7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam, seerti yang terlihat pada gambar 2.1. Telinga luar terdiri dari aurikula atau pinna dan kanalis auditori eksterna. Telinga luar ini terbentuk dari kartilago fleksibel dan tulang, yang melekat pada kulit dengan perikondrium dan perios- teumnya(Probst dkk, 2006). Gambar 2.1 Anatomi telinga (Probst dkk, 2006) Telinga tengah terdiri dari kavitas berisi udara yang dibagi menjadi kavum timpani dan sel-sel mastoid. Kavitas ini berkomunikasi dengan nasofaring melalui tuba Eustachius dan dilapisi oleh epitel respiratorik bersilia. Berbagai struktur
24
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran
Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam, seerti yang terlihat pada gambar 2.1. Telinga luar terdiri dari aurikula atau
pinna dan kanalis auditori eksterna. Telinga luar ini terbentuk dari kartilago
fleksibel dan tulang, yang melekat pada kulit dengan perikondrium dan perios-
teumnya(Probst dkk, 2006).
Gambar 2.1 Anatomi telinga (Probst dkk, 2006)
Telinga tengah terdiri dari kavitas berisi udara yang dibagi menjadi kavum
timpani dan sel-sel mastoid. Kavitas ini berkomunikasi dengan nasofaring melalui
tuba Eustachius dan dilapisi oleh epitel respiratorik bersilia. Berbagai struktur
8
penting berbatasan dengan atau meliputi telinga tengah, diantaranya adalah nervus
fasialis, arteri karotis interna, sinus venosus yang berasal dari kranium, dura, dan
telinga dalam. Kavum timpani dipisahkan dengan telinga luar oleh membran
timpani dan berisi osikel atau tulang-tulang pendengaran. Tulang-tulang pende-
ngaran ini terdiri dari maleus, inkus dan stapes (Probst dkk, 2006).
Telinga dalam terletak di pars petrosus tulang temporal dan terdiri dari
banyak duktus yang saling terhubung yang secara kolektif disebut labirin. Labirin
dibagi dua yaitu labirin membranosa dan labirin oseus. Labirin membranosa
terletak di da-lam labirin oseus yang terdiri dari organ keseimbangan dan
pendengaran. Koklea adalah struktur berbentuk rumah siput yang berisi organ
sensori pendengaran, dan pada manusia memiliki sekitar dua setengah putaran
(Norton dkk, 2010; Probst dkk, 2006).
Koklea dibagi menjadi skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala
media terletak di tengah koklea, dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran
Reissner dan dari skala timpani oleh membran basilaris. Skala vestibuli dan skala
timpani mengandung perilimfe, suatu cairan ekstraseluler dengan konsentrasi
kalium 4 mEq/L dan konsentrasi natrium 139 mEq/L. Skala media dibatasi oleh
membran Reissner, membran basilar dan lamina spiral osseus, dan dinding lateral.
Skala media berisi endolimfe, yaitu cairan intraseluler dengan konsentrasi kalium
144 mEq/L dan konsentrasi natrium 13 mEq/L. Skala media menyempit ke arah
apeks koklea, berakhir sedikit dari akhir apikal labirin tulang. Bukaan dekat apikal
berakhirnya labirin tulang, disebut helikotrema, memungkinkan hubungan antara
skala vestibuli dan skala timpani, pada manusia luasnya sekitar 0,05 mm2.
9
Membran basilaris memisahkan suara sesuai dengan frekuensi atau spektrum dan
organ Corti yang terletak di sepanjang membran basilar, mengandung sel-sel
sensorik atau sel rambut yang mengubah getaran membran basilaris menjadi
impuls saraf (Moller, 2006; Probst dkk, 2006).
Gambar 2.2. Penampang koklea (Moller, 2006).
Organ Corti terdiri dari bermacam-macam sel. Salah satunya adalah sel-sel
rambut, yang merupakan sel-sel sensorik dan berbentuk seperti kumpulan rambut
yang terletak dan tersusun berbaris di bagian atas membran basilaris. Sel-sel
rambut memiliki kumpulan stereosilia pada bagian atasnya. Sel-sel rambut terdiri
dari dua jenis utama yaitu sel-sel rambut luar dan sel-sel rambut dalam. Koklea
manusia memiliki sekitar 12.000 sel rambut luar yang teratur dalam 3-5 baris
sepanjang membran basilar, dan sekitar 3.500 sel-sel rambut dalam yang teratur
dalam satu baris. Pada setiap sel rambut luar terdapat 50-150 stereosilia yang
10
disusun dalam 3-4 baris berbentuk W atau V sedangkan pada sel-sel rambut
dalam terdapat stereosilia dalam formasi berbentuk U datar (Moller, 2006).
Stria vaskularis merupakan struktur penting yang terletak antara ruang
perilimfatik dan endolimfatik sepanjang dinding koklea. Stria vaskularis memiliki
banyak suplai darah dan sel-sel yang banyak pada mitokondria, menunjukkan
bahwa stria vaskularis terlibat dalam aktivitas metabolik. Membran basilar terdiri
dari jaringan ikat dan membentuk dasar dari skala media. Membran basiler ini
memiliki lebar sekitar 150 µM di dasar koklea dan lebar sekitar 450 µM di apeks.
Jika suara telah memasuki koklea akan terjadi kekakuan yang bergantian mulai
dari dasar menuju ke apeks. Akibat perubahan kekakuan yang bertahap ini, suara
yang sampai ke telinga membuat gelombang pada membran basilar yang bergerak
dari dasar menuju puncak koklea. Gerak gelombang berjalan ini adalah dasar
pemisahan frekuensi sebelum suara mengaktifkan sel sensorik yang terletak di
sepanjang mem-bran basilar. Analisis frekuensi pada koklea sangat kompleks,
melibatkan interaksi antara membran basilar, cairan sekitarnya dan sel sensorik
(Moller, 2006).
Terdapat tiga jenis serat saraf yang mempersarafi koklea, yaitu serat saraf
aferen pendengaran, serat eferen pendengaran atau berkas olivokoklearis dan serat
saraf otonom. Serat aferen saraf pendengaran merupakan sel bipolar, terletak di
ganglion spiralis dalam kanal tulang yang disebut Rosenthal’s canal. Saraf
pendengaran manusia memiliki sekitar 30.000 serabut saraf aferen. Dua jenis serat
aferen telah diidentifikasi, yaitu tipe I dan tipe II. Tipe I merupakan serat saraf
bermyelin, memiliki badan sel yang besar dan merupakan 95% dari serat-serat
11
saraf pendengaran. Serat aferen tipe II merupakan serat saraf tak bermyelin dan
memiliki badan sel yang kecil (Moller, 2006).
Nervus VIII terdiri dari tiga komponen yang berbeda. Ada dua saraf vestibu-
laris yaitu superior dan inferior dan saraf koklearis. Saraf-saraf tersebut bersama-
sama melalui tulang kepala di meatus auditori internal. Kanal ini juga berisi N VII
dan pasokan darah ke telinga bagian dalam yaitu arteri auditori internal. Saraf
melewati meningen menuju ke batang otak. Saraf vestibularis menuju ke nukleus
vestibularis dan saraf koklearis menuju ke nukleus koklearis (Mutton, 2006).
Proses pendengaran akan dimulai saat gelombang suara ditangkap oleh
pinna dan diarahkan oleh KAE untuk menggetarkan membran timpani.
Selanjutnya, gelombang suara akan dikonduksikan dari membran timpani
melewati tulang-tulang pendengaran menuju tingkap lonjong. Perjalanan
gelombang suara dari telinga luar menuju telinga tengah akan melewati perubahan
medium, yaitu dari udara di telinga luar menuju cairan di telinga dalam yang
memiliki perbedaan impedans. Perbedaan impedans ini akan menyebabkan
penurunan energi suara yang melaluinya. Telinga tengah berperan sebagai
impedance-matching device untuk menjaga agar tidak terjadi penurunan energi
tersebut. Proses ini diperoleh dari efek perbandingan luas membran timpani
terhadap luas footplate stapes, aksi tuas tulang-tulang pendengaran, dan bentuk
membran timpani. Bentuk membran timpani berkontribusi minor terhadap proses
impedance-matching (Lee, 2003).
Luas membran timpani sebesar 85-90 mm2 dengan area vibrasi optimal
sebesar 55 mm2
sedangkan luas footplate stapes sebesar 3,2 mm2, sehingga
12
memberikan peningkatan energi suara sebesar 17:1. Saat membran timpani
bervibrasi, tulang-tulang pendengaran akan ikut bergerak. Manubrium maleus
yang panjangnya 1,3 kali dibandingkan prosesus longus inkus akan membuat
tekanan yang diterima oleh footplate stapes lebih besar dibandingkan tekanan
yang diterima oleh maleus sebesar 1,3:1. Jika efek tuas tulang-tulang pendengaran
dan efek luas area membran timpani, telinga tengah menghasilkan peningkatan
energi suara sebesar 22 kali, yaitu kira-kira sebesar 25 dB (Lee, 2003).
