Page 1
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Psoriasis
2.1.1 Definisi
Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit, ditandai dengan
adanya plak eritema dan ditutupi skuama putih tebal, tanda auspitz, fenomena
bercak lilin dan tanda koebner yang positif. (Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.2 Sejarah psoriasis
Penyakit psoriasis sudah dikenal sejak jaman kuno, pada saat itu psoriasis,
lepra dan kelainan inflamasi kulit lainnya merupakan suatu kelainan yang sama,
penyakit ini masih belum dibedakan sampai dengan abad ke-19. Hipocrates pada
460-377 SM merupakan penulis pertama yang menulis tentang gambaran penyakit
kulit, beliau menggunakan kata lopoi untuk menerangkan psoriasis, lepra dan
penyakit inflamasi pada kulit lainnya, dijelaskan sebagai kulit kering dan bersisik.
Pada tahun 1809, Willan mulai menggambarkan psoriasis secara lebih detail dan
saat itu dikenal sebagai lepra vulgaris. Pada tahun 1835- 1886, Heinrich Auspitz
mencatat adanya titik pendarahan pada saat dilakukan pengerokan sampai ke
dasarnya pada skuama psoriasis yang saat ini dikenal sebagai tanda Auspitz. Pada
tahun 1898, Munro menerangkan tentang adanya mikroabses pada psoriasis yang
saat ini dikenal sebagai mikroabses munro. Pada tahun 1960 mulai digambarkan
tentang histopatologi dari psoriasis dan tahun 1970 mulai didapatkan adanya
Page 2
8
kejelasan tentang patofisiologi psoriasis tetapi banyak aspek dari penyakit yang
masih belum diketahui (Cowden dan Voorhees, 2008).
2.1.3 Epidemiologi
Psoriasis dapat terjadi pada semua usia serta tidak didapatkan adanya
perbedaan prevalensi pada kedua jenis kelamin. Prevalensi psoriasis didapatkan
dalam jumlah yang bervariasi, di Amerika Serikat terdapat sekitar 2% psoriasis
pada populasi, walaupun pernah dilaporkan angka kejadiannya mencapai 4,6%.
Psoriasis dilaporkan dengan angka kejadian yang lebih tinggi terjadi pada 2,8%
populasi di kepulauan Faroe, sedangkan prevalensi terjadinya psoriasis didapatkan
rendah pada kelompok etnis seperti Jepang, suku aborigin di Australia, India dan
Afrika Selatan (Basko dkk.,2012; Langley dkk.,2005).
Onset munculnya psoriasis dapat terjadi pada semua usia serta dengan
karakteristik usia yang bervariasi. Sebagian besar kasus muncul sebelum usia 40
tahun yaitu pada sekitar 75% kasus dengan onset usia tertinggi didapatkan pada
usia 20-30 tahun. Pasien dengan onset usia yang lebih awal cenderung memiliki
riwayat psoriasis pada keluarga yang sering dihubungkan dengan HLA Cw6, serta
memiliki derajat keparahan penyakit yang lebih tinggi (Langley dkk.,2005;
Basko-Piluska dan Petronic-Rosic, 2012).
Psoriasis jarang terjadi pada usia dibawah 10 tahun, paling sering terjadi
pada usia 15 tahun hingga 25 tahun (Kuchekar dkk., 2011). Psoriasis dibagi
menjadi psoriasis tipe I dan psoriasis tipe II. Pada psoriasis tipe I dihubungkan
dengan keterlibatan HLA dan onset munculnya psoriasis sebelum usia 40 tahun,
Page 3
9
sedangkan psoriasis tipe II tidak berhubungan dengan HLA dan onset lebih dari
40 tahun (Rahman dan Elder, 2005 ; Kuchekar dkk., 2011).
2.1.4 Etiopatogenesis psoriasis
Psoriasis pada awalnya dianggap sebagai suatu penyakit primer akibat
gangguan keratinosit, namun saat ini psoriasis dianggap sebagai kelainan kulit
yang disebabkan oleh multifaktorial diantaranya predisposisi genetik, lingkungan,
penyakit inflamasi yang dimediasi oleh imun, adanya beberapa faktor-faktor
modifikasi yaitu kegemukan, trauma, infeksi, serta defisiensi vitamin D3. Bagian
lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel,
keratinosit, sel langerhans, makrofag, sel natural killer, sitokin dari Th1, serta
growth factor dari vascular endothelial growth factor (VEGF), dan keratinosit
growth factor (KGF) (El-Daruoti dan Hay, 2010 ; Monteleone dkk., 2011).
Psoriasis memiliki dasar genetika yang kompleks dan didapatkan adanya
banyak keterlibatan gen, pada penelitian terhadap orang kembar didapatkan
heritabilitas psoriasis sebesar 60-90% dan pada penelitian selanjutnya didapatkan
sebesar 70% pada kembar monozigot. Lokus utama psoriasis didapatkan pada
kromosom 6p21 yang disebut sebagai psoriasis suceptibility (PSORS)1,
heritabilitas pada lokasi ini didapatkan sebesar 35-50%. Psoriasis pada lokus yang
berbeda juga pernah dilaporkan terjadi pada kromosom 1p (PSORS7), 1q
(PSORS4), 3q(PSORS5), 4q(PSORS3), 17q(PSORS2) dan 19q(PSORS6)
Psoriasis terbanyak didapatkan dengan HLA Cw6 dan pada psoriasis tipe plak
Page 4
10
dihubungkan dengan keterlibatan HLA-13, HLA B-17, HLA-B37 dan HLA Bw16
(Basko-Piluska dan Petronic-Rosic, 2012).
