Page 1
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini membahas tentang kajian pustaka yang meliputi matematika,
pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME), media pembelajaran, hasil
belajar, hasil penelitian yang relevan, kerangka berfikir, dan hipotesis tindakan
pembelajaran matematika secara lebih rinci akan dijelaskan seperti berikut.
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Matematika
2.1.1.1 Hakekat Matematika
Kata matematika berasal dari bahasa Latin, manthanein atau
mathema yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari,” sedang dalam
bahasa Belanda, matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang
kesemuanya berkaitan dengan penalaran (Depdiknas, 2001:7). Penalaran
itu selalu digunakan ketika manusia mulai belajar mengenai suatu materi
dalam matematika. Di dalam matematika sebagian besar atau semuanya
berkaitan dengan perhitungan atau kegiatan berhitung. Berhitung juga
termasuk penalaran. Matematika memiliki bahasa dan aturan yang
tergambar dengan baik, penalaran yang jelas dan sistematis.
Menurut Ruseffendi (dalam Heruman, 2007) matematika adalah
bahasa symbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara
induktif; ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi,
mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan
akhirnya ke dalil.
Matematika menurut Erman Suherman (2003:253) adalah disiplin
ilmu tentang tata cara berfikir dan mengolah logika, baik secara kuantitatif
maupun secara kualitatif. Menurut Johnson dan Myklebust yang dikutip
oleh Mulyono Abdurrahman (2002:252) matematika adalah bahasa
simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-
hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah
untuk memudahkan berfikir. Di dalam matematika terdapat simbol-simbol
Page 2
9
yang merupakan gambaran tentang hubungan-hubungan kuantitatif dan
manusia dapat menggunakan logikanya untuk memecahkan segala
permasalahan dalam matematika. Untuk memudahkan berfikir manusia
harus ada aktivitas sejalan dengan pemikiran Hans Freudenthal ( Ibrahim
2012 : 12 ) berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (
human activities ) dan harus dikaitkan dengan realitas.
Berdasarkan beberapa penjelasan teori yang telah dipaparkan,
penulis menyimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu deduktif
tentang mengolah logika dengan menggunakan penalaran yang berkaitan
dengan realitas. Di dalam matematika selalu terdapat aktivitas berhitung
atau berkaitan dengan angka. Matematika juga menekankan pada
pemahaman konsep.
2.1.1.2 Pembelajaran Matematika di SD
Manusia hidup pasti ingin maju dan terus berkembang mengikuti
perkembangan zaman. Maju, artinya melangkah ke depan untuk mencapai
masa depan dan cita-cita yang diinginkan. Untuk meraih semua itu, maka
manusia haruslah belajar. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya (Slameto, 2010:2). Belajar merupakan proses dari
yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa, dan dari
yang tidak mampu menjadi mampu. Seseorang akan mengalami
perkembangan apabila sudah belajar dengan baik.
Pembelajaran merupakan kata jamak dari kata belajar, yang
menurut Purwadarminta (dalam Mahfud, 2012: 211) sama artinya dengan
instruction atau pengajaran yaitu cara (pembuatan) mengajar atau
mengajarkan. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 pasal 1
tentang pendidikan nasional menyatakan bahwa pembelajaran adalah
proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar. Sedangkan menurut Oemar Hamalik (dalam
Mawardi dan Puspasari, 2011: 198) pembelajaran adalah suatu kombinasi
Page 3
10
yang tersusun meliputi unsur- unsur manusiawi, material, fasilitator,
perlengkapan dan proses yang saling mempengaruhi untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
Jadi berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran adalah suatu proses interaksi yang
mengkombinasikan unsure-unsur manusiawi, material, fasilitator,
perlengkapan yang diwujudkan dalam kegiatan belajar (peserta didik) dan
mengajar (pendidik) pada suatu lingkungan belajar untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu. Pembelajaran tidak dapat berlangsung apabila tidak
ada pendidik (guru) yang mendorong peserta didik melangkah maju untuk
mencapai tujuan pendidikan. Sebaliknya, pembelajaran tidak dapat terjadi
apabila tidak ada peserta didik yang mempunyai semangat belajar untuk
melangkah maju dan berkembang dengan baik. Proses pembelajaran harus
mencakup semua komponen yang mendukung.
Matematika diperlukan bagi kehidupan sehari-hari manusia,
misalnya untuk menghitung benda-benda, memberi takaran bahan pada
makanan, membagi benda, menghitung jarak, luas, panjang, berat, dan
lain-lain yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia.
Piaget menegaskan bahwa peserta didik Sekolah Dasar (SD) yang
usianya berada di antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun berada
pada fase operasional konkret. Fase ini merupakan kemampuan dalam
proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun
masih terkait dengan objek yang bersifat konkret atau nyata. Pembelajaran
Matematika yang abstrak, membuat siswa membutuhkan semacam alat
bantu berupa media, dan alat peraga yang dapat memudahkan siswa dalam
memahami materi yang disampaikan oleh guru.
Namun, penulis dalam hal ini akan membahas tentang
permasalahan yang ada di Sekolah Dasar berkaitan dengan pembelajaran
Matematika karena sebagian besar permasalahan pada dasarnya bermuncul
ketika manusia berfikir bahwa Matematika itu sulit.
Page 4
11
Matematika sangat diperlukan bagi kehidupan sehari-hari. Manusia
dapat menghitung karena Matematika, manusia bisa mengukur karena
Matematika, bahkan manusia bisa berjualan saja juga karena Matematika.
