9 BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Peran Aktor Dalam Konsep Pierre Bourdieu Istilah peran 1 pada awalnya merupakan terjemahan dari kata “function”, “job”, atau “work”. Adapun makna dari kata “peran” dapat dijelaskan lewat beberapa cara. Pertama, suatu penjelasan historis menyebutkan, konsep peran semula dipinjam dari keluarga drama atau teater yang hidup subur pada jaman Yunani Kuno. Dalam arti ini, peran menunjuk pada karakteristik yang disandang untuk dibawakan oleh seseorang aktor dalam sebuah pentas drama. Kedua, suatu penjelasan yang menunjuk pada konotasi ilmu sosial, yang mengartikan peran sebagai suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu karakteristik (posisi) dalam struktur sosial. Ketiga, suatu penjelasan yang lebih bersifat operasional, menyebutkan bahwa peran seorang aktor adalah suatu batasan yang dirancang oleh aktor lain, yang kebetulan sama-sama berada dalam satu “penampilan/unjuk peran (role performance).” Pada dasarnya ada dua paham 2 yang dipergunakan dalam mengkaji teori peran yakni dengan pendekatan paham strukturalis dan paham interaksionis. Paham strukturalis lebih mengaitkan antara peran-peran sebagai unit kultural, serta mengacu ke perangkat hak dan kewajiban, yang secara normatif telah dikelola oleh sistem budaya. Sistem budaya tersebut, menyediakan suatu sistem posisional, yang menunjuk pada suatu unit dari struktur sosial. Pada intinya, konsep struktur menonjolkan suatu konotasi pasif-statis, baik pada aspek permanen maupun aspek saling-kait antara posisi satu dengan lainnya. Paham interaksionis, lebih memperlihatkan konotasi aktif-dinamis dari fenomena peran, terutama setelah peran tersebut merupakan suatu perwujudan 1 Konsep tentang “peran” disarikan dari teks tentang functional theory of stratification dan functinalism, Bryan S. Turner (Editor). 2006. The Cambridge Dictionary Of Sosiology. New York: Cambridge University Press. Hal 217-220 dan Smelser, Neil J.,dkk. (Editor). 2001. International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences. Hal 5838-5852 2 Ibid
18
Embed
BAB II LANDASAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8399/3/T1... · 2016-09-06 · penjelasan yang menunjuk pada konotasi ilmu sosial, yang ... ada. dua paham2 yang ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
9
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1. Peran Aktor Dalam Konsep Pierre Bourdieu
Istilah peran1 pada awalnya merupakan terjemahan dari kata “function”,
“job”, atau “work”. Adapun makna dari kata “peran” dapat dijelaskan lewat
beberapa cara. Pertama, suatu penjelasan historis menyebutkan, konsep peran
semula dipinjam dari keluarga drama atau teater yang hidup subur pada jaman
Yunani Kuno. Dalam arti ini, peran menunjuk pada karakteristik yang disandang
untuk dibawakan oleh seseorang aktor dalam sebuah pentas drama. Kedua, suatu
penjelasan yang menunjuk pada konotasi ilmu sosial, yang mengartikan peran
sebagai suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu
karakteristik (posisi) dalam struktur sosial. Ketiga, suatu penjelasan yang lebih
bersifat operasional, menyebutkan bahwa peran seorang aktor adalah suatu
batasan yang dirancang oleh aktor lain, yang kebetulan sama-sama berada dalam
satu “penampilan/unjuk peran (role performance).”
Pada dasarnya ada dua paham2 yang dipergunakan dalam mengkaji teori
peran yakni dengan pendekatan paham strukturalis dan paham interaksionis.
Paham strukturalis lebih mengaitkan antara peran-peran sebagai unit kultural,
serta mengacu ke perangkat hak dan kewajiban, yang secara normatif telah
dikelola oleh sistem budaya. Sistem budaya tersebut, menyediakan suatu sistem
posisional, yang menunjuk pada suatu unit dari struktur sosial. Pada intinya,
konsep struktur menonjolkan suatu konotasi pasif-statis, baik pada aspek
permanen maupun aspek saling-kait antara posisi satu dengan lainnya.