Saat gelombang suara mencapai tingkap lonjong, koklea mengubah energi
mekanik suara menjadi energi hidrolik, lalu menjadi energi bioelektrik saat men-
capai sel-sel rambut. Saat footplate stapes bergerak masuk-keluar pada tingkap
lon-jong, suatu gelombang akan terbentuk dan berjalan di dalam koklea dari basal
me-nuju apeks. Gelombang tersebut akan menggerakkan membran basilaris dan
tekto-rial. Kedua membran ini memiliki perbedaan titik-titik perlekatan sehingga
perge-rakannya akan menekuk stereosilia sel-sel rambut, kemudian
mengakibatkan depo-larisasi sel-sel rambut dan menghasilkan impuls elektrik
saraf aferen (Lee, 2003).
Begitu impuls saraf terbentuk, implus ini akan berjalan sepanjang jaras
auditori dari sel ganglion spiralis di dalam koklea menuju modiolus, letak serat-
serat cabang koklearis dari nervus VIII. Serat-serat ini kemudian berjalan menuju
nukleus koklearis di batang otak secara ipsilateral, lalu menuju kompleks olivarius
superior kontralateral. Perjalanan serat-serat ini berlanjut menuju lemniskus
lateralis, kolikulus inferior dan ganglion genikulatum sebelum akhirnya mencapai
korteks auditori (Lee, 2003).
13
2.2. Pemeriksaan Fungsi Pendengaran
Pemeriksaan telinga dan fungsi pendengaran dimulai dengan anamnesis
yang meliputi riwayat gangguan pendengaran herediter, vertigo, tinitus, riwayat
penyakit telinga sebelumnya, paparan bising dan obat ototosik. Pemeriksaan
dilanjutkan dengan inspeksi menyeluruh daun telinga dan sekitarnya serta
pemeriksaan otos-kopi untuk memeriksa liang telinga dan membran timpani.
Pemeriksaan hidung dan tenggorok juga dilaksanakan (Probst dkk, 2006).
Evaluasi fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan beberapa cara, mulai
dari pengukuran sederhana sampai pengukuran dengan alat khusus. Contoh alat
pengukuran sederhana atau kualitatif adalah garpu tala, sedangkan pengukuran
kuantitatif dapat dilakukan dengan audiometri nada murni, Oto Acoustic Emission
atau OAE, Auditory Brainstem Response atau ABR dan Auditory Steady State
Response atau ASSR (Probst dkk, 2006).
2.2.1. Audiometri Nada Murni
Audiometri nada murni merupakan pengukuran fungsi pendengaran pada
berbagai frekuensi. Pemeriksaan ini dilaksanakan memakai audiometer dalam
ruang kedap suara dan dapat digunakan untuk memeriksa seluruh sistem
auditorius mulai dari telinga luar hingga korteks auditorius (Sweetow dan Bold,
2004).
Ambang dengar diukur pada konduksi udara dan konduksi tulang. Saat
mengukur konduksi udara, stimulus nada murni yang berbeda-beda
14
ditransmisikan melalui earphone. Ambang konduksi udara menggambarkan
mekanisme integritas auditorius perifer. Sedangkan pengukuran konduksi tulang,
sinyal ditransmisikan melalui getaran tulang yang biasanya diletakkan pada
prominensia mastoid. Nada murni akan merangsang koklea setelah melewati liang
telinga dan telinga tengah. Hasil audiometri berupa audiogram dalam bentuk
grafik yang menggambarkan am-bang pendengaran dalam berbagai frekuensi
(Bess dan Humes, 2008). Satuan stimulus diberikan dalam satuan desibel hearing
level (dBHL). Rerata ambang de-ngar frekuensi bicara yang umum digunakan
didapatkan dari rerata frekuensi 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz. Selanjutnya
berdasarkan ambang dengar ini gangguan pendengaran dapat dikategorikan
menjadi tidak ada gangguan atau normal (<25 dBHL), derajat ringan (26-40
dBHL), derajat sedang (41-60 dBHL), derajat berat (61-80 dBHL), dan profound
(>81 dBHL) (Mathers dkk, 2000).
2.3. Fungsi ginjal
Fungsi ginjal secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu fungsi
ekskretorik dan fungsi metabolik. Sebagai organ ekskretorik, ginjal berfungsi
mengekskresikan sisa metabolisme protein (ureum, kalium, fosfat, sulfur
anorganik dan asam urat), regulasi volume cairan tubuh melalui aktivitas hormon
anti-diuretik (ADH) yang akan mempengaruhi volume urin yang akan dikeluarkan
tubuh, dan menjaga keseimbangan asam dan basa (Hall, 2015; Pranawa dkk,
2007).
