang, individu harus

melihat secara spesifik kelompok orang tersebut (Syam, 2012: 97).

Dari prinsip tersebut, Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi

yang keempat, yaitu “objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruangan

dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai

bagian dari struktur yang sama.” Dalil ini umumnya bersifat struktural dalam

mengelompokkan objek-objek fisik. Namun dalam persepsi sosial

pengelompokkan tidaklah murni struktural, sebab apa yang dianggap sama

oleh seseorang belum tentu sama oleh orang lain (Rakhmat, 2011, 59-60).

Dengan begitu kerangka rujukan turut andil dalam melihat kesamaan.

Sesuatu yang baru dilihat akan dianggap sama dengan sesuatu yang

sebelumnya pernah dilihat, meskipun pada hakikatnya tetap ada perbedaan.

Selain kerangka rujukan, kebudayaan juga memiliki peran dalam melihat

kesamaan. Dalam suatu budaya, akan terjadi suatu pengelompokkan kultural,

seperti orang kaya dan orang miskin, orang terdidik dan tidak terdidik, dan

lain sebagainya. Contoh lainnya ketika ada orang yang mengakrabkan

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

14

dirinya dengan orang yang memiliki kredibilitas tinggi, maka dia akan

dianggap memiliki kredibilitas tinggi pula. Jadi, kedekatan dalam ruang dan

waktu menyebabkan stimulus dianggap sebagai bagian dari struktur yang

sama. (Rakhmat, 2011: 60).

2.2.3 Proses Terjadinya Persepsi

Liliweri (2011: 158) menyebutkan ada lima tahapan dalam membentuk

persepsi, yakni:

a. Tahap 1, individu menerima stimulus (rangsangan dari luar), di saat ini indra

akan menangkap makna terhadap stimulus

b. Tahap 2, stimulus tadi diorganisasikan berdasarkan tatanan tertentu, misalnya

berdasarkan schemata (membuat semacam diagram tentang stimulus) atau

dengan script (refleks perilaku)

c. Tahap 3, individu membuat interpretasi dan evaluasi terhadap stimulus

berdasarkan pengalaman masa lalu atau pengetahuan tentang apa yang dia

terima itu

d. Tahap 4, stimulus yang sudah diperhatikan itu terekam dalam memori

e. Tahap 5, semua rekaman itu dikeluarkan, dan itulah yang dinamakan persepsi.

Deddy Mulyana (2016) menjelaskan bahwa ada tiga tahap dalam proses

pembentukan persepsi, yaitu proses sensasi, atensi, dan interpretasi.

a. Sensasi. Pada tahap ini, individu akan menerima stimulus melalui alat indera

(mata, telinga, hidung, kulit-otot, dan lidah). Semua indera mempunyai andil

bagi proses berlangsungnya komunikasi manusia. Melalui penginderaan,

manusia dapat mengetahui dunia. Manusia hanya dapat mempersepsi sesuatu

yang dapat dilihat, didengar, dicium, dicicipi, dan disentuh. Namun meski

begitu, kemampuan indera setiap orang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena

berbagai faktor, mulai dari usia, genetis, maupun kecelakaan. Inilah yang

mengakibatkan persepsi orang juga berbeda-beda (Mulyana, 2016: 182).

b. Atensi. Tahap ini menjelaskan bahwa individu akan mempersepsi sesuatu yang

menarik perhatiannya. Rangsangan yang menarik perhatian seseorang

cenderung diartikan sebagai sesuatu yang penting, sedangkan sebaliknya

sesuatu yang tidak menarik perhatiannya dianggap sebagai sesuatu yang tidak

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

15

penting. Rangsangan semacam ini dianggap sebagai penyebab kejadian-

kejadian berikutnya (Mulyana, 2016: 182).

c. Interpretasi (penafsiran). Tahap ini merupakan tahap terpenting dalam proses

pembentukan persepsi. Interpretasi terjadi hanya ketika individu mendapat

informasi dari indera. Pengetahuan yang diperoleh melalui persepsi bukan

pengetahuan mengenai objek yang sebenarnya, melainkan pengetahuian

bagaimana tampaknya objek tersebut (Mulyana, 2016: 182).

2.3 Teori Penilaian Sosial (Social Judgement Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Muzafer Sherif dan Hovland, dengan

menggabungkan sudut pandang psikologi, sosiologi, dan antropologi. Dasar teori ini

adalah individu akan membentuk situasi yang penting bagi dirinya, yang mana

mencakup faktor intern (emosi, sikap, motiv, pengalaman individu) dan faktor ekstern

(individu lain, lingkungan fisik, benda-benda). Faktor-faktor tersebut kemudian

menjadi kerangka acuan yang akan mempengaruhi penilaian sosial untuk bertingkah

laku. Adapun intisari teori ini yakni menjelaskan proses individu dalam memberikan

penilaian sosial terhadap stimulus (Santoso, 2010: 256). Kerangka acuan yang

dimaksud Sherif bukanlah tentang sesuatu yang abstrak seperti idealisme, norma-

norma, dan lain-lain, tetapi lebih kepada sesuatu yang konkret dan menyangkut

perilaku tertentu pada tempat dan waktu tertentu (Sarwono, 2013: 187).

Teori penilaian sosial berupaya memperkirakan bagaimana orang menilai pesan

dan bagaimana penilaian yang dibuat tersebut dapat memengaruhi sistem kepercayaan

yang sudah dimiliki sebelumnya (Morissan, 2010: 19). Teori ini juga berpandangan

bahwa sekali individu memberikan penilaian terhadap suatu pesan yang baru masuk ke

wilayah penerimaan, maka dia akan menyesuaikan sikapnya dengan pesan tersebut

(Morissan, 2010: 25).

Menurut teori ini, individu akan memberikan penilaian terhadap suatu pesan

karena adanya pengaruh keterlibatan ego, jangkar sikap, serta efek kontras dan

asimilasi. Berikut penjelasannya.

1. Keterlibatan Ego

Tingkat penerimaan atau penolakan seseorang terhadap suatu pesan akan

dipengaruhi oleh satu variabel penting yang disebut sebagai “keterlibatan

ego”, yaitu adanya hubungan personal dengan isu bersangkutan. Artinya,

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

16

keterlibatan ego mengacu pada seberapa penting suatu isu dalam kehidupan

seseorang (Morissan, 2010: 21).

Individu yang memiliki keterlibatan ego yang tinggi terhadap suatu isu

memiliki tiga struktur sikap yang menjadi ciri khasnya. Pertama, jarang

berada dalam wilayah yang nonkomitmen. Kedua, adanya wilayah

penolakan yang lebar, ia memiliki perasaan yang mendalam terhadap suatu

isu. Ketiga, orang yang memiliki kepedulian yang mendalam terhadap suatu

isu akan memiliki pandangan yang ekstrim terhadap isu yang menjadi

perhatiannya (Morissan, 2010: 22).

2. Jangkar Sikap

Individu akan menggunakan jangkar sikap sebagai pembanding atau acuan

ketika menerima sejumlah pesan yang berbeda-beda atau bahkan

bertentangan. Acuan ini tersimpan dalam kepala berdasarkan pengalaman

sebelumnya. Individu mengandalkan pada referensi internal atau disebut

reference point. Namun menurut Sherif, seseorang sering mengalami apa

yang disebur dengan “bias sistematis” ketika memberikan penilaian terhadap

pesan yang diterima. Bias sistematis terjadi ketika orang yang terlibat secara

mendalam terhadap suatu isu namun mendengarkan pandangan yang berbeda

terhadap isu tersebut. Dengan menggunakan standar atau acuan atau jangkar

sikap yang dimiliki, maka pesan yang sebenarnya biasa-biasa saja akan

diterima sebagai sesuatu yang sangat berbeda (Morissan, 2010: 23-24).

