-
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kecerdasan Emosi
2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosi
Istilah kecerdasan emosional diperkenalkan oleh Salovey dan
Mayer pada
tahun 1990. Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas
emosi yang
penting untuk mencapai keberhasilan. Jenis-jenis tersebut
diantaranya, yaitu :
1) Empati, 2) Mengungkapkan dan memahami perasaan, 3)
Mengendalikan
amarah, 4) Kemampuan kemandirian, 5) Kemampuan menyesuaikan
diri, 6)
Kemampuan berdiskusi, 7) Kemampuan memecahkan masalah antar
pribadi, 8)
Ketekunan, 9) Kesetiakawanan dan 10) Sikap hormat.
Stein & Book (2002), mengutip pandangan Reuven Bar-On.
Reuven Bar-
On menyatakan kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan,
kompe-
tensi dan kecakapan nonkognitif, yang mempengaruhi kemampuan
seseorang un-
tuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Hal ini
tentunya sangat
menekankan tentang bagaimana seseorang dalam hubungan dengan
sosialnya.
Salovey dan Mayer (Goleman, dalam Hermaya 1997)
mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan,
meraih dan
membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan
dan
maknanya. Dalam Salovey dan Mayer juga dituntut dalam
mengendalikan
perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi
dan
-
9
intelektual. Kecerdasan emosi dipandang sebagai tolak ukur dalam
proses
pencapaian emosi yang lebih stabil dan terkendali.
Cooper And Sawaf (dalam Alex Tri Kantjono, 1998) menyatakan
kecerdasan emosional dan kecerdasan-kecerdasan lain saling
menyempurnakan
dan melengkapi. Emosi menyulut kreativitas, kolaborasi,
inisiatif dan
transformasi. Penalaran logik berfungsi mengatasi dorongan
keliru dan
menyelaraskan tujuan dengan proses dan teknologi dengan sentuhan
manusiawi.
Kecerdasan emosional memberi informasi penting yang
menguntungkan.
Umpan balik dari kecerdasan emosi memunculkan kreativitas,
bersifat jujur
mengenai diri sendiri, menjalin hubungan yang saling
mempercayai, memberi
panduan nurani bagi hidup dan karier, membantu menghadapi
kemungkinan yang
tidak terduga dan dapat menyelamatkan diri dari kehancuran.
Kecerdasan
emosional juga menuntun individu belajar mengakui dan menghargai
perasaan
diri dan orang lain dan memberi tanggapan yang tepat, menerapkan
dengan efektif
informasi dan energi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan beberapa kutipan dari para ahli tersebut, maka
sebagai
penulis lebih merujuk pada teori Salovey dan Mayer karena
didalam pendapatnya
tentang kecerdasan emosi yang dipandang sebagai pengenalan
terhadap perasaan
serta pengendalian yang diharapkan dapat membantu dalam
perkembangan emosi
dan intelektualnya sangat sesuai dengan penelitian dari penulis
dalam kaitannya
dengan definisi kecerdasan emosi.
-
10
2.1.2. Unsur-Unsur Dalam Kecerdasan Emosional
Salovey dan Mayer (1997), mempertajam kemampuan kecerdasan
emosional menjadi 5 wilayah utama, yaitu:
1) Mengenali emosi diri
Intinya adalah kesadaran diri, yaitu mengenali perasaan sewaktu
perasaan
itu terjadi. Kemampuan mengenali diri sendiri merupakan
kemampuan dasar dari
kecerdasan emosional. Kesadaran diri adalah perhatian
terus-menerus terhadap
keadaan batin seseorang. Dalam kesadaran refleksi diri ini,
pikiran mengamati dan
menggali pengalaman, termasuk emosi. Kemampuan ini berfungsi
memantau
perasaan dari waktu ke waktu dan mencermati perasaan-perasaan
yang muncul.
Ketidak mampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya
menandakan
bahwa orang berada dalam kekuasaan emosi.