15
Sebagai fungsi metabolik ginjal memiliki tiga fungsi, yaitu berpartisipasi
dalam eritropoesis yaitu sebagai penghasil eritropoetin yang dibutuhkan dalam
pembentukan sel darah merah, ikut mengatur tekanan darah dengan menghasilkan
renin yang merangsang pembentukan angiotensinogen, dan menjaga
keseimbangan kalsium dan fosfor dengan berperan dalam metabolisme vitamin D.
Selain itu, ginjal juga berperan dalam metabolisme beberapa hormon, diantaranya
hormon paratiroid atau PTH (Hall, 2015; Pranawa dkk, 2007).
2.4. Penyakit ginjal kronik
Penyakit ginjal kronik atau PGK didefinisikan sebagai abnormalitas struktur
atau fungsi ginjal yang muncul lebih dari tiga bulan dan berdampak pada
kesehatan. Berdasarkan penyebabnya, PGK dikelompokkan menjadi tiga
kelompok besar, yaitu penyakit ginjal diabetik, penyakit ginjal non diabetik dan
penyakit pada transplantasi (Bargman dan Skorecki, 2015; KDIGO, 2013).
Kriteria diagnosis PGK adalah jika terdapat penanda kerusakan ginjal dan/
atau penurunan glomerular filtration rate/ GFR (<60 ml/menit/1,73m2) yang telah
berlangsung tiga bulan atau lebih. Penanda-penanda kerusakan ginjal adalah
albuminuria, abnormalitas sedimen urin, elektrolit, dan abnormalitas lain akibat
gangguan tubulus, abnormalitas struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan
radiologi, abnormalitas yang terdeteksi secara histopatologik, dan riwayat trans-
plantasi ginjal (KDIGO, 2013). Klasifikasi stadium PGK didasarkan atas GFR dan
dibagi menjadi lima stadium seperti yang tercantum pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Stadium penyakit ginjal kronik (Pranawa dkk, 2007)
16
GFR
mL/menit/1,73m2
Deskripsi
>90 Stadium I (kerusakan ginjal dengan GFR normal)
60-89 Stadium II (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan)
30-59 Stadium III (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang)
15-29 Stadium IV (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat)
<15 Stadium V (kerusakan ginjal stadium akhir)
Penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, namun
secara umum dapat dibagi menjadi penyakit ginjal diabetik, hipertensi, penyakit
vaskular, penyakit glomerular primer maupun sekunder, penyakit ginjal kistik,
penyakit tubulointersisial, disfungsi atau obstruksi saluran kemih, batu ginjal,
kelainan kongenital, dan cidera ginjal akut yang tidak teratasi (Bargman dan
Skorecki, 2015; Pranawa dkk, 2007).
Penyakit ginjal kronik pada stadium 1 dan 2 umumnya tidak menimbulkan
gejala apapun dari penurunan GFR. Jika GFR telah menurun dan pasien
memasuki stadium 3 dan 4, komplikasi PGK akan terlihat lebih jelas baik secara
klinik maupun laboratorik (Bargman dan Skorecki, 2015; Pranawa dkk, 2007).
End-stage renal disease atau ESRD merupakan tahap akhir PGK yang ditandai
dengan akumulasi toksin, cairan dan elektrolit yang normalnya diekskresikan oleh
ginjal sehingga menimbulkan sindrom uremia. Kondisi ini dapat menyebabkan
kematian kecuali toksin tersebut diekskresikan melalui terapi pengganti ginjal,
baik melalui dialisis maupun transplantasi ginjal (Bargman dan Skorecki, 2015).
Gejala penyakit ginjal kronik akan ditunjukkan oleh semua organ, namun
yang umum ditemukan adalah kelelahan, mual, muntah, penurunan nafsu makan
dan berat badan, kulit pucat, rapuh dan gatal, sering kencing, dan haus. Gejala lain
17
berupa edema pada tungkai atau seluruh tubuh, perdarahan cenderung sulit ber-
henti, penurunan libido, dan sesak nafas. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
peningkatan fungsi ginjal, anemia, intoleransi glukosa, hiperlipidemia, penurunan
estrogen dan testoteron, abnormalitas kalsium, fosfor dan hormon yang mengatur
mineral, serta abnormalitas homeostasis sodium, potasium, air, dan asam-basa