3. Efek Kontras dan Asimilasi

Efek kontras adalah suatu distorsi persepsi yang mengarah pada terjadinya

polarisasi ide. Namun, menurut Sherif, kontras hanya terjadi bila pesan

masuk ke dalam kategori wilayah penolakan. Jika pesan masuk ke dalam

wilayah penerimaan disebut sebagai asimilasi. Asimilasi adalah penilaian

yang bertolak belakang dengan kontras. Dengan asimilasi, pengirim dan

penerima pesan akan memiliki pandangan yang sama. Hal itu karena

asimilasi mendorong suatu ide ke arah jangkar sikap penerima pesan

(Morissan, 2010: 24).

Namun meski begitu, efek asimilasi dan kontras ini diperkuat dengan

keterlibatan ego penerima pesan. Jika penerima pesan memiliki keterlibatan

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

17

ego yang tinggi, maka kedua efek tersebut akan menjadi semakin kuat

(Morissan, 2010: 25).

Menurut teori penilaian sosial, terdapat tiga faktor yang berperan penting dalam

menentukan suatu ide atau pernyataan akan masuk ke dalam wilayah penerimaan atau

penolakan, di antaranya adalah kredibilitas narasumber, ambiguitas pesan, dan

pemikiran dogmatis.

Pesan yang disampaikan oleh narasumber yang memiliki kredibilitas tinggi akan

mampu memperluas atau memperpanjang wilayah penerimaan pihak penerima pesan

dibandingkan dengan narasumber dengan kredibilitas rendah. Namun demikian, pesan

yang ambigu (samar-samar) dan tidak jelas seringkali diterima sebagai pesan yang

bagus dan menarik sehingga akan memberikan efek yang lebih positif dibandingkan

dengan pesan yang jelas dan lugas. Misalnya kalimat “Bangsa yang besar adalah

bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Sebenarnya pesan ini ambigu dan

tidak jelas karena yang dimaksud dengan menghargai jasa pahlawan itu biasa

diidentikkan dengan upacara penghormatan atau ziarah ke kuburan para pahlawan

(Morissan, 2013: 28).

Namun apakah dengan melakukan ziarah ke kuburan lantas bangsa ini akan

menjadi besar dan dihormati bangsa-bangsa lain? Contoh lainnya adalah sebuah lagu

dengan lirik yang tidak jelas sering kali menarik perhatian para pendengarnya. Dengan

begitu, yang dimaksud ambiguitas pesan adalah seberapa menarik suatu pesan

menurut masyarakat. Jika menurut masyarakat menarik maka akan masuk ke wilayah

penerimaan, begitu pun sebaliknya jika pesan tidak menarik maka akan masuk ke

wilayah penolakan (Morissan, 2013: 28)

Hal terakhir yang menentukan suatu pesan atau ide masuk ke wilayah penerimaan

atau penolakan adalah pemikiran dogmatis. Masyarakat yang berpikir secara dogmatis

adalah kelompok orang yang paling sulit mengalami perubahan sikap. Hal itu karena

kelompok tersebut menggunakan prinsip kaca mata kuda sehingga pemikirannya kaku.

Kelompok ini merupakan orang-orang yang memiliki wilayah penolakan tinggi

terhadap isu-isu yang berbeda dengan apa yang selama ini dipahaminya sebagai benar

(Morissan, 2013: 29).

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

18

2.4 Komunikasi Politik dalam Pilkada Langsung

Sebelum UU N0. 22/1999 diubah menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan

Daerah (yang tahun 2008 diperbaiki menjadi UU No. 12/2008), komunikasi politik

para calon kepala daerah lebih memfokuskan kepada para anggota DPRD. Hal itu

bertujuan agar mereka mendapat simpati para anggota DPRD. Calon kepala daerah

yang dapat meraih simpati besar dari anggota DPRD diasumsikan akan memperoleh

suara terbanyak dari anggota DPRD sehingga dialah yang akan menjadi kepala daerah

terpilih (Hikmat, 2011: 175).

Namun, ketika lahir UU No. 32/2004 yang melandasi pilkada langsung, fokus

komunikasi politik mereka tidak lagi dalam rangka meraih simpati anggota DPRD,

tetapi seluruh rakyat daerah. Model komunikasi politik yang dikembangkan para calon

kepala daerah dalam pilkada langsung tidak hanya difokuskan pada komunikan

kelompok kecil, tapi kelompok komunikan yang sangat besar. Semua rakyat daerah

memiliki hak yang sama untuk memilih, sehingga secara umum komunikasi politik

calon kepala daerah pun harus sampai kepada seluruh rakyat (Hikmat, 2011: 175).

Calon kepala daerah, sebagai politisi yang memiliki das wollen (keinginan)

menjadi kepala daerah, dapat menggunakan komunikasi politik sebagai salah satu

strategi dalam mewujudkan keinginannya. Calon kepala daerah dapat dapat

menjadikan kegiatan komunikasi politik, yakni sosialisasi dan pendidikan politik,

sebagai upaya real untuk meraih simpati dari rakyat pemilihnya (Hikmat, 2011: 177).

2.5 Pembicaraan Politik

Pembicaraan politik adalah suatu wacana dinamik dari kekuasaan, pengaruh, dan

kewenangan yang mendamaikan pertikaian melalui kegiatan simbolik (kata-kata

politik). Namun, kata-kata politik itu sendiri merupakan pokok pertikaian.

Pembicaraan politik menyelesaikan konflik sosial dengan menegosiasikan definisi

makna kata-kata yang diperselisihkan (semantika) dan aturan permainan kata

(sintatika). Melalui kegiatan politik, orang akan memperoleh keuntungan maupun

kerugian. Banyak jenis keuntungan dan kerugian, tapi ingat semuanya masuk ke

dalam tiga kategori umum yaitu material, solidaritas, dan ekspresif. Terdapat beberapa

tujuan dari pembicaraan politik, di antaranya pembicaraan politik untuk pencapaian

material, peningkatan status, identitas, serta pemberian informasi (Nimmo, 2011: 100-

101).

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

19

2.5.2 Pembicaraan Politik untuk Pencapaian Material

Dalam kehidupan, orang akan selalu berinteraksi melalui lambang-lambang

tertentu. Lambang membuat kehidupan menjadi bermakna. Begitu pula dengan

lambang politik yang juga bermakna bagi kehidupan politik itu sendiri. Oleh

karena lambang membuat pengalaman-pengalaman dalam kehidupan jadi

bermakna, maka dari itu akan menimbulkan keputusan untuk perolehan material.

Agar pembicaraan politik tetap dalam batas kewajaran, maka kelompok-kelompok

pemerintah dan swasta membuat struktur dan membatasi pembicaraan politik

dengan dua cara, yakni jaminan dan penggerak (Nimmo, 2011: 101).

Cara yang pertama adalah dengan memberikan jaminan kepada rakyat bahwa

masalah sedang diatasi, walaupun sebetulnya relatif kecil yang telah dicapai oleh

kebijakan yang berlaku. Dengan kata lain, membela kaum dan ketertiban akan

memberikan kesan keberhasilan meskipun tingkat kejahatan sedang melambung

tinggi. Itulah kenapa pemerintah dan swasta membuat struktur dan membatasi

pembicaraan politik, yakni supaya mereka mendapatkan keuntungan dan aktualitas

yang buruk dapat diterima oleh masyarakat. (Nimmo, 2011: 101-102).

Fungsi lambang politik dalam meyakinkan rakyat penting ketika pemerintah

akan membagikan keuntungan pada sebagian golongan dan kerugian kepada

golongan lain. Namun tentunya itu bisa dilakukan selama golongan yang dirugikan

menanggapi lambang tujuan kebijakan tersebut, bukan menanyakan bagaimana

sebenarnya jalan kebijakan itu, justru golongan ini menunjukkan sedikit

kecenderungan untuk protes dan menyatakan bahwa “kami telah dirugikan”

(Nimmo, 2011: 104-105).