Paham interaksionis, lebih memperlihatkan konotasi aktif-dinamis dari
fenomena peran, terutama setelah peran tersebut merupakan suatu perwujudan
1 Konsep tentang “peran” disarikan dari teks tentang functional theory of stratification dan
functinalism, Bryan S. Turner (Editor). 2006. The Cambridge Dictionary Of Sosiology. New York:
Cambridge University Press. Hal 217-220 dan Smelser, Neil J.,dkk. (Editor). 2001. International
Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences. Hal 5838-5852 2 Ibid
10
peran, yang bersifat lebih organis, sebagai unsur dari sistem sosial yang telah
diinternalisasi oleh self dari individu pelaku peran. Dalam hal ini, pelaku peran
menjadi sadar akan struktur sosial yang didudukinya. Oleh karena itu, ia berusaha
untuk selalu kelihatan “mumpuni” dan dipersepsi oleh pelaku lainnya sebagai “tak
menyimpang” dari sistem harapan yang ada dalam masyarakatnya.
Istilah peran yang dikemukakan di atas, sangat berkaitan dengan istilah
praktik dalam pengertian Pierre Bourdieu. Menurut Pierre Bourdieu (dalam Adib,
2012) praktik (secara sosial) merupakan hubungan relasional yakni struktur
objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku, terjalin secara dialektik.
Fenomena sosial apa pun merupakan produk dari tindakan-tindakan individual.
Oleh karena itu, logika tindakan harus dilihat (dicari) pada sisi rasionalitas
pelakunya (Haryatmoko, 2003).
Bourdieu juga menambahkan praktek merupakan integrasi antara habitus
dikalikan modal dan ditambahkan ranah, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
(Habitus x Modal) + Ranah= Praktik. Secara dialektis, Habitus adalah “produk
dari internalisasi struktur” dunia sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari
ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang. Menurut Bourdieu,
habibus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan
dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi
yang mereka gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan
mengevaluasi dunia sosial. Melalui skema ini, orang menghasilkan praktik
mereka, mempersepsi dan mengevaluasinya (Ritzer dan Goodman, 2010; 581).
Habitus dapat dipahami sebagai, di satu sisi, habitus adalah pada waktu
tertentu merupakan hasil ciptaan (produksi) sejarah, dari praktik individu-individu
kolektif yang selama periode historis yang panjang. Di sisi lain, habitus justru
menjadi suatu yang dapat memandu individu dalam memproduksi praktek, di
berbagai konteks, yang tidak sepenuh disadari (Bourdieu, 1977; 82). Habitus
merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu
disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatan
alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994:
dalam Haryatmoko, 2003). Habitus digunakan sebagai kerangka untuk memahami
11
dan menilai realitas sekaligus penghasil praktik kehidupan yang sesuai dengan
struktur-struktur objektif.
Menurut Bourdieu (1980; dalam Haryatmoko, 2003) habitus merupakan
sistem-sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur
yang membentuk, artinya menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktek-
praktek hidup dan representasi-representasi, yang dapat disesuaikan dengan tujuan
tanpa mengandaikan pengarahan tujuan secara sadar dan penguasaaan secara
sengaja upaya-upaya yang perlu untuk mencapainya, secara objektif diatur dan
teratur tanpa harus menjadi buah dari kepatuhan-kepatuhan akan aturan-aturan
dan secara kolektif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang
dirigen. Pada titik ini, disposisi dimaknai sikap, kecenderungan dalam
mempersepsi, merasakan, melakukan, dan berpikir, yang diinternalisasikan oleh
individu berkat kondisi objektif eksistensi seseorang.
Ranah (field) lebih dipandang Bourdieu (Ritzer dan Goodman, 2010:582-
590) secara relasional daripada secara struktural. Ranah adalah jaringan relasi
antarposisi objektif di dalamnya (Bourdieu dalam Ritzer dan Goodman.
2010:582). Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak
individu. Ranah merupakan: (1) arena kekuatan sebagai upaya perjuangan untuk
memperebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk memperoleh akses
tertentu yang dekat dengan hirarki kekuasaan; (2) semacam hubungan yang
terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok
dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan.
Ranah (field) merupakan arena politik (kekuasaan) yang sangat penting,
dimana terdapat hirarki kekuasaaan yang di dalamnya ada relasi/hubungan
kekuasaan dalam arena politik yang memiliki daya untuk membantu menata,
menstruktur (membangun) arena-arena yang lain (Ritzer dan Goodman, 2010;
583). Bourdieu menyatakan bahwa ada tiga langkah proses untuk menganalisis
ranah, yaitu: pertama, menggambarkan keutamaan ranah (lingkungan) kekuasaan
untuk menemukan hubungan setiap lingkungan khusus dengan lingkungan politik;
kedua, menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam
ranah tertentu; dan ketiga untuk mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen
12
yang menempati berbagai tipe posisi di dalam ranah (Ritzer dan Goodman, 2010;
583).
