1 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Pada subbab ini ditelusuri beberapa pustaka, baik berupa buku-buku, hasil- hasil penelitian, maupun tulisan-tulisan yang dimuat di dalam berbagai jurnal ilmiah, terutama terkait dengan penelitian ini. Melalui penelusuran pustaka- pustaka ini diharapkan diperoleh berbagai hal, seperti ide-ide, informasi, inspirasi, konsep-konsep, dan pembuka wawasan. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditunjukkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian dan tulisan- tulisan sebelumnya sehingga diketahui originalitas penelitian ini. Dengan demikian, fenomena ”Membongkar Pemberdayaan Penyandang Cacat Tubuh di Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali” sangat signifikan dan layak untuk diteliti. Salah satu kajian pemberdayaan masyarakat yang mendekati penelitian ini dilakukan oleh I Gusti Made Bagiadi, yaitu tesis berjudul “Pemberdayaan Kelompok Usaha Bersama Penyandang Cacat di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung“ (2006). Penelitan tersebut membahas pemberdayaan penyandang cacat yang diorganisasikan melalui KUBE berdasarkan keterampilan yang dimiliki dan peranan pemerintah dalam mendukung pemberdayaan untuk mencapai kesejahteraan. Dalam penelitian Bagiadi (2006:176) disimpulkan bahwa meskipun ada sedikit kendala, baik yang bersifat internal maupun eksternal, secara umum ditemukan dua pemberdayaan KUBE penyandang cacat tergolong maju, satu
38
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN …€¦ · “Pemberdayaan Pengangguran Melalui Pelatihan Kewirausahaan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional dan Tenaga Kerja
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pada subbab ini ditelusuri beberapa pustaka, baik berupa buku-buku, hasil-
hasil penelitian, maupun tulisan-tulisan yang dimuat di dalam berbagai jurnal
ilmiah, terutama terkait dengan penelitian ini. Melalui penelusuran pustaka-
pustaka ini diharapkan diperoleh berbagai hal, seperti ide-ide, informasi, inspirasi,
konsep-konsep, dan pembuka wawasan. Berdasarkan hal tersebut, dapat
ditunjukkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian dan tulisan-
tulisan sebelumnya sehingga diketahui originalitas penelitian ini. Dengan
demikian, fenomena ”Membongkar Pemberdayaan Penyandang Cacat Tubuh di
Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali” sangat signifikan dan layak untuk diteliti.
Salah satu kajian pemberdayaan masyarakat yang mendekati penelitian ini
dilakukan oleh I Gusti Made Bagiadi, yaitu tesis berjudul “Pemberdayaan
Kelompok Usaha Bersama Penyandang Cacat di Kecamatan Mengwi, Kabupaten
Badung“ (2006). Penelitan tersebut membahas pemberdayaan penyandang cacat
yang diorganisasikan melalui KUBE berdasarkan keterampilan yang dimiliki dan
peranan pemerintah dalam mendukung pemberdayaan untuk mencapai
kesejahteraan. Dalam penelitian Bagiadi (2006:176) disimpulkan bahwa meskipun
ada sedikit kendala, baik yang bersifat internal maupun eksternal, secara umum
ditemukan dua pemberdayaan KUBE penyandang cacat tergolong maju, satu
2
berkembang, dan sisanya tumbuh. Faktor yang menyebabkan belum semua KUBE
penyandang cacat maju adalah di satu sisi belum ada kesungguhan KUBE
penyandang cacat itu sendiri, terutama keaktifan pengurusnya dalam menjalankan
organisasi. Sebaliknya, di sisi lain adanya kelemahan dalam pengembangan bakat
kewirausahaan penyandang cacat.
Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada pemrakarsa pemberdayaan.
Dalam penelitian Bagiadi yang diberdayakan adalah penyandang cacat dalam
KUBE yang terbentuk berdasarkan keterampilan yang dimiliki anggotanya,
diprakarsai oleh pemerintah melalui Departemen Sosial, Dinas Kesejahteraan
Sosial Provinsi Bali, Kabupaten Badung, Kecamatan Mengwi. Tujuan
pembentukannya adalah untuk berproduksi dalam mencapai kesejahteraan.
Sebaliknya, penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti adalah membongkar
pemberdayaan penyandang cacat tubuh di Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali
yang diprakarsai oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sedangkan
persamaannya adalah sama-sama membahas pemberdayaan penyandang cacat.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Dana Lee Baker berjudul
“Children’s Disability Policy in A Global Word: A Question of Convergence
(2006)”. Kajian tentang anak-anak cacat di dunia global ini diterbitkan dalam
Jurnal Internasional Administrasi Publik Vol. 29. No. 4 – 6, Januari 2006. Kajian
ini menyimpulkan bahwa statement Salamanca bangsa Amerika pada pendidikan
semua anak cacat, pemerintah Kanada, Amerika Serikat, dan Meksiko berbagi
tujuan meningkatkan peluang untuk anak-anak dan remaja penyandang cacat.
3
Secara umum persamaan kajian penulis dengan kajian Dana Lee Baker
terletak pada objek kajian yang sama-sama mengkaji penyandang cacat,
sedangkan perbedaannya adalah pada fokus kajian. Artinya Dana Lee Baker
melihat kebijakan penyandang cacat di bidang pendidikan, sedangkan kajian
penulis melihat pemberdayaan penyandang cacat tubuh agar menjadi masyarakat
yang mandiri.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Encep Kasroni (2003) dalam
tulisan berjudul “Mencari Format Menuju Keberdayaan Ekonomi Penyandang
Cacat”. Penelitian ini membahas keberdayaan ekonomi penyandang cacat dari
berbagai jenis kecacatan melalui koperasi, sedangkan penelitian yang dilakukan
penulis adalah pemberdayaan khusus penyandang cacat tubuh di Yayasan Senang
Hati. Persamaannya adalah sama-sama membahas pemberdayaan penyandang
cacat.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa “koperasi” merupakan salah satu
alternatif yang dapat dipakai untuk memberdayakan ekonomi penyandang cacat.
Sebagai uji coba atau dapat dijalankan pembentukan kelompok swadaya
penyandang cacat (KSP) beranggotakan 5--10 orang penyandang cacat dari
berbagai jenis kecacatan. Kelompok itu dibentuk berdasarkan kesamaan usaha
atau berdasarkan kedekatan domisili yang memungkinkan terbentuknya KSP
dalam keragaman usaha.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh I Wayan Nurija (2008) dengan judul
“Pemberdayaan Pengangguran Melalui Pelatihan Kewirausahaan Tenaga Kerja
Pemuda Mandiri Profesional dan Tenaga Kerja Mandiri Terdidik di Kota
4
Denpasar”. Penelitan ini membahas pemberdayaan pemuda pengangguran yang
ada di Kota Denpasar melalui pelatihan kewirausahaan dan pemagangan. Hasil
penelitian itu menunjukkan bahwa berdasarkan status kepemilikan usaha
diketahui bahwa 80,3% mengelola usaha milik sendiri dengan modal milik
keluarga.
Perbedaan dengan penelitian penulis, yaitu penelitian tersebut
memberdayakan pengangguran melalui pelatihan kewirausahaan dan
pemagangan. Sebaliknya, penelitian penulis adalah pemberdayaan penyandang
cacat tubuh. Persamaannya, yaitu sama-sama meneliti pemberdayaan melalui
pelatihan kewirausahaan dan pemagangan.