Dengan begitu, kebijakan pemerintah adalah simbolik dalam arti yang sama

dengan bentuk-bentuk bahasa “hukum dan ketertiban”, “damai secara terhormat”,

“swasembada energi”. Bahasa-bahasa itu mengakibatkan rakyat percaya bahwa

pemerintah telah melayani rakyatnya dengan baik. Namun, lambang-lambang

politik yang diketahui umum seringkali berbeda dengan lambang politik di antara

para pejabat politik. Misalnya, meskipun pemilu membuat rakyat merasa

dilibatkan dalam memilih pemimpin dengan menyuarakan kepuasan dan

ketidakpuasannya, namun hanya sedikit sangkut pautnya dalam pembuatan

kebijakan (Nimmo, 2011: 105).

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

20

Cara yang kedua dalam membatasi pembicaraan politik adalah dengan

penggerakkan. Maksudnya para pemimpin politik menggerakkan rakyat, bentuk-

bentuk bahasa, tindakan-tindakan pemerintah, lembaga-lembaga, dan prosedur-

prosedur itu untuk mempengaruhi kepercayaan, nilai, dan pengharapan sejumlah

besar rakyat dalam situasi-situasi yang ambigus. Oleh karenanya, para politikus

akan mendapat penerimaan dan dukungan rakyat, baik karena kepemimpinan

emosional maupun karena kemampuan mereka membagikan ganjaran material

(Nimmo, 2011: 107).

Kata Edelman, tindakan politik terutama menggerakkan atau memuaskan

rakyat bukan dengan memenuhi atau menahan tuntutan mereka yang nyata dan

mantap, melainkan dengan mengubah tuntutan dan pengharapan mereka (Nimmo,

2011: 107).

2.5.3 Pembicaraan Politik untuk Peningkatan Status

Para penguasa politik tidak hanya menggunakan lambang politik untuk

membagikan barang-barang material, tapi juga untuk membagikan autoritas. Hal

itu diakibatkan karena meskipun kelompok-kelompok politik berbicara untuk

memperoleh ganjaran material, namun banyak di antara mereka yang kurang

berminat untuk memperoleh keuntungan material tertentu dibandingkan dengan

minat untuk memperoleh status yang berkuasa di dalam tatanan sosial (Nimmo,

2011: 107-108).

Selain untuk meningkatkan kepentingan material, bahasa juga akan sangat

membantu dalam memperoleh status berkuasa kelompok-kelompok politik.

Bahasa-bahasa yang digunakan pada akhirnya akan menciptakan dan memperkuat

kepercayaan, perasaan, dan pengharapan bahwa beberapa orang mempunyai hak

untuk memerintah karena mereka lebih pantas dari pada yang lain. Bahasa juga

dapat membangun hubungan antara pembicaraan dengan status (Nimmo, 2011:

108).

Herbert Marcuse (1960) seorang filosof berargumentasi bahwa pembicaraan

politik adalah bahasa keseluruhan pemerintahan, yakni suatu wacana manipulasi

dan kendali autoriter. Dalam bahasa keseluruhan pemerintahan, pengaruh dan

pembicaraan autoritas dapat meningkatkan status orde yang memerintah dengan

menghapus berpikir kritis. Misalnya dengan membujuk warga negara agar tidak

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

21

usah memikirkan dan melibatkan diri dalam kebijakan, biar para wakil rakyat

melakukannya (Nimmo, 2011: 110).

2.5.4 Pembicaraan Politik untuk Identitas

Para komunikator politik yang mengejar materi pribadi yang melayani diri sendiri

dan mengejar keuntungan status menggunakan simbol-simbol untuk membuat

rakyat bertindak dengan cara tertentu. Misalnya diam-diam rakyat menerima

kebijakan-kebijakan yang mereka sendiri tidak mengetahui dampak secara

langsung yang akan diterimanya, entah itu keuntungan atau kerugian. Para

komunikator politik juga dapat membangkitkan dukungan rakyat untuk tujuan-

tujuan tertentu yang lebih sempit, misalnya untuk identitas diri agar bisa lebih

terkenal. Juga agar rakyat patuh kepada para pemimpin yang dalam status sosial

lebih tinggi dari mereka dan memiliki autoritas untuk memerintah (Nimmo, 2011:

111).

Dalam konteks ini, lambang politik bukanlah tujuan, namun sebagai alat

untuk mencapai tujuan material dan sosial. Namun, ada sebagian orang yang

merasa bangga dan puas ketika mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian

dari suatu kelompok politik, misalnya dengan menyatakan “Saya seorang

Demokrat” (Nimmo, 2011: 111).

Setiap orang akan menyusun, memodifikasi, dan menyajikan citra diri yang

bermakna melalui komunikasi dengan yang lain, termasuk pembicaraan politik.

Dengan demikian dalam pembicaraan politik, seseorang akan mengekspresikan

dirinya sesuai dengan apa yang disukainya. Pembicaraan yang ekspresif adalah

wacana untuk menyingkap identitas politik seseorang (Nimmo, 2011: 111).

Jika pemimpin politik ingin memiliki kemampuan untuk meyakinkan,

membangkitkan, dan memperoleh kepatuhan dari rakyat, maka hal yang harus

diperhatikan adalah dengan tidak menuntut perihal biaya material dan sosial

kepada rakyat. Dengan begitu, rakyat akan menerima setiap kebijakan pemimpin

politi tanpa banyak bicara, dan mematuhi imbauan-imbauan secara simbolik

(Nimmo, 2011: 112).

2.5.5 Pembicaraan Politik untuk pemberian Informasi

Sebenarnya, pembicaraan politik bertujuan untuk memberi informasi, yakni untuk

menyingkap siapa yang mencari keuntungan dari pembagian material, menantang

autoritas dan status politik, serta merangsang partisipasi rakyat melebihi perilaku

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

22

ekspresif. Pembicaraan seperti itu sangatlah penting untuk keberlangsungan hidup

setiap negara. Pembicaraan tersebut juga merupakan variasi dari kegiatan simbolik

dan pertukaran intelegensi setiap elemen-elemen dalam komunikasi politik

(Nimmo, 2011: 113).

Dalam pembicaraan politik tentang materi, status, dan identitas, terdapat

penyimpangan komunikasi yang mana merupakan komunikasi yang relatif sedikit

tidak berkepentingan. Claus Mueller membicarakan tiga penyimpangan dalam

pembicaraan politik. Pertama, adanya komunikasi terarah, maksudnya pemimpin

politik berusaha menstrukturkan bahasa untuk melegitimasikan autoritas kelompok

tertentu dan untuk melambangkan status kawula kelompok yang lain. Kedua,

adanya komunikasi yang tertahan yakni keterbatasan linguistik rakyat

mengakibatkan tuntutan mereka tidak diakui. Ketiga, komunikasi politik yang

terkekang, yakni pembicaraan politik para kaum elit yang melayani diri sendiri

untuk memanjukan kepentingan material mereka, sehingga kepentingan rakyat

secara tidak langsung diabaikan (Nimmo, 2011: 113).

2.6 Media Persuasi Politik dalam Kampanye Pemilihan

Dalam kontes antar partai ada tiga tujuan kampanye. Pertama, untuk membangkitkan

kesetiaan alami para pengikut suatu partai dan agar mereka memilih sesuai dengan

kesetiaan itu. Kedua, untuk mengetahui warga negara yang tidak terikat pada partai

dan untuk mengidentifikasi golongan independen. Ketiga, kampanye yang ditujukan

untuk oposisi, bukan dirancang untuk mengalihkan kepercayaan dan nilai keanggotaan

partai, melainkan untuk meyakinkan rakyat bahwa akan lebih baik jika memilih

kandidat dari partai lain (Nimmo, 2011: 192).