Menurut Bourdieu (dalam Adib 2012), dalam ranah sosial akan selalu
terjadi, mereka yang memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan
individu, akan lebih mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah
struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal. Modal dalam
penjelasan Bourdieu terdiri dari, Modal Ekonomi, Modal Sosial, Modal Budaya
dan Modal Simbolik.
Modal ekonomi mencakup kepemilikan alat-alat produksi (seperti mesin,
tanah, dan buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang. Sedangkan
Modal simbolik ini berupa, akumulasi prestasi, penghargaan, harga diri, jabatan,
status, kehormatan, wibawa, reputasi, termasuk gelar akademis (Bourdieu, 1989;
197). Di sisi lain, modal budaya mencakup keseluruhan kualifikasi intelektual
yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga.
Sedangkan modal sosial mencakup keseluruhan kepemilikan nilai, kepercayaan
sosial dan jejaring sosial (Adib, 2012). Menurut Bourdieu (dalam Haryatmoko,
2003), keseluruhan kepemilikan modal tersebut, dapat membentuk sebuah struktur
tindakan sosial (termasuk praktek keseharian) maupun lingkup sosial individu
dalam masyarakat.
2.2. Pembangunan dan Perencanaan
Dalam sejarah perjalanannya, konsep pembangunan di Indonesia tidak
dapat dipisahkan dari pengaruh-pengaruh pikiran besar dunia, terutama yang
berlaku di negara-negara Dunia Ketiga. Pengaruh-pengaruh tersebut tidak saja
masuk kedalam nuansa pembangunan di Indonesia, tetapi secara sadar telah
diadaptasi oleh para elit penentu kebijakan, terutama melalui pendekatan-
pendekatan yang dibiayai oleh Bank Dunia dan badan-badan keuangan dunia
lainnya (Wrihatnolo, 2009; 9). Pandangan tersebut dipertegas lagi oleh
Sumodiningrat (dalam Wrihatnolo, 2009; 9) yang juga mengatakan bahwa
kecenderungan perkembangan konsep pembangunan di Indonesia sejak tahun
1960-an adalah konsep growth stategy yang diikuti dengan paradigma
13
pertumbuhan ekonomi, namun sampai dengan tahun 1990-an, konsep
pembangunan berkembang dengan gaya empowerment yang menitik-beratkan
pada paradigma pembangunan manusia.
Pembangunan adalah proses natural mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu
terwujudnya masyarakat yang makmur sejahtera secara adil dan merata.
Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran, yaitu meningkatnya konsumsi yang
disebabkan karena meningkatnya pendapatan (Wrihatnolo, 2009; 1). Juga, dalam
dalam pendekatan pertumbuhan ekonomi, pembangunan didefinisikan sebagai
suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil perkapita
melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya (Kartasasmita, 1997).
Namun demikian, Bauzon (1992) dan Goulet (1977) (dalam Kartasasmita,
1997) mengatakan pula bahwa pembangunan perlu mengedepankan etika, yang
berarti mengetengahkan bahwa proses pembangunan harus menghasilkan (1)
terciptanya "solidaritas baru" yang mendorong pembangunan yang berakar dari
bawah (grassroots oriented), (2) memelihara keberagaman budaya dan
lingkungan, dan (3) menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia dan
masyarakat. Dengan demikian, pembangunan adalah suatu proses perubahan yang
terjadi dalam masyarakat, yang terukur dari terwujudnya kesejahteraan
masyarakat.
Menurut Wrihatnolo (2009;2), dalam pendekatan pembangunan nasional,
terdapat 3 hal mendasar yang perlu dilakukan. Pertama, pembangunan perlu
diletakkan pada arah perubahan struktur. Kedua, pembangunan perlu diletakkan
pada arah pemberdayaan masyarakat untuk menuntaskan masalah kesenjangan
pembangunan, yakni pengangguran, kemiskinan dan tidak merata ruang serta
kesempatan masyarakat untuk berpartispasi secara aktif dalam pembangunan.
