13 BAB II GEREJA DALAM KONTEKS KEMISKINAN, ALIENASI DAN PEMBEBASAN I. Pendahuluan Salah satu wujud konkret dari gereja, adalah agama Kristen Protestan, Kristen Katolik maupun dedominasi lainnya. Secara umum, gereja selalu dipandang sebagai gedung yang dimaknai sakral, karena di dalamnya manusia (umat) bertemu dengan Tuhan dalam akta berjemaat maupun meditasi personal. Gedung gereja mempertemukan orang-orang percaya yang datang bersekutu. Pandangan umum dalam masyarakat, bahwa berkumpul dan bersekutu dalam gedung gereja dapat memberikan kedamaian, kerukunan, dan mengikat tali persaudaraan antar sesama meskipun dalam hari-hari biasa ada kerenggangan di antara mereka. Selain pemahaman demikian, gereja tidak saja dipandang atau dimaknai sebagai gedungnya, tetapi gereja dimaknai sebagai orang-orang yang datang bersekutu. Pemahaman tentang gereja memberi dampak dalam kehidupan spiritual setiap orang yang membangun persekutuan di dalam gedung ibadah. Pada bab ini, penulis menguraikan secara konseptual tentang dua pemahaman yang kontras, yaitu gereja sebagai alienasi sosial dan sebagai ruang pembebasan. II. Pemahaman tentang Gereja Setiap individu memiliki pemahaman tentang gereja yang bervariasi, tergantung biografi konteks sosial dan pengalaman-pengalaman religiusnya. Tom Jacob, mengatakan, bahwa gereja adalah senasib dengan dunia, dan gereja mau berfungsi sebagai ragi dan jiwa masyarakat. 1 Dia menegaskan, bahwa gereja merupakan bagian dari dunia. Gereja tidak kelihatan secara fisik (Gedung), tetapi gereja juga sebagai orang-orang yang membangun 1 Tom Jacobs., dkk, Gereja dan Masyarakat (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 23.
22
Embed
BAB II GEREJA DALAM KONTEKS KEMISKINAN, ALIENASI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13320/2/T2_752015027_BAB II... · pengertian, yakni kemiskinan mutlak dan kemiskinan relatif.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
13
BAB II
GEREJA DALAM KONTEKS KEMISKINAN, ALIENASI DAN PEMBEBASAN
I. Pendahuluan
Salah satu wujud konkret dari gereja, adalah agama Kristen Protestan, Kristen Katolik
maupun dedominasi lainnya. Secara umum, gereja selalu dipandang sebagai gedung yang
dimaknai sakral, karena di dalamnya manusia (umat) bertemu dengan Tuhan dalam akta
berjemaat maupun meditasi personal. Gedung gereja mempertemukan orang-orang percaya
yang datang bersekutu. Pandangan umum dalam masyarakat, bahwa berkumpul dan
bersekutu dalam gedung gereja dapat memberikan kedamaian, kerukunan, dan mengikat tali
persaudaraan antar sesama meskipun dalam hari-hari biasa ada kerenggangan di antara
mereka.
Selain pemahaman demikian, gereja tidak saja dipandang atau dimaknai sebagai
gedungnya, tetapi gereja dimaknai sebagai orang-orang yang datang bersekutu. Pemahaman
tentang gereja memberi dampak dalam kehidupan spiritual setiap orang yang membangun
persekutuan di dalam gedung ibadah. Pada bab ini, penulis menguraikan secara konseptual
tentang dua pemahaman yang kontras, yaitu gereja sebagai alienasi sosial dan sebagai ruang
pembebasan.
II. Pemahaman tentang Gereja
Setiap individu memiliki pemahaman tentang gereja yang bervariasi, tergantung
biografi konteks sosial dan pengalaman-pengalaman religiusnya. Tom Jacob, mengatakan,
bahwa gereja adalah senasib dengan dunia, dan gereja mau berfungsi sebagai ragi dan jiwa
masyarakat.1 Dia menegaskan, bahwa gereja merupakan bagian dari dunia. Gereja tidak
kelihatan secara fisik (Gedung), tetapi gereja juga sebagai orang-orang yang membangun
1 Tom Jacobs., dkk, Gereja dan Masyarakat (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 23.
14
persekutuan yang bertolak dari satu nilai religiositas, serta berbagai aspek kehidupan sosial.
Gereja tidak hanya mewartakan Injil, tetapi juga berperan positif pada pembangunan
kehidupan manusia.2 Dalam konsili Vatikan II, gereja dilihat sebagai sakramen, yakni tanda
dan sarana persatuan mesra umat manusia dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia.3
Gereja sebagai sakramen, dipandang sebagai “ruang” untuk mempersatukan manusia dengan
Tuhan dan dengan sesama.
Ada beberapa teolog yang memiliki pemahaman yang serupa dengan itu. Pertama,
Karl Rahner yang melihat gereja sebagai sakramen keselamatan dunia. Artinya, gereja
memiliki fungsi dalam karya keselamatan Allah.4 Menurut Rahner gereja adalah tanda
keselamatan Allah bukan sekadar sebagai sarana. Kedua, Edward Schillebeeckx melihat
gereja sebagai tanda yang melaksanakan kesatuan atau „communio‟ seluruh umat manusia
dalam persatuannya dengan Tuhan.5 Gereja sebagai pemersatu antara Tuhan dengan
manusia, dan manusia dengan sesamanya.
Leonardo Boff, melihat fungsi gereja terhadap dunia; melalui struktural gerejawi
maka gereja dapat berfungsi dengan baik bagi dunia, yakni tidak saja tampak sebagai
sakramen yang hanya mencakup bidang sakral atau liturgis, tetapi juga di bidang yang
profan, yaitu secara konkret Injil Kritus diwartakan.6 Boff tidak hanya menekankan nilai
spiritual, tetapi bagaimana gereja bertindak secara konkret di tengah pergulatan dunia. Gerrit
Singgih menekankan hal yang sama tentang gereja, yang dia pahami sebagai tubuh Kristus.
Gereja sebagai tubuh Kristus berarti kita (umatNya) adalah bagian tubuh dan tidak pernah
bisa terlepas dari tubuh.7 Ada ikatan yang kuat antara manusia dengan Tuhan dan manusia
dengan sesamanya. Gereja sebagai tubuh Kristus merupakan tanda keselamatan Allah yang
2 Tom Jacobs., dkk, Gereja, 23.
3 Tom Jacobs., dkk, Gereja, 25.
4 Tom Jacobs., dkk, Gereja, 28.
5 Tom Jacobs., dkk, Gereja, 29.
6 Tom Jacobs., dkk, Gereja, 33.
7 Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1997), 8.
15
secara konkret perlu dinyatakan di tengah dunia. Dengan kata lain, gereja perlu hadir dalam
segala aspek kehidupan manusia, menyatu dengan dunia, dan bertindak untuk memberikan
perubahan bagi dunia. J. B. Banawiratma menyatakan, bahwa bila gereja menghayati hidup
dan tugasnya sebagai “sakramen keselamatan bagi manusia” berarti, gereja dengan perkataan
dan perbuatannya harus melibatkan diri pada penderitaan, pergulatan dan usaha pembebasan
manusia, agar dengan demikian gereja sungguh menjadi sakramen, yakni tanda yang
kelihatan dan alat yang efektif untuk pengharapan akan pembebasan sepenuhnya dan
seutuhnya bagi semua orang, terutama yang kecil dan miskin.8 Jelasnya, pemahaman tentang
gereja bervariasi dan dapat dimaknai dari berbagai aspek dan konteks. Sehubungan dengan
fokus studi ini, penulis akan mendeskripsikan gereja dilihat dalam konteks kemiskinan,
alienasi dan pembebasan. Melalui ketiga variable ini, kita terbantu untuk melihat apa dan
bagaimana fungsi kehadiran gereja di tengah dunia.
III. Kemiskinan: Beragam Konteks dan Ideologi
Kemiskinan merupakan suatu fenomena sosial yang nyata di Indonesia. Kemiskinan
sekaligus merupakan persoalan kemasyarakatan yang dihadapi setiap individu maupun
masyarakat. Fenomena kemiskinan tadi menghadirkan tantangan yang patut dijawab atau
dicarikan solusinya, baik oleh individu-individu, masyarakat, gereja, maupun institusi atau
lembaga-lembaga keagamaan. Untuk itu, terlebih dahulu perlu pengembangan konsep yang
diterima bersama tentang apa itu kemiskinan. Banawiratma melihat kemiskinan dalam dua
pengertian, yakni kemiskinan mutlak dan kemiskinan relatif.
Kemiskinan mutlak, yaitu kebutuhan-kebutuhan pokok yang primer seperti pangan,
sandang, papan, kesehatan, kerja yang wajar dan pendidikan dasar tidak terpenuhi, apalagi
kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti hak berpartisipasi, rekreasi atau lingkungan hidup
8 J. B. Banawiratma, Berteologi Sosial Lintas Ilmu; Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), 24.
16
yang menyenangkan.9 Dengan kata lain, kemiskinan multak berarti kehidupan orang-orang
yang merasakan hidup dalam kemelaratan, misalkan seperti kelaparan dan sumber daya
manusia (SDM) yang begitu rendah dikarenakan ketinggalan pendidikan. Kemiskinan relatif,
yaitu menyangkut pembagian pendapatan nasional dan perbedaan yang mencolok antara
berbagai lapisan atau kelas dalam masyarakat.10
Salah satu penyebab kemiskinan relatif
adalah karena kesenjangan klas dalam kehidupan sosial.
Ada juga pemahaman mengenai kemiskinan dilihat dari perspektif ideologi, yaitu
ideologi konservatif dan ideologi liberal. Pertama, ideologi konservatif. Ideologi ini
menjujung tinggi pengalaman mengenai struktur sosial.11
Artinya, bahwa setiap nilai yang
sudah ditetapkan dalam struktur, sangat dipegang teguh oleh kaum konservatif. Pada
umumnya, kaum konservatif memandang masalah kemiskinan sebagai kesalahan pada orang
miskin sendiri. Akibatnya mereka tidak memandang masalah kemiskinan sebagai masalah
yang serius, karena mereka merasa bahwa penyebab kemiskinan adalah orang miskin itu
sendiri.12
Kedua, Ideologi Liberal. Liberalisme memandang manusia pertama-tama sebagai
yang digerakkan oleh motivasi kepentingan ekonomi pribadi. Liberalisme mempertahankan
hak manusia untuk mencapai semaksimal mungkin cita-cita pribadinya.13
Ideologi ini
berbeda dengan ideologi sebelumnya, karena memandang penting setiap individu terutama
mereka yang terkungkung dalam kemiskinan.14
Berbeda dengan kaum konservatif, kaum
liberal memandang kemiskinan sebagai masalah yang serius, karenanya harus dipecahkan.
Kemiskinan menurut kaum liberal, dapat diselesaikan dalam struktur politik, dan ekonomi
9 Banawiratma, Berteologi Sosial, 126.
10 Banawiratma, Berteologi Sosial, 126.
11 A. Suryawasita, Analisis Sosial dalam Tulisan J. B. Banawiratma, Kemiskinan dan Pembebasan (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 16.
12 A. Suryawasita, Analisis Sosial, 17.
13 A. Suryawasita, Analisis Sosial, 18.
14 A. Suryawasita, Analisis Sosial, 18.
17
yang ada.15
Kaum liberal melihat kemiskinan sebagai persoalan serius tetapi tidak
menakutkan, karena persoalan itu dapat diatasi dari berbagai aspek. Federation of Asian
dalam dokumen I FABC mengenai pemaknaan tentang miskin:
Miskin bukan dalam nilai-nilai, kualitas ataupun potensi-potensi manusiawi.
Miskin berarti bahwa mereka dilucuti dari kemungkinan mencapai harta dan
sumber-sumber material yang mereka perlukan untuk bisa hidup secara sugguh
manusia. Dikatakan dilucuti, karena mereka hidup di bawah penindasan, yakni di
bawah struktur-struktur sosial, ekonomis, dan politis yang dalam dirinya sudah
mengandung ketidakadilan.16
Melalui berbagai pemahaman mengenai kemiskinan di atas, maka kembali menjadi
pertanyaan, yaitu di manakah keberadaan gereja dan seperti apakah pemahaman gereja
mengenai kemiskinan? Fenomena kemiskinan tentu merupakan salah satu tugas penting yang
juga perlu diselesaikan oleh gereja. Pertemuan pertama para uskup Asia dalam Institut untuk
kegiatan Misioner kembali menyampaikan, bahwa menjadi gereja miskin bukanlah hanya
suatu keprihatinan akan kaum miskin, gereja dalam arti sesungguhnya harus menjadi gereja
miskin.17
Fenomena kemiskinan membuat gereja hadir di tengah dunia dan tidak saja untuk
kaum miskin, tetapi bagaimana gereja juga turut merasakan “miskin.”
IV. Alienasi dalam Konteks Sosial
Alienasi berasal dari bahasa latin, yaitu alienatio. Bentuk kata kerjanya adalah
alienare (untuk menjadikan sesuatu miliki orang lain, membawa pergi, melepaskan).18
Alienasi merupakan cara seorang melepaskan barang miliknya kepada orang lain, atau
mengasingkan dirinya dari eksistensi sebelumnya. Pada akhirnya alienare diderivasi dari
15
A. Suryawasita, Analisis Sosial, 18. 16
C. Putranta, Gereja Kaum Miskin dalam Konsili Vatikan II dan Dokumen Federasi konferensi Uskup-Uskup Asia dalam Tulisan J. B. Banawiratma, Kemiskinan dan Pembebasan (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 113.
17 C. Putranta, Gereja Kaum Miskin, 115.
18 Richard Schacht, Alienasi “Pengantar Paling Komprehensif”(Yogyakarta: Jalasutra, 2005), 13.
18
alienus yang artinya milik atau berkaitan dengan pihak atau orang lain.19
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa alienasi merupakan sikap seseorang mengasingkan diri dari orang
lain (adanya kerenggangan dalam sebuah hubungan antara manusia dengan sesama, atau
manusia dengan Tuhan) dan mengalihkan kepemilikan kepada orang lain.