Untuk melancarkan persuasi dalam kampanye, para kandidat dan tim suksesnya

memerlukan media agar mendapatkan hasil yang diinginkan. Beberapa media lebih

unggu ldalam beberapa hal dari yang lain. Dalam rencana kampanye, para persuader

mengharapkan saluran massa, interpersonal, dan organisasi tertentu untuk mencapai

tujuan yang berbeda-beda. Berikut akan dijelaskan bagaimana kampanye dalam media

massa, interpersonal, dan organisasi (Nimmo, 2011: 195).

2.6.2 Kampanye Massa

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

23

Ada berbagai cara untuk melakukan kampanye massa, mulai dari dilakukan secara

tatap muka di depan massa, sampai melalui media perantara seperti media

elektronik, maupun media cetak. Berikut penjelasannya.

a. Kampanye Tatap Muka

Kampanye ini umumnya dilakukan dengan cara melakukan rapat umum

politik yang dilakukan di depan khalayak massa. Namun, sebagian besar orang

yang hadir dalam dalam rapat tersebut karena memang merupakan pendukung

dari partai politik yang melakukan rapat tersebut. Dalam kampanye ini, tujuan

kandidat bukanlah untuk membelokkan oposisi, tapi untuk memperkuat

golongan yang setia, mempublikasikan gaya pribadi, memanfaatkan acara-

acara televisi yang berkaitan dengan kampanye, serta membantu pengumpulan

dana (Nimmo, 2011: 195).

Untuk mencapai tujuan tersebut bergantung pada persiapan yang

dilakukan pelopor, yakni anggota organisasi kampanye dengan datang ke

tempat kampanye jauh sebelum kampanye dilakukan. Untuk memastikan

kampanye diatur dengan baik, pelopor harus mampu menjamin fasilitas yang

memadai, mempersiapkan tempat, mendatangkan cukup banyak khalayak,

menghadirkan pers, menyediakan poster kandidat dan lencana bagi

pengunjung. Unsur penting lainnya dalam sebuah kampanye tatap muka

adalah persiapan pidato (Nimmo, 2011: 195-196).

b. Kampanye Telepon

Telepon sebagai alat komnikasi lisan mempunyai beberapa kegunaan bagi

kampanye kontemporer. Yang pasti, jika organisasi kampanye ingin

mengumpulkan dana, dengan menggunakan media telepon mungkin akan

lebih mudah. Telepon juga bisa menambah jumlah pemilih yang datang.

Terutama ketika kandidat menginginkan banyak pemilih yang hadir dalam

distrik dan seksi yang diketahuinya banyak terdapat simpati dan laten terhadap

pencalonannya (Nimmo, 2011: 196).

c. Kampanye Radio

McLuhan mengatakan bahwa yang harus ditekankan adalah terdapat resonansi

antara radio dan telinga serta pikiran manusia, resonansi ini menyajikan

peluang besar bagi kampanye radio. Kelebihan radio dibandingkan dengan

media lain di antaranya, lebih murah daripada televisi ataupun surat kabar.

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

24

Radio juga merupakan saluran massa dan saluran minoritas. Berbagai stasiun

radio melayani khalayak khusus. Kandidat akan menyebarkan imbauan ke

wilayah-wilayah yang relevan dengan kampanyenya karena kemungkinan

besar jenis pemilih ini akan menanggapi (Nimmo, 2011: 197).

d. Kampanye Televisi

Sebagai saluran komunikasi massa, televisi juga bisa menjadi saluran

komunikasi politik dalam kampanye pemilihan. Televisi dapat digunakan

dalam skala luas sebagai saluran komunikasi kampanye sehingga ini

memudahkan kandidat untuk mempersuasi rakyat. Adapun tekanan dalam

kampanye televisi adalah pembuatan citra, yaitu penggunaan media untuk

memproyeksikan atribut-atribut terpilih dari kandidat. Dalam membuat citra

kandidat dibutuhkan strategi yang jelas. Strategi itu meliputi penempatan

penampilan yang akan ditayangkan di televisi untuk mencapai khalayak

penonton maksimum, penggunaan format program televisi seperti komersial

spot 20 detik, 30 detik, dan 60 detik sebagai pengganti pidato televisi dan film

dokumenter yang berdurasi setengah jam, serta hanya menekankan masalah

yang relevan dengan citra yang diinginkan (Nimmo, 2011: 199).

Periklanan politik dalam televisi memberi informasi kepada para pemilih

tentang pokok masalah dan bahkan bisa lebih mempengaruhi keputusan

mereka ketimbang berita televisi. Komersial lima menit pun sama cocoknya

untuk pembuatan citra, terutama ketika pembinaan pengenalan nama,

pengingatan atribut kandidat, dan peningkatan jumlah pemilih (Nimmo, 2011:

200).

e. Kampanye Surat Langsung

Berbagai perusahaan komersial melakukan kampanye surat langsung, dan

beberapa melakukan spesialisasi dalam pengiriman surat regional dan nasional

selama pemilihan. Tujuan dari kampanye surat langsung adalah untuk

pengumpulan dana, pembinaan pengenalan nama dan citra kandidat, dan

imbauan untuk mengumpulkan duara. Namun demikian, surat langsung

nampaknya tidak memiliki cukup pengaruh terhadap tingkat informasi

pemilih, pandangan kandidat, tujuan memberikan suara dalam pemilihan, atau

pemilihan kandidat (Nimmo, 2011: 201-202).

f. Kampanye Surat Kabar

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

25

Dalam kampanye surat kabar, pembuatan citra adalah yang utama. Fokus

utama dalam sebuah pembuatan berita surat kabar adalah pada atribut para

kandidat ketimbang pokok masalahnya. Kepada pembaca, surat kabar

menyajikan cerita yang membina kesan tentang pentingnya kredibilitas,

watak, gaya, dan reputasi kandidat melalui sarana seperti penempatan cerita,

judul, isi, dan banyaknya liputan yang ditujukan kepada setiap pencari jabatan

(Nimmo, 2011: 202).

Yang penting dalam menimbang peran surat kabar dalam oersuasi politik

ialah dampak dukungan surat kabar kepada bagaimana orang memilih. Dalam

sebuah riset dikemukakan bahwa para pemilih lebih menaruh perhatian pada

dukungan editorial ketimbang yang pernah diduga. Maka dari itu, komponen

editorial merupakan saluran signifikan dari persuasi kampanye (Nimmo, 2011:

203).

g. Kampanye Poster

Seperti media lain dari kampanye politik, poster mencari dukungan luas untuk

kandidat, partai, dan program partai. Selain itu untuk mengumumkan

pertemuan politik dan rapat umum partai yang akan datang, membantu

mengumpulkan dana, mengkritik oposisi, membina pengenalan nama bagi

kandidat yang belum dikenal, dan membangkitkan semangat para pekerja

kampanye (Nimmo, 2011: 204).

Gary Yanker menjelaskan bagaimana poster menarik pemilih. Pertama,

ada tanda yang mudah dikenal, misalnya tangan yang diangkat,

mengacungkan jempol, dua jari, dan sebagainya. Kedua, melalui pengulangan

poster ini menjadi lambang yang dominan, misalnya kandidat yang

menggulung bajunya dianggap mewakili seseorang yang informal, pekerja

keras, dan penuh inisisatif. Ketiga, lambang tersebut itu bertindak sebagai

motif bagi periklanan politik di masa depan (Nimmo, 2011: 204).

Yanker mengamati berbagai jenis pemilih berdasarkan warna dari poster.

Golongan moderat dan konservatif akan terhadap biru, pemilih yang canggih

dari kota terhadap hitam dan putih, reformis terhadap kuning, radikal terhadap

merah. Jingga di atas biru dan merah di atas hitam adalah kombinasi warna

terbaik untuk mengidentifikasi kandidat yang belum dikenal (Nimmo, 2011:

205).

