-
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Perkawinan Menurut Hukum Adat
2.1.1.1 Pengertian Hukum Adat
Sebagai orang pertama yang menimbulkan hukum adat sebagai
ilmu
pengetahuan dan menempatkan hukum adat berkedudukan sejajar
dengan
hukum lainnya, Van Vollenhoven dalam Hilman Hadikusuma (1980 :
26)
memberikan pengertian tentang hukum adat sebagai “
aturan-aturan
kelakuan yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang
timur
asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum)
dan
lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat). Selanjutnya
maka
dikatakan hukum dikarenakan yang dimaksudkan adalah adat
yang
mempunyai sanksi, yaitu adat yang mengandung perintah dan
larangan dan
apabila dilanggar maka sipelanggar akan mendapat ancaman
dari
masyarakat adat. Kemudian maka dikatakan adat dikarenakan
tidak
dikodifikasikan artinya tidak dihimpun dalam suatu kitab
perundang-
undangan yang teratur menurut hukum barat.
Hukum adat menurut Soerjono Soekanto (2006 : 18) adalah
keseluruhan adat yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat
berupa
kesusilaan, kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat
hukum. Dan
menurut Ter Haar (dalam Sri Harini D, 2006 : 18) hukum adat
merupakan
-
11
keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan
para
perangkat hukum yang mempunyai wibawa serta pengaruh dan yang
dalam
pelaksanaanya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan
sepenuh hati.
Sedangkan menurut Yulies Tiena Masriani (2004 : 134) hukum adat
adalah
keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak
mempunyai
sanksi dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan.
Dengan kata
lain, Hukum adat adalah adat kebiasaan yang mempunyai akibat
hukum.
Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan
penjaga tata tertib sosial dan tata tertib hukun diantara
manusia atau orang
dalam pergaulan didalam suatu masyarakat, supaya dengan demikian
dapat
dihindarkan segala bencana dan bahaya yang mungkin atau
telah
mengancam. Ketertiban yang dipertahankan oleh hukum adat itu
bersifat
batiniah dan jasmaniah, kelihatan dan tidak kelihatan, tetapi
diyakini dan
dipercaya sejak turun-temurun atau bahkan sejak kecil sampai
meninggalnya seseorang. Dimana ada masyarakat, disitu ada Hukum
adat
dan Hukum Adat itu senantiasa timbul dari suatu kebutuhan hidup
yang
nyata, cara dan pandangan hidup yang keseluruhanya merupakan
kebudayaan masyarakat dimana tempat hukum adat itu berlaku.
F.D Holleman dalam Iman Sudiyat (1978 : 30), pidato
pelantikan/pengukuhan menjadi Guru Besar yang berjudul “ De
Commune
Trek in het Indonesische Rechtleven “ (Corak Kegotong- royong
didalam
kehidupan hukum Indonesia), menyimpulkan adanya empat sifat
umum
hukum adat Indonesia yang hendaknya dipandang sebagai kesatuan
:
-
12
1) Sifat Komun (commuun)
Sifat komun adalah sifat yang mendahulukan kepentingan umum
dari pada kepentingan diri sendiri.
Hal kedua dari dasar alam pikiran dalam hukun adat adalah
suatu
segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih
sangat
tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam
masyarakat
semacam itu selalu terdapat sifat yang lebih mementingkan
keseluruhan, lebih diutamakan kepentingan umum dari pada
kepentingan individual. Masyarakat, desa/dusun yang
senantiasa
memegang peranan yang menentukan, yang pertimbangan dan
keputusannya tidak boleh dapat di sia-siakan, keputusan desa
adalah
berat, berlaku terus dan dalam keadaan apapun juga harus
dipatuhi
dengan hormat dan khidmat.
2) Sifat konkrit (Visual)
Hukum adat bercorak serba konkrit, serba jelas, artinya
hubungan-hubungan hukum yang dilakukan tidak serba
tersembunyi
atau samar-samar, antara kata dan perbuatan berjalan serasi,
jelas dan
nyata. Misalnya dalam perjanjian jual beli, perjanjian itu baru
terjadi
jika jelas dan nyata pembeli telah membayar harganya dan penjual
telah
menyerakan barang yang dijualnya.
Hukum adat tidak membenarkan berlakunya hubungan-hubungan
hukum yang samar-samar, yang tidak nyata (abstrak) seperti
hukum
barat, misalnya suatu jual beli sudah terjadi walaupun barang
belum
-
13
diserahkan dan harganya belum dibayar, begitu pula dalam hukum
adat
hubungan pria dan wanita sebelum terjadi perkawinan pria dan
wanita
tidak boleh campur sebagai suami isteri sebagaimana dikalangan
orang-
orang barat.
3). Sifat Contant (tunai)
Biasanya dalam masyarakat Indonesia transaksi itu bersifat
tunai
(contant), yaitu prestasi dan kontra prestasi dilakukan
sekaligus
bersama-sama pada waktu itu juga.
Sifat tunai mengandung pengertian bahwa dalam suatu
perbuatan
nyata, suatu perbuatan simbolis atau pengucapan, tindakan
hukum
yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan
serentak
bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang
diharuskan oleh adat. Dengan demikian dalam hukum adat
segala
sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang-terima
secara
contant itu adalah diluar akibat-akibat hukum dan memang
tidak
bersangkut-paut atau bersebab-akibat menurut hukum.
Perbuatan
hukum yang dimaksud yang telah selesai seketika itu juga adalah
suatu
perbuatan hukum yang dalam arti yuridis berdiri sendiri. Dalam
arti
urutan kenyataan-kenyataan, tindakan-tindakan sebelum dan
sesudah
perbuatan yang bersifat contant itu mempunyai arti logis
terhadap satu
sama lain. Contohnya dalam hukum adat adalah jual beli
lepas,
perkawinan jujur.
-
14
4) Sifat Religio- Magis (magis-religius)
Sifat Religio- Magis (magis-religius) adalah pembulatan atau
perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau
cara
berfikir seperti pralogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan
lain-lain.
Kuntjaraningrat dalam Soleman Biasane T (1981 : 44), alam
pikiran religio-magis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut
:
a. Kepercayaan kepada makluk –makluk halus, roh-roh, dan
hantu-
hantu yang menempati seluruh alam, tumbuh-tumbuhan,
binatang,
tubuh manusia dan benda-benda.
b. Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh
alam
semesta dan khusus terdapar dalam peristiwa-peristiwa luar
biasa,
tumbuh-tumbuhan yang luar biasa dan suara yang luar biasa.
c. Anggapan kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai
“
magische kracth” dalam berbagai perbuatan ilmu gaib untuk
mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib.
d. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam
menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timbulnya berbagai
macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindari atau
dihindarkan
dengan berbagai macam pantangan.
2.1.1.2 Pengertian Perkawinan Adat
Menurut hukum adat yang berlaku di Indonesia maka setiap
daerah
mempunyai hukum adat yang pengertiannya tentu mempunyai
kesamaan
-
15
dan perbedaan dengan daerah lainnya. Hal itu di sebabkan karena
tiap-tiap
daerah mempunyai aturan-aturan di bidang hukum adat yang
mempunyai
keunikan-keunikan tersendiri. Dalam kaitannya dengan
pengertian
perkawinan menurut hukum adat (Drajen Saragih, 1984:123)
mengemukakan bahwa:
“Didalam kehidupan manusia kita akan melihat kenyataan-kenyataan
di
mana seorang pria dan seorang wanita untuk mejalankan kehidupan
bersama
yang mewujudkan kesatuan rumah tangga masing-masing dalam
kehidupan
sebagai suami isteri. Kehidupan bersama yang demikian itu
dalam
kehidupan sehari-hari mempunyai akibat-akibat hukum di mana
hubungan
yang demikian itu di namakan hubungan perkawinan jikalau
hubungan itu
sah menurut hukum.
Sedangkan menurut pendapat Soerojo Wignjodipoero (1989 :
122)
perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting
dalam
penghidupan masyarakat kita sebab perkawinan itu tidak hanya
menyangkut
wanita dan pria bakal mempelai saja tetapi juga orang tua kedua
belah
pihak, saudara-saudaranya bahkan keluarga-keluarga mereka
masing-
masing. Malahan dalam hukum adat, perkawinan itu bukan hanya
merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja
tetapi
perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta
sepenuhnya
mendapatkan perhatian dan di ikuti oleh arwah-arwah leluhur dari
kedua
bela pihak.
-
16
Sesuai dengan penjelasan di atas maka persekutuan hidup
bersama
antara seorang pria dan dengan seorang wanita yang di lakukan
secara sah
di namakan perkawinan dimana perkawinan dalam masyarakat
merupakan
peristiwa yang sangat penting dan sakral sehingga
pelaksanaannya
menyangkut kedua calon mempelai, keluarga atau kerabat dan
masyarakat
luas.
Menurut Hilman Hadikusuma (1990 : 8 dan 9) hukum adat pada
umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai
perikatan
perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus
merupakan
perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi penjelasan di atas
diperhatikan
maka memang perkawinan dalam hukum adat mempunyai arti yang
luas
sekali. Hal ini disebabkan karena perkawinan tidak menyangkut
suami dan
istri tetapi juga hubungan dengan keluarga, masyarakat umum dan
orang-
orang yang telah meninggal.
Perkawinan dalam perikatan adat ialah perkawinan yang
mempunyai
akibat hukum terhadap hukum adat yang bersangkutan. Akibat hukum
itu
telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya
dengan adanya
pelamaran sebelum perkawinan. Setelah terjadi perkawinan maka
timbul
hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk anggota
keluarga/kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam
pelaksanaan
upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan
memelihara
kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak
mereka
yang terikat dalam perkawinan.
-
17
Bertolak dari berbagai pendapat tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa
perkawinan adat adalah suatu peristiwa yang penting di mana
seorang pria
dan seorang wanita untuk mejalankan kehidupan bersama yang
mewujudkan kesatuan rumah tangga masing-masing dalam
kehidupan
sebagai suami isteri. Dengan demikian, maka suatu perkawinan
tanggung
jawabnya berat sebab suami dan isteri selain bertanggung jawab
terhadap
kelangsungan keluarganya, juga terhadap orang banyak
(masyarakat) dan
Tuhan.
2.1.1.3 Tujuan Perkawinan Adat
Hilman Hadikusuma (1990 : 23) mengemukakan tujuan perkawinan
bagi masyarakat hukum adat salah satunya adalah melanjutkan
keturunaan
dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Disamping itu juga
untuk
mempersatukan dua keluarga besar dari pihak pria dan wanita.
Dengan
adanya perkawinan tersebut maka diharapkan kelanjutan hidup
umat
manusia dimuka bumi akan berkembang terus dan juga melalui
perkawinan
dua kelompok yang tadinya tidak merupakan satu keluarga menjadi
akrab,
karena sudah satu melalui perkawinan diantara salah satu
dari
keluarganya.Tujuan perkawinan menurut adat adalah untuk
dapat
melanjutkan keturunan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia
dan
kekal serta berguna bagi kehidupan kekerabatan yang rukun dan
damai.
Dengan demikian maka perkawinan bukan semata-mata urusan dan
kepentingan orang tua dan kekerabatan”.
-
18
2.1.1.4 Sahnya Perkawinan Adat
Sahnya perkawinan yang dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma
(1990: 27) menurut hukum adat Indonesia pada umumnya bagi
penganut
agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat
bersangkutan.
Dan suatu perkawinan baru diakui sah oleh anggota masyarakat
entah itu
masyarakat tradisonal maupun masyarakat modern apabila
pelaksanaan
perkawinan tersebut sah menurut pandangan mereka. Hal ini
disebabkan
karena pelaksanaan perkawinan yang tidak sah oleh masyarakat
dianggap
sebagai suatu aib dalam keluarga. Maksudnya jika telah
dilaksanakan
menurut tata tertib adat atau agama mereka itu adalah sah
menurut hukum
adat setempat.
2.1.1.5 Syarat Perkawinan Adat
Menurut hukum adat yang walaupun sudah dewasa tidak bebas
menyatakan kehendaknya untuk melakukan perkawinan, tanpa
persetujuan
orang tua atau kerabatnya. Maka persetujuan para pihaklah yang
sangat
berperan. Hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas
usia
untuk melangsungkan perkawinan (Hilman Hadikusuma, 1990 :
46).
Sedangkan Iman Sudiyat, (1981 : 1) mengemukakan syarat
perkawinan
apabila wanita sudah menstruasi dan pria sudah kuat gawe,
pemberian mas
kawin dari pihak pria serta bersedia membantu orang tua.
-
19
Syarat-syarat tersebut diatas pada umumnya berlaku di berbagai
daerah
Indonesia namun tetap pada syarat-syarat yang unik setiap daerah
yang
masih kuat hukum adatnya. Hal ini disebabkan karena hukum adat
setempat
sudah menyatu dengan pribadi-pribadi tradisi dari masing-masing
daerah
dalam anggota masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian
maka
syarat-syarat perkawinan menurut hukum adat tetap harus dipatuhi
dan
dilaksanakan oleh sebagian besar anggota masyarakat kita di
berbagai
pelosok daerah sesuai dengan adat-istiadat dan kepentingannya.
Dalam
kaitannya dengan penjelasan diatas bangsa Indonesia dalam
berbagai daerah
dan adat suku bangsa terdapat syarat-syarat yang berbeda-beda
yang harus
dipenuhi karena banyak tergantung pada agama dan hukum adat
setempat.
2.1.1.6 Larangan Perkawinan Adat
Menurut Hilman Hadikusuma (1990 : 63) dimana Segala sesuatu
yang
dapat menjadi sebab perkawinan tidak dapat dilakukan, atau jika
dilakukan
maka keseimbangan masyarakat akan terganggu. Maka dari situlah
ada
larangan perkawinan bagi hukum adat Karena hubungan
kekerabatan
dimana melarang terjadinya perkawinan antara pria dan wanita
yang mana
satu keturunan “marga”, dan seorang pria dilarang melakukan
perkawinan
dengan anak saudara lelaki ibunya, atau larangan antara pria dan
wanita
yang besaudara kandung ayahnya, begitu pula dilarang jika
bersaudara
misan.
-
20
2.1.1.7 Sistem Perkawinan Adat
Dalam sistem perkawinan adat yang dikemukakan Yulies Tiena
Masriani (2004: 137) dikenal ada tiga sistem, yaitu sebagai
berikut :
1. Sistem Endogami
Dalam sistem ini seorang hanya diperbolehkan kawin dengan
seseorang
dari suku keluarganya sendiri. Menurut Van Vollenhoven hanya ada
satu
daerah saja yang secara praktis mengenal sistem endogami ini,
yaitu
daerah Toraja.
2. Sistem Exogami
Dalam sistem ini seseorang diharuskan kawin dengan orang luar
suku
keluarganya. Sistem ini demikian terdapat misalnya di daerah
Gayo,
Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatra Selatan, Buru, dan
Seram.
3. Sistem Eleutherogami
Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau
keharusan-keharusan
seperti halnya dengan sistem endogami dan exogami. Larangan
yang
terdapat dalam sistem ini menurut Soerojo Wignjodipuro (1983 :
132)
adalah larangan-larangan yang bertalian dengan ikatan
kekeluargaan
yakni larangan karena :
a) Nasab(turunan yang berdekatan), seperti kawin dengan ibu,
nenek,
anak kandung, cucu (keturunan garis lurus keatas dan kebawah)
juga
dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu.
b) Musyaharah(per-iparan), seperti kawin dengan ibu tiri,
menantu,
mertua, anak tiri.
-
21
Sistem eleutherogami paling banyak terjadi di Indonesia misalnya
di
Aceh, Sumatra Timur, Bangka Belitung, Kalimantan, Minahasa,
Selawesi
selatan, Ternate, Irian Barat, Bali, Lombok, dan seluruh Jawa
Madura.
Sistem perkawinan tidak dapat dipisahkan dengn sifat
kekeluargaan
yang ada. Di Indonesia terdapat tiga sistem kekeluargaan, dalam
garis
besarnya sistem kekeluargaan dibedakan menjadi tiga sistem yaitu
.
1. Sistem Patrilineal(kebapaan)
Sistem Patrilineal adalah suatu sistem kekeluargaan dimana
keturunan
diperhitungkan menurut garis bapak yang berarti melalui Ayah
menghubungkan diri kepada keturunan-keturunan leluhurnya
sehingga
menimbulkan clan(marga), maka sistem ini disebut kebapaan.
Dalam
sistem kekeluargaan kebapaan bentuk perkawinan yang dijunjung
tinggi
adalah perkawinan jujur.
2. Sistem Matrilineal(keibuan)
Sistem Matrilineal adalah suatu sistem kekeluargaan dimana
keturunan
di tarik dari garis ketunggalan leluhur ibu, sehingga disebut
sistem
keibuan. Dalam kekeluargaan yang bersistem keibuan ada
perkawinan
yng disebut kawin “Bertandang” dan kawin “Berkunjung” atau
kawin
“Bertamu”.
3. Sistem Parental/Bilateral(keibuan – kebapaan)
Sistem Parental/Bilateral adalah suatu sistem kekeluargaan
dimana garis
keturunan ditarik menurut garis ibu dan bapak sehingga disebut
sistem
keibuaan-kebapaan.
-
22
2.1.1.8 Cara Terjadinya Perkawinan Menurut Hukum Adat
Menurut Ter Haar (1953 : 159-164) hukum adat cara terjadinya
perkawinan pada umumnya di Indonesia adalah sebagai berikut
:
1) Perkawinan Pinang (Meminang, Melamar)
Perkawinan pinang dimaksud bahwa pihak ke satu (laki – laki)
mengajak pihak lain (perempuan) untuk menjalin ikatan
perkawinan.
Peminangan ini dilakukan oleh seorang utusan atau seorang
wakil,
biasanya di ungkapkan dengan bahasa yang indah dan berkias.
Utusan
yang meminang biasanya seorang kerabat atau orang tuanya
dengan
persetujuan kelompok kerabat dan orang tua.
2) Perkawinan Lari bersama dan Bawa Lari
Perkawinan lari bersama adalah perkawinan yang lari bersama
dengan tiada peminangan atau pertunangan secara formal, Atau
kedua
mempelai (laki – laki dan perempuan) lari bersamaan tanpa
melalui
peminangan. Maksud dari pada perkawinan lari bersama atau
sama-sama
melarikan diri adalah untuk menghindarkan diri dari berbagai
keharusan
sebagai akibat dari perkawinan pinang, dari pihak orang tua dan
saudara-
saudara atau keluarga.
Perkawinan bawa lari adalah kadang-kadang lari dengan
seorang
perempuan yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang
lain,
terkadang membawa lari perempuan dengan paksaan.
3) Perkawinan Mengabdi
-
23
Perkawinan jenis ini mengandung maksud bahwa suatu perkawinan
yang
pembayarannya di tunda, atau suatu perkawinan dimana suami dan
istri
sudah mulai hidup berkumpul tetapi pembayaran mas kawinnya
belum
lunas maka si suami bekerja mengabdi kepada kerabat mertuanya
sampai
mas kawinnya terbayar lunas
4) Perkawinan Bertukar
Perkawinan bertukar adalah perkawinan yang dilakukan pada
akhirnya ,
bila seorang lelaki dari sesama clan meneruskan perkawinan
saudara
laki-laki yang telah mati. Dan seorang perempuan mengganti
perkawinan
saudara perempuannya yang telah mati, semuanya tanpa
pembayaran
jujur.
Sedangkan di dalam kehidupan masyarakat cara terjadi
perkawinan
yang dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma (2003 : 183-190) yaitu
sebagai
berikut :
1) Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur atau jelasnya perkawinan dengan pemberian
(pembayaran) uang atau barang jujur, dilakukan oleh pihak
kerabat
(marga, suku) calon suami kepada mempelai calon isteri. Sebagai
tanda
pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan
adat
persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam
persekutuan
hukum suaminya.
2) Perkawinan Semanda
-
24
Perkawinan semanda ini dalam rangka mempertahankan garis
keturunan
pihak ibu (wanita), merupakan kebalikan dari bentuk perkawinan
jujur.
Dalam peerkawinan semanda, calon mempelai pria dan kerabatnya
tidak
melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, malahan
sebagaimana berlaku adat pelamaran dari pihak wanita kepada
pihak
pria.
3) Perkawinan Bebas (Mandiri)
Perkawinan bebas atau perkawinan mandiri pada umumnya,
dimana
kaum keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan
dalam
keluarga atau rumah tangga. Kedudukan dan hak suami isteri
seimbang
sama, suami sebagai kepala keluarga atau rumah tangga dan
isteri
sebagai ibu keluarga atau rumah tangga.
4) Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan
yang
terjadi di antara suami dan isteri yang berbeda suku bangsa,
adat budaya,
dan atau berbeda agama yang dianut.
5) Perkawinan Lari
Sistem perkawinan lari dapat di bedakan antara perkawinan
lari
bersamaan dan perkawinan lari paksaan.
Perkawinan lari bersamaan adalah perbuatan belarian untuk
melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis (wanita),
cara
melakukan belarian tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan
kawin
lari dan pada waktu yang sudah di tentukan melakukan lari
bersama.
-
25
Perkawinan lari paksaan adalah perbuatan melarikan gadis dengan
akal
tipu, atau dengan paksaan atau kekerasan, tidak atas persetujuan
si gadis dan
tidak menurut tata-tertib adat belarian.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa cara
terjadinya
perkawinan menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia ada
berbagai
macam atau cara untuk melakukan suatu perkawinan atau dalam
mencapai
suatu perkawinan adalah melalui perkawinan pinang, perkawinan
jujur,
perkawinan lari, perkawinan bebas dan lain-lain sebagainya.
2.1.2 Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun
1974
2.1.2.1 Perngertian Perkawinan
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dikenal dengan
Undang-Undang perkawinan, dimana telah memberikan defenisi
atau
pengertian tentang apa itu perkawinan yang di bahas dalam Bab. I
pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, telah jelas mendefenisikan
perkawinan yang berbunyi sebagai berikut :
“ Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah
Tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam penjelasan di atas disebutkan bahwa negara yang
berdasarkan
pada Pancasila dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa
maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat sekali
dengan
-
26
agama, sehingga bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani,
tetapi
unsur batin atau rohani dimana mempunyai peranan yang
penting.
Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan
keturunan
yang merupakan tujuan perkawinan.
Berdasarkan definisi perkawinan di atas, Endang Sumiarti (2004 :
1 dan
2) mengadopsi pendapat R. Soetojo Prawirohamidjojo bahwa pasal
1
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 mengandung 5 unsur yaitu :
1. Ikatan lahir batin.
Merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya
hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami
isteri, hal ini disebutkan sebagai hubungan formal. Ikatan
perkawinan
adalah suci seperti yang diajarkan oleh agama masing-masing.
2. Antara seorang pria dan seorang wanita.
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan
seorang
wanita. Perkawinan antara seorang pria dan seorang pria atau
seorang
wanita dengan seorang wanita tidak mungkin terjadi. Unsur
kedua
mengandung asas monogami.
3. Sebagai suami isteri.
Ikatan perkawinan didasarkan pada suatu perkawinan yang sah,
apabila
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang,
baik
syarat-syarat intern maupun syarat eksternnya.
4. Tujuan perkawinan.
-
27
Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
Keluarga
adalah suatu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak
yang
merupakan sendi dan dasar susunan masyarakat Indonesia.
Membentuk
keluarga yang bahgia erat hubungannya dengan keturunan yang
merupakan tujuan perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan
pendidikan
anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.
5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, sila Ketuhanan Yang
Maha
Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama,
kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir
batin atau jasmani, akan tetapi unsur batin/rohani juga
mempunyai
peranan penting.
Dari rumusan di atas, maka jelas sekali bahwa perkawinan tidak
hanya
merupakan ikatan lahir saja, atau batin saja, tetapi merupakan
ikatan kedua-
duanya dalam hubungan perkawinan.
2.1.2.2 Tujuan Perkawinan
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tercantum tujuan
perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (Rumah Tangga)
yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu
berarti
bahwa perkawinan tidak hanya dilangsungkan untuk sementara waktu
atau
-
28
jangka waktu tertentu saja yang telah direncanakan, dan tidak
boleh
diputuskan begitu saja sebab perkawinan tidak diperkenankan
dilangsungkan untuk sementara waktu saja. Yang dimaksud keluarga
ialah
satu keastuan yang terdiri dari atas ayah, ibu, dan anak atau
anak-anak yang
merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia (Hilman
Hadikusuma, 1990 : 22).