Penelitian Leli Rahayu (2008) dengan judul “Pemberdayaan Kelompok
Usaha Bersama Keluarga Miskin di Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar,
Sebuah Kajian Budaya”. Penelitian itu membahas kelompok usaha bersama
keluarga miskin dengan pemberian bantuan berupa sapi beserta
pengembangannya (pembuatan pupuk kandang). Penelitian tersebut
menyimpulkan walaupun pemberdayaan sudah dilaksanakan secara maksimal,
belum semua keluarga miskin berhasil. Artinya, hanya sebagian yang berhasil
meningkatkan kesejahteraan keluarganya, sedangkan sebagian lagi belum
berhasil. Di pihak lain penelitian penulis membahas pemberdayaan penyandang
cacat tubuh agar menjadi masyarakat mandiri. Persamaannya adalah sama-sama
membahas pemberdayaan.
Penelitian yang dilakukan oleh La Ode Ali Basri, yaitu disertasi berjudul
“Kearifan Lokal sebagai Modal Sosial dan Budaya dalam Pemberdayaan
5
Masyarakat Pesisir Etnik Bajo Bungin Permai, Sulawesi Tenggara”
(2010). Tujuan penelitian itu adalah (1) untuk mengetahui dan memahami bentuk
kearifan lokal yang dapat menjadi modal sosial dan budaya untuk
memberdayakan masyarakat pesisir etnik Bajo Bungin Permai, Sulawesi
Tenggara; (2) cara pengembangan kearifan lokal sebagai modal sosial budaya
dalam pemberdayaan masyarakat pesisir etnik Bajo Bungin Permai dan faktor
yang dapat menunjang dan menghambat pengembangan kearifan lokal tersebut;
(3) memahami makna kearifan lokal sebagai modal pemberdayaan masyarakat
pesisir etnik Bajo Bungin permai.
Penelitian La Ode Ali Basri menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan pendekatan kajian budaya. Teori yang digunakan adalah teori
postkolonial, strukturasi, hegemoni, praktik sosial, dan semiotika. Adapun
simpulan yang diperoleh, yaitu (1) bentuk kearifan filosofi dan sistem
rarambanga; (2) pengetahuan dan keterampilan asli; (3) budaya kerja keras.
Pengembangan kearifan lokal orang Bajo sebagai modal sosial budaya dalam
pemberdayaan masyarakat pesisir etnik Bajo, Bungin Permai berupa pemanfaatan
pengetahuan dan keterampilan asli dan revitalisasi rarambanga orang Bajo.
Faktor penunjang kearifan lokal sebagai modal dalam pemberdayaan
masyarakat Bajo adalah (1) tersedianya sumber daya laut dan pantai di sekitar
wilayah hunian orang Bajo, (2) masih eksisnya institusi-institusi lokal orang Bajo,
serta (3) adanya dukungan dari pemerintah dan masyarakat. Faktor penghambat
kearifan lokal sebagai modal pemberdayaan orang Bajo adalah (1) transformasi
ekonomi kapitalistik yang sudah merambah dalam kehidupan masyarakat Bajo
6
Bungin, (2) benturan nilai budaya dengan masyarakat daratan, (3) sumber daya
manusia yang masih rendah, dan (4) pencitraan negatif terhadap masyarakat Bajo.
Makna pemanfaatan kearifan lokal sebagai modal pemberdayaan masyarakat
adalah (1) makna pelestarian budaya, serta (2) makna kemandirian dan
keberdayaan masyarakat.
Penelitian La Ode Ali Basri (2010) memiliki kesamaan dengan penelitian
penulis, yakni sama-sama mengkaji masalah pemberdayaan, tetapi materi kajian
berbeda. La Ode Ali Basri mengkaji pemberdayaan masyarakat pesisir etnik Bajo
Bungin Permai, Sulawesi Tenggara, sedangkan penulis menelaah pemberdayaan
penyandang cacat tubuh di Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali.
Penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Wana Pariartha berupa disertasi
berjudul “Manajemen Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Kecamatan
Denpasar Barat, Kota Denpasar” (2010). Dari hasil penelitian itu disimpulkan
bahwa Perda No. 3, Tahun 2000 sebagai perubahan atas Perda No. 15, Tahun
1993 yang digunakan sebagai acuan pelaksanaan manajemen pemberdayaan
belum mengakomodasi seluruh komponen yang terkait dengan permasalahan
pedagang kaki lima. Manajemen pemberdayaan belum mempunyai bentuk
organisasi yang pasti. Kenyataan menunjukan bahwa terdapat tiga jalur yang
dilaksanakan pemerintah, yakni (1) jalur pemerintah lewat aparat kecamatan,
desa/kelurahan, dan dusun/lingkungan, (2) jalur langsung, yaitu dimana aparat
pemerintah kota dan kecamatan langsung melakukan pembinaan di lapangan, dan
(3) jalur desa pakraman/adat.
7
Penelitian Pariartha (2010) memiliki kesamaan dengan penelitian penulis,
yakni sama-sama mengkaji masalah pemberdayaan, tetapi materi kajian berbeda.
Pariartha mengkaji manajemen pemberdayaan pedagang kaki lima di Kecamatan
Denpasar Barat, Kota Denpasar, sedangkan penulis menelaah pemberdayaan
penyandang cacat tubuh di Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali.
Penelitian yang dilakukan oleh Ni Putu Listiawati, (2010), yaitu disertasi
berjudul “Efektivitas Pemberdayaan Perempuan Pesisir di Bidang Keterampilan
Hidup di Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Lombok. Simpulan penelitian
listiawati adalah sebagai beriku. Pertama, upaya pemberdayaan perempuan pesisir
Ampenan belum merata sampai kepada para perempuan kelompok kelas populer
(kelompok perempuan berwawasan kurang, cara berpikir sederhana, sikap nerimo
dan minder). Ketidakmerataan ini juga disebabkan oleh modal sosial yang
dimiliki kelompok kelas populer tidak mendukung. Kedua, penguasaan sumber
daya modal oleh strata kelas pemilik modal (rentenir) membuat perempuan pesisir
kelompok kelas populer terdominasi dan menjadikan pemberdayaannya tidak
efektif. Ketiga, pengetahuan keterampilan usaha mikro menghasilkan kuasa bagi
tiga perempuan dari sembilan yang ikut pemberdayaan ini untuk mengatur diri
sendiri. Pengetahuan ini pun menguasainya sehingga menjadi patuh mengikuti
aturan. Hal ini membuat pemberdayaan menjadi efektif untuk tiga perempuan
tersebut.
Penelitian Listiawati (2010) memiliki kesamaan dengan penelitian penulis,
yakni sama-sama mengkaji masalah pemberdayaan, tetapi materi kajian berbeda.
Listiawati mengkaji efektivitas pemberdayaan perempuan pesisir di bidang
8
keterampilan hidup di Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Lombok, sedangkan
penulis menelaah pemberdayaan penyandang cacat tubuh di Yayasan Senang Hati
Gianyar, Bali. Hasil penelitian dalam bentuk karya ilmiah yang telah diuraikan,
sangat diperlukan sebagai bahan pembanding. Berdasarkan kajian pustaka ini
diketahui bahwa penelitian yang dilakukan belum pernah dibahas secara khusus.
2.2 Konsep
Pengertian konsep menurut Soedjadi (2000:14) adalah ide abstrak yang
dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada
umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata. Menurut Bahri
(2008:30), pengertian konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek
yang mempunyai ciri yang sama. Orang yang memiliki konsep mampu
mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi, sehingga objek-objek
dapat ditempatkan dalam golongan tertentu.
Menurut Malo etal. (1985:46), pengertian konsep adalah ide-ide,
penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun gejala sosial, yang dinyatakan
dalam istilah atau kata. Menurut Dahar (1996:80) pengertian konsep adalah suatu
abstraksi yang mewakili kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan,
atau hubungan-hubungan yang mempunyai atribut yang sama. Dari beberapa
pengertian konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan suatu
kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang dirumuskan dan dapat
dilambangkan dalam bentuk suatu kata (lambang bahasa).
9
Judul penelitian ini merupakan suatu ungkapan kalimat yang mengandung
beberapa istilah yang perlu dikonsepsikan untuk memberikan arah penelitian.
Istilah-istilah tersebut adalah pemberdayaan, penyandang cacat tubuh, dan
Yayasan/ Organisasi Sosial/ LSM. Dalam hal ini konsepsi mengenai istilah-istilah
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
2.2.1 Pemberdayaan
Menurut Sulistiyani (2004:77), secara etimologis pemberdayaan berasal
dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari
pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses
menuju berdaya atau proses pemberian daya (kekuatan/kemampuan) kepada pihak
yang belum berdaya. Menurut Oxford English Dictionary dalam Prijono (1996:3),
istilah pemberdayaan (empowerment) mengandung dua arti. Pertama, to give
power or authority to. Kedua, to give bility to anable. Dalam pengertian pertama
diartikan sebagai upaya memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuasaan atau
mendelegasikan otoritas kepada pihak lain. Dalam pengertian kedua diartikan
sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan. Dari kedua
pengertian tersebut diketahui bahwa konsep pemberdayaan tidak hanya
menyangkut individu, tetapi juga secara kolektif. Konsep pemberdayaan atau
empowerment sebagai bagian dari upaya membangun eksistensi pribadi,
keuangan, masyarakat, bangsa, pemerintah, negara, dan tata dunia di dalam
kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab. Bookman dan
Morgan (Prijono, 1996:117) menyatakan bahwa pemberdayaan adalah upaya
10
memberikan peluang kepada seseorang untuk meningkatkan potensi dan
kemampuan yang dimiliki serta secara mandiri menentukan masa depan yang
diinginkan. Berdasarkan pengertian dan teori para ahli di atas, dapat diketahui
bahwa dalam penelitian ini pemberdayaan diartikan sebagai upaya
membangkitkan kesadaran penyandang cacat tubuh tentang potensi yang dimiliki
serta berupaya untuk mengembangkannya sehingga masyarakat dapat mencapai
kemandirian.
Menurut Soetomo (2011:25) masyarakat adalah sekumpulan orang yang
saling berinteraksi secara kontinu, sehingga terdapat relasi sosial yang terpola,
terorganisasi. Anggota Yayasan Senang Hati saling berinteraksi secara kontinu
dan terdapat relasi sosial yang terpola, terorganisasi.
Moh. Ali Aziz, dkk (2005: 136) menyatakan sebagai berikut.
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat, khususnya mereka yang kurang memiliki akses ke sumber daya pembangunan, didorong untuk meningkatkan kemandiriannya di dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pemberdayaan masyarakat juga merupakan proses siklus terus-menerus, proses partisipatif di mana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok formal maupun informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama. Jadi, pemberdayaan masyarakat lebih merupakan suatu proses.
Selanjutnya pemaknaan pemberdayaan masyarakat menurut Madekhan Ali
(2007:86) adalah sebagai berikut.
Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah bentuk partisipasi untuk membebaskan diri mereka sendiri dari ketergantungan mental maupun fisik. Partisipasi masyarakat menjadi satu elemen pokok dalam strategi pemberdayaan dan pembangunan masyarakat dengan alasan berikut. Pertama, partisipasi masyarakat merupakan satu perangkat ampuh untuk memobilisasi sumber daya lokal, mengorganisasi serta membuka tenaga, kearifan, dan kreativitas masyarakat. Kedua, partisipasi masyarakat juga membantu upaya identifikasi dini terhadap kebutuhan masyarakat.
11
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan
masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan daya atau kekuatan masyarakat
dengan cara memberikan dorongan, peluang, kesempatan, dan perlindungan
dengan tidak mengatur dan mengendalikan kegiatan masyarakat yang
diberdayakan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan potensinya sehingga
masyarakat tersebut dapat meningkatkan kemampuan dan mengaktualisasikan diri
atau berpartisipasi melalui berbagai aktivitas.
2.2.1.1 Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Sulistiyani (2004:80), tujuan yang ingin dicapai
dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat
menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak,
dan mengendalikan apa yang dilakukan oleh masyarakat yang diberdayakan.
Untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan sebuah proses. Melalui
proses belajar, maka secara bertahap masyarakat akan memperoleh kemampuan
atau daya dari waktu ke waktu.
Menurut Sumaryadi (2005:11), pemberdayaan masyarakat adalah "upaya
mempersiapkan masyarakat seiring dengan langkah upaya memperkuat
kelembagaan masyarakat agar mereka mampu mewujudkan kemajuan,
kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang
berkelanjutan". Selain itu, pemberdayaan masyarakat menurut Sumaryadi pada
dasarnya juga sebagai berikut.
12
1. Membantu pengembangan manusiawi yang autentik dan integral dari
masyarakat lemah yang didiskriminasikan/dikesampingkan.
2. Memberdayakan kelompok masyarakat secara sosial ekonomis sehingga
mereka dapat lebih mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup
mereka, tetapi sanggup berperan serta dalam pengembangan masyarakat.
Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggung jawab
utama dalam program pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan adalah
masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan, atau kemampuan. Kekuatan
yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan,
kerja sama, kekuatan intelektual, dan komitmen bersama dalam menerapkan
prinsip-prinsip pemberdayaan.
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pemberdayaan
adalah memampukan dan memandirikan masyarakat, terutama dari kemiskinan,
keterbelakangan, kesenjangan, dan ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat dilihat
dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum mencukupi/layak.
Kebutuhan dasar itu mencakup sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan,
dan transportasi. Di pihak lain keterbelakangan, misalnya produktivitas yang
rendah, sumber daya manusia yang lemah, dan kesempatan pengambilan
keputusan yang terbatas. Kemudian ketidakberdayaan adalah melemahnya kapital
sosial yang ada di masyarakat (gotong royong, kepedulian, musyawarah, dan
keswadayaan) yang pada gilirannya dapat mendorong pergeseran perilaku
masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan, dan
kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama.
13
2.2.1.2 Strategi dan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat
Berdasarkan pendapat Sunyoto Usman (2003: 40--47) diketahui bahwa
ada beberapa strategi yang dapat menjadi pertimbangan untuk dipilih dan
kemudian diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu menciptakan iklim,
memperkuat daya, dan melindungi. Dalam upaya memberdayakan masyarakat
dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya
adalah pengenalan bahwa setiap manusia memiliki potensi atau daya yang dapat
dikembangkan. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering). Upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan dan
derajat kesehatan. Di samping itu akses ke dalam sumber-sumber kemajuan
ekonomi, seperti modal, lapangan kerja, dan pasar. Ketiga, memberdayakan juga
mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang
lemah menjadi bertambah lemah.
Berbicara tentang pendekatan, bila dilihat dari proses dan mekanisme
perumusan program pembangunan masyarakat, pendekatan pemberdayaan
cenderung mengutamakan alur dari bawah ke atas atau lebih dikenal pendekatan
bottom-up. Pendekatan ini merupakan upaya melibatkan semua pihak sejak awal
sehingga setiap keputusan yang diambil dalam perencanaan adalah keputusan
semua pihak dan mendorong keterlibatan dan komitmen sepenuhnya untuk
melaksanakannya.
14
2.2.1.3 Prinsip-prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Pembentukan masyarakat yang memiliki kemampuan yang memadai
untuk memikirkan dan menentukan solusi terbaik dalam pembangunan tentunya
tidak selamanya harus dibimbing, diarahkan, dan difasilitasi. Berkaitan dengan hal
ini, Sumodiningrat (2000) menjelaskan bahwa pemberdayaan tidak bersifat
selamanya, tetapi sampai target masyarakat mampu mandiri dan kemudian dilepas
untuk mandiri meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi.
