17 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Pelajaran bahasa Inggris di SD menjadi peletak dasar keberhasilan siswa untuk mempelajarinya pada jenjang selanjutnya. Berbagai persoalan yang terjadi pada pembelajaran bahasa Inggris di SD menjadi petunjuk bagi kita bahwa penguasaan bahasa Inggris siswa di Indonesia masih mengalami kegagalan. Berbagai faktor ditengarai sebagai penyebab kegagalan tersebut, antara lain, penguasaan guru dalam mengajar, metode pembelajaran yang kurang tepat, materi pembelajaran yang kurang menarik, lingkungan dan sarana belajar, serta kebijakan pemerintah berupa revisi kurikulum yang sering berubah-ubah. Faktor- faktor penyebab tersebut seyogianya secara terus menerus dan berkelanjutan dikaji secara cermat untuk mendapatkan solusi yang baik. Hal ini semata-mata bertujuan untuk membekali siswa agar terampil dalam penguasaan bahasa Inggris dengan baik dan benar sesuai dengan konteks dan situasi penggunaannya. Beberapa penelitian tentang pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SD yang relevan dengan usulan penelitian ini adalah sebagai berikut. Faridi (2008) dalam penelitiannya berjudul “Pengembangan Model Materi Ajar Muatan Lokal Bahasa Inggris di Sekolah Dasar Jawa Tengah yang Berwawasan Sosiokultural” menemukan banyak materi ajar yang tidak sesuai dengan kurikulum yang ada di Jawa Tengah. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya guru bahasa Inggris
47
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Pelajaran bahasa Inggris di SD menjadi peletak
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pelajaran bahasa Inggris di SD menjadi peletak dasar keberhasilan siswa
untuk mempelajarinya pada jenjang selanjutnya. Berbagai persoalan yang terjadi
pada pembelajaran bahasa Inggris di SD menjadi petunjuk bagi kita bahwa
penguasaan bahasa Inggris siswa di Indonesia masih mengalami kegagalan.
Berbagai faktor ditengarai sebagai penyebab kegagalan tersebut, antara lain,
penguasaan guru dalam mengajar, metode pembelajaran yang kurang tepat, materi
pembelajaran yang kurang menarik, lingkungan dan sarana belajar, serta
kebijakan pemerintah berupa revisi kurikulum yang sering berubah-ubah. Faktor-
faktor penyebab tersebut seyogianya secara terus menerus dan berkelanjutan
dikaji secara cermat untuk mendapatkan solusi yang baik. Hal ini semata-mata
bertujuan untuk membekali siswa agar terampil dalam penguasaan bahasa Inggris
dengan baik dan benar sesuai dengan konteks dan situasi penggunaannya.
Beberapa penelitian tentang pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SD yang
relevan dengan usulan penelitian ini adalah sebagai berikut. Faridi (2008) dalam
penelitiannya berjudul “Pengembangan Model Materi Ajar Muatan Lokal Bahasa
Inggris di Sekolah Dasar Jawa Tengah yang Berwawasan Sosiokultural”
menemukan banyak materi ajar yang tidak sesuai dengan kurikulum yang ada di
Jawa Tengah. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya guru bahasa Inggris
18
menggunakan materi ajar yang diterbitkan dari luar negeri atau dalam negeri yang
belum mengusung tujuan pembelajaran bahasa Inggris di SD, khususnya di Jawa
Tengah. Penelitian ini mengembangkan model materi ajar muatan lokal bahasa
Inggris yang berwawasan sosiokultural yang dapat dimanfaatkan oleh guru-guru
bahasa Inggris di SD. Pengembangan materi ajar ini dikembangkan dengan
mempertimbangkan: (1) acuan pengembangan (dasar pemikiran), (2) isi materi,
(3) organisasi materi, (4) pengembangan materi, (5) penyajian, dan (6) evaluasi.
