-
8
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Deskripsi Teoretis
Mengacu pada rumusan masalah dalam penelitian ini yakni
karakteristik
khusus seperti apakah yang dapat membedakan masing-masing gaya
bahasa
analogi (perbandingan) yang terdiri dari: metafora,
personifikasi dan alegori
dalam roman Légende du beau Pécopin et de la belle Bauldour
karya Victor
Hugo, maka dalam bab ini akan dikemukakan teori-teori untuk
mendukung
penelitian tersebut. Beberapa teori tersebut diantaranya: roman,
gaya bahasa dan
gaya bahasa analogi (metafora, personifikasi dan alegori).
A.1. Roman
Dalam kesastraan Indonesia dikenal juga istilah roman. Menurut
Frye dalam
Nurgiyantoro (2013: 18-19), sebenarnya roman itu sendiri lebih
tua daripada
novel. Menurutnya, roman tidak berusaha menggambarkan tokoh
secara nyata,
secara lebih realistis. Ia lebih merupakan gambaran angan,
dengan tokoh yang
lebih bersifat introver dan subjektif. Di pihak lain, novel
lebih mencerminkan
gambaran tokoh nyata, tokoh yang berangkat dari realitas sosial.
Istilah roman,
novel, cerpen dan fiksi memang bukan asli Indonesia, sehingga
tidak ada
pengertian yang khas Indonesia.
Selain roman, terdapat genre-genre sastra lainnya yang terbagi
dalam
beberapa klasifikasi. Aristoteles dalam Ratna (2011: 169)
membedakan genre
-
9
sastra menjadi tiga klasifikasi, yaitu: a) klasifikasi menurut
sarana perwujudan
(media of representation) yang terdiri atas prosa dan puisi, b)
klasifikasi menurut
objek perwujudan (objects of representation) yang terdiri atas
tragedi, komedi,
dan roman, dan c) klasifikasi menurut ragam perwujudan (manner
of poetic
representation) yang terdiri atas epik, lirik, dan dramatik.
Melalui klasifikasi yang
diutarakan oleh Aristoteles kita dapat mengetahui beberapa jenis
karya sastra
diantaranya, prosa, puisi, tragedi, komedi, roman, epik, lirik,
dan dramatik. Pada
penelitian kali ini, akan dibahas secara mendalam salah satu
genre sastra yaitu
roman.
Clara Reeve dalam Wellek dan Warren (2013: 260) secara singkat
membagi
dua ragam fiksi naratif yang utama, yaitu romance (romansa) dan
novel. Ia
menjabarkan perbedaan kedua ragam tersebut. Novel adalah
gambaran dari
kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel
itu ditulis.
Romansa, ditulis dalam bahasa yang agung dan diperindah,
menggambarkan apa
yang tidak pernah terjadi dan tidak mungkin terjadi. Dari
pendapat tersebut dapat
diketahui bahwa ada persamaan antara novel dan roman (romansa)
jika dilihat dari
segi isinya. Kedua ragam tersebut sama-sama bersifat naratif,
namun keduanya
juga memiliki perbedaan, jika novel ditulis berdasarkan perilaku
yang nyata
dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan zamannya, roman lebih
bersifat fiktif
atau hanya rekaan yang tidak mungkin terjadi. Bahasa yang
digunakannya pun
sulit untuk dipahami karena pengarang banyak menggunakan gaya
bahasa.
Lebih lanjut lagi jika melihat bentuknya, roman memiliki cerita
yang
panjang seperti sebuah prosa yang mengisahkan cerita beberapa
tokoh. Hal
-
10
tersebut seperti diungkapkan Villani dalam jurnal Elaheh Salehi
Rizi yang
diunduh melalui
http://revel.unice.fr/symposia/actel/index.html?id=364 pada
hari
Senin, 5 Oktober 2015 pukul 22.12, le roman se définit comme une
œuvre en
prose d’une certaine longueur où l’on distingue une histoire
fictive entre des
personnages, eux-mêmes plus ou moins inventés. Roman
didefinisikan sebagai
sebuah karya berbentuk prosa dengan panjang cerita tertentu
dimana terlihat cerita
fiksi antara tokoh-tokoh rekaan (tokoh ciptaan pengarang) atau
tokoh yang
mungkin nyata dan ada dalam kehidupan pengarang. Roman selalu
bercerita
mengenai kehidupan para tokoh di dalamnya. Tokoh yang ada di
dalamnya
biasanya merupakan imajinasi pengarang roman tersebut dengan
karakter yang
dibuat sendiri sesuai kebutuhan atau bisa jadi tokoh tersebut
bukan rekaan dan
benar-benar ada serta memiliki karakter yang mirip dengan
seseorang di sekitar
pengarang tersebut.
Tokoh yang diceritakan dikondisikan sebagai individu yang miskin
dengan
pengalaman. Oleh sebab itu, roman selalu menyajikan kisah tokoh
yang berambisi
untuk mencari dan memenuhi pengalaman hidupnya seperti yang
dikemukakan
Hillen (2007: 127):
Le roman parle de l'homme contemporain comme d'un être dont
l'expérience est appauvrie ; le seul sujet narratif qui lui
reste, vu sa
détermination par des conditions sociales et économiques
devenues
irréversibles et trop complexes, est sa vie personnelle.
Roman bercerita mengenai manusia sebagai makhluk yang miskin
dengan
pengalaman. Roman hanya menceritakan satu-satunya subjek narasi
yang tersisa,
http://revel.unice.fr/symposia/actel/index.html?id=364
-
11
maksudnya adalah roman hanya mengangkat sebuah tema dalam
kehidupan
tokohnya. Melihat tekad yang digambarkan pada tokoh tersebut
dari kondisi sosial
dan ekonominya, cerita yang disajikan biasanya memperlihatkan
hal-hal rumit
dalam kehidupan pribadinya. Melalui pernyataan Hillen tersebut
dapat
disimpulkan bahwa roman mengisahkan kisah-kisah rumit pada
kehidupan pribadi
tokohnya dalam mencari pengalaman hidup.