Faktor eksogen yang dapat mencetuskan munculnya psoriasis yaitu adanya
faktor stres emosional, merokok, alkohol, kegemukan dan kurangnya aktifitas
memberikan dampak yang buruk pada psoriasis (Griffiths dkk., 2010).
Kepustakaan lain juga menyebutkan tentang faktor eksogen lainnya yaitu adanya
trauma (fenomena koebner), paparan sinar ultraviolet dan infeksi fokal dapat
mencetuskan munculnya psoriasis (Gudjonson dan Elder, 2012).
Hubungan antara stres dengan morbiditas psoriasis sudah diterima secara
luas. Berdasarkan berbagai laporan, stres terjadi pada 37% sampai 80% pasien
psoriasis dan interaksi psikologi seperti hipnosis dapat membantu dalam
pengobatan psoriasis. Satu studi melaporkan bahwa pasien yang memiliki stres
derajat tinggi memiliki lesi yang lebih berat dibandingkan dengan pasien yang
memiliki derajat stres yang lebih rendah. Belum jelas diketahui hubungan antara
stres dengan proses inflamasi pada psoriasis. Peranan neuropeptida dalam
patogenesis psoriasis, dinyatakan karena terdapatnya peranan dari keluarnya
substance P (SP) dan neuropeptida yang lain dari serat saraf sensorik yang tidak
bermielin sehingga menimbulkan respon inflamasi neurogenik yang akan memicu
psoriasis pada orang rentan secara genetik (Griffiths dkk., 2010; Huerta dkk.,
2007)
Infeksi Streptococcus juga diduga berpengaruh terhadap terjadinya
psoriasis. Adanya infeksi Streptococcus pyogenes pada tonsil dihubungkan
dengan kemampuan superantigen Streptococcus dalam mengaktivasi sel T. Pada
Page 5
11
salah satu penelitian didapatkan superantigen Streptococcus terisolasi sebanyak
17% dari 111 penderita psoriasis (Blok dkk., 2004). Penelitian lainnya terhadap
karier Staphylococcus aureus pada pasien psoriasis, tidak didapatkan hubugan
yang signifikan dengan derajat keparahan penyakit. Pada penelitian ini tidak
didapatkan adanya perbedaan skor PASI secara signifikan pada pasien psoriasis
karier Staphylococcus dengan yang bukan karier (Sahidi-Dadras dkk.,2009).
Paparan sinar ultraviolet dapat mengakibatkan eksaserbasi psoriasis
melalui reaksi koebner. Beberapa penelitian menyatakan terjadinya peningkatan
keparahan penyakit seiring dengan meningkatnya paparan sinar matahari (Schon
dan Boehncke, 2005 ; Gudjonsson dan Elder, 2012).
Faktor pencetus dari lingkungan seperti mikroorganisme, paparan sinar
ultraviolet, stress, trauma pada individu yang memiliki kerentanan terhadap
psoriasis [PSORS1, late cornified envelope (LCE)-3C1, LCE-3B dan IL-23R, IL-
23A, IL-4/IL-13] akan memicu pembentukan komplek self-RNA/DNA-LL37.
Kompleks ini akan memicu sintesa IFN-α oleh sel dendritik plasmasitoid dan
maturasi sel dendritik myeloid menjadi sel dendritik matur. Sel dendritik matur
akan memproduksi berbagai sitokin yang akan memicu diferensiasi dan ekspansi
sel Th1 (seperti IL-12), sel Th17 (IL-6, TGF-β1 dan IL-23), sel Th22 (TNF-α, IL-
6). Sitokin Th1 dan Th17 akan menstimulasi proliferasi keratinosit untuk
memproduksi CC chemokine ligan (CCL)-20, suatu kemokin atraktan yang
mengekspresikan CC chemokine reseptor (CCR)-6 dari sel dendritik dan sel T
(Cai dkk.,2012). Keratinosit memproduksi sitokin inflamasi seperti IL-1β, IL-6
dan TNF- α, yang berperan pada meningkatnya aktivasi sel dendritik dan ekspansi
Page 6
12
inflamasi lokal (El-Daruoti dan Hay, 2010 ; Monteleone dkk., 2011). Patogenesis
psoriasis dapat dijelaskan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Patogenesis Psoriasis (Monteleone dkk., 2011)
2.1.5 Interleukin dan growth factors pada psoriasis
Psoriasis terjadi karena adanya infiltrasi dari sel Th1 dan Th17 yang
menstimulasi makrofag dan sel dendritik pada dermis untuk mengeluarkan
mediator inflamasi sehingga terjadi proliferasi keratinosit yang abnormal.
Mediator dari Th17 pada sistem imun meliputi IL-1, IL-6, IL-23 dan TGF-β
(Annunziato dkk., 2007; Eijnden dkk., 2005).
Tumor necrosis factor α merupakan sitokin pada jalur Th1, berperan
dalam mempengaruhi proliferasi, aktivasi dan diferensiasi beberapa jenis sel,
merangsang apoptosis, meningkatkan sintesis beberapa sitokin dan
mengekspresikan beberapa molekul adhesi. Netralisasi TNF-α merupakan dasar
dari beberapa terapi psoriasis serta memperkuat peranan sitokin ini pada psoriasis.
Konsentrasi TNF-α yang tinggi pada psoriasis aktif, memiliki korelasi positif
Page 7
13
dengan skor PASI. Tumor necrosis factor α pada dasarnya diproduksi dan
bereaksi secara lokal sehingga kadarnya dalam sirkulasi lebih rendah
dibandingkan dengan pada tempat inflamasi (Pietrzak dkk., 2008).
Interferon (IFN)-γ penting pada tahap awal psoriasis, berperanan dalam
meningkatkan migrasi sel imun ke dalam kulit dan aktivasi monosit, makrofag, sel
dendritik serta sel endotel. Interferon γ juga menghambat apoptosis dari
keratinosit, berperanan pada terjadinya hiperproliferasi keratinosit dan
merangsang proliferasi sel epidermis. Kadar IFN-γ meningkat pada psoriasis aktif
dan berkorelasi dengan skor PASI (Deeva dkk., 2010).
Interleukin-12 merupakan sitokin utama yang bertanggung jawab dalam
menginduksi respon Th1, menyebabkan sekresi IFN-γ serta pemeliharaan pada
respon Th1. Konsentrasi IL-12 dilaporkan meningkat pada pasien psoriasis dan
berkorelasi dengan skor PASI (Gordon dkk, 2012).
Interleukin-18 penting pada adesi sel dan bekerja secara sinergis dalam
merangsang pengeluaran IFN-γ. Kadar IL-18 juga didapatkan meningkat pada
pasien psoriasis (Flisiak dkk., 2006).
Interleukin-23 penting dalam perekrutan neutrofil, merangsang produksi
sitokin yang lain dan dapat bekerja langsung pada keratinosit dalam jalur regulasi
TNF-α sehingga terjadi hiperplasi epidermis dan berperan dalam pengaturan
diferensiasi keratinosit (Gordon dkk., 2012).
Interleukin-6 meningkat pada psoriasis, bekerja dengan cara memediasi
aktivasi sel T, merangsang proliferasi keratinosit dan memediasi respon fase akut
dan dilaporkan meningkat pada pasien psoriasis (Arican dkk., 2005).
Page 8
14
Interleukin-17 diproduksi oleh sel-sel Th17 yang merupakan komponen
penting dalam pembentukan dan berlangsungnya inflamasi. Interleukin-17
merangsang produksi sitokin proinflamasi terutama oleh sel endotel dan
makrofag, mengaktifkan keratinosit untuk menghasilkan interleukin seperti IL-18
(Pietrzak dkk., 2008).
Interleukin-21 memiliki peranan penting pada berbagai penyakit inflamasi
seperti psoriasis. Pada penelitian terhadap tikus didapatkan bahwa interleukin ini
banyak didapatkan pada plak psoriasis dan merangsang proliferasi sel epidermis
(Sarra dkk., 2011). Kadar serum IL-21 dilaporkan meningkat pada psoriasis dan
berkorelasi dengan skor PASI (He dkk., 2012).
Vascular endothelial growth factor berperanan dalam meningkatkan
vaskularisasi lesi untuk merangsang hiperplasi epidermis, pertumbuhan pembuluh
darah dan infiltrasi leukosit pada kulit. Vascular endothelial growth factor
berperanan penting dalam mengatur aktivitas keratinosit pada psoriasis, untuk
meningkatkan permiabilitas endotel dan menginduksi vasodilatasi (Tammela dkk.,
2005).
2.1.6 Gambaran klinis psoriasis
Gambaran klasik lesi psoriasis berupa plak eritema dengan batas tegas dan
ditutupi oleh skuama putih tebal. Lesi dapat bervariasi mulai dari papul kecil
hingga plak yang menutupi sebagian besar permukaan tubuh. Terdapat tiga
fenomena yang khas pada psoriasis diantaranya fenomena tetesan lilin ialah bila
skuama dikerok, maka skuamanya menjadi putih seperti lilin. Kerokan yang
Page 9
15
dilakukan sampai pada dasar skuama akan menimbulkan bintik-bintik perdarahan
yang disebut sebagai tanda auspitz, tanda ini merupakan tanda yang mempunyai
nilai diagnostik pada psoriasis dan dapat membedakan dengan kelainan kulit
lainnya. Fenomena koebner yaitu bila kulit penderita psoriasis terkena trauma
maka akan menyebabkan munculnya lesi psoriasis. Perubahan kuku sering terjadi
dan bervariasi mulai dari defek kecil pada lempeng kuku (pitting nail), sampai
perubahan yang berat dari kuku (onikodistrofi) dan hilangnya lempeng kuku (nail
bed). Perubahan kuku lebih sering terjadi pada pasien dengan psoriasis arthritis.
Pola gambaran klinis psoriasis dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu (Gudjonsson
dan Elder, 2012; Soung dan Lebwohl, 2004) :
2.1.6.1 Psoriasis vulgaris
Psoriasis vulgaris merupakan bentuk psoriasis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 90% pasien, ditandai oleh adanya plak eritema yang
ditutupi oleh skuama tebal berwarna putih, tanda auspitz, fenomena bercak lilin
dan tanda koebner yang positif. Tempat predileksi pada daerah ekstensor
ekstremitas terutama pada siku dan lutut, dapat juga pada kulit kepala, daerah
bawah lumbosakral, pantat dan genital. Lesi psoriasis juga dapat ditemukan pada
tempat predileksi lainnya seperti pada umbilikus dan celah intergluteal. Lesi
psoriasis yang kecil dapat bergabung menjadi satu membentuk geografika, girata
atau anular, ditunjukkan oleh Gambar 2.2.
Page 10
16
Gambar 2.2 Psoriasis Vulgaris (Gudjonsson dan Elder, 2012)
2.1.6.2 Psoriasis gutata
Erupsi berupa papul kecil sampai dengan plak dengan ukuran diameter 0,5
sampai dengan 1,5 sentimeter pada badan bagian atas dan ekstremitas pada bagian
proksimal. Lesi sering muncul pada usia muda dan paling sering ditemukan pada
dewasa muda. Bentuk psoriasis ini memiliki hubungan yang paling kuat dengan
HLA-Cw6 dan adanya infeksi streptokokal pada tenggorokan sering mendahului
atau bersamaan dengan terjadinya psoriasis gutata.
2.1.6.3 Psoriasis inversa
Lesi psoriasis muncul pada daerah lipatan kulit seperti aksila, regio genito-
krural serta leher, dengan skuama yang lebih minimal atau tidak ada. Lesi berupa
eritema batas tegas dan mengkilap dan selalu terletak pada daerah yang memiliki
kontak antara kulit dengan kulit.
Page 11
17
2.1.6.4 Psoriasis eritroderma
Gambaran klinis berupa erupsi yang meluas hingga seluruh tubuh
termasuk wajah, tangan, kaki, kuku, badan, serta ekstremitas dengan gambaran
klinis yang dominan adalah eritema dengan skuama superfisial dan tipis.
2.1.6.5 Psoriasis pustulosa
Terdapat beberapa variasi klinis psoriasis pustulosa, diantaranya psoriasis
pustulosa generalisata (tipe von zumbusch), psoriasis pustulosa anular, impetigo
herpetiformis, dan dua varian psoriasis pustulosa lokalisata yaitu psoriasis
pustulosa palmaris, plantaris dan akrodermatitis kontinua, dengan lesi utama
berupa pustul.
2.1.6.6 Sebopsoriasis.
Gambaran klinis berupa plak eritema dengan skuama yang berminyak
lokalisata pada daerah seboroik seperti kepala, glabela, lipatan nasolabial,
perioral, dan area presternal serta area intertriginosa. Sebopsoriasis digambarkan
sebagai modifikasi dermatitis seboroik dengan didasari oleh faktor genetika
psoriasis dan relatif resisten terhadap pengobatan.
2.1.6.7 Psoriasis popok.
Psoriasis popok biasanya muncul saat usia 3-6 bulan dan pertama kali
muncul di daerah popok berupa area kemerahan yang konfluen dan beberapa hari
kemudian diikuti dengan munculnya papul merah kecil pada badan dan
ekstremitas serta skuama putih psoriasis yang tipikal. Lesi ini berespon baik
terhadap pengobatan dan cenderung menghilang setelah usia setahun.
Page 12
18
2.1.6.8 Psoriasis linear.
Psoriasis linier merupakan bentuk yang jarang. Lesi psoriasis muncul
berupa garis, biasanya pada ekstremitas tetapi dapat juga terbatas pada dermatom
di badan. Lesi dapat menyerupai nevus yaitu Inflamatory Linear Verrucous
Epidermal Nevus (ILVEN) dengan gambaran klinis dan histologi keduanya mirip.
2.1.7 Diagnosis
Penegakkan diagnosis psoriasis berdasarkan anamnesis dan gambaran
klinis. Kasus-kasus tertentu, diperlukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan laboratorium darah dan histopatologis (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Pemeriksaan penunjang yang paling umum dilakukan untuk
mengkonfirmasi psoriasis adalah pemeriksaan biopsi kulit dengan menggunakan
pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Pemeriksaan histopatologis akan tampak
penebalan epidermis atau akantosis serta elongasi rete ridges. Diferensiasi
keratinosit yang ditandai dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum korneum
juga mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel pada lapisan ini yang
disebut parakeratosis. Neutrofil dan limfosit tampak bermigrasi dari dermis.
Sekumpulan neutrofil dapat membentuk mikroabses Munro. Dermis akan tampak
tanda-tanda inflamasi seperti hipervaskularisasi dan dilatasi serta edema papila
dermis. Infiltrat dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit, dan sel mast.
Kelainan laboratorium pada psoriasis tidak spesifik kecuali pada kasus
generalized pustular psoriasis dan psoriatic erythroderma (Bettina dkk., 2005).
Page 13
19
2.1.8 Penatalaksanaan
Beberapa pilihan terapi psoriasis berspektrum luas baik secara topikal
maupun sistemik telah tersedia saat ini. Regimen pengobatan dipilih berdasarkan
penyesuaian terhadap luasnya penyakit dan penilaian keparahan penyakit.
Psoriasis adalah suatu keadaan kronis, penting untuk mengetahui keamanan
pengobatan untuk penggunaan jangka panjang. Durasi terapi dapat terbatas pada
sebagian besar kasus karena potensi terjadinya akumulasi toksisitas serta dapat
terjadinya pengurangan efikasi terapi seiring dengan waktu atau disebut sebagai
takifilaksis (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Terapi topikal pada psoriasis dapat digunakan pada pasien dengan
psoriasis ringan sampai sedang. Terapi topikal yang dapat digunakan pada
psoriasis adalah kortikosteroid topikal, analog vitamin D, antralin, asam salisilat,
tar, tazaroten serta imunomodulator topikal (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Penelitian metaanalisis mendapatkan penggunaan steroid topikal pada pasien
psoriasis akan memberikan efektivitas tinggi jika digunakan secara terus menerus
selama 8 minggu dan digunakan secara intermiten selama 52 minggu
(Samarasekera dkk.,2013). Penggunaan kortikosteroid topikal lebih efektif
dibandingkan dengan penggunaan analog vitamin D topikal pada psoriasis tipe
plak di kulit kepala (Mason dkk., 2013). Kortikosteroid topikal, ditranol, tar,
fototerapi, kemoterapi dan siklosporin tidak diindikasikan untuk penggunaan
jangka panjang yang terus menerus, dan disarankan untuk dikombinasikan atau
dipakai bergantian (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Page 14
20
Terapi sistemik yang dapat digunakan pada pasien psoriasis adalah
metotreksat, mikofenolat mofetil, sulfasalazin, steroid sistemik, ester asam
fumarat, 6-tioguanin, hidroksi urea dan siklosporin A. Steroid sistemik tidak
diberikan secara rutin sebagai terapi psoriasis, karena pada pemberian steroid
sistemik didapatkan perbaikan yang cepat tetapi dapat muncul serangan mendadak
dengan gejala yang lebih hebat dan membutuhkan dosis tinggi yang progresif
untuk mengontrol keluhan. Steroid sistemik mempunyai peranan jika obat lain
tidak efektif pada pengobatan eritroderma persisten yang sulit dikontrol dan
psoriasis pustular tipe generalisata yang fulminan (tipe von Zumbusch). Sebagian
terapi, seperti kalsipotriol, MTX dan asitretin, dianggap sesuai untuk penggunaan
terus menerus. Terapi ini mempertahankan efikasi dan mempunyai potensi
akumulatif toksisitas yang rendah (Gudjonsson dan Elder, 2012). Infliximab
memiliki efikasi tertinggi dibandingkan agen biologi lainnya untuk terapi sistemik
pada psoriasis sedang sampai berat (Mustafa dan Al-Hoqail, 2013). Pasien anak-
anak dan remaja dengan psoriasis sedang sampai berat didapatkan perbaikan
secara signifikan dengan pemberian etanercept (Paller dkk., 2008). Penggunaan
etanercept juga dilaporkan efektif dan aman digunakan pada pasien psoriasis
rekalsitran (Wu dkk., 2012).
Jenis-jenis fototerapi yang dapat digunakan pada psoriasis antara lain :
sinar ultraviolet B dengan panjang gelombang 290-320 nm, psoralen dan sinar
ultraviolet A, serta laser eksimer. Fototerapi pada psoriasis dengan penyinaran
buatan sudah ada sejak 1925. Pada tahun 1970 diperkenalkan fotokemoterapi
dengan psoralen plus ultraviolet A (PUVA), dan pada tahun 1980 diperkenalkan
Page 15
21
narrow band ultraviolet B (NB-UVB) dengan panjang gelombang 311-313 nm.
Cara kerja fototerapi dengan melibatkan pengurangan selektif dari sel T, terutama
yang terdapat pada epidermis (Gudjonsson dan Elder, 2012). Terapi psoriasis
dengan menggunakan NB-UVB, PUVA dan terapi topikal didapatkan adanya
pengurangan dari TNF-α secara signifikan (Coimbra,dkk., 2010b).
2.1.9 Derajat keparahan psoriasis
Psoriasis area and severity index merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk menilai derajat keparahan pada pasien psoriasis, cara ini telah
digunakan untuk menilai derajat keparahan penyakit pada penelitian klinis karena
memiliki beberapa keuntungan yaitu sensitif dalam menilai perubahan yang
terjadi pada kulit, menilai keparahan dari lesi, serta perubahan pada nilai PASI
menunjukkan adanya perbaikan atau perburukan dari penyakit. Fredrickson dan
Petterson pertamakali merumuskan penilaian derajat keparahan psoriasis dengan
menggunakan skor PASI, metode ini praktis dan cepat tetapi memiliki variabilitas
intra dan antar pengamat yang tinggi (Langley dan Ellis, 2004). Metode ini dapat
mengukur intensitas kuantitatif penderita berdasarkan gambaran klinis dan luas
area yang terkena. Penggunaan skor PASI untuk penilaian derajat keparahan
pasien psoriasis dilakukan dengan melihat adanya eritema, skuama dan ketebalan
lesi, masing-masing diberikan rentang nilai antara 0-4. Penilaian dengan
menggunakan skor PASI merupakan cara yang paling banyak digunakan dan
merupakan baku emas dalam pengukuran derajat keparahan pada penderita
psoriasis. Konsensus oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa
Page 16
22
setiap penentuan keparahan psoriasis membutuhkan perhatian khusus pada
pengaruhnya terhadap kualitas hidup penderita (Feldman dan Krueger, 2005).
PASI dihitung dengan rumus ( Langley dan Ellis, 2004):
{0,1(Eh+Ih+Sh)Ah} + {0,2(Eul+Iul+Sul)Aul} + {0,3(Et+It+St)At} +
{0,4(Ell+Ill+Sll)All}
Keterangan:
A (area) = luas daerah tubuh dalam 4 bagian yang terkena yaitu: kepala dan leher
(h = head), badan (t = trunk), ekstremitas atas (ul = upper limb), ekstremitas
bawah (ll = lower limb); E = eritema; I = infiltrat; S = skuama
Penilaian persentase luas daerah tubuh (A) yang terkena:
<10% 1
10-29% 2
30-49% 3
50-69% 4
70-89% 5
90-100% 6
Penilaian derajat keparahan (E, I, S)
Tidak ada gejala 0
Ringan 1
Sedang 2
Berat 3
Sangat berat 4
Page 17
23
Hasil perhitungan PASI merupakan nilai tunggal dari 0-72. Pasien dinyatakan
menderita psoriasis ringan bila skor PASI < 8, psoriasis sedang bila skor PASI 8-
12, dan psoriasis berat bila skor PASI >12 (Schmitt dan Wozel., 2005).
Skor PASI jarang digunakan pada praktek klinis karena penggunaannya
menimbulkan kompleksitas yang lebih besar dan skor ini merupakan suatu sistem
penilaian yang digunakan untuk tujuan penelitian. Persentase perubahan PASI
dapat digunakan sebagai titik akhir penilaian terapi psoriasis pada uji klinis
(Feldman dan Krueger, 2005).
2.2 C-reactive Protein
2.2.1 Definisi
C-reactive protein adalah sebuah reaktan fase akut, meningkat pada respon
terhadap rangsangan yang dapat mengakibatkan cedera sel atau jaringan. C-
reactive protein pertamakali didefinisikan oleh Tillet dan Francis, pada mulanya
ditemukan sebagai protein yang berperan melawan komponen karbohidrat dalam
kapsid Streptococcus pneumoniae yang terdapat pada serum pasien pneumonia
dan dinamakan sebagai karbohidrat reaktif protein (Steel dan Whitehead, 1994.).
C-reactive protein merupakan protein pentamerik yang dibuat oleh hepatosit,
memiliki berat molekul 118 kilodalton. Molekul CRP dikenal sebagai reaktan fase
akut utama yang meningkat secara cepat setelah infeksi atau kerusakan jaringan,
digunakan secara luas sebagai parameter laboratorium dalam mengikuti
perkembangan pasien pada penyakit inflamasi dan infeksi serta diterima sebagai
marker inflamasi yang paling sensitif (Blake dan Ridker, 2001; Choudhury dan
Page 18
24
Leyva, 1999.). C-reactive protein merupakan marker inflamasi yang tidak spesifik
sehingga peningkatan CRP tidak dapat membedakan secara spesifik tentang
penyebab inflamasi yang disebabkan oleh proses autoimun ataukah oleh penyebab
lainnya, misalnya karena infeksi bakteri. Infeksi Streptococcus pyogenes pada
tonsil dihubungkan dengan kemampuan superantigen Streptococcus dalam
mengaktivasi sel T. Adanya infeksi bakteri streptococcus pyogenes yang terjadi
bersamaan dengan psoriasis sulit untuk dibedakan apakah peningkatan CRP
terjadi akibat infeksi bakteri atau oleh karena proses inflamasi autoimun, sehingga
perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan melakukan pemeriksaan
terhadap marker infeksi lainnya seperti pemeriksaan leukosit, laju endap darah
dan kultur darah (Blok dkk., 2004; Pepys, 2003).
2.2.2 Sintesis dan metabolisme CRP
Sintesis CRP awalnya terbatas pada hati tanpa didapatkan bukti lain
tentang pembentukan CRP diluar sel hepatosit, tetapi pada pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) dan imunohistokimia belakangan ini didapatkan
bahwa dalam menanggapi rangsangan terhadap interleukin-6, sel-sel epitel
korteks tubulus ginjal mengeluarkan messenger ribonucleic acid (mRNA) CRP.
Bagian ekstrahepatik lainnya yang mensintesis CRP atau mengekspresikan gen
didapatkan pada sel epitel saluran pernafasan manusia dan sel limfosit T. Secara
umum masih dapat diterima bahwa hati merupakan tempat utama untuk
memproduksi CRP secara de novo (Pepys, 2003). Sintesis CRP terutama dikontrol
oleh IL-6, tetapi IL-1 dan TNF-α yang merupakan hasil dari sitokin proinflamasi
Page 19
25
dan mempengaruhi peningkatan kadar CRP dalam darah serta cairan tubuh
lainnya. C-reactive protein serum merupakan suatu penanda tidak langsung dari
aktivitas sitokin proinflamasi (Dogan dan Atakan, 2013).