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

26

2.6.3 Kampanye Interpersonal

Dalam kampanye interpersonal, kandidat akan melakukannya dengan cara

bertatap muka maupun dengan perantara. Kampanye secara tatap muka ada tiga

jenis. Pertama, penampilan pribadi yang dilakukan oleh kandidat dalam seting

yang relatif informal. Seperti kandidat yang bangun dini hari hanya demi bertemu

dan berjaba tangan dengan para pegawai pabrik yang bekerja pada jam 05:00 atau

06:00, bertemu dengan petani untuk ketika mereka sedang melakukan

pekerjaannya, bahkan bertemu dengan pers pun merupakan suatu strategi

kampanye yang tidak boleh diabaikan (Nimmo, 2011: 205).

Kedua, kampanye melalui kebaikan kantor pemuka pendapat. Para kandidat

melakukan komunikasi interpersonal secara tatap muka dengan tokoh-tokoh

penting dalam masyarakat, seperti guru, pakar politik, ustadz, kyai, dan lain

sebagainya yang memiliki reputasi baik dalam masyarakat. Dukungan dari

pemuka pendapat ini sering kali lebih efektif dibandingkan dengan iklan dan

poster yang berbayar. Ketiga, orang-orang yang sukarela melakukan kampanye.

Orang-orang ini mengunjungi setiap rumah dalam masyarakat untuk kepentingan

kandidat. Ada dua jenis sukarelawan yakni sukarelawan sejati dan sukarelawan

berbayar. Sukarelawan sejati ialah mereka yang tidak mendapat imbalan sama

sekali setelah membantu mengkampanyekan seorang kandidat. Sedangkan

sukarelawan berbayar adalah mereka yang dibayar oleh kandidat untuk membantu

proses kampanye (Nimmo, 2011: 206).

Sementara itu, perantara dalam kampanye interpersonal yang pertama

adalah telepon. Selain untuk menjangkau khalayak massa, telepon juga bisa

digunakan untuk media interpersonal antara kandidat dengan pemilih seperti

untuk menelpon rekan kerja, keluarga, tetangga, teman-teman, dan lain

sebagainya. Perantara yang lainnya adalah pameran pribadi, seperti lencana,

stiker, bendera, peci, pena, pensi, dan lain sebagainya yang bisa dibawa kemana-

mana. Perantara-perantara itu digunakan untuk mengetahui kesetiaan dari para

pendukung, jika mereka selalu membawa barang-barang itu maka mereka telah

mengiklankan kesetiaan mereka pada seorang kandidat (Nimmo, 2011: 206).

2.6.4 Kampanye Organisasi

Dalam kampanye ini, berbagai organisasi turut serta untuk mendukung para

kandidat. Salah satu di antaranya adalah organisasi kandidat itu sendiri. Selain itu,

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

27

organisasi berkepentingan khusus yang menduduki posisi, membantu dana dan

sumber daya lain, mengerahkan anggota, dan memberikan tekanan kepada calon

pejabat. Organisasi kepentingan khusus ini merupakan mata rantai yang vital di

antara kandidat dan anggota kelompok. Selain kedua jenis organisasi tersebut, ada

juga organisasi yang berfungsi sebagai penyokong. Tujuan dari organisasi ini

adalah untuk memberikan sokongan kepada kandidat dengan memberikan kesan

mendapat dukungan rakyat yang luas melebihi barisan partisan, pegawai, dan

etnik (Nimmo, 2011: 206-207).

Organisasi yang terakhir adalah partai politik. Saluran komunikasi partai

terdiri atas kantor partai khusus dan hubungan partai dengan para pemilih. Partai-

partai politik menyampaikan pesan mereka langsung kepada rakyat dengan cara

sukarela. Setiap partai akan menyampaikan pesannya hanya kepada daerah yang

simpatisannya diketahui, bukan berkeliaran di daerah lawan. Hubungan partai dan

dukungan yang lebih besar terhadap partai membuat upaya itu cocok. Setidaknya

dalam mempengaruhi golongan independen dan simpatisan partai (Nimmo, 2011:

207-208).

2.7 Jenis-jenis Pemberi Suara

Dan Nimmo (2010) mengklasifikasikan jenis-jenis pemberi suara menjadi empat

jenis, yakni pemberi suara rasional, reaktif, responsif, serta pemberi suara aktif.

2.7.2 Pemberi suara rasional

Pemberi suara ini selalu mempertimbangkan pilihannya berdasarkan

rasionalitas pada dirinya. Orang yang rasional ialah orang yang (1) selalu

dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif; (2) memilih

alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama

saja, atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain; (3)

menyusun alternatif-alternatif dengan cara transitif: jika A lebih disukai dari

pada B, dan B dari pada C, maka A lebih disukai dari pada C; (4) selalu

memilih alternatif yang peringkat preferensinya paling tinggi; (5) selalu

mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif-alternatif

yang sama (Nimmo, 2010: 162-163).

Pemberi suara rasional selalu dimotivasi untuk bertindak jika

dihadapkan pada pilihan politik, secara aktif memperoleh informasi-

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

28

informasi tentang berbagai alternatif, aktif berdiskusi tentang masalah

politik untuk mencapai peringkat alternatif, serta bertindak berdasarkan

prinsip, bukan kebetulan dan kebiasaan melainkan berkenaan dengan

standar dan kepentingan umum (Nimmo, 2010: 163).

2.7.3 Pemberi suara reaktif

Pemberi suara ini seolah-olah digerakkan oleh partai politik dan para

kandidat untuk memberikan suaranya. Yang terpenting bagi pemberi suara

reaktif adalah ikatan emosional kepada partai politik, karena partai politik

merupakan agen pembentuk opini yang sangat penting. Pemberi suara

reaktif juga bisa diidentifikasi akan memberikan suaranya kepada partai dan

kandidat mana dikarenakan faktor sosio-demografi seperti ukuran kelas

sosial termasuk pekerjaan, pendidikan, pendapatan, serta atribut usia, jenis

kelamin, ras, agama, wilayah tempat tinggal, dan sebagainya (Nimmo,

2010: 164).

Pemberi suara reaktif merupakan pemberi suara yang tetap, stabil, dan

kekal. Hal itu karena ikatan emosional antara pemberi suara ini dengan

partai politik. Dengan kata lain, pemberi suara reaktif adalah pemberi suara

yang setia. Pemberi suara ini secara selektif memersepsi para kandidat yang

bersaing, bukan secara rasional menghargai kekurangan dan kelebihan

mereka. Maka dari itu kebanyakan dari mereka akan menentukan sejak awal

kampanye kepada siapa mereka akan memberikan suaranya (Nimmo, 2010:

164).

2.7.4 Pemberi suara responsif

Pemberi suara responsif memiliki karakter impermanen, berubah

mengikuti waktu, peristiwa politik, dan pengaruh yang berubah-ubah

terhadap pilihan para pemberi suara. Pemberi suara ini dipengaruhi oleh

faktor sosio-demografi seperti layaknya pemberi suara aktif, tapi faktor ini

tidak menentukan apakah pemberi suara akan memilih suatu partai atau

tidak. Pemberi suara ini juga memiliki kesetiaan terhadap suatu partai, tapi

kesetiaannya ini lebih rasional ketimbang emosional (seperti pemberi suara

raktif). Selain itu pemberi suara ini lebih dipengaruhi faktor-faktor jangka

pendek, artinya pemberi suara responsif bukanlah gambaran pemilih yang

dibelenggu oleh determinan sosial atau digerakkan oleh dorongan bawah

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

29

sadar yang dipicu oleh propagandis partai seperti layaknya pemberi suara

reaktif. Akan tetapi, pemberi suara ini lebih digerakkan oleh perhatiannya

kepada masalah pokok dan relevan tentang kebijakan umum dan relevan,

serta tentang prestasi dan kepribadian pemerintah (Nimmo, 2010: 169)

2.7.5 Pemberi suara aktif

Pemberi suara ini secara aktif menginterpretasikan peristiwa, isu, partai,

dan personalitas yang kemudian dapat menetapkan kepada siapa pilihannya

akan diberikan. Dengan demikian individu yang aktif ketika mendapat

rangsangan politik akan menginterpretasikannya dan memberikannya

makna. Tanggapan setiap orang terhadap rangsangan politik tidaklah sama.