Sementara menurut Tjahjono (1988: 159), secara konvensional
roman
dikatakan sebagai cerita yang mengisahkan liku-liku kehidupan
manusia, suka dan
dukanya, perjuangan batinnya, sejak kecil sampai meninggal
dunia, yang diikuti
oleh perubahan nasib tokoh-tokohnya. Berdasarkan definisi
tersebut dapat
disimpulkan bahwa walaupun roman merupakan cerita fiksi atau
prosa rekaan,
akan tetapi tidak menutup kemungkinan apabila cerita yang
tersaji di dalamnya
terinspirasi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di kehidupan
manusia atau
kehidupan pengarang itu sendiri. Roman juga menampilkan
serangkaian peristiwa
yang diikuti perubahan nasib para tokoh dalam cerita
tersebut.
Dilihat dari fungsinya, tidak hanya digunakan sebagai alat
hiburan, akan
tetapi roman juga dianggap sebagai karya sastra yang mempelajari
dan meneliti
nilai-nilai dalam kehidupan. Seperti yang dijelaskan oleh Roger
(1970: 594-595),
le roman constituait ainsi toute une problématique de la vie
morale. Un autre
thème habituel au roman est le récit d’une éducation. Roman
menyajikan
keseluruhan masalah dalam kehidupan moral. Tema lain yang
biasanya disajikan
pula dalam roman adalah cerita yang memberikan pembelajaran atau
bersifat
mendidik. Maksudnya, cerita dalam roman biasanya mengandung
amanat atau
-
12
pesan berkaitan dengan nilai-nilai moral dalam kehidupan. Oleh
sebab itu, roman
bukan hanya media yang disediakan untuk memberikan hiburan atau
kesenangan
bagi pembacanya, melainkan juga bersifat edukatif, dapat
memberikan ilmu-ilmu
positif dan bermanfaat kepada pembaca.
Dari beberapa penjelasan tokoh-tokoh tersebut, dapat disimpulkan
bahwa
roman merupakan salah satu karya sastra yang bersifat naratif
dan fiktif,
mengisahkan tentang kejadian-kejadian yang terjadi pada
kehidupan tokohnya
hingga tokoh tersebut mengalami perubahan nasib. Walaupun cerita
yang
disajikan merupakan hasil rekaan dari pengarang, seringkali
cerita atau tokoh
dalam roman sebenarnya bisa jadi diambil berdasarkan pengalaman
dari
pengarang itu sendiri, hanya saja biasanya cerita tersebut
terkadang dibuat tidak
masuk akal agar lebih menarik dan bahasa yang digunakan sulit
dipahami karena
pengarang menggunakan berbagai macam gaya bahasa untuk nilai
estetis. Namun
cerita yang disampaikan banyak mengandung pesan atau amanat
mengenai nilai-
nilai kehidupan yang mampu mendidik para pembacanya.
A. 1. 1. Unsur-unsur Intrinsik Roman
Roman sebagai karya sastra seringkali menjadi objek analisis di
kalangan
peneliti, tujuannya adalah untuk dapat memahami makna secara
lebih baik
terhadap karya yang bersangkutan. Salah satunya, analisis dapat
ditujukan
terhadap unsur intrinsik yang membangun karya sastra itu
sendiri. Unsur yang
dimaksud menurut Nurgiyantoro (2013: 30) misalnya, tema, plot,
penokohan,
latar, sudut pandang, bahasa atau gaya bahasa, dan
lain-lain.
-
13
a. Tema
Tema (Nurgiyantoro, 2013: 115-116) adalah gagasan (makna) dasar
umum
yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan
bersifat abstrak
yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan
biasanya
dilakukan secara implisit. Untuk menemukan tema sebuah karya
fiksi, ia haruslah
disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan
bagian-bagian
tertentu cerita.
b. Plot
Stanton dalam Nurgiyantoro (2013: 167) mengemukakan bahwa plot
adalah
cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu
hanya dihubungkan
secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan terjadinya
peristiwa yang lain. Menurut Sumardjo dalam Rokhmansyah (2014:
37), inti sari
dari plot atau alur adalah konflik. Maka dari itu plot sering
dikupas menjadi
elemen-elemen berikut: pengenalan, timbulnya konflik, konflik
memuncak,
klimaks, dan pemecahan soal.
c. Penokohan
Jones dalam Nurgiyantoro (2013: 247) berpendapat bahwa
penokohan
adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam
sebuah cerita. Penyebutan nama tokoh tertentu, tidak jarang
langsung
mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinya. Menurut
Siswanto
(2008: 143), tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat,
sikap, tingkah
laku, atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh
suatu karya oleh
sastrawan disebut perwatakan.
-
14
d. Latar
Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2013: 302-303), latar atau
setting
yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian
tempat,
hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-
peristiwa yang diceritakan. Fungsinya dijelaskan bahwa latar
memberikan pijakan
cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk
memberikan kesan realistis
kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah
sungguh-
sungguh ada dan terjadi. Dengan demikian, pembaca merasa
difasilitasi dan
dipermudah untuk “mengoperasikan” daya imajinasinya,
disamping
dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan
dengan
pengetahuannya tentang latar. Unsur latar menurut Nurgiyantoro
(2013: 314)
dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu,
dan sosial-
budaya.
e. Sudut Pandang
Baldic dalam Nurgiyantoro (2013: 338) menjelaskan bahwa sudut
pandang
adalah posisi atau sudut mana yang menguntungkan untuk
menyampaikan kepada
pembaca terhadap peristiwa dan cerita yang diamati dan
dikisahkan. Menurut
Nurgiyantoro (2013: 339), sudut pandang cerita itu sendiri
secara garis besar
dapat dibedakan ke dalam dua macam: persona pertama,
first-person, gaya “aku”,
dan persona ketiga, third-person, gaya “dia”.
f. Gaya Bahasa
Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2013: 369) stile (gaya
bahasa),
adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana
seorang pengarang
-
15
mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Stile ditandai oleh
ciri-ciri
formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat,
bentuk-bentuk bahasa
figuratif, penggunaan kohesi, dan lain-lain.