Ketiga, pembangunan perlu diletakkan pada arah koordinasi lintas sektor, yang
mencakup program antar sektor, pembangunan antar daerah, dan pembangunan
khusus. Dengan demikian, dalam rangka pencapaian ketiga hal mendasar di atas,
pembangunan perlu dilakukan secara terpadu, terarah dan sistematis, serta
memberikan ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam
menyelesaikan masalah-masalahnya. Hal ini berarti pembangunan membutuhkan
14
sebuah proses perencanaan yang terukur, dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
Perencanaan merupakan merupakan daftar tindakan yang disusun dalam
urutan, dan dianggap akan dapat mencapai suatu sasaran (Welsh, 1983;47). Ini
berarti pula bahwa perencanaan merupakan upaya-upaya manusia untuk
meminimalkan ketidakpastian guna mencapai sebuah tujuan. Wrihatnolo R. dan
Nugroho (2011;3) mengemukakan bahwa perencanaan merupakan kemampuan
mengukur. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa
depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya
yang tersedia (Pasal 1 ayat 1 UU No.25/20041 dan Pasal 1 ayat 1 PP No.8/2008).
Dengan demikian, perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses
penyusunan tahapan-tahapan kegiatan guna pemanfaatan dan pengalokasian
sumber daya yang ada dalam jangka waktu tertentu untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Menurut Widodo (dalam Wrihatnolo R. dan Nugroho (2011;3-4), terdapat
8 (delapan) jenis perencanaan, yaitu (1) perencanaan menurut jangka waktu, (2)
perencanaan menurut sifat dorongannya, (3) perencanaan menurut alokasi sumber
daya, (4) perencanaan menurut tingkat keluwesan, (5) perencanaan menurut
sistem ekonomi, (6) perencanaan menurut arus informasi, (7) perencanaan
menurut dimensi pendekatan, (8) perencanaan menurut lingkaran aktivitas
pembangunan.
Berdasarkan kerangka sistematis yang diamanatkan dalam UU No. 25
tahun 2004 tersebut, maka dokumen perencanaan pembangunan terdiri dari 8
(delapan) yakni, (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), adalah
dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun yang memuat visi,
misi, dan arah pembangunan; (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM), adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun yang
merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program presiden/kepala daerah dan
memuat strategi pembangunan nasional/daerah, kebijakan umum, kerangka
ekonomi makro, program-program, dan kegiatan pembangunan; (3) Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut
15
Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-KL), adalah dokumen
perencanaan kementerian/ lembaga untuk periode 5 (lima) tahun; (4) Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah, (Renstra-
SKPD), adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk
periode 5 (lima) tahun; (5) Rencana Pembangunan Tahunan Nasional, yang
selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP), adalah dokumen
perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun; (6) Rencana Pembangunan
Tahunan Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD), adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun; (7)
Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut
Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL), adalah dokumen perencanaan
kementrian/lembaga untuk periode 1 (satu) tahun; (8) Rencana Pembangunan
Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja
Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD), adalah dokumen perencanaan
Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun (Nugroho dan
Wrihatnolo, 2011;55-56).
Berdasarkan prosesnya, perencanaan pembangunan melalui dua proses,
yakni proses politik dan proses teknokratik. Pertama, proses politik. Setiap
pemilihan umum (Pemilu Presiden maupun Pemilu Kepala Daerah/Walikota)
selalu ada yang namanya penyampaian visi dan misi calon. Munculnya visi dan
misi tersebut, kemudian menjadi alat transaksi politik, yang pada akhirnya
menentukan keinginan publik, untuk memutuskan pilihan yang tepat dalam proses
pemilu. Dalam pendekatan perencanaan pembangunan, visi dan misi tersebut
merupakan dokumen rencana yang diakui. Sehingga, apabila terpilih, setiap visi
dan misi tersebut akan direalisasikan ke dalam dokumen perencanaan
pembangunan yang biasa disebut dengan rencana pembangunan jangka
menengah. Pada tahapan inilah, yang disebut dalam perencanaan, sebagai proses
politik. Kedua, proses teknokratik. Para pengamat profesional (biasanya dari
Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi), dapat menjadi sumber
pengidentifikasian kebutuhan atau masalah di masayarakat. Walau tidak
mengalami sendiri, berbekal pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, para
16
profesional dapat dengan baik mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi
masyarakat, termasuk permasalahan yang tidak disadari oleh masyarakat itu
sendiri. Dari hasil pengamatan inilah yang menjadi titik tolak dari perencanaan.