Konsentrasi CRP dapat meningkat secara dramatis melebihi 1000 kali
lipat pada respon terhadap fase akut, peningkatan terjadi dalam 24-48 jam setelah
terjadinya stimulus inflamasi akut dan segera menurun mencapai kadar normal
setelah mendapat terapi atau terjadi penyembuhan spontan (Pepys, 2003). Waktu
paruh CRP adalah 19 jam dan tidak tergantung pada konsentrasi CRP yang
beredar. Faktor utama yang menentukan kadar CRP serum adalah jumlah
produksi dari CRP tersebut (Ablij dan Meinders, 2002). Respon CRP dapat
berkurang pada kondisi gangguan hepatoseluler, tetapi disfungsi ginjal dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi CRP (Pravenec dkk., 2011).
Kadar CRP normal kurang dari 5 mg/l dengan nilai rata-rata pada populasi
umum adalah 2 mg/l, tidak didapatkan adanya perbedaan konsentrasi antara pria
dan wanita serta tidak didapatkan adanya variasi diurnal ataupun musiman (Pepys,
2003; Semple, 2006). Cut off points pada kadar hsCRP serum adalah ≤ 1 mg/l
(Callaghan, 2005). Kadar dalam serum tidak dipengaruhi oleh asupan makanan
tetapi Church dkk. (2003) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kadar CRP
pada pasien hepatoma dipengaruhi oleh kafein dan berkurang pada penggunaan
multivitamin lebih dari 6 bulan.
C-reactive protein merupakan pertahanan tubuh utama pada manusia.
Secara sederhana, kadar CRP diukur dengan nephelometri yang memiliki tingkat
deteksi 6-10 mg/l dan merupakan pemeriksaan CRP secara konvensional.
Page 20
26
Pemeriksaan CRP secara komersiil menggunakan alat imunoturbidimetrik dan
dapat mendeteksi dengan batas pemeriksaan sekitar 0,15 mg/l disebut sebagai
pemeriksaan hsCRP. Pemeriksaan ini telah digunakan secara luas untuk
mendeteksi penyakit kardiovaskular, sebagai monitor pengobatan jantung serta
memprediksi prognosis dari penyakit jantung (Kao dkk., 2006).
2.2.3 Struktur CRP
C-reactive protein termasuk dalam famili protein pentraksin dengan ikatan
plasma ligan yang tergantung kalsium dan memilki bagian yang berbeda pada
manusia, disebut sebagai serum amyloid P component (SAP). Molekul CRP pada
manusia (Mr 115, 135) terdiri dari lima subunit non glikosilase dari pasangan
polipeptida yang identik (Mr 23, 027), masing-masing mengandung 206 residu
asam amino (Pepys, 2003). C-reactive protein memiliki struktur berupa cincin
simetris yang terdiri dari 5 pentomer (Gambar 2.3). Setiap pentomer memiliki 2
ion kalsium yang bertanggung jawab dalam pengikatan posfoklorin (Kao dkk.,
2006 ; Agravaat dan Sirajwala, 2013).
Gambar 2.3 Struktur C-reactive protein (Agravaat dan Sirajwala, 2013)
Page 21
27
2.2.4 Hubungan psoriasis dengan hsCRP
High sensitivity C-reactive protein adalah suatu reaktan fase akut yang
merupakan biomarker pada penderita psoriasis serta dapat digunakan untuk
menilai derajat keparahan psoriasis. Coimbra dan Santos dalam penelitiannya
menyatakan bahwa hsCRP merupakan suatu biomarker pada penderita psoriasis.
Sebagian besar data menunjukkan bahwa hsCRP merupakan marker yang
potensial dalam menilai derajat keparahan psoriasis berdasarkan skor PASI
(Coimbra dan Santos-Silva, 2014). Selain sebagai marker inflamasi pada
psoriasis, hsCRP juga diyakini sebagai suatu marker inflamasi pada kondisi
lainnya seperti artritis rematoid, tuberkulosis, kanker dan miokardia infark serta
memiliki peranan terutama dalam mengenali zat toksik autogenus yang
dikeluarkan dari jaringan yang rusak (Isha dkk., 2011).
Penelitian tentang derajat keparahan psoriasis berdasarkan skor PASI dan
kadar CRP, sebagian besar mendapatkan adanya hubungan yang positif antara
skor PASI dengan kadar CRP. Rocha-Pierera dkk. (2004) melaporkan bahwa
kadar CRP meningkat 97-100% pada lesi akut dari psoriasis sedang sampai
psoriasis berat. Mereka juga menemukan kadar CRP meningkat secara signifikan
pada pasien dengan lesi psoriasis aktif dibandingkan dengan pasien bukan dengan
lesi aktif. Coimbra dkk. (2010a) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kadar
hsCRP pada pasien psoriasis kronis cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
subyek bukan psoriasis dan skor PASI berhubungan secara signifikan dengan
kadar hsCRP.
Page 22
28
Kanellas dkk. (2011) melakukan penelitian terhadap 41 subyek dengan
psoriasis vulgaris untuk mengetahui peranan dari marker inflamasi dalam menilai
derajat keparahan psoriasis serta untuk mengetahui respon terapi pada subyek
psoriasis. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang positif
antara derajat keparahan dengan kadar hsCRP serum pada subyek psoriasis serta
dipostulatkan bahwa hsCRP dapat digunakan sebagai marker inflamasi dalam
menilai derajat keparahan psoriasis dan respon terapi pada pasien psoriasis. Yiu
dkk. (2011) dalam penelitiannya terhadap 52 subyek psoriasis mendapatkan
bahwa pasien dengan psoriasis memiliki kadar hsCRP yang lebih tinggi secara
signifikan serta terdapat korelasi yang positif antara skor PASI dengan kadar
hsCRP.