Berdasarkan pendapat Sumodiningrat dapat dipahami bahwa pemberdayaan
melalui suatu masa proses belajar hingga mencapai status mandiri.
Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung
secara bertahap. Pertama, tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju
perilaku sadar dan peduli sehingga yang bersangkutan merasa membutuhkan
peningkatan kapasitas diri. Kedua, tahap transformasi kemampuan berupa
wawasan berpikir atau pengetahuan, kecakapan keterampilan agar dapat
mengambil peran di dalam pembangunan. Ketiga, tahap peningkatan kemampuan
intelektual, kecakapan keterampilan sehingga terbentuk inisiatif, kreatif, dan
kemampuan inovatif untuk mengantarkannya pada kemandirian (Sulistiyani,
2004).
Apabila masyarakat telah mencapai tahap ketiga ini, masyarakat dapat
secara mandiri melakukan pembangunan. Dalam konsep pembangunan
masyarakat pada kondisi seperti ini sering kali didudukkan sebagai subjek
pembangunan atau pemeran utama. Pemerintah tinggal menjadi fasilitator saja.
15
Serangkaian tahapan yang ditempuh melalui pemberdayaan tersebut dapat diamati
pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Tahapan Pemberdayaan Knowledge, Attitudes, Practice
dengan Pendekatan Aspek Afektif, Kognitif, Psikomotorik, dan Konatif
Sumber: Sulistiyani (2004)
Untuk melakukan pemberdayaan masyarakat secara umum dapat
diwujudkan dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat,
sebagai berikut.
1) Belajar dari masyarakat
Prinsip yang paling mendasar untuk melakukan pemberdayaan masyarakat
adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ini berarti dibangun pada pengakuan dan
kepercayaan tentang nilai. Di samping itu, juga relevansi pengetahuan tradisional
masyarakat dan kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalahnya
sendiri.
Tahapan Afektif
Tahapan Kognitif
Tahapan Psikomotorik
Tahapan Konatif
Belum merasa sadar & peduli
Belum memiliki wawasan pengetahuan
Belum memiliki keterampilan dasar
Tidak berperilaku membangun
Tumbuh rasa kesadaran & kepedulian
Menguasai pengetahuan dasar
Menguasai keterampilan dasar
Bersedia terlibat dalam pembangunan
Memupuk semangat kesadaran & kepedulian
Mengembangkan pengetahuan dasar
Mengembangkan keterampilan dasar
Berinisiatif untuk mengambil peran dalam pembangunan
Merasa membutuhkan kemandirian
Mendalami pengetahuan pada tingkat yang lebih tinggi
Memperkaya variasi keterampilan
Berposisi secara mandiri untuk membangun diri dan lingkungan
16
2) Pendamping sebagai fasilitator
Mengingat masyarakat sebagai pelaku konsekuensi dari prinsip pertama,
pendamping perlu menyadari perannya sebagai fasilitator, bukan sebagai pelaku
atau guru. Untuk itu diperlukan sikap rendah hati dan ketersediaan untuk belajar
dari masyarakat. Selain itu, juga menempatkan warga masyarakat sebagai
narasumber utama dalam memahami keadaan masyarakat itu. Bahkan, dalam
penerapannya masyarakat dibiarkan mendominasi kegiatan. Kalaupun pada
awalnya peran pendamping lebih besar, harus diusahakan agar secara bertahap
peran itu bisa berkurang dengan mengalihkan prakarsa kegiatan-kegiatan pada
warga masyarakat itu sendiri.
3) Saling belajar
Saling berbagi pengalaman merupakan salah satu prinsip dasar
pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat dalam hal ini adalah pengakuan
tentang pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat. Hal ini tidak berarti
bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah. Kenyataan
objektif telah membuktikan bahwa dalam banyak hal perkembangan pengalaman
dan pengetahuan tradisional masyarakat tidak sempat mengejar perubahan-
perubahan yang terjadi dan tidak lagi dapat memecahkan masalah-masalah yang
berkembang. Namun, telah terbukti pula bahwa pengetahuan modern dan inovasi
dari luar yang diperkenalkan oleh orang luar tidak dapat memecahkan masalah
yang ada di masyarakat.
17
Berdasarkan pengertian dan teori para ahli di atas, pemberdayaan dalam
penelitian ini dapat diartikan sebagai upaya membangkitkan kesadaran tentang
potensi yang dimiliki dan upaya untuk mengembangkannya sehingga masyarakat
dapat mencapai kemandirian.
2.2.2 Disabilitas/Penyandang Cacat
Coleridge melalui WHO mengemukakan definisi kecacatan yang berbasis
pada model sosial sebagai berikut.
Impairment (kerusakan/kelemahan): ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang disertai akibatnya terhadap fungsi tertentu. Misalnya, kelumpuhan di bagian bawah tubuh disertai ketidakmampuan untuk berjalan dengan kedua kaki. Disability/handicap (cacat/ketidakmampuan) adalah kerugian/keterbatasan dalam aktivitas tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya sedikit atau sama sekali tidak memperhitungkan orang-orang yang menyandang "kerusakan/kelemahan" tertentu dan karenanya mengeluarkan orang-orang itu dari arus aktivitas sosial (1997:132).
Peraturan Pemerintah Nomor 36, Tahun 1980 tentang Usaha
Kesejahteraan Sosial Penderita Cacat menyatakan bahwa penderita cacat
adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai
kelainan fisik atau mental yang merupakan suatu rintangan atau hambatan
baginya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan secara layak. Penderita cacat
terdiri atas cacat tubuh, cacat netra, cacat mental, cacat rungu wicara, dan cacat
bekas penyandang penyakit kronis. Kategori penyandang cacat tersebut
disempurnakan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4, Tahun 1997
tentang penyandang cacat yang mendifinisikan bahwa Penyandang Cacat
adalah "setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang
18
dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan kegiatan secara selayaknya". Penyandang cacat terdiri atas
penyadang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik
dan mental.
Ferial dan Slamet (1998:2) dalam manual RBM mendefinisikan
penyandang cacat sebagai bayi/anak/dewasa/orang tua yang mengalami
gangguan-gangguan sebagai berikut.
a. Gangguan kejang (ayan), yaitu kecacatan yang disebabkan oleh adanya
iritasi di dalam otak.
b. Gagguan belajar, yaitu keadaan seseorang yang mengalami hambatan dalam
mempelajari sesuatu karena memiliki tingkat kecerdasan atau kepandaian
yang rendah dibandingkan dengan yang lainnya.
c. Gangguan wicara, yaitu seseorang yang mengalami hambatan dalam
berbicara atau menyampaikan sesuatu.
d. Gangguan pendengaran, yaitu seseorang yang mengalami hambatan dalam
mendengar sehingga tidak dapat berkomunikasi atau masih bisa
berkomunikasi, tetapi tidak baik.
e. Gangguan penglihatan, yaitu seseorang yang mempunyai kelainan pada
indra penglihatan sedemikian rupa sehingga menghambat dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari.
