35 BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR Pada bab II ini akan diuraikan menjadi 3 sub judul, yang diantaranya kerangka teoritik, kerangka konseptual dan kerangka berpikir. Adapun alasannya, adalah : Pertama, memberikan jastifikasi teoritik urgensi konsep kepastian hukum dalam penyelenggaran pemerintahan. Kedua, memberikan pemahaman konseptual mengenai kepastian hukum dan penyelenggaraan pemerintahan. Ketiga, memberikan deskripsi singkat mengenai pokok-pokok pikiran dalam penelitian. 2.1. Jastifikasi Teoritik Terhadap Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Penelitian ini, mengedepankan teori, konsep dan asas-asas sebagai jastifikasi teoritik terhadap “KONSEP KEPASTIAN HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN”, diantaranya: 1. Teori Kedaulatan Hukum 2. Teori Hukum Murni 3. Teori Moralitas Hukum 4. Teori Penjenjangan Norma 5. Teori Perundang-undangan 6. Konsep Negara Hukum 7. Konsep Penyelenggaraan Pemerintahan
44
Embed
BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
35
BAB II
KERANGKA TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL DAN
KERANGKA BERPIKIR
Pada bab II ini akan diuraikan menjadi 3 sub judul, yang diantaranya kerangka
teoritik, kerangka konseptual dan kerangka berpikir. Adapun alasannya, adalah :
Pertama, memberikan jastifikasi teoritik urgensi konsep kepastian hukum dalam
penyelenggaran pemerintahan.
Kedua, memberikan pemahaman konseptual mengenai kepastian hukum dan
penyelenggaraan pemerintahan.
Ketiga, memberikan deskripsi singkat mengenai pokok-pokok pikiran dalam
penelitian.
2.1. Jastifikasi Teoritik Terhadap Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan
Penelitian ini, mengedepankan teori, konsep dan asas-asas sebagai jastifikasi
teoritik terhadap “KONSEP KEPASTIAN HUKUM DALAM
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN”, diantaranya:
1. Teori Kedaulatan Hukum
2. Teori Hukum Murni
3. Teori Moralitas Hukum
4. Teori Penjenjangan Norma
5. Teori Perundang-undangan
6. Konsep Negara Hukum
7. Konsep Penyelenggaraan Pemerintahan
36
1.6.1. Teori Kedaulatan Hukum
Istilah kedaulatan merupakan terjemahan dari kata “sovereignty” (bahasa
Inggris), “souverainete” (bahasa Prancis), “sovranus” (bahasa Italia), yang berasal
dari kata Latin “superanus” yang berarti “yang tertinggi” (supreme). Secara tersirat
teori kedaulatan hukum mempunyai makna bahwa hukum merupakan sumber
kedaulatan dalam suatu negara.
Kata “kedaulatan” dalam kamus besar bahasa Indonesia, diartikan sebagai
kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya.34
Berarti
definisi kedaulatan hukum adalah kekuasaan tertinggi terletak atau ada pada hukum.35
secara kontekstual dapat dipahami baik atau buruknya suatu hukum dalam suatu
negara, ia dianggap tetap berdaulat. Karenanya kedaulatan hukum dapat berdampak
positif (baik) dan juga negatif (buruk) dalam penyelenggaraan suatu negara.
Baik atau buruknya penggunaan teori kedaulatan hukum ini dilihat dari
beberapa pemikiran dalam melihat kandungan “kedaulatan”. Jean Bodin melihat
bahwa kedaulatan merupakan atribut dari negara yang dipersonifikasikan oleh raja.
Jean Bodin, menganggap kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan
hukum dalam suatu negara yang sifatnya tunggal, asli, abadi, dan tidak terbagi-bagi.36
Pemikiran demikian menyebabkan beberapa literatur ilmu politik menempatkan Jean
Bodin sebagai pelopor kaum Monistis.
