BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura kajian pragmatik dipilih sebagai topik dalam penelitian ini karena sejauh ini belum ditemukan penelitian lain yang menggunakan bahasa Madura (BMd) pada tataran pragmatik. Oleh karena itu, diperlukan tinjauan beberapa karya tulis yang membahas masalah dalam ritual atau upacara pernikahan yang tentunya akan banyak membantu penelitian ini. Selain itu, tinjauan ini akan memberikan gambaran bahwa apa yang dibahas dalam penelitian ini tidak sama dengan penelitian-penelitian yang sudah ada. Penjelasan hasil penelitian dipaparkan secara ringkas berikut ini. Handayani (2003) menulis tesis berjudul “Wacana Kayob dalam Masyarakat Biak: Aanalisis Bentuk, Fungsi, dan Makna”. Masyarakat Biak di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua memiliki ragam sastra lisan yang berhubungan dengan ritual kematian, yaitu kayob. Penggunaan kayob dalam ritual kematian mengalami pergeseran dengan masuknya pengaruh agama Kristen Protestan. Kayob memiliki bentuk, fungsi, dan makna sehingga kayob menempatkan dua dimensi, yaitu waktu lampau dan waktu kini. Dalam dimensi lampau, tuturan kayob bersifat sangat sakral dan wajib dilaksanakan. Tujuan tuturan kayob untuk menghormati arwah jenazah dan arwah para leluhur. Dimensi waktu kini menempatkan kayob sebagai warisan budaya. Tujuan tuturan kayob, antara lain untuk memenuhi adat istiadat dan penerusan tradisi. Hasil penelitian
32
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN …erepo.unud.ac.id/19122/3/1390161008-3-3. BAB II.pdfKAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka ... Di
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura kajian pragmatik dipilih
sebagai topik dalam penelitian ini karena sejauh ini belum ditemukan penelitian
lain yang menggunakan bahasa Madura (BMd) pada tataran pragmatik. Oleh
karena itu, diperlukan tinjauan beberapa karya tulis yang membahas masalah
dalam ritual atau upacara pernikahan yang tentunya akan banyak membantu
penelitian ini. Selain itu, tinjauan ini akan memberikan gambaran bahwa apa yang
dibahas dalam penelitian ini tidak sama dengan penelitian-penelitian yang sudah
ada. Penjelasan hasil penelitian dipaparkan secara ringkas berikut ini.
Handayani (2003) menulis tesis berjudul “Wacana Kayob dalam
Masyarakat Biak: Aanalisis Bentuk, Fungsi, dan Makna”. Masyarakat Biak di
Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua memiliki ragam sastra lisan yang
berhubungan dengan ritual kematian, yaitu kayob. Penggunaan kayob dalam ritual
kematian mengalami pergeseran dengan masuknya pengaruh agama Kristen
Protestan. Kayob memiliki bentuk, fungsi, dan makna sehingga kayob
menempatkan dua dimensi, yaitu waktu lampau dan waktu kini. Dalam dimensi
lampau, tuturan kayob bersifat sangat sakral dan wajib dilaksanakan. Tujuan
tuturan kayob untuk menghormati arwah jenazah dan arwah para leluhur. Dimensi
waktu kini menempatkan kayob sebagai warisan budaya. Tujuan tuturan kayob,
antara lain untuk memenuhi adat istiadat dan penerusan tradisi. Hasil penelitian
Handayani menunjukkan bahwa bentuk kayob memiliki beberapa ciri, yakni
terdapat pola-pola formula dalam baris-baris kayob, jenis-jenis formula tersebut
adalah formula satu baris, setengah baris, dan satu kata. Ia juga mendeskripsikan
bahwa dalam wacana kayob yang ditelitinya ditemukan adanya tema, gaya bahasa,
dan estetika bunyi kayob. Fungsi yang terdapat dalam kayob meliputi fungsi
religius, fungsi sosiologis, fungsi ekonomis, dan fungsi apresiatif reflektif.
Analisis makna dalam syair kayob memiliki makna kepercayaan, makna sosial,
dan makna didaktis. Penelitian tersebut belum lengkap karena tidak dibahas secara
tuntas terutama nilai-nilai yang tercermin di balik wacana tersebut. Hal tersebut
perlu tinjauan lagi karena penelitian tersebut hanya memberikan deskripsi bentuk,
fungsi, dan makna.
Netra (2005) menyusun tesis berjudul “Eksplikasi Makna Ilokusional
Tuturan Upacara Memadik di Denpasar: Sebuah Kajian Metabahasa Semantik
Alami (MSA)”. Aspek yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah jenis tindak
tutur, makna ilokusional, dan eksplikasi makna ilokusional dengan teori tindak
tutur dan MSA. Hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut menunjukkan
bahwa tuturan upacara memadik di Denpasar dibangun oleh jenis tindak tutur dan
cultural scripts. Jenis tindak tutur yang ditemukan adalah (1) TT langsung (TL),
(2) TT tidak langsung (TTL), (3) TT literal (TLit), (4) TT tidak literal (TTLit), (5)
TT langsung literal (TLLit), (6) TT tidak langsung literal (TTLLit), (7) TT
langsung tidak literal (TLTLit), dan (8) TT tidak langsung tidak literal (TTLTLit).
Tuturan juga dibangun oleh cultural scripts pada tataran leksikon dan tata bahasa
(tag) yang dibangun oleh tipe predikat mental dengan makna asali
MEMIKIRKAN, MENGETAHUI, MERASAKAN, MENGINGINKAN,
MELIHAT, dan MENDENGAR. Di pihak lain tipe tindakan dibangun oleh
MELAKUKAN dan MENGATAKAN. Penelitian tersebut perlu kelanjutan
karena sejauh ini belum dikaji ideologi tuturan upacara memadik di Denpasar.
Namun, hasil penelitian tersebut memberikan hal yang sangat bermanfaat bagi
peneliti, terutama dalam menganalisis tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi yang
dibahas dalam penelitian tersebut. Walaupun objek penelitian tersebut berbeda
dengan objek yang dikaji oleh peneliti, penelitian tersebut dapat dijadikan kajian
pustaka yang memberikan sumbangan bagi peneliti untuk dijadikan bahan
pembanding.
Sastriadi (2006) menulis tesis berjudul “Tuturan Ritual Tawur pada
Masyarakat Dayak Kaharingan di Kalimantan Tengah: Sebuah Kajian Wacana”.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa TRT memiliki sejumlah dimensi
struktur tekstual pada tataran superstruktur, yaitu struktur makro dan struktur
mikro. Pada tataran struktur makro TRT mengandung tema tentang permohonan
kepada roh beras untuk menyampaikan permohonan manusia kepada sahur
parapah „dewa‟. Pada tataran struktur mikro TRT ditemukan adanya paralelisme
leksikogramatikal pada unsur perangkat diad yang berpasangan berjumlah
maksimal sepuluh kata dalam klausa dan terdapat perangkat diad tunggal (tidak
memiliki pasangan). Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam TRT yang ditelitinya
ditemukan adanya makna yang terkandung di dalamnya, yaitu makna yang
berkenaan dengan ketuhanan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta. Penelitian
tersebut belum mengkaji konteks situasi, seperti medan, pelibat, sarana, konteks
budaya atau tradisi, dan konteks ideologi yang tercermin dari TRT tersebut
sehingga masih dibutuhkan kelanjutan kajian agar terjadi kesempurnaan. Akan
tetapi, penelitian tersebut memberikan manfaat bagi peneliti dalam hal
mengetahui struktur teks ritual TRT.
