16 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Studi Terdahulu Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang masalah, penelitian mengenai sinonimi dalam bahasa Indonesia sudah pernah dilakukan. Akan tetapi, penelitian-penelitian yang telah dilakukan masih terbatas pada jenis verba tertentu dan nomina. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini akan diuraikan pada bagian ini. Berkaitan dengan itu, istilah-istilah yang digunakan di dalamnya adalah istilah asli dari sumbernya. Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih (2007) telah meneliti nomina noninsani yang bersinonim di dalam bahasa Indonesia. Penelitian tersebut membahas permasalahan pada pendefinian leksem nomina noninsani di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tujuannya untuk mengecek kelayakan definisi leksem nomina dalam KBBI dan memberikan saran perbaikan pendefinisian leksem yang bersinonim dalam KBBI, khususnya leksem nomina noninsani. Hasil dari penelitiannya adalah pendefinisian leksem di dalam KBBI belum layak dan jika leksem yang tidak dapat disubstitusi itu bukan merupakan leksem sinonim, jika dapat disubstitusi itu merupakan leksem sinonim. Utami (2010) telah mengkaji sinonim nomina dalam bahasa Indonesia dalam tesisnya. Penelitian tersebut membahas permasalahan pada sinonim nomina dalam bahasa Indonesia yang bertujuan untuk mengidentifikasi ciri pembeda seperangkat nomina bahasa Indonesia yang bersinonim dan ruang lingkup pemakaiannya. Hasil penelitiannya adalah kebanyakan nomina dalam bahasa
44
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan … · dalamnya adalah istilah asli dari ... belum layak dan jika leksem yang tidak dapat disubstitusi itu bukan merupakan leksem
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Studi Terdahulu
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang masalah, penelitian
mengenai sinonimi dalam bahasa Indonesia sudah pernah dilakukan. Akan tetapi,
penelitian-penelitian yang telah dilakukan masih terbatas pada jenis verba tertentu
dan nomina. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini akan
diuraikan pada bagian ini. Berkaitan dengan itu, istilah-istilah yang digunakan di
dalamnya adalah istilah asli dari sumbernya.
Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih (2007) telah meneliti nomina
noninsani yang bersinonim di dalam bahasa Indonesia. Penelitian tersebut
membahas permasalahan pada pendefinian leksem nomina noninsani di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tujuannya untuk mengecek kelayakan
definisi leksem nomina dalam KBBI dan memberikan saran perbaikan
pendefinisian leksem yang bersinonim dalam KBBI, khususnya leksem nomina
noninsani. Hasil dari penelitiannya adalah pendefinisian leksem di dalam KBBI
belum layak dan jika leksem yang tidak dapat disubstitusi itu bukan merupakan
leksem sinonim, jika dapat disubstitusi itu merupakan leksem sinonim.
Utami (2010) telah mengkaji sinonim nomina dalam bahasa Indonesia
dalam tesisnya. Penelitian tersebut membahas permasalahan pada sinonim nomina
dalam bahasa Indonesia yang bertujuan untuk mengidentifikasi ciri pembeda
seperangkat nomina bahasa Indonesia yang bersinonim dan ruang lingkup
pemakaiannya. Hasil penelitiannya adalah kebanyakan nomina dalam bahasa
17
Indonesia bersinonim dekat disebabkan oleh beberapa ciri pembeda dan beberapa
kata yang selama ini dikelompokkan ke dalam sinonim, tetapi sebenarnya
merupakan anggota dari kehiponiman. Penggunaan kata-kata yang bersinonim
dalam komunikasi memerlukan kecermatan dari pengguna bahasa itu sendiri,
yang disebabkan oleh adanya ciri pembeda dalam setiap kata yang bersinonim
tersebut. Dengan demikian, penggunaannya tidak akan menimbulkan kejanggalan
dan kesalahan dalam penerimaan informasi.
Heriwaluyo (2010) telah melakukan penelitian tentang sinonimi verba,
tetapi hanya terbatas pada verba yang bermakna mengalahkan dalam berita
olahraga di media cetak. Penelitian tersebut membahas dua permasalahan.
Pertama, identifikasi kata, frasa, dan klausa yang memenuhi makna
„mengalahkan‟ dalam wacana jurnalistik berita olahraga di media cetak. Kedua,
hubungan kata dengan kata dan kata dengan frasa yang menunjukkan gejala
sinonimi makna „mengalahkan‟ dalam berita olahraga di media cetak.
Penelitiannya menghasilkan dua simpulan. Pertama, identifikasi kata, frasa, dan
klausa menghasilkan sebuah klasifikasi berdasarkan afiksasi dan berdasarkan
bentuk yang lugas, serta metaforis. Kedua, bentuk substitusi dari kata-kata atau
frasa yang memenuhi makna „mengalahkan‟ dapat menimbulkan hubungan kata
dengan kata yang dapat dipertukarkan, tanpa mengubah struktur kalimat dan dapat
menimbulkan tambahan makna yakni makna metaforis, sedangkan hubungan kata
dengan frasa tidak dapat diperlakukan secara langsung.
18
B. Landasan Teori
1. Sinonimi
Suatu kata memiliki relasi atau hubungan dengan kata lain. Relasi makna
yang paling sentral adalah relasi sinonimi. Beberapa ahli mencoba untuk
mendeskripsikan relasi sinonimi antarleksem.
Nida (1975: 16–17) mendefinisikan sinonimi sebagai “the words in each
pair, normally called synonyms, are almost never substitutable one for the other
in any and all contexts” „kata-kata dalam masing-masing pasangan biasanya
disebut sinonim yang hampir tidak pernah dapat digantikan satu dengan yang
lainnya dalam beberapa dan semua konteks‟. Bertolak dari pandangan tersebut,
dapat diketahui bahwa sinonimi merupakan kata-kata yang tidak dapat
dipertukarkan untuk saling mengganti dalam semua konteks kalimat. Kata-kata
tidak dapat berterima di dalam konteks kalimat lain, meskipun dalam suatu
konteks kalimat, kata-kata tersebut berterima.
Kata-kata yang bersinonim itu tidak dapat dinyatakan memiliki makna
yang identik, tetapi memiliki makna yang bertumpang tindih saat mereka dapat
disubstitusikan antara satu dan lainnya dalam konteks tertentu tanpa perubahan
yang signifikan dalam isi konsep suatu ucapan (Nida, 1975: 17). Oleh Nida, relasi
makna tumpang tindih dapat ditunjukkan pada diagram berikut:
19
Gambar 1
Relasi Makna Tumpang Tindih
Sumber: Nida, 1975: 17
Gambar di atas menunjukkan bahwa satu kata memiliki hubungan yang
tumpang tindih dengan kata lain. Kata satu mengandung unsur kata lain dan
sebaliknya. Relasi itu tidak terbatas hanya pasangan yang terdiri dari dua kata,
tetapi bisa tiga kata atau lebih, yang bersinonim berdekatan. Contoh: kata duga,
sangka, terka, dan tebak. Relasi sinonim kata tersebut adalah 4 kata, yang
maknanya tumpang tindih. Semua kata dapat dipertukarkan dalam satu konteks
kalimat, hanya ada sedikit perbedaan di antaranya, namun maknanya sama yaitu
„menentukan hal yang belum pasti‟.
Menurut Cruse (1997: 88), sinonimi merupakan relasi leksikal yang
beridentitas paralel dalam keanggotaan dua kelas tertentu. Ia menyatakan bahwa
“… there are different degrees of synonymyty; the relation defined in terms of
truth-conditional relations will be distinguished as propositional synonymy”
(Cruse, 1997: 88) „… ada perbedaan tingkatan kesinoniman, leksem yang dapat
digantikan dalam berbagai kalimat dengan ciri-ciri kebenaran kondisional yang
disebut sebagai sinonim proposisional‟. Sebagai contoh, kata fiddle „rebab‟ dan
violin „biola‟: keduanya mampu menghasilkan kalimat dengan kebenaran
kondisional yang berbeda, contoh “He plays the violin very well” „Dia (laki-laki)
bermain biola dengan sangat bagus‟ diikuti dengan “He plays the fiddle very
20
well” „Dia (laki-laki) bermain rebab dengan sangat bagus‟. Artinya, sinonimi
proposisional merupakan pasangan sinonimi yang salah satunya lebih spesifik
daripada yang lain. Penggunaan satu kata lebih tepat daripada kata yang lain
dalam kondisi tertentu.
Ada dua intuisi semantik yang kuat menurut Cruse (1997: 265). Pertama,
bahwa pasangan atau kelompok yang pasti dari soal leksikal menanggung
semacam khusus kemiripan semantik antara satu dengan yang lain. Itu biasa
dilakukan untuk menyebut hal yang memiliki semacam kemiripan khusus.
Namun, kelas intuitif sinonimi tidak bermakna habis oleh gagasan sinonimi
kognitif, seperti sekilas akan dikonfirmasikan pada beberapa kamus sinonim.
Kedua, bahwa beberapa pasangan sinonim lebih identik daripada pasangan lain:
settee „sofa kecil‟ dan sofa „sofa‟, die „mati‟ dan kick the bucket „meninggal
dunia‟, yang pada gilirannya lebih identik daripada boundary „batas‟ dan frontier
„perbatasan‟, breaker „pemecah‟ dan roller „penggilas‟, atau brainy „cerdas‟ dan
shrewd „cerdas‟.
Menurut pandangan di atas, sinonimi memiliki tingkatan tertentu. Tidak
setiap kata memiliki makna yang tingkatannya sama, misalnya tingkat
perasaannya, seperti mohon dan minta, yang lebih emotif mohon daripada minta.
Jadi, kata-kata tersebut tidak dapat dipertukarkan dalam suatu konteks kalimat
yang menuntut verbanya untuk memenuhi kedalaman perasaan penggunanya
ketika menggunakannya.
Menurut Cruse (1997: 266–267), sayangnya, tidak ada cara yang rapi
untuk karakterisasi sinonimi. Pemecahan masalahnya dengan dua jalan. Pertama,
dalam istilah kemiripan penting dan perbedaan yang diperbolehkan. Kedua,
21
kontekstual dengan cara bentuk diagnostik. Salah satunya, jelas bahwa sinonimi
harus memiliki derajat signifikan pada ciri-ciri semantik, seperti dibuktikan
dengan sifat semantik umum. Kemudian, sinonimi merupakan soal leksikal yang
dirasakan identik dalam mematuhi pusat ciri-ciri semantik, tetapi berbeda jika
pada semuanya hanya mematuhi apa yang dapat secara sementara kita
deskripsikan sebagai ciri-ciri minor atau periferal. Sebuah usaha akan dilakukan
untuk karakterisasi perbedaan yang diperbolehkan antara sinonimi.
Hal di atas menunjukkan bahwa untuk membedakan antara kata-kata yang
memiliki kemiripan makna adalah dengan memasukkannya ke dalam kalimat
diagnostik. Kalimat diagnostik dibuat untuk membedakan makna kata yang sangat
mirip, yang dibuat sendiri atau dapat pula diambil dari suatu sumber. Kalimat
diagnostik dapat berterima semua, dapat pula ada beberapa yang tidak berterima.
Menurut Cruse (1997: 267), sinonimi juga khas terjadi dalam tipe pasti
dalam ekspresi. Misalnya, sinonimi kadang digunakan sebagai penjelasan atau
klarifikasi makna kata lain. Hubungan antara dua kata sering menandakan sesuatu,
seperti that is to say „artinya‟ atau variasi tertentu pada or „atau‟:
(20) He was cashiered, that is to say, dismissed.
„Dia dipecat. Artinya, diberhentikan.‟
(21) This is an ounce, or snow leopard.
„Ini seekor macan tutul, atau macan tutul salju.‟
Ketika sinonimi digunakan dengan kontras seperti di atas, kadang-kadang
hal itu normal untuk menandakan kenyataan bahwa itu perbedaan yang harus
diperhatikan dengan beberapa ekspresi seperti more exactly „lebih tepatnya‟ atau
or rather „atau lebih tepatnya‟:
22
(22) He was murdered, or rather executed.
„Dia dibunuh atau lebih tepatnya dieksekusi.‟
(23) On the table there were a few grains or, more exactly, granules of the
substance.
„Di atas meja ada beberapa padi-padian atau lebih tepatnya butiran zat.‟
Sinonimi menurut pandangan di atas dapat digunakan untuk memperjelas
kata yang bersinonim. Jadi, kata tersebut benar-benar mirip antara satu dan yang
lain, contoh: kata basmi dan berantas. Contoh dalam kalimat berikut:
(24) Petugas kesehatan membasmi, atau lebih tepatnya memberantas
nyamuk penyebab malaria.
Cruse (1997: 270–272) menyatakan ada pula jenis sinonimi proposisional
dan plesionim. Sinonimi proposisional merupakan pasangan bentuk leksikal yang
harus memiliki properti semantik tertentu pada umumnya. Contoh:
(25) Arthur has lost the key. „Arthur kehilangan kunci.‟
(26) Arthur has lost the blasted key. „Arthur kehilangan kunci utama.‟
Akan tetapi, jika blasted „utama‟ hanya mengandung makna ekspresif
yang dapat diganti oleh spare „cadangan‟ yang mengandung makna proposisional,
kalimat dengan konteks yang berbeda diperoleh:
(27) Arthur has lost the spare key. „Arthur kehilangan kunci cadangan.‟
Dari contoh tersebut, sinonimi proposisional merupakan sinonimi yang
harus memiliki properti semantis sebagai penjelasnya, yang dapat dipertukarkan
dengan pasangannya dalam konteks kalimat yang sama. Kata key „kunci‟ di atas
dapat diekspresikan atau dijelaskan ke dalam hal yang spesifik seperti blasted key
„kunci utama‟ dan spare key „kunci cadangan‟.
23
Plesionimi menurut Cruse (1997: 285) dibedakan dari sinonim kognitif
dengan fakta bahwa kalimat hasil dengan konteks yang berbeda: dua kalimat yang
berbeda hanya dalam hal plesionimi dalam posisi sintaktik paralel tidak saling
melibatkan, meskipun jika bentuk leksikal merupakan relasi hiponim mungkin ada
entailment unilateral „perikutan secara satu pihak‟.
Plesionimi merupakan sinonimi yang sebenarnya adalah hiponimi. Dari
contoh di atas, kunci sebagai hipernimnya, kunci cadangan dan kunci utama
sebagai hiponimnya. Oleh karena itu, hiponimi berfungsi untuk menyampaikan
suatu hal supaya lebih ekspresif.
Kreidler (1998: 97) menyatakan “…synonymy is an instance of mutual
entailment, and synonyms are instances of mutual hyponymy” „sinonimi
merupakan contoh hubungan saling berikutan dan sinonim merupakan contoh
saling berhiponim‟. Contoh:
(28) Jack is a seaman. „Jack seorang pelaut.‟
(29) Jack is a sailor. „Jack seorang pelaut.‟
Contoh di atas merupakan contoh sinonimi karena kata seaman dan sailor
dapat dipertukarkan satu sama lain dan benar dalam kalimat yang sama.
Hubungan antara keduanya saling berikutan, sailor melibatkan seaman dan
sebaliknya.
Menurut Kreidler (1998: 96), “synonyms can be nouns, … or adjectives,
adverbs, or verbs” „sinonim dapat berupa nomina, … atau adjektiva, adverbia,
atau verba‟.
(30) The rock is large. „Batu itu besar.‟ (adjektiva)
(31) The rock is big. „Batu itu besar.‟ (adjektiva)
24
(32) The train traveled fast. „Kereta itu berjalan cepat.‟ (adverbia)
(33) The train traveled rapidly. „Kereta itu berjalan dengan cepat.‟
(adverbia)
(34) The bus left promptly at 10. „Bus itu segera meninggalkan pukul 10.‟
(verba)
(35) The bus departed promptly at 10. „Bus itu segera meninggalkan pukul
10.‟ (verba)
Akan tetapi, pasangan sinonimi dapat pula merupakan hiponimi dari suatu
hipernimi jika pasangan tersebut tidak saling berikutan. Jika satu kata dapat
dicakupi kata yang lain disebut hubungan hiponimi. Contoh: big merupakan
hiponimi dari large.
Menurut Lyons, sinonimi didefinisikan sebagai berikut:
Ekspresi-ekspresi dengan makna yang sama. Keduanya harus dicatat
definisinya. Pertama, sinonimi tidak membentuk relasi sinonimi pada
kata: sinonimi membuat kemungkinan bahwa ekspresi-ekspresi
sederhana leksikal mungkin memiliki makna yang sama seperti
ekspresi kompleks leksikal. Kedua, sinonimi membuat identitas, tidak
sama persis dengan makna kriteria sinonimi (Lyons, 1996: 60).
Hal di atas berarti sinonimi harus memiliki identitas makna yang sama.
Kata-kata harus memiliki makna yang sama persis. Akan tetapi, sinonimi dapat
pula hanya sama identitasnya sebagai pasangan sinonimi, tetapi perbedaannya
terletak pada makna yang tidak sama persis. Contoh: leksem mohon dan minta
memiliki identitas yang sama sebagai sinonimi, yaitu keduanya memiliki makna
meminta, tetapi berbeda keemotifannya. Perbedaannya, leksem mohon lebih
emotif daripada kata minta sehingga tanggapan dari lawan tutur akan berbeda
pula.
25
Parera (2004: 63) menerangkan bahwa kesinoniman dalam sebuah bahasa
lebih banyak terjadi akibat serapan antarbahasa, antardialek, dan antarragam
bahasa. Ini berarti bahasa yang tidak pernah berkontak dengan bahasa atau dialek
yang lain tidak akan mempunyai banyak sinonimi. Dengan kata lain, sinonimi
banyak berupa kata yang bersifat kedaerahan atau dialek daripada yang lain dan
lebih bersifat umum daripada yang lain. Oleh karena itu, akan sulit untuk
menemukan sinonimi yang tidak berasal dari serapan bahasa, dialek, dan ragam
bahasa. Contoh: kata pirsa bersinonim dengan kata tahu.
Riemer (2010: 151) menguraikan bahwa sinonimi merupakan bagian dari
investasi metalinguistik yang oleh penutur biasa bahasa Inggris dikatakan:
pengguna bahasa sering menyebut kata satu dengan kata yang lain, seperti
memiliki kesamaan makna. Contoh:
(36) It‟s likely/probable that he‟ll be late. „Ini sepertinya/mungkin bahwa
dia akan terlambat‟
(37) He is likely/probable to be late. „Dia sepertinya/mungkin akan
terlambat.‟
Kedua kata di atas bersinonim karena memiliki kesamaan makna. Akan
tetapi, jika keduanya menunjukkan perbedaan aturan gramatikal, kemungkinan
peristiwanya akan seperti di atas.
Collinson (dalam Ullman, 2012: 177) pernah berusaha untuk
mentabulasikan perbedaan antara pasangan sinonimi. Ia membedakan sembilan
kemungkinan berikut ini.
a. Satu kata lebih umum daripada yang lain: refuse – reject (bandingkan:
binatang – hewan)
26
b. Satu kata lebih intens dari yang lain: repudiate – refuse (bandingkan:
mengamati – memandang)
c. Satu kata lebih emotif daripada yang lain: reject – decline (bandingkan:
memohon – meminta)
d. Satu kata dapat mencakup penerimaan atau penolakan moral sedangkan
yang lain netral: thirfty – economical (bandingkan: sedekah – pemberian)
e. Satu kata lebih profesional daripada yang lain: desease –death
(bandingkan: riset – penelitian)
f. Satu kata lebih literer daripada yang lain: passing – death (bandingkan:
mafhum – memahami; puspa – bunga; ibunda – ibu)
g. Satu kata lebih kolokial (bersifat keseharian) daripada yang lain: turn
down – refuse (bandingkan: aku –saya)
h. Satu kata lebih bersifat lokal atau dialek daripada yang lain: bahasa Inggris
Scots flesher – butcher (bandingkan: lu : gua [Jakarta] – kamu : saya)
i. Salah satu dari sinonim termasuk bahasa kanak-kanak: daddy – father
(bandingkan: mama – ibu; mimik – minum)
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tidak ada sinonimi yang mutlak.
Setiap sinonimi ada unsur pembedanya, seperti lebih umum, lebih intens, lebih
emotif, lebih dapat diterima atau ditolak, lebih profesional, lebih literer, lebih
bersifat keseharian, lebih bersifat dialek, dan lebih kanak-kanak daripada yang
lain.
Sinonimi didefinisikan sebagai “dua leksem atau dua satuan lingual lain itu
dapat saling menggantikan dengan isi/informasi yang sama” (Subroto, 2011: 62).
Dalam lingkup semantik leksikal, kesinoniman dapat terdapat dalam lingkup:
27
nomina, verba, adjektiva, pronomina persona, numeralia, adverbia, dan preposisi
(Subroto, 2002: 120). Pandangannya tentang sinonimi mengacu pada pandangan
Nida (1975), yang keduanya menyatakan bahwa sinonimi merupakan relasi yang
dapat disubstitusikan pada konteks kalimat yang berbeda dengan makna yang
sama.