34
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php 35
ibid 36
Soehino, 2000, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, h. 15
37
Pemikiran Bodin ini dilanjutkan oleh Thomas Hobbes, dengan berasumsi para
individu yang hidup dalam keadaan alamiah menyerahkan seluruh hak-hak alamiah
mereka kepada satu orang atau sekumpulan orang. Hobbes lebih mengutamakan
penyerahan itu kepada satu orang yakni raja.37
Ajaran Jean Bodin dan Thomas Hobbes dilanjutkan oleh sarjana-sarjana
hukum dari aliran “analitis” yang dipelopori oleh John Austin di Inggris. Melalui
buku “Lectures on Jurisprudence”, Austin menjelaskan selalu terdapat seorang atau
beberapa orang yang berdaulat, yakni mereka yang ditaati oleh bagian terbesar dari
rakyat negara itu dan yang tidak mentaati sesamanya. Bagi Austin juga yang
berdaulat adalah “pembentuk hukum yang tertinggi (supreme legislator) dan hukum
positif adalah hukum yang dibuat oleh yang berdaulat itu.38
Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena
merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini dapat
diasumsikan sebagai hal negatif apabila hukum positif yang dihasilkan tidak
mencerminkan keadilan, karena lebih mengedepankan aspek formilnya.
Notohamidjojo39
menyatakan pemikiran John Austin ini merupakan teori Etatis, yang
menyatakan hukum adalah hakekat perintah (command) yang berasal dari
negara/badan yang berdaulat.
37
F.Isjwara,1980, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan ke7, Bina cipta, Bandung, h. 107-110 38
ibid 39 O Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Penerbit Griya Media, Salatiga,
h.16
38
Berbeda halnya dengan pandangan Hugo Krabbe40
menekankan pada
perasaan hukum. Menurut doktrin ethis yang ia pelopori, hukum bukanlah semata-
mata apa yang secara formil diundangkan oleh badan legislatif suatu negara. Hukum
(dan kedaulatan sebagai aspeknya) bersumber pada perasaan-perasaan hukum
anggota masyarakat. Perasaan hukum adalah sumber dan merupakan pencipta
hukum.41
Relevansi pemikiran Krabbe ini dalam konteks negara Indonesia, sejalan
dengan pandangan Soepomo. Pandangan tersebut tercantum dalam Bab III Penjelasan
Umum UUD 1945, menentukan :
Undang-undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam "pembukaan" dalam pasal-pasalnya. Pokok-pokok pikiran tersebut
meliputi suasana kebatinan dari Undang-undang Dasar Negara Indonesia.
Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang
menguasai hukum dasar Negara, baik hukum yang tertulis (Undang-undang)
maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-undang Dasar menciptakan
pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya.
Frasa “suasana kebatinan” dapat diasumsikan sebagai perasaan hukum
anggota masyarakat. Untuk itu pemikiran Krabbe disini dalam kaitannya dengan
kedaulatan hukum juga menekankan pada kandungan (isi) dari hukum tersebut.
Menurut Krabbe, negara hanya memberi bentuk pada perasaan hukum ini, hanya apa
yang sesuai dengan perasaan hukum itulah yang benar-benar merupakan hukum.
40
Hugo Krabbe menempatkan diri sebagai kaum pluralis, yang beranggapan karena
masyarakat itu pluralis maka negara juga pluralis, karenanya tidak ada satupun kelompok yang lebih
tinggi dari lainnya. Hal ini berbeda dengan pemikiran kaum monistis atau tradisional yang
menekankan bahwa negara memiliki kedaulatan. Lihat F.Isjwara,op.cit. h. 113 41
ibid
39
Paham ini tidak menganggap negara berdaulat mutlak, karena perasaan hukum
menentukan dan membatasi isi hukum. Bukan negara, tapi hukum yang berdaulat.42
Krabbe mengingkari bahwa Hukum mendapat kekuatan dari negara. Ia
mengatakan, bahwa hukum mendapat kekuatan dari dirinya sendiri, maka ia sampai
berkata : “Jede Gewalt, welche in der Gesellschaft Gelting beansprucht, ist einzig
und allein Rechtsgewalt” (setiap kekuatan yang diperlakukan dalam masyarakat,
adalah tak lain tak bukan kekuatan dari hukum).43
Disinilah letak pemikiran Krabbe
yang patut dikritisi, bila melihat wujud hukum itu sebagai peraturan perundang-
undangan, yang tidak dimungkinkan memiliki kekuatan sendiri tanpa pengesahan dari
lembaga-lembaga negara. Doktrin Krabbe ini, sebenarnya lebih menekankan pada
aspek yang bukan formalisme suatu aturan.
