-
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pembelajaran Praktek
Pembelajaran di SMK, yang pada hakikatnya mengacu pada
pemahaman
aplikatif dan teori yang dipelajari ke arah terapannya,
senantiasa memerlukan
pendekatan pembelajaran yang mampu membawa siswa didik ke arah
pemahaman
pragmatis akan meteri pelajarannya. Ini berarti bahwa dalam
proses pembelajaran
siswa hendaknya diarahkan untuk menemukan inti materi
pelajarannya dengan
pendekatan pembelajaran praktek. Dengan demikian kurikulum SMK
yang memuat
jenis-jenis kompetensi yang harus dikuasai siswa (peserta didik)
sebagai persiapan
mamasuki duni kerja, disusun dengan orientasi kepada
keterampilan atau keahlian
yang dibutuhkan oleh dunia usaha/dunia industri.
Orientasi isi kurikulum seperti di atas mengharuskan adanya
media dan per-
alatan belajar yang relevan dengan jenis keahlian yang ingin
dicapai. Uleh karena itu
keberadaan bengkel/laboratorium teknik di SMK menjadi suatu
keniscayaan. Pada
kenyataannya bengkel menjadi tempat belajar utama bagi peserta
didik di suatu SMK
untuk menguasai keahlian teknis tertentu.
Pasal 1 ayat 20 UU 20/2003 memberi definisi bahwa pembelajaran
adalah
proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu
lingkungan belajar. Jadi pembelajaran merupakan suatu proses
interaksi. Dari definisi tersebut terlihat adanya tiga komponen
dalam proses pembelajaran, yaitu peserta didik,
pendidik dan sumber belajar. Pembelajaran dilaksanakan mengacu
pada suatu rencana
-
12
kegiatan belajar yang didesain dan dikontruksi oleh guru
(pendidik) dengan meintegrasikan
tiga komponen itu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan melalui PP
19/2005,
pembelajaran di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) program keahlian
Teknik
Mekanik Otomotif (TMO) sebagai bagian dari pendidikan menengah
bertujuan untuk
menyiapkan siswa/tamatan:
a. Memasuki lapangan kerja serta dapat mengembangkan sikap
profesional dalam
lingkup keahlian Teknik Mesin, khususnya Teknik Mekanik Otomotif
(TMO).
b. Mampu memilih karir, mampu berkompetensi dan mampu
mengembangkan diri
dalam lingkup keahlian Teknik Mesin, khususnya Teknik Mekanik
Otomotif (TMO).
c. Menjadi tenaga kerja tingkat menengah untuk mengisi kebutuhan
dunia usaha dan
industri pada saat ini maupun masa yang akan datang dalam
lingkup keahlian Teknik
Mesin, khususnya Teknik Mekanik Otomotif (TMO).
Mengacu pada tujuan di atas, pemebelajaran di SMK harus
diformulasikan
sedemikian rupa agar dapat menjadi media pengembangan kemampuan
peserta didik
menguasai bidang keahlian teknik otomotif, mampu memilih karier
sesuai keahlianya,
dan mampu bersaing memasuki dunia kerja serta mengembangkan diri
dalam
pekerjaannya.
Pembelajaran praktek di bengkel TMO merupakan bentuk pengalaman
belajar
yang diberikan kepada siswa dengan orientasi keterampilan yang
dibutuhkan oleh
dunia usaha/dunia industri otomotif. Kegiatan praktek akan
memberikan pengalaman
belajar dan menciptakan pemahaman yang lebih kongkrit tentang
melaksanakan suatu
teori dalam sebuah kerja. Dengan demikian pembelajaran praktek
di bengkel dapat
juga diartikan sebagai suatu kegiatan memberikan latihan kerja
bagi siswa.
-
13
Pengalaman belajar ini diharapkan akan membentuk kompetensi
dengan kualifikasi
tertentu bagi diri siswa.
Kegiatan praktek berorientasi pada tugas-tugas pemasangan dan
penggunaan
alat, pengamatan, perbaikan sehingga mereka akan memperoleh
pengalaman dalam
memeriksa, merawat, memperbaiki, dam mengoperasikan alat-alat
atau mesin-mesin
yang disediakan di bengkel sekolah. Mesin-mesin dan bermacam
alat yang digunakan
di bengkel selain memiliki fungsi dan manfaat juga mengandung
bahaya (hazard)
bagi manusia maupun lingkungannya. Oleh karena itu, keberadaan
bengkel dan
penggunaannya dalam kegiatan pembelajaran praktek harus disertai
pemenuhan
prosedur keselamatan kerja.
Pendidikan berdasar kompetensi (Competency Based Eucation)
menurut suatu
kompetensi tertentu atau suatu kemampuan untuk berbuat sesuatu
yang lain
bentuknya dari kemampuan yang lebih tradisional untuk
mendemontrasikan aplikasi
dari ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan kompetensi kejuran,
Finch & Crunkilton
(1992:254) menyatakan kompetensi khusus untuk pendidikan
teknologi kejuruan
adalah competensies are thoes tasks, skills, attituds, values
and appreciations that
are demend critical to succes in life or in earning a living.
Menurut pernyataan
tersebut, bahwa kompetensi meliputi tugas, keterampilan, sikap,
nilai, apresiasi
diberikan dalam rangka keberhasilan hidup atau penghasilan hidup
yang harus
diberikan untuk pendidikan teknologi dan kejuruan selain teori
dan praktek juga perlu
ditambahkan unsur sikap dan nilai.
Menurut Nolker (1983: 119), pembelajaran praktek (praktikum)
adalah suatu
kegiatan yang memberikan keanekaragaman peluang untuk melakukan
penyelidikan
dan percobaan keterampilan. Berdasarkan pandangan ini berarti
kegiatan praktik di
-
14
bengkel tidak terbatas pada melatih peserta didik keahlian
mengoperasikan
mesin/perkakas untuk suatu produksi. Kegiatan belajar praktek
berorientasi pada
tugas-tugas seperti pemasangan dan perawatan alat, pengamatan,
perbaikan, serta
pengujian hasil pemasangan atau perbaikan, sehingga mereka akan
memperoleh
wawasan dalam praktek kerja. Materi tugas-tugas disusun secara
terstruktur mengacu
pada kompetensi standar di dalam kurikulum. Untuk mempermudah
pelaksanaannya,
materi praktik dituangkan ke dalam lembar kerja (jobsheet) atau
panduan kerja
praktek. Di dalam lembar kerja dicantumkan kompetensi yang akan
dicapai siswa
bila telah selesai melaksanakan satu unit pembelajaran praktek.
Lembar kerja
membantu peserta didik melakukan langkah-langkah kerja dengan
prosedur yang
benar. Berbagai pengalaman belajar (bekerja) yang dilakukan akan
membangun
kompetensi (keahlian) tertentu dalam dirinya.
Melalui kegitan praktek peserta didik akan mendapatkan
pengertian konkrit
hubungan antara teori dan tindakan bekerja. Kegiatan praktik
juga akan memberikan
pengalaman yang tidak diperoleh dalam teori. Sonhadji (2002)
mengatakan bahwa
karakteristik pendidikan teknik adalah menekankan ranah
psikomotorik dalam
kerangka totalitas tiga ranah pembelajaran yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotorik.
Serangkaian kegiatan praktek di bengkel teknik membangun
kompetensi keahlian
yang merupakan integrasi dari ketiga ranah tersebut. Kegiatan
praktikum merupakan
pengalaman belajar berkerja yang akan membangun sikap dan jiwa
peserta didik agar
siap terjun ke dunia kerja yang sebenarnya.
