27 BAB II KEMITRAAN INDONESIA-AUSTRALIA MENANGGAPI ISU PERUBAHAN IKLIM Kolaborasi kemitraan antara Indonesia dan Australia dalam menangani perubahan iklim menggunakan dasar mekanisme REDD+. Mekanisme tersebut mengkhususkan upaya pengurangan emisi GRK melalui penanganan hutan secara lestari. Istilah REDD+ mucul pertama kali pada momentum COP 13 di Bali tahun 2007 di mana pembahasan mengenai pengganti Protokol Kyoto mulai dibicarakan. Urgensi pengurangan emisi GRK melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan dimulai sejak adanya penelitian yang membuktikan bahwa deforestasi telah menyumbang emisi sebesar 20% dari total jumlah emisi di dunia. Beragam permasalahan yang disebabkan oleh perubahan iklim semakin meresahkan masyarakat dunia. Beberapa dampak perubahan iklim yang meresahkan masyarakat Indonesia adalah seperti bergesernya masa tanam petani. Cuaca yang tidak menentu menyulitkan petani menentukan waktu yang tepat untuk mengelola lahannya. Kenaikan gelombang air laut juga telah membuat nelayan menghadapi cuaca yang tidak menentu sekaligus gelombang tinggi yang ada di lautan. Perubahan angin barat yang semula berlangsung selama empat bulan, sekarang bisa sampai tujuh bulan sehingga membuat gelombang yang lebih tinggi dan menyebabkan perahu-perahu milik nelayan yang memiliki ukuran lebih
33
Embed
BAB II KEMITRAAN INDONESIA-AUSTRALIA MENANGGAPI ISU ...eprints.umm.ac.id/36187/3/jiptummpp-gdl-marisamift-50066-3-babii.pdf · Isu lingkungan hidup semakin berkembang karena dipengaruhi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
27
BAB II
KEMITRAAN INDONESIA-AUSTRALIA MENANGGAPI ISU
PERUBAHAN IKLIM
Kolaborasi kemitraan antara Indonesia dan Australia dalam menangani
perubahan iklim menggunakan dasar mekanisme REDD+. Mekanisme tersebut
mengkhususkan upaya pengurangan emisi GRK melalui penanganan hutan secara
lestari. Istilah REDD+ mucul pertama kali pada momentum COP 13 di Bali tahun
2007 di mana pembahasan mengenai pengganti Protokol Kyoto mulai
dibicarakan. Urgensi pengurangan emisi GRK melalui pencegahan deforestasi dan
degradasi hutan dimulai sejak adanya penelitian yang membuktikan bahwa
deforestasi telah menyumbang emisi sebesar 20% dari total jumlah emisi di dunia.
Beragam permasalahan yang disebabkan oleh perubahan iklim semakin
meresahkan masyarakat dunia. Beberapa dampak perubahan iklim yang
meresahkan masyarakat Indonesia adalah seperti bergesernya masa tanam petani.
Cuaca yang tidak menentu menyulitkan petani menentukan waktu yang tepat
untuk mengelola lahannya. Kenaikan gelombang air laut juga telah membuat
nelayan menghadapi cuaca yang tidak menentu sekaligus gelombang tinggi yang
ada di lautan. Perubahan angin barat yang semula berlangsung selama empat
bulan, sekarang bisa sampai tujuh bulan sehingga membuat gelombang yang lebih
tinggi dan menyebabkan perahu-perahu milik nelayan yang memiliki ukuran lebih
28
besar tidak bisa melaut. Selain itu, berbagai macam penyakit baru juga terus
bermunculan akibat cuaca yang semakin panas.35
Indonesia telah mengalami dampak dari perubahan iklim dan mulai melihat
isu tersebut sebagai persoalan yang tidak hanya penting untuk ditangani namun
juga syarat untuk kelangsungan hidup manusia di bumi. Kemitraan IAFCP
menjadi salah satu jembatan bagi Indonesia untuk mencapai target pengurangan
emisinya sejumlah 26% dengan usaha sendiri atau sejumlah 41% jika mendapat
bantuan dari tingkat internasional pada tahun 2020.36 Kemitraan IAFCP juga
membantu finansial Indonesia untuk melestarikan lingkungan hidup, khususnya
hutan-hutan Indonesia karena keterbatasan anggaran yang dimiliki Indonesia
untuk bidang lingkungan hidup.37
1.1 Isu Perubahan Iklim dalam Konstelasi Global
2.1.1 Perkembangan Isu Lingkungan Hidup Global
Isu lingkungan hidup mulai mendapat perhatian dalam tataran global sejak
pemahaman tentang keamanan (security) terus mengalami perkembangan.