IV.1. Alienasi Menurut Karl Marx
Tulisan Marx tentang agama sebagai alienasi berangkat dari keprihatinannya terhadap
kehidupan ekonomi, yaitu ada kesenjangan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum
kapitalis.20
Marx hidup dalam satu masyarakat yang terpecah dalam dua kelompok, yaitu
kelompok pemegang modal dan kelompok bekerja.21
Kelompok pemegang modal adalah
mereka yang menjadi bagian dari kaum kapitalis, sedangkan kelompok pekerja adalah
mereka yang bekerja namun tidak menerima upah sebagaimana semestinya. Kelompok
pemegang modal hanya bekerja sedikit dan hanya menyiapkan mesin-mesin produksi,
sedangkan kelompok pekerja bekerja kebih banyak namun tidak menikmati hasil dari
pekerjaan itu.22
Sistem kapitalisme menciptakan klas dalam masyarakat, yakni adanya
kesenjangan antar klas.
Di tengah keadaan kesenjangan antar klas, gereja hadir secara tidak netral karena
berpihak pada satu klas tertentu, yaitu gereja lebih berpihak pada kaum kapitalis. Fenomena
sosial yang terjadi menghadirkan suatu prinsip mendasar pada diri Marx dalam kekritisannya
di tengah realitas sosial. Menurut marx, realitas ekonomi menentukan perilaku manusia, dan
sejarah manusia adalah cerita perjuangan klas, kancah konflik terus-menerus di setiap
masyarakat antara orang-orang yang memiliki benda dengan orang-orang yang harus bekerja
19
Schacht, Alienasi, 13. 20
Karl Marx, Agama sebagai Alienasi dalam Tulisan Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Qalam: Yogyakarta, 2001), 214.
21 Marx, Agama sebagai Alienasi, 218.
22 Marx, Agama sebagai Alienasi, 218.
19
untuk hidup terus.23
Realitas sosial menunjukkan, bahwa kekuasaan akan terus berpihak pada
kelompok yang memiliki harta benda, dan itu berarti yang kaya akan semakin menjadi kaya
dan yang miskin semakin melarat. Hal tersebut yang membuat Marx tertarik untuk
menyinggung persoalan ekonomi dan melihat kehadiran agama di tengah kesenjangan sosial.
Tujuan utama Marx dalam melihat hal tersebut, karena ia ingin mewakili kepentingan umum
pekerja tanpa memandang kebangsaan mereka.
Marx melihat alienasi dalam sejarah yang berjalan melalui proses konflik yang luas.24
Konflik yang berada dalam sejarah dapat melahirkan alienasi. Ketertarikan Marx pada
alienasi dalam sejarah, dipengaruhi oleh pemikiran dari George Wilhem Friederich von
Hegel. Namun satu hal yang menurut Marx tidak disinggung oleh Hegel, yaitu Hegel tidak
melihat “alienasi” di tengah kancah konflik dalam sejarah, sedangkan menurut Marx adanya
alienasi dalam realitas kehidupan material yang mendasar.25
Dalam perjalanan sejarah, Marx melihat bahwa fakta-fakta ekonomi telah menjadi
dasar kehidupan sosial. Fakta-fakta tersebut merupakan dasar yang menimbulkan pembagian
kerja, perjuangan klas, dan alienasi manusia.26
Berdasarkan ketiga dampak dari fakta
ekonomi, Marx menarik konsekuensi alienasi itu ke dalam pembahasan mengenai agama.
Munculnya konsep tentang agama sebagai alienasi dalam pemikiran Marx karena Marx
melihat peran agama bagi manusia di tengah kesenjangan sosial saat itu, dan juga dampak
ekonomi dalam realitas sosial, yakni agama membuat manusia terbuai dalam situasi yang
tidak adil. Inilah yang membuat Marx menuduh agama sebagai candu bagi masyarakat atau
melakukan alienasi masyarakat kepada nilai-nilai yang bermartabat. Salah satu upaya Marx
dalam mendefinisikan alienasi, ditulis dalam manuscriptnya,
23
Marx, Agama sebagai Alienasi, 212. 24
Marx, Agama sebagai Alienasi, 215. 25
Marx, Agama sebagai Alienasi, 222. 26 Marx, Agama sebagai Alienasi, 236.