A. 1. 2. Unsur-unsur Ekstrinsik Roman
Nurgiyantoro (2013: 30-31) menjelaskan unsur ekstrinsik adalah
unsur-
unsur yang berada di luar teks sastra itu, tetapi secara tidak
langsung
memengaruhi bangun atau sistem organisme teks sastra. Atau,
secara lebih khusus
ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun
cerita sebuah
karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.
Wellek dan Warren, (2013: 79-153) menyebutkan bahwa unsur
ekstrinsik
juga terdiri dari sejumlah unsur antara lain adalah keadaan
subjektivitas individu
pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup
yang
kesemuanya itu akan memengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur
ekstrinsik
berikutnya adalah psikologi, baik psikologi pengarang, psikologi
pembaca,
maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di
lingkungan
pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial juga akan
berpengaruh terhadap
karya sastra.
Dari struktur roman yang unsur-unsurnya telah dijelaskan pada
paparan
tersebut, peneliti memilih kajian gaya bahasa sebagai masalah
dalam penelitian
ini. Keindahan sebuah karya sastra sangat tergantung dari
kemampuan pengarang
dalam mengungkapkan setiap kalimat pada tulisannya dan kemampuan
pembaca
dalam memahami tulisan tersebut. Penggunaan gaya bahasa sangat
berkaitan erat
-
16
dengan keindahan suatu karya sastra. Untuk memahami lebih lanjut
mengenai
gaya bahasa yang sarat dengan arti dan makna dalam sebuah karya
sastra, akan
dijelaskan secara lebih mendalam melalui teori-teori gaya bahasa
sebagai berikut.
A.2. Gaya Bahasa
Bahasa dengan gaya bahasa, adalah dua bentuk yang sama dengan
muatan
yang berbeda. ‘Bunga mawar di rumahku sudah layu’ dapat disebut
sebagai
bahasa sekaligus gaya bahasa. Sebagai bahasa kalimat tersebut
mengindikasikan
bunga mawar yang benar-benar layu, mungkin karena tidak disiram
atau akarnya
mengalami pembusukan. Tetapi sebagai gaya bahasa seperti di atas
yang
dimaksudkan dengan bunga mawar adalah gadis, sedangkan sudah
layu berarti
sudah tidak perawan, sudah ternoda. Secara tradisonal disebutkan
sebagai makna
denotatif dan konotatif (Ratna, 2013: 179).
Sama halnya dengan Minderop (2010: 223) dalam bukunya yang
berjudul
Psikologi Sastra mengatakan, pada umumnya gaya bahasa adalah
semacam
bahasa bermula dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya
tradisional dan
literal untuk menjelaskan orang atau objek. Dengan menggunakan
gaya bahasa
pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan berkesan. Melalui
pendapat tersebut
kita dapat melihat bahwa sesungguhnya gaya bahasa terjadi
tergantung pada
persepsi dari pembaca itu sendiri. Dari sebuah kata, dapat
dikatakan jika itu
merupakan gaya bahasa jika pembaca menafsirkannya lewat makna
konotasi
(bukan makna sebenarnya dari kata tersebut).
-
17
Menurut Dale dalam Tarigan (1985: 5) gaya bahasa adalah bahasa
indah
yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan
memperkenalkan serta
memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau
hal lain yang
lebih umum. Pendek kata penggunaan gaya bahasa tertentu dapat
mengubah serta
menimbulkan konotasi tertentu. Selanjutnya HB. Jassin dalam
Tjahjono (1988:
201) menjelaskan, gaya bahasa adalah perihal memilih dan
mempergunakan kata
sesuai dengan isi yang mau disampaikan. Gaya bahasa juga
menyangkut masalah
bagaimana menyusun kalimat secara efektif, secara estetis, dan
mampu
memberikan gambaran konkret pada benak membaca. Melalui
penggunaan gaya
bahasa, para pengarang dapat berekspresi menuangkan tulisan
indahnya yang
penuh dengan makna dalam sebuah karya. Singkatnya, gaya bahasa
dapat
mencerminkan keindahan suatu karya sastra.
Gaya bahasa atau dalam kata lain dikenal juga dengan sebutan
majas. Lebih
lanjut lagi Ratna (2013: 164) berpendapat, majas (figure of
speech) adalah pilihan
kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam
rangka
memperoleh aspek keindahan. Pada umumnya majas dibedakan menjadi
empat
macam, yaitu: a) majas penegasan, b) perbandingan, c)
pertentangan, dan d) majas
sindiran. Beberapa jenis majas dibedakan lagi menjadi subjenis
lain sesuai dengan
cirinya masing-masing. Secara tradisional bentuk-bentuk inilah
yang disebut
sebagai gaya bahasa. Dengan kalimat lain, majas disamakan dengan
gaya bahasa.
Fromilhague (2005: 56) juga mengungkapkan dengan sebutan majas
dalam
bukunya yang berjudul Les Figures de Style:
-
18
Les tropes sont plus communément appelés figures de sens; on
les
définit en effet classiquement comme des détournements de sens.
Dans
le trope, il y a, dit-on généralement, transfert du sens propre
au sens
figuré. Les trois tropes principaux sont la synecdoque, la
métonymie
et la métaphore.
Majas lebih dikenal dengan sebutan gaya bahasa yang digunakan
sebagai
unsur keindahan dari rangkaian tulisan yang disusun oleh penulis
karya sastra agar
karyanya memiliki nilai estetika yang dapat menunjukkan ciri
khas pada karya
tersebut. Secara klasik, majas didefinisikan sebagai pembelokkan
makna. Secara
umum, pada majas terjadi perubahan dari makna sebenarnya menjadi
makna
kiasan. Tiga majas yang paling utama adalah sinekdok, metonimia,
dan metafora,
hal ini juga dikemukakan Starets (2008: 132), les expressions
figurées sont,
essentiellement la métaphore, la métonymie, la synecdoque. Dari
penjelasan
Fromilhague tersebut kita dapat mengetahui bahwa gaya bahasa
erat kaitannya
dengan perubahan makna. Perubahan makna yang terjadi secara umum
adalah
perubahan dari makna sebenarnya (denotasi) menjadi makna bukan
sebenarnya
atau makna kiasan (konotasi).
