15 BAB II KEBEBASAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM A. Kebebasan Manusia dalam Al-Qur’an Konsep kebebasan menempati ruang yang amat luas dalam sejarah manusia. Sejak dulu sampai sekarang manusia ingin merakit kebebasan dan menjadikannya sebagai perangkat “agung” untuk menyusuri perjalanannya yang melelahkan di atas bumi. Konsep kebebasan mempunyai nuansa yang berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan yang lain, dari pengertian masa ke masa berikutnya. Pemahaman atau pengertian “kebebasan” dalam suatu masyarakat atau tahapan sejarah tertentu, mustahil sama dan sebangun dengan masyarakat atau tahapan sejarah yang lain. Adalah wajar jika dikatakan bahwa pