12 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KAJIAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Penelitian ini merujuk pada tiga kajian dasar, yaitu kajian kuliner, kajian warisan budaya serta kejian keberlanjutan budaya. Masing-masing kajian dipaparkan berikut ini. 2.1.1 Kajian Kuliner Perkembangan pariwisata secara tidak langsung tidak dapat lepas dari kuliner. Kajian mengenai kuliner saat ini menjadi cukup populer untuk para peneliti lokal maupun internasional dalam perspektif yang berbeda. Budaya kuliner di Ubud justru menjadi kuat akibat pariwisata. Hal ini tidak lepas dari munculnya peneliti-peneliti yang mulai fokus terhadap kajian kuliner atau gastronomi, seperti Putra (2014), Rumadana (2013), Elistyawati (2012), Trisna (2012), Ardika (2011), Pinatih (2011), deNeefe (2010) dan Reynolds (1998). Putra (2014) membahas mengenai perjalanan empat srikandi kuliner Bali di dalam peranannya membangunan pariwisata berkelanjutan. Beberapa restoran seperti Babi Guling Ibu Oka, Bebek Bengil, Bebek Tepi Sawah dan Nasi Ayam Kedewatan memperkuat citra Ubud sebagai destinasi wisata budaya. Popularitas Ubud sebagai destinasi seni pertunjukan dan seni rupa diperkuat oleh warisan budaya kuliner. Putra juga menyebutkan bahwa pariwisata Bali menunjukkan gejala yang baik untuk hal ini. Semangat mempertahankan dan mengembangkan budaya daerah semakin kuat sejalan dengan timbulnya pemahaman bahwa pariwisata dapat memberikan dampak negatif dalam kehidupan kebudayaan lokal.
33
Embed
02 BAB II KAJIAN PUSTAKA KONSEP, KAJIAN TEORI DAN MODEL ... BAB II KAJIAN...12 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KAJIAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Penelitian ini merujuk
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KAJIAN TEORI DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian ini merujuk pada tiga kajian dasar, yaitu kajian kuliner, kajian
warisan budaya serta kejian keberlanjutan budaya. Masing-masing kajian
dipaparkan berikut ini.
2.1.1 Kajian Kuliner
Perkembangan pariwisata secara tidak langsung tidak dapat lepas dari
kuliner. Kajian mengenai kuliner saat ini menjadi cukup populer untuk para
peneliti lokal maupun internasional dalam perspektif yang berbeda. Budaya
kuliner di Ubud justru menjadi kuat akibat pariwisata. Hal ini tidak lepas dari
munculnya peneliti-peneliti yang mulai fokus terhadap kajian kuliner atau
gastronomi, seperti Putra (2014), Rumadana (2013), Elistyawati (2012), Trisna
(2012), Ardika (2011), Pinatih (2011), deNeefe (2010) dan Reynolds (1998).
Putra (2014) membahas mengenai perjalanan empat srikandi kuliner Bali
di dalam peranannya membangunan pariwisata berkelanjutan. Beberapa restoran
seperti Babi Guling Ibu Oka, Bebek Bengil, Bebek Tepi Sawah dan Nasi Ayam
Kedewatan memperkuat citra Ubud sebagai destinasi wisata budaya. Popularitas
Ubud sebagai destinasi seni pertunjukan dan seni rupa diperkuat oleh warisan
budaya kuliner. Putra juga menyebutkan bahwa pariwisata Bali menunjukkan
gejala yang baik untuk hal ini. Semangat mempertahankan dan mengembangkan
budaya daerah semakin kuat sejalan dengan timbulnya pemahaman bahwa
pariwisata dapat memberikan dampak negatif dalam kehidupan kebudayaan lokal.
13
Konsep dan kredo pariwisata budaya, yakni mengembangkan kepariwisataan
dengan menjadikan budaya sebagai daya tarik sekaligus sebagai tujuan akhir
untuk pengembangan dan pelestariannya, sangat relevan dalam membangun
semangat glokal, atau semangat mengglobalkan yang lokal.
Serupa dengan kajian kuliner oleh Putra (2014), Rumadana (2013) secara
spesifik juga membahas bagaimana sebuah tradisi Ulihan di Desa Belimbing juga
dapat menjadi sebuah potensi daya tarik wisata gastronomi. Elistyawati (2012)
dalam tesisnya mengkaji kuliner bebek sebagai menu dan daya tarik pariwisata di
Ubud. Trisna (2012) juga menyatakan bahwa meskipun keunggulan suatu
destinasi bukan terletak pada kuliner, namun potensi budaya yang unik terutama
yang terkait dengan pertanian dan budaya lainnya perlu mendapat perhatian di
dalam pengembangan destinasi sebagai daerah pariwisata. Seni kuliner Bali
sebagai salah satu aspek kebudayaan Bali diadaptasi sehingga dapat menjadi
wisata boga (wisata kuliner). Adaptasi tersebut dari segi bentuk, tujuan dan makna
yang meliputi adaptasi bahan makanan, rasa, pengolahan, penataan/penyajian dan
cara makan. Seni kuliner Bali sebagai penunjang pariwisata berdampak budaya,
sosial, rasa bangga serta pemenuhan kebutuhan harga diri.
Dalam perspektif yang sedikit berbeda, Pinatih (2011) menyebutkan
bahwa kandungan antioksidan yang tinggi pada base genep (bumbu lengkap),
base wangen (bumbu perasa), dan base penyangluh (bumbu pengharum)
membuat kadar kolesterol Babi Guling menjadi sangat rendah sehingga menjadi
keunggulan kompetitif tersendiri bagi kuliner khas Bali ini. Penelitian Ardika
(2011) juga melihat bagaimana kekayaan kuliner nusantara sangat potensial untuk
14
dikembangkan sebagai daya tarik wisata sekaligus memperkuat citra destinasi
tersebut. DeNeefe (2010) pun melihat potensi yang sangat luar biasa pada kuliner
Bali tersebut apalagi setelah ditambahkan elemen “experience” melalui Balinese
cooking class di mana wisatawan diberikan kesempatan mulai dari berbelanja ke
pasar sampai mengelola masakan Bali dengan cara tradisional.
Kajian kuliner Bali dalam penelitian Reynolds (1993: 48) menyebutkan
bahwa kuliner merupakan salah satu otensitas budaya yang dapat dinikmati
wisatawan saat berkunjung ke sebuah destinasi dengan harga terjangkau.
Wisatawan menginginkan otentisitas kuliner dari sebuah destinasi namun
cenderung takut untuk keluar dari “tourist buble”-nya. Sangat jarang wisatawan
yang berani mencicipi keeksotisan siput laut dari Kanton atau bahkan mencicipi
Tom Yam pedas khas Thailand. Akibatnya, wisatawan cenderung mengeksplorasi
masakan yang ditawarkan hotel ditempatnya menginap. Sayangnya, tidak semua
hotel menyajikan masakan otentik destinasi tersebut.
Dalam studinya, Reynolds menyebutkan bahwa kuliner Bali sangat jarang
ditemui di hotel dan restoran yang menjual makanan khas Indonesia. Dari tahun
ke tahun persentase masakan Bali yang dihidangkan mengalami penurunan baik
dari segi kuantias masupun kualitas. Pada tahun 1992, terhitung hanya 16%
restaurant di Sanur yang menyajikan masakan Bali yang otentik Bali. Makanan
nasional (nasi goreng, mie goreng, gado-gado dan sate) lebih popular di menu list
dibandingkan masakan Bali. Kalaupun ada maka rasa masakan tersebut sudah
sangat kebaratan. Reynolds mempertanyakan eksistensi masakan Bali yang
terancam punah tidak hanya bagi wisatawan namun juga bagi masyarakat lokal.
15
Melalui beberapa penelitian yang sudah disebutkan diatas tampak bahwa
kuliner merupakan salah satu bentuk budaya otentik sebuah destinasi yang dapat
dimanfatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun dalam
penelitian terdahulu, masih belum tampak bahwa sebenarnya kuliner juga
merupakan bagian dari warisan budaya yang keberadaan dapat dilestarikan
melalui pariwisata. Oleh sebab itu maka kajian kuliner dalam penelitian ini
difokuskan kepada wisata kuliner sebagai atribut baru pariwisata budaya di Ubud.
2.1.2 Kajian Pariwisata Warisan Budaya
Diskusi dan penelitian mengenai pariwisata dan budaya telah dilakukan
banyak peneliti. The Tourist karya MacCannell pada tahun 1976 misalnya
mengeksplorasi mengenai dampak-dampak sosio-kultural pariwisata terhadap
sebuh destinasi. MacCannel menyebutkan bahwa komodifikasi dianggap sebagai
bentuk penghancur otentisitas dari budaya lokal dengan mempertunjukan budaya
atau sering disebut sebagai “budaya palsu” yang dibuat secara khusus untuk
konsumen eksternal (wisatawan).
Lebih lanjut Cohen (1988) dalam perspektif yang sama juga menyatakan
bahwa saat pariwisata dianggap sebagai suatu aktifitas ekonomi maka saat itu juga
komodifikasi budaya sangat mungkin terjadi. Objek dan atraksi yang dulunya
diperuntukkan bagi konsumsi lokal, kemudian diarahkan ke pasar pariwisata dan
oleh sebab itu menjadi tereksploitasi bahkan direndahkan dan diremehkan.
Smith (1978), Picard (1996), Cohen (2001) dan Cole (2005), bahkan
menyatakan secara eksplisit bahwa keramahtamahan, pertunjukan, atraksi dan
16
kesenian merupakan budaya masyarakat lokal, yang menjadi terkomodifikasi atau
setidaknya “berorientasi” kepada wisatawan. Picard secara tegas menyebutkan
bahwa meskipun akan mendatangkan keuntungan, pariwisata layaknya gelombang
pasang dan penyakit yang menular serta merupakan bentuk pemerkosaan terhadap
nilai-nilai budaya masyarakat
Melihat pendapat para peneliti tersebut, tentu saja perkembangan
pariwisata di Bali yang bernafaskan budaya, menjadi sebuah paradoks. Dengan
semakin banyaknya wisatawan yang datang maka prediksi-prediksi degradasi
budaya semakin didengungkan para peneliti yang khawatir akan punahnya budaya
Bali. Secara kontradiktif terdapat juga pendapat-pendapat optimis yang
menyatakan bahwa budaya Bali begitu elastis dan fleksibel sehingga budaya Bali
akan tetap bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Antropologis Philip McKean (1978) misalnya memiliki pandangan bahwa
budaya Bali yang kaya namun secara ekonomi tidak sejahtera bertemu dengan
wisatawan yang miskin budaya namun secara ekonomi sejahtera, dapat
menciptakan sinergitas diantara keduanya. Nilai-nilai budaya Bali dapat “ditukar”
menjadi nilai ekonomis sehingga masyarakat Bali yang dulunya miskin dapat
lebih sejahtera karena pariwisata. Lebih lanjut menurut McKean, pertukaran ini
tidak berimplikasi negatif kepada masyarakat Bali karena tidak ada perubahan
yang signifikan terhadap budaya.
Shaw dan William (1997) kemudian menyebutkan bahwa dalam kegiatan
pariwisata terdapat sepuluh elemen budaya yang menjadi daya tarik wisata yakni:
1) kerajinan, 2) tradisi, 3) sejarah dari suatu tempat/daerah, 4) arsitektur, 5)
17
makanan lokal/tradisional, 6) seni dan musik, 7) cara hidup suatu masyarakat, 8)
agama, 9) bahasa, 10) pakaian lokal/tradisional; di mana nantinya elemen budaya
ini dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Gambar 2.1
Elemen Budaya sebagai Daya Tarik Wisata Sumber: Shaw dan William (1997)
Pendapat Shaw dan William ini kemudian dipertegas oleh Fyall (2005),
Swarbrooke (2006) dan Hakim (2009) yang menyebutkan bahwa alam dan sosial
budaya merupakan jantung dari setiap destinasi wisata yang harus memberikan
kontribusi positif terhadap lingkungan dan masyarakat itu sendiri.
Lebih lanjut Fyall (2005) serta Swarbrooke (2006) menyatakan bahwa
elemen-elemen budaya inilah yang nantinya akan menciptakan otentisitas sebuah
destinasi di mana nantinya dapat menciptakan pengalaman wisatawan yang
18
otentik. Hal ini kemudian yang menjadi kekuatan dalam suatu destinasi, karena
saat budaya menjadi fokus utama wisatawan datang, maka destinasi tersebut tidak
akan mudah direplikasi; tidak seperti atraksi buatan manusia yang sangat mudah
dibuat di destinasi lain. Karenanya kekuatan sebuah destinasi sesungguhnya tidak
lepas dari partisipasi masyarakatnya di dalam menciptakan otentisitas destinasi
tersebut, Yeoman (2007).
Dalam perspektif Bali, penelitian Ardika (2003) disebutkan bahwa
persepsi wisatawan terhadap sepuluh komponen budaya Bali sangat bervariasi.
Hasil survei yang terhadap sepuluh komponen budaya Bali pada beberapa
kawasan wisata di Bali menunjukkan bahwa di kawasan Tanah Lot, makanan
tradisional dan tradisi masyarakat Bali sangat menarik wisatawan. Kawasan
Ubud, tradisi dan cara hidup orang Bali menjadi hal yang paling menarik
wisatawan, sedangkan kawasan Sanur dan Kintamani yang paling menarik
wisatawan adalah tradisi. Kawasan Kuta dan Nusa Dua ternyata tradisi dan
makanan lokal merupakan komponen budaya Bali yang paling menarik
wisatawan.
