12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hormon dan Proses Penuaan Dalam konsep Anti-Aging Medicine, salah satu penyebab penting proses penuaan ialah berkurangnya kadar hormon. Seperti telah diuraikan sebelumnya, proses penuaan berlangsung melalui 3 fase, yaitu: 1) fase subklinis; 2) fase transisi; 3) fase klinis. Fase subklinis berlangsung pada usia 25-35 tahun, fase transisi terjadi pada usia 35-45 tahun, sedangkan fase klinis berlangsung pada usia 45 tahun ke atas. Pada fase subklinis, perubahan paling awal yang terjadi ialah penurunan kadar hormon seks steroid, yaitu testosteron dan estrogen (Pangkahila, 2017a). Karena itulah menurunnya kadar hormon seks steroid atau kekurangan hormon ini dapat dijadikan indikator terjadinya proses penuaan. Selain hormon steroid seks yang mulai berkurang, padafase subklinis juga terjadi penurunan lebih lanjut hormon melatonin dan GH. Perubahan lain yang terjadi ialah pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan deoxyribonucleic acid (DNA), mulai memengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu pada tahap ini orang merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaaan. Pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal, padahal sebenarnya sudah mulai terjadi proses penuaan (Pangkahila, 2017a). Tetapi banyak perempuan usia muda pengguna kontrasepsi hormonal, baik pil maupun injeksi, yang mengeluh mengalami hambatan dorongan seksual ( sexual desire
34
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hormon dan Proses Penuaan · 2018-08-28 · 2.1 Hormon dan Proses Penuaan Dalam konsep Anti-Aging Medicine, salah satu penyebab penting proses penuaan ialah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hormon dan Proses Penuaan
Dalam konsep Anti-Aging Medicine, salah satu penyebab penting proses
penuaan ialah berkurangnya kadar hormon. Seperti telah diuraikan sebelumnya,
proses penuaan berlangsung melalui 3 fase, yaitu: 1) fase subklinis; 2) fase
transisi; 3) fase klinis. Fase subklinis berlangsung pada usia 25-35 tahun, fase
transisi terjadi pada usia 35-45 tahun, sedangkan fase klinis berlangsung pada usia
45 tahun ke atas. Pada fase subklinis, perubahan paling awal yang terjadi ialah
penurunan kadar hormon seks steroid, yaitu testosteron dan estrogen (Pangkahila,
2017a). Karena itulah menurunnya kadar hormon seks steroid atau kekurangan
hormon ini dapat dijadikan indikator terjadinya proses penuaan.
Selain hormon steroid seks yang mulai berkurang, padafase subklinis juga
terjadi penurunan lebih lanjut hormon melatonin dan GH. Perubahan lain yang
terjadi ialah pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan
deoxyribonucleic acid (DNA), mulai memengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya
tidak tampak dari luar. Karena itu pada tahap ini orang merasa dan tampak
normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaaan.
Pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal, padahal
sebenarnya sudah mulai terjadi proses penuaan (Pangkahila, 2017a). Tetapi
banyak perempuan usia muda pengguna kontrasepsi hormonal, baik pil maupun
injeksi, yang mengeluh mengalami hambatan dorongan seksual (sexual desire
13
disorder) (Pangkahila, 2011b). Keluhan ini sebenarnya menunjukkan telah terjadi
proses penuaan.
Pada fase transisi, kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot
berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya tenaga dan
kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini
menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya risiko penyakit jantung, pembuluh
darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan
pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi
kulit menurun, dorongan seksual dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini
orang mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal
bebas mulai merusak ekspresi genetik, yang dapat mengakibatkan penyakit,
seperti kanker, arthritis (radang sendi), berkurangnya memori, penyakit jantung
koroner, dan diabetes (Pangkahila, 2017a).
Selanjutnya, pada fase klinik penurunan kadar hormon terus berlanjut,
yang meliputi dihydroepiandrostenedione (DHEA), melatonin, GH, testosteron,
estrogen, dan juga hormon tiroid. Terjadi juga penurunan, bahkan hilangnya
kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin, dan mineral. Densitas tulang
menurun, massa otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang
mengakibatkan ketidakmampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh
dan berat badan. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai
mengalami kegagalan. Ketidakmampuan menjadi faktor utama sehingga
mengganggu aktivitas sehari-hari. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang
penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan.