Pengembangan model materi ajar mulok bahasa Inggris di Jawa Tengah pada
penelitian tersebut didasarkan pada strategi pembelajaran bahasa Inggris dengan
tahapan, yakni Membangun Pengetahuan Lapangan (Building Knowledge of the
Field), Pemodelan Teks (Modelling of the Text), Konstruksi Bersama Teks (Joint
Construction of the Text), dan Konstruksi Independen Teks (Independent
Construction of the Text). Organisasi materi mencakup empat kompetensi, yakni
kompetensi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Materi ajar dalam
pengembangannya dibuat dengan memperhatikan kegiatan sehari-hari di
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta memasukkan unsur-unsur
sosiokultural setempat (adat istiadat, kebiasaan). Meskipun dalam organisasi
materi disebutkan bahwa buku tersebut disusun berdasarkan beberapa
keterampilan atau skills, yakni listening (menyimak), speaking (bicara), reading
(membaca) dan writing (menulis), dalam penyajiannya bersifat integratif dan
semuanya masih diarahkan untuk mencapai kompetensi komunikatif saja.
Temuan penelitian tersebut di atas mengisyaratkan adanya usaha dalam
memperbaiki materi pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi guru
19
bahasa Inggris di SD untuk menyusun bahan ajarnya. Materi yang dikembangkan
sudah mengangkat nilai-nilai lokal daerah dengan wawasan sosiokulturalnya. Dari
hasil penelitian tersebut dapat digarisbawahi bahwasanya materi yang
dikembangkan masih bersifat bahasa Inggris sebagai tool (alat) untuk mempelajari
bahasa asing, belum pada tataran bagaimana menggunakannya dalam percakapan
lisan yang efektif dan benar sesuai dengan kaidah atau konteks suatu bahasa. Pada
dasarnya wawasan sosiokultural yang disajikan pada materi sudah dapat
memenuhi kebutuhan bahasa Inggris dengan ciri mata pelajaran muatan lokal.
Namun, sebenarnya hal tersebut belum cukup meningkatkan kompetensi
komunikatif siswa. Pada dasarnya target penguasaan bahasa Inggris adalah siswa
pada akhirnya mampu berkomunikasi dengan baik dan benar apabila dihadapkan
langsung dengan penutur aslinya dan mampu beradaptasi serta berinteraksi
dengan baik apabila siswa berada pada masyarakat penutur bahasa yang
dipelajarinya. Dengan demikian, mempelajari bahasa Inggris dengan wawasan
pengetahuan budaya lokal atau daerah masing-masing saja masih belum cukup
membekali siswa untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dengan penutur
aslinya atau belum memiliki kompetensi pragmatik.
Berikutnya, Beratha Sutjiati, dkk. (2010) meneliti tentang buku ajar dan
materi pengajaran bahasa Inggris untuk SD di Pemda Tingkat I Denpasar, Bali.
Penelitian tersebut menghasilkan penerapan model pengajaran bahasa Inggris
dengan pendekatan komunikatif berupa metode dan teknik pengajaran serta
mengembangkan empat keterampilan berbahasa dan pengembangan kosakata
untuk menunjang pembelajaran komunikasi lisan. Pada penelitian tersebut juga
20
disebutkan bahwa bahan ajar dan materi yang sebelumnya digunakan di SD masih
bersifat kompetensi saja, belum berupa performansi, yaitu bagaimana selayaknya
bahasa tersebut dipraktikkan. Penelitian tersebut telah menghasilkan pengajaran
bahasa dengan pendekatan pragmatik yang disebutkannya sebagai pendekatan
komunikatif. Hasil penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa pendekatan
komunikatif adalah suatu pendekatan yang menggunakan sejumlah fungsi
komunikatif dalam mengajarkan suatu bahasa, dan menentang pengajaran bahasa
yang menitikberatkan pada permasalahan struktur bahasa.
Keterkaitan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan ini adalah
sama-sama mendasari pembelajaran bahasa Inggris di SD dengan pendekatan
pragmatik. Tujuan penelitian hampir sama yaitu sama-sama membuat model atau
desain pembelajaran bahasa Inggris yang bermuara pada pengembangan
keterampilan berkomunikasi dalam bahasa Inggris secara efektif dan kontekstual.
Namun, ada beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian
tersebut, yaitu:
1) Ruang lingkup penelitian tersebut hanya pada materi pengajaran, metode dan
teknik pembelajaran, sedangkan ruang lingkup penelitian ini pada materi atau
bahan ajar, perencanaan pembelajaran, dan strategi pengajaran.
2) Penelitian tersebut belum memasukkan unsur budaya bahasa yang dipelajari
yaitu aspek interkultural pada materi ajar yang diusulkan.
3) Penelitian tersebut mengarahkan kompetensi siswa secara komunikatif saja,
sedangkan penelitian ini mengarah ke kompetensi interkultural, yaitu satu
21
kompetensi yang menggabungkan antara kompetensi komunikatif dan
kompetensi budaya.
4) Penelitian tersebut menggunakan teori pembelajaran konstruktif, sedangkan
penelitian ini menggabungkan teori linguistik terapan, yaitu pragmatik dan
teori pembelajaran bahasa asing.
Penelitian oleh Sukamerta (2011) tentang “Kebijakan Pengajaran Bahasa
Inggris di Denpasar” juga menghasilkan temuan yang relevan dengan penelitian
ini. Penelitian tersebut salah satunya menemukan bahwa guru bahasa Inggris di
SD masih belum mengajarkan bahasa Inggris dengan aktivitas praktis dan belum
melibatkan siswa secara langsung dalam pemakaian bahasa Inggris untuk
kepentingan berinteraksi secara sosial. Saran pada penelitian tersebut adalah
belajar bahasa secara komunikatif berarti belajar menggunakan bahasa tersebut
untuk berinteraksi dalam situasi yang nyata. Pengajaran bahasa Inggris yang
memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya untuk dilatih dalam interaksi sosial
pada pengajaran bahasa akan lebih mencapai tujuan sesuai dengan hakikat bahasa
itu sendiri, yakni sebagai alat komunikasi. Pengajaran bahasa harus lebih
menekankan pada keterampilan menggunakan bahasa (language use), bukan pada
aturan pemakaiannya (language usage).
Peneliti hanya mencuplik satu hasil penelitian dari Sukamerta (2011) yang
relevan saja dengan variabel penelitian ini, yaitu pada metode pembelajaran
bahasa Inggris dan kompetensi siswa. Hal-hal yang dapat dirujuk dari hasil
penelitian tersebut adalah bahwa pengajaran bahasa Inggris di SD di Kota
Denpasar masih belum memenuhi tuntutan pembelajaran yang konstruktif dan
22
bersifat kontekstual. Pengajaran bahasa Inggris masih menekankan aspek
linguistik saja sebagai target kompetensinya sehingga siswa lebih banyak
diajarkan struktur gramatikal dari bahasa yang dipelajarinya dan belum pada
penggunaan bahasanya. Kemampuan siswa memahami bahasa yang dipelajarinya
dan mampu menggunakannya secara alami ketika dihadapkan langsung dengan
penutur aslinya menjadi kompetensi yang mutlak dicapai oleh siswa. Hanya
dengan kompetensi komunikatif saja tidaklah cukup bagi siswa karena
pemahaman budaya dari bahasa target berperan penting dalam pencapaian
kesepahaman pesan dan komunikasi antara si penutur dan lawan bicaranya. Hal
ini akan menghasilkan kemampuan komunikatif yang bermakna aktif dan
kontekstual. Pada hasil penelitian Sukamerta tersebut belum diberikan alternatif
metode pembelajaran yang mengarah pada pembelajaran bahasa Inggris bagi
siswa SD yang kontekstual dan berwawasan pragmatik.
Seperti diungkapkan oleh Liddicoat, Scarino & Kohler (2003), bahasa tidak
semata-mata struktural, namun juga komunikatif dan bersifat sosial. Mempelajari
bahasa baru tidaklah sederhana mengingat kompleksitas yang dibentuk oleh
keterkaitan antara bentuk-bentuk lingual dan aspek-aspek sosiokulturalnya. Oleh
karena itu, pembelajaran bahasa Inggris harus didesain untuk pencapaian
kompetensi dan performansi yang menyeluruh, yaitu kompetensi dan performansi
komunikatif dan pragmatik, agar penguasaan bahasa Inggris benar-benar dapat
dilakukan oleh siswa. Pada penelitian tersebut kompetensi pendukung
komunikatif siswa dalam belajar bahasa Inggris adalah kompetensi interkultural.
23
Beberapa penelitian tentang kompetensi interkultural pada pembelajaran
bahasa asing telah dilakukan. Setidaknya terdapat dua penelitian terdahulu dengan
variabel kompetensi interkultural yang direview pada penelitian ini. Pertama
adalah penelitian Moloney (2007) dengan judul “Intercultural Competence in
Young Language Learners: A Case Study”. Studi kasus ini meneliti ciri
kompetensi interkultural pada pembelajaran bahasa pada siswa SD di Australia.
Para siswa tersebut berada pada program bahasa imersi (language immersion
program) selama delapan tahun dengan salah satu dari tiga bahasa, yaitu Perancis,
Jerman, atau Jepang. Penelitian Moloney tersebut mengkaji perilaku dan
pemahaman guru bahasa sebagai individu yang memfasilitasi pengembangan
kompetensi interkultural pada siswa. Selain itu, penelitian tersebut juga bertujuan
untuk mengeksplorasi secara ringkas karakteristik kompetensi interkultural siswa.
Penelitian itu menggunakan data kualitatif yang diperoleh dari wawancara
terfokus terhadap siswa dan guru serta melakukan observasi di lapangan.
Penelitian yang melibatkan siswa SD pada tahun ke-enam sebanyak empat puluh
sembilan siswa dan empat guru di Sydney ini menghasilkan beberapa temuan.
Pertama, terdapat sejumlah indikator yang termasuk dalam pengembangan
kompetensi interkutural siswa, yaitu melalui pemahaman budaya bahasa yang
dipelajari dan identitasnya. Kedua, para siswa melihat dirinya sendiri sebagai
tujuan komunikator interaktif, yaitu memahami bahasa sasaran tersebut sebagai
alat untuk memahami budayanya, siswa juga selalu menampilkan rasa ingin
tahunya secara metalinguistik dan menunjukkan berbagai keterampilan yang
dimilikinya. Beberapa siswa juga mampu merefleksikan secara kritis
24
keterlibatannya pada beberapa bahasa dan budaya serta mampu menegosiasikan
identitasnya sebagai bukan penutur asli. Ketiga, guru bahasa adalah model bagi
siswanya dalam mengajarkan interkultural. Kompetensi interkultural pada guru
terjadi atas dasar hubungan yang terjalin di antara mereka dan dengan pemilihan
pedagogi yang dirancang berupa tugas-tugas belajar yang memberikan
pengalaman serta memfasilitasi adanya hubungan-hubungan antarbahasa dan
budaya para siswa. Terakhir, penelitian tersebut juga menemukan bahwa language
immersion program dapat memfasilitasi pembelajaran kompetensi interkultural
siswa.
Dari temuan penelitian Moloney tersebut maka dapat diperoleh gambaran
bahwa kompetensi interkultural yang dimiliki siswa sangat berkaitan erat dengan
penelitian tentang pembelajaran interkultural bahasa, pedagogi imersi dan
pedagogi terkait lainnya berupa pembelajaran bahasa berbasis pemahaman.