Jika Fromilhague dan Starets membagi majas menjadi tiga yang
paling
utama, Luxemburg, dkk. dalam Ratna (2013: 225-226) membedakan
majas
menjadi empat macam, yaitu: pertentangan, identitas (analogi),
kedekatan
(kontiguitas), dan simbolik. Majas atau gaya bahasa metafora
pada umumnya
sama dengan gaya bahasa analogi. Kebanyakan orang menyebut hanya
dengan
metafora saja untuk mencerminkan sebuah analogi. Pada penelitian
kali ini akan
-
19
dibahas lebih jauh mengenai gaya bahasa analogi atau secara umum
sering disebut
juga sebagai gaya bahasa perbandingan.
Dari beberapa penjelasan yang telah dipaparkan, dapat
disimpulkan bahwa
pada dasarnya gaya bahasa dapat kita sebut juga sebagai majas.
Dalam
penggunaannya, gaya bahasa berfungsi untuk menjelaskan atau
menggambarkan
sesuatu dengan menggunakan kalimat tertentu yang mengandung
makna kiasan
(bukan makna sebenarnya). Hal tersebut terjadi karena adanya
perubahan makna
dari sebelumnya merupakan makna sesungguhnya, namun
pengarang
mengisyaratkan atau menganalogikannya sehingga terlihat sebagai
makna
konotasi (kiasan). Ketika pengarang tersebut melukiskan suatu
gambaran atau
keadaan dengan gaya bahasa akan menimbulkan efek imajinatif
serta memberikan
pesan dan kesan estetis di benak pembaca sehingga membuat
tulisan tersebut jauh
lebih berkualitas.
A.3. Gaya Bahasa Analogi
Keraf (2007: 136-137) menggunakan istilah gaya bahasa kiasan
untuk
menunjukkan gaya bahasa yang dibentuk berdasarkan perbandingan
atau
persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain,
berarti
mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara
kedua hal
tersebut. Pada mulanya bahasa kiasan berkembang dari analogi.
Kata analogi
dipergunakan baik dengan pengertian kuantitatif maupun
kualitatif. Dalam
pengertian kuantitatif, analogi diartikan sebagai kemiripan atau
relasi identitas
antara dua pasangan istilah berdasarkan sejumlah besar ciri yang
sama. Sedangkan
dalam pengertian kualitatif, analogi menyatakan kemiripan
hubungan sifat antara
-
20
dua perangkat istilah. Dalam arti yang lebih luas ini, analogi
lalu berkembang
menjadi kiasan.
Jika analogi berkembang menjadi bahasa kiasan, itu berarti
hubungan
analogi tersebut dapat membentuk sebuah metafora. Seperti yang
diungkapkan
oleh Fromilhague (2005: 56-59), la métaphore est fondée sur une
relation
d’analogie: « un lion » pour « un homme courageux ». On crée une
relation
d’analogie entre des référents distincts. Metafora dibentuk
melalui sebuah
hubungan analogi, sebagai contoh misalnya: un lion untuk
menggambarkan un
homme courageux, lelaki pemberani diibaratkan sebagai seekor
singa. Hubungan
analogi diciptakan dengan melihat acuan yang berbeda, pada
dasarnya seekor
singa dan seorang manusia adalah dua sosok yang berbeda, namun
dengan
menggunakan gaya bahasa analogi ini kita berusaha untuk mencari
persamaan
dari kedua hal yang berbeda. Singa adalah hewan buas yang kita
kenal sebagai
‘raja hutan’, raja dari seluruh hewan, oleh karena itu kita
dapat menganalogikan
lelaki pemberani seperti ‘seekor singa’.
Menurut Tjahjono (1988: 201), sesuai dengan namanya gaya bahasa
jenis
ini berarti gaya bahasa yang berusaha membuat ungkapan dengan
cara
memperbandingkan suatu hal atau keadaan dengan hal atau keadaan
yang lain.
Berdasarkan pernyataan dari beberapa tokoh tersebut, terlihat
bahwa gaya bahasa
analogi merupakan gaya bahasa kiasan, atau kita dapat
menyebutkan bahwa
payung utama dari gaya bahasa ini adalah metafora. Gaya bahasa
analogi
mencoba untuk menghubungkan kedua hal yang berbeda dengan
berusaha
mencari persamaan diantara kedua hal tersebut.
-
21
Meskipun gaya bahasa analogi seringkali hanya disebut sebagai
metafora,
dalam perkembangannya gaya bahasa jenis ini dibagi lagi ke dalam
beberapa
ragam bentuk. Menurut Satoto (2012: 155), pengklasifikasian,
pengkategorian
atau pengelompokan gaya bahasa tidak ada aturan standardnya.
Tiap-tiap penulis
berbeda antara yang satu dengan yang lain, sesuai dengan dasar
atau sudut mana
mereka memandangnya.