Ada yang memperhatikan kampanye dengan cermat, aktif, yang lainnya

hanya melirik judul berita saja, bahkan ada yang sama sekali tidak

memperhatikan berita kampanye (Nimmo, 2010: 171).

Para pemberi suara merumuskan citra tentang partai yang mereka

perhitungkan, citra tersebut dapat berbeda-beda setiap orangnya. Sehingga

bisa dikatakan bahwa kampanye politik dan pemberian suara merupakan

tindakan komunikasi (Nimmo, 2010: 172).

2.8 Kampanye, Komunikasi, dan Pemberi Suara

Kampanye merupakan kegiatan komunikasi secara simbolik, orang-orang akan

menginterpretasikan objek dan tindakan yang diterimanya. Interaksi simbolik

merupakan suatu perilaku untuk pencarian makna dari suatu objek atau tindakan yang

oleh Mead disebut dengan “lambang signifikan”. Dalam kampanye politik, yang

melakukan kampanye berusaha untuk mengatur kesan tentang mereka dengan

mengungkapkan lambang-lambang yang diharapkan dapat memberi imbauan kepada

pemberi suara. Para pemberi suara pun secara selektif memperhatikan hal-hal tertentu

dalam kampanye, memperhitungkan dan menginterpretasikannya. Dengan demikian,

pemberi suara akan menyusun citra tentang kampanye dan yang melakukan

kampanye, yakni citra yang memberikan signifikansi kepada lambang-lambang yang

disodorkan (Nimmo, 2010: 173).

Banyak hal yang dipertimbangkan dan diperhitungkan untuk memahami proses

pemberian suara oleh pemberi suara. Namun, ada tiga hal di antaranya sangat

signifikan dalam membentuk latar belakang pemberi suara dalam memberikan

suaranya, yakni atribut, perspekstif, dan persepsi pemberi suara (Nimmo, 2010: 174).

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

30

2.8.2 Atribut Pemberi Suara: Karakteristik Sosial Demografi

Pola tradisional mengenai hubungan faktor sosio-demografi dengan partisipasi

politik ialah bahwa orang-orang yang cenderung mengambil bagian dalam

politik adalah mereka yang pekerjaannya kelas menengah ke atas,

berpendidikan, berpendapatan sedang atau lebih baik, serta setengah baya.

Orang-orang tersebut memiliki tingkat memberikan suara yang lebih tingi

dibanding yang lain (Nimmo, 2010: 175).

Hal yang harus diperhatikan tentang perbedaan karakteristik sosial

demografi antar pemberi suara adalah kecenderungan para pemberi suara

terhadap suatu partai atau kandidat. Pemberi suara akan mengidentifikasikan

diri mereka sendiri sebagai bagian dari suatu partai atau kandidat (Nimmo,

2010: 175). Pemberi suara cenderung membedakan antara partai yang satu

dengan yang lainnya. Hal tersebut terjadi karena publik melihat perbedaan

setiap partai berdasarkan apa yang penting menurut mereka. Ketika masyarakat

mengalihkan dukungannya terhadap partai lain atau kandidat lain, kebanyakan

hanya sebagai tanggapan terhadap trend nasional, bukan karena alasan yang

menyangkut kelompok tertentu (Nimmo, 2010: 177).

2.8.3 Perspektif Pemberi Suara: Mengembangkan Citra Diri Politik

Orang yang memasuki kampanye politik dan membawa citra diri politiknya

akan melihat segala sesuatunya tidak hanya berdasarkan apa yang dilihat (citra

diri jangka pendek atau persepsi mereka tentang objek politik), melainkan

dengan mengamati dari segi individual (citra diri politik jangka panjang atau

perspekstif mereka terhadap objek politik). Berikut pokok-pokok yang

menguntungkan ketika pemberi suara membawa citra diri politik dalam sebuah

kampanye (Nimmo, 2010: 178).

a. Citra diri partisan

Citra diri partisan itu mengondisikan pemberian suara tanpa terpengaruh

oleh perubahan dalam isu, kandidat dan peristiwa. Pendukung pandangan

pemberi suara itu membentuk perspektif warga negara sehingga pemberi

suara memandang seluruh rangsangan politik sesuai dengan identifikasi

partai, dengan menyaring informasi yang tidak sesuai dengan kepartisanan

serta hanya memilih komunikasi yang mempekuat kecenderungan partisan

(Nimmo, 2010: 178).

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

31

Namun, identifikasi partai bukanlah perspektif yang serba menentukan

atau serba mewarnai pemberi suara kontemporer. Alasannya, pertama

meskipun para pemberi suara pada umumnya menilai objek politik dari

sudut pandang partisan, hal ini tidak selalu demikian. Kedua setiap partisan

belum tentu akan memilih kandidat dari partai yang diikutinya. Ketiga

lebih banyak orang yang mengidentifikasikan dirinya sebagai independen,

karena independen memberikan lebih banyak bagian dalam keseluruhan

suara split ticket (suara seseorang yang diberikan kepada lebih dari satu

kandidat) (Nimmo, 2010: 178-179).

Meski begitu, bukan berarti identifikasi partai bukanlah faktor penting

dalam pemberian suara. Hanya saja perspektif yang diberikan oleh citra

diri partai memiliki pengaruh langsung yang semakin berkurang terhadap

pemberian suara dan pengaruh langsung yang semakin menurun dalam

pembentukan citra pemberi suara tentang kampanye (Nimmo, 2010: 180).

b. Citra kelas

Citra kelas mengacu kepada kelas sosial tempat mengidentifikasikan diri

dan menganggap dirinya sebagai anggotanya. Namun yang belum

ditunjukkan secara meyakinkan adalah menilai objek politik dan pemberian

suara melalui kesadaran kelas. Dalam hal ini ada dua alasan, yang pertama

pemberi suara yang mengidentifikasikan dirinya sebagai kelas menengah

dan kelas pekerja tidak menunjukkan pola yang konsisten tentang

dukungan kepada partai atau kandidat dengan identifikasi kelasnya. Kedua,

ukuran kelas seperti pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan bukanlah kelas

tempat orang mengidentifikasikan diri, melainkan sebagai kategori sosial

yang cocok bagi pemberi suara. Singkatnya, pemberian suara tidak mesti

dipengaruhi oleh pembagian kelas pada setiap pemberi suara (Nimmo,

2010: 180).

c. Citra diri ideologis

Dalam melihat hubungan antara perspektif ideologis, penilaian terhadap

objek politik, dan perilaku memberikan suara pada seseorang nampaknya

agak sukar. Namun, dalam penelitian terbaru tentang pemberian suara

ternyata citra diri ideologis pemberi suara sesuai dengan sikapnya terhadap

isu politik. Ini berarti bahwa jika seseorang memiliki ideologi yang sama

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

32

seperti partai yang didukungnya, besar kemungkinan ia akan memberikan

suaranya kepada partai tersebut (Nimmo, 2010: 181).

d. Citra pemegang jabatan yang ideal

Para pemberi suara tentu mengharapkan pemegang jabatan yang ideal.

Oleh karena itu, pemberi suara mempunyai standarnya tersendiri seperti

apa sifat-sifat yang harus dimiliki pemegang jabatan pemerintahan. Para

pemilih mencari sifat yang abstrak seperti kedewasaan, kejujuran,

kesungguhan, kekuatan, kegiatan dan energi. Sifat-sifat tersebut merupakan

gabungan sifat pahlawan politik (Nimmo, 2010: 182).