2) Mengelola emosi
Kemampuan mengelola emosi yaitu menangani perasaan agar
perasaan
terungkap dengan tepat. Kecakapan ini bergantung pada kesadaran
diri pula.
Mengelola emosi berhubungan dengan kemampuan untuk menghibur
diri sendiri,
melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat
yang timbul
karena kegagalan keterampilan emosi dasar. Orang yang buruk
kemampuannya
dalam keterampilan ini terus menerus bertarung melawan rasa
murung, orang yang
pintar akan dapat bangkit kembali jauh lebih cepat. Kemampuan
mengelola emosi
meliputi: kemampuan penguasaan diri dan kemampuan menenangkan
diri
kembali.
-
11
3) Memotivasi diri sendiri
Termasuk dalam memotivasi diri merupakan kemampuan menata
emosi,
yaitu alat untuk mencapai tujuan dalam kaitan memberi perhatian
yang sangat
penting untuk memotivasi diri, berkreasi dan menguasai diri.
Orang yang memiliki
keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif
dalam berbagai bidang
kegiatan yang dikerjakan. Kemampuan ini didasari kemampuan
mengendalikan
emosi, yaitu dengan menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan
hati. Kemampuan ini memungkinkan orang menyesuaikan diri dalam
tuntutan
berkreasi yang berlangsung di tempat kerja sambil mengendalikan
dorongan hati,
kekuatan berpikir positif dan bersikap optimis.
4) Mengenali emosi orang lain
Kemampuan ini disebut dengan istilah empati, yaitu kemampuan
yang juga
bergantung pada kesadaran diri emosional, yang merupakan
keterampilan dasar
dalam bergaul. Kemampuan berempati, yaitu mengetahui perasaan
orang lain ikut
berperan dalam perjuangan hidup. Orang yang empatik mampu
menangkap sinyal-
sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang
dibutuhkan atau
dikehendaki oleh orang lain.
5) Membina hubungan dengan orang lain
Seni membina hubungan sosial merupakan keterampilan mengelola
orang
lain, meliputi keterampilan sosial yang menunjang popularitas,
kepemimpinan dan
keberhasilan hubungan antar pribadi. Keterampilan sosial adalah
unsur untuk
menajamkan kemampuan antar pribadi, unsur pembentuk daya tarik,
sukses sosial
-
12
dan karisma pribadi. Individu yang terampil dalam kecerdasan
sosial lancar
menjalin hubungan dengan orang lain, peka membaca reaksi dan
perasaan orang
lain, mampu memimpin dan mengorganisasi serta pintar menangani
perselisihan
dalam pekerjaan.
Reuven Bar-On (2002), merangkum kecerdasan emosional ke dalam
lima
area atau ranah yang menyeluruh, yaitu:
1) Ranah Intra Pribadi
Ranah intra pribadi terkait dengan kemampuan individu untuk
mengenal
dan mengendalikan diri sendiri. Ranah ini meliputi kesadaran
diri, sikap asertif,
kemandirian, penghargaan diri dan aktualisasi diri.
2) Ranah Antar Pribadi
Ranah antar pribadi berkaitan dengan “keterampilan bergaul”
yaitu
kemampuan individu berinteraksi dan bergaul baik dengan orang
lain. Ranah ini
meliputi empati, tanggung jawab sosial dan hubungan antar
pribadi.
3) Ranah Penyesuaian Diri
Ranah penyesuaian diri berkaitan dengan sikap individu yang
lentur dan
realistik dan untuk memecahkan aneka masalah yang muncul. Ranah
ini meliputi
kemampuan untuk melihat sesuatu sesuai dengan kenyataannya,
sikap fleksibel
dan kemampuan mendefinisikan permasalahan, kemudian bertindak
untuk mencari
dan menerapkan pemecahan yang jitu dan tepat. Ranah ini meliputi
uji realitas,
sikap fleksibel dan pemecahan masalah.