Sutama (2010) menyusun disertasi berjudul “Teks Ritual „Pawiwahan‟
Masyarakat Adat Bali: Analisis Linguistik Sistemik Fungsional”. Ia mengkaji
keseluruhan bagian perkawinan yang dimulai dari marerasan (tahap pertemuan
awal antara keluarga calon pengantin laki-laki dan keluarga calon pengantin
perempuan) sampai pada majauman (mengesahkan pernikahan). Struktur dikaji
secara menyeluruh karena fakta menunjukkan bahwa bagian yang satu dengan
yang lainnya tidak membutuhkan jarak waktu yang lama. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa teks ritual pawiwahan masyarakat adat Bali memiliki
sejumlah dimensi struktur, yaitu (a) budaya yang berkaitan dengan adat tradisi, (b)
struktur makro yang berkaitan dengan konteks sosial, (c) struktur mikro yang
berkaitan dengan alur pesan dan informasi, dan (d) struktur makna. Ia juga
mendeskripsikan bahwa dalam teks ritual yang ditelitinya ditemukan adanya
sistem mood, transitivitas, dan tema-rema. Penelitian tersebut memberikan
kontribusi kepada peneliti dalam hal mengetahui struktur ritual „pawiwahan‟
masyarakat adat Bali sehingga dapat dijadikan pembanding dan rujukan.
Lanny (2013) menulis tesis berjudul “Tuturan Ritual Kelahiran Orang Boti
di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur: Kajian Linguistik Kebudayaan”. Suku
Boti menganut agama yang disebut Halaika. Hasil penelitian Lanny menunjukkan
bahwa tuturan kelahiran orang Boti memiliki tujuh tahapan ritual, yaitu Onen toit
li‟ana, Na‟aup, Lef usaf, Onen na‟po li ana usan, Kanaf, Tapoitan li‟ana, Eu‟nak
funu. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam tuturan kelahiran orang Boti yang
ditelitinya ditemukan adanya (a) gaya bahasa, (b) fungi, (c) makna, dan (d) nilai.
Gaya bahasa meliputi metafora dan paralelisme. Fungsi meliputi fungsi magis,
fungsi emotif, dan fungsi konatif. Makna meliputi makna didaktis, makna religi,
dan makna sosiologis. Nilai meliputi nilai pendidikan, nilai hidup, dan nilai
budaya. Penelitian tersebut tidak membahas konteks situasi seperti medan (field),
pelibat (tenor), sarana (mode), dan konteks ideologi yang tercermin di balik
tuturan ritual kelahiran orang Boti sehingga masih dibutuhkan kelanjutan kajian
agar terjadi kesempurnaan. Akan tetapi, penelitian tersebut memberikan manfaat
bagi peneliti dalam hal mengetahui tahapan tuturan ritual kelahiran orang Boti.
Magdalena (2013) menulis disertasi berjudul “Teks Kette Katonga Weri
Kawendo pada Masyarakat Adat Weweha di Pulau Sumba: Analisis Linguistik
Sistemik Fungsional”. Data lisan diperoleh melalui metode observasi dan
wawancara dengan teknik perekaman empat acara KKWK pada masyarakat adat
Weweha di dua kecamatan dan di Kabupaten Sumba Barat Daya. Data dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif tepatnya metode padan. Hasil
analisis disajikan dalam bentuk formal, informal, dan gabungan dari keduanya.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa leksikogramatika teks dalam
KKWK mencakup transitivitas, modus, dan tema. Transitivitas memiliki tiga
unsur pokok, yaitu (a) partisipan direalisasikan oleh kelompok nomina dan
pronomina persona, (b) sirkumstan seperti waktu, (3) proses material, proses
verbal, proses relasional, proses wujud, proses mental, dan perilaku. Modus
meliputi indikatif dan imperatif. Di pihak lain tema meliputi topik, interpersonal,
dan tekstual. KKWK juga memiliki konteks situasi yang meliputi medan, pelibat,
dan sarana. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam teks ritual yang ditelitinya
ditemukan adanya ideologi teks yang mencerminkan nilai-nilai penghormatan,
persatuan, kejujuran, tanggung jawab, dan kesepakatan. Dalam penelitian tersebut
permasalahan dibahas secara lengkap. Penelitian tersebut memberikan kontribusi
bagi peneliti dalam hal menentukan ideologi sehingga dapat dijadikan rujukan dan
pembanding.