Krabbe menggunakan penafsiran ethis dalam melihat hukum, maka Leon
Duguit dan Harold J. Laski menafsirkan hukum secara realistis, bahwa negara sebagai
suatu lembaga kesejahteraan umum (public service institute) dan hukum bukanlah
serangkaian perintah-perintah, tetapi adalah cara-cara penyelenggaraan kesejahteraan
umum. Konsepsi ini memberikan pemahaman bahwa negara tidak berkuasa
melainkan bertanggung jawab.44
Rupanya kata bertanggung jawab lebih ditekankan
pada kewajiban negara, sebagaimana bila menggunakan Pasal 28 I ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang menentukan : “Perlindungan,
42
ibid 43
Wirjono Prodjodikoro, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik, P.T Eresco, Bandung-
Jakarta, h. 41 44
F. Isjwara, op.cit, h. 113
40
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.”
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, relevansi kedaulatan hukum dalam
penelitian ini menekankan bahwa hukum yang berkuasa dalam suatu negara, akan
tetapi konstruksi hukum yang dihasilkan bukan semata-mata bebas sesuai kehendak
penguasa dikarenakan turunan kedaulatan negara, melainkan sangat memperhatikan
aspek kedaulatan rakyat (demokratis). Penekanan dalam pembentukan hukum
mengacu pada tujuan negara itu sendiri. Kedaulatan hukum juga menekankan pada
esensi dari penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan pada hukum.
1.6.2. Teori Hukum Murni
Teori Hukum Murni merupakan teori yang berusaha memandang kemurnian
dari hukum dikenal dengan istilah The Pure Theory of Law. Melalui teori ini Hans
Kelsen berpendapat bahwa :
The pure theory of Law is a theory of positive law. It is a theory of positive
law in general, not of a specific legal order. It is general theory of law, not
an interpretation of specific national or international legal norms; but it
offers a theory of interpretation. As theory, its exclusive purpose is to know
and to describe its object. The theory attemps to answer the question what and
how the law is, not how it ought to be. It is a science of law (jurisprudence),
not legal politics. It is called a “pure” theory of law, because it only describes
the law and attempts to eliminate from the object of this description
everything that is not strictly law; its aim is to free the science law from alien
elements. This is the methodological basis of the theory.45
45
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, 1967, Translation from the Second (Revised and
Enlarged) German Edition by Max Knight, University of California Press, Berkeley and Los Angeles,
p. 1
41
Dari pernyataan diatas, terdapat beberapa hal yang dapat diidentifikasi terkait teori
hukum murni (teori murni hukum), diantaranya :
1. Teori hukum murni merupakan teori hukum positif, bukan dalam suatu
sistem hukum. Akan tetapi teori hukum umum, yang bukan suatu sistem
hukum dalam negara atau internasional.
2. Memiliki tujuan untuk mengetahui dan menjelaskan suatu obyek, dengan
mencari jawaban dari apakah dan bagaimanakah hukum itu (dibuat)46
, bukan
bagaimana hukum itu seharusnya.
3. Teori hukum murni merupakan ilmu hukum (jurisprudence) bukan kebijakan
hukum.
4. Teori hukum murni untuk menjelaskan tentang hukum dan berupaya
membersihkan anasir-anasir asing yang tidak ada kaitannya dengan hukum.
Hans Kelsen tidak mempermasalahkan apabila dalil hukum harus baik dan
sesuai dengan moral. Substansi yang ditolak dalam pandangannya adalah bahwa
hukum merupakan bagian dari moral dan semua hukum adalah arti tertentu atau
46
Lihat juga buku Hans Kelsen, Introduction to the Problems of Legal Theory, 1992, A
Translation of the First Edition of the Reine Rechtslehre or Pure Theory of Law, Translated by Bonnie
Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, Clarendon Oxford, p.1. (selanjutnya disebut dengan Hans
Kelsen II). Dalam buku ini menekankan pada kegunaan teori hukum murni yang berupaya untuk
menjawab apakah hukum itu dan bagaimanakah hukum itu dibuat, bukan pertanyaan apakah hukum
yang seharusnya atau bagaimana seharusnya dibuat. “It (refers to, the Pure Theory of Law) attempts to
answer the question of what the law is and how the law is made, not the questions of what the law
ought to be or how the law ought to be made.