Jadi, kehidupan manusia sangatlah dekat dengan Matematika.
Menurut Badan Standart Nasional Pendidikan (2006) menyatakan
bahwa tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD) adalah
untuk:
a) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma,
secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan
masalah. Peserta didik dapat memahami konsep matematika
ketika mereka mulai mengerjakan soal cerita. Soal-soal
cerita tersebut berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang
dialami oleh peserta didik atau realitas yang pernah
dihadapi oleh peserta didik.
b) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan
manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika. Peserta didik bernalar ketika mengerjakan soal
matematika.
c) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan
memahami masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang
diperoleh
d) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram,
atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
Setelah peserta didik memahami konsep matematika,
mereka dapat mengungkapkan gagasan mengenai soal
matematika dengan menggunakan rumus matematika yang
relevan terhadap materi yang sedang dipelajari.
Page 5
12
e) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan
minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan masalah.
Pembelajaran Matematika harus mampu mendorong siswa
untuk berfikir secara kritis dan menemukan ide inovatif dalam
memecahkan suatu permasalahan. Oleh karena itu dalam proses
pembelajaran Matematika dibutuhkan metode pembelajaran yang
mampu mengarahkan siswa untuk memiliki ketrampilan. Terdapat
berbagai metode pembelajaran yang potensial terhadap
perkembangan pembelajaran Matematika di SD.
2.1.2 Teori Pembelajaran Matematika SD
Menurut teori Bruner (Kelvin Seifert, 2012: 115), ada tiga bentuk
pembelajaran yang bisa muncul agar proses belajar dapat terjadi secara
optimal. Dalam arti akan terjadi internalisasi pada diri siswa tersebut,yaitu
suatu keadaan dimana pengalaman yang baru dapat menyatu kedalam
struktur kognitif siswa. Ketiga bentuk pembelajaran pada proses belajar
tersebut adalah:
a. Pembelajaran Enaktif
Pembelajaran enaktif mengandung sebuah kesamaan dengan
kecerdasan inderawi dalam teori Piaget: pengetahuan enaktif adalah
mempelajari sesuatu dengan memanipulasi obyek. Peserta didik sangat
mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali (“melakukan”
kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham dengan bagaimana
menggambarkan aktivitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika mereka
harus menggambarkannya dalam pikiran. Pada tahap ini, para siswa
dituntut untuk mempelajari pengetahuan (matematika tentunya) dengan
menggunakan benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata bagi
para siswa. Dapat ditambahkan bahwa istilah “konkret” atau “nyata”
berarti dapat diamati dengan menggunakan panca indera para siswa.
Page 6
13
b. Pembelajaran Ikonik
Pembelajaran ikonik merupakan pembelajaran yang melalui
gambaran; dalam bentuk ini, peserta didik merepresentasikan pengetahuan
melalui sebuah gambar dalam benak mereka, atau juga bisa muncul dalam
bentuk rangkaian beberapa gambar seperti sebuah slideshow untuk
merepresentasikan aktivitas atau kegiatan yang lebih kompleks.Peserta
didik sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon
pisang di kebun ayah dalam benak mereka, meskipun mereka masih sulit
menjelaskannya dalam kata-kata.
c. Pembelajaran Simbolik
Pembelajaran simbolik membutuhkan pengetahuan yang abstrak.
Pembelajaran yang dilakukan melalui representasi pengalaman yang
abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak memiliki kesamaan fisik
dengan pengalaman tersebut.
2.2 Realistic Mathematics Education (RME)
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan pertama kali oleh
Freudenthal di Belanda pada tahun 1970 . Teori ini mengacu pada pendapat
Freudenthal yang mengatakanbahwa matematika harus dikaitkan dengan
realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika
harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari.
Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-
persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada
realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar
2000). RME diawali dengan dunia nyata, agar dapat memudahkan siswa
dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan
kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika. Setelah itu,
diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain”.
Menurut Marpaung, dkk. (2011:2) “dalam Pembelajaran Matematika
Realistik, guru di dalam kegiatan belajar tidak lagi langsung memberikan
informasi, tetapi harus menciptakan aktivitas yang dapat digunakan para siswa
Page 7
14
untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka. Guru berperan sebagai fasilitator
bagisiswanya”. Widjaja, dkk. “untuk berperan sebagai seorang fasilitator, guru
harusdapat menggunakan masalah-masalah kontekstual yang kaya,
menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang membimbing pengembangan proses
berpikir siswa, dan memimpin diskusi kelas”. Menurut Wahyudi & Yuani
(2012), Realistic Mathematics Education (RME) adalah pembelajaran yang
menggunakan masalah realistik atau konsep dunia nyata sehingga memberikan
kesempatan pada siswa untuk memperoleh pengalaman yang berguna dan
berkaitan kehidupan sehari-hari. Selain itu siswa juga dapat
menemukan atau membangun pengetahuannya sendiri tentang konsep-konsep
matematika yang dipelajari.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah diuraikan, penulis
menyimpulkan bahwa RME adalah pembelajaran yang menggunakan masalah
realistik atau pengalaman nyata kepada peserta didik untuk membantu
memahami konsep suatu materi ajar melalui aktivitas peserta didik di dalam
kegiatan pembelajaran bersama guru.