20
Alienasi jelas dalam fakta, bahwa segala hal adalah sesuatu yang berbeda dari
dirinya sendiri, bahwa aktifitas saya adalah sesuatu yang lain dari aktifitas milik
saya, dan bahwa... suatu kekuatan yang kejam menguasai segalanya.27
Istilah alienasi yang digunakan Marx menarik perhatian banyak orang, karena ia memberi
perhatian pada sisi ‟humanis.‟ Pembahasan Marx dalam „manuscript’ berpusat pada konsep
„manusia yang teralienasi (oleh dirinya sendiri)‟ dan „pekerja‟ yang teralienasi. Marx menilai
manusia secara esensial sebagai makhluk sosial dan indrawi, yang nyata dalam individualitas,
sosialitas, dan indrawi.28
Secara individualitas, seseorang dapat dikatakan individu bila
menemukan dirinya sendiri berhadapan dengan „dunia eksternal yang indrawi‟, yang bersifat
material, yang darinya dan melaluinya, ia mampu memproduksi berbagai benda.29
Benda
yang diproduksi ialah „produk pekerja‟ dan „objektifitas pekerja‟.30
Di mana pekerjaan menjadi suatu objek, yakni mendapatkan eksistensi eksternal.
Produksi adalah „akitifitas langsung dari individualitas, dan Marx menyebut proses tersebut
sebagai suatu eksternalisasi.31
Selain bersifat individualitas, manusia secara esensial juga
bersifat sosial. Manusia dilihat dari kedua sisi, yakni secara individual maupun sosial,
dikarenakan keberadaan manusia antara individu dan sosial memiliki keterikatan yang kuat.
Ketiga hal tersebut menunjukkan, bahwa secara esensial manusia tidak hanya mewujudkan
personalitas melalui aktifitas produktif dan hidup dalam persahabatan antara satu sama lain,
tetapi juga ada sensitifitas manusiawi subjektif.32
Secara esensial manusia memiliki tiga
karakter atau sifat yang melekat dalam dirinya, yakni bersifat individu, sosial dan indrawi.
Berdasarkan ketiga sifat yang melekat dalam diri manusia, maka Marx melihat bahwa alienasi
juga terjadi dalam kehidupan manusia melalui ketiga sifat tersebut.
Teologi pembebasan merupakan suatu lompatan iman ke tempat yang lebih dalam,
yakni bagaimana memaknai sabda Allah dalam konteks konkret manusia di Amerika Latin
yang ditandai dengan kemiskinan dan penderitaan akibat dari penindasan struktural dan
ketidakadilah sistim kapitalisme.55
Untuk itu, teologi pembebasan menekankan pentingnya
gereja bagi pembebasan dari kemiskinan, dalam hal ini teologia pembebasan
memperkenalkan metodologi dalam berteologi, yaitu tidak dimulai dari refleksi tapi dari
praksis. Praksis mendahului refleksi, kemudian refleksi hadir untuk memurnikan praksis.
Artinya, yang pertama harus dikerjakan adalah tindakan-tindakan pembebasan terhadap orang
miskin dan tertindas, kemudian setelah itu dilakukan refleksi untuk mengevaluasi praksis itu
demi memerangi, mendalamikan dan mensistematisasikan praksis tersebut.56
V.1. Teologi Pembebasan Asia
Dalam konteks Asia, Aloysius Pieris melihat kereligiusan dan kemiskinan sebagai
matriks teologi Asia. Pieris menjadikan kedua hal tersebut sebagai matriks teologi Asia,
karena Asia memiliki ciri khas tersendiri, yakni adanya keberagaman agama namun tidak
terlepas dari tingkat kemiskinan yang tinggi. Bagi Pieris, upaya teologis untuk menghadapi
agama-agama Asia tanpa memberikan perhatian terhadap aspek kemiskinan di Asia atau
sebaliknya memperhatikan kemiskinan tanpa memberikan perhatian pada aspek religius,
maka hal tersebut akan menjadi sia-sia.57
Keberagaman agama di tengah konteks kemiskinan, membuat aspek religius dan
sosial perlu berjalan secara bersama-sama. Menurut Pieris, keberagaman agama di Asia
merupakan salah satu solusi bagi orang Asia untuk memberantas kemiskinan. Untuk itu,
Pieris mencoba menghadirkan konsep teologi pembebasan di Asia berdasarkan teologi Asia.
55
Ebenhaizer I. Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2015), 31.
56 Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik, 32.
57 Aloysius Pieris, An Asian Theology of Liberation, (New York: Orbis Books, 1988), 69.
28
Teologi Asia merupakan cara yang dapat dirasakan dan dilakukan bagi orang Asia di tengah
realitas.58
Pieris melihat teologi Asia sebagai pintu pembebasan bagi kemiskinan di Asia.
Dalam konteks Indonesia, A. A Yewangoe melihat kehadiran gereja di era reformasi.