Suwendi (2013) menyusun tesis berjudul “Wacana Ritual Caru Eka Sata
Ayam Brumbun: Sebuah Analisis Linguistik Kebudayaan”. Ritual caru eka sata
ayam brumbun termasuk ritual bhuta yadnya. Caru ini menggunakan seekor ayam
brumbun sebagai sarana persembahan. Teks wacana ritual CES AB disusun dalam
bahasa Bali Kawi, yakni bahasa Bali yang banyak menyerap kosakata dan afiks
bahasa Jawa Kuno (Kawi). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa CES AB
memiliki beberapa struktur, seperti struktur skematik teks yang meliputi tiga
bagian, yaitu (a) bagian pendahuluan yang terdiri atas teks durmanggala, teks
biakaon, teks prayascita, dan teks pangulapan, yang semuanya disebut
pangresikan; (b) bagian isi yang merupakan bagian utama teks, yang juga disebut
inti caru; (c) bagian penutup yang disebut panyineb puja. Ia juga mendeskripsikan
bahwa dalam teks wacana ritual CES AB yang ditelitinya ditemukan beberapa
fungsi dan nilai, yaitu (1) fungsi magis yang mencerminkan adanya kekuatan
positif para dewa dan kekuatan negatif para bhuta kala, (2) fungsi informatif, dan
(3) fungsi emotif. Di pihak lain nilai yang terkandung di dalam teks CES AB
meliputi nilai religius, nilai permohonan, nilai ekonomi, dan nilai keharmonisan.
Penelitian tersebut hanya mengkaji struktur dasar, yaitu struktur teks, fungsi, dan
nilai. Penelitian tersebut belum memberikan deskripsi konteks situasi, seperti
medan, pelibat, sarana, konteks budaya atau tradisi, dan konteks ideologi yang
tercermin di balik CES AB.
2.2 Konsep
Ada beberapa konsep operasional yang dipaparkan berdasarkan objek
dalam penelitian ini. Konsep dipaparkan dengan tujuan dapat menyatukan
persepsi untuk memberikan kemudahan dan gambaran yang jelas tentang arah
penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kridalaksana (2008:132) bahwa
konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau bahasa yang memerlukan
penggunaan akal budi untuk memahaminya.
2.2.1 Tuturan Upacara Pernikahan
Tuturan merupakan penggunaan bahasa yang dianggap sebagai alat
komunikasi yang dilakukan oleh seseorang pada situasi tertentu sehingga dapat
dipandang sebagai esensi penggunaan bahasa yang berhubungan dengan
komponen fisik dan psikologis bahasa itu sendiri. Hal ini merupakan kebebasan
untuk melakukan interpretasi dari apa yang akan dikatakannya, seperti tuturan
upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan,
Pakuniran, Probolinggo. Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa
Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo memiliki beberapa tahapan, yaitu tahapan
peminangan (bekalan), prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan.
Penggunaan tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengacu pada peristiwa tutur
tertentu. Dengan demikian, dipandang sebagai esensi penggunaan bahasa yang
berhubungan dengan komponen fisik dan psikologis.
Tuturan diartikan sebagai ekspresi bahasa yang digunakan oleh penuturnya
dalam konteks tertentu, sedangkan kalimat merupakan ekspresi bahasa yang
digunakan oleh penuturnya yang tidak terikat konteks tertentu. Artinya, tuturan
mencari maksud, sedangkan kalimat mencari makna (Matthew, 1997:393). Van
Dijk (1943:1) mengatakan sebagai berikut.
speech acts usually do not come alone. They may occur in ordered
sequences of speech acts accomplished by one speaker or by
subsequent speaker, e.g. in the course of a vonversation. Much in
the same way as sentences may occur in sequences which should
satisfy a number of constraints, e.g. those of semantic coherence, in
order to be acceptable as discourse, we should expect that speech
act sequences are not arbitrary. They must also satisfy a number of
constraints. One of the obvious tasks for an extension of a theory of
speech acts within linguistic pragmatics. Then, is the formulation
of these constraints.
Tuturan biasanya tidak hadir sendirian. Tuturan dapat terjadi dalam urutan
pesan yang disempurnakan oleh penutur dan petutur berikutnya dalam rangkaian
percakapan. Banyak cara dalam sebuah kalimat yang dapat terjadi secara
berurutan dan dapat memenuhi angka ketidakleluasaan, seperti dalam semantik
sebagai wacana yang menghasilkan tindak tutur yang berurutan dan tidak
berubah-ubah.