2.2.1 Prinsip-prinsip Realistic Mathematics Education (RME)
Menurut Suryanto, dkk (2010) prinsip-prinsip dari Realistic
Mathematics Education (RME) adalah sebagai berikut:
1. Guided Reinvention dan Progressive Mathematization
Prinsip Guided Re-invention (Penemuan Kembali secara Terbimbing)
Prinsip Guided Re-invention adalah penekanan pada “penemuan
kembali” secara terbimbing. Melalui masalah kontekstual yang realistic (
yang dapat dibayangkan atau dipahami oleh siswa), yang mendukung
topik-topik matematis tertentu yang disajikan, siswa diberi kesempatan
untuk membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep
matematis. Prinsip RME sesuai dengan paham konstruktivisme, yaitu
keyakinan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari seseorang
kepada orang lain tanpa aktivitas yang dilakukan sendiri oleh orang yang
akan memperoleh pengetahuan tersebut.
Page 8
15
Jadi, prinsip Guided Re-invention merupakan prinsip RME untuk
menemukan kembali sebuah konsep matematis dari aktivitas yang
dilakukan oleh peserta didik dengan bimbingan guru melalui kegiatan
yang nyata dapat dilihat oleh peserta didik.
Prinsip Progressive mathematization (Matematis progresif)
Prinsip ini menekankan “matematisasi” atau “pematimatikaan”,
yang dapat diartikan sebagai “upaya yang mengarah ke pemikiran
matematis”. Dikatakan progresif karena terdiri dari dua langkah yang
berurutan, yaitu (i) matematis horizontal (berawal dari masalah
kontekstual yang diberikan dan berakhir pada matematika yang formal),
dan kemudian (ii) matematisasi vertical (dari matematika formal ke
matematika formal yang lebih luas, atau yang lebih tinggi, atau lebih
rumit).
2. Didactical Phenomenology (Fenomenologi Didaktis)
Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat
mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk
memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Masalah
kontekstual dapat digunakan untuk memantapkan pemahaman siswa atas
sesuatu yang telah didapatnya.
3. Self-developed model (Membangun sendiri model)
Prinsip ini menunjukkan adanya fungsi “jembatan” yang berupa
model. Karena berpangkal pada masalah kontekstual dan akan menuju ke
matematika formal, serta ada kebebasan pada siswa, maka tidak mustahil
siswa akan mengembangkan model sendiri. Model itu mungkin masih
sederhana dan masih mirip dengan masalah kontekstualnya. Model ini
disebut “model of” dan sifatnya masih dapat disebut “matematika
informal”.Selanjutnya mungkin melalui generalisasi atau formalisasi dapat
mengembangkan model yang lebih umum, yang mengarah ke matematika
formal.Model tahap kedua, yang memiliki sifat umum ini disebut “model
for”. Dua jenis proses demikian itu sesuai dengan dua matematisasi, yang
juga berurutan, yaitu matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal,
Page 9
16
yang memungkinkan siswa dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan
caranya sendiri.
2.2.2 Karakteristik Realistic Mathematics Education (RME)
Suryanto, dkk mengemukakan karakteristik dari RME, yaitu sebagai
berikut:
1. Menggunakan konteks
Konteks yang dimaksud adalah lingkungan siswa yang nyata baik
aspekbudaya maupun aspek geografis. Di dalam RME, hal itu tidak
selalu diartikan “konkret” tetapi dapat juga yang telah dipahami oleh
peserta didik atau dapat dibayangkan oleh peserta didik. Masalah
kontekstual dikemukakan di awal pembelajaran. Namun, masalah
kontekstual dapat juga disajikan di tengah atau di akhir pembelajaran
suatu topik atau subtopic.
2. Menggunakan model
Pembelajaran suatu topik matematika sering memerlukan waktu yang
panjang, serta bergerak dari berbagai tingkat abstraksi. Dalam
abstraksi itu perlu digunakan model. Model itu dapat bermacam-
macam, dapat konkret berupa benda, atau semi konkret berupa gambar
atau skema, yang kesemuanya dimaksudkan sebagai jembatan dari
konkret ke abstrak atau dari abstrak ke abstrak yang lain. Jembatan
dapat berupa model yang serupa atau mirip dengan masalah nyatanya,
yaitu yang disebut “model of”, dan dapat pula berupa model yang
sudah lebih umum. Yang mengarahkan peserta didik ke pemikiran
abstrak atau matematika formal, yaitu yang disebut “ model for”.
3. Menggunakan kontribusi siswa
Dalam pembelajaran perlu sekali diperhatikan sumbangan atau
kontribusi siswa, yang berupa ide, atau variasi jawab, atau variasi cara
pemecahan masalah. Kontribusi siswa itu dapat memperbaiki atau
memperluas konstruksi yang perlu dilakukan atau produksi yang perlu
dihasilkan sehubungan dengan pemecahan masalah kontekstual.
Page 10
17
4. Menggunakan format interaktif
Dalam pembelajaran jelas bahwa sangat diperlukan adanya interaksi,
baik antara siswa dan siswa atau antara siswa dan guru yang bertindak
sebagai fasilitator. Interaksi mungkin juga terjadi antara siswa dan
sarana, atau antara siswa dan matematika atau lingkungan. Bentuk
interaksi itu dapat juga macam-macam, misalnya diskusi, negosiasi,
memberi penjelasan atau komunikasi, dsb.