Bengkel (laboratorium teknik) merupakan salah satu sarana yang
penting di
suatu SMK khususnya pada rumpun teknologi dan industri.
Peralatan bengkel
merupakan bagian penting dari proses pembelajaran, karena dengan
bantuan peralatan
-
15
tersebut siswa menjalani pengalaman yang membangun keahliannya.
Sebagaimana
dinyatakan oleh Mukhadis (1988) bahwa peralatan (devices)
merupakan komponen
sistem pembelajaran yang memberi sumbangan terbesar terhadap
prestasi yang
dicapai pembelajar dalam pembelajaran praktek bengkel kontruksi.
Dengan demikian,
keberadaan bengkel di SMK rumpun teknologi adalah sebuah
keharusan.
Menurut Setiawan & Harun (1981: 153), bengkel yang baik
harus memenuhi
ketentuan-ketentuan tentang hal-hal berikut; (1) tata letak
bengkel; (2) pemanfaatan
alat/mesin; (3) pengaturan ruang bengkel memudahkan pelayanan
(fleksibel); (4)
jarak (space) yang cukup untuk gerak penyediaan dan pekerjaan;
(5) keteraturan dan
kebersihan bengkel; dan keselamatan dan kesehatan kerja. Sarana
praktek merupakan
hal yang penting untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran
praktek. Dalam kegiatan
praktek, sarana merupakan sumber belajar utama untuk membantu
menjelaskan
sesuatu hal sehingga informasi yang disampaikan melalui kegiatan
praktek akan
menjadi lebih jelas (Wotto, 2000:26). Sarana praktek meliputi
gedung, instalasi
sumber tenaga, instalasi bengkel, peralatan kerja dan instalasi
penunjang lainnya.
Achir (1989) menjelaskan peralatan praktek berdasarkan statusnya
dapat
dibedakan ke dalam; (1) alat peralatan yang harus ditangani oleh
satu orang (single
work station); dan (2) alat peralatan yang harus ditangani lebih
satu orang (group
work station). Sedangkan menurut jenisnya peralatan praktek
diklasifikasikan menjadi
tiga macam yaitu; (1) alat peralatan utama; (2) kelengkapan
standar; dan (3)
kelengkapan tambahan.
Perencanaan tata letak bengkel praktek harus dijabarkan dari
konsep
pedagogik (Nolker, 1983:191). Hal ini berarti bentuk dan ukuran
ruang bengkel,
jumlah dan jenis alat, serta media ditentukan berdasarkan
kebutuhan pembelajaran.
-
16
Keterampilan dan kemampuan yang hendak diajarkan menentukan
wujud
perlengkapan ruang dengan mesin-mesin dan peralatan. Semakin
banyak peserta
didik, semakin banyak pula jumlah ruang pengajaran dan latihan
praktek yang
diperlakukan. Dan semakin banyak ruangan, semakin terperinci
pula perencanaan
yang dapat dilakukan menyangkut perlengkapan yang diperlukan.
Ukuran masing-
masing ruangan tergantung dari jenis kegunaannya, begitu pula
dari jumlah siswa
yang harus diajar/dilatih secara serempak di tempat tersebut.
Dengan demikian, faktor
kalkulasi yang perlu diketahui adalah luas tempat yang
diperlukan untuk tiap-tiap
siswa. Tidak ada data pasti yang didukung oleh riset mengenai
nilai-nilai tersebut.
Tetapi dapat dikemukakan nilai-nilai taksiran, yang walau
terpengaruh fluktuasi yang
agak besar, namun masih dapat dipakai sebagai pedoman
pendekatan. Bengkel
praktek perlu dilengkapi pula dengan peralatan keselamatan dan
kesehatan kerja. Hal
tersebut untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan kerja akibat
keteledoran atau
adanya gangguan pada mesin-mesin dan peralatan kerja lain. Di
bengkel harus ada
safety box atau kotak P3K yang setiap saat diperhatikan keadaan
dan kelengkapan
isinya. Peralatan keselamatan kerja dapat berupa peralatan
pemadam kebakaran dan
peralatan anggota badan.
Berdasarkan silabus materi pembelajaran yang termuat di dalam
kurikulum
standar nasional 2004, pembelajaran praktek keahlian TMO dibagi
menjadi empat
kelompok materi berikut.
1. Pembelajaran Praktek engine (mesin), meliputi kegiatan
belajar:
a. Pemeliharaan, perbaikan dan overhaul engine dan
komponen-komponennya.
-
17
b. Pembongkaran blok engine dan penilaian komponen, perakitan
blok engine
dan kelengkapannya, pemeriksaan toleransi dan pelaksanaan
pengujian yang
sesuai.
c. Rebuild dan rekondisi komponen engine.
d. Perakitan kepala silinder, pemeriksaan toleransi dan
pelaksanaan pengujian
yang sesuai.
e. Perbaikan sistem pendingin dan komponen-komponennya.
f. Pelaksanaan perbaikan radiator.
g. Pemeliharaan dan perbaikan komponen sistem bahan bakar
bensin.
h. Pemeliharaan dan perbaikan komponen sistem injeksi bahan
bakar diesel.
i. Pemeliharaan sistem kontrol emisi dan perbaikan sistem gas
buang (knalpot)
beserta komponen-komponennya.
j. Pelaksanaan korter dan penghalusan silinder.
k. Pelaksanaan pekerjaan gerinda dan penghalusan permukaan.
2. Pembelajaran praktek power train, meliputi kegiatan
belajar:
a. Pemeliharaan, perbaikan dan overhaul unit kopling beserta
komponennya.
b. Pemeliharaan, perbaikan dan overhaul transmisi.
c. Pemeliharaan, perbaikan dan overhaul unit final
drive/gardan
d. Pemeliharaan dan perbaikan poros-poros penggerak roda.
3. Pembelajaran praktek chasis dan suspensi, meliputi kegiatan
belajar:
a. Pemeliharaan dan perbaikan sistem rem
b. Overhaul, perakitan dan pemasangan sistem rem beserta
komponennya.
c. Pemeliharaan, perbaikan, dan overhaul sistem kemudi.
d. Pemeliharaan, perbaikan, dan overhaul sistem suspensi.
-
18
e. Melepas, memasang dan menyetel roda
f. Pelaksanaan spooring dan balancing roda.
g. Pemilihan ban dan pelek untuk pemakaian khusus.
h. Pembongkaran, perbaikan pelek dan pemasangan ban
luar/dalam.
4. Pembelajaran praktek sistem kelistrikan, meliputi kegiatan
belajar:
a. Pengujian, pemeliharaan, dan penggantian baterai
b. Perbaikan instrumen dan sistem peringatan
c. Perbaikan sistem starter dan pengisian
d. Pemasangan, pengujian dan perbaikan sistem penerangan dan
wiring
e. Perbaikan sistem pengapian
f. Pemeliharaan dan perbaikan sistem penggerak kontrol
elektronik
g. Pemeliharaan dan perbaikan sistem Anti-lock Brake System
(ABS)
h. Overhaul, perbaikan, dan pemasangan komponen sistem AC
(Air
Conditioner).
B. Pelaksanaan K3
Keselamatan kerja merupakan keselamatan pekerja yang
berhubungan
peralatan, tempat kerja dan lingkungan kerja, serta cara-cara
melakukan pekerjaan.
Tujuannya adalah melindungi hak keselamatan orang yang bekerja
dan yang berada di
tempat kerja, memelihara dan menggunakan sumber produksi secara
aman dan efisien
(Daryanto, 2007). Berdasarkan tujuan itu maka prinsip
keselamatan kerja adalah
berusaha semaksimal mungkin mencegah terjadinya kecelakaan dan
terjadinya
gangguan kesehatan bagi orang di tempat kerja dan
lingkungannya.
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 (UU no.1/1970), yaitu
pada
pasal 2 ayat 2 poin p, menyatakan bahwa ruang lingkup tempat
kerja termasuk tempat
-
19
dimana dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penelitian
yang menggunakan
alat teknis. Berdasarkan pasal tersebut, secara hukum kegiatan
pendidikan dan
pelatihan di SMK sudah dalam ruang lingkup undang-undang
tersebut. Mengingat
pula bahwa misi pendidikan di SMK adalah menyiapkan tenaga kerja
dengan keahlian
tertentu yang sesuai dengan dunia kerja, maka menjadi sangat
penting untuk
mempraktekkan juga aspek-aspek keselamatan dalam pembelajaran
sebagaimana
diamanatkan oleh UU no.1/1970 tersebut.
Kegiatan belajar mengajar praktek di bengkel merupakan inti dari
aktifitas
kerja bengkel praktek. Pengalaman menunjukkan bahwa mutu
pengajaran
keterampilan sebagian besar bergantung pada pelaksanaan dan
prinsip-prinsip
pengelolaan yang efektif. Salah satu aspek penting dalam
pelaksanaan pembelajaran
dan sekaligus berkaitan erat dengan pengelolaan bengkel sebagai
satu sarana adalah
penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di bengkel sekolah mengacu
kepada
Undang-undang No.1 tahun 1970, beserta PP, Kepmen, dan berbagai
regulasi yang
diturunkan dari UU tersebut. Keselamatan kerja mencakup
keselamatan dan
keamanan pelaku (manusia), alat dan lingkungan. Untuk mencegah
terjadinya
kemungkinan kecelakaan pada waktu kegiatan di tempat kerja perlu
ditanamkan
kesadaran akan keselamatan kerja kepada semua pihak yang
terlibat dalam
pelaksanaan kegiatan di tempat kerja. Pengendalian keselamatan
kerja menggunakan
perangkat berupa Tata Tertib dan Petunjuk Keselamatan Kerja.
Ketaatan terhadap tata
tertib dan penggunaan alat yang benar akan memaksimalkan
pencegahan
kemungkinan terjadinya kecelakaan atau kerusakan peralatan.
-
20
Menurut Daryanto (2001), secara umum kecelakaan kerja disebabkan
oleh dua
hal pokok yaitu kecerobohan (kelalaian) manusia dan kondisi
tidak aman. Sementara
Dessler (1997:311) mengemukaan pendapat yang hampir sama, bahwa
alasan
mendasar terjadinya kecelakaan ada tiga hal, yaitu kondisi yang
tidak aman, perilaku
tau tindakan tidak aman, dan sesuatu (kejadian) yang bersifat
kebetulan. Kejadian
yang bersifat kebetulan merupakan penyebab kecelakaan di luar
kendali manajemen.
Kondisi tidak aman (unsafe condition) merupakan salah satu
bentuk bahaya di dalam
lingkungan kerja. Seperti yang dinyatakan oleh Winarsunu
(2008:15), bahwa bahaya
(hazard) lebih merupakan faktor kondisi lingkungan yang tidak
aman (unsafe
condition) yang dapat menimbulkan bahaya.
Dengan demikian hal utama yang harus dilakukan untuk mencegah
kecelakaan
kerja adalah bekerja secara aman (menghindari cara kerja yang
ceroboh) dan
mengatasi atau menghilangkan kondisi tidak aman di tempat kerja.
Dua hal ini
menjadi aspek utama dalam pelaksanaan K3 pada pembelajaran di
bengkel TMO.
1. Menghilangkan Kondisi tidak Aman
Mengurangi/menghilangkan kondisi tidak aman merupakan aspek
utama
dalam usaha pencegahan kecelakaan kerja. Usaha ini melibatkan
semua komponen
yang terkait dengan operasionalisasi sebuah bengkel sekolah,
yaitu pimpinan sekolah,
ketua program, pengelola bengkel, guru, dan siswa. Usaha
mengurangi atau
menghilangkan kondisi tiak aman di bengkel merupakan kegiatan
berkesinambungan
yang dilakukan terus-menerus tanpa batasan waktu sepanjang
bengkel digunakan
beraktifitas.
Pencegahan yang perlu dilakukan untuk menghindari kecelakaan
antara lain
mencakup hal-hal di bawah ini (Daryanto, 2001).
-
21
1. Peralatan yang digunakan secara umum dan frekuensi
pemakaiannya cukup tinggi,
serta peralatan yang sewaktu-waktu diperlukan segera agar
ditempatkan ditempat
yang strategis dan mudah dicapai (ember pasir, alat pemadam api,
selimut tahan
api, kotak PPPK, pelindung mata, dan sejenisnya),
2. Tidak mengunci ruang kerja pada waktu kegiatan,
3. Menyimpan bahan-bahan yang mudah terbakar di tempat yang
khusus dan aman.
Jauhkan dari nyala api, serta cahaya matahari secara
langsung,
4. Menyimpan bahan yang berbahaya atau beracun di tempat yang
terkunci,
5. Melengkapi tempat kerja dengan kran pusat untuk saluran air
dan gas,
6. Melengkapi tempat kerja dengan sakelar pusat untuk arus
tenaga listrik dan
sakelar darurat untuk pesawat/mesin yang digunakan di tempat
kerja,
7. Memastikan bahwa saluran gas, air dan listrik telah tertutup
sebelum mening-
galkan ruang kerja,
8. Pemeriksaan rutin selang-selang penghubung kran gas yang
menghubungkan
antara tabung gas,
9. Melarang siswa bermain, bergurau atau berlarian di ruang
kerja,
10. Memindahkan botol-botol besar yang berisi zat kimia dengan
disangga pada
bagian alasnya. Pemindahan dilakukan dengan menggunakan
cara-cara yang
aman.
11. Membawa atau memindahkan pipa-pipa dan kaca dengan posisi
vertikal,
12. Mengeringkan segera lantai yang basah karena zat cair,
13. Menggantikan sekering dengan ukuran amper yang sama.
Dilarang mengganti
dengan ukuran yang lebih besar, lebih-lebih mengganti dengan
cara bandrek,
14. Tidak menambah atau membuat jaringan listrik tambahan.
-
22
Dalam usaha menghilangkan/mengurangi kondisi tidak aman di
bengkel
sekolah, guru ataupun fasilitator belajar praktek memegang
posisi amat vital. Hal ini
terkait dengan fungsi guru sebagai pengelola proses belajar.