Di antara berbagai macam gaya bahasa yang memiliki kemiripan
fungsi
yaitu menganalogikan antara dua hal, peneliti akan membatasi
dengan hanya
mengambil tiga gaya bahasa, diantaranya adalah metafora itu
sendiri sebagai yang
utama, personifikasi (metafora yang diberikan sifat insani
karena pebanding yang
merupakan benda mati dibuat seolah-olah dapat mengerjakan suatu
hal layaknya
manusia) dan alegori (metafora yang diperluas karena kata yang
bersifat alegori
mengandung makna yang luas yaitu dapat bermakna konotasi dan
juga dapat
bermakna literal). Untuk mengetahui perbedaan dari metafora,
personifikasi dan
alegori, akan diuraikan dalam pembahasan sebagai berikut:
A.3.1. Metafora
Suatu gaya bahasa kerapkali pula menambahkan kekuatan pada
suatu
kalimat. Metafora misalnya, dapat menolong seorang pembicara
atau penulis
melukiskan suatu gambaran yang jelas melalui komparasi atau
kontras. Metafora
berasal dari bahasa Yunani metaphora yang berarti ‘memindahkan‘;
dari meta ‘di
atas; melebihi’ + pherein ‘membawa’. Metafora membuat
perbandingan antara
dua hal atau benda untuk menciptakan suatu kesan mental yang
hidup walaupun
tidak dinyatakan secara explisit dengan penggunaan kata-kata
seperti, ibarat, bak,
-
22
sebagai, umpama, laksana, penaka, serupa seperti pada
perumpamaan, ungkap
Dale dalam Tarigan (1985: 15).
Metafor (Minderop, 2010: 85) adalah suatu gaya bahasa yang
membandingkan satu benda dengan benda lainnya secara langsung
yang dalam
bahasa Inggris menggunakan to be. Dalam bahasa Indonesia tidak
ada to be dan
bisa digunakan secara langsung, contoh: ‘kehidupan ini binatang
lapar’. Binatang
lapar merupakan metafor kehidupan artinya kehidupan yang rakus
dan ganas.
Sama halnya dengan Dale, definisi menurut Minderop ini
memperlihatkan bahwa
metafora adalah salah satu jenis gaya bahasa analogi yang
berusaha
membandingkan kedua hal secara langsung tanpa menggunakan kata
perangkai
bagai, seperti, ibarat, laksana, bak, dan lain sebagainya
seperti pada gaya bahasa
simile.
Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling
singkat,
padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan: yang
satu adalah suatu
kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi obyek; dan yang
satu lagi
merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita
menggantikan yang
belakangan itu menjadi yang terdahulu tadi (Tarigan, 1985: 15).
Maksudnya
adalah metafora dengan jelas membuat perbandingan secara
singkat, kemudian
kedua ide atau gagasan (hal yang dibandingkan dengan
pembandingnya)
diperlihatkan secara tersusun rapi dalam sebuah kalimat
tersebut.
Menurut Tjahjono (1988: 202), metafora adalah gaya bahasa
yang
memperbandingkan sesuatu hal atau keadaan dengan hal atau
keadaan lain yang
-
23
memiliki sifat yang sama. Metafora (Ratna, 2013: 183) dengan
demikian seolah-
olah tidak berstruktur, dua kata, dua konsep secara langsung
disandingkan. Lebih
lanjut menurut Scholes dengan mengadopsi pendapat Jakobson,
semua bentuk
kiasan pada dasarnya dapat disebutkan sebagai metafora. Sama
halnya seperti
yang dijelaskan Poerwadarminta dalam Tarigan (1985: 15),
metafora adalah
pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan
sebagai lukisan yang
berdasarkan persamaan atau perbandingan. Beberapa pengertian
dari tokoh-tokoh
tersebut menyebutkan bahwa metafora sebenarnya adalah kiasan,
yang artinya
metafora memiliki makna konotatif (bukan arti sesungguhnya).
Aristoteles menjelaskan dalam Ratna (2013: 182) kualitas
metaforis karya
seorang pengarang tergantung dari persepsi-persepsi intuitif
dalam menemukan
persamaan di antara ketidaksamaan. Persamaan yang dimaksudkan
bukan semata-
mata persamaan eksplisit, yang pada umumnya dengan menggunakan
kata-kata
penghubung, sebagai simile, tetapi membandingkannya secara
langsung sebagai
kata sanding. Hal ini berarti menunjukkan jika sebenarnya
membuat perbandingan
dalam metafora ini tergantung dari bagaimana masing-masing
pengarang
menganalogikan kedua gagasan. Dalam membuat kalimat metaforis,
pengarang
harus menemukan sebuah persamaan dari kedua hal yang
dianalogikan tersebut.
Menyambung penjelasan yang dikemukakan Aristoteles bahwa
metafora
berusaha menemukan persamaan di antara ketidaksamaan, Ullmann
dalam Starets
(2008: 132) pun membuat sebuah kesimpulan serupa dengan
menyatakan hal
sebagai berikut, on conjugue les deux notions en vertu de ce
qu’elles ont en
commun et on fait abstraction des différences. Dua konsep
digabungkan dengan
-
24
melihat persamaan yang dimilikinya dan mengabaikan perbedaan
yang ada. Ini
membuktikan bahwa prinsip utama dalam metafora adalah mencari
persamaan
antara dua hal yang dapat dijadikan sebuah analogi.
Luxemburg, dkk. dalam Ratna (2013: 191) menggunakan empat
istilah;
yaitu: pembanding, pebanding (memiliki ekuivalensi dengan
penanda dan
petanda), motif, dan kata perangkai. Dalam kalimat ‘Anak itu
bodoh seperti
kerbau’, ‘anak itu’ adalah pebanding, ‘kerbau’ adalah
pembanding, ‘bodoh’
merupakan motif, sedangkan ‘seperti’ dianggap sebagai perangkai.
Berbeda
dengan perumpamaan, seringkali motif tidak disebutkan sehingga
kalimat
berbunyi ‘Anak itu kerbau’. Apabila pebandingnya merupakan benda
mati,
sedangkan pembandingnya benda hidup, maka disebut majas
personifikasi. Ia
juga menambahkan bahwa metafora dapat diciptakan melalui kata
benda, kata
kerja, kata sifat, dan kata-kata lain, metafora juga tercipta
melalui metafora-
metafora itu sendiri.