Perspektif tradisionalis awalnya membatasi masalah keamanan hanya seputar
35 Pebriansyah Ariefana, Dampak Perubahan Iklim di Indonesia yang Sudah Terasa, suara.com,
diakses dalam http://www.suara.com/news/2015/10/30/060600/dampak-perubahan-iklim-di-
indonesia-yang-sudah-terasa (1/9/2016, 11:48 WIB). 36 Komitmen tersebut diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri Pertemuan
Puncak G-20 di Pittsburgh pada 25 September 2009. Lebih lanjut baca: Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca, Op. Cit. 37 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia untuk bidang lingkungan hidup
tiap tahun memang selalu meningkat, namun tidak lebih besar dari anggaran yang disediakan
untuk bidang lainnya seperti bidang ekonomi dan pelayanan umum. Tercatat pada tahun 2008,
APBN untuk lingkungan hidup sejumlah 5,315,1 Triliun dari total 693.356,0 Triliun. Sampai
dengan penulisan penelitian ini tahun 2016, APBN untuk bidang lingkungan hidup hanya 1% dari
total APBN berarti sejumlah 12,1 Triliun dari total 1.325,6 Triliun. Direktorat Penyusunan APBN,
Direktorat Jenderal Anggaran, Informasi APBN 2016, diakses dalam
militer dan perang. Sedangkan perspektif modern telah memperluas cakupan
keamanan sehingga mencakup pula masalah ekonomi, lingkungan, dan
kemasyarakatan.38
Perkembangan selanjutnya, Jaap de Wilde dari mahzab Copenhagen School
menyatakan semenjak berakhirnya Perang Dingin, rujukan keamanan bagi
komunitas internasional tidak lagi pada keamanan militer, namun kepada
keamanan manusia (human security).39 Isu keamanan manusia terus menjadi
perhatian hingga akhirnya United Nations Development Programme (UNDP)
mengeluarkan laporan tahun 1994 yang menjabarkan tujuh dimensi sebagai
pertimbangan menciptakan keamanan manusia, yaitu keamanan ekonomi, pangan,
kesehatan, lingkungan, individu, komunitas, dan politik.40
Keamanan lingkungan merupakan isu yang kian mendapat sorotan dari
masyarakat internasional. Urgensi keamanan lingkungan disebabkan karena
penurunan kualitas lingkungan hidup di bumi. Isu lingkungan hidup semakin
berkembang karena dipengaruhi oleh perkembangan politik internasional dan
berbagai pertemuan internasional yang membahas tentang isu tersebut. Pertemuan
internasional yang membahas isu lingkungan dibagi menjadi tiga tahapan. Tahap
pertama membahas seputar isu lingkungan hidup dimulai dengan pelaksanaan
United Nations Conference on Human Environment (UNCHE) sejak tahun 1972
di Stockholm Swedia. Tahap kedua membahas tentang pembangunan
berkelanjutan yang dimulai tahun 1987 pada World Comission on Environment
38 Ganewati Wuryandari, Op. Cit., hal. 17. 39 Ibid., hal. 18. 40 Monica den Boer dan Jaap de Wilde, 2008, The Vability of Human Security, Amsterdam,
Amsterdam University Press dalam Ganewati Wuryandari, Ibid.