5. Intertwinning (Memanfaatkan keterkaitan)
Keterkaitan antara topik, konsep, operasi dsb sangat kuat, sehingga
sangat dimungkinkan adanya integrasi antara topik-topik dsb, bahkan
mungkin saja antara matematika dan bidang pengetahuan lain, untuk
lebih mem-pertajam kebermanfaatan belajar matematika. Hal ini
memungkinkan untuk menghemat waktu pembelajaran. Selain itu
dengan ditekankannya keterkaitan antartopik atau antar-subtopik
sangat mungkin akan tersusun struktur kurikulum yang berbeda
dengan struktur kurikulum yang selama ini dikenal, tetapi tetap
mengarah kepada kompetensi yang ditetapkan.
2.2.3 Sintaks atau Langkah-langkah Pembelajaran Realistic Mathematics
Education (RME)
Suryanto (2010:50) mengemukakan langkah-langkah Pembelajaran
Matematika Realistik secara umum yaitu:
a) Persiapan kelas
1) Persiapan sarana dan prasarana pembelajaran yang diperlukan,
misalnya buku siswa, LKS, alat peraga, dan sebagainya.
2) Pengelompokan siswa, jika perlu (sesuai dengan rencana).
3) Penyampaian tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang
diharapkan dicapai, serta cara belajar yang akan dipakai hari itu.
Page 11
18
b) Kegiatan Pembelajaran
1) Siswa diberi masalah kontekstual atau soal cerita (secara lisan atau
tertulis). Masalah tersebut untuk dipahami siswa.
2) Siswa yang belum dapat memahami masalah atau soalnya diberi
penjelasan singkat dan seperlunya. Penjelasan diberikan secara
individual ataupun secara kelompok, tergantung kondisinya. (tetapi
penjelasan itu tidak menunjukkan selesaian, meskipun boleh
memuat pertanyaan untuk membantu siswa memahami
masalahnya, atau untuk memancing reaksi siswa ke arah yang
benar)
3) Siswa secara kelompok ataupun secara individual, mengerjakan
soal atau memecahkan masalah kontekstual yang diberikan dengan
caranya sendiri (waktu untuk mengerjakan tugas harus cukup)
4) Jika dalam waktu yang dipandang cukup, belum ada satu pun
siswa yang dapat menemukan cara pemecahan, guru memberikan
bimbingan atau petunjuk seperlunya atau mengajukan pertanyaan
yang menantang. Petunjuk itu dapat berupa gambar ataupun bentuk
lain.
5) Setelah waktu yang disediakan habis, beberapa orang siswa atau
wakil dari kelompok siswa menyampaikan hasil kerjanya atau hasil
pemikirannya.
6) Siswa-siswa ditawari untuk mengemukakan pendapatnya atau
tanggapannya tentang berbagai selesaian yang disajikan temannya
di depan kelas. Bila untuk suatu soal ada lebih dari satu selesaian
atau cara penyelesaian, perlu diungkap semua.
7) Guru mengarahkan atau membimbing siswa untuk membuat
kesepakatan kelas tentang selesaian mana yang dianggap paling
tepat. Dalam proses ini dapat terjadi negosiasi. Guru perlu
memberikan penekanan kepada selesaian benar yang dipilih.
8) Bila masih tidak ada selesaian yang benar, guru minta agar siswa
memikirkan cara lain.
Page 12
19
Adapun langkah-langkah dalam Pembelajaran Matematika Realistik
menurut Van Reeuwijk adalah
1. Memahami masalah: Guru memberikan masalah/persoalan kontekstual
dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Langkah ini sesuai
dengan karakteristik RME, yaitu menggunakan masalah kontekstual.
2. Menjelaskan masalah kontekstual : Langkah ini dilaksanakan apabila ada
siswa yang belum paham dengan masalah yang diberikan. Jika semua
siswa sudah memahami maka langkah ini tidak perludilakukan. Pada
langkah ini guru menjelaskan situasi dan kondisi soal dengan memberikan
petunjuk seperlunya terhadap bagian tertentu yang belum dipakai siswa.
Langkah ini sesuai dengan kerakteristik RME, yaitu adanya interaksi
antara siswa dengan guru maupun dengan siswa lain.
3. Menyelesaikan masalah kontekstual siswa secara kelompok atau individu:
Dalam menyelesaikan masalah atau soal siswa diperbolehkan berbeda
dengan siswa yang lain. Dengan menggunakan lembar kegiatan siswa,
siswa mengerjakan soal dalam tingkat kesulitan yang berbeda.Guru
memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka
sendiri. Guru hanya memberikan arahan berupa pertanyaan langkah atau
pertanyaan penggiring agar siswa mampu menyelesaikan masalah sendiri.
Ini sesuai dengan karakteristik RME, yaitu menggunakan model-model
(matematisasi).
4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban: Guru memfasilitasi diskusi
dan menyediakan waktu untuk membandingkan dan mendiskusikan
jawaban dari soal secara kelompok, dan selanjutnya dengan diskusi kelas.
Langkah ini sesuai dengan karakteristik RME, yaitu menggunakan
kontribusi siswa dan interaksi antar siswa yang satu dengan yang lain.
5. Menyimpulkan hasil diskusi : Guru mengarahkan siswa untuk menarik
kesimpulan suatu konsep, kemudian guru meringkas atau menyelesaikan
konsep yang termuat dalam soal
Page 13
20
2.2.4 Kelebihan Realistic Mathematics Education (RME)
Menurut Suwarsono (dalam Suryanto, 2010) kelebihan Pembelajaran
Matematika Realistik antara lain:
1) Memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan
antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan tentang
kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
2) Matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan
dikembangkan sendiri oleh siswa dan oleh orang lain tidak hanya oleh
mereka yang disebut pakar matematika.
3) Cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan
tidak harus sama antara orang yang satu dengan yang lainnya.
4) Mempelajari matematika proses pembelajaran merupakan sesuatu
yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani
sendiri proses itu dan menemukan sendiri konsep-konsep matematika
dengan bantuan guru.
5) Memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan
pembelajaran lain yang juga dianggap unggul yaitu antara pendekatan
pemecahan masalah, pendekatan konstruksivisme dan pendekatan
pembelajaran yang berbasis lingkungan.
2.2.5 Kekurangan Realistic Mathematics Education (RME)
Pembelajaran Matematika Realistik juga mempunyai kekurangan
(Suwarsono dalam Suryanto, 2010) yaitu :
1) Pencarian soal-soal yang kontekstual tidak terlalu mudah untuk setiap
topik matematika yang perlu dipelajari siswa.
2) Penilaian dan pembelajaran matematika realistik lebih rumit daripada
pembelajaran konvensional.
3) Pemilihan alat peraga harus cermat sehingga dapat membantu proses
berfikir siswa.
Page 14
21
2.3 Media Pembelajaran
Menurut W. S. Winkel (2007:38), media pembelajaran dapat
diartikan secara luas dan secara sempit : pertama, secara luas, media
adalah setiap orang, materi atau peristiwa yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Dengan demikian, tenaga pengajar atau guru, buku pelajaran, dan gedung
sekolah menjadi suatu medium pengajaran. Kedua, secara sempit, istilah
media diartikan sebagai alat-alat elektromekanis yang menjadi perantara
antara siswa dan materi pelajaran. Contoh media pembelajaran pada
konteks yang sempit ini, meliputi : radio, tape recorder, TV, kamera, OHP,
slide, computer, dan laptop, yang berupa elektronik.
Jadi, pengertian media pembelajaran secara luas adalah media yang
mencakup segala sesuatu yang dapat membantu peserta didik dan guru
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dengan menggunakan media,
peserta didik lebih mudah untuk menyerap dan memahami suatu materi
yang sedang diajarkan oleh guru. Media pembelajaran sangat membantu
dalam kegiatan pembelajaran karena dengan adanya media yang kongkrit,
peserta didik akan memiliki motivasi belajar yang tinggi dan tertarik
mempelajari materi dengan menggunakan media yang relevan. Guru juga
mendapat manfaat dari adanya media sebagai alat bantu pembelajaran
sehingga akan membantu penjelasan materi yang sedang diajarkan kepada
peserta didik.
2.3.1 Media Lidi
Lidi dapat digunakan sebagai media pembelajaran Matematika
yaitu tentang pembagian, penjumlahan, maupun pengurangan. Namun,
peneliti lebih menekankan pada konsep perkalian dan pembagian
khususnya di kelas II SD karena menurut pengamatan yang dilakukan oleh
peneliti materi perkalian dan pembagian masih dirasa masih sulit bagi
siswa kelas II SD. Oleh karena itu, peneliti memilih Standar Kompetensi
3 yaitu melakukan perkalian dan pembagian bilangan sampai dua angka
dengan menggunakan media batang lidi sebagai alat bantu hitung. Media
Page 15
22
digunakan untuk menyesuaikan dengan perkembangan kognitif peserta
didik. Masih banyak kendala yang dihadapi guru ketika mengajarkan
materi perkalian dan pembagian sehingga menyebabkan rendahnya hasil
belajar siswa pada mata pelajaran Matematika.
Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya hasil belajar
matematika siswa yaitu kurangnya penggunaan media untuk mendukung
proses pembelajaran Matematika. Oleh karena itu, peneliti menyarankan
menggunakan media tradisional yang diharapkan dapat memudahkan
peserta didik memahami konsep tentang pelajaran matematika terutama
bagi kelas II SD yaitu media batang lidi. Penggunaan lidi lebih mudah
daripada menggunakan jari tangan.Lidi merupakan media yang sangat
sederhana, praktis, dan aman digunakan.
Peserta didik Sekolah Dasar kelas rendah, khususnya kelas 2 SD
berpikir dengan bantuan benda-benda kongkrit atau nyata yang bisa
mereka lihat. Lidi adalah benda yang dekat dengan kehidupan mereka.
Melalui penggunaan lidi, peserta didik dapat menyelesaikan soal dengan
mudah dan efektif. Mungkin media ini terlihat kuno, namun cara seperti
ini justru membantu peserta didik kelas rendah mengerjakan soal
matematika dalam kegiatan menghitung. Jadi, lidi merupakan benda yang
dapat dilihat oleh peserta didik sehingga membantu mereka dalam
memahami konsep suatu materi dengan baik.
Page 16
23
2.3.2 Sintaks atau Langkah-Langkah Pembelajaran Realistic Mathematics
Education (RME) Berbantuan Media Lidi
Tabel 1.
Sintaks atau Langkah-langkah Realistic Mathematics Education (RME)
Berbantuan Media Lidi
Sintaks RME
berbantuan Media
Lidi
Kegiatan
Memahami masalah Guru memberikan masalah/persoalan kontekstual dan meminta
siswa untuk memahami masalah tersebut. Langkah ini sesuai
dengan karakteristik RME, yaitu menggunakan masalah
kontekstual.