Sebagaimana dikatakan
Winkel (1989), bahwa guru sebagai pengelola proses belajar harus
mengambil
tindakan-indakan intruksional untuk menciptakan kondisi-kondisi
eksternal guna
menunjang proses belajar yang dialami siswa. Hal yang hampir
sama disampaikan
oleh Usman (2007), salah satu peran guru adalah menyediakan dan
menggunakan
media dan fasillitas untuk mencapai hasil belajar yang baik.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di bengkel sekolah mengacu
pada K3
yang diterapkan di dunia industri dan dunia usaha. Karena itu
komponen yang
mendukung pelaksanaan K3 otomotif di bengkel sekolah juga
sedapat mungkin
berorientasi pada apa yang berlaku di dunia industri. Komponen
pelaksanaan K3
otomotif di bengkel sekolah meliputi manajemen pengolaan,
pedoman penggunaan
alat atau pengoperasian perkakas (standard operational
procedures), keselamatan
kerja listrik, kerja yang berhubungan dengan bahan bakar, minyak
pelumas, dan gas,
alat pelindung diri (APD), alat pelindung mesin/perkakas, alat
pemadam api ringan
(APAR), alat pertolongan pada keadaan darurat (first aid
emergency kit), dan
ergonomi bengkel.
a. Pengelolaan Bengkel
Pengelolaan manajemen bengkel yang baik bertujuan mengatur
efektivitas dan
efisiensi bengkel dalam mencapai tujuan bengkel tersebut
(Daryanto, 2007). Tujuan
utama bengkel di sekolah adalah mendukung pencapaian tujuan
pembelajaran.
Dengan demikian keberadaan bengkel di sekolah mengacu pada
tujuan program
keahlian yang direncanakan dalam kurikulum sekolah. Aspek-aspek
yang termasuk
-
23
dalam manajemen pengelolaan antara lain pengaturan tata letak
perkakas dan per-
alatan bengkel, penciptaan kondisi area kerja, dan penerapan
berbagai peraturan yang
berkaitan dengan jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan dalam
pembejaran.
b. Tata Letak Bengkel
Pengaturan tata letak perkakas dan peralatan di dalam ruangan
bengkel sangat
penting guna menunjang fungsi bengkel secara keseluruhan. Tata
letak (lay out) yang
baik akan mempermudah intruksi karena sirkulasi orang dan barang
lancar, membantu
pekerja melaksanakan tugasnya, dan memberikan dukungan pada
keselamatan dan
kesehatan kerja (Daryanto,1982).
Tata letak ini terkait dengan proses perencaaan bengkel. Menurut
Daryanto
(1982) dalam merencanakan fasilitas dan ruangan bengkel harus
memperhatikan
faktor-faktor yang telibat dalam kegiatan bengkel, yaitu
manusia, alat dan perleng-
kapan, bahan, serta proses yang akan dijalankan. Mengingat
fungsi bengkel di sekolah
adalah melayani kebutuhan pembelajaran, maka dalam merencana
tata letak bengkel
mempertimbangkan urutan belajar sebagaimana ditetapkan dalam
kurikulum sekolah.
Mengacu pada tujuan untuk menghasilkan tamatan yang siap kerja,
maka bengkel
diatur sedemikian rupa sehingga tata ruang dan tata letak alat
menyerupai keadaan
sebenarnya di dunia industri. Hala ini bermaksud membantu
mengkondisikan siswa
agar tidak canggung ketika nanti terjun ke dunia kerja
(Daryanto, 1982).
c. Kondisi Area Kerja/Belajar Praktek
Penciptaan kondisi area kerja merupakan bagian penting dari
fungsi
manajemen pengolaan bengkel. Kondisi area kerja yang buruk,
disamping dapat
menjadi penyebab langsung terjadinya kecelakaan, juga dapat
memicu terjadinya
-
24
tindakan atau perilaku tidak aman (unsafe act). Sebagaimana
dinyatakan oleh
Winarsunu (2008), bahwa faktor utama yang mempengaruhi
terbentuknya perilaku
tidak aman adalah kondisi tempat kerja dan faktor personal.
1) Pencahayaan (Penerangan)
Penerangan di tempat kerja merupakan hal yang sangat penting,
demikian juga
di bengkel sekolah. Moeadi (1982) mengatakan bahwa penerangan
yang baik adalah
yang memungkinkan orang yang berkerja dapat melihat obyek dan
sekelilingnya
dengan jelas tanpa menimbulkan kelelahan yang melebihi batas
normalnya. Menurut
Sumamur (1980), penerangan yang baik adalah penerangan yang
memungkinkan
seorang pekerja melihat pekerjaaanya dengan teliti, cepat dan
tanpa upaya yang tidak
perlu, serta menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan.
Penerangan yang
baik juga akan memberikan suasana nyaman dan memberi kesan
menyegarkan
(Daryanto, 1982). Ditambahkan juga bahwa penerangan yang baik
ditentukan oleh
sifat-sifatnya meliputi penyebaran luminasi, pencegahan
kesilauan, arah sinar, warna,
dan panas penerangan terhadap lingkungan.
Dalam lingkup penerangan tempat kerja (bengkel), faktor penting
dalam
menciptakan penerangan yang baik adalah visibilitas dari benda.
Visibilitas
merupakan derajat keterlihatan (sifat terlihat) dari suatu
obyek. Visibilitas seseorang
terhadap suatu obyek dinyatakan sebagai perbandingan antara
ukuran benda dan
ukuran obyek terkecil yang dapat dilihat. Jika ukuran obyek
terkecil yag dapat dilihat
dinyatakan dengan Do, maka visibilitasnya adalah V= 1/Do
(Sumamur,1980).
Dijelasakan juga bahwa untuk dapat melihat dengan mudah, ukuran
perbandingan
harus minimal 2,5 Do. Tabel 2.1 menerangkan batas derajat
visibilitas yang aman
-
25
untuk berkerja. Dengan demikian ukuran benda-benda (obyek) kerja
sangat penting
untuk menjadi pertimbangan dalam menciptakan penerangan di
tempat kerja.
Penerangan yang baik merupakan hal penting dalam penciptaan
kondisi
tempat kerja yang aman. Berdasarkan hasil sejumlah penelitian di
industri menyajikan
fakta bahwa 15% sampai 25% dari kecelakaan yang terjadi
disebabkan oleh
penerangan yang kurang baik (Daryanto, 1982). Penerangan tidak
hanya memberi
kontribusi pada keselamatan kerja tetapi juga kesehatan dan
keadaan yang
menyenangkan.
Tabel 2.1 Derajat Visibilitas
Sumber: Sumamur (1980)
2) Sirkulasi Udara
Sirkulasi udara ditempat kerja berkaitan erat dengan penciptaan
iklim kerja
yang baik. Iklim kerja merupakan keadaan lingkungan kerja yang
ditentukan oleh
perpaduan antara suhu udara, kelembaban udara, kecepatan aliran
udara, dan suhu
radiasi (Santoso, 2004). Kondisi iklim kerja akan menentukan
tingkat tekanan panas
(heat stress) yang diterima tubuh manusia di tempat kerja.
Ventilasi umum merupa-
kan salah bentuk pengendalian iklim kerja di samping teknik
isolasi dan pengkon-
disian udara.
Pengendalian udara yang ke luar lingkungan kerja juga perlu
dilakukan.