2.1.2.3 Sahnya Perkawinan
Sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
diatur dalam pasal 2 ayat 1, yang menyatakan “ Perkawinan adalah
sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Jadi perkawinan tidak hanya suatu perbuatan
hukum
yang menimbulkan akibat hukum, akan tetapi juga merupakan
perbuatan
keagamaan sehingga sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh
hukum
agama dan kepercayaan masing-masing. Oleh sebab itu agar lebih
menjamin
tercapainya tujuan perkawinan dan harus dipenuhi sahnya suatu
perkawinan
tersebut, maka setiap orang hendak melangsungkan perkawinan
di
Indonesia, harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah
ditetapkan
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2.1.2.4 Syarat Perkawinan
Sebagaimana yang dikemukakan bahwa yang menjadi tujuan
perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah
-
29
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu agar lebih menjamin
tercapainya
tujuan perkawinan tersebut, maka setiap orang hendak
melangsungkan
perkawinan di Indonesia, harus memenuhi syarat-syarat tertentu
yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Adapun syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan seperti
yang
tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 sampai
pasal
11 adalah sebagai berikut :
1. Adanya persetujuaan kedua mempelai (pasal 6 ayat 1).
2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang
belum
berusia 21 tahun (pasal 6 ayat 2).
3. Adanya calon mempelai pria sudah mencapai usia 19 tahun dan
calon
mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat 1).
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita yang
akan kawin
tidak boleh ada hubungan darah (pasal 8 huruf a-f).
5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (pasal
9).
6. Bagi suami isteri yang sudah bercerai, lalu kawin lagi satu
sama lain dan
bercerai untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak
boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang agama dan kepercayaan
dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain (pasal 10).
7. Seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu
(pasal 11 ayat 1).
-
30
2.1.2.5 Larangan Perkawinan
Larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor
1
Tahun 1974, yaitu perkawinan yang dilarang ialah antara dua
orang yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
ataupun
keatas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang
dengan saudara neneknya.
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak
tiri.
4) Hubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan,
dan bibi/paman susuan.
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang.
Mempunyai hubungan yang erat oleh agamanya atau peraturan
yang
berlaku, dilarang kawin. Dan selanjutnya ditambah larangan dalam
pasal 9 yang
berbunyi yaitu “seorang yang masih terikat tali perkawinan
dengan orang lain
tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada
pasal 3 ayat
2yaituPengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami
untuk beristri
lebih dari seoarng apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang
bersangkutan.
Pasal 4 ayat (1)Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari
seorang,
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang ini,
maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat
tinggalnya. Pasal
-
31
4Ayat (2) Pengadilan dimaksudkan data ayat 1 pasal ini hanya
memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila : istri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, isrti mendapat
cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat
melahirkan
keturunan. Sedangkan larangan dalam pasal 10 menyatakan apabila
suami dan
isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk
kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan
perkawinan lagi,
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari
bersangkutan tidak menentukan lain. Larangan dalam pasal 10
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 ini dimaksudkan untuk mencegah perbuatan kawin
cerai
berulang kali, agar suami dan isteri saling menghargai dan
mengurus rumah
tangga yang tertib dan teratur.
Dengan demikian larangan perkawinan menurut pasal 8 UU No. 1
Tahun
1974 menyangkut beberapa larangan, yaitu larangan terhadap yang
ada hubungan
darah, hubungan semenda, yang ada hubungan susuan, hubungan
periparan, dan
yang ada hubungan dengan larangan agama, dan tidak disebutkan
adanya larangan
menurut hukum adat kekerabatan. Hal ini nampaknya terserah
kepada masyarakat
adat tersebut untuk mempertahankan adat-istiadatnya.
Menurut Hilman Hadikusuma (1990 : 6), Undang-Undang
Perkawinan
menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan
kekal.
b. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
agamanya dan
kepercayaannya itu.
-
32
c. Perkawinan harus dicacat menurut peraturan
perundang-undangan.
d. Perkawinan berasas monogami terbuka.
e. Calon suami isteri harus sudah masuk jiwa raganya untuk
melangsungkan
perkawinan.
f. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 dan bagi wanita 16
tahun.
g. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan dimuka sidang
pengadilan.
h. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang.
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai asas-asas atau prinsip
-prinsip
perkawinan, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan mempunyai
tujuan
dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal, tetapi perkawinan
haruslah sah
menurut hukum agama, kepercayaannya dan harus dicacat menurut
peraturan
perundang-undangan. Perkawinan juga harus sesuai dengan batas
usia yang telah
ditetapkan dan perceraian suatu perkawinan dilakukan dimuka
sidang pengadilan.