Menurut Fromkin, Victoria, Robert Rodman, Nina Hyams (2011: 156),
“synonyms are words or expressions that have the same meaning in some or all
contexts” „sinonim merupakan kata atau ekspresi yang memiliki kesamaan makna
dalam beberapa atau semua konteks‟. Oleh karena itu, kata-kata yang memiliki
makna yang sama di dalam beberapa atau semua konteks kalimat dapat disebut
sinonimi.
Di sisi lain, dikemukakan oleh Hurford, James R., Brendan Heasly, dan
Michael B. Smith bahwa sinonimi itu merupakan relasi antara predicates dan
bukan di antara kata-kata. Dengan kata lain, kata dapat memiliki banyak makna
yang berbeda-beda, beberapa perbedaan makna kata disebut predicates (2007:
107). Artinya, sinonimi bukan relasi antara dua kata yang memiliki makna yang
sama, melainkan dua makna yang sama.
Selain hal di atas, untuk membedakan pasangan sinonim yang berdekatan
dapat digunakan skala intensitas. Hal tersebut dikemukakan oleh Karlsson (2014:
3) bahwa “near synonyms in a lexical set may also be distinguished from each
other by intensity” „sinonim yang berdekatan dalam seperangkat leksikal dapat
pula dibedakan satu dengan yang lain dengan intensitas‟. Jadi, di dalam
seperangkat pasangan sinonim yang berdekatan dapat dibedakan satu kata dengan
yang lain melalui skala intensitasnya, misalnya kata surprise „terkejut‟ yang jelas
28
menambah intensitasnya dari surprise „mengejutkan‟, astonish „mencengangkan‟,
amaze „menakjubkan‟, astound „mengherankan‟, dan flabbergast „sangat
menakjubkan‟.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa
sinonimi berarti relasi antara dua leksem atau lebih yang memiliki kesamaan
makna dan dapat menggantikan satu sama lain di dalam kalimat yang sama.
Kesinoniman dapat berupa nomina, adjektiva, adverbia, dan verba. Akan tetapi,
penelitian ini lebih berfokus pada teori Cruse tentang relasi sinonimi karena ia
merupakan ahli yang berfokus pada sinonimi. Selain itu, sinonimi olehnya,
dibedakan lagi ke hal yang lebih kecil, serta pasangan sinonim tidak selalu
bersinonim mutlak. Oleh karena itu, teori yang dikemukakan oleh ahli lain
diperlukan sebagai pelengkap teori ini. Sinonimi dapat diidentifikasikan sebagai
berikut.
a. pasangan dua kata atau lebih.
b. memiliki makna yang sama atau sangat mirip.
c. dapat dipertukarkan satu sama lain dalam kalimat yang sama.
d. pasangan yang salah satunya lebih umum, lebih intens, lebih emotif, lebih
dapat diterima atau ditolak, lebih profesional, lebih literer, lebih bersifat
keseharian, lebih bersifat dialek, dan lebih kanak-kanak daripada yang lain.
2. Leksem
Matthews (1997: 26) menyatakan bahwa leksem merupakan “…a lexical
unit and is entered in dictionaries as the fundamental element in the lexicon of a
language” „leksem merupakan satuan leksikal yang terdapat di dalam kamus
29
sebagai bagian paling dasar dalam leksikon suatu bahasa‟. Jadi, leksem mengacu
pada satuan leksikal terkecil dari leksikon, misalnya dies „mati‟, died „meninggal‟,
dying „akan mati‟, dan die „mati‟ merupakan bentuk kata dari leksem DIE.
Menurut Cruse (1997: 76), leksem didefinisikan sebagai “a dictionary
contains (among other things) an alphabetical list of the lexemes of language. We
shall characteristic a lexeme as a family of lexical unit” „leksem merupakan entri
kamus (di antara hal lain) yang disusun secara alfabetis pada leksem suatu bahasa.
Kita dapat mengkarakteristikkan leksem sebagai keluarga dari satuan leksikal‟.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat ditentukan bahwa leksem merupakan salah
satu satuan leksikal bahasa yang terdapat di dalam kamus, misalnya obey „taat‟,
obeys „mentaati‟, dan obeyed „mentaati (lampau)‟ merupakan bentuk kata dari
leksem obey „taat‟.