Dukungan penelitian Moloney pada penelitian yang dilakukan ini adalah bahwa
pengembangan kompetensi interkultural pada pembelajar usia anak telah
dilakukan dan terbukti mampu mendukung ketercapaian pembelajaran bahasa
sasaran dengan model language immersion program. Penelitian tersebut memiliki
kelebihan, yaitu telah menemukan strategi belajar siswa yang mendukung
kompetensi interkulturalnya dan guru sebagai model belajarnya. Aspek yang
membedakan antara penelitian Moloney dengan penelitian yang dilakukan ini
adalah pada aspek materi pembelajarannya. Pada penelitian Moloney tidak dikaji
materi pembelajaran kompetensi interkultural seperti yang dikaji pada penelitian
ini. Selain itu, juga perbedaan pada aspek strategi pembelajarannya, Moloney
25
melihat strategi belajar siswa, sedangkan pada penelitian ini pada strategi
mengajar guru. Berdasarkan review pada penelitian Moloney tersebut maka
penelitian tentang kompetensi interkultural pada pembelajar usia anak sangat
perlu dikembangkan lebih lanjut karena belum ditemukan desain pembelajaran
kompetensi interkultural yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengajar.
Selanjutnya, penelitian Jin (2012) dengan judul “Intercultural Competence in
the Learning of Chinese as a Foreign Language in the UK – an Exploratory
Study” meneliti tentang pengajaran bahasa Cina sebagai bahasa asing dan
implikasinya untuk pengembangan kurikulum (termasuk materi pengajaran dan
pelatihan guru) di perguruan tinggi di Inggris serta pembelajarannya dengan
perspektif budaya. Dijelaskan pada penelitian tersebut bahwa konsep kompetensi
interkultural dalam kaitannya dengan belajar bahasa Cina sebagai bahasa asing
perlu dikembangkan untuk mencerminkan fitur budaya Cina.
Penelitian awal tersebut dilakukan untuk mengidentifikasi pengembangan
budaya dan mengetahui kemunculan kompetensi interkultural dilihat dari
karakteristik Cina sebagai bahasa asing. Hasil penelitian tersebut menjadi studi
percontohan yang memiliki implikasi terhadap praktik bahasa Cina sebagai bahasa
asing dalam konteks Cina sebagai bahasa global. Kompetensi interkultural
merupakan aspek penting dalam proses belajar mengajar bahasa Cina sebagai
bahasa asing. Para guru di tempat kursus bahasa telah memasukkan unsur budaya,
namun kompetensi interkultural masih belum dikembangkan. Gagasan yang bagus
tentang kompetensi interkultural tersebut dapat membantu mengembangkan
pendidikan dan kurikulum bahasa Cina sebagai bahasa asing di perguruan tinggi
26
di Inggris. Oleh karena itu, penelitian tersebut masih membutuhkan penelitian
lebih lanjut terutama pada aspek hubungan antara bahasa dan budaya. Implikasi
dari penelitian tersebut adalah pentingnya memahami keterampilan, sikap, dan
pengetahuan yang dibutuhkan agar berhasil mengambil bagian dalam komunikasi
interkultural.
Implikasi penelitian Jin (2012) adalah bahwa sudah ada perhatian tentang isu
pengajaran bahasa asing secara efektif dengan perspektif budaya, namun masih
membutuhkan pengembangan kurikulum bahasa Cina sebagai bahasa asing,
khususnya pengembangan bahan ajar (misalnya, buku teks) dan pelatihan guru
dalam rangka memberikan dukungan untuk mengembangkan pengetahuan guru
terhadap pembelajaran perspektif budaya dalam konteks bahasa Cina sebagai
bahasa global. Sebagai contoh, kriteria untuk memilih komponen budaya dan
tugas-tugas belajar budaya dan bahasa serta desain proses pembelajarannya harus
menekankan kompetensi interkultural.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu tersebut maka pada dasarnya
penelitian tentang kompetensi interkultural masih harus terus dikembangkan
terutama sejak jenjang pendidikan dasar. Agar kompetensi interkultural siswa
dalam belajar bahasa asing dapat tercapai maka semua komponen pembelajaran
harus dipersiapkan dengan baik. Komponen pembelajaran seperti kurikulum,
perencanaan pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, bahan ajar, media,
dan evaluasi pembelajaran harus bersinergi secara menyeluruh. Dengan demikian,
hal tersebut akan menjadi desain pengajaran bahasa asing berwawasan
27
interkultural yang dapat dijadikan sebagai desain dan pedoman bagi guru bahasa
asing untuk mengajar.