2.2.2 Konteks dalam Pragmatik
Sebelum dijelaskan makna tindak tutur, dipandang perlu dipahami makna
semantik dan pragmatik. Dalam kaitannya dengan penelitian ini Leech (1983:5--
6) memaparkan makna sebagai berikut.
semantics and pragmatics in practice, the problem of distinguishing
„language‟ (langue) and „language use‟ (parole) has centred on a
boundary dispute between semantics and pragmatics. Both fields are
concerned with meaning, but the difference between them can be
traced to two different users of the verb to mean:
[1] what does X mean? [2] what did you mean by X?
Semantics traditionally deals with meaning as a dyadic relation, as
in
[1], while pragmatics deals with meaning as a triadic relation. As in
[2], thus meaning in pragmatics as defined relative to a speaker or
user of the language. Whereas meaning in semantics is defined
purely as a property of expression in a given language, in
abstraction from particular situation, speakers, or hearer.
Berdasarkan paparan Leech di atas, dapat dipahami bahwa pragmatik
mempunyai kaitan yang erat dengan semantik. Semantik memperlakukan makna
sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi „diadik‟ seperti pada „apa
maksudnya X‟. Di pihak lain pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu
hubungan yang melibatkan tiga segi „triadik‟ seperti pada „apa maksudnya dengan
X‟. Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberikan definisi dalam
hubungannya dengan penutur atau pengguna bahasa. Di pihak lain dalam
semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan dalam
suatu bahasa tertentu, artinya terpisah dari situasi penutur dan lawan tuturnya.
Kiefer (1980:9) menegaskan bahwa pragmatics is concerned with the way
in which the interpretation of syntactically defined expressions depends on the
particular conditions of their use in context. Artinya, pragmatik berkaitan dengan
interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu. Cara
menginterpretasikan ungkapan tersebut bergantung pada kondisi-kondisi khusus
penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks.
Levinson (1983:9) mendefinisikan pragmatics is the study of those
relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in
the structure of language. Artinya, pragmatik merupakan kajian hubungan antara
bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur
bahasa.
Mey (1993:42) menekankan konteks dan mengatakan bahwa pragmatics is
the study of conditions of human language uses as these are determined by the
context of society. Artinya, pragmatik adalah kajian tentang kondisi penggunaan
bahasa manusia sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya.
Parker (1986:11) mengatakan bahwa: pragmatics is the study of how
language is used for communication. Pragmatik adalah kajian tentang bagaimana
bahasa digunakan untuk berkomunikasi dan menegaskan bahwa pragmatik tidak
menelaah struktur bahasa secara internal seperti tata bahasa, tetapi menelaah
secara eksternal.
Konteks menurut Preston (1984) adalah segenap informasi yang berada di
sekitar penggunaan bahasa, bahkan termasuk juga penggunaan bahasa yang ada di
sekitarnya (yang mendahahului ataupun sesudahnya). Dengan demikian, konteks
dapat dibedakan menjadi konteks bahasa dan konteks non-bahasa. Konteks
nonbahasa dapat dibedakan menjadi (1) konteks dialektal, di antaranya meliputi
usia, jenis kelamin, dan spesialisasi (menunjuk kepada profesi), (2) konteks
diatipik meliputi setting (tempat dan jarak interaksi), topik pembicaraan dan
fungsi, (3) konteks realisasi meliputi cara dan saluran yang digunakan orang untuk
menyampaikan pesan, yaitu pesan tertulis dan lisan, sedangkan saluran berupa
telepon, telegram, ataupun bersemuka.
Suyono (1990:20) mengatakan bahwa konteks meliputi konteks fisik dan
konteks sosial psikologis. Konteks fisik, misalnya berupa tempat, waktu, dan hal-
hal fisik lain yang dapat diindra. Di pihak lain konteks sosial psikologis, misalnya
berupa hubungan antarpesan, keadaan batin para pemeran, latar belakang sosial
ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Konteks didefinisikan oleh Mey (1993:38)
sebagai berikut.