Maksud melihat gereja di era reformasi, yaitu gereja sebagai jalan pembebasan di tengah
pergumulan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Gereja reformasi berarti gereja yang
memberikan perubahan dengan menjadikan Yesus Kritus sebagai teladan karena Yesus
adalah pembebas.59
Menurut Yewangoe, gereja hadir seturut amanat Tuhan Gereja, yakni
Yesus Kristus, untuk meneruskan kabar baik tentang pembebasan dan tidak diharapkan untuk
menjadi gereja yang pasif, atau bahkan bertentangan dengan pembebasan.60
Sebaliknya
gereja harus menjadi pelopor untuk memperbaharui masyarakat, yakni gereja mesti menajdi
reformator.61
Perjalanan kehidupan gerejawi diharapkan berjalan secara seimbang, yakni tidak saja
memfokuskan diri dalam bidang religius, tetapi juga mencapai perubahan-perubahan sosial
yang adalah pergumulan bersama. Gereja secara konkret hadir di dunia patut
memperjuangkan pembebasan di tengah realitas sosial. Kehidupan bergereja tidak saja
sebatas kegiatan gerejawi, dan cara berteologi gereja tidak sekadar teologi kuno, namun perlu
adanya perubahan dalam berteologi, yakni teologi pembebasan. Gereja hadir di tengah ironi,
mengambil bagian di dalamnya, dan bersama-sama dengan kaum tertindas memperjuangn
pembebasan itu.
58
Pieris, An Asian Theology of Liberation, 85. 59
A. A. Yewangoe, Gereja di Era Reformasi dalam tulisan Victor Silaen, Gereja dan Reformasi; Pembaruan Gereja menuju Indonesia Baru (Jakarta: Yakoma-PGI, 1999), 27.
60 A. A. Yewangoe, Gereja di Era Reformasi, 27.
61 A. A. Yewangoe, Gereja di Era Reformasi, 27.
29
V.2. Gereja Sebagai Jalan Pembebasan
Kehadiran gereja di tengah dunia seringkali dianggap sebagai Kerajaam Allah bagi
dunia. Pemahaman ini memberi dampak besar dalam kehidupan spiritual umat manusia.
Widyatmadja mengatakan, bahwa pewartaan tentang kedatangan pemerintahan (Kerajaam)
Allah yang dilakukan Yesus bukanlah sekadar pewartaan agama, tetapi juga suatu proklamasi
yang menyentuh segala aspek kehidupan manusia.62
Dengan kata lain, Widyatmadja
memberikan catatan kritis bagi gereja yang berada di tengah dunia dengan berbagai aspek
kehidupan dan ironi yang ada.
Gereja sebagai utusan Allah bagi dunia, dan gereja identik dengan hadirnya Kerajaam
Allah. Hal tersebut berarti, gereja hadir tidak saja untuk menikmati zona nyaman dan ada
dalam lingkup gerejawi, melainkan gereja juga memiliki peran penting dalam kehidupan di
luar gerejawi. Salah satunya, gereja hadir menjadi jalan pembebasan dalam memerangi
kemiskinan yang adalah realitas dari kehidupan manusia. Sebagai komunitas yang
melanjutkan proklamasi pembebasan Yesus, gereja menampilkan diri sebagai medan
pembebasan, dan itu berarti gereja patut melepaskan diri dari keterikatan dengan tatanan
sosial yang tidak adil dan mencari struktur gerejani baru yang menjadi tempat pembebasan
bagi manusia.63
Perspektif aksi mendahului refleksi yang ditawarkan oleh teologia pembebasan
menjadi penting untuk diperhatikan gereja kalau gereja mau menjadi jalan pembebasan,
sehingga tidak cukup hanya berwacana dan berkhotbah tetapi juga bertindak secara doktrin.
Gereja dapat memanfaatkan semua simbol, fasilitas dan media yang dimiliki oleh gereja
untuk melakukan tindakan-tindakan pembebasan. Gereja hadir untuk menciptakan Kerajaam
Allah bagi dunia, berarti gereja bertindak sebagaimana kehadiran Yesus dalam memberikan
pembebasan bagi umat manusia.
62
Widyatmadja, Yesus & Wong Cilik, 12. 63 Widyatmadja, Yesus & Wong Cilik, 117.
30
Sikap Yesus sebagai teladan iman bagi gereja dalam memerangi dunia dari
ketidakadilan dan kemiskinan. Gereja menjadi jalam pembebasan berarti gereja mesti
menjadi gereja yang mendahulukan kaum miskin.64
Gereja hadir di tengah dunia tentu
berdasarkan tugas panggilan gereja yang adalah landasan teologis bergereja, yakni gereja
sebagai jalan pembebasan secara doktrinal dan gereja sebagai jalan pembebasan berdasarkan
aspek sosial.
V.2.1 Pembebasan Melalui Aspek Sosial
Gereja di tengah realitas dunia, itu berarti gereja diperhadapkan dengan tantangan
yang mendorong gereja untuk memberikan tindakan konkret dibalik persoalan sosial.