Miller dan Jackson dalam penelitiannya menemukan bahwa (Nimmo,

2010: 182):

1) Struktur citra rakyat terhadap pemegang jabatan sangat stabil

2) Citra demikian memiliki dimensi-dimensi yang jelas, termasuk

bagaimana orang membayangkan sifat pribadi, latar belakang

profesional, afiliasi partai, dan pendirian ideologis kandidat yang

ideal

3) Kelebihan seorang kandidat terhadap yang lain dalam pikiran

memberi suara sebagian besar merupakan fungsi dari bagaimana

setiap kandidat memenuhi sifat-sifat ideal yang diinginkan

4) Perbandingan citra ideal pemberi suara dengan persepsi mereka

tentang kandidat pada dimensi-dimensi sifat personal dan latar

belakang profesional dalam menyajikan perkiraan yang akurat

tentang hasil pemilihan umum.

e. Perhatian pribadi

Setiap pemilih tentu akan memusatkan perhatian mereka pada hal yang

berbeda-beda. Ada yang memerhatikan masalah ekonomi, sosial,

kesejahteraan, luar negeri, lingkungan, energi, dan lain sebagainya. Selain

itu, mereka juga memerhatikan apakah pemimpin politik dan lembaga-

lembaga itu dapat diandalkan, jujur, patut dipercaya, dan cepat tanggap

atau tidak. Maka dari itu, tugas para kandidat adalah menyadap perhatian

para pemilih dengan harapan mendapatkan dukungan (Nimmo, 2010: 183).

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

33

2.8.4 Persepsi Pemberi Suara: Citra Politik Khas Kampanye

Para pemberi suara secara selektif mempersepsi partai, kandidat, isu, dan

peristiwa dalam kampanye. Kemudian memberi makna kepada mereka yang

mana hal tersebut menentukan pemberian suara. Pemberi suara tidak hanya

memperhitungkan citra jangka panjang, melainkan juga menyusun citra jangka

pendek tentang objek kampanye (Nimmo, 2010: 183).

a. Citra partai

Seseorang bisa jadi mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari suatu

partai, namun bisa jadi dia tidak menyukai apa yang dilakukan partai

tersebut. Dengan begitu, citra partai terdiri atas apa yang dipercaya dan

diharapkan rakyat terhadap partai. Citra partai memiliki tiga dimensi, yakni

hubungan persepsi rakyat terhadap partai dan kandidatnya, prestasi umum

tentang prestasi partai, serta acuan kepada kepentingan yang didukung oleh

partai (Nimmo, 2010: 184).

Citra partai sangat cepat tanggap terhadap faktor-faktor yang bekerja

di dalam kampanye dan menjadi lebih atau kurang penting dalam

menentukan pilihan. Citra politik secara efektif memainkan peran

penerjemah tentang apa yang berlangsung dalam dunia politik kepada

pemberi suara, sehingga pemberi suara memperoleh makna dari suatu

kegiatan politik (Nimmo, 2010: 184).

b. Citra kandidat

Para pemberi suara akan memilih kandidat yang sesuai atau mendekati

pemimpin yang ideal menurut mereka. Hal itu menunjukkan bahwa citra

yang disusun rakyat tentang para kandidat merupakan faktor utama dalam

pemilihan umum. Seseorang bisa saja berpaling dari kubu partai dan

kandidatnya, dan lebih memilih kubu lawan karena memiliki citra positif

dimatanya. Dengan begitu, setiap kandidat harus memiliki keistimewaan

tersendiri dibandingkan dengan lawannya. Citra kandidat ini tentunya

dipengaruhi oleh komunikasi politik kandidat itu sendiri terhadap pemberi

suara (Nimmo, 2010: 185-186).

c. Isu politik

Dalam penelitian terdahulu yang dilakukan sebelum 1964 menyebutkan

bahwa secara khas para pemilih tidak menyadari adanya isu kampanye,

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

34

kurang peduli terhadapnya, dan tidak tahu di pihak mana partai dan

kandidat itu berdiri terhadap isu. Namun setelah tahun 1964, para peneliti

mulai menanyakan dalam surveinya tentang isu apa yang dianggap penting

oleh responden (Nimmo, 2010: 186).

Para pemberi suara tidak dapat membedakan isu tentang partai atau

kandidat karena partai dan para kandidat dengan sengaja menyembunyikan

perbedaan isu agar dapat memobilisasi dukungan yang luas. Namun,

peristiwa-peristiwa dalam kampanye yang sangat didramatiskan dan

dipublikasikan secara luas ternyata tidak menjadi isu yang menonjol bagi

para pemberi suara (Nimmo, 2010: 186).

2.9 Konsep Elektabilitas

Elektabilitas sering disama artikan dengan popularitas. Padahal keduanya

memiliki makna dan konotasi yang berbeda. Meskipun keduanya memiliki korelasi

yang besar. Popularitas berkaitan dengan sejauh mana seseorang dikenal oleh

masyarakat, baik dikenal dalam hal positif maupun negatif. Sedangkan elektabilitas

berkaitan dengan kesediaan masyarakat untuk memilih seseorang untuk jabatan

tertentu. Artinya, elektabilitas berkaitan dengan jabatan yang ingin dicapai.

Elektabilitas kandidat presiden tidak bisa disamakan dengan elektabilitas kandidat

bupati (Kadir, 2014: 147-148).

Untuk mendapatkan elektabilitas yang tinggi, diperlukan publikasi dan

kampanye yang tepat. Publikasi dan kampanye digunakan untuk memperkenalkan

seseorang atau kandidat kepada masyarakat. Semakin seseorang dikenal baik secara

meluas dalam masyarakat, maka semakin tinggi pula elektabilitasnya. Jika ada orang

yang ahli dalam bidangnya yang berkaitan dengan jabatan publik tapi tidak

diperkenalkan kepada masyarakat, maka besar kemungkinan elektabilitasnya rendah.

Sebaliknya, jika ada orang yang ahli dalam bidangnya namun tidak berkaitan dengan

jabatan publik, bisa jadi mendapatkan elektabilitas tinggi karena diperkenalkan dengan

cara yang tepat kepada masyarakat (Kadir, 2014: 148).

Popularitas dan elektabilitas tergantung pada dua hal, yaitu teknik kampanye

yang dipergunakan dan tingkat kematangan masyarakat. Masyarakat yang relatif maju

akan berbeda pandangan dengan masyarakat yang masih berkembang. Masyarakat

maju akan memperhatikan profesi kandidat dalam memberikan pilihannya, sedangkan

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

35

masyarakat yang masih berkembang tidak bergitu mempedulikan profesi kandidat

dalam menentukan pilihannya (Kadir, 2014: 149).

Yang perlu diingat adalah tidak semua kampanye berhasil meningkatkan

elektabilitas para kandidat. Kampanye yang menyentuh kepentingan publik

diharapkan akan menghasilkan elektabilitas yang tinggi bagi kandidat yang

dikampanyekan. Sedangkan kampanye yang asal kampanye, tidak menyentuh

kepentingan publik, dan menggunakan bahasa-bahasa yang tidak relevan dengan

kondisi masyarakat nampaknya tidak dapat meningkatkan elektabilitas kandidatnya

(Kadir, 2014: 149).

2.10 Penelitian Terdahulu

1. Muh. Yunus (2015) Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin, Filsafat Dan Politik

Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar dalam skripsinya yang

berjudul “PENGARUH ELIT POLITIK TERHADAP ELEKTABILITAS CALON

ANGGOTA LEGISLATIF PARTAI DEMOKRAT DAPIL 2 PADA

PEMILU 2014 DI KOTA MAKASSAR”1. Persamaan antara penelitian ini dengan

penelitian terbaru adalah sama-sama meneliti tentang elektabilitas dalam sebuah

pemilihan umum.