42
derajat tertentu dari moral. Menyatakan bahwa hukum adalah wilayah tertentu dari
moralitas sama halnya dengan manyatakan hukum harus sesuai dengan moralitas.47
Rupanya pemikiran Kelsen merujuk pada ajaran Plato (platonik) yakni aliran
dualisme yang membagi dunia ini dalam 2 (dua) dunia, yakni : apa yang terlihat atau
realitas dan ide. Kedua hal tersebut menunjukkan nilai keadilan merupakan dalam
kategori ide, sehingga tidak dapat terlihat oleh manusia lainnya dalam menafsirkan
ide seseorang. Untuk itu dibutuhkan suatu realita yang dijadikan suatu aturan.
Pemahaman keadilan sulit mencari batasannya, kapan suatu hal dikatakan adil dan
apa indikatornya. Untuk itu dalam pandangan legalitas, Hans Kelsen48
berpendapat
yang dimaksud keadilan adalah menerapkan apa yang telah diatur. Sehingga dapat
direfleksikan, apakah adil apabila seseorang dihukum tidak sesuai aturan? Untuk itu
dalam menjembatani hal ini Hans Kelsen mencetuskan teori isi tata urutan hukum
positif. Dikarenakan keadilan belum mampu membuat tata aturan yang adil. Kelsen49
mengatakan karakteristik yang membedakan antara hukum dari fenomena sosial lain
seperti moral dan agama dilihat dari motivasi langsung atau tidak langsung,
konsekuensi dalam bentuk berupa hukuman dan imbalan.
Teori hukum murni menjadi salah satu pijakan dasar teori dalam penelitian
ini, karena dalam penyelenggaraan pemerintahan diperlukan suatu aturan yang
menjamin kepastian hukum. Disamping itu tindakan hukum penyelenggara
47
Jimly Asshidiqqie dan M. Ali Safa’at, 2012, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi
Press, h. 19 (selanjutnya disebut dengan Jimly Asshidiqqie III) lihat juga Hans Kelsen, op.cit, p. 15-18 48
ibid, h. 16-21 49
Ibid
43
pemerintahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, harus berdasarkan
kepastian dan nilai keadilan sebagaimana yang telah tercantum dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan. Teori hukum murni yang tidak melarang bahwa
pembentukan hukum harus baik dan mengandung nilai moral, memberikan suatu
pemikiran dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dipengaruhi nilai
moral yang ada dalam masyarakat.
1.6.3. Teori Penjenjangan Norma Hukum
Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum
(Stufenbau des Rechts), Hans Kelsen50
berpendapat bahwa norma-norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu
norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri
lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).
Pemikiran Hans Kelsen lebih lanjut, ditemui dalam bukunya berjudul General
Theory of Law and State. 51
Dari pernyataan ini, poin-poin yang dapat diidentifikasi
adalah sebagai berikut:
50
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius,
Jogjakarta, h.25 51
Pemikiran Hans Kelsen lebih lanjut, ditemui dalam bukunya berjudul General Theory of Law
and State, yang mengungkapkan “……………………….. law regulates it own creation inasmuch one
legal norm determines the way in which another norm is created and also to some extent, the contents
of that norms. Since a legal norm is valid because it is created in a way determined by another legal
norms, the latter is the reason of validity of the former. The relation between the norm regulation the
44
1. Validitas hukum ditentukan oleh norma hukum lainnya.
2. Sistem norma terkoordinasi dengan norma lain
3. Penciptaan norma ditentukan oleh norma yang lebih tinggi
4. adanya hirarki dalam berbagai tingkatan norma
Pemikiran Kelsen demikian, menunjukkan bahwa hukum diciptakan oleh
hukum lainnya yang lebih tinggi. Pengertian ini menunjukkan bahwa Kelsen
memahami hukum sebagai suatu “tatanan”. Dengan demikian yang paling dasar
menjadi aturan tertinggi yang akan selalu dijadikan acuan dalam pembentukannya.