14
Dengan melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu
harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Ini menunjukkan bahwa orang yang
tidak mengalami gejala atau keluhan, bukan berarti tidak mengalami proses
penuaan. Hal ini dapat menjadi pegangan bahwa untuk mengatasi proses penuaan
jangan menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata (Pangkahila,
2017a).
2.2 Hormon Testosteron
Testosteron merupakan hormon seks steroid yang merupakan produk
hormon androgen. Istilah androgen berarti hormon seks steroid yang mempunyai
efek maskulinisasi, yang terdiri dari hormon testosteron, dihidrotestosteron
(DHT), dan androstenedion. Testosteron merupakan hormon utama dan terpenting
di antara ketiganya, sedangkan DHT dan androstenedion merupakan androgen
yang lemah. Semua androgen, baik di dalam testis maupun kelenjar adrenal, dapat
dibentuk dari kolesterol atau langsung dari asetil koensim A (Guyton and Hall,
2011; Molina and Ashman, 2013).
2.2.1 Sintesis, Sekresi, dan Regulasi
Testosteron terutama disekresi dan disintesis oleh testis. Testis
memproduksi antara 5-7 mg/hari atau sekitar 95% dari total produksi pada pria
dewasa, sisanya diproduksi oleh zona retikularis korteks adrenal. Pelepasan
testosteron mempunyai ritme sirkadian (circadian rhythm) dengan kadarnya
mencapai puncak pada pukul 06.00-08.00 dan kadar terendah pada pukul 18.00-
15
20.00. Testosteron disintesis dari kolesterol. Sumber kolesterol ini bisa berasal
dari sintesis pada sel Leydig dan sirkulasi (Jones, 2008).
Pengaturan sintesis dan sekresi testosteron diatur melalui poros
hipotalamus–hipofise-testis. Hipotalamus mengeluarkan Gonadotrophin-
Releasing Hormone (GnRH) yang kemudian merangsang hipofise anterior
sehingga mengeluarkan Lutenizing Hormone (LH) dan Follicle-Stimulating
Hormone (FSH).
Selanjutnya LH merangsang sel Leydig untuk mensekresi testosteron
dengan meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan kadar
kalsium intraseluler. Bila testosteron sudah cukup dalam kadar normal, maka
testosteron akan memberikan negative feed backmechanism ke hipofise dan
hipotalamus. Akibatnya sekresi testosteron berkurang, sehingga kadarnya selalu
dalam kisaran normal.
Di pihak lain, FSH berpengaruh terhadap sel Sertoli untuk menginisiasi
dan mempertahankan prosesspermatogenesis yang menghasilkan sel spermatozoa.
Selain itu, FSH juga merangsang sintesis dan pelepasan hormon inhibin dan
activin dari sel Sertoli. Selanjutnya inhibin menimbulkan negative feed
backmechanism ke hipofisis sehingga menekan pelepasan FSH (Jones, 2008).
Dengan demikian kadar FSH juga selalu berada pada kisaran normal.
Mekanisme kerja melalui poros hipotalamus-hipofise-testis tersebut
digambarkan pada Gambar 2.1 berikut ini.
16
Gambar 2.1
Poros hipotalamus-hipofise-testis (Dikutip dari Busilloet al., 2014)
2.2.2 Testosteron pada Sirkulasi
Di dalam darah terdapat tiga fraksi testosteron. Testosteron yang terikat
pada sex hormone binding globulin (SHBG) merupakan fraksi terbesar, yaitu
sekitar 50-80%. Sekitar 20-50% testosteron terikat pada albumin, dan 1-2% yang
tidak berikatan, yang disebut testosteron bebas (free testosterone).