-
13
4) Ranah Pengendalian Stres
Ranah pengendalian stres terkait dengan kemampuan individu untuk
tahan
menghadapi stres dan mengendalikan impuls/dorongan nafsu serta
kemampuan
untuk menahan atau menunda keinginan untuk bertindak tanpa
menimbang dengan
matang/seksama. Ranah ini meliputi ketahanan menanggung stres
dan
pengendalian impuls/dorongan nafsu.
5) Ranah Suasana Hati Umum
Ranah suasana hati umum berkaitan dengan pandangan individu
tentang
kehidupan, bergembira dalam bersendiri maupun bersama orang lain
serta
keseluruhan rasa puas atau lega yang dirasakan individu. Ranah
ini meliputi
kemampuan untuk mempertahankan sikap positif yang realistik,
terutama dalam
menghadapi masa sulit (optimistik) dan mensyukuri kehidupan,
menyukai diri
sendiri dan orang lain, serta semangat dan gairah melakukan tiap
kegiatan
(kebahagiaan).
Gambar 1. Model Kecerdasan Emosional Reuven Bar-On
Intra Pribadi Antar Pribadi
Pengendalian Stres PenyesuaianDiri
-
14
Berdasarkan kutipan para ahli diatas maka penulis lebih mengacu
dengan
Teori Salovey dan Mayer (1997), karena unsur-unsur dalam
kecerdasan emosional
yang dibagi menjadi lima wilayah utama yang terbagi dalam
pengenalan emosi
diri, pengelolaan emosi, pemotivasian diri, mengenali emosi
orang lain, dan
membina hubungan dengan orang lain sehingga penulis berpendapat
bahwa semua
indikator mendukung terhadap kemampuan diri seseorang dalam
kaitannya
mempertajam kemampuan kecerdasan emosionalnya seperti yang
diharapkan
dalam penelitian penulis.
2.1.3. Dimensi-Dimensi Pembentuk Kecerdasan Emosional
Pada tahun 1997 Salovey & Mayer mendefinisikan kecerdasan
emosi
sebagai keterampilan yang saling berkaitan yang
diklasifikasikannya ke dalam
empat dimensi kecakapan, yaitu dalam:
1) Mengamati, mengapresiasi dan mengekspresikan emosi secara
akurat.
2) Mengakses dan menghasilkan perasaan-perasaan yang
memfasilitasi pikiran.
3) Memahami emosi dan pengetahuan tentang emosi.
4) Mengatur emosi untuk mempromosikan perkembangan emosional
dan
intelektual.
Penelitian ini menggunakan instrumen Wong & Law (Law, Wong
& Song,
2004) yang dinamai WLEIS (Wong and Law Emotional Intelligence
Scale) yang
mengacu pada definisi berdimensi empat dengan deskripsi sebagai
berikut:
Dimensi I :
SEA (Self Emotional Appraisal) or Appraisal and expression of
emotion in
oneself (Menilai dan mengekspresikan perasaan dalam diri
sendiri). Dimensi ini
-
15
berkenaan dengan kecakapan memahami perasaan diri yang terdalam
serta cakap
mengekspresikan perasaan secara wajar. Individu yang memiliki
kecakapan tinggi
dalam dimensi ini dapat menyadari, mengakui dan menerima
perasaan-
perasaannya lebih baik daripada orang-orang lain.
Dimensi II :
OEA (Others-Emotional Appraisal) or Appraisal and recognition of
emotion
in others (Menilai dan menerima perasaan dalam diri orang-orang
lain). Dimensi
ini berkenaan dengan kecakapan individu mengamati dan memahami
perasaan-
perasaan orang-orang di sekitar. Individu yang tinggi
kecakapannya dalam
dimensi ini sangat peka dengan perasaan orang-orang lain
sekaligus cakap
memprediksi respon perasaan orang-orang lain.