Begitu pula Fromilhague (2005: 73-75) menyebutkan metafora
sebagai
perbandingan yang terdiri dari pebanding (un comparé),
pembanding (un
comparant), dan motif (un motif):
La métaphore et la comparaison canoniques sont formées d’un
comparé (Cé = le thème), d’un comparant (Ca = le référent
virtuel),
et d’un motif (Mot.), dont le signifié comporte des sèmes
attribués au
Cé et au Ca (propriétés logiques communes aux deux). Le motif
n’est
pas toujors exprimé. Dans la métaphore, le Ca a toujours un
sens
figuré. Avec la métaphore, la représentation du Cé s’enrichit de
la
présence du Ca.
-
25
Metafora dan perbandingan pada umumnya dibentuk dari pebanding
(Cé:
tema), pembanding (Ca: acuan yang tidak nyata), dan sebab
(Mot.), yang arti atau
maknanya secara logika mengacu pada Cé dan Ca. Sama halnya
dengan
Luxemburg, dkk. Fromilhague juga mengemukakan bahwa metafora
terdiri dari
pebanding (hal yang dibandingkan), pembanding (hal yang menjadi
pembanding
dari yang dibandingkan selalu bersifat konotatif), dan motif
(sebab/alasan). Di
dalam sebuah metafora, Motif tidak selalu diungkapkan, Ca selalu
bermakna
kiasan dan kehadiran Ca berfungsi untuk memperkaya kualitas Cé.
Keseluruhan
unsur pembangun metafora ini kemudian akan membangun sebuah
analogi.
Analogi yang diciptakan dalam metafora tergantung dari presepsi
masing-
masing pembaca, seperti yang diungkapkan Hurley (2010: 25):
Quant à la métaphore, une figure omniprésente en littérature,
Paul
Ricoeur, qui l’étudie, décrit aussi la série de décisions que le
lecteur
doit prendre pour que se produise l’effet métaphorique. Cette
série
d’opérations intellectuelles fait appel non seulement aux
capacités
cognitives du lecteur (auditeur) mais également à ses sentiments
et à
son imagination.
Metafora, merupakan sebuah kiasan yang selalu ada dalam karya
sastra,
Paul Ricoeur yang mempelajarinya pun menggambarkan bahwa pembaca
harus
mengambil serangkaian keputusan agar dapat menciptakan efek
metaforis.
Rangkaian proses yang melibatkan kecerdasan intelektual ini
tidak hanya
menuntut kemampuan kognitif pembaca (pendengar), tetapi juga
membutuhkan
perasaan dan imajinasi.
-
26
Maksud dari pendapat yang dikemukakan Hurley ini adalah bahwa
untuk
membangun analogi pada metafora diperlukan kemampuan intelektual
dari
pembaca itu sendiri untuk menginterpretasikan gaya bahasa
metafora. Pembaca
diharuskan menggunakan kecerdasan, perasaan dan juga
imajinasinya agar dapat
membawa konteks dalam cerita menghasilkan efek metaforis. Oleh
karena itu,
efek metaforis yang ditimbulkan sangat bergantung dari presepsi
dari masing-
masing pembaca.
Selain itu, dalam artikel yang ditulis oleh Maribel González Rey
yang
berjudul Le rôle de la métaphore dans la formation des
expressions idiomatiques
diunduh melalui
http://cvc.cervantes.es/lengua/paremia/pdf/004/009_gonzalez.pdf
pada tanggal 5 Januari 2016, pukul 10.10, Lafleur mengungkapkan
bahwa unsur
metaforis terkandung dalam sebuah ungkapan atau idiom. Les EI
(expressions
idiomatiques) sont des métaphores. Salah satu ciri dari
expression idiomatique
adalah memiliki nilai metaforis, oleh karena itu ungkapan/idiom
dapat disebut
juga sebagai metafora.
Dari pernyataan-pernyataan yang telah dipaparkan, dapat
disimpulkan
bahwa metafora merupakan bahasa kiasan, yang menganalogikan
suatu hal
dengan hal lainnya yang berbeda. Secara langsung kedua hal
tersebut
disandingkan tanpa menggunakan kata perangkai (simile
tersembunyi), dan ketika
kita melihat keduanya dapat ditemukan kesamaan makna sebagai
akibat dari
perbandingan tersebut. Metafora biasanya terbentuk dari
pebanding dan
pembanding, pebanding adalah hal yang akan dibandingkan,
sedangkan
pembanding adalah hal yang bermakna kiasan yang merupakan
analogi dari
http://cvc.cervantes.es/lengua/paremia/pdf/004/009_gonzalez.pdf
-
27
pebanding. Kemampuan kognitif pembaca sangat berpengaruh untuk
memutuskan
apakah dalam karya sastra tersebut menggunakan analogi metafora
atau tidak.
Selain itu tidak lupa pula bahwa imajinasi sangat diperlukan
sehingga masing-
masing pembaca dapat menciptakan sendiri efek metaforis dalam
karya sastra
tersebut.
A.3.2. Personifikasi
Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa gaya bahasa
analogi
sebenarnya berawal dari metafora, namun mengacu pada penjelasan
luxemburg,
dkk. dalam Ratna (2013: 191), bahwa apabila yang menjadi
pebanding adalah
benda mati dan pembanding adalah benda hidup maka metafora ini
disebut
sebagai personifikasi. Personifikasi berasal dari bahasa Latin
persona (orang,
pelaku, aktor, atau topeng yang dipakai dalam drama) + fic
(membuat). Karena
itulah maka apabila kita mempergunakan gaya bahasa
personifikasi, kita
memberikan ciri-ciri atau kualitas, yaitu kualitas pribadi orang
kepada benda-
benda yang tidak bernyawa ataupun kepada gagasan-gagasan, Dale
dalam Tarigan
(1985: 17).
Selanjutnya, Dodson (2008: 30) mengungkapkan pula hal serupa
seperti
Dale mengenai pengertian personifikasi. Secara sederhana,
personifikasi
didefinisikan sebagai pemberian karakteristik manusia pada
berbagai benda tidak
bernyawa atau konsep abstrak. Kedua definisi tentang gaya bahasa
personifikasi
tersebut secara tidak langsung menjelaskan maksud dari
Luxemburg, dkk. bahwa
metafora yang apabila pembandingnya diberikan sifat-sifat insani
atau dapat
-
28
bertindak layaknya makhluk hidup maka metafora tersebut disebut
sebagai
personifikasi.