Penelitian yang dilakukan oleh Jin (2012) tersebut menunjukkan model
pembelajaran bahasa asing dengan tujuan pragmatik untuk jenjang perguruan
tinggi di Inggris. Sebagai pengembangan penelitian kompetensi interkultural
dalam pengajaran bahasa asing, penelitian ini sangat mendesak dilakukan.
Variabel yang sama-sama diteliti adalah kompetensi interkultural pada
pembelajaran bahasa asing, sedangkan perbedaannya adalah pada subjek dan
jenjang sekolah yang diteliti. Penelitian Jin (2012) dilakukan pada pembelajar
dewasa (adult learners) dan sumber datanya adalah pengajar di perguruan tinggi,
sedangkan penelitian ini pada pembelajar anak (young learners) dan pada jenjang
pendidikan dasar (SD). Selain itu, luaran penelitian Jin (2012) adalah konsep
kompetensi interkultural pada proses belajar mengajar bahasa Cina sebagai bahasa
asing di perguruan tinggi di Inggris, sedangkan luaran yang akan diperoleh dari
penelitian yang dilakukan ini adalah desain berupa perencanaan dan strategi
pembelajaran bahasa Inggris yang bermuatan kompetensi interkultural berupa
pedoman dan desain bagi guru bahasa Inggris di SD untuk mengajar. Kekhasan
penelitian ini adalah pada teori yang digunakan untuk menganalisis data, yaitu
dengan menggabungkan teori pragmatik interkultural dengan teori pembelajaran
bahasa asing.
2.2 Konsep
28
Konsep adalah hal yang mendasar keberadaannya dalam sebuah penelitian.
Sebelum melakukan sebuah penelitian maka yang paling penting adalah
menentukan dan menjelaskan konsep terminologi yang digunakan dalam
penulisan karya ilmiah (disertasi). Konsep adalah generalisasi dari sekelompok
fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai
fenomena yang sama. Konsep merupakan suatu kesatuan pengertian tentang suatu
hal atau persoalan yang dirumuskan. Dalam merumuskannya harus dapat
dijelaskan tentang hal tersebut sesuai dengan maksud peneliti dalam memakainya
(Singarimbun dan Efendi, 2006).
Dalam sebuah penelitian, konsep tentang topik yang diteliti merupakan hal
yang sangat penting untuk dijelaskan secara detail. Konsep yang benar akan
memberikan kejelasan alur berpikir serta arah sebuah penelitian. Konsep yang
dimaksudkan di sini adalah penjelasan arti atau definisi operasional yang
digunakan untuk membantu proses analisis data dan pemecahan masalah
penelitian. Konsep-konsep yang terkait dengan penelitian ini adalah 1)
kompetensi interkultural, 2) pembelajaran bahasa Inggris di SD, 3) bentuk-bentuk
lingual, dan 4) kajian pragmatik interkultural.
2.2.1 Kompetensi Interkultural
Konsep kompetensi interkultural pemaknaannya cukup beragam. Untuk
menjelaskan konsep kompetensi interkultural pada penelitian ini, terlebih dahulu
dikutip beberapa definisi dari beberapa ahli. Kramsch sebagaimana dikutip oleh
Crozet & Liddicoat (1999) menyatakan bahwa setiap kali kita menggunakan
bahasa, secara bersamaan pula kita mempraktikkan budaya. Menjadi kompeten
29
secara interkultural ibarat berada pada third place (tempat ketiga). “Tempat
ketiga” ini diibaratkan sebuah tempat atau tepatnya posisi pembelajar bahasa
dapat berperan seperti seorang outsider dan insider secara bersamaan, memiliki
perspektif etic (sebagai orang luar) dan juga perspektif emic (sebagai orang
dalam) terhadap budayanya dan budaya dari bahasa yang dipelajari.