Kreidler (1998: 50-51) menyatakan bahwa “a lexeme is a minimal unit that
can take part in referring or predicating. All the lexemes of a language constitute
the lexicon of the language, and all the lexemes that you know make up your
personal lexicon” „suatu leksem merupakan satuan terkecil yang dapat menempati
acuan atau predikat. Semua leksem dalam bahasa merupakan leksikon bahasa dan
semua leksem yang kamu ketahui membentuk leksikon pribadi‟. Jadi, dapat
dikatakan bahwa leksem merupakan satuan terkecil dari leksikon bahasa yang
dapat menempati acuan atau predikat, misalnya go „pergi‟, going „akan pergi‟,
went „pergi (lampau)‟, gone „telah pergi‟ merupakan bentuk dari leksem go
„pergi‟.
Riemer (2010: 17) mengatakan “the lexeme is the name of the abstract unit
which unites all the morphological variants of a single word. Thus, we can say
30
that go, goes,went, have gone and to go all are instantiations of the lexeme to
go…” „leksem merupakan nama satuan abstraksi yang menyatukan semua jenis
morfologis kata tunggal. Jadi, kita dapat mengatakan bahwa go „pergi‟, goes
„pergi‟, went „pergi (lampau)‟, have gone (telah), dan to go „pergi (akan)‟.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa leksem merupakan
abstraksi yang melingkupi bentuk morfologis suatu kata. Leksem dapat
menyatukan bentuk-bentuk morfologis kata. Artinya, setiap bentuk morfologis,
yakni kata dapat disatukan ke dalam suatu leksem.
Subroto (2011: 42) menyatakan bahwa “leksem adalah satuan abstrak
(hasil abstraksi) dari sebuah paradigma (infleksional atau paradigma yang tidak
mengubah identitas kata) yang paling kecil, baik simpel maupun kompleks.” Jadi,
leksem merupakan bentuk abstraksi dari kata-kata secara infleksional, misalnya
leksem MINTA merupakan bentuk abstraksi dari minta, meminta, memintai,
memintakan, diminta, dimintai, dimintakan, permintaan, peminta, dan peminta-
minta.
Leksem merupakan satuan terkecil dari leksikon yang digunakan sebagai
bahan mentah dalam proses morfologis. Dengan kata lain, leksem merupakan
input dan kata merupakan output dari proses tersebut. Hal tersebut dinyatakan
oleh Kridalaksana bahwa leksem adalah sebagai berikut.
Satuan terkecil dari leksikon, (2) satuan yang berperan sebagai input
dalam proses morfologis, (3) bahan baku dalam proses morfologis, (4)
unsur yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah
disegmentasikan dari bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang
lepas dari morfem afiks, (5) bentuk yang tidak tergolong proleksem
atau partikel (Kridalaksana, 1988: 52).
Pandangan di atas menunjukkan bahwa leksem merupakan satuan terkecil
dari leksikon yang merupakan bahan baku dalam proses morfologis. Oleh karena
31
itu, leksem yang mengalami proses morfologis akan membentuk kata. Selain itu,
leksem tidak disemati afiks berbeda dengan kata. Untuk penulisan leksem dalam
penelitian ini menggunakan huruf kecil miring, sesuai dengan pandangan Cruse,
Kreidler, dan Riemer di atas.
3. Verba
Suatu kata memiliki identitas sebagai suatu kelas kata. Salah satu kelas
kata adalah kelas kata kerja atau disebut verba. Beberapa ahli mencoba untuk
mendeskripsikan kelas kata verba.
Pandangan mengenai verba berdasarkan afiks yang menyematinya
diuraikan Beard sebagai berikut.
Verb class, too, is always marked by a suffix or thematic segment and
never by a free-standing morpheme. Verba classes determine stems
and are always the first affix before or after the root. Recall the
Russian examples “bel-ej-“ „be(come) white‟ and “bel-i-“ „whiten‟.
The ej-Class defines this set of stems as members of the First
Conjugation. While these markers may precede them. The results of
the Free Analog and Peripheral Affix Criterion offer a solid case for
Verb Class and Transitivity as the only lexical verb categories (Beard,
1995: 129).