The surroundings in the widest sense that enable the participants in
the communication process to interact and that make the linguistic
expressions of their interaction intelligible.
Situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta tutur
berkomunikasi, dapat berinteraksi, dan membuat ujaran mereka dapat dipahami.
Artinya, situasi yang dapat menimbulkan seseorang berujar karena situasi tersebut
tidak mendukung keadaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diinterpretasikan bahwa untuk
menyampaikan suatu maksud atau fungsi sebuah makna kepada orang lain, bukan
hanya dengan satu modus tuturan, melainkan dengan banyak modus tuturan,
bergantung pada konteks situasi di mana bahasa itu digunakan atau dituturkan.
Hymes (1972:10--14) mengemukakan unsur-unsur yang dapat membentuk
konteks, yaitu sebagai berikut.
a) The form and content of the message (bentuk dan isi pesan).
b) The setting (perangkat lingkungan khas, misalnya waktu dan tempat).
c) The intent and effect of the communication (maksud dan dampak komunikasi).
d) The key (kunci atau petunjuk).
e) The medium (perantara).
f) The genre (genre).
g) The norm of interaction (norma interaksi).
2.2.3 Ideologi Tuturan Upacara Pernikahan
Konsep ideologi dalam penelitian ini adalah seperangkat kepercayaan
suatu kelompok masyarakat yang direalisasikan dalam tuturan dan tindakan. Di
samping itu, juga dapat mengikat dan mempersatukan mereka secara turun-
temurun.
Berkenaan dengan pandangan tersebut, analisis ideologi sangat erat
berkaitan dengan bahasa karena bahasa merupakan media dasar makna
(pemaknaan) yang cenderung mempertahankan relasi dominasi. Dengan kata lain,
bahasa mengandung makna yang ada hubungannya dengan ideologi penggunaan
bahasa.
Ideologi tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui proses tersendiri dan
sampai pada suatu keyakinan yang menjadikannya sebagai penyatu dalam suatu
kelompok masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Martin (1997:237) bahwa
ideologi merujuk pada posisi kekuatan dan asumsi bahwa semua yang berinteraksi
sosial membawa mereka dalam keyakinan.
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini dikerangkai oleh dua teori, yaitu (1) teori pragmatik dan (2)
teori bahasa, konteks, dan teks. Teori pragmatik (Leech, 1983; Wijana, 1996)
digunakan untuk menganalisis dua permasalahan. Pertama, tindak tutur yang
ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa
Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Kedua, tindak tutur yang memperlihatkan
tindak ilokusi dalam tuturan pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan,
Pakuniran, Probolinggo. Di pihak lain teori bahasa, konteks, dan teks (Halliday,
1985) untuk menganalisis permasalahan yang ketiga, yaitu ideologi yang
tercermin di balik tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa
Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Kedua teori ini saling melengkapi sebagai
teori utama dan teori pendukung untuk menjawab permasalahan dalam penelitian
bahasa Madura (BMd). Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan jelas
tentang kedua teori yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan secara
terperinci di bawah ini.
2.3.1 Tindak Tutur
Berkaitan dengan bahasa dan konteks penggunaannya, Austin (1962)
dalam bukunya yang berjudul How to do things with Words mengatakan bahwa
suatu ekspresi tutur dapat digunakan untuk melakukan sesuatu selain untuk
mengatakan sesuatu. Dalam hal ini lebih lanjut dia berpendapat bahwa suatu
ekspresi tutur yang secara gramatika digolongkan sebagai tuturan yang eksklamasi
atau pernyataan belum tentu digunakan untuk mengatakan pernyataan, tetapi juga
dimaksudkan untuk bertanya, memerintah, dan sejenisnya (Austin, 1962:98--99).
Jika seseorang mengatakan “saya berjanji” (I promise), dia sebenarnya
tidak hanya mengucapkan ujaran tersebut, tetapi juga melakukan tindakan
berjanji. Dia berjanji akan melakukan hal yang diujarkan (Nadar, 2009:11).
Tuturan ini disebut tuturan performatif dan kata kerja yang digunakan dalam
tuturan ini juga disebut kata kerja performatif (Austin, 1962; Searle, 1977;