Dimensi III:
UOE (Use of Emotion) or Use of emotion to facilitate
performance
(menggunakan perasaan untuk memperlancar kinerja). Dimensi ini
berkenaan
dengan kecakapan individu untuk menggunakan perasaan melalui
mengarahkan
perasaannya ke kegiatan yang konstruktif dan untuk mendukung
kinerja pribadi.
Individu yang memiliki kadar tinggi pada dimensi ini cakap
mendorong dan
menyemangati diri untuk berbuat semakin baik secara
berkesinambungan.
Individu juga cakap mengarahkan perasaannya ke arah kegiatan
yang positif dan
produktif.
Dimensi IV:
ROE (Regulation of Emotion) or Regulation of emotion in oneself
(Meng-
atur perasaan diri sendiri). Dimensi ini berkenaan dengan
kecakapan individu
mengatur perasaan-perasaannya sehingga memampukannya cepat pulih
dari
ketegangan psikologis. Individu yang sangat tinggi kadar
kecakapan dalam
dimensi ini dengan cepat akan pulih kembali ke kondisi
psikologis normal setelah
-
16
bergembira atau sakit hari atau jengkel. Individu juga lebih
memiliki kecakapan
mengendalikan emosinya serta sangat kecil kemungkinan kelepasan
kendali
perasaan atau mengumbar amarah.
Berdasarkan pandangan diatas, penulis sesuai dengan Teori
Salovey dan
Mayer yang dilengkapi dengan instrumen Wong & Law (Law, Wong
& Song,
2004) yang dinamai WLEIS (Wong and Law Emotional Intelligence
Scale) yang
mengacu pada definisi berdimensi empat karena didalam keempat
dimensi
tersebut mendukung penelitian penulis.
2.2 . Konformitas Negatif
2.2.1. Pengertian Konformitas
Manusia mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar
dapat
bertahan hidup. Cara termudah adalah melakukan tindakan sesuai
dan diterima
secara sosial. Melakukan tindakan yang sesuai dengan norma
sosial dan psikologi
sosial disebut konformitas (Sarwono, 2009).
Menurut Cialdini & Goldstein (dalam Sarwono, 2009),
konformitas adalah
tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku seseorang agar
sesuai dengan
perilaku orang lain. Contoh dari perilaku konformitas yaitu
remaja lebih suka
mengenakan baju seperti orang lain dalam kelompok sosial, karena
mengikuti
trens busana terbaru.
Sears, dkk (1999), berpendapat bahwa bila seseorang
menampilkan
perilaku tertentu karena disebabkan oleh orang lain menampilkan
perilaku
tersebut, disebut konformitas. Konformitas terhadap kelompok
teman sebaya
ternyata merupakan suatu hal yang paling banyak terjadi pada
masa remaja. Agar
remaja dapat diterima dalam kelompok acuan maka penampilan fisik
merupakan
-
17
potensi yang dimanfaatkan untuk memperoleh hasil yang
menyenangkan yaitu
merasa terlihat menarik atau merasa mudah berteman.
Konformitas tidak hanya sekedar bertindak sesuai dengan tindakan
yang
dilakukan oleh orang lain tetapi juga berarti dipengaruhi oleh
bagaimana
seseorang bertindak. Mayer (dalam Salemba Humanika, 1999)
juga
mengemukakan bahwa konformitas merupakan perubahan perilaku
sebagai akibat
dari tekanan kelompok. Ini terlihat dari kecenderungan remaja
untuk selalu
menyamakan perilakunya dengan kelompok acuan sehingga dapat
terhindar dari
celaan maupun keterasingan.
Zebua dan Nurdjayadi (2001), menjelaskan bahwa konformitas
adalah
kecenderungan seseorang menerima dan mengikuti norma yang
dibuat
kelompoknya. Konformitas berarti tunduk pada tekanan kelompok
meskipun tidak
ada permintaan langsung untuk mengikuti apa yang telah diperbuat
oleh
kelompok.
Konformitas muncul pada masa remaja awal yaitu antara 13 tahun
sampai
16 atau 17 tahun, yang ditunjukkan dengan cara menyamakan diri
dengan teman
sebaya dalam hal berpakaian, bergaya, berperilaku, berkegiatan
dan sebagainya.
Sebagian remaja beranggapan bila mereka berpakaian atau
menggunakan
aksesoris yang sama dengan yang sedang diminati kelompok acuan,
maka timbul
rasa percaya diri dan kesempatan diterima kelompok lebih
besar.
Mayer (dalam Salemba, 1999), menyatakan bahwa konformitas
mengarah
pada suatu perubahan tingkah laku ataupun kepercayaan seseorang
sebagai hasil
dari tekanan kelompok baik secara nyata maupun tidak nyata.
-
18
Berdasarkan kutipan dari para ahli diatas, maka penulis lebih
sesuai
dengan Teori Sears, dkk (1999), yang berpendapat bahwa
konformitas terhadap
kelompok teman sebaya ternyata merupakan suatu hal yang paling
banyak terjadi
pada masa remaja dan teori ini mendukung penulis dalam kaitannya
penelitian
yang memiliki populasi remaja yang menyukai kegiatan aktif
bersama-sama
dengan kelompoknya sehingga terdapat celah serta kesempatan
untuk munculnya
konformitas.
2.2.2.Jenis Konformitas
Menurut Sears, dkk (1999) terdapat dua jenis konformitas,
yaitu
compliance dan acceptance.
1.Compliance (Penolakan Sebagian)
Individu bertingkah laku sesuai dengan tekanan kelompok,
sementara
secara pribadi ia tidak menyetujui tingkah laku tersebut.
2.Acceptance (Penerimaan Penuh)
Tingkah laku dan keyakinan individu sesuai dengan tekanan
kelompok
yang diterimanya.
Berdasarkan kutipan diatas, maka penulis sesuai dengan Sears
yang
membagi jenis konformitas terbagi menjadi dua kategori yaitu
compliance yang
bersifat penolakan secara pribadi namun tetap bertingkah laku
sesuai tekanan
kelompok dan acceptance yang keseluruhan dirinya sesuai dengan
tekanan
kelompok yang diterimanya.
-
19
2.2.3. Aspek-Aspek Konformitas
Konformitas sebuah kelompok acuan dapat mudah terlihat dengan
adanya
ciri-ciri yang khas. Sears (1999) mengemukakan secara eksplisit
bahwa
konformitas remaja ditandai dengan adanya tiga hal sebagai
berikut:
1. Kekompakan
Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebabkan remaja
tertarik dan
ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan remaja
dengan
kelompok acuan disebabkan perasaan suka antara anggota kelompok
serta harapan
memperoleh manfaat dari keanggotaannya. Semakin besar rasa suka
anggota yang
satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk
memperoleh
manfaat dari keanggotaan kelompok serta semakin besar kesetiaan
mereka, maka
akan semakin kompak kelompok tersebut. Kekompakan tersebut
dapat
dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Penyesuaian Diri
Kekompakan yang tinggi menimbulkan tingkat konformitas yang
semakin
tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat
dengan anggota
kelompok lain, akan semakin menyenangkan bagi mereka untuk
mengakui kita,
dan semakin menyakitkan bila mereka mencela kita. Kemungkinan
untuk
menyesuaikan diri akan semakin besar bila kita mempunyai
keinginan yang kuat
untuk menjadi anggota sebuah kelompok tertentu.
b. Perhatian Terhadap Kelompok
Peningkatan konformitas terjadi karena anggotanya enggan
disebut
sebagai orang yang menyimpang. Seperti yang telah kita ketahui,
penyimpangan
-
20
menimbulkan resiko ditolak. Orang yang terlalu sering menyimpang
pada saat-
saat yang penting diperlukan, tidak menyenangkan, dan bahkan
bias dikeluarkan
dari kelompok. Semakin tinggi perhatian seseorang dalam kelompok
semakin
serius tingkat rasa takutnya terhadap penolakan, dan semakin
kecil kemungkinan
untuk tidak meyetujui kelompok.
2. Kesepakatan
Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan
kuat
sehingga remaja harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan
pendapat
kelompok. Kesepakatan tersebut dapat di pengaruhi oleh hal-hal
sebagai berikut:
a. Kepercayaan
Penurunan melakukan konformitas yang drastis karena
hancurnya
kesepakatan disebabkan oleh faktor kepercayaan. Tingkat
kepercayaan terhadap
mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun
orang yang
berbeda pendapat itu sebenarnya kurang ahli bila dibandingkan
anggota lain yang
membentuk mayoritas. Bila seseorang sudah tidak mempunyai
kepercayaan
terhadap pendapat kelompok, maka hal ini dapat mengurangi
ketergantungan
individu terhadap kelompok sebagai sebuah kesepakatan.
b. Persamaan Pendapat
Bila dalam suatu kelompok terdapat satu orang saja tidak
sependapat
dengan anggota kelompok yang lain maka konformitas akan turun.
Kehadiran
orang yang tidak sependapat tersebut menunjukkan terjadinya
perbedaan yang
dapat berakibat pada berkurangnya kesepakatan kelompok. Jadi
dengan
-
21
persamaan pendapat antar anggota kelompok maka konformitas akan
semakin
tinggi.
c. Penyimpangan Terhadap Pendapat Kelompok
Bila orang mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain
maka
orang tersebut akan dikucilkan dan dipandang sebagai orang yang
menyimpang,
baik dalam pandangannya sendiri maupun dalam pandangan orang
lain. Jadi
kesimpulan bahwa orang yang menyimpang akan menyebabkan
penurunan
kesepakatan, ini merupakan aspek penting dalam melakukan
konformitas.
3. Ketaatan
Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja membuatnya
rela
melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya. Bila
ketaatannya
tinggi maka konformitasnya akan tinggi juga. Ketaatan tersebut
dapat di
pengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Tekanan karena Ganjaran, Ancaman, atau Hukuman
Salah satu cara untuk menimbulkan ketaatan adalah dengan
meningkatkan
tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku yang
diinginkan melalui
ganjaran, ancaman, atau hukuman karena akan menimbulkan ketaatan
yang
semakin besar. Semua itu merupakan insentif pokok untuk mengubah
perilaku
seseorang.
b. Harapan Orang Lain
Seseorang akan rela memenuhi permintaan orang lain hanya karena
orang
lain tersebut mengharapkannya. Dan ini akan mudah dilihat bila
permintaan
diajukan secara langsung. Harapan-harapan orang lain dapat
menimbulkan
-
22
ketaatan, bahkan meskipun harapan itu bersifat implisit. Salah
satu cara untuk
memaksimalkan ketaatan adalah dengan menempatkan individu dalam
situasi
yang terkendali, dimana segala sesuatunya diatur sedemikian rupa
sehingga
ketidaktaatan merupakan hal yang hampir tidak mungkin
timbul.
Berdasarkan kutipan dari ahli diatas maka penulis sesuai dengan
Sears
yang menyimpulkan bahwa aspek-aspek konformitas ditandai dengan
tiga hal
yang meliputi kekompakan, kesepakatan dan ketaatan yang
masing-masing tanda
tersebut masih memiliki poin-poin pendukung seperti yang ada
didalam
kekompakan terdapat penyesuaian diri dan perhatian terhadap
kelompok , lalu
pada tanda kesepakatan memiliki tiga poin pendukung yaitu
kepercayaan,
persamaan pendapat dan penyimpangan terhadap pendapat kelompok,
serta dalam
tanda ketaatan memiliki poin pendukung seperti tekanan karena (
ganjaran,
ancaman atau hukuman ) dan harapan orang lain. Keseluruhan dari
berbagai tanda
dan poin-poin pendukung didalamnya ini merupakan aspek-aspek
pendukung
dalam konformitas.