Sumamur (1980) menyatakan, udara yang keluar dari dari ventilasi
bengkel ke
Perbandingan ukuran Visibilitas
2,5 dan lebih
1 2,5
Lebih kecil dari 1
Melihat dengan mudah
Perlu upaya kontinu
Tidak terlihat
-
26
lingkungan bebas harus diusahakan bersih. Untuk udara yang
mengandung pencemar
berupa gas atau uap dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu (1)
membakar bahan
tersebut, bila perlu digunakan katalisator agar terjadi
pembakaran sempurna, (2)
mencuci (scrubbing method), yaitu dengan mengalirkan udara
melalui air atau larutan
tertentu yang mampu bereaksi mengikat kotoran yang dikandung
udara. Untuk udara
yang mengandung debu atau aerosol, pemersihan dilakukan dengan
cara; (1) kamar
pengendap (settling chamber), memberi medium bagi
partikel-partikel dari udara
untuk mengendap di ruang tersebut sebelum dialirkan ke luar, (2)
perangkap
kelembaban (inertial trap), yang akan membelokkan arah aliran
udara sehingga
partikel-pertikel debu tertingal di saluran, (3) teknik cyclone,
membuat saluran udara
melingkar sehingga partikel-partikel debu melekat di dinding
saluran, (4) presipirator
dinamis, memasang semacam baling-baling sehingga
partikel-partikel terhempas dan
terkumpul di sekitar baling-baling, (5) saringan, biasanya
berupa kantung berisi
cabikan bahan kain wol, nylon, asbes, katun, sutra dan lain-lain
yang bisa menahan
debu dari udara, (6) presitipasi listrik, yaitu pengendapan debu
karena adanya
perbedaan tegangan antara dua pool.
3) Kebersihan
Bengkel yang bersih dan rapi akan mendukung pelaksanaan kerja,
memper-
mudah pelayanan dan menjamin keselamatan kerja (Maran, 2007).
Semua peralatan
dan perabot yang beradad didaerah kerja ditempatkan sesuai
dengan ketententuan
dalam kondisi bersih dan siap pakai. Kebersihan dan kerapian
(keteraturan)
penempatan fasilitas, selain demi kelancaran pekerjaan juga
untuk menghindarkan
kondisi bahaya (Daryanto, 2007). Oleh sebab itu sebagai tempat
kerja bengkel harus
-
27
terjaga kebersihan dan kerapiannya. Kebersihan tempat kerja juga
mencakup
kebersihan dan kerapian alat, perkakas, dan fasilitas kerja yang
yang ada di dalamnya.
d. Ergonomi
Ergonomi adalah hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana
mendesain
tugas-tugas agar sesuai dengan orang yang melakukannya. Ergonomi
mencakup
penyesuaian alat-alat, produk, situasi tempat kerja dengan
kemampuan dan
keterbatasan manusia (Winarsunu, 2008). Ergonomi yang merupakan
pendekatan multi
dan interdisiplin yang berupaya menserasikan alat, cara dan
lingkungan kerja terhadap
kemampuan kebolehan dan batasan tenaga kerja sehingga tercipta
kondisi kerja yang sehat,
selamat, aman, nyaman dan efisien (Sutjana, 2006); (Asfahll,
2004); Sumamur (1994).
Dalam hal ini ergonomi juga berupaya menciptakan kesehatan dan
keselamatan kerja bagi
tenaga kerja sehingga mampu meningkatkan produktivitas kerjanya.
Tujuan ergonomi dan K3
hampir sama yaitu untuk menciptakan kesehatan dan keselamatan
kerja. Oleh karena itu
ergonomi dan K3 perlu diterapkan di semua tempat kerja untuk
meningkatkan kesehatan dan
keselamatan kerja tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas
kerja tenaga kerja (Sutjana,
2006).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa ergonomi ialah penyesuaian
tugas
pekerjaan dengan kondisi tubuh manusia ialah untuk menurunkan
stress yang akan
dihadapi. Upayanya antara lain berupa menyesuaikan ukuran tempat
kerja dengan
dimensi tubuh agar tidak melelahkan, pengaturan suhu, cahaya dan
kelembaban
bertujuan agar sesuai dengan kebutuhan tubuh manusia. Penerapan
Ergonomi di
tempat kerja bertujuan agar pekerja saat bekerja selalu dalam
keadaan sehat, nyaman,
selamat, produktif dan sejahtera.
-
28
Ergonomika memberikan prinsip-prinsip penting dalam upaya
mencapai
tujuannya. Menurut Winarsunu (2008), prinsip ergonomi mencakup 2
hal pokok yaitu
prinsip fisik dan prinsip kognitif. Aspek fisik berkaitan dengan
ukuran-ukuran alat,
tugas, jarak dan ketinggian alat terhadap orang (operator).
Sedangkan aspek kognitif
berkaitan dengan kerja dari fungsi-fungsi individu terhadap
stimulus tertentu.
Berdasarkan gambaran yang dipaparkan Winarsunu (2008), penulis
mengikhtisarkan
prinsip ergonomika seperti pada tabel 2.2.
Melaui penerapan prinsip-prinsip ergonomi diharapkan memperoleh
kemung-
kinan yang lebih besar dalam mengurangi kecelakaan dan dampak
negatif dari
bekerja, mengurangi biaya, dan pada akhirnya meningkatkan
kesejahteraan.
Tabel 2.2 Prinsip Pelaksanaan Ergonomi
Prinsip Fisik Prinsip Kognitif
- Segala sesuatu harus mudah dijangkau - Berkerja pada ukuran
ketinggian yang nyamman
- Bekerja pada posisi postur yang nyaman
- Menghindari penggunaan tenaga yang berlebihan
- Memperkecil kelelahan - Mengurangi gerakan repetitif yang
berlebihan
- Memudahkan akses dan keluasan ruangan
- Memiminimalisasi kontak dengan sumber stress
- Memberi kemungkinan postur tubuh dapat bergerak dan berubah
dengan mudah
- Mengusahakan lingkungan kerja nyaman
- Mempunyai aturan baku (terstandar) - Berdasar pada stereotipe
manusia - Kesesuaian antara tindakan dan
persepsi - Informasi dipresentasikan secara
sederhana - Informasi disajikan sesuai detail yang
dibutuhkan - Pesan disajikan dengan gabar yang jelas - Satu
pesan digunakan beberapa media - Berdasarkan bentuk dengan pola
tertentu - Stimulus yang berubah-ubah (bergerak)
lebih diperhatikan - Pemberian umpan balik (feedback)
sesegera mungkin
Berdasarkan Winarsunu (2008)
-
29
e. Komunikasi Bahaya (Hazard Communication)
Pada awalnya, komunikasi bahaya (hazard communication)
diutamakan bagi
peredaran bahan-bahan kimia. Seperti dikatakan oleh Wentz
(1998:240), the intent
of hazard communication standard is to provide employers and
employees with
chemical hazard information and appropriate protective measures.
Standar yang
ditetapkan mengharuskan produsen dan importir untuk memasang
label Material
Safety Data Sheet (MSDS) pada setiap kemasan bahan kimia yang
didistribusikan
(Asfhal, 2004:105). Material Safety Data Sheet (MSDS) adalah
suatu informasi bahan
kimia yang berisi penjelasan tentang sifat fisik dan kimia,
bahaya yang dikandung,
batas penggunaan, cara penanganan yang aman, dan tindakan
pertolongan pertama.
Dalam perkembangannya, penerapan komunikasi bahaya meluas
meliputi
tidak hanya bahan (material) melainkan juga peralatan dan area
kerja. Komunikasi
bahaya adalah cara untuk menunjukkan bahwa suatu benda atau area
mengandung
bahaya tertentu (Kustono dkk, 2007). Cara pelaksanaan komunikasi
bahaya terdiri
atas (1) lisan, dengan cara pemberitahuan ataupun memalui
pelatihan; (2) tulisan,
berupa Lembar Data keselamatan Bahan (LDKB/ MSDS), brosur dan
poster; (3)
visual yaitu berupa label, tanda, dan rambu. Petunjuk adanya
suatu jenis bahaya
diharapkan setiap orang yang berada di area kerja atau yang akan
melakukan
pekerjaan dapat mengantisipasi dengan langkah pencegahan,
misalnya penggunaan
alat pelindung diri.