Kompetensi interkultural bermakna bahwa pembelajar memiliki sensitivitas
terhadap budaya karena ia menyadari bahwa secara realitas terdapat budaya lain
selain budayanya sendiri. Bennett (2011) menyatakan bahwa kompetensi
interkultural adalah seperangkat keterampilan kognitif, afektif dan perilaku, dan
karakteristik yang mendukung interaksi yang efektif dan tepat dalam berbagai
konteks budaya. Keterampilan inilah yang selanjutnya oleh Bennett dijabarkan ke
dalam beberapa komponen kompetensi, yaitu 1) memahami identitas budaya
sendiri, 2) berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, 3) mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang mendorong pemahaman, 4) mengelola
kontak yang tak terhindari dengan orang lain, 5) memecahkan masalah bersama,
6) melibatkan diri sendiri dalam belajar, dan 7) bekerja dengan budaya lain yang
berbeda. Oleh karena itu, pada hakikatnya kompetensi interkultural adalah
kemampuan pembelajar untuk meniru penutur asli dan mampu menjelaskan
kepada orang lain dengan budaya yang sama apa yang ada pada budaya penutur
asli dan begitu pula sebaliknya.
Fantini (2009) menyatakan bahwa kompetensi interkultural adalah
kemampuan yang berhasil dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang berasal
dari budaya lain. Kemampuan ini bisa dimiliki oleh pembelajar sejak usia muda,
30
dan/atau kemudian dikembangkan dan ditingkatkan berkat kemauan dan
kompetensi yang dimilikinya. Jelaslah dari pernyataan tersebut bahwasanya untuk
mencapai jenjang kompetensi interkultural, seorang pembelajar harus dikenalkan
dengan materi budaya bahasa yang dipelajari dengan sudut pandang budaya yang
dimiliki sejak usia SD. Kemampuan yang terbentuk sejak usia dini akan
menghasilkan kompetensi yang lebih baik. Karakteristik pembelajar anak yang
adaptif dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi memungkinkan mereka lebih
cepat dalam mengembangkan kemampuan, strategi dan keterampilan berbahasa
asing dengan wawasan interkultural. Kemampuan di tingkat dasar inilah sebagai
modal bagi siswa untuk meningkatkan kemampuannya pada jenjang yang lebih
tinggi hingga pada saatnya ia menguasai kompetensi interkultural sebagai modal
untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan budaya asing dan masyarakatnya.
Konsep tentang kompetensi interkultural lebih lanjut dikemukakan oleh
Byram (1997) yang mengklaim bahwa kompetensi komunikatif digabungan
dengan kompetensi interkultural akan menjadi Kompetensi Komunikatif
Interkultural atau Intercultural Communicative Competence (ICC). Byram juga
telah mengembangkan kerangka teori tentang pengajaran dan pengukuran ICC ini
sebagai kontribusi untuk pengembangan pengajaran bahasa asing.
Selanjutnya, berdasarkan pada teori tersebut, Lundgren (2006) terinspirasi
untuk membuat teori yang melihat hubungan antara kompetensi komunikatif dan
kompetensi interkultural dalam hubungannya dengan belajar bahasa pertama (L1)
dan belajar bahasa kedua (L2). Berikut adalah bagan dan keterangan yang
menjelaskan hubungan tersebut.
31
Bagan 2.1 Hubungan antara Kompetensi Komunikatif dan Kompetensi
Interkultural
Keterangan:
A = membaca, menulis, menyimak, berbicara, genre, register
B = budaya sehari-hari, budaya populer, ide, kepercayaan, persepsi, artefak,