30
and Development (WCED). Selanjutnya pada tahap ketiga membahas tentang isu
pemanasan global dan perubahan iklim yang sudah mulai dibahas di sela-sela
tahap kedua sejak tahun 1988 pasca terbentuknya Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC)41.
Pertemuan pada tahap pertama mengenai lingkungan hidup telah berhasil
menempatkan posisi isu lingkungan hidup pada tingkatan utama. Namun, isu
tersebut masih belum mengaitkan isu lingkungan dengan pembangunan ekonomi
di tingkat global. Pada masa itu, komunitas internasional hanya memfokuskan
pada perlindungan lingkungan hidup, manusia yang hidup di dalamnya, dan
makhluk hidup lain yang mendukung kehidupan manusia. Padahal, aspek
pembangunan ekonomi juga memiliki pengaruh dalam upaya pelestarian
lingkungan hidup.
Pembahasan mengenai pembangunan dengan tetap memperhatikan
keamanan lingkungan baru dibahas pada konferensi internasional tahap kedua.
Pada konferensi WCED di Oslo, Norwegia tahun 1987 telah muncul sebuah
laporan yang pertama kali merumuskan konsep pembangunan berkelanjutan atau
sering disebut laporan Brundtland Commission. Konsep tersebut dikeluarkan
untuk melindungi hak-hak generasi mendatang dalam menikmati sumber daya
alam. Laporan tersebut juga mengajak masyarakat internasional untuk
berpedoman pada konsep keberlanjutan dalam mengelola lingkungan maupun
mengeksploitasi sumber daya alam.42
41 IPCC merupakan badan yang dibentuk oleh World Meteorological Organization (WMO) dan
United Nations Environment Programme (UNEP) pada tahun 1988 di Geneva, Swiss. Lebih lanjut
baca di Ganewati Wuryandari, Ibid., hal. 38-40. 42 United Nations Headquarters, Op. Cit.
31
Permasalahan lingkungan hidup semakin kompleks, di tengah pembahasan
mengenai pembangunan berkelanjutan, pembahasan isu lainnya seperti perubahan
iklim sudah mulai dibicarakan oleh komunitas internasional. Dimulai dengan
digelarnya Konvensi Viena tahun 1985 yang membahas tentang pembatasan emisi
Gas Rumah Kaca (GRK) untuk melakukan perlindungan terhadap ozon.
Selanjutnya, tahun 1987 dibentuk Protokol Montreal yakni sebuah traktat
internasional untuk melindungi lapisan ozon dengan menghilangkan beberapa zat
yang merusak lapisan ozon. Bukti ilmiah menyatakan fenomena kebocoran
lapisan ozon disebabkan oleh beberapa zat seperti Chloro Fluoro Carbons
(CFC).43
2.1.2 Perkembangan Isu Perubahan Iklim
Perhatian terhadap emisi karbon sudah dimulai sejak tahun 1960, sejak
negara-negara industri menaikkan ketinggian cerobong asap industri untuk
membuang polutan ke atmosfer. Hal tersebut dianggap sebagai masalah politik
lingkungan hidup global (global environmental politics) karena menyebabkan
polusi udara sampai lintas batas negara. Swedia sebagai salah satu negara yang
terkena dampak membuktikan bahwa salah satu danau miliknya tercemar akibat
emisi dari negara-negara industri di kawasan Eropa. Swedia juga merupakan
negara yang menginisiasi konferensi internasional pertama yang membahas
43 Akhir tahun 1980an, terjadi kerusakan lapisan ozon bumi secara cepat dan mendadak yang
disinyalir merupakan ulah dari manusia. Lepasnya Chloro Fluoro Carbons (CFC) ke atmosfer
yang digunakan dalam alat semprot aerosol, sebagai zat pendingin dalam almari es, pendingin
ruangan, dalam insulasi busa, serta sebagai zat pelarut dalam industri-industri elektronika dan
komputer adalah penyebab utama kerusakan lapisan ozon bumi. Lebih lanjut baca Lynn H. Miller,
2006, Agenda Politik Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 487-488.