Sementara perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian terbaru yaitu variabel

penelitian penulis adalah pesepsi masyarakat dan elektabilitas paslon Cagub-

Cawagub, sedangkan variabel penelitian terdahulu adalah elit politik dan

elektabilitas caleg. Selain itu, penulis menggunakan jenis penelitian kuantitatif

dengan pendekatan survei, sementara penelitian terdahulu menggunakan jenis

penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Perbedaan yang paling jelas

adalah tempat penelitian keduanya, yakni penelitian terdahulu di Kota Makassar

dan penelitian terbaru di Kecamatan Pabuaran Kabupaten Cirebon.

2. Indra Gosal (2015) Program Studi Ilmu Politik Jurusan Ilmu Politik Dan

Pemerintahan Universitas Hasanuddin dalam skripsinya yang berjudul

“ELEKTABILITAS SYAHRUL YASIN LIMPO PADA PEMILIHAN

GUBERNUR 2013 DI KABUPATEN TORAJA UTARA”2. Persamaan antara

1 Repositori.uin-aluddin.ac.id/3742/1/MUH.%2520YUNUS.pdf diakses pada 20-01-2018

2Repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/16108/INDRA%2520GOSAL%2520%2520E%2520111%

2520251.pdf diakses pada 20-01-2018

Page 30: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

36

penelitian ini dengan penelitian penulis adalah sama-sama meneliti tentang

elektabilitas dalam suatu pemilu.

Sedangkan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian penulis adalah

variabel penelitian terdahulu yaitu elektabilitas Cagub, sedangkan variabel

penelitian penulis adalah persepsi masyarakat dan elektabilitas Cagub-Cawagub.

Selain itu, perbedaan keduanya terletak pada jenis penelitian dan pendekatannya,

penelitian terdahulu menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan

deskriptif, sedangkan penulis menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan

pendekatan survei. Perbedaan yang paling jelas yaitu penelitian terdahulu

dilakukan di Kabupaten Toraja Utara sedangkan penelitian penulis akan dilakukan

di Kecamatan Pabuaran Kabupaten Cirebon.

2.11 Kerangka Pemikiran

Berikut kerangka pemikiran yang melandasi penelitian ini yang berjudul, “Pengaruh

Persepsi Masyarakat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Cirebon terhadap Elektabilitas

Cagub – Cawagub Asal Cirebon dalam Pilkada Jawa Barat 2018”.

Sistem Komunikasi

IntraPersonal

Sensasi Persepsi

Faktor

Internal Media Massa

Memori Berpikir

Faktor

Eksternal

Pesan Politik

Kampanye

Politik

Elektabilitas

Pasangan

Asyik

- Perhatian

- Karakteristik

individu

- Konteks persepsi

individu Perasaan,

pengalaman,

kemampuan

berpikir,

kerangka acuan

- Teknik kampanye

- Tingkat kematangan

masyarakat

Page 31: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

37

Dalam sistem komunikasi intrapersonal terdapat beberapa tahap pengolahan

informasi. Tahap-tahap tersebut di antaranya adalah sensasi, persepsi, memori, dan

berpikir (Rakhmat, 2011: 48). Namun, pembahasan yang akan difokuskan oleh penulis

adalah tahap persepsi.

Secara garis besar, ada dua faktor yang mempengaruhi persepsi yakni faktor

internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi apa yang ada dalam diri

perseptor atau orang yang mempersepsi seperti perasaan, pengalaman, kerangka

berpikir, kerangka acuan, dan sebagainya yang merupakan aspek lain yang ada dalam

diri individu. Faktor internal ini akan menentukan apakah masyarakat akan memilih

pasangan Asyik atau tidak. Hal itu karena perasaan, pengalaman, kerangka berpikir,

dan kerangka acuan setiap orang tentu berbeda antara orang yang satu dengan yang

lain. Sehingga ini mengakibatkan kemajemukan persepsi dalam masyarakat terhadap

pasangan Asyik.

Sedangkan faktor eksternal adalah selain yang ada dalam diri individu, salah

satunya adalah media. Dalam media terdapat pesan-pesan yang memang sengaja

ditujukan kepada masyarakat secara luas. Salah satu jenis pesan yang terdapat dalam

media adalah pesan politik. Maka dari itu tidak heran jika banyak elit politik yang

memanfaatkan media untuk menyampaikan pemikirannya tentang politik. Media juga

bisa dimanfaatkan untuk kampanye pemilihan langsung yang mana kampanye ini

berguna untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas kandidat yang bertarung

dalam kontestasi pilkada Jawa Barat 2018.

Adapun variabel yang akan diuji dalam penelitian ini adalah variabel X

(persepsi masyarakat) dan variabel Y (elektabilitas Cagub-Cawagub asal

Cirebon/pasangan Asyik). Untuk variabel X terdapat sub-variabel yakni perhatian,

karakteristik individu, dan konteks persepsi individu. Begitu pula untuk variabel Y

terdapat sub-variabel yaitu teknik kampanye dan tingkat kematangan masyarakat.

Yang dimaksud dengan perhatian adalah fokus individu terhadap sesuatu

dengan mengabaikan stimulus lain di sekitarnya. Dengan begitu, penelitian ini akan

mengungkap apakah pasangan Asyik dapat menjadi pusat perhatian masyarakat

dibandingkan dengan pasangan lain. Setiap individu akan memiliki tujuannya masing-

masing ketika memberikan pilihannya. Oleh karenanya, pilihan itu tergantung pada

karakteristik individu pemilihnya. Selain itu, konteks persepsi individu juga akan

Page 32: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi ...

38

mempengaruhi pemberian suara, dalam hal ini konteksnya adalah pilkada. Seberapa

pantas pasangan Asyik mendapatkan suara dari masyarakat.

Teknik kampanye yang digunakan pasangan Asyik juga sangat menentukan

elektabilitasnya. Teknik kampanye yang digunakan seharusnya dapat menyentuh

kepentingan masyarakat. Selain itu, tingkat kematangan masyarakat pemilih juga tidak

kalah pentingnya dalam meningkatkan elektabilitas setiap kandidat yang bertarung

dalam kontestasi pilkada Jawa Barat 2018.

2.12 Hipotesis

Hipotesis berasal dari dua kata yaitu hypo (belum tentu benar) dan tesis

(kesimpulan). Menurut Sekaran (2005), mendefinisikan hipotesis sebagai hubungan

yang diperkirakan secara lebih di antara dua atau lebih variabel yang diungkap dalam

bentuk pernyataan yang dapat diuji. Hipotesis merupakan jawaban sementara atas

pertanyaan penelitian. Jawaban pada hipotesis ini didasarkan pada teori dan empiris

yang telah dikajii pada kajian teori sebelumnya (Noor, 2013: 79-80).

Ada dua jenis hipotesis, yakni hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif

(Ha). Hipotesis nol menyatakan tidak ada hubungan antara variabel X dan variabel Y

yang akan diteliti, atau variabel independen (X) tidak mempengaruhi variabel

dependen (Y). Sedangkan hipotesis alternatif menyatakan ada hubungan, yang berarti

ada signifikansi hubungan antara variabel X dan Y (Bungin, 2013: 89-90).

Dengan begitu, maka penulis mengajukan hipotesis untuk penelitian ini

sebagai berikut:

H0 = tidak ada pengaruh yang signifikan antara persepsi masyarakat Kecamatan

Pabuaran Kabupaten Cirebon terhadap elektabilitas Cagub-Cawagub asal Cirebon

dalam pilkada Jabar 2018.

Ha = ada pengaruh yang signifikan antara persepsi masyarakat Kecamatan

Pabuaran Kabupaten Cirebon terhadap elektabilitas Cagub-Cawagub asal Cirebon

dalam pilkada Jabar 2018.