Menjelaskan masalah
kontekstual
Guru menjelaskan situasi dan kondisi soal dengan memberikan
petunjuk seperlunya terhadap bagian tertentu yang belum
dipakai siswa.
Menyelesaikan
masalah masalah
kontekstual siswa
secara kelompok atau
individu dengan
memberikan media
yang relevan (batang
lidi)
Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan
cara mereka sendiri. Guru hanya memberikan arahan berupa
pertanyaan langkah atau pertanyaan penggiring agar siswa
mampu menyelesaikan masalah dan memberikan media untuk
membantu siswa.
Membandingkan dan
mendiskusikan
jawaban
Guru memfasilitasi diskusi dan menyediakan waktu untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari soal secara
kelompok, dan selanjutnya dengan diskusi kelas.
Menyimpulkan hasil
diskusi
Guru membimbing siswa untuk menarik kesimpulan suatu
konsep dari masalah yang sudah terselesaikan.
Page 17
24
Tabel 2
Pemetaan Integrasi dengan Pembelajaran Realistic Mathematics Education
(RME) Berbantuan Media Lidi
Pembelajaran
Sintak
Langkah dalam Standar Proses
Pendahuluan Kegiatan Inti Penutup
Eksplorasi Elaborasi Konfirmasi
Realistic MathematicsE
ducation (RME)
Berbantuan Media Lidi
1. Memahami
masalah √
2. Menjelaskan
masalah
kontekstual
√
√
3. Menyelesaikan
masalah
kontekstual siswa
secara kelompok
atau individu
dengan
memberikan
media yang
relevan (batang
lidi)
√
√
4. Membandingkan
dan
mendiskusikan
jawaban
√
5. Menyimpulkan
hasil diskusi
√
√
Page 18
25
Tabel 3
Implementasi Pembelajaran Realistics Mathematics Education (RME)
Berbantuan Media Lidi dalam Standar Proses
Sintaks RME
berbantuan Media
Lidi
Langkah dalam
Standar Proses Kegiatan Guru
Memahami masalah Pendahuluan Guru meminta siswa untuk memahami
masalah yang diberikan pada kegiatan awal.
Menjelaskan masalah
kontekstual
Pendahuluan dan
eksplorasi
Guru menjelaskan mengenai situasi dan
kondisi soal dengan memberikan petunjuk
seperlunya terhadap bagian tertentu yang
belum dipakai siswa.
Menyelesaikan
masalah masalah
kontekstual siswa
secara kelompok atau
individu dengan
memberikan media
yang relevan (batang
lidi)
Eksplorasi dan
elaborasi
Guru hanya memberikan arahan berupa
pertanyaan langkah atau pertanyaan
penggiring agar siswa mampu menyelesaikan
masalah sendiri serta memberikan media
pembelajaran untuk memudahkan siswa
dalam menghitung yaitu batang lidi.
Membandingkan dan
mendiskusikan
jawaban
Konfirmasi Guru membimbing siswa untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban
dari masing-masing kelompok.
Menyimpulkan hasil
diskusi
Konfirmasi Guru membimbing siswa untuk menarik
kesimpulan suatu konsep dari masalah yang
sudah terselesaikan.
Penutup
2.3.3 Kelebihan Media Lidi
Peneliti mengungkapkan beberapa kelebihan dari media lidi, yaitu:
a. Memberi visualisasi proses berhitung dengan efektif dan efisien.
b. Menggembirakan siswa ketika proses berhitung.
c. Memudahkan proses berhitung siswa.
d. Alatnya tidak perlu beli karena mudah untuk mendapatkannya.
Page 19
26
2.4 Hasil Belajar
2.4.1 Pengertian Hasil belajar
Menurut Nawawi (dalam K. Brahim, 2007), hasil belajar dapat
diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajarai materi
pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil
tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.Hasil belajar menurut
Suprijono (2013: 5) adalah pola-pola dari perbuatan, nilai-nilai,
pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan dan keterampilan.Hasil
belajar adalah secara keseluruhan bukan salah satu aspek saja. Dari sisi
guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari
sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya pengajaran dari puncak
proses belajar.
Berdasarkan pengertian hasil belajar di atas, disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran dan menerima suatu materi.
Kemampuan-kemampuan tersebut mencakup aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Hasil belajar dapat dilihat melalui kegiatan evaluasi yang
bertujuan untuk mendapatkan data pembuktian yang akan menunjukkan
tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran.
2.4.1.1 Pemahaman Konsep ( Aspek Kognitif)
Pemahaman menurut Bloom (dalam ) diartikan sebagai kemampuan
untuk menyerap arti dari materi atau bahan yang dipelajari. Pemahaman
menurut Bloom ini adalah seberapa besar peserta didik mampu menerima,
menyerap, dan memahami pelajaran yang diberikan oleh guru kepada
peserta didik, atau sejauh mana peserta didik dapat memahami serta
mengerti apa yang ia baca, yang dilihat, yang dialami, atau yang ia rasakan
berupa hasil penelitian atau observasi langsung yang ia lakukan.
Menurut Dorothy J. Skeel dalam Nursid Sumaatmadja (2005: 2-3),
konsep merupakan sesuatu yang tergambar dalam pikiran, suatu
pemikiran, gagasan, atau suatu pengertian. Jadi, konsep ini merupakan
Page 20
27
sesuatu yang telah melekat dalam hati seseorang dan tergambar dalam
pikiran, gagasan, atau suatu pengertian.