Penyusunan rencana yang demikian ini, yang dinamakan sebagai proses
teknokratik. Karena rencana yang dihasilkan dalam proses politik dan teknokratik
ini berbeda, keduanya harus diserasikan dan diterjemahkan dalam bahasa yang
dapat dijalankan oleh para birokrat. Hasil dari penyerasian inilah yang kemudian
menjadi agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) (Nugroho dan
Wrihatnolo, 2011;59-61). Sehingga pada titik inilah proses perencanaan
pembangunan menerapkan dua pendekatan, yaitu proses dari atas ke bawah (top
down) dan sebaliknya proses dari bawah ke atas (bottom up).
Keseluruhan proses perencanaan pembangunan tersebut dilebur menjadi
empat tahapan perencanaan, yaitu; Pertama, Evaluasi kinerja rencana
pembangunan sebelumnya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi
tentang kapasitas lembaga pelaksana, kualitas rencana sebelumnya, serta untuk
memperkirakan kapasitas pencapaian kinerja di masa yang akan datang. Kedua,
Penyusunan rencana yang terdiri atas langkah-langkah: (1) penyiapan rancangan
rencana pembangunan oleh lembaga perencana dan bersifat rasional, ilmiah,
menyeluruh dan terukur; (2) penyiapan rancangan rencana kerja oleh lembaga-
lembaga pemerintah sesuai dengan kewenangannya; (3) musyawarah perencanaan
pembangunan; dan (4) penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Ketiga, Penetapan rencana untuk menetapkan landasan hukum bagi rencana
pembangunan yang dihasilkan pada langkah penyusunan rencana. Keempat,
Pengendalian pelaksanaan rencana yang merupakan bagian dan tanggung jawab
pimpinan lembaga pemerintahan. (Nugroho dan Wrihatnolo, 2011;62-63)
2.3. Desa
2.3.1. Pengertian Desa
Istilah desa berasal dari bahasa India swadesi yang berarti tempat
asal, tempat tinggal, negeri asal atau tanah leluhur yang merujuk pada satu
kesatuan hidup dengan kesatuan norma serta memiliki batas yang jelas.
17
Istilah desa dan perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan
village yang dibandingkan dengan kota (city/town) dan perkotaan (urban).
Antonius T. (dalam Sumpeno, 2011;3) mengatakan bahwa konsep
perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik masyarakat
sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi
atau teritorial, dalam hal ini perdesaan mencakup beberapa desa.
Koentjaraningrat (1977) mendefinisikan desa sebagai komunitas
kecil yang menetap di suatu daerah, sedangkan Bergel (1995)
mendefinisikan desa sebagai setiap pemukiman para petani. Pengertian
desa dalam tiga aspek; (1) analisis statistik, desa didefinisikan sebagai
suatu lingkungan dengan penduduk kurang dari 2500 orang, (2) analisis
sosial psikologis, desa merupakan suatu lingkungan yang penduduknya
memiliki hubungan akrab dan bersifat informal diantara sesama warganya,
dan (3) analisis ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan
dengan penduduknya tergantung kepada pertanian, (Sumpeno, 2011;3).
Di Indonesia penggunaan istilah tersebut digunakan dengan cara
yang berbeda untuk masing-masing daerah, seperti dusun bagi masyarakat
Sumatera Selatan, dati bagi Maluku, kuta untuk Batak, nagari untuk
Sumatera Barat, atau wanua di Minahasa. Bagi masyarakat lain istilah
desa memiliki keunikan tersendiri dan berkaitan erat dengan mata
pencaharian, norma dan adat istiadat yang berlaku, (Sumpeno, 2011;3).
Zakaria (2000) menyatakan, desa adalah sekumpulan manusia yang
hidup bersama atau suatu wilayah, yang memiliki suatu organisasi
pemerintahan dengan serangkaian peraturan-peraturan yang ditetapkan
sendiri, serta berada di bawah pimpinan desa yang dipilih dan ditetapkan
sendiri. Definisi ini, menegaskan bahwa desa sebagai satu unit
kelembagaan pemerintahan mempunyai kewenangan pengelolaan wilayah
perdesaan. Wilayah perdesaan sendiri diartikan sebagai wilayah yang
penduduknya mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan
sumberdaya alam, dengan susunan fungsi wilayah sebagai pemukiman
18
perdesaan, pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial, dan kegiatan
ekonomi, (Sumpeno, 2011;3).