2.2.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konformitas
Pada dasarnya, orang menyesuaikan diri mempunyai alasan yang
kuat.
Demikian juga dengan orang melakukan konformitas disebabkan oleh
beberapa
alasan dan faktor-faktor. Seseorang yang melakukan konfomitas
juga akan
berdampak negatif dan positif. Hal - hal yang mempengaruhi
adanya konformitas
yang berdampak baik (positif) ataupun buruk (negatif) menurut
Sears (1999)
adalah:
-
23
1. Kurangnya Informasi. Orang lain merupakan sumber informasi
yang penting.
Seringkali orang lain mengetahui sesuatu yang tidak diketahui
seseorang,
dengan melakukan apa yang orang lain lakukan, seseorang akan
memperoleh
manfaat dari pengetahuan orang lain.
2. Kepercayaan terhadap kelompok. Dalam situasi konformitas,
individu
mempunyai suatu pandangan dan kemudian menyadari bahwa
kelompoknya
menganut pandangan yang bertentangan. Semakin besar kepercayaan
individu
terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin
besar pula
kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. Semakin
tinggi
keahlian anggota dalam kelompok tersebut dalam hubungannya
dengan
individu, semakin tinggi tingkat kepercayaan dan penghargaan
individu
terhadap kelompok tersebut.
3. Kepercayaan diri yang lemah. Salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi
rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat
keyakinan orang
tersebut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu
reaksi.
Semakin lemah kepercayaan seseorang akan penilaiannya sendiri,
semakin
tinggi tingkat konformitasnya. Sebaliknya, jika seseorang merasa
yakin akan
kemampuannya sendiri akan penilaian terhadap sesuatu hal,
semakin turun
tingkat konformitasnya.
4. Rasa takut terhadap celaan sosial. Celaan sosial memberikan
efek yang
signifikan terhadap sikap individu karena pada dasarnya setiap
manusia
cenderung mengusahakan persetujuan dan menghindari celaan
kelompok
dalam setiap tindakannya.
-
24
Berdasarkan dari berbagai pandangan yang diambil diatas maka
penulis
lebih sesuai dengan pernyataan yang mengacu kepada Sears (1999)
yang
menyatakan bahwa remaja penuh dengan gejolak emosi yang masih
terhitung labil
dalam proses penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitar dan
kehidupan
sosialnya sehingga kurang memperdulikan tentang resiko dan
dampak dari
perilakunya sendiri.
2.3. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian Nia Kurniawati (2008), yang berjudul hubungan
kecerdasan
emosi dengan konformitas negatif remaja di SMAN 2 Surakarta,
menghasilkan
nilai signifikansi (P) = 0,003 dan koefisien korelasi (R) =
-0,654 yang berarti P <
0,05 maka dapat diketahui bahwa ada hubungan antara kecerdasan
emosi dengan
konformitas negatif ke arah negatif yang artinya semakin tinggi
kecerdasan emosi
maka semakin rendah konformitas negatif remaja, sehingga
hipotesis diterima.
Penelitian dari Fema Rachmawati (2013), yang berjudul
hubungan
kecerdasan emosi dengan konformitas pada remaja di SMA
Muhammadiyah 3
Yogyakarta, menghasilkan koefisien korelasi R = 0,278 dengan
taraf signifikansi
{(P) 0,002 (P < 0,05)} dan dapat diketahui bahwa adanya
hubungan positif yang
sangat signifikansi antara kecerdasan emosi dengan konformitas
pada remaja yang
artinya semakin tinggi kecerdasan emosi semakin tinggi
konformitas negatif pada
remaja sehingga hipotesa, diterima.
-
25
2.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
”Ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecerdasan emosi
dengan
konformitas negatif pada siswa kelas XI IPS SMAN 1
Salatiga”.