Pemikiran ini sangat berkaitan erat dengan pandangannya dalam teori hukum murni,
bahwa penciptaan hukum juga dijauhkan dari anasir-anasir lain. Keterkaitannya
dengan “basic norm”, sesungguhnya sarat dengan nilai keadilan. Sebagai contoh,
creation of another norm and this other norm may be presented as a relationship of super and sub
ordination, which is a spatial figure of speech. The norms determining the creation of another norm is
the superior, the norm created according to this regulation the inferior norm. The legal order,
especially the legal order the personification of which is the state, is therefore not a system of norm
coordinated to each other, standing, so to speak, side by side on the same level, but a hierarchy of
different levels of norms. the unity of these norms is constituted by the fact that the creation of one
norm - the lower one - is determined by another - the higher - the creation of which is determined by
another - the higher - the creation of which is determined by a still higher norm, and that this
regressus is terminated by a highest, the basic norm which, being the supreme reason of validity of the
whole legal order, constitutes its unity. Lihat Hans Kelsen 1949, General Theory of Law and State,
Harvard University Press, h. XIV (Hukum mengatur hal penciptaannya sendiri, sejauh suatu norma
hukum menentukan cara di mana norma lain dibuat dan juga sampai batas tertentu, isi norma tersebut.
Norma hukum itu sah karena dibuat dengan cara yang ditentukan oleh norma-norma hukum yang lain,
yang kedua merupakan alasan validitas dari aturan sebelumnya. Hubungan antara regulasi norma
dalam penciptaan norma lain dan norma lainnya ini merupakan hubungan super dan sub ordinasi, yang
menunjukkan kedudukan dari tokoh pembentuk. Norma-norma yang menentukan penciptaan norma
lain adalah superior, sedangkan norma dibuat sesuai dengan peraturan ini adalah norma yang lebih
rendah. Tatanan hukum, khususnya tatanan hukum yang merupakan personifikasi negara, itu bukan
suatu sistem norma terkoordinasi satu sama lain, berdiri, berbicara, berdampingan pada tingkat yang
sama, tetapi hirarki dalam berbagai tingkatan norma. Kesatuan norma-norma didasari oleh fakta bahwa
penciptaan suatu norma - yang lebih rendah - ditentukan oleh yang lebih tinggi - penciptaan yang
norma yang lebih tinggi itu, penciptaannya ditentukan oleh norma yang lebih tinggi lagi, sampai
ditentukan pada norma yang tertinggi, norma dasar yang menjadi alasan tertinggi validitas tatanan
hukum secara keseluruhan, merupakan suatu kesatuan)
45
dalam pemikiran Kelsen pada hukum internasional, menempatkan salah satu asas
“pacta sun servanda”52
sebagai grundnorm (basic norm). Jika melihat asas ini,
sebenarnya ada titik taut dengan keadilan dan moral.
Hamid Attamimi yang bertitik tolak pada ajaran Hans Nawiasky,
membedakan norma hukum negara dalam 4 (empat) kategori pokok, yaitu
Staatsfundamentalnorms (Norma fundamental negara), Staatsgrundgesetz (aturan
dasar/pokok negara), Formell Gesetz (undang-undang formal) dan Verordnung &
Autonoe Satzung (Aturan pelaksana dan Aturan otonom).53
Hamid Attamimi berpendapat bahwa UUD dan TAP MPR tidak termasuk
jenis aturan hukum, melainkan sebagai aturan dasar negara atau aturan pokok negara
(Staatsgrundgesetz), untuk aturan hukum adalah undang-undang, peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), peraturan pemerintah (PP),
keputusan Presiden, peraturan daerah dan seterusnya. Pendapat ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa UUD yang berisi Pancasila adalah tidak sama dengan undang-
undang formil.54
Teori penjenjangan norma ini tepat dijadikan rujukan, sebab dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, para pembentuk harus mendasarkan
pada aturan yang lebih tinggi.
Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, menentukan Pancasila harus dijadikan sumber dari
52
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2002, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, h. 34 53
Hamid Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi
Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia, h. 287 54
Ibid, h. 287-288
46
pembentukan hukum. Kaitannya dengan teori ini, banyak kalangan yang beranggapan
bahwa grundnorm yang di pahami oleh Kelsen termuat dalam Pancasila sehingga
dianggap sebagai cita hukum. Deskripsi tentang cita hukum akan diuraikan pada bab
selanjutnya. Esensi dari teori ini memberikan legitimasi kepada para pembentuk
undang-undang yang merupakan penyelenggara negara untuk tunduk pada aturan
yang lebih tinggi saat membentuk aturan yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan
pemahaman kepastian hukum dalam arti legalitas demi mewujudkan kepastian norma
hukum.