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, (PP 72 Tahun 20053 Pasal 1 Ayat 5).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa desa
merupakan suatu kesatuan masyarakat yang dibangun berdasarkan sejarah,
nilai-nilai, budaya, hukum dan keistimewaan tertentu yang diakui dalam
sistem kenegaraan kesatuan Republik Indonesia yang memiliki
kewenangan untuk mengatur, mengorganisir dan menetapkan kebutuhan
masyarakatnya secara mandiri.
2.3.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa
depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan
sumber daya yang tersedia (Pasal 1 ayat 1 UU No.25/20044 dan Pasal 1
ayat 1 PP No.8/20085). Perencanaan pembangunan adalah suatu proses
penyusunan tahapan-tahapan kegiatan guna pemanfaatan dan
pengalokasian sumber daya yang ada dalam jangka waktu tertentu untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Perencanaan pembangunan desa dilakukan secara partisipatif oleh
pemerintah desa sesuai dengan kewenangannya (Pasal 63 ayat 2 PP
72/2005). Dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah di Desa
disebut dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMDes). RPJMDes adalah dokumen perencanaan untuk periode 5
3 Tentang Desa 4 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) 5 Tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah
19
(lima) tahun yang memuat strategi dan arah kebijakan pembangunan Desa,
arah kebijakan keuangan Desa dan program prioritas kewilayahan, yang
disertai dengan rencana kerja. RPJMDes disusun untuk menjadi panduan
atau pedoman bagi komunitas desa dan supradesa, dalam rangka
mengelola potensi maupun persoalan di desa. Oleh karena itu, RPJMDes
merupakan dokumen perencanaan yang terintegrasi dengan perencanaan
pembangunan kabupaten/kota, (Pasal 63 ayat 1 PP No 72/2005).
RPJMDes dapat dimaknai sebagai dokumen ”cetak biru” (blue print)
desa selama rentang waktu lima (5) tahun. Dokumen ”cetak biru” ini
memuat arah dan orientasi pembangunan desa selama lima tahun. Secara
konsepsional capaian pembangunan desa selama lima tahun dituangkan ke
dalam visi dan misi desa. RPJMDes juga merumuskan permasalahan desa,
strategi dan kebijakan yang hendak ditempuh, serta program dan kegiatan
yang disiapkan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
RPJMDes kemudian dijabarkan dalam Rencana Kerja Pembangunan
Desa (RKP Desa) sekaligus dengan penganggarannya yang disebut
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa). Kedua dokumen ini,
RKP Desa dan APB Desa merupakan hasil (output) dari musrenbang
tahunan.
Perencanaan pembangunan desa dilaksanakan dengan prinsip
sekaligus syarat sebagai berikut (Forum Pengembangan Dan Pembaharuan
Desa, 2008;5) :
a) Pemberdayaan. Yaitu upaya untuk mewujudkan kemampuan dan
kemandirian masyarakat dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa.
b) Partisipatif. Yaitu keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat
secara aktif dalam proses pembangunan.
c) Berpihak pada Masyarakat. Yaitu seluruh proses pembangunan di
pedesaan secara serius memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya bagi masyarakat khususnya masyarakat miskin.
20
d) Terbuka. Yaitu setiap proses dan tahapan perencanaan
pembangunan dapat dilihat dan diketahui secara langsung oleh
seluruh masyarakat desa.
e) Akuntabel. Yaitu setiap proses dan tahapan kegiatan
pembangunan dapat dipertanggung-jawabkan dengan benar, baik
pada pemerintah desa maupun pada masyarakat.
f) Selektif. Yaitu semua masalah terseleksi dengan baik untuk
mencapai hasil yang optimal.
g) Efisien dan Efektif. Yaitu pelaksanaan perencanaan kegiatan
sesuai dengan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia yang tersedia.
h) Keberlanjutan. Yaitu setiap proses dan tahapan kegiatan
perencanaan harus simultan dan berlangsung terus-menerus.
i) Cermat. Yaitu data yang diperoleh cukup obyektif, teliti, dapat
dipercaya, dan menampung aspirasi masyarakat.
j) Proses Berulang. Yaitu pengkajian terhadap suatu masalah/hal
dilakukan secara berulang sehingga mendapatkan hasil yang
terbaik.
Proses penyusunan RPJMDes meliputi 3 (tiga) tahap (Forum
Pengembangan Dan Pembaharuan Desa, 2008;16). Pertama, Tahap