2. Bekerja Secara aman
Seringkali kecelakaan bersumber pada manusia (pekerja) yang
melakukan
pekerjaannya dengan cara yang tidak aman atau bekerja dengan
cara ceroboh.
Menurut Santoso (2004: 11), antara 80% sampai 85% kecelakaan
disebabkan oleh
-
30
faktor manusia. Khan dkk. (2005) yang mengukutip laporan Webber
dan Wallin
menyatakan bahwa dari 156 kasus kecelakaan kerja selama kurun
waktu 3 tahun
disebabkan oleh 91% tindakan tidak aman (unsafe act) dan hanya
7% karena kondisi
tidak aman. Beberapa contoh tindakan tidak aman dalam bekerja
yang diidentifikasi
oleh Dessler (1997) antara lain:
a. Menempatkan/membuang bahan-bahan tidak pada tempatnya,
b. melakukan pekerjaan dalam kecepatan yang terlalu lambat atau
terlalu cepat,
c. mengubah atau melepas peralatan keselamatan sehingga alat
tersebut tidak
berfungsi,
d. menggunakan peralatan secara tidak benar (tidak sesuai dengan
peruntukanya),
e. Melakukan pekerjaan dengan prosedur yang salah,
f. Mengambil posisi yang tidak benar terhadap alat, perkakas,
atau obyek kerjanya,
g. Pikiran yang kacau, emosi yang terganggu.
Selain beberapa indikasi tersebut, Daryanto (2001) menambahkan
bahwa perilaku
bercanda (bekerja sambil bersendau gurau) juga merupakan
tindakan yang membaha-
yakan di bengkel kerja teknik otomotif.
Tindakan tidak aman secara umum disebabkan oleh tiga hal
(Daryanto, 1988),
yaitu sikap tidak peduli atau masa bodoh, tidak tahu, dan tidak
sanggup. Sikap tidak
peduli ditunjukkan dengan tidak adanya atau kurang perhatian
yang cukup terhadap
pekerjaan atau tugasnya. Orang yang tidak tahu dikarenakan tidak
mempunyai
pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk bekerja secara aman.
Pekerja dapat
disebut tidak sanggup bila tidak mempunyai kemampuan fisik dan
mental untuk
melakukan pekerjaan secara aman.
-
31
Dengan memahami cara-cara bekerja yang tidak aman diharapkan
dapat
dikembangkan dan dibiasakan untuk menjalankan pekerjaan dengan
cara-cara yang
aman. Berorientasi pada kebutuhan indutri, Dessler (1998)
seorang ahli manajemen
sumber daya manusia menyarankan beberapa cara untuk menngurangi
tindakan aman
(unsafe act) yaitu melalui (1) seleksi dan penempatan, (2)
melakukan propaganda cara
kerja (prilaku kerja) yang aman, memberikan dorongan positif,
melakukan pelatihan,
dan (3) membangun komitmen yang baik di tingkat manajemen
tentang budaya kerja
aman/selamat. Hal kedua dan ketiga berkaitan langsung dengan
fungsi pembelajaran
di SMK Teknologi khususnya pada pembelajaran praktek di bengkel
sekolah.
Mengingat tujuan SMK adalah menghasilkan tenaga dengan
kompetensi tententu,
maka membangun pemahaman dan kesadaran siswa tentang keselamatan
dan
kesehatan kerja haruslah mendapat tempat yang utama seiring
proses pembekalan
berbagai keahlian pada siswa. Guru harus mampu menjalankan peran
sebagai pemberi
dorongan dan pembangun konmitmen pada diri siswa untuk
membiasakan cara-cara
kerja yang aman.
C. Pemahaman Guru tentang K3 pada Pembelajaran TMO
Menurut kamus, kata pemahaman berasal dari kata dasar paham
yang
berarti mengetahui atau mengerti akan sesuatu, tahu benar,
mengerti secara benar.
Sedangkan Djaali (2007) yang mengutip taksonomi Bloom memberi
definisi,
pemahaman (comprehension) adalah kemampuan untuk meginterpretasi
atau
mengulang informasi dengan menggunakan bahasa sendiri. Dalam
tahapan belajar
taksonomi Bloom, pemahaman berada pada level di atas pengetahuan
(knowledge),
yaitu kemampuan untuk mengafal, mengingat, mengulang informasi
yang telah
diterima. Berdasarkan pengertian di atas, pemahaman guru tentang
K3 di bengkel
-
32
otomotif sekolah dapat diartikan sebagai kemampuan guru
mengetahui, mengingat,
dan mengintepretasikan secara benar unsur-unsur K3 di dalam
pelaksanaan
pembelajaran praktek di bengkel otomotif SMK untuk Program
Keahlian Teknik
Mekanik Otomotif.
Pemahaman guru mata diklat produktif di SMK tentang K3 merupakan
bagian
penting dalam pelaksanaan tugas profesinya. Sebagaimana
dikatakan oleh Usman
(2007:7) tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar,
dan melatih.
Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup.
Mengajar adalah
meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Melatih berarti
mengembangkan ketrampilan (skill) siswa. Tiga tugas profesi
tersebut menjadi satu
kesatuan dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Dengan
kemampuan
menginterpretasi terhadap K3 diharapkan guru dapat
mengaplikasikan unsur-unsur K3
dalam merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses
pembelajaran, serta menilai
dan mengevaluasi hasil pembelajaran.
Dengan demikian pemahaman guru tentang K3 dapat artikan
sebagai
kemampuan guru dalam mengetahui unsur-unsur K3 dan
menginteprestasi
pengetahuan itu ke dalam pembelajaran Teknik Mekanik
otomotif.
Berdasarkan tentang komponen K3 di dalam pelaksanaan
pembelajaran
praktek sebagaimana telah diuraikan di atas, Pemahaman guru
mengenai unsur-unsur
K3 juga dikonsentrasikan pada dua aspek utama yaitu
mengurangi/menghilangkan
kondisi tidak aman dan bekerja secara aman. Pemahaman guru
tentang dua aspek
dijabarkan sebagai berikut.
1. Aspek mengurangi/menghilangkan kondisi tidak aman, mencakup
pemahaman
guru tentang:
-
33
a. Peraturan-peraturan (regulasi) Keselamatan dan Kesehatan
Kerja yang
berlaku,
b. Prinsip dan tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
c. Kondisi bahaya/potensi bahaya dari suatu alat dan bahan di
tempat kerja,
d. Faktor ergonomi yang baik dari suatu area kerja,
alat/perkakas kerja,
e. Pengaturan kondisi tempat kerja yang aman.
2. Aspek bekerja secara aman, pemahaman guru meliputi:
a. Mengetahui prosedur penggunaan alat/perkakas kerja yang
benar,
b. Jenis, fungsi, dan cara pemakaian alat-alat pelindung
diri,
c. Penggunaan tanda-tanda petunjuk/peringatan pada tempat kerja
dan
alat/perkakas kerja untuk keselamatan.
d. Penggunaan alat pengaman (pelindung) pada mesin.
D. Sikap Guru terhadap K3
1. Pengertian Sikap
Sikap guru di sini adalah meliputi sikap seorang guru secara
individu yang
berkaitan dengan pelaksanaan K3 di dalam pembelajaran praktek.