Berdasarkan pengertian pemahaman dan konsep menurut para ahli di
atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pemahaman konsep merupakan
kemampuan seseorang menyerap materi yang telah melekat dalam hati dan
tergambar dalam pikiran, gagasan, atau suatu pengertian.
Dalam penelitian ini, pemahaman konsep atau aspek kognitif yang
ingin dicapai adalah mengenai pembelajaran matematika kelas II SD. Dari
pengamatan yang dilakukan oleh peneliti terhadap sekolah-sekolah dasar
di wilayah Ambarawa-Bawen, terutama di SD Negeri Samban 02 Bawen,
permasalahan yang muncul adalah rendahnya hasil belajar matematika
karena kurangnya pemahaman konsep suatu materi.Oleh karena itu,
dengan diadakannya penelitian tindakan kelas yang menerapkan
pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) berbantuan media
lidi ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.
2.4.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hasil belajar sebagai salah satu indikator pencapaian tujuan
pembelajaran di kelas tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil belajar itu sendiri. Menurut Wasliman (2007:158), hasil belajar yang
dicapai oleh peserta didik merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor
yang mempengaruhi, baik faktor internal maupun eksternal. Secara rinci
uraian mengenai faktor internal dan eksternal, sebagai berikut:
1. Faktor internal ; faktor internal merupakan faktor yang
bersumber dari dalam diri peserta didik, yang mempengaruhi
kemampuan belajarnya. Faktor internal ini meliputi :
kecerdasan, minat dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan,
sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan.
2. Faktor eksternal ; faktor yang berasal dari luar diri peserta didik
yang mempengaruhi hasil belajar yaitu keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Keadaan keluarga berpengaruh terhadap hasil
belajar peserta didik.
Page 21
28
2.5 Hubungan Realistic Mathematics Education (RME) Berbantuan Media
Lidi dengan Hasil Belajar Matematika
Realistic Mathematics Education (RME) adalah pembelajaran matematika
yang harus dikaitkan dengan dengan realita dan matematika merupakan
aktivitas manusia.Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan
dengan kehidupan nyata sehari-hari. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan
berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini
dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat
dibayangkan oleh siswa. Sesuai dengan karakteristik siswa sekolah dasar,
RME mengajarkan konsep matematika dengan suatu gambaran nyata atau
kongkrit yang dapat menarik perhatian dan motivasi siswa saat belajar
bersama guru.
Lidi digunakan peneliti sebagai media pembelajaran untuk berbagai materi
dalam pelajaran matematika misalnya untuk penjumlahan, pengurangan,
perkalian, maupun pembagian di kelas II SD. Batang lidi dapat digunakan
sebagai alat bantu hitung saat mengerjakan soal.
Realistic Mathematics Education (RME) berbantuan media lidi sangat
bermanfaat bagi peserta didik, terutama untuk meningkatkan hasil belajar
matematika.
2.6 Kerangka Berfikir
Kebanyakan peserta didik berpendapat bahwa matematika itu
pembelajaran yang menjenuhkan, sulit, sukar dan bahkan beranggapan bahwa
matematika itu menyeramkan. Hal itu merupakan sifat yang wajar mengingat
matematika itu sendiri adalah abstrak dan dalam belajar matematika banyak
bermain dengan angka sehingga banyak menguras otak yang berakibat cepat
lelah dan pusing.
Proses pembelajaran merupakan suatu kontak social antara pendidik (guru)
dengan peserta didik dalam rangka mencapai tujuan tertentu yakni tujuan
pendidikan dan pengajaran (Muhammad Surya.2004 :13). Dalam proses ini
bukan hanya guru yang aktif memberi pelajaran sedang murid secara pasif
menerima pelajaran, melainkan keduanya harus aktif. Karena ketika siswa
Page 22
29
belajar dengan aktif, berarti mereka yang mendominasi aktivitas belajar.
Dengan ini secara aktif mereka menggunakan otak, baik untuk ide pokok dari
materi yang di pelajari, memecahkan persoalan atau mengaplikasikannya
dalam kehidupan nyata. Jika pembelajaran itu bermakna siswa akan mudah
memahami materi tersebut.
Proses belajar menghendaki perubahan perilaku dalam diri individu
peserta didik sehingga diperlukan proses pengajaran yang benar-benar
terprogram dan tersusun untuk menunjang keberhasilan proses pembelajaran.
Dalam hal ini guru merupakan peran yang sangat penting. Dalam suatu
pembelajaran guru harus “menjembatani” peserta didik agar mereka mudah
dalam mengembangkan gagasan-gagasan baru. Gagasan baru ini muncul jika
siswa telah memahami materi yang diberikan oleh guru mereka. Oleh karena
itu, sebagai seorang pendidik harus mengetahui dan menguasai berbagai
strategi atau model-model pembelajaran yang dapat meningkatkan
pemahaman peserta didik terhadap materi.
Penerapan Realistic Mathematics Education (RME) dengan penggunaan
media lidi pada penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah inovasi yang
tepat dalam pembelajaran di kelas sehingga menjadi lebih hidup, aktif yang
berakibat pada peningkatan hasil belajar peserta didik. Dalam hal ini penulis
mengambil dua variabel dalam proposal yang berjudul “Penerapan
Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) Berbantuan Media
Lidi untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas II SD Negeri
Samban 02 Bawen Kabupaten Semarang Semester II Tahun Pelajaran
2015/2016”. Sebagai variabel X adalah pembelajaran Realistic Mathematics
Education (RME) berbantuan media lidi, dan variabel Y adalah meningkatkan
hasil belajar matematika siswa kelas II SD Negeri Samban 02 Bawen
Kabupaten Semarang.