17
Testosteron bebas dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan mempunyai half-
life yang pendek, kira-kira 10 menit. Testosteron yang terikat pada SHBG tidak
berfungsi sama sekali karena ikatan dengan SHBG sangat kuat. Tetapi testosteron
yang terikat pada albumin dapat terlepas dan menjadi testosteron bebas ketika
tubuh memerlukan. Karena itu free testosterone dan testosteron yang terikat pada
albumin disebut bioavailable testosterone (Jones, 2008).
Androgen adalah hormon steroid C19 yang mengontrol perkembangan
normal pria dan fungsi seksual reproduksinya. Androgen utama di dalam sirkulasi
adalah testosteron. Daya kerja dan fungsi biologis testosteron dan DHT dimediasi
oleh RA yang mengatur ekspresi gen di dalam jaringan target (McEwan and
Brinkmann, 2016).
2.2.3 Metabolisme Testosteron
Testosteron dimetabolisme menjadi metabolit aktif dan inaktif. Metabolit
aktif testosteron adalah 17β-estradiol dan 5α-dihydrotestosterone (DHT).
Testosteron dikonversi menjadi 17β-estradiol oleh enzim aromatase. Enzim
aromatase mempunyai aktivitas yang tinggi pada jaringan lemak, khususnya pada
lemak viseral. Semakin besar jumlah lemak, khususnya lemak viseral, maka
produksi 17β-estradiol juga semakin besar. Tetapi aromatase juga terjadi di bagian
tubuh lain, yaitu testis, prostat, dan tulang. Testosteron juga dikonversi menjadi
DHT oleh enzim 5α-reductase.
Proporsi testosteron yang dikonversi menjadi 17β-estradiol dan DHT
tergantung kondisi setiap individu dan jenis jaringan. Sebagai contoh, produksi
18
DHT lebih tinggi pada prostat dan produksi estradiol lebih tinggi pada tulang.
Testosteron dan DHT diinaktivasi melalui reduksi, oksidasi, dan hidroksilasi oleh
liver, yang kemudian berikatan dengan asam glukoronat. Metabolit ini kemudian
akan diekskresikan oleh ginjal (Jones, 2008).
Pertumbuhan dan perkembangan organ seksual-reproduksi janin laki-laki
dipengaruhi oleh hormon testosteron khususnya testosteron yang dihasilkan oleh
sel Leydig.
Selain hormon, faktor ekstrinsik juga memengaruhi pertumbuhan dan
fungsi sel gonad. Radikal bebas merupakan faktor ekstrinsik yang dapat merusak
struktur beserta fungsi sel. Kehamilan meningkatkan stres oksidatif karena
aktivitas metabolik yang tinggi, yaitu peningkatan peroksida lipid plasenta dan
penurunan ekspresi enzim antioksidan terutama pada kondisi hemodilusi serta
transfer aktif plasenta ke janin (Strauss and Barbieri, 2014).
Kalau kekurangan hormon seks testosteron terjadi pada masa kecil atau
pada masa prenatal, dipastikan terjadi hambatan perkembangan organ genitalia,
khususnya penis dan testis. Mikropenis merupakan salah satu akibatnya. Kadar
testosteron yang rendah atau kurang saat dewasa dapat mengakibatkan disfungsi
seksual dan organ reproduksi, yaitu gangguan dorongan seksual dan disfungsi
ereksi. Perubahan patologis yang terjadi antara lain atrofi korpus kavernosum dan
atrofi testis.
Testosteron tidak hanya berfungsi pada organ seksual dan reproduksi,
melainkan juga memengaruhi perkembangan otot, massa tulang, eritropoesis,
fungsi kognitif, dan kenyamanan hidup (Strauss and Barbieri, 2014). Karena
19
itulah dalam keadaan kadar testosteron rendah atau kurang, terjadi gangguan
anatomis dan fungsi pada berbagai organ seksual reproduksi tersebut, yang identik
dengan kondisi pada usia lanjut.
Bila androgen tidak disintesis menjadi testosteron, maka pertumbuhan
organ reproduksi janin laki-laki maupun transformasi sel-sel germinal tidak dapat
berlangsung. Jadi kadar testosteron yang rendah, atau tidak berfungsi sebenarnya