Menurut Keraf (2007: 140-141), personifikasi atau prosopopoeia
adalah
semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati
atau
barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki
sifat-sifat kemanusiaan.
Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari
metafora, yang
mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara
seperti manusia.
Seperti halnya dengan simile dan metafora, personifikasi
mengandung suatu
unsur persamaan. Kalau metafora (sebagai istilah umum) membuat
perbandingan
dengan suatu hal yang lain, maka dalam penginsanan hal yang lain
itu adalah
benda-benda mati yang bertindak dan berbuat seperti manusia,
atau perwatakan
manusia. Pokok yang dibandingkan itu seolah-olah berwujud
manusia, baik dalam
tindak-tanduk, perasaan, dan perwatakan manusia lainnya.
Definisi dari Keraf
secara jelas menyebutkan bahwa personifikasi pada awalnya adalah
metafora,
namun metafora tersebut memiliki ciri khusus yaitu membuat
benda-benda mati
dapat berprilaku, berperasaan dan bertindak bagai manusia.
Menurut Lausberg dalam Dodson (2008: 30), la personnification
consiste à
attribuer à une chose inanimée les sentiments, le langage, etc.
d’une personne.
Maksudnya adalah, personifikasi memberikan kepada sesuatu yang
tidak
bernyawa berbagai perasaan, bahasa, dan lain-lain yang dimiliki
seseorang
(manusia). Jadi, bukan hanya tindakan, melainkan perasaan dan
sebuah ucapan
-
29
yang biasa dilakukan manusia pun jika diberikan kepada suatu
benda mati maka
konsep personifikasi berarti telah dituangkan ke dalam kalimat
tersebut.
Lebih lanjut lagi Tjahjono (1988: 202) menjelaskan,
personifikasi adalah
gaya bahasa yang menganggap benda-benda tak bernyawa mempunyai
kegiatan,
maksud, dan nafsu seperti dimiliki oleh manusia. Dengan
perkataan lain,
penginsanan atau personifikasi, ialah jenis gaya bahasa yang
melekatkan sifat-
sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang
abstrak, jelas
Tarigan (1985: 17). Minderop (2010: 88) mengungkapkan bahwa
personifikasi
adalah suatu proses penggunaan karakteristik manusia untuk
benda-benda non-
manusia, termasuk abstraksi atau gagasan.
Jadi, dapat disimpulkan suatu pemahaman bahwa personifikasi
merupakan
metafora yang diberikan sifat-sifat insani. Personifikasi
memiliki ciri khas utama
yaitu suatu benda mati atau ide yang abstrak digambarkan seperti
memiliki sifat
manusia, atau dianalogikan seperti dapat melakukan suatu
kegiatan atau tindakan
layaknya manusia.
A.3.3. Alegori
Sama halnya dengan personifikasi, gaya bahasa alegori
merupakan
perluasan dari metafora. Seperti yang diungkapkan Dodson (2008:
35), alegori
dapat didefinisikan sebagai metafora yang diperluas dalam
keseluruhan kalimat.
Menurut Tjahjono (1988: 206), alegori adalah gaya bahasa yang
dipakai dalam
rangkaian tuturan secara keseluruhan. Artinya hampir semua
kalimat dalam
tuturan itu memakai gaya bahasa secara utuh dan padu. Maksudnya
adalah alegori
-
30
ini secara keseluruhan dalam kalimat mengandung suatu makna atau
pesan moral
yang ingin disampaikan. Hanya saja penyampaian makna atau pesan
tersebut
menggunakan sebuah analogi yang panjang, oleh karena itu disebut
sebagai
metafora yang diperluas.
Tarigan (1985: 24) menjelaskan alegori berasal dari bahasa
Yunani
allegorein yang berarti berbicara secara kias; diturunkan dari
allos ‘yang lain’ +
agoreuein ‘berbicara’. Alegori adalah cerita yang dikisahkan
dalam lambang-
lambang; merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan,
tempat atau
wadah obyek-obyek atau gagasan-gagasan yang diperlambangkan.
Jika Tarigan mengatakan alegori sebagai objek atau gagasan
yang
diperlambangkan, maka Minderop menggunakan istilah simbol.
Simbol adalah
sesuatu semacam tanda (lukisan, perkataan, lencana, dan
sebagainya) yang
menyatakan sesuatu hal yang mengandung maksud tertentu.
Misalnya: matahari
lambang pria, bulan lambang perempuan, mawar merah lambang gadis
cantik, dan
lain-lain, Minderop (2010: 246).
Fromilhague (2005: 119) menjelaskan bagaimana bentuk gaya
bahasa
alegori. Le récit ou la description allégorique ont une forme
concrète, dont seule
une réinterprétation analogique permet de saisir la portée
symbolique. Narasi
atau deskripsi alegoris memiliki bentuk konkret yang hanya
dapat
diinterpretasikan kembali secara analogi dengan mempergunakan
simbol.
Maksudnya adalah gaya bahasa alegori biasa direpresentasikan
dalam bentuk
-
31
simbol. Sama halnya dengan metafora namun alegori digambarkan
dengan
lambang-lambang yang sudah diketahui secara umum.
Seringkali kita menemui kesulitan dalam membedakan antara
metafora dan
alegori. Fontanier dalam Ricœur (1975: 81-82) mengungkapkan
perbedaan antara
keduanya jika dilihat berdasarkan maksud penyampaiannya. La
métaphore, même
continuée (qu'il appelle allégorisme), n'offre qu'un seul vrai
sens, le sens figuré,
tandis que l'allégorie « consiste dans une proposition à double
sens, à sens littéral
et à sens spirituel tout ensemble ». Pernyataan tersebut dapat
diinterpretasikan
bahwa jika metafora hanya memberikan sebuah makna, yakni makna
kiasan.