„Verba selalu ditandai dengan sebuah sufiks atau segmen tematik dan
tidak pernah dengan morfem bebas. Verba selalu menentukan batang
afiks pertama sebelum atau setelah kata dasar. Contoh dalam bahasa
Rusia “be-ej-“ „memutih‟ dan “bel-i-“ „memutihkan‟. Kelas “ej-“
mendefinisikan seperangkat batang sebagai anggota dari konjugasi
pertama. Ketika pemarkahnya dapat mendahului mereka,
menghasilkan analogi pertama dan kriteria afiks periferal memberikan
bentuk padat untuk verba dan ketransitifan sebagai kategori verba
leksikal.‟
Pandangan di atas menunjukkan bahwa verba tidak selalu didampingi
morfem bebas. Verba juga dapat ditandai dengan adanya afiks baik berupa prefiks
maupun sufiks. Kelas kata verba dapat hanya berupa kata dasar, dapat pula berupa
32
kata berafiks. Contoh: minta termasuk verba dasar dan meminta, memintakan, dan
memintai termasuk verba berafiks.
Menurut Cann (1994: 32), “verbs, which combine with noun phrases to
form sentences, are naturally associated with the general semantic category of
predicate” „verba yang berkombinasi dengan frasa nomina dalam bentuk kalimat
itu terkait secara alami dengan kategori semantik umum pada predikat‟.
Pandangan itu menunjukkan bahwa verba yang berkombinasi dengan frasa
nomina akan menjadi predikat dalam suatu kalimat. Jadi, jika verba didampingi
frasa nomina atau nomina maka verba berfungsi sebagai predikat.
Verba memiliki aksionalitas, makna aspektualitas inheren verba, dan
situasi. Tadjuddin (1993a: 36) menguraikan bahwa “istilah aksionalitas di
kalangan pakar Slavia mengacu pada gejala aspektualitas yang diungkapkan
melalui proses morfologi derivasional. Sementara itu, di kalangan pakar Inggris,
istilah itu digunakan dalam artian aspektualitas yang diungkapkan secara inheren
melalui verba” (dalam Sumarlam, 2004: 32). Dari kajian aspektualitas dan unsur-
unsur yang berhubungan dapat diketahui berbagai situasi sebagai hasil
pemahaman terhadap makna aspektualitas inheren verba, misalnya dalam
pengkajiannya terhadap makna aspektualitas inheren verba bahasa Inggris,
membagi situasi menjadi lima: keadaan (state), ketercapaian (achievement),
aktivitas (activity), keselesaian (accomplishment), dan serial (series). Brinton
mengatakan bahwa serial/habitual merupakan perbuatan berulang-ulang yang
terjadi pada kesempatan yang berbeda (Brinton, 1988: 54 dalam Sumarlam, 2004:
33). Jadi, berdasarkan pandangan tersebut, dapat ditentukan bahwa verba dapat
dilihat dari aspek-aspek yang terkandung di dalamnya. Aspek-aspek tersebut
33
meliputi: keadaan seperti sakit, ketercapaian seperti menang, aktivitas seperti lari,
keselesaian seperti sembuh, dan serial seperti mandi.
Berkenaan dengan situasi dan makna aspektualitas inheren verba, situasi
dinamis memandang situasi dari segi ada tidaknya perubahan atau gerakan atau
keberlangsungan situasi dinamis harus didukung oleh usaha atau tenaga secara
berkesinambungan. Sifat dinamis ini menandai situasi verba pungtual (peristiwa)
dan verba aktivitas (proses) (Sumarlam, 2004: 34–35). Olehnya, situasi pungtual
diuraikan sebagai berikut.
a. situasi pungtual oleh Lyons (1978) disebut „peristiwa momental‟, oleh
Tadjuddin (1993a) disebut „situasi lintas batas‟, sedangkan verbanya oleh
Quirk et al. (1972: 95) dan Djajasudarma (1997: 69) disebut „verba peristiwa
tradisional‟, contoh: tiba, jatuh, menendang.
b. aktivitas, merupakan situasi dinamis yang berlangsung pada poros waktu yang
berkembang atau oleh Lyons (1978) dan Comrie (1981) disebut „proses‟.
contoh: membaca, menulis.
c. situasi statif atau keadaan, yang bersifat homogen, keberlangsungannya tetap,
tanpa disertai perubahan atau gerakan (nondinamis), dan keberlangsungannya
tidak memerlukan usaha atau tenaga, kecuali jika terjadi sesuatu yang
menyebabkan terputusnya keadaan itu. contoh: tahu, percaya.
d. situasi statis keberlangsungannya tidak homogen, terbatas waktunya. contoh:
berdiri, tidur, bersandar.
Menurut pandangan di atas, verba dapat dilihat dari aspek situasinya.
Aspek tersebut meliputi situasi pungtual atau peristiwa momental, aktivitas,