F. Gangguan gerak, yaitu keadaan seseorang yang mengalami hambatan dalam
menggerakkan lengan, badan, atau tungkai. Hal ini disebabkan oleh
lemahnya fungsi lengan, badan, dan tungkai atau karena kehilangan salah satu
19
anggota badannya.
g. Gangguan perkembangan yang secara khusus dialami oleh bayi atau anak
kecil, yaitu perkembangannya tidak senormal orang lain.
h. Gangguan tingkah laku adalah keadaan seseorang yang memperlihatkan
gangguan tingkah laku karena pikirannya tidak bekerja seperti biasanya,
berubah-ubah dan tidak dapat berpikir jernih, bahkan tidak menyadari
tingkah lakunya.
i. Gangguan mati rasa, yaitu keadaan seseorang yang tidak dapat
memfungsikan indra perasaannya.
j. Gangguan lain-lain, seperti bibir sumbing, luka bakar, sesak, termasuk
yang mengalami gangguan/cacat ganda.
Untuk mempermudah memahami perbedaan definisi di atas, dapat
dilihat dalam tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kategori Penyandang Cacat dan Dasar Penggolongan
No Nama
Ahli/Sumber
Dasar Kategori Kategori
Penyandang Cacat 1 WHO Pendekatan medis
atau dokter a. Impairment b. Disability c. Handicap
2 Peter Coleridge Pendekatan sosial a. Impairment b. Disability/handicap
3 UU No. 4, Tahun 1997
Pendekatan sosial a. Penyandang cacat fisik b. Penyandang cacat mental c. Penyandang cacat ganda
4 Manual RBM Pendekatan medis, sosial, pendidikan, dan keterampilan.
a. Gangguan kejang b. Gangguan belajar c. Gangguan wicara d. Gangguan pendengaran e. Gangguan penglihatan f. Gangguan gerak g. Gangguan perkembangan h. Gangguan tingkah laku i. Gangguan lain-lain
Sumber: Diolah dari Coleridge (1997), U U Nomor 4, Tahun 1997, dan Manual RBM (1998)
20
Caleridge membahas permasalahan penyandang cacat dengan
menggunakan tiga model pendekatan, yaitu model tradisional, model medis dan
model sosial. Model tradisional merupakan konstruk yang dibuat oleh agama
dan budaya di tiap masyarakat, yang memandang kecacatan sebagai sebuah
hukuman, penyandang cacat dianggap sebagai orang yang telah berbuat dosa
besar, dan akibat kemarahan para leluhur. Penyandang cacat dalam model ini
dipandang sebagai orang yang bernasib sial, berbeda, kotor, dan tercela.
Metode kedokteran menganggap kecacatan sebagai suatu abnormalitas.
Artinya, orang yang mengalami kecacatan harus dinormalkan, dikoreksi,
ditanggulangi, dan disembuhkan sehingga hambatan yang di hadapi di
masyarakat dapat diatasi. Model sosial disusun berdasarkan pemahaman
bahwa penyatuan diri penyandang cacat diartikan sebagai proses merobohkan
rintangan-rintangan dan menjinakkan ranjau-ranjau sosial. Model ini
menekankan aspek perubahan sikap masyarakat terhadap penyandang cacat
yang menghambat kemandirian dan pengembangan dirinya.
Goffman sebagaimana dikemukakan oleh Johnson (1990:47),
mengungkapkan bahwa masalah sosial utama yang dihadapi penyandang
cacat, yaitu mereka abnormal dalam tingkat yang sedemikian jelasnya
sehingga orang lain tidak merasa enak atau tidak mampu berinteraksi
dengannya. Lingkungan sekitar telah memberikan stigma kepada penyandang
cacat bahwa mereka dipandang tidak mampu dalam segala hal. Hal tersebut
merupakan penyebab dari berbagai masalah di atas.
21
Berdasarkan berbagai gambaran tentang penyandang cacat, terlihat
bahwa permasalahan yang dihadapi penyandang cacat tidak sebatas pada
penyandang cacat itu sendiri, tetapi juga terkait dengan keluarga penyandang
cacat dan masyarakat. Kenyataan sebagaimana terungkap di atas mengarah
kepada simpulan bahwa penyandang cacat, keluarga, dan masyarakat
merupakan sasaran pembinaan dan pendidikan dalam rangka memahami dan
mengerti kecacatan serta cara-cara untuk mengatasinya.
Masyarakat yang melakukan pemberdayaan penyandang cacat harus
memperhatikan kebutuhan penyandang cacat dan keluarganya. Penyandang
cacat membutuhkan dukungan emosional, kesempatan untuk
mengungkapkan perasaan dan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan
perilaku secara bertahap. Tujuannya supaya penyandang cacat mendapatkan
kembali pengetahuan mengenai pengendalian diri dan emosional yang
terdapat pada individu.
Selanjutnya dimukakan bahwa keluarga dan anggotanya yang lain perlu
memahami bagaimana hubungan satu dengan lainnya menjadi berubah. Keluarga
perlu mengetahui siapa yang mengambil alih peran dan fungsi, bagaimana
anggota keluarga dan penyandang cacat merasakan perubahan-perubahan
tersebut, dan bagaimana keluarga sebagai suatu unit ekonomi dan sosial telah
mengubah keberfungsiannya. Penelitian ini membahas pemberdayaan
penyandang cacat tubuh di Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali. Di yayasan itu
ada beberapa orang penyandang cacat lainnya, seperti penyandang tuna wicara,
keterbelakangan mental, dan memiliki kecacatan ganda.
22
2.2.3 Yayasan/ Organisasi Sosial/ LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
Dalam Keputusan Menteri Sosial RI dirumuskan pengertian organisasi
sosial, yaitu “suatu perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai
sarana partisipasi masyarakat dalam melaksanakan usaha kesejahteraan sosial”.
Menurut rumusan di atas, diketahui bahwa organisasi sosial berfungsi sebagai
sarana/alat. Fungsi sebagai sarana/alat, menurut F.X. Soedjadi (1992:12),
mengandung dua aspek. Pertama, organisasi sebagai wadah yang relatif bersifat
statis, mengandung stabilitas dengan maksud untuk memberikan adanya suatu
kepastian dan ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan kerja sama antarmanusia
yang berada dalam organisasi yang bersangkutan. Kedua, organisasi sosial
sebagai proses pengelompokan manusia dalam suatu kerja sama yang efisien,
mengandung unsur dinamika, hidup, berkembang sesuai dengan sifat kodrati
manusia yang tidak pernah statis.
Organisasi sosial (social organization) di dalam kehidupan manusia
tersebut merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup
bersama. Untuk itu, diperlukan beberapa persyaratan tertentu, antara lain seperti
berikut. Pertama, adanya kesadaran pada setiap anggota kelompok bahwa dia
merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan. Kedua, adanya hubungan
timbal balik antara anggota yang satu dan anggota yang lain. Ketiga, adanya
faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan di antara mereka bertambah erat,
yang dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang
23
sama, dan ideologi yang sama. Keempat, berstruktur, berkaidah, dan mempunyai
pola perilaku. Kelima, bersistem dan berproses (Hari Budiyanto.dkk., 2008: 9)
Istillah LSM secara tegas didefinisikan dalam Instruksi Menteri Dalam
Negeri (Inmendagri) No.8/1990, yang ditujukan kepada gubernur diseluruh
Indonesia tentang Pembinaaan Lembaga Swadaya Masyarakat. Lampiran II
Inmendagri menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi/lembaga yang
anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik Indonesia yang secara
sukarela atau kehendak sendiri berminat. Di samping itu, juga bergerak di bidang
kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud
partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya.
2.3 Landasan Teori
Dalam penelitian ini diaplikasikan beberapa teori secara eklektis. Secara
garis besar, teori yang diaplikasikan adalah teori hegemoni, teori dekonstruksi,
teori praktik sosial, dan teori relasi kuasa yang pernah dikemukakan oleh para
pakarnya masih-masing. Adapun gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi dasar teori
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
2.3.1 Teori Hegemoni
Gramsci (1971:57) menyatakan bahwa istilah hegemoni digunakan untuk
kelompok yang dominan dalam suatu masyarakat mendapat dukungan dari
kelompok-kelompok subordinasi melalui proses kepemimpinan intelektual dan
24
moral. Menurut Simon (1999:9), hegemoni bukan hubungan dominasi dengan
menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan
kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah organisasi konsensus.