Sikap guru
dipahami penulis dari dua sudut pandang, yaitu guru sebagai
pribadi dan sebagai
pengemban profesi.
Banyak kajian dilakukan untuk merumuskan pengertian sikap,
proses
terbentuknya sikap, maupun proses perubahannya. Berdasarkan
berbagai definisi
tentang sikap, Azwar (1995) mengelompokkan pengertian sikap ke
dalam tiga
kerangka berfikir. Pertama, pemikiran yang menyatakan sikap
adalah suatu bentuk
evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap terhadap suatu objek adalah
perasaan mendukung
atau memihak (favorable) dan perasaan tidak mendukung atau tidak
memihak
-
34
(unfavorable) pada objek tersebut. Pemikiran ini dimotori oleh
para ahli psikologi
diantaranya Louis Thurstone, Rensis Linkert, dan Charles Osgoon.
Kedua, sikap
merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek
dengan cara-cara
tertentu. Definisi yang lebih jelas dikatakan, sikap sebagai
suatu pola perilaku,
tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk
menyesuaikan diri dalam situasi
sosial. Dengan kata lain, sikap adalah respon terhadap stimuli
sosial yang telah
dikondisikan. Ketiga, pemikiran yang berorientasi pada skema
triadik (triadic
scheme). Menurut kerangka pikiran ini, sikap adalah konstelasi
komponen-komponen
kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam
memahami, merasakan,
dan berperilaku terhadap suatu objek. Pada perkembangan
selanjutnya, pemikiran ini
oleh para ahli disebut sebagai pendekatan tricomponent.
Lebih singkat dan jelas, definisi diberikan oleh Calhoun dan
Acocella
(1995:315) bahwa sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan
yang melekat
tentang objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak
terhadap objek tersebut
dengan cara tertentu. Dari definisi tersebut terlihat adanya
tiga komponen di dalam
sikap yaitu keyakinan (kognitif), perasaan (emosi), dan perilaku
(tindakan).
Sejalan dengan pemikiran yang ketiga di atas, Azjen dalam
Winarsunu (2008),
menyatakan bahwa respon sikap dapat diklasifikasikan menjadi 3,
yaitu kognitif,
afektif, dan konatif. Respon kognitif ialah respon yang
menggambarkan persepsi dan
informasi tentang suatu objek sikap. Respon afeksi merupakan
respon yang
menggambarkan penilaian dan perasaan terhadap objek sikap.
Respon konasi
menunjukkan kecenderungan perilaku, intensi, komitmen dan
tindakan yang
berhubungan dengan objek sikap.
-
35
Sedangkan Jalaluddin Rakhmat dalam Setiawan (2008), mengemukakan
lima
pengertian sikap, yaitu: Pertama, sikap adalah kecenderungan
bertindak,
berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide,
situasi, atau nilai.
Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk
berperilaku dengan
cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh
berupa benda, orang,
tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok. Kedua, sikap
mempunyai daya penolong
atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi
juga menentukan
apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu; menentukan
apa yang disukai,
diharapkan, dan diinginkan; mengesampingkan apa yang tidak
diinginkan, apa
yang harus dihindari. Ketiga, sikap lebih menetap. Berbagai
studi menunjukkan sikap
politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang mengalami
perubahan.
Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung
nilai
menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kelima, sikap timbul dari
pengalaman
tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena
itu sikap dapat
diperteguh atau diubah.
Dari pemahaman di atas, terdapat tiga komponen sikap, yaitu
kognitif,
afektif, dan konatif. Kognitif adalah aspek intelektual, yang
berkaitan dengan apa
yang diketahui manusia. Menurut kamus kognisi adalah proses
memperoleh
pengetahuan atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman
sendiri (Depdikbud,
1996). Afektif merupakan aspek emosional yang erat kaitannya
perasaan
seseorang terhadap suatu obyek. Sejalan dengan pengertian itu,
Aswar (1995)
menjelaskan bahwa afeksi merupakan perasaan negatif atau positif
terhadap suatu
objek. Sedangkan konasi adalah aktivitas psikis yang terarah
pada pemenuhan suatu
kebutuhan yang dapat dihayati dalam kegiatan belajar (Winkel,
2004). Penghayatan
-
36
akan kebutuhan itu dapat menimbulkan dorongan untuk bertindak
sesuatu memenuhi
kebutuhannya. Dengan kata lain, komponen konatif adalah aspek
vokasional,
yang berhubungan dengan dorongan dan kemauan bertindak.
Winkel (2004:382) memberi pengertian, sikap adalah kecenderungan
untuk
menerima atau menolak sesuatu obyek berdasarkan penilaian
terhadap obyek
tersebut. Dalam membuat keputusan guna menerima atau menolak
terhadap obyek
tertentu harus melalui penilaian yang cermat dan matang.
Keputusan untuk
menerima atau menolak hasil penilaian terhadap obyek itu sebagai
hal yang
berguna/berharga atau tidak berguna/tidak berharga.
Sikap merupakan organisasi keyakinan yang bersifat relatif
terhadap objek
atau situasi untuk merespon sesuatu secara khusus. Sebagaimana
dikemukakan oleh
Rokeach (1980:112), "An attitude is a relatively enduring
organization of beliefs
around an object or situation predisposing one to respond in
some preferential
manner". Seseorang yang bersikap terhadap sesuatu, merupakan
respon dari
keyakinan yang dimiliki baik yang disukai maupun tidak disukai
selama waktu
tertentu. Keyakinan seseorang terhadadap suatu objek tertentu
sangat menentukan
sikap dia terhadap objek tersebut.
2. Sikap Guru terhadap K3
Guru sebagai sebuah profesi memberikan konsekuensi logis kepada
individu-
individu pengemban profesi itu untuk mengembangkan sikap
profesionalnya. Sikap
profesional guru merupakan sikap yang berkaitan dengan tugas
profesi guru dalam
proses pendidikan dan pembelajaran. Soetjipto dan Kosasi (2007),
memberikan
pengertian bahwa sikap profesional guru berkaitan dengan
bagaimana pola tingkah
laku guru dalam memahami, menghayati dan mengamalkan sikap
kemampuan dan
-
37
sikap profesionalnya. Pola tingkah laku itu berhubungan dengan
sasarannya, yaitu
sikap profesional terhadap: (1) peraturan perundangan-undangan,
(2) organisasi
profesi, (3) teman sejawat, (4) anak didik, (5) tempat kerja,
(6) pemimpinnya, dan (7)
pekerjaan.
Berkaitan dengan tugas profesi guru, Undang Undang Nomor 14
Tahun 2005
(UU 14/2005) tentang Guru dan Dosen pada pasal 1 menyebutkan
bahwa guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.
Pasal 20 UU 14/2005 memberi perincian tentang kewajiban guru,
yaitu dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: (1)
merencanakan pembe-
lajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta
menilai dan meng-
evaluasi hasil pembelajaran; (2) meningkatkan dan mengembangkan
kualifikasi
akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan
perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni; (3) bertindak objektif dan
tidak diskriminatif atas
dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi
fisik tertentu, atau
latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik
dalam pembelajaran;
(4) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan
kode etik guru,
serta nilai-nilai agama dan etika; dan (5) memelihara dan
memupuk persatuan dan
kesatuan bangsa.