Agravatt dan Sirajwala (2013) dalam penelitiannya juga mendapatkan
adanya korelasi positif antara kadar hsCRP serum penderita psoriasis dengan
derajat keparahan penderita berdasarkan skor PASI. Pada penelitian tersebut
didapatkan mean kadar hsCRP serum pasien dengan psoriasis sedang sampai
psoriasis berat (PASI>10) adalah 6,26 mg/L, sedangkan pada pasien dengan
psoriasis ringan (PASI<10) didapatkan mean kadar hsCRP serum sebesar
1,34mg/L. Penelitian lainnya juga mendapatkan bahwa kadar hsCRP pada
psoriasis dapat digunakan sebagai penanda terhadap prognosis dari psoriasis
(Reshma dkk.,2011).
Pada psoriasis terdapat adanya pelepasan berbagai macam sitokin
proinflamasi pada kulit maupun secara sistemik. Keratinosit pada psoriasis
mampu memproduksi dan melepaskan IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-15, IL-18 dan IL-20,
Page 23
29
semuanya berperanan dalam perkembangan dan diferensiasi pada patogenesis
psoriasis. Hiperproliferasi keratinosit pada plak psoriasis dan semua proses
patogenetik pada psoriasis dimediasi oleh sitokin tersebut (Wojas-Pelc dkk.,
2006). Peningkatan kadar hsCRP merupakan hasil interaksi dari sitokin
proinflamasi IL-6, IL-1β dan TNF α. Pada psoriasis, IL- 1β, IL-6 dan TNF- α
diproduksi pada keratinosit dan jaringan adiposa yang berperan dalam terjadinya
proses inflamasi kulit serta diketahui memiliki sifat proatherogenik. (Gambar
2.4.), (Dowlatshahi dkk., 2013). Tumor necrosis factor α akan merangsang
sekresi dari IL-6 yang berperanan dalam merangsang produksi CRP di hati,
produksi CRP juga dapat ditingkatkan oleh adanya peranan dari IL-1β. Pada lesi
psoriasis psoriasis baru atau psoriasis lama dengan eksaserbasi akut, terjadi reaksi
inflamasi yang dapat meningkatkan sekresi dari sitokin-sitokin proinflamasi
seperti IL-6, IL-1β dan TNF α yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar
CRP (Coimbra dan Silva, 2014).
Gambar 2.4 C-reactive protein pada psoriasis (Dowlatshahi dkk., 2011)
Page 24
30
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pada pasien psoriasis terjadi
peningkatan kadar hsCRP serta penyakit psoriasis merupakan penyakit inflamasi
sistemik yang merupakan lingkungan nyaman untuk terjadinya penyakit
kardiovaskular dan penyakit penyerta lainnya (Lan dkk., 2004). Psoriasis dan
penyakit kronis lainnya seperti artritis rematoid, lupus eritematosus sistemik
memiliki risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Rekomendasi Center for
Disease Control (CDC) dan American Heart Association (AHA) tentang cut off
points risiko terjadinya penyakit kardiovaskular pada pasien psoriasis berdasarkan
kadar hsCRP adalah < 1 mg/l merupakan risiko rendah, 1-3 mg/l merupakan
risiko sedang dan >3 mg/l merupakan risiko tinggi (Callaghan, 2005).
Sel inflamasi dan sitokin proinflamasi berpengaruh terhadap terjadinya lesi
psoriasis dan pembentukan plak aterosklerosis. Pada psoriasis dan aterosklerosis
terjadi upregulasi dari sitokin Th1 dan Th17, aktivasi sel T, ekspresi molekul
adesi dan endotelin secara lokal maupun sistemik. Aktivasi sel T pada area
inflamasi akan mengaktivasi sitokin tipe 1 seperti IFN-α, IL-2 dan TNF-α.
Interferon α menghambat terjadinya apoptosis sehingga berperanan dalam
terjadinya hiperproliferasi keratinosit. Interleukin-2 berperanan dalam
merangsang proliferasi sel T. Aktivasi TNF-α pada psoriasis akan meningkatkan
proliferasi keratinosit (Ni dan Chiu, 2014).
Modalitas terapi pada psoriasis juga mulai diselidiki dalam efikasinya
menurunkan kadar hsCRP. Metotreksat (MTX) ditemukan memiliki efikasi dalam
terjadinya penurunan kadar hsCRP pada penderita artritis rematoid (Lan dkk.,
2004). Pada pasien psoriasis atau artritis rematoid, terapi MTX dapat mengurangi
Page 25
31
terjadinya insiden penyakit kardiovaskular yang disebabkan oleh efek
antiinflamasi dari obat tersebut (Prodanovich dkk.,2005). Pada penderita psoriasis
artritis juga didapatkan efisiensi dari siklosporin yang memiliki efek sama dengan
MTX dan etanercept dalam menurunkan kadar hsCRP.