Teori hegemoni dibangun di atas pentingnya ide dan tidak mencukupinya
kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Menurut Gramsci, agar yang
dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai
dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, juga harus memberikan
persetujuan atas subordinasi tersebut. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan
“hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual” secara
konsensual. Dalam kontek ini Gramsci secara berlawanan mendudukkan
hegemoni sebagai satu bentuk supermasi satu kelompok atau beberapa kelompok
atas yang lainnya dengan bentuk supermasi lain yang dinamakan “dominasi”,
yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik (Sugiono, 1999:31).
Kelebihan konsepsi Gramsci tentang negara integral adalah karena
konsepsi itu memungkinkan dirinya memandang hegemoni dalam batasan
dialektik yang meliputi masyarakat sipil atau masyarakat politik (Sugiono, 1999).
Lebih jauh dikatakan Gramsci bahwa bila kekuasaan hanya dicapai dengan
mengandalkan kekuasaan memaksa, hasil nyata yang berhasil dicapai dinamakan
“dominasi”. Stabilitas dan keamanan memang tercapai, sementara gejolak
perlawanan tidak terlihat karena rakyat memang tidak berdaya. Namun hal ini
tidak dapat berlangsung secara terus-menerus. Dengan demikian, para penguasa
yang benar-benar sangat ingin melestarikan kekuasaannya akan melengkapi
dominasi (bahkan secara perlahan-lahan kalau perlu menggantikannya) dengan
25
perangkat kerja yang kedua, yang hasil akhirnya lebih dikenal dengan sebutan
“hegemoni”. Hal ini berarti bahwa supermasi kelompok (penguasa) atau kelas
sosial tampil dalam dua cara, yaitu dominasi atau penindasan serta kepemimpinan
intelektual dan moral. Tipe kepemimpinan yang terakhir inilah yang merupakan
hegemoni (Hendarto, 1993:74). Jadi kekuasaan hegemoni lebih cenderung
merupakan kekuasaan melalui “persetujuan” (konsensus), yang mencakup
beberapa jenis penerimaan intelektual atau emosional atas tatanan sosial politik
yang ada.
Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui
mekanisme konsensus (consenso) daripada melalui penindasan terhadap kelas
sosial lain. Ada berbagai cara yang dipakai, misalnya melalui yang ada di
masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-
struktur kognitif dari masyarakat itu. Itulah sebabnya hegemoni pada hakikatnya
merupakan upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang
problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan (Gramsci, 1976:244). Dalam
konteks tersebut Gramsci menekankan pada aspek kultural (ideologis). Melalui
produk-produknya, hegemoni menjadi satu-satunya penentu dari sesuatu yang
dipandang benar, baik secara moral maupun intelektual. Hegemoni kultural tidak
hanya terjadi dalam relasi antarnegara, tetapi juga dapat terjadi dalam hubungan
antara berbagai kelas sosial yang ada dalam suatu negara.
Ada tiga tingkatan yang dikemukakan oleh Gramsci, yaitu hegemoni total
(integral), hegemoni yang merosot (decadent), dan hegemoni yang minimum
(Femia, 1981). Dalam konteks ini dapat dirumuskan bahwa konsep hegemoni
26
merujuk pada pengertian tentang situasi sosial politik. Dalam terminologinya
“momen” filsafat dan praktik sosial masyarakat menyatu dalam keadaan
seimbang, dominasi merupakan lembaga dan manifestasi perorangan. Pengaruh
“roh” ini membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik, dan semua
relasi sosial, terutama dari intelektual dan hal-hal yang menunjuk pada moral.
Konsep hegemoni terkait dengan tiga bidang, yaitu ekonomi (economic),
negara (state), dan rakyat (civil society) (Bocock, 1986). Ruang ekonomi menjadi
fundamental. Namun, dunia politik yang menjadi arena hegemoni juga
menampilkan momen perkembangan tertinggi dari sejarah sebuah kelas. Dalam
hal ini pencapaian kekuasaan negara, konsekuensi yang dibawanya bagi
kemungkinan perluasan dan pengembangan penuh dari hegemoni itu telah muncul
secara parsial memiliki sebuah signifikasi yang khusus. Negara dengan segala
aspeknya yang diperluas mencakup wilayah hegemoni memberikan kepada kelas
yang mendirikannya, baik prestise maupun tampilan kesatuan sejarah kelas
penguasa dalam bentuk konkrit, yang dihasilkan dari hubungan organik antara
negara atau masyarakat politik dan civil society.
Gramsci dalam bahasan teorinya memberikan solusi untuk melawan
hegemoni (counter hegemony) dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan.
Menurut Gramsci kaum intelektual memegang peranan penting di masyarakat.
Berbeda dengan pemahaman kaum intelektual yang selama ini dikenal, dalam
catatan hariannya Gramsci (1971) menulis bahwa “setiap orang sebenarnya adalah
seorang intelektual, tetapi tidak semua orang menjalankan fungsi intelektualnya di
masyarakat”.
27
Tipe intelektual yang ada dalam masyarakat dibedakan menjadi dua.
Pertama, intelektual tradisional. Intelektual ini terlihat independen, otonom, dan
menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Mereka hanya mengamati dan
mempelajari kehidupan masyarakat dari kejauhan dan sering kali bersifat
konservatif (anti terhadap perubahan). Contoh intelektual tradisional ini adalah
para penulis sejarah, filsuf, dan para profesor. Kedua, intelektual organik. Mereka
yang sebenarnya menanamkan ide, menjadi bagian dari penyebaran ide-ide yang
ada di masyarakat dari kelas yang berkuasa, dan turut aktif dalam pembentukan
masyarakat yang diinginkan. Ketika akan melakukan counter hegemoni kaum
intelektual organik harus berangkat dari kenyataan yang ada di masyarakat.
Artinya, mereka haruslah orang yang berpartisipasi aktif dalam kehidupan
masyarakat, menanamkan kesadaran baru yang menyingkap kebobrokan sistem
lama, dan dapat mengorganisasikan masyarakat. Dengan demikian ide tentang
pemberontakan serta merta dapat diterima oleh masyarakat hingga tercapainya
revolusi.
Yang unik meskipun berasal dari Partai Komunis Italia tidak lantas
Gramsci berpendapat bahwa intelektual organik harus berasal dari kalangan
buruh, tetapi harus lebih luas dari itu. Counter hegemoni bisa dilakukan oleh siapa
saja intelektual dari berbagai kelompok yang tertindas oleh sistem kapitalisme.
Menurut Strinati (1995), “setiap pihak yang berkontribusi dalam perjuangan
melawan hegemoni harus saling menghormati otonomi kelompok yang lain. Di
samping itu, kelompok tersebut harus bekerja sama agar menjadi kekuatan
kolektif yang tidak mudah dipatahkan ketika melakukan counter hegemoni”.
28
Dalam penelitian ini teori hegemoni digunakan untuk melihat hegemoni
satu kelompok atas kelompok-kelompok lainnya di Yayasan Senang Hati Gianyar,
Bali. Hegemoni itu harus diraih melalui upaya-upaya politis, kultural, dan
intelektual untuk menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat.
Teori hegemoni juga digunakan untuk melihat perlawanan penyandang cacat
tubuh di Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali karena ketidakpuasan terhadap
pemimpin dan manajemen keuangan.