Sikap guru terhadap K3 merupakan sikap yang terintegrasi dalam
konteks
pelaksanaan tugas dan tanggungjawab profesi. Dengan demikian
sikap guru terhadap
unsur-unsur K3 akan tercermin di dalam pelaksanaan pembelajaran
praktek di
bengkel TMO oleh guru tersebut. Sikap tersebut merupakan respon
individu dari
-
38
seorang guru terhadap penerapan unsur-unsur K3 pada
pembelajaran. Dalam hal ini,
sikap guru dihadapkan pada objek berupa pelaksanaan K3 pada
pembelajaran
tercakup dalam dua aspek utama yaitu menghilangkan/ mengurangi
kondisi tidak
aman dan bekerja secara aman. Bertolak dari dua aspek tersebut,
dalam rangka maka
sikap guru tterhadap pelaksanaan unsur K3 terkait dengan kondisi
tempat kerja
(bengkel), kondisi peralatan bengkel, prosedur kerja, serta
peralatan keselamatan dan
alat pelindung diri.
Guru diharapkan memberi perhatian yang positif kepada tata letak
bengkel
yang ergonomis, peduli pada kebersihan tempat kerja dan
lingkungannya, peduli
pada pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik di tempat kerja.
Sedangkan
menyangkut kondisi peralatan, guru harus memperhatikan kondisi
kelayakan
alat/perkakas yang akan dipakai bekerja, memberi perhatian pada
kelayakan dan
keamanan pengkabelan listrik/ sumber tenaga untuk alat dan
perkakas otomotif yang
digunakan pembelajaran, serta perhatian pada penempatan alat dan
bahan secara
aman di tempat kerja. Sikap guru terkait dengan aspek bekerja
secara aman dapat
ditunjukkan melalui dukungannya terhadap; (1) tersedianya alat
pelindung diri untuk
jenis pekerjaan tertentu sesuai dengan prosedur standar, (2)
memerintahkan siswa
untuk memakai alat pelindung sesuai dengan jenis pekerjaanya,
(3) memastikan
adanya prosedur kerja secara aman sesuai dengan petunjuk
penggunaan
alat/perkakas, (4) memerintahkan siswa untuk bekerja sesuai
dengan prosedur yang
ditentukan/ sesuai prosedur standar, (5) mengingatkan/menegur
siswa bila lalai
terhadap faktor keselamatan selama proses belajar berlangsung,
(6) memberi
petunjuk secara jelas dan benar kepada siswa tentang cara kerja
yang aman, (7)
-
39
mendampingi dan memperhatikan proses belajar praktek yang
dilakukan siswa di
bengkel.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap guru
terhadap K3
adalah respon individu guru berupa pernyataan setuju atau tidak
setuju terhadap
pelaksanaan unsur-unsur K3 pada pembelajaran praktek di bengkel
TMO dua aspek
utama yaitu menghilangkan/mengurangi kondisi tidak aman dan
bekerja secara aman.
3. Pengukuran Sikap Guru
Bertolak dari pengertian sikap yang telah diuraikan di atas maka
untuk
melakukan pengukuran sikap guru terhadap K3 dengan cara mengukur
taraf kognitif,
afektif dan konatif terhadap keselamatan dan kesehatan kerja di
dalam pembelajaran
yang dilaksanakan guru (Reamer dalam Winarsunu, 2008:71).
Indikasi tinggi
rendahnya sikap terhadap keselamatan kerja dapat dilihat dari
keputusan untuk
mendukung atau tidak mendukung penerapan aspek-aspek K3 di dalam
proses
pembelajaran yang dilaksanakan guru.
Menurut Suryabrata (2002:182), sikap merupakan atribut
psikologis karena itu
hanya dapat diukur secara tidak langsung melalui respons yang
ditampilkan oleh
subjek yang dihadapkan kepada stimulus. Instrumen pengukur sikap
dikembangkan
berdasar skema pada gambar 2.1.
Perangsang Orang
Respons
Gambar 2.1. Skema pengembangan skala
(Suryabrata, 2002)
-
40
Metode pengungkapan sikap yang paling dapat diandalkan adalah
dengan
menggunakan daftar pernyataan-pernyataan yang harus dijawab oleh
individu yang
disebut sebagai skala sikap (Azwar, 1995:95). Skala sikap berupa
kumpulan
pernyataan mengenai suatu objek sikap. Respon individu terhadap
pernyataan-
pernyataan sikap yang berupa jawaban setuju atau tidak setuju
itulah yang menjadi
indikator sikap seseorang (Azwar, 1995:96).
E. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan
Kustono (2003) dalam laporan penelitiannya yang berjudul
Perserpsi Pekerja
Mekanik di Industri terhadap ungkapan Mengutamakan Keselamatan
Kerja:
Penelitian Kuantitatif di Kota serta Kabupaten Malang dan Blitar
menunjukkan fakta
adanya pemahaman yang kurang tepat terhadap ungkapan
Mengutamakan
Keselamatan Kerja. Penelitian tersebut memberikan informasi
bahwa para pekerja
mekanik di industri relatif mempunyai pengertian yang sama
terhadap ungkapan
Mengutamakan Keselamatan Kerja, yaitu sebagai tindakan
berhati-hati dalam
bekerja, tidak ceroboh, mentaati aturan, dan menggunakan alat
kerja yang sesuai.
Padahal yang benar Mengutamakan Keselamatan Kerja diartikan
sebagai
kecenderungan untuk memilih kondisi atau keadaan yang bebas dari
penyebab
terjadinya kecelakaan, luka, atau kerugian dibandingkan
kecenderungan lain. Memilih
kondisi yang aman (bebas dari penyebab kecelakaan) membawa
konsekuensi
menomor-duakan alternative tindakan yang lain (Kustono,
2003).
Adiratna dan kawan-kawan (2003) yang melakukan penelitian
tentang
pelaksanaan K3 di perusahaan dalam Wilayah Kota Yogyakarta.
Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa K3 di perushaaan-perusahaan belum
dilaksanakan sepenuhnya
dengan salah satu penyebabnya adalah tingkat pengetahuan dan
pemahaman tenaga
-
41
kerja tentang K3 masih rendah. Sedangkan penelitian Lowrence
dalam Winarsunu
(2008) menyimpulkan bahwa tipe kesalahan yang paling dominan
yang menimbulkan
kecelakaan kerja adalah kegagalan dalam memahami dan mempersepsi
peringatan
terhadap bahaya dan sikap memandang remeh bahaya
(underestimations of hazards).
Indikator lain ditunjukkan oleh Kardjani (1995) dengan hasil
penelitiannya yang
menyimpulkan adanya pengaruh signifikan antara sikap, minat,
partisipasi dengan
pengetahuan dalam pelaksanaan keselamatan kerja las bagi tenaga
kerja las di Kodya
Malang. Akbar ( 2007), meneliti pengaruh tingkat pemahaman
manajemen resiko dan
manajemen keselamatan kerja oleh manajer konstruksi terhadap
peningkatan kinerja
waktu dan biaya pelaksanaan proyek berkesimpulan bahwa dalam
pelaksanaan proyek
Konstruksi, terjadi keterkaitan (hubungan antar ilmu
pengetahuan) aspek dari
knowledge area (risk management dan Safety management), yang
harus diaplikasikan
dalam tahap Pelaksanaan Proyek, dan harus dikuasai/dipahami oleh
Manajer
Konstruksi, untuk meningkatkan kinerja proyek, dalam hal ini
adalah kinerja biaya
dan kinerja waktu.