Page 23
30
Gambar 1. Kerangka Berfikir
2.7 Hasil Penelitian yang Relevan
Sebelum dilakukan penelitian ini, telah terdapat beberapa penelitian yang
sejalan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan mengenai penerapan
pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) berbantuan media lidi.
Penelitian tersebut di antaranya:
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan oleh Eka Puasa Astuti
tahun 2013 dengan judul “Penerapan Pembelajaran Realistic Mathematics
Education (RME) untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Matematika Siswa
Kelas V SD Negeri 5 Karangrejo Tahun Ajaran 2012/2013”. Data dalam
penelitian ini dikumpulkan melalui metode wawancara, observasi, tes dan
dokumentasi. Pada tindakan kelas siklus I motivasi belajar siswa meningkat.
Hal tersebut dapat terlihat dari data motivasi belajar siswa pada tindakan kelas
siklus I yaitu siswa yang memiliki perhatian dalam pembelajaran sebanyak 15
KONDISI
AWAL
TINDAKAN
KONDISI
AKHIR
GURU :
Belum menerapkan
model pembelajaran RME
Siswa :
Hasil belajar
Matematika siswa
masih rendah (di
bawah KKM)
Dalam pembelajaran guru
menerapkan pembelajaran
RME berbantuan media
lidi
Melalui penerapan model pembelajaran RME berbantuan
media lidi hasil belajar siswa pada mata pelajaran
Matematika kelas II SD Negeri Samban 02 Bawen
Kabupaten Semarang meningkat.
Page 24
31
orang (68,18%), siswa yang bergairah belajar sebanyak 13 orang (59,09%),
siswa yang suka berlatih mengerjakan latihan soal sebanyak 11 orang (50%),
keberanian siswa dalam bertanya dan menjawab pertanyaan sebanyak 10
orang (45,45%). Siswa yang mendapat nilai ≤ 75 ada 7 orang. Pada siklus II
kegiatan pembelajaran sudah berjalan cukup baik, sehingga motivasi belajar
siswa mengalami peningkatan yang baik. Hal ini terlihat dari meningkatnya
indikator-indikator dari motivasi belajar siswa yang meliputi siswa yang
perhatian dalam pembelajaran sebanyak 18 orang (81,81%), siswa yang
bergairah belajar sebanyak 18 orang (81,81%), siswa yang suka berlatih
mengerjakan soal sebanyak 17 orang (77,27%), keberanian siswa dalam
bertanya dan menjawab pertanyaan sebanyak 16 orang (72,72). Siswa yang
mendapat nilai ≥ 75 ada 18 orang.
Selain itu juga terdapat Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan
oleh Eka Puasa Astuti tahun 2013 dengan judul “Penerapan Realistic
Mathematics Education (RME) untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep
Pecahan Pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar”. Data tentang kegiatan
penelitian dikumpulkan dari hasil observasi, wawancara dan tes. Berdasarkan
hasil penelitian disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan RME
dilaksanakan dengan baik sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran yang
dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep pecahan. Langkah-
langkah tersebut antara lain: (1) memahami masalah kontekstual yang
diberikan yang berkaitan dengan materi pecahan, (2) Menyelesaikan masalah
kontekstual tentang pecahan secara berkelompok dengan menggunakan dan
memodelkan sendiri alat peraga yang disediakan, (3) membandingkan dan
mendiskusikan hasil pekerjaan siswa dengan meminta salah satu kelompok
mempresentasikan hasil pekerjaannya, dan (4) menyimpulkan tentang apa
yang telah dipelajari dan materi yang didiskusikan. Data dari hasil observasi
menunjukkan bahwa pembelajaran yang dilakukan termasuk pada kategori
baik dan sangat baik. Data dari hasil wawancara menunjukkan respon siswa
terhadap pembelajaran sangat positif. Dari hasil tes, persentase skor rata-rata
dari keseluruhan siswa yang memperoleh skor ≥ 65 pada tindakan II sebanyak
Page 25
32
26 dari 32 siswa. Dengan peningkatan skor awal sebelum tindakan dan
sesudah tindakan menunjukkan bahwa pemahaman siswa tentang materi
pecahan meningkat.
Dari hasil penelitian di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa
pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) adalah salah satu
pembelajaran yang dapat menanggulangi rendahnya hasil belajar siswa
khususnya pada mata pelajaran matematika. Oleh karena itu, peneliti
menggunakan pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)
berbantuan media lidi dalam pelajaran matematika pada siswa kelas II di SD
Negeri Samban 02 Bawen yang diprediksi mampu menjadi solusi untuk
meningkatkan hasil belajar matematika.
2.8 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka berpikir di atas maka dirumuskan suatu hipotesis
sebagai berikut.
a. Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) berbantuan
media lidi diterapkan sesuai sintak atau langkah-langkah yaitu
memahami masalah, menjelaskan masalah kontekstual,
menyelesaikan masalah kontekstual dengan menggunakan media,
membandingkan dan mendiskusikan jawaban, serta menyimpulkan
hasil diskusi.
b. Penggunaan pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)
berbantuan media lidi diduga dapat meningkatkan hasil belajar
matematika siswa kelas II SD Negeri Samban 02 Bawen.