Banawiratma mengatakan, bahwa kemiskinan dapat membuat orang lemah, dan orang yang
lemah akan mudah tertindas, karena itu menegakkan keadilan di dunia sekarang berarti
berjuang untuk menghapuskan kemiskinan.65
Gereja sebagai jalan pembebasan dalam
memerangi kemiskinan, berarti gereja tidak dapat terlepas dari aspek sosial. Kemiskinan
merupakan fenomena sosial yang berdampak buruk dalam perkembangan hidup manusia.
Gereja hadir sebagai jalan pembebasan melalui aspek sosial, berarti pada bagian
ini gereja perlu memahami dengan jelas keberadaan dunia sosial. Gereja perlu memahami
tujuan pembebasan yang akan dilakukan dalam memberikan perubahan sosial. Ada banyak
hal dan cara yang dapat dipelajari oleh gereja dalam memperjuangkan pembebasan bagi
dunia. W. W. Rostow adalah seorang ahli ekonomi, dan dalam bidangnya Rostow mencoba
melihat masalah ekonomi secara meluas, yakni berdasarkan aspek sosiologis dalam proses
pembangunan.66
64 Widyatmadja, Yesus & Wong Cilik, 117. 65
J. B. Banawiratma, Iman, Pendidikan dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 14. 66 Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), 25.
31
Ada lima tahap pembangunan yang digunakan oleh Rostow untuk “mengukur”
serta meninjau tahap perkembangan masyarakat dalam kehidupannya. Lima tahap
pembangunan yang dimaksud oleh Rostow. Pertama, Masyarakat Tradisional; dalam tahap
ini masyarakat belum begitu menguasai ilmu pengetahuan yang ada, sehingga manusia hanya
tunduk kepada alam, dan mengikuti arus kehidupan yang ada.67
Kedua, Prakondisi untuk
Lepas Landas; pada tahap ini masyarakat sudah lebih bergerak daripada masyarakat
tradisional, namun untuk mengalami perubahan dan perkembangan tahap ini membutuhkan
dorongan dan bantuan secara eksternal.68
Artinya, untuk lepas dari kehidupan masyarakat
tradisional, maka masyarakat tidak dapat mengubah dirinya sendiri.
Ketiga, Lepas landas; pada tahap ini telah ada perkembangan lebih maju dari
tahap sebelumnya.69
Dalam tahap ini, masyarakat sudah dapat mengendalikan hambatan-
hambatan yang ada dan masyarakat sudah memiliki investasi serta tabungan. Keeempat,
Bergerak ke kedewasaan; industri berkembang dengan pesat. Untuk itu, pada tahap ini
mengalami peningkatan pesat dari tahap-tahap sebelumnya.70
Kelima, Jaman Konsumsi
masal yang tinggi; karena kenaikan pendapatan masyarakat, maka konsumsi tidak lagi
terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih
tinggi.71
Pada tahap ini nilai produksi dan konsusmi semakin tinggi, dan perkembangan
ekonomi mulai terlihat.
Pada prinsipnya, kelima tahap pembangunan yang diuraikan di atas menjadi suatu
gambaran bagi gereja untuk melihat sejauh mana perkembangan warga gereja dalam
kehidupan sosialnya. Gereja dapat meneliti dan mengetahui keberadaan warga gereja
berdasarkan kelima tahap pembangunan yang digunakan oleh Rostow. Kelima tahap
67 Budiman, Teori Pembangunan, 26. 68 Budiman, Teori Pembangunan, 26 69 Budiman, Teori Pembangunan, 27. 70
Budiman, Teori Pembangunan, 28. 71 Budiman, Teori Pembangunan, 28.
32
pembangunan dari Rostow dapat membantu gereja untuk melakukan pembebasan dalam
aspek sosial dengan lebih mudah, karena kelima tahap tersebut menolong gereja untuk
mengetahui sikap dan tindakan apa yang perlu dilakukan dalam memberikan solusi di tengah
persoalan sosial. Kalau hal ini dipahami dengan baik, yakni gedung ibadah bisa dijadikan
sebagai ruang di mana tindakan-tindakan pembebasan dibicarakan bertolak dari refleksi-
refleksi yang mendalam dan terarah.
V.2.2. Pembebasan Secara Doktrinal
Ada tiga tugas panggilan gereja yang merupakan hakikat hidup bergereja, yaitu
Koinonia (persekutuan), Diakonia (pelayanan), dan Marturia (kesaksian). Ketiga tugas
gereja ini menjadi dasar bagi gereja-gereja dalam mewujudkan kehidupan gereja yang baik,
yakni dengan harapan mendatangkan Kerajaan Allah bagi dunia. Perubahan sosial tidak saja
bisa berlangsung bila hanya melingkupi aspek sosial saja. Tidak dapat dipungkiri, bahwa
gereja hadir di tengah dunia dan memiliki peran dan pengaruh besar dalam setiap individu.