32
tentang lingkungan hidup atau disebut UNCHE pada tahun 1972 di Stockholm,
Swedia.44
Keberadaan IPCC yang dibentuk oleh World Meteorological Organization
(WMO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) semakin
memperkuat keberadaan isu perubahan iklim di tataran global. Tujuan
dibentuknya IPCC adalah untuk mengevaluasi besaran dan perubahan iklim,
mengalkulasi dampak dan kerugian yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, dan
merumuskan strategi untuk merespons perubahan iklim. Berdasarkan laporan
IPCC yang pertama, berhasil dikeluarkan pengesahan terhadap Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau disebut United Nation
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai hasil Konferensi
Rio tahun 1992.45
Laporan IPCC kedua dikeluarkan untuk digunakan sebagai masukan pada
Conference of Parties (COP)46 3 tahun 1997 di Kyoto, Jepang yang menghasilkan
Protokol Kyoto. Protokol Kyoto merupakan kesepakatan yang berisikan tentang
desakan bagi negara-negara maju untuk menurunkan emisi GRK rata-rata 5%
dibanding dengan emisi tahun 1990 selama lima tahun dari 2008-2012.47
Sedangkan laporan IPCC ketiga dikeluarkan tahun 2001 yang menyatakan
44 Gareth Porter and Janet Welsh Brown, 1991, Global Environmental Politics, Central Ave:
Westview Press, hal. 72. 45 Ibid., hal. 39 46 Conference of Parties (COP) adalah pertemuan negara-negara yang meratifikasi UNFCCC. 47 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siaran Pers, diakses dalam
kepada situasi yang lebih baik dan kondusif dibanding sebelumnya.68 Salah satu
isu global yang menjadi fokus utama pada masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono adalah isu lingkungan hidup, khususnya isu pemanasan global dan
perubahan iklim.69
Penjelasan sebelumnya telah dipaparkan bahwa Indonesia pada tahun 2007
berkesempatan menjadi tuan rumah COP 13 di Bali. Pada waktu itu, isu
perubahan iklim mulai mendapat perhatian dari negara-negara yang sebelumnya
bersikukuh beranggapan bahwa perubahan iklim adalah kejadian alamiah yang
tidak berhubungan dengan aktivitas manusia. COP kali itu mendapat sambutan
luar biasa dari seluruh masyarakat internasional, terbukti dengan kehadiran lebih
dari 12.000 orang dari 18 negara yang terdiri atas delegasi pemerintahan,
organisasi antar pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional,
serta media internasional.70
Setelah pelaksanaan konferensi tersebut, muncul sebuah mekanisme baru
yang dirancang untuk pengurangan emisi melalui penanganan deforestasi, yakni
REDD+. Indonesia dengan cepat mengambil keputusan untuk menguji coba
REDD+ yakni DA REDD+ yang diyakini mampu menurunkan emisi dalam
jumlah yang besar. Kemudian, Indonesia juga mengeluarkan beberapa peraturan
perundang-undangan tentang REDD+, antara lain:
68 Beberapa sasaran politik luar negeri Indonesia yang menjadi fokus utama pada masa
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono adalah, 1) meningkatkan peranan Indonesia dalam
hubungan internasional, 2) mengikutsertakan Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia, 3)
pemulihan citra Indonesia, 4) meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional, 5) mendorong
terciptanya tatanan dan kerja sama ekonomi regional dan internasional yang lebih baik dalam
mendukung pembangunan nasional. Lebih lanjut baca Ganewati Wuryandari, Op. Cit., hal. 204. 69 Ibid. 70 Ibid., hal. 56.
48
3. Permenhut P. 68/ Menhut-II/2008 tentang DA Pengurangan Emisi Karbon
dari Deforestasi dan Degradasi Hutan.