2.3.2 Teori Relasi Kuasa
Teori relasi kuasa digunakan untuk membedah hubungan kuasa yang
terbangun di antara beberapa aktor yang terjalin dalam pemberdayaan penyandang
cacat tubuh di Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali. Beberapa aktor yang terjalin
dalam pemberdayaan penyandang cacat tubuh adalah penyandang cacat tubuh,
pengurus, donatur, pemerintah, dan masyarakat. Para aktor dalam hubungan ini
terlibat dalam proses perijinan, pendanaan, pelaksanaan dan pengawasan
pemberdayaan penyandang cacat tubuh di Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali.
Perebutan kuasa di antara aktor pada era global bermuara pada penguasaan
ekonomi dan dominasi ditentukan oleh kepemilikan modal masing-masing pihak.
Salah satu tokoh yang memiliki pemikiran terkait dengan relasi kuasa ini
adalah filsuf Prancis bernama Paul Michel Foucault, lahir di Poitiers, 15 Oktober
1926. Selain sebagai filsuf, Foucault dikenal sebagai sejarawan ide, teori sosial,
ahli Bahasa dan kritikus sastra. Teori-teorinya membahas hubungan antara
kekuasaan dan pengetahuan. Foucault dalam Baker (2004:163) menjelaskan
29
kuasa/pengetahuan adalah konsep kekuasan/pengetahuan menyangkut
kesalingterkaitan hubungan antara kekuasaan dengan pengetahuan sehingga
produksi pengetahuan dipahami sangat terkait dengan rezim kekuasaan dan
kemudian berkontribusi terhadap perbaikan dan pengembangan.
Foucault mengemukakan wacana erat hubungannya dengan kekuasaan,
disebutkan kekuasaan adalah satu dimensi dari relasi. Menurutnya di mana ada
relasi, di sana ada kekuasaan, sehingga kekuasaan dapat dijumpai di mana saja.
Seperti kekuasaan di antara berbagai relasi dalam pemberdayaan penyandang
cacat di Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali pada era global ini. Salah satu
pemikiran Foucault adalah tentang strategi atau teknik kekuasaan. Dalam strategi
kuasa setiap orang memiliki kekuasaan, bukan hanya elite politic atau lembaga-
lembaga kenegaraan saja. Ia berpendapat bahwa konsep kekuasaan telah berubah
dibandingkan dengan abad ke-19. Ciri kekuasaan pada saat itu: pertama, cendrung
brutal. Kedua, dioperasikan secara terus-menerus. Ketiga, menekankan ketaatan
pada tata acara dan penuh dengan simbolisme. Keempat, berada di ruang publik
(Putranto, 2005:154).
Intisari pemikiran-pemikiran Foucault dalam Bertens (2006:352) adalah:
1) Kuasa bukanlah milik individu atau kelompok, melainkan strategi kuasa tidak
dimiliki tetapi dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak
posisi secara strategis berkaitan satu dengan yang lainnya dan senantiasa
mengalami pergeseran.
30
2) Kuasa terdapat di mana-mana, sebelumnya kuasa selalu dikaitkan dengan
orang atau lembaga tertentu. Menurut Foucault strategi kuasa berlangsung di
mana saja selama seorang individu mempunyai hubungan dengan masyarakat.
3) Kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi yang bersifat
negatif, tetapi juga melalui normalisasi dan regulasi bersifat positif.
4) Kuasa tidak bersifat deskruktif melainkan produktif, terkadang kuasa itu
dianggap menghasilkan sesuatu yang jahat dan harus ditolak, tetapi penolakan
itu sendiri merupakan strategi kuasa.
Dalam praktiknya kuasa berlangsung di antara relasi penguasa dan yang
dikuasai. Penguasaan dapat melahirkan golongan yang didominasi atau golongan
yang terpinggirkan. Menurut Gramsci golongan terpinggirkan disebut dengan
istilah subaltern dimaknai sebagai orang tertindas, kelompok yang didominasi dan
dieksploitasi serta kurang memiliki kesadaran kelas (Ratna, 2005:189).
Kelompok-kelompok masyarakat yang tertindas biasanya menjadi subjek
hegemoni kelas-kelas yang berkuasa, seperti petani, buruh, perajin, nelayan dan
penyandang cacat. Kelompok-kelompok ini tidak memiliki akses kepada
kekuasaan “hegemonic” yang dimainkan pihak penguasa. Istilah ini kemudian
digunakan dalam kajian pascakolonial yang merujuk kepada semua golongan
terpinggir dari segi kelas, usia, kasta, gender, dan perjawatan (Ashcroft,
2000:215--216). Menurut Spivak kelompok-kelompok yang dikuasai tidak
memiliki kemampuan dalam menunjukkan identitasnya dan tertindas secara sosial
dan ekonomi (Morton, 2008:13).
31
Sebagai golongan tertindas adalah penyandang cacat tubuh yang
bergabung dalam pemberdayaan di Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali.
Penyandang cacat tubuh termasuk individu atau kelompok yang tertindas oleh
pihak-pihak pemilik kuasa dan modal, sehingga yang tidak kuat akan
terpinggirkan. Pada dunia global saat ini, kuasa pengandang cacat tubuh lemah
sehingga kesulitan memperjuangkan kepentingnnya melalui kemampuan yang
dimiliki. Penyandang cacat tubuh selalu menjadi sasaran para hegemonic
melaksanakan program-program dari struktur sebagai pemilik kuasa, misalnya
dalam pemberdayaan penyandang cacat tubuh dan penentuan harga yang
diberikan kepada penyandang cacat.
2.3.3 Teori Dekonstruksi
Teori dekonstruksi Jacques Derrida digunakan untuk mengkaji
pemberdayaan penyandang cacat tubuh di Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali.
Derrida adalah seorang Yahudi yang lahir di El-Aljazair 15 Juli 1930 dan
meninggal tahun 2004. Dekonstruksi mengandung arti mengurangi, melepaskan,
membongkar suatu bagian atau keseluruhan dari suatu susunan, bangunan, dan
struktur yang telah dibangun bersama sehingga intensitasnya berkurang,
menyusut, dan sebagainya (Ratna, 2007:244).
Derrida (dalam Lubis, 2004:114) mengatakan bahwa dekonstruksi adalah
membaca dan menafsirkan ulang segala sesuatu yang dianggap final sehingga
dengan cara mendekonstruksi (membongkar) penafsiran lama akan melahirkan
penafsiran baru yang berbeda dengan penafsiran lama. Teori dekonstruksi juga
32
menolak kebenaran akhir karena akan berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman. Demikian juga dengan makna, menyingkirkan adanya rumus dan makna
yang bersifat jelas dan tegas (makna final).
Barker (2009:81) mengatakan bahwa Derrida biasanya dikaitkan dengan
praktik dekonstruksi. Secara khusus dekonstruksi melibatkan pelucutan oposisi
biner hierarkis, seperti tuturan/tulisan, realitas/penampakan alam/kebudayaan,
dan kewarasan/kegilaan yang berfungsi menjamin kebenaran dengan cara
mengesampingkan dan mengevaluasi bagian ‘inferior” oposisi biner tersebut.
Derrida menunjukkan kelemahan ucapan untuk mengungkapkan makna
dengan menggunakan kata difference. Proses dekonstruksi memahami tanda tidak
sesederhana menemukan makna. Suatu hal yang dimaknai adalah suatu proses
dengan cara membongkar (to dismantle) dan menganalisis secara kritis (critical
analysis) tidak bersifat tetap, tetapi dalam kenyataannya dapat bersifat ‘ditunda”
untuk memperoleh hubungan yang lain atau baru. Dalam proses differance
penundaan ini, proses dekonstruksi bertujuan untuk menemukan makna lain atau
makna baru. Struktur makna suatu tanda bukan sesuatu yang objektif dan bukan
sesuatu yang subjektif (Hoed, 2008:14--15). Menurut Piliang (2003:126),
dekonstruksi adalah penyangkalan akan oposisi ucapan/tulisan, ada/tak ada,
murni/tercemar, dan penolakan akan kebenaran dan logos itu sendiri.