Dampak dan pengaruh tidak saja terjadi dalam kehidupan kerohanian seseorang, tetapi juga
bisa berdampak pada sikap seseorang dalam aspek kehidupan lainnya.
Adanya perubahan sosial atau terjadinya pembebasan, juga perlu dimulai dari
kesadaran setiap individu. Untuk membangun kesadaran diri, maka gereja memiliki peran di
dalamnya. Gereja memiliki ortoritas dalam memberikan doktrin atau sebuah pengajaran
kepada warga gereja, dan doktrininasi yang dilakukan oleh gereja pada umumnya secara baik
dapat diterima oleh warga gereja. Ada beberapa hal yang didefinisikan oleh Banawiratma
dalam mewujudkan perubahan sosial atau dengan kata lain pembebasan berdasarkan iman.
Pertama, Injil warta Yesus Kristus: Kerajaam Allah; beriman Kristiani berarti mengikuti
Yesus Kristus, yang menentukan hidup beriman bukanlah rumusan dan aturan, melainkan
33
pribadi Yesus.72
Pembebasan dapat terwujud dalam realitas dunia melalui gereja, bila
keimanan kepada Yesus dinyatakan dalam kehidupan setiap manusia. Dalam hal ini, Yesus
menjadi tokoh dan pemeran utama dalam tindakan perubahan sosial atau pembebasan.
Kedua, dua pradigmata perubahan sosial: Kerajaam Allah dan Anti Kerajaam Allah; misi
Yesus adalah misi religius, Ia datang dari Bapa, diutus untuk memaklumkan Kerajaam Allah.
Inti pengalaman mistik Kristiani adalah pengalaman akan misteri, rahasia penyelamatan Allah
melalui Yesus Kristus.
Oleh karena itu, orang beriman Kristiani digerakkan oleh Roh Kudus, bersatu dengan
Yesus Kristus dan hidup untuk perkara-perkara Bapa. Pengajaran dalam kehidupan bergereja
tidak sebatas membangun nilai religius manusia agar semakin rajin beribadah, menafsirkan
isi Alkitab, akan tetapi bagaimana umat manusia benar-benar memahami konsep Kerajaan
Allah bagi dunia melalui Yesus yang telah memberikan pembebasan atas dosa, kemiskinan
dan ketidakadilan. Ketiga, Kerja sama dengan kaum beriman lain; Keprihatinan manusiawi
yang dialami bersama merupakan tantangan bagi semua orang dari berbagai iman untuk
menghayati hidup beriman masing-masing.73
Keprihatinan iman tidak lain adalah reaksi iman dalam situasi konkret yang dialami,
itulah sikap eksistensial dalam hidup nyata.74
Dengan kata lain, Banawiratma
menggarisbahawi, bahwa hidup beriman itu berarti hidup secara konkret dalam memberikan
keprihatinan pada setiap aspek kehidupan manusia. Berdasarkan ketiga pokok penting yang
diuraikan di atas, maka pembebasan juga dapat dilakukan secara doktrinal. Dalam hal ini,
gereja hadir untuk memberikan transformasi paradigma bagi warga gereja, sehinga dengan
adanya transformasi tersebut akan mampu memberikan kesadaran diri bagi masyarakat
(warga gereja) demi mencapai suatu perubahan sosial.
72
Banawiratma, Iman, Pendidikan, 53. 73
Banawiratma, Iman, Pendidikan, 63. 74
Banawiratma, Iman, Pendidikan, 63.
34
VI. Kesimpulan
Sebagaimana teori alienasi dan pembebasan yang diuraikan di atas, dapat dilihat
bahwa dalam teori alienasi yang dikemukakan oleh Marx, maka adanya kekritisan yang
dilakukan oleh Marx terhadap kehadiran gereja di tengah kancah konflik. Di mana Marx
mengkritik, bahwa gereja justru ada sebagai melanggengkan kemiskinan dengan
menjanjikan sorga tanpa memberikan perhatian secara serius terhadap persoalan
kemiskinan sebagai suatu pergumulan bersama.
Hal tersebut berbeda dengan apa yang diuraikan oleh Gutierrez tentang
pembebasan. Dalam hal ini, penekanan yang diuraikan tentang pembebasan, yaitu gereja
seharunya keluar dari zona nyaman untuk membela dan memperjuangkan hak-hak orang
miskin dengan menekankan, bahwa gereja tidak hanya sekadar hadir di tengah dunia
dengan melulu memikirkan masalah tentang sorga, tetapi bagaimana gereja hadir untuk