Budaya dan warisan budaya menjadi sangat penting di era cultural
homogenization ini karena berkaitan erat dengan identitas, harga diri, dan
martabat suatu negara. Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO, 1997) bahkan
memprediksi bahwa pariwisata budaya akan menjadi salah satu dari lima segmen
pasar pariwisata utama di masa depan, dan mencatat bahwa pertumbuhan di
daerah ini akan menyajikan tantangan yang meningkat dalam hal pengelolaan
pengunjung mengalir ke situs budaya.
19
Pariwisata warisan budaya dipandang sebagai perjalanan dengan tujuan
untuk memahami lingkungan budaya, termasuk lanskap, seni visual dan
pertunjukan, gaya hidup, nilai-nilai, tradisi dan acara. Sangat penting untuk
menekankan bahwa pariwisata warisan budaya tidak hanya melibatkan warisan
berwujud atau terlihat (tangible heritage) seperti situs dan pola pemukiman, tetapi
juga warisan budaya tak benda (intangible heritage) seperti struktur sosial, tradisi,
nilai-nilai, dan agama.
Layton (1989), Hodder (1991), Cleere (1990) dan Little (2002)
menyatakan bahwa warisan budaya tidak hanya memiliki publik yang tunggal
tetapi jamak. Masing-masing pihak merasa punya kepentingan dan ingin
mengambil manfaat dari warisan budaya. Hal ini tentu saja wajar, karena warisan
budaya memang dapat memiliki nilai penting yang berbeda bagi setiap pihak. Ada
yang menilai pentingnya suatu warisan budaya dari segi ilmu pengetahuan (untuk
pengajian dan pengujian akademik), etnik (jatidiri dan latar kehidupan suatu
bangsa tertentu), estetik (bukti hasil seni yang adiluhung), maupun publik
(kepentingan masyarakat secara umum) termasuk untuk pendidikan masyarakat,
daya tarik wisata, serta keuntungan ekonomis, Schiffer dan Gumerman (1977).
Dengan acuan berbagai penelitian tersebut diatas, maka penelitian ini turut
mengkaji bagaimana pariwisata dapat dapat berkontribusi secara positif terhadap
pengembangan kuliner sebagai warisan budaya tak benda (intangible) yang
dimiliki oleh masyarakat Ubud di Bali. Selain itu penelitian akan mengkaji
mengenai bagaimana perkembangan kuliner Bali terjadi di Ubud serta faktor-
faktor yang mendukung perkembangan tersebut
20
2.1.3 Kajian Keberlanjutan Budaya
Perkembangan pariwisata pada suatu daerah seringkali mengakibatkan
komersialisasi dan komodifikasi budaya. Smith (1978) disebutkan bahwa antara
pariwisata dan budaya merupakan bentuk hubungan satu arah yang memberikan
dampak negatif bagi budaya masyarakat setempat namun budaya lokal sama
sekali tidak mempengaruhi pariwisata. Hal ini dipertegas dengan banyaknya
literatur yang menyatakan bahwa budaya dan masyarakat lokal merupakan obyek
pasif yang sama sekali tidak mampu untuk membentengi diri dari pengaruh
langsung pariwisata. Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan hal yang sangat
dominan sejak pariwisata berkembang di Bali sampai saat ini. Degradasi budaya
masyarakat Bali merupakan dampak negatif pariwisata yang terus menerus
ditunjukkan dalam berbagai penelitian, jurnal maupun publikasi ilmiah lainnya.
Secara teoritis Cohen (1988, dalam Pitana (2003) menyatakan bahwa
dampak sosial budaya akibat pariwisata dikelompokan menjadi (1) dampak
terhadap keterkaitan dan keterlibatan masyarakat dengan masyarakat yang lebih
luas; (2) dampak terhadap impersonal antara anggota masyarakat; (3) dampak
terhadap dasar-dasar organisasi sosial; (4) dampak terhadap migrasi dari dan
kedaerah pariwisata; (5) dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat (6)
dampak terhadap pola pembagian kerja; (7) dampak terhadap stratifikasi dan
mobilisasi sosial; (8) dampak terhadap distribusi pengaruh kekuasaan; (9) dampak
tehadap penyimpangan-penyimpangan sosial dan (10) dampak terhadap bidang
kesenian dan adat istiadat.
21
Dalam pemaparan Cohen tersebut, dampak kesenian, adat istiadat dan
agama merupakan aspek-aspek yang selalu menarik untuk dikaji karena
pariwisata yang berkembang di Bali adalah pariwisata budaya. Pariwisata dan
budaya di Bali justru berada di dalam rantai mutualisme dinamis dan saling
berkaitan satu sama lain yang kemudian divisualisasikan dengan analogi pohon,
Hassal (1992). Konsep tree analogy, merupakan jawaban mengapa budaya Bali di
Ubud sampai saat ini tetap ada meskipun telah diintrusi pariwisata bahkan sejak
tahun 1930-an
Gambar 2.2
Visualisasi tree analogy dari ide Pitana (2006), Picard (1996), Geriya (1991), McKean (1978)
Dalam analogi pohon sebagai ekspansi dari konsep pariwisata budaya di
Bali, yang menjadi akar dari pohon tersebut adalah Agama Hindu. Batangnya
yang kuat adalah budaya secara umum, baik berwujud (tangible) maupun tidak
berwujud (intangible). Daunnya yang lebat dan indah adalah kesenian Bali baik
yang berupa kesenian visual (visual arts) maupun kesenian atraksi (performing
22
arts). Pariwisata adalah bunga dan buah yang dapat “dipanen” sehingga nantinya
dapat diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakatnya. Hasil dari pohon yang
berupa bunga dan buah inilah yang dapat “dijual”, namun pendapatan yang
dihasilkan dari penjualan tersebut harus diinvestasikan kembali ke pohon tersebut.
Saat akar dan batang pohon tersebut kuat maka analoginya akan mampu
menghasilkan daun yang sehat serta buah dan bunga yang manis.
Dalam konsep keberlanjutan budaya melalui analogi pohon seperti yang
tampak diatas, tampak bahwa sebenarnya budaya yang dianalogikan sebagai
batang pohon tidak mungkin dijual untuk kebutuhan pariwisata. Padahal yang
menjadi daya tarik utama dalam pengembangan pariwisata Bali adalah budaya.
Jadi secara implisit, budaya-lah yang menjadi “komoditas” dari pengembangan
pariwisata di Bali. Maka tak salah jika banyak antropolog yang menyatakan
bahwa pariwisata-lah penyebab komodifikasi dan komersialisasi budaya. Oleh
sebab itu maka penelitian ini mengkaji manfaat pengembangan kuliner bagi
atribut pengembangan pariwisata budaya di Ubud
2.2 Konsep
Terdapat dua konsep yang perlu diperjelas di dalam penelitian ini yaitu
destination competitiveness dan wisata kuliner. Masing-masing konsep akan
dipaparkan secara singkat berikut ini.
2.2.1 Destination Competitiveness
Atribut wisata merupakan sesuatu yang esensial bagi sebuah destinasi.
Masing-masing destinasi memiliki atribut wisatanya masing-masing yang
23
nantinya menjadi keunggulan kompetitif dari destinasi tersebut. Atribut yang
dimiliki sebuah destinasi akan menciptakan image atau branding tertentu di benak
wisatawan. Oleh sebab itu atribut wisata pada sebuah desinasi merupakan pull
factor yang membuat wisatawan datang ke suatu destinasi.
Destination competitiveness dapat diukur melalui persepsi wisatawan
terhadap atribut wisata destinasi tersebut; bagaimana sebuah destinasi dapat
memfasilitasi kebutuhan dari pasar wisatawan yang dituju. Etchner dan Ritchie
(1993) menyimpulkan dalam penelitian mereka bahwa setiap tujuan memiliki
kombinasi atribut fungsional atau tangible dan atribut psikologis atau intangible.
Beberapa penulis (Goodrich, 1977; Holloway, 1986; Shih, 1986; Van Raaij, 1986)
juga melihat ke dalam atribut destinasi wisata. Alasannya adalah bahwa
wisatawan umumnya memiliki pengetahuan yang terbatas tentang destinasi yang
belum pernah dikunjungi dan oleh sebab itu, wisatawan sering memilih
berdasarkan informasi simbolis yang diperoleh baik dari media atau dari
kelompok sosial (Mok dan Armstrong, 1996). Ada beberapa studi (Baker dan
Crompton, 2000; Kozak, 2002; Yoon dan Uysal, 2005; Alegre dan Garau 2010;
dan sebagainya) dalam literatur pariwisata menunjukkan bahwa kepuasan
wisatawan ditentukan oleh bagaimana para wisatawan mengevaluasi atribut-
atribut yang berkaitan dengan destinasi tujuan wisata.
Correia et al (2007) menyatakan, faktor yang menarik wisatawan untuk
datang ke sebuah destinasi adalah; core attractions berupa kondisi lingkungan
sosial, tempat belanja, dan aktivitas wisatawan yang bisa dilakukan, landscape
features berupa kondisi alam dan budayanya, serta facilities seperti fasilitas dan
24
pelayanan umum yang tersedia bagi para wisatawan. Citra sebuah destinasi
wisata, dapat dibentuk melalui komponen variabel yang dapat mewakili destinasi
tersebut ke dalam empat bagian, yaitu; places of interest and culture, resort
atmosphere, outdoor activities, scenery, adventure and beach (Ibrahim, 2005).
Weaver et al (2007) mengeksplorasi dampak dari variabel pengalaman dan
perjalanan terkait sebelumnya pada evaluasi destinasi, meneliti hubungan antara
dua set variabel: set pertama terdiri dari lima variabel yang disebut sebagai
pengalaman perjalanan sebelumnya (jumlah negara yang dikunjungi, jumlah dari
negara yang dikunjungi untuk kesenangan) dan karakteristik perjalanan (lama
menginap, jumlah orang yang berpergian, dan modus perjalanan); set kedua
variabel disebut sebagai variabel evaluasi destinasi (kepuasan, kualitas layanan,
nilai, dan kemungkinan untuk kembali). Secara umum, wisatawan "menciptakan"
image mereka sendiri terhadap destinasi melalui pengetahuan dan perasaan
mereka, atau dari pengaruh eksternal, seperti teman-teman dan kerabat, iklan,
perantara, dan pengalaman masa lalu mereka sendiri. Dengan cara ini, image
yang diproyeksikan oleh destinasi wisata melalui kegiatan promosi serta semua
sumber informasi yang dipergnakan wisatwan didalm pencarian sebuah destinasi.
Perbandingan antara image yang diproyeksikan destinasi dan image yang dialami
langsung oleh wisatawan haruslah sesuai (Andreu, et al., 2000).
Liem (2009) menjabarkan atribut-atribut yang menjadi destination
competitiveness sebagai berikut; (1) kondisi alam dan kegiatan luar ruangan
(nature dan outdoor activities, (2) seni dan budaya (arts and culture), (3) musik
dan kehidupan malam (music and night life), (4) makanan dan minuman (food and
25
drink), (5) kondisi sosial (social and dating scene), (6) biaya hidup (living cost),
(7) pendidikan (education), (8) kesehatan (health), (9) akomodasi
(accommodation), dan (10) kepedulian terhadap lingkungan hidup (environmental
awarennes). Kesepuluh hal tersebutlah yang dipakai untuk wisatawan untuk
menilai dan membandingkan sebuah destinasi dengan destinasi lainnya.
Konsep destination competitiveness atau keunggulan kompetitif sebuah
destinasi inilah yang akan dipergunakan sebagai konsep untuk melandasi
penelitian ini. Bagaimanapun juga atribut baru yang dimiliki Ubud sebagai
destinasi wisata kuliner di Bali dapat menjadi bagian itegral yang memperkuat
keunggulan Ubud sebagai destinasi wisata budaya.
2.2.2 Wisata Kuliner
Pariwisata gastronomi atau wisata kuliner adalah jenis kunjungan atau
perjalanan yang didorong oleh minat makanan dan minuman lokal. Orang
melakukan perjalanan karena ingin memiliki pengalaman dalam mencicipi produk
kuliner yang dapat memberikan kesan dalam hidup mereka; dengan demikian,
identitas kuliner yang unik dan mengesankan adalah aset penting bagi kesuksesan
setiap tujuan wisata kuliner (Karim 2010; Zakarian 2010 dan Fox 2007). Dalam
hal ini, wisatawan bepergian untuk secara sengaja untuk mengeksplorasi dan
menikmati masakan khas yang identik dengan destinasi yang dikunjunginya.
Wisata kuliner didefinisikan oleh Hall dan Mitchell (2005: 74) dikutip
dalam Tikkanen (2007: 725) sebagai "kunjungan ke produsen primer dan
sekunder, festival makanan, restoran dan lokasi tertentu untuk mencicipi makanan
26
dan / atau merasakan sendiri atribut dari destinasi tersebut yang menjadi
pendorong utama wisatawan melakukan perjalanan. Kuliner lokal bisa menjadi
daya tarik wisata (Hjalager dan Richards, 2002). Kuliner adalah daya tarik,
komponen produk, pengalaman, dan merupakan fenomena budaya (Tikkanen,
2007).
Menurut National Restaurant Association (NRA), lebih dari enam dari
sepuluh wisatawan (63 persen) dan 85 persen dari wisatawan kuliner menikmati
dan mencoba restoran baru hampir setiap malam selama perjalanan (NRA, 2007:
dikutip dalam Stewart, Bramble, dan Ziraldo, 2008:304). Kebiasaan makan
membantu wisatawan untuk memahami perbedaan antara budaya mereka sendiri
dan budaya destinasi tujuan (Hegarty dan O'Mahoney, 2001). Reynolds (1993)
juga menyebutkan bahwa mempelajari makanan dan minuman dari sekelompok
orang dapat membantu mereka untuk memahami gaya hidup sosial dan ekonomi
dari destinasi tujuan wisata. Wisatawan selalu mencari sesuatu yang berbeda dan
otentik pada setiap kegiatan perjalannya.
Disebutkan oleh Ontario Culinary Tourism Allience (2015), kuliner
membentuk hubungan dan membangun masyarakat. Wisata kuliner tidak hanya
menawarkan wisatawan rasa makanan yang otentik dari sebuah destinasi namun
juga berkontribusi terhadap perekonomian dunia yang berkelanjutan.
Food serves to connect us with the land, our heritage, and the people around us. It is a diverse and dynamic channel for sharing stories, forming relation- ships and building communities. By combining local food and drink with travel, food tourism offers both locals and tourists alike an authentic taste of place while contributing to a sustainable world economy.
Ontario Culinary Tourism Allience (2015)
27
Kuliner lokal yang otentik secara langsung atau tidak langsung
berkontribusi terhadap berbagai elemen keberlanjutan di sebuah destinasi di
antaranya merangsang dan mendukung kegiatan pertanian dan produksi pangan,
mencegah eksploitasi otentisitas budaya, meningkatkan daya tarik destinasi,
pemberdayaan masyarakat, menghasilkan rasa kebanggaan, khususnya mengenai
makanan, serta memperkuat identitas destinasi dengan fokus pada pengalaman
kuliner (Telfer dan Dinding, 1996). Pengembangan wisata kuliner dengan fokus
terhadap kuliner lokal memiliki potensi besar untuk berkontribusi terhadap
keberlanjutan di bidang pariwisata, antara lain, memperluas dan meningkatkan
basis sumber daya pariwisata lokal, menambahkan nilai keaslian destinasi,
memperkuat ekonomi lokal (baik dari pariwisata dan perspektif pertanian), dan
menyediakan infrastruktur yang ramah lingkungan (Barrera dan Alvarado, 2008;
Bessiere, 1998; Boyne, Williams, dan Hall, 2001; Handszuh, 2000; Nummedal
dan Hall, 2006; Pratt, 2007).
Gastronomi atau kuliner adalah kekuatan pendorong penting dari budaya
dan merupakan kunci untuk mempertahankan dan mengembangkan pariwisata.
Dalam mengkonsumsi makanan yang diproduksi secara lokal kegiatan pariwisata
menjadi satu dengan masyarakat lokal. Minat wisatawan untuk menikmati
makanan lokal yang otentik oleh wisatawan mempromosikan praktek pertanian
lokal. Hubungan antara pariwisata dan produksi pangan telah dianggap sebagai
mekanisme untuk mendukung praktek pertanian berkelanjutan (Nummedal dan
Hall, 2006). Oleh karena itu wisata kuliner dapat dianggap sebagai salah satu
28
bentuk pariwisata berkelanjutan yang mempertahankan budaya dan identitas
mayarakat lokal (Butler dan Hall, 1998; Miele dan Murdoch, 2002)
2.3 Landasan Teori
Terdapat dua atau teori yang akan dipergunakan dalam peneltiian ini yaitu
teori pariwisata budaya dan teori pariwisata berkelanjutan. Kedua teori tersebut
dan penggunaannya dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut.
2.3.1 Teori Pariwisata Budaya
Borley (1996 dalam Ardika (2007) mendefinisikan pariwisata budaya
merupakan aktivitas yang memungkinkan wisatawan untuk mengetahui dan
memperoleh pengalaman tentang perbedaan cara hidup orang lain, merefleksikan
adat dan istiadatnya, tradisi religiusnya dan ide-ide intelektual yang terkandung
dalam warisan budaya yang belum dikenalnya. Pendapat tersebut menjadi dasar
pemikiran Astina (2009) yang mengemukakan bahwa simbiosis dapat terjadi
antara pariwisata dan budaya, dengan 1) mendorong pendayagunaan produksi
daerah dan nasional; 2) mempertahankan nilai-nilai budaya, norma, adat istiadat
dan agama; 3) berwawasan lingkungan hidup, baik lingkungan alam maupun
lingkungan sosial
Dalam konteks budaya dan pariwisata, elemen “profitable” bukan berarti
penciptaan budaya pariwisata (touristic culture) untuk wisatawan namun
penciptaan garis tegas terbentuk antara budaya pariwisata dengan pariwisata
budaya. Yang melatarbelakangi kuliner adalah cultural heritage yang bersifat
29
renewable sources, maka penempatan sebagai basis pariwisata budaya tidak
semata-mata dirancang untuk meningkatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga
yang berwawasan perlindungan dan pelestarian, bersifat dinamis dengan
memberikan ruang bagi budaya untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan.
Geertz (1997: 19) juga menyebutkan bahwa budaya merupakan sebuah proses
yang dinamis dan secara konstan selalu berkembang, dibangun, serta diciptakan
kembali untuk menjawab tantangan zaman dan perkembangan kebutuhan. Begitu
juga dengan pariwisata budaya yang terus akan mengalami perkembangan dan
penciptaan kembali untuk menjawab kebutuhan dan tuntutan zaman.
Selain mempertimbangkan faktor ekonomi dan konservasi, pariwisata
budaya berbasis kuliner juga mengandung konsep pariwisata berbasis rakyat.
Dalam model pengembangan pariwisata budaya, kuliner merupakan warisan
budaya masyarakat, sehingga keberadaan dan keberlanjutannya tidak dapat
dilepaskan dari peran aktif masyarakat sebagai pemilik kuliner dan budaya yang
melatarbelakanginya. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa pariwisata berbasis
masyarakat mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan event-event
pariwisata berskala kecil yang dapat dikelola sendiri oleh kelompok-kelompok
masyarakat, termasuk pengusaha lokal. Karena dikelola sendiri, maka masyarakat
dapat terlibat langsung di dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk
menentukan mana yang boleh untuk konsumsi wisatawan dan mana yang tidak
boleh adalah keputusan kelompok yang memiliki budaya tersebut.
Apabila kondisi semacam itu dapat dipertahankan, maka kegiatan
pariwisata dapat menekan dampak sosial dan kultural yang ditimbulkan, sehingga
30
ke depannya tetap dapat diterima masyarakat. Oleh sebab itu pariwisata berbasis
masyarakat mempunyai peluang berumur panjang, dan menjadi sustainable
(Fandeli, 2000:27).
Dalam perspektif degradasi budaya akibat pariwisata, Bali sudah bisa
memelihara lingkungan sosial, budaya dan agama. Masyarakat Bali telah teruji
mampu mengatasi semua kemungkinan, dan membalikkan banyak ramalan
mengenainya. Mead (1977) dalam dalam surat pertamanya dari Bali mengatakan
bahwa “Kelihatannya Bali sudah belajar ribuan tahun tentang pengaruh asing,
tentang bagaimana cara menggunakan dan bagaimana cara untuk mengabaikan
pengaruh itu. Terbiasa kepada kaum bangsawan asing, terbiasa mengikuti
gelombang dari Hinduism, Buddhism, dan semacamnya, mereka membiarkan
apapun yang asing bagi mereka mengalir melewati kepala mereka”. LEbih lanjut
disampaikan oleh Picard, barang-barang konsumen terbaru yang tersedia tidak
menghilangkan ongkos seremonial sebagai seorang sumber gengsi dan tanda
status. Uang yang dihasilkan dari pariwisata digunakan menyelenggarakan
kompetisi untuk status yang diungkapkan dengan mengadakan upacara yang lebih
mewah dan menakjubkan – lebih kepada kepuasan wisatawan.” (Picard, 1996).
Picard juga mengutip Gubernur Bali Soekarmen pada seminar tahun 1971
menguraikan rumusan pariwisata budaya
Pariwisata sebagai genus proximinum serta budaya sebagai differentia specifia membawa konsekwensi yang berat karena predikat budaya membatasi pengertian pariwisata. Segala sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai seni dan budaya tidak boleh dilaksanakan. Demikian pula industri-industri pariwisata kita haruslah industri pariwisata budaya, suatu industri yang bahan bakunya dan yang “dijual” adalah kebudayaan itu sendiri, dengan batas-batas bahwa pengembangan kepariwisataan itu tidak boleh berakibat merosotnya nilai-nilai kebudayaan kita yang
31
merupakan daya tarik pokok bagi seorang wisatawan untuk berkunjung ke Bali.
Penyelenggaraan pariwisata di Bali yang berlandaskan pada konsep
pariwisata budaya tersebut telah menyebabkan perkembangan pariwisata di Bali
menjadi semakin pesat dan semakin menjanjikan untuk dijadikan sektor andalan
Bali. Oleh sebab itu, sektor ini harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi
masyarakat lokal tidak hanya dari aspek ekonomi dan lingkunan namun juga
keberlanjutan aspek sosial buadayanya.
Teori pariwisata budaya akan dipergunakan untuk mengkaji bagaimana
pariwisata dapat mengembangkan budaya kuliner di Ubud. Teori ini juga akan
berkontribusi terhadap analisis manfaat pariwisata terhadap pengembangan wisata
kuliner bagi masyarakat Ubud. Teori ini akan digunakan secara bersamaan dengan
teori pariwisata berkelanjutan yang akan diuraikan dalam sub bab berikut.
2.3.2 Teori Pariwisata Berkelanjutan
The three elements of sustainability (World Commission on Environment
and Development, 1987; Holmberg, 1992; Reed, 1997; Harris et al., 2001)
melalui pendekatan pertumbuhan ekonomi (economic growth), peningkatan taraf
hidup masyarakat (social progress) serta kepedulian kepada lingkungan
(environmental stewardship).
32
Gambar 2.3. Tiga Elemen Keberlanjutan (The Three Elements of Sustainability). Sumber: United Nation 2014; Harris, 2003
Dalam konsep dan prinsip-prinsip keberlanjutan tersebut tampak bahwa
hubungan antara aspek ekonomis dan sosial akan menghasilkan keberlanjutan
dalam aspek sosio-ekonomis di mana termasuk di antaranya adalah pembukaan
lapangan pekerjaan baru serta investasi sosial.
Pendekatan ekonomis dan lingkungan akan menghasilkan eko-efisiensi di
mana diharapkan akan tercipta efisiensi di dalam penggunaan sumber daya,
kepedulian terhadap produk serta analisis daur hidup produk. Selanjutnya
pendekatan sosial dan lingkungan akan menghasilkan sosio-lingkungan di mana
salah satu elemen terpentingnya adalah analisis mengenai dampak lingkungan
masyarakat sekitar. Ketiga elemen tersebut merupakan elemen keberlanjutan
yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kesatuan yang harmonis ini akan
menciptakan keberlanjutan pariwisata budaya.
33
Strategi pengembangan pariwisata dalam prespektif berkelanjutan pada
dasarnya merupakan keterpaduan antara manfaat secara ekonomis, humanis, dan
ekologis. Oleh sebab itu industri pariwisata berkelanjutan dapat dilihat dari
pengaruh ekonomi, sosial dan lingkungan bagi masyarakat setempat yang
berlandaskan pada enam prinsip yang dikembangkan oleh Robertson (1978), de
Romana (1989) serta Ross dan Usher (1986). Asumsi yang dikembangkan adalah
ekonomi merupakan salah satu komponen dari pengambangan pariwisata yang
berkelanjutan. Jika pariwisata yang ada tidak berdampak secara berkelanjutan
terhadap masyarakat maka industri pariwisata itu sendiri tidak akan
berkelanjutan.
Keenam prinsip tersebut adalah: (1) memajukan perekonomian secara
seimbang antara sektor pasar dan non-pasar dalam hal ini pemilik, pekerja, dan
pendidikan; (2) mendorong mencari alternatif bentuk jenis pekerjaan yang
mandiri, personal dan kontrol lokal, kemampuan umum, tujuan intrnsik, bersifat
informal, dan keseimbangan antara pekerja wanita dan laki-laki; (3) memajukan
pembangunan yang berdasarkan sumber asli seperti sistempengetahuan lokal dan
tradisional, bentuk organisasi lokal seperti LPD, sekaa truna-truni, dan keahlian
lokal; (4) memajukan perdagangan antar daerah dan menjamin terpenuhinya
kebutuhan sendiri; (5) menjaga keanekaragaman budaya atau masyarakat; dan (6)
menjaga jarak sosial di luar masyarakat industri modern yang tidak termasuk ke
dalam kategori ekonomis.
34
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini merupakan riset kualitataif dengan alur kerja yang
digambarkan dalam model dengan deskripsi sebagai berikut. Tahap awal akan
dilaksanakan tahap perencanaan untuk mempertajam fokus serta merumuskan
masalah penelitian. Tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan peneltiian di
mana observasi, interview secara mendalam kepada narasumber serta studi
dokumentasi akan dilaksanakan. Setelah data diperoleh maka tahapan selanjutnya
adalah analisis serta pengecekan keabsahan data melalui referensi-referensi terkait
dengan kajian kuliner dan pengembangan budaya melalui pariwisata. Hasil
analisis akan mendapatkan temuan penelitian yang nantinya akan dipergunakan
sebagai landasan untuk membuat simpulan hasil penelitian.
Data dan temuan dari hasil wawancara dan observasi selanjutnya akan
dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan mempergunakan metode trianggulasi
dan reduksi untuk kemudian mengetahui apakah memang benar wisata kuliner
memberikan kontribusi terhadap pengembangan warisan budaya di Ubud. Secara
ringkas, model penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut ini
35
Gambar 2.4 Model Penelitian
Pariwisata Budaya
di Ubud
Wisata Kuliner di Ubud
Perkembangan kuliner lokal serta faktor-
faktor apakah yang mendukung kuliner
lokal dapat berkembang di Ubud
Konsep 1. Destination
Competitiveness 2. Wisata Kuliner
Teori 1. Pariwisata
Budaya 2. Pariwisata
Berkelanjutan
Analisis Kualitatif - Triangulasi - Reduksi
Hasil Penelitian
Simpulan dan Rekomendasi
Perkembangan wisata kuliner sebagai atribut
baru Ubud
Tokoh kuliner lokal dan
perjuangan mereka didalam mengangkat
kuliner Ubud
Manfaat pengembangan kuliner
bagi atribut pengembangan
pariwisata budaya di Ubud?
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Ciri dari metode
kualitatif adalah data yang disajikan dalam bentuk deskripsi yang berupa teks
naratif, kata-kata, ungkapan, pendapat, gagasan yang dikumpulkan oleh peneliti
dari beberapa sumber sesuai dengan teknik atau cara pengumpulan data.
Kemudian data dikelompokkan berdasarkan kebutuhan dengan pendekatan
interpretatif terhadap subjek selanjutnya dianalisis (Denzin dan Lincoln, 2009: 2).
Dalam penelitian ini diuraikan hal-hal untuk memahami sikap stakeholder
terkait di dalam pelaksanaan pengembangan budaya kuliner elalui pariwisata.
Dengan demikian, mekanisme analisisnya seperti deskripsi fenomena realitas
yang terjadi dalam hubungan pariwisata dengan budaya, kemudian dihubungkan
dengan komunitas sosial lingkungannnya. Analisis tersebut akan mengarah pada
pemaparan yang lebih konkret tentang pelaksanaan pengembangan pariwisata
sekaligus memperkuat budaya kuliner yang aplikatif dan bermanfaat untuk
diterapkan secara progresif khususnya di Ubud.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah kawasan pariwisata Ubud sebagai destinasi
wisata budaya di Kabupaten Gianyar. Pemilihan lokasi berdasarkan pertimbangan
fenomena yaitu dengan sengaja memilih Ubud sebagai tempat penelitian dengan
37
beberapa pertimbangan yaitu, 1) Ubud merupakan daerah tujuan wisata budaya
yang cukup banyak diminati oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara;
2) Ubud merupakan destinasi berkembangnya culture based tourism yang
menonjolkan kuliner dalam bentuk culinary tourism; 3) hubungan wisatawan dan
masyarakat tuan rumah di Ubud sudah semakin kompleks dengan struktur
masyarakat yang heterogen; 4) penelitian mengenai wisata kuliner sebagai
destination competitiveness di Ubud masih sangat terbatas. 5) adanya paradigma
bahwa Ubud menjadi pilihan bagi wisatawan mancanegara yang ingin melihat
kekentalan budaya tradisional setempat. Berdasarkan pertimbangan ini maka
akhirnya ditetapkan pilihan Ubud sebagai lokasi penelitian.
Sejak berkembangnya kegiatan kepariwisataan Ubud pada tahun 1930-an,
Ubud merupakan salah satu destinasi yang mampu menyelaraskan kegiatan
pariwisata dengan tradisi dan budayanya. Potensi pengembangan pariwisata yang
menyatu dengan tradisi dan budaya merupakan karakter kuat dari masyarakat
Ubud. Keindahan panorama alam, seni budaya, adat istiadat dan masyarakat Ubud
yang religius menjadikan Ubud memiliki daya tarik dan banyak dikunjungi
wisatawan dari berbagai Negara di dunia.
Sampai saat ini pun pesona Ubud memang mendunia. Seperti yang tampak
pada gambar berikut ini, saat menulis keyword “Ubud” atau “Ubud Bali” di
google images, maka akan tampak bagaimana pesona keindahan alam Ubud
menjadi satu dengan nuansa budayanya. Ubud, pariwisata dan budaya memang
seolah-olah tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
38
Gambar 3.1
Representasi Ubud melalui Google. Sumber: Google image 2015
Pembangunan pariwisata di Ubud dilakukan dengan cara melestarikan
kebudayaan sebagai dasar menunjang pariwisata serta didasarkan pada norma –
norma yang berlaku di masyarakat yang bernafaskan seni dan budaya yang dijiwai
oleh agama Hindu. Secara disadari atau tidak, hal inilah yang membuat Ubud
tetap menjadi destinasi yang sustainable di mata wisatawan. Wisatawan yang
datang ke Ubud pun adalah wisatawan yang memang untuk menikmati seni dan
budaya Ubud.
3.3 Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini di bedakan atas data primer dan sekunder
seperti di bawah ini :
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber yang
telah ditentukan sebelumnya melalui wawancara langsung. Daftar
pertanyaan akan difokuskan terhadap pendapat narasumber mengenai
39
pariwisata dan pengembangan budaya kuliner. Data ini juga berasal
dari hasil pengamatan dan observasi langsung peneliti di lokasi.
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber- sumber yang
menunjang penelitian ini yang bukan merupakan pihak pertama seperti
kunjungan wissatawan, profil Ubud dan teori- teori dari berbagai
pustaka yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini.
3.4 Instrumen Penelitian
Dalam kegiatan penelitian, peneliti menggunakan pedoman wawancara,
yaitu berupa daftar pertanyaan terbuka (open questions). Seperti dikatakan
Nasution (1990), instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penulis sendiri sebagai instrumen utama, didukung pedoman wawancara dan
catatan kecil observasi (field notes). Pedoman wawancara sebagai pertanyaan
terbuka dikembangkan dan diperdalam di lapangan untuk cross check.
Pengambilan gambar dan suara dalam kegiatan wawancara dibutuhkan kamera
untuk pemotretan dan tape recorder sebagai alat perekam
Agar penelitian mendapatkan hasil yang lebih valid maka juga akan
dilakukan observasi, yakni dengan menemui sejumlah pengusaha dan pengelola
yang sukses menjalankan usaha kuliner Bali. Di samping itu, peneliti juga
melakukan pengkajian-pengkajian terhadap konsep revitalisai dan pengembangan
budaya, yang diperoleh dari studi dokumentasi secara offline maupun online.
Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan
menggunakan wawancara semi terstruktur (semi structured interview) seperti
40
yang tampak pada paduan wawancara terlampir (lampiran 1). Wawancara semi
terstruktur dilakukan untuk mendapatkan data yang mendalam dari narasumber
yang tidak mungkin didapatkan dari wawancara terstruktur. Wawancara ini
memberikan kesempatan kepada narasumber untuk menjawab pertanyaan secara
bebas sesuai dengan kata-kata mereka sehingga akan didapatkan jawaban yang
variatif. Wawancara tidak terstruktur ini digunakan untuk melengkapi data
pengembangan budaya kuliner melalui pariwisata.