Dekonstruksi (deconstruction) adalah suatu teori atau metode analisis yang
dikembangkan oleh Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa,
khususnya struktur oposisi biner sedemikian rupa sehingga menciptakan satu
permainan tanda yang tanpa akhir. Di sini dekonstruksi berusaha mengekspos
33
ruang-ruang kosong dalam teks akibat adanya oposisi biner berupa asumsi,
ideologi, yang didasari dan menjadi landasan kerja mereka (Piliang, 2004:16).
Dekonstruksi yang dikembangkan Derrida adalah penyangkalan terhadap
oposisi ucapan atau tulisan, ada atau tidak ada, murni atau tercemar, dan akhirnya
penolakan terhadap kebenaran tunggal atau logos itu sendiri. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa penganut aliran dekonstruksi berpendapat ketika membaca
penanda (signifier) agar menjadi petanda (signified), maka penafsiran harus
ditunda agar mendapatkan makna yang berbeda (difference) dari petanda yang
sudah menjadi mitos. Karena sifatnya yang mengaitkan tiga segi, yakni penanda,
petanda, dan penafsiran (interpretasi), hal ini dikatakan bersifat trikotomis.
Pemaknaan terhadap pemberdayaan para penyandang cacat tubuh di
Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali dilakukan melalui asas-asas yang
dikembangkan. Adapun asas-asas yang dimaksud adalah membuka kemungkinan
untuk membaca peringkat-peringkat penandaan yang real dan yang hipotesis, baik
yang muncul di permukaan maupun yang ada di balik tanda, berupa petanda yang
mencerminkan makna yang sebenarnya (Barthes, 2007:xiii). Teori dekonstruksi
digunakan untuk melihat, mengkritisi, membongkar, dan menafsirkan kembali
berbagai hal yang berhubungan dengan pemberdayaan penyandang cacat tubuh di
Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali.
34
2.3.4 Teori Praktik Sosial
Bourdieu menyatakan rumus generative yang menerangkan praktik sosial
dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Bourdieu, 1984:101).
Relasi antara habitus, ranah, dan modal dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Habitus
Bourdieu (1984:13) mengartikan habitus sebagai suatu sistem disposisi
yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposable disposition)
yang berfungsi sebagai basis generative bagi praktik-praktik yang terstruktur dan
terpadu secara objektif. Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi
tindakan praktis (tidak harus disadari) secara terus menerus yang kemudian
diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan
berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (dalam Haryatmoko, 2003:11). Bila
dikaitkan dengan penelitian ini, habitus adalah terbentuknya sikap mental usaha
penyandang cacat tubuh dari pemberdayaan secara terus-menerus. Di samping itu,
juga hasil interaksinya dan berbagai pengalaman dengan teman sebaya dan
dengan lingkungan dalam ruang dan waktu. Hal itu akan membentuk kepribadian
dan karakter penyandang cacat tubuh yang semakin mandiri di Yayasan Senang
Hati Gianyar, Bali.
b. Ranah (field)
Ranah yang dikemukakan oleh Bourdieu (1984:524) lebih bersifat
relasional daripada struktural. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran
35
dan kemauan individu. Bourdieu melihat ranah sebagai tempat sebuah
pertarungan. Selain itu “ranah juga merupakan medan perjuangan”. Di pihak lain
struktur lingkungan menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan
penghuni posisi tertentu (baik individu maupun kolektif) yang mencoba
melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip
kesenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri.
Ranah yang didasari habitus merupakan jaringan relasi antarposisi objektif dalam
suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individual. Ranah bukan
merupakan ikatan intersubjektif antarindividu, melainkan merupakan semacam
hubungan yang terstruktur. Di samping itu, tanpa disadari mengatur posisi-posisi
individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan.
c. Modal
Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003:11) mengusulkan suatu visi pemetaan
gabungan kekuasaan dalam masyarakat dengan mendasarkan pada logika posisi
dan kepemilikan sumber daya. Pemetaan ini berupa suatu lingkup pembedaan atas
dasar kepemilikan modal-modal dan komposisi modal-modal tersebut. Pendekatan
ini memperhitungkan bahwa setiap kelas sosial tidak dapat didefinisikan secara
terpisah, tetapi selalu dalam hubungannya dengan kelas-kelas lain. Bonnewitz
(dalam Haryatmoko, 2003:11) berpendapat bahwa konsep “modal” yang
digunakan oleh Bourdieu merupakan khazanah ilmu ekonomi. Akan tetapi,
beberapa cirinya mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan. Seperti
terakumulasi melalui investasi, bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan.
36
Hal itu dapat memberikan keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki
oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya.
Bourdieu menggolongkan modal menjadi empat jenis, yaitu modal
ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik yang membentuk
struktur lingkup sosial. Di antara berbagai modal tersebut, modal ekonomi dan
modal budaya merupakan modal yang menentukan di dalam member criteria
diferensiasi dan paling relevan bagi lingkup masyarakat yang sudah maju.
Berdasarkan dua perbedaan tersebut, dapat dijelaskan kelas sosial terkait dengan
kategori sosioprofesional.
37
2.4 Model Penelitian
Keterangan:
= Hubungan saling memengaruhi
= Hubungan langsung searah
Masyarakat Bali pada Era Globalisasi Pemerintah
Kebudayaan Bali,
Masalah Sosial Penyandang cacat
Undang- Undang RI No. 8, Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas
Bentuk Pemberdayaan
Penyandang Cacat Tubuh
Implikasi Hambatan
Pemberdayaan Penyandang Cacat Tubuh
Hambatan Pemberdayaan Penyandang Cacat Tubuh
Pemberdayaan
Penyandang Cacat Tubuh di Yayasan
Senang Hati
Temuan Penelitian
38
Penjelasan Model Penelitian
Seperti tampak pada bagan di atas, penelitian ini bermaksud untuk
mengkaji fenomena membongkar pemberdayaan penyandang cacat tubuh di
Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali. Hal-hal yang hendak dipahami dalam
pemberdayaan penyandang cacat tubuh berkaitan dengan masyarakat Bali pada
era globalisasi (kapitalisme, pariwisata, teknologi, media, dan politik) dengan
pemerintah. Masyarakat Bali pada era globalisasi tidak terlepas dari kebudayaan
Bali yang dimiliki masyarakat dan masalah sosial penyandang cacat yang terjadi
di masyarakat. Untuk menjaga hak-hak penyandang cacat, pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang RI No. 4, Tahun 1997 tentang penyandang cacat,
yang kemudian diganti dengan Undang-Undang RI No. 8, Tahun 2016 tentang
penyandang disabilitas.
Aspek-aspek tersebut, yaitu kebudayaan Bali, masalah sosial
penyandang cacat, dan Undang-Undang RI No. 8, Tahun 2016 tentang
penyandang disabilitas mengaruhi Yayasan Senang Hati dalam melaksanakan
pemberdayaan penyandang cacat tubuh. Oleh Karena itu, lahirlah konsep
pemberdayaan masyarakat yang di dalamnya terkandung bentuk pemberdayaan,
penghambat pemberdayaan, dan implikasi penghambat pemberdayaan
penyandang cacat tubuh yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat, khususnya yang bergabung di Yayasan Senang Hati Gianyar, Bali.