Maka alegori memiliki dua makna, alegori dapat bermakna harfiah
(arti
sebenarnya) dan juga bermakna spiritual (mengandung pesan moral)
secara
bersamaan.
Wellek dan Warren (2013: 220) juga menjelaskan perbedaan
antara
metafora dan simbol, yang pertama harus dicatat adalah simbol
selalu secara
terus-menerus menampilkan dirinya. Suatu citra dapat
dibangkitkan melalui
metafora. Tetapi jika citra itu terus-menerus muncul sebagai
suatu perwujudan
yang mewakili sesuatu, citra itu pun menjadi simbol dan bahkan
dapat menjadi
bagian dari sistem yang simbolis, sistem yang mengandung
mitos.
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dipaparkan sebelumnya,
dapat
disimpulkan bahwa alegori pada prinsipnya merupakan gaya bahasa
turunan dari
metafora yang membuat perbandingan atau analogi suatu hal, ide,
atau gagasan
dengan menggunakan simbol-simbol umum yang sudah kita ketahui.
Oleh sebab
-
32
itu alegori disebut juga sebagai metafora yang diperluas karena
perbandingan atau
analogi yang digunakan adalah berupa sebuah lambang atau simbol
yang sudah
dikenal secara luas maknanya.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian gaya bahasa analogi
ini, adalah
penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati (2005), Jurusan Bahasa
Prancis
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, dengan
judul penelitian
“Gaya Bahasa Analogi pada Teks Iklan Majalah Elle”. Metode yang
digunakan
pada penelitian tersebut adalah deskriptif kualitatif melalui
studi kepustakaan.
Data-data penelitian berupa teks pada iklan media cetak yang
diperoleh dari
majalah Prancis Elle edisi tahun 2004 sebagai sumber data. Fokus
masalah dalam
penelitian ini yaitu gaya bahasa analogi, dengan tiga jenis gaya
bahasa analogi
sebagai subfokus antara lain gaya bahasa perbandingan, metafora,
dan
personifikasi. Kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan
teori Pierre Guiraud. Hasil penelitian menunjukkan dari 20 iklan
yang diteliti
terdapat 16 kalimat dan 9 frase yang mengandung gaya bahasa
analogi.
Penelitian ini dengan penelitian yang ditulis oleh Rachmawati
memiliki
keterkaitan karena sama-sama membahas mengenai gaya bahasa
analogi. Namun,
perbedaan penelitian yang dibuat oleh Rachmawati dengan
penelitian ini adalah
gaya bahasa analogi yang diteliti pada penelitian ini terdiri
dari metafora,
personifikasi, dan alegori. Selanjutnya pada penelitian ini,
peneliti mengupas dan
menganalisis karakteristik khusus yang dapat membedakan ketiga
jenis gaya
bahasa tersebut dengan mengacu pada teori Fromilhague dan
Lausberg. Sumber
-
33
data yang digunakan pada penelitian ini merupakan sebuah roman
karya Victor
Hugo yang berjudul Légende du beau Pécopin et de la belle
Bauldour.
C. Kerangka Berpikir
Untuk dapat menjawab rumusan masalah yang dikemukakan dalam
penelitian yaitu adakah karakterstik khusus seperti apakah yang
dapat
membedakan gaya bahasa analogi yang terdiri dari metafora,
personifikasi dan
alegori dalam roman Légende du beau Pécopin et de la belle
Bauldour karya
Victor Hugo, peneliti akan membuat rancangan kerangka berpikir
untuk
memudahkan proses penelitian agar lebih terstruktur secara
jelas.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa metafora,
personifikasi dan
alegori merupakan jenis gaya bahasa yang memiliki kemiripan
karena ketiganya
masuk dalam satu kategori fungsi, yaitu analogi. Artinya tiga
gaya bahasa tersebut
mempunyai fungsi yang sama, menganalogikan atau membandingkan
satu hal
dengan hal lainnya, berarti ketiganya memiliki pebanding
(sesuatu yang akan
dibandingkan) dan pembanding (hal yang menjadi pembanding dari
yang
dibandingkan). Akan tetapi jika dilihat secara lebih mendalam,
tentu saja ada hal
yang menjadi pembeda di antara ketiga gaya bahasa tersebut.
Berikut adalah hasil
sintesis mengenai ciri-ciri atau karakteristik gaya bahasa
analogi (metafora,
personifikasi dan alegori) berdasarkan teori dari beberapa ahli
(Fromilhague dan
Lausberg):
-
34
Bagan 1
Konsep Kerangka Berpikir
Melalui bagan tersebut, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa
analogi
walaupun memiliki persamaan yaitu terdiri atas pebanding
(comparé) dan
pembanding (comparant), namun di antara ketiganya terdapat ciri
khas yang dapat
membedakan satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut akan dikupas
melalui
kutipan dalam roman Légende du beau Pécopin et de la belle
Bauldour. Kutipan
pada roman yang digunakan dalam penelitian ini akan
mendeskripsikan
karakteristik yang membedakan antara metafora, personifikasi dan
alegori
berdasarkan teori utama.
Kutipan dalam roman Légende du beau Pécopin et de la belle
Bauldour karya Victor Hugo yang mengandung unsur analogi
(metafora, personifikasi dan alegori)
Metafora
- Perbandingan langsung tanpa kata perangkai
- Membandingkan dua hal yang memiliki sifat
serupa
- Selalu bermakna kiasan - Dapat berupa ungkapan /
idiom.
Personifikasi
- Pebanding: benda mati, ide abstrak, gagasan atau
konsep
- Pembanding: manusia - Benda mati, ide abstrak,
gagasan atau konsep
digambarkan seolah-
olah seperti manusia.
Alegori
- Membuat analogi dalam bentuk lambang atau
simbol
- Menggambarkan ide
abstrak dalam bentuk
sebuah benda konkret.