1.6.4. Teori Perundang-undangan
Penelitian ini menggunakan teori perundang-undangan sebagai salah satu
jastifikasi teoritis, mengingat kajian dalam penelitian ini juga menyangkut persoalan
kepastian hukum dalam konteks norma. A. Hamid S. Attamimi55
membedakan antara
teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan, yang menurutnya teori
perundang-undangan berorientasi pada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman
dan bersifat kognitif56
, sedangkan ilmu perundang-undangan (dalam arti sempit)
berorientasi pada melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif. Teori
perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan merupakan cabang atau bagian
dari ilmu pengetahuan perundang-undangan. Selanjutnya Rosjidi Ranggawidjaja,
55
A. Hamid S. Attamimi dalam H. Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-
Undangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, h. 14-15. 56
Dalam KBBI Kognitif diartikan sebagai 1 berhubungan dng atau melibatkan kognisi; 2
berdasar kpd pengetahuan faktual yg empiris. Sedangkan kog·ni·si n 1 kegiatan atau proses
memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dsb) atau usaha mengenali sesuatu melalui
pengalaman sendiri; 2 Sos proses, pengenalan, dan penafsiran lingkungan oleh seseorang; 3 hasil
pemerolehan pengetahuan.
47
menguraikan teori perundang-undangan berorientasi pada usaha menjelaskan
pemahaman (yang bersifat dasar) antara lain pemahaman tentang undang-undang,
pembentuk undang-undang, fungsi perundang-undangan, peraturan perundang-
undangan, dan sebagainya serta bersifat kognitif.57
Relevansi penggunaan teori perundang-undangan pada penelitian ini,
digunakan dalam memahami hakekat dan fungsi dari perundang-undangan sebagai
dasar penyelenggaraan pemerintahan, serta mendeskripsikan mengenai kewenangan
pembentuk perundang-undangan. Tidak juga menutup dalam konteks teori
perundang-undangan saja, melainkan juga menggunakan asas-asas yang berkaitan
dengan pembentukan peraturan perundang-undangan serta asas yang berkenaan
dengan pengkajian terhadap konflik norma.
1.6.5. Konsep Negara Hukum
Seperti yang diketahui penyebutan istilah negara hukum dikenal dengan
“rechstaat” ada pula “rule of law”. Istilah “rechstaat” adalah konsep yang populer
dalam tradisi Eropa Kontinental, sedangkan Anglo Saxon menggunakan “rule of
law”. Tradisi eropa kontinental (civil law) sangat berpengaruh pada pemahaman
tentang “rechstaat” itu sendiri, begitu juga tradisi anglo saxon membentuk suatu
pemikiran tentang hakekat dari “rule of law”. Menurut Gustav Radbruch dalam “Deir
Geist des englischen Rechts”, penegakan the rule of law di Inggris sama sekali tidak
57
Ibid, h. 15
48
berdasarkan pemisahan kekuasaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Montesquie.58
Hal tersebut berbeda dengan perkembangan “rechtsstaat” abad ke-18 yang
dirumuskan oleh Immanuel Kant (1724-1804). Pemikiran filsafat Kant yang berpusat
pada kebebasan atau otonomi individu itu bertemu dengan paham laissez faire yang
dipelopori oleh Adam Smith yang juga dilandasi dengan pemikiran kebebasan
individu. Pertemuan keduanya dalam bidang hukum dan kenegaraan kemudian
melahirkan paham negara hukum Liberal.59
Pemikiran Kant ini didasarkan, pada
pemikiran untuk menjamin kedudukan hukum setiap individu, yang diinspirasi oleh
teori pemisahan kekuasaan Montesquieu (1689-1755) dalam menghindari pemusatan
kekuasaan yang dapat mendorong terjadinya kesewenang-wenangan dan berkaitan
dengan paham demokrasi dari Rousseau (1712-1778). 60
Menurut Notohamidjojo61
, penulis-penulis seperti Niccola Machiavelli (1469-
1527), Jean Bodin (1530-1596), Thomas Hobbes (1588-1679), Kardinal de Richeliu