Terdapat tiga variabel pertanyaan mendalam mengenai wisata kuliner
sebagai upaya pengembangan warisan budaya di Ubud. Pertanyaan disesuaikan
dengan pengelompokan narasumber yang dibagi menjadi kelompok
pemerintah/akademisi dan representative asosiasi, pemilik langsung/investor lokal
usaha kuliner serta pengelola / manajemen usaha kuliner di Ubud. Daftar
pertanyaan ini dapat dilihat pada pedoman wawancara pada lampiran 1
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal ini ada beberapa teknik yang digunakan, yaitu observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi untuk memahami dan mengerti bagaimana
wisata kuliner di Ubud dapat mengembangkan warisan budaya tersebut.
a) Observasi
Observasi sebagai suatu cara untuk memproleh data, dalam hal ini
penulis terjun langsung ke lokasi objek penelitian, yakni melihat
bagaimana proses pengembangan warisan budaya kuliner melalui
pariwisata. Observasi langsung akan dilakukan untuk melihat keterlibatan
41
tokoh-tokoh yang telah ikut membangun wisata kuliner Bali sebagai
atribut baru pariwisata budaya di Ubud. Pengamatan tidak hanya
dilakukan pada warung dan restoran yang sudah memiliki nama besar,
namun juga warung-warung kecil di kawasan pariwisata Ubud
b) Wawancara
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada
narasumber terkait. Pengumpulan data yang sesuai dengan permasalahan
penelitian, dilakukan dengan cara berdialog dengan narasumber terkait
(interaktif). Wawancara mendalam dilakukan terhadap kelompok
narasumber sehingga penulis mendapatkan gambaran yang lebih jelas
mengenai 1) perkembangan kuliner Bali serta faktor-faktor yang
mendukung kuliner Bali dapat berkembang di Ubud; 2) tokoh dan
perjuangan mereka didalam mengangkat kuliner Ubud dan 3) Manfaat
pengembangan kuliner bagi atribut pengembangan pariwisata budaya di
Ubud
Purposive sampling dilakukan pada stakeholder tekait yang secara
aktif melaksanakan pengembangan budaya kuliner melalui pariwisata.
Pengambilan narasumber yang dijadikan sampel diambil dengan metode
purposive sampling dengan membagi ke dalam beberapa kelompok yaitu
1) pemerintah; 2) asosiasi; 3) pengelola dan 4) masyarakat lokal. Perincian
profil narasumber dapat dilihat pada lampiran 2.
Sebelum melakukan wawancara di lapangan, penulis
mempersiapkan daftar pertanyaan yang terkait dengan permasalahan.
42
Kemudian, penulis menemui, para stakeholder yang terkait untuk mencari
informasi bagaimana tanggapan dan keterkaitan dengan kegiatan dan
tantangan pengembangan budaya, khususnya manfaat yang diterima.
c) Studi Dokumen
Dalam penelitian ini selain data diperoleh dari hasil wawancara, dan
observasi, juga digunakan teknik studi dekumen. Teknik ini diterapkan
dengan analisis pengkajian dokumentasi berupa teks. Metode
pengumpulan data secara dokumentasi dilakukan untuk menelusuri
dokumen- dokumen dan laporan - laporan yang terkait dengan persepsi
wisatawan. Disamping itu juga studi dokumentasi dilakukan melalui
pengambilan gambar- gambar, serta merekam hasil wawancara yang
dipandang perlu yang dapat mendukung penelitian mengenai
pengembangan budaya kuliner di Ubud.
3.6 Teknik Pemrosesan dan Analisis Data
Pemrosesan data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Analisis data
melalui teknik ini dilakukan dengan cara mengatur secara sistematis pedoman
wawancara, data kepustakaan, kemudian memformulasikan secara deskriptif.
Proses analisis data dilakukan dengan tahapan reduksi data, menyajikan data, dan
menyimpulkan. Dalam penelitian ini, data yang telah terkumpul akan diolah dan
pengolahan data dilakukan dengan teknik triangulasi dan reduksi.
43
1. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data sebagai pembanding
terhadap data tersebut. Terdapat tiga macam triangulasi yaitu
triangulasi dengan sumber, triangulasi dengan teknik, dan triangulasi
waktu. Pada penelitian ini penulis menggunakan triangulasi dengan
menggunakan sumber yaitu dengan cara mengecek data yang diperoleh
melalui beberapa sumber. Pada penelitian ini, untuk menguji
kredibilitas data pemanfaatan koleksi e-book, maka data yang
diperoleh diujikan kepada pemustaka yang merupakan subyek dari
penelitian serta disesuaikan dengan teori – teori yang ada.
2. Reduksi
Reduksi yaitu merangkum, momotong data-data yang tidak relevan,
memilih hal – hal pokok, dan memfokuskan pada hal – hal penting.
Dengan begitu, data yang direduksi akan memberikan gambaran yang
lebih jelas. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada
pemanfaatan koleksi e-book yang dilakukan oleh pemustaka
Analisis data dimulai dengan melakukan wawancara mendalam dengan
informan. Oleh sebab itu narasumber yang dipilih sangat selektif untuk
mendapatkan hasil analisis yang lebih valid dan terfokus. Setelah melakukan
wawancara, peneliti akan membuat transkip hasil wawancara dengan cara
memutar kembali rekaman wawancara kemudian menuliskan kata- kata yang
44
sesuai dengan apa yang ada direkaman tersebut. Setelah peneliti menulis hasil
wawancara ke dalam transkip, selanjutnya peneliti membuat reduksi data dengan
cara abstraksi, yaitu mengambil data yang sesuai dengan konteks penelitian dan
mengabaikan data yang tidak diperlukan.
3.7 Penyajian Hasil Analisis Data
Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu
suatu metode yang di gunakan untuk memperoleh gambaran dari tujuan penelitian
dengan jalan memaparkan data yang telah diperoleh di lapangan. Data yang telah
terkumpul dari hasil penelitian di lapangan berwujud kata-kata lisan maupun
tertulis. Ide ungkapan dan pandangan yang ditemukan dilapangan diklasifikasikan
untuk bagaimana pengembangan budaya kuliner dilaksanakan di Ubud melalui
pariwisata. Langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap data yang
telah terspesifikasi dan menghubungkan antara satu dengan yang lainnya melalui
studi dokumentasi dengan penelitian-penelitian terkait baik yang dilakukan oleh
peneliti lokal maupun internasional. Penelitian ini membandingkan dan
mendeskripsikan antara teori dengan realita lapangan sehingga mendapatkan
jawaban dan analisis yang tepat atas pokok permasalahan.