Peraturan ini dibuat sebagai tindak lanjut untuk menguji coba REDD+ yang
telah disinggung pada COP 13. Usai digelarnya konferensi tersebut, Indonesia
merumuskan kebijakan yang berhubungan dengan pengurangan emisi karbon dari
deforestasi dan degradasi hutan. Keberadaan perundang-undangan tersebut juga
digunakan sebagai pembuka jalan untuk pelaksanaan DA REDD+ di Indonesia.
4. Permenhut P. 30/ Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi
dari Deforestasi dan Degradasi Hutan.
Selanjutnya, menteri kehutanan Indonesia juga mengeluarkan sebuah
peraturan yang berisikan langkah pengurangan emisi melalui penanganan
deforestasi. Peraturan tersebut juga menjelaskan terkait sistematika pelaksanaan
REDD+ yang masih dalam proses uji coba sehingga dalam pelaksanaannya masih
berupa kegiatan demonstrasi atau disebut DA REDD+.
Indonesia adalah negara pelopor penyelenggara DA-REDD+ pertama di
dunia melalui kemitraan IAFCP, yakni kemitraan Indonesia dengan Australia
untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Melalui IAFCP,
Indonesia bersama dengan Australia membuka proyek KFCP yang ditujukan
untuk pembelajaran dan uji coba mekanisme REDD+ yang diharapkan mampu
memberikan kontribusi pada proses penyebaran informasi tentang implementasi
mekanisme REDD+ di tataran internasional pada masa selanjutnya.
49
1.3 Australia dan Komitmen terhadap Perubahan Iklim
Tanggal 9 Maret 1950, P.C. Spender, yang waktu itu menjabat sebagai
Menteri Luar Negeri Australia menyatakan bahwa,
“Politik luar negeri sesuatu negeri pertama-tama dan selamanya harus
memperhatikan situasi geografis negeri tersebut. [Dan] kepentingan
kita pertama-tama dan selamanya adalah bagaimana mengamankan
tanah air kita, dan menjaga perdamaian di kawasan yang secara
geografis melingkungi negara kita.”71
Berdasarkan pernyataan dari Menteri Luar Negeri Australia tersebut, dengan
jelas ditegaskan bahwa dalam menentukan politik luar negeri, sebuah negara juga
mempertimbangkan letak geografis negara. Ditinjau dari letak geografisnya,
Australia berada di antara dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik. Sedangkan negara yang memiliki letak paling dekat dengan Australia
adalah Indonesia.72 Hubungan kedekatan antara Indonesia dan Australia sudah
terjalin sejak sebelum Indonesia merdeka. Walaupun hubungan keduanya hanya
sekadar mengetahui nama dan keberadaan, namun ternyata Australia merupakan
negara yang berada di posisi terdepan mendukung Indonesia saat memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia dari jajahan Belanda.73 Hubungan antara kedua negara
71 Hilman Adil, 1997, Kebijaksanaan Australia terhadap Indonesia 1962-1966: Studi Kasus
Keterlibatan Australia dalam Konflik Bilateral, Jakarta: Centre for Strategic and International
Studies (CSIS), hal. 2. 72 Trifia Astutik, 2015, Buku Pintar Atlas Indonesia-Dunia, Surabaya: Media Pustaka. 73 Dukungan masyarakat Australia bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia ikut berperan dalam
menghalangi kembalinya kolonialisme Belanda, dan menarik perhatian dunia terhadap
persengketaan yang sedang berlangsung, serta turut menciptakan kesempatan bagi
terkonsolidasinya Republik Indonesia. Setelah penolakan orang-orang Indonesia untuk bekerja
bagi Belanda, buruh-buruh Australia melakukan aksi unjuk rasa dengan memberikan bantuan
kepada Indonesia. Ribuan orang Indonesia yang menolak bekerja untuk Belanda mendapat
pelayanan yang baik dari rakyat Australia dan direpatriasi ke Wilayah Republik dengan bantuan
sepenuhnya dari Pemerintah Australia. Baca lebih lanjut pada Martino O’Hare & Anthony Reid,
1995, Australia dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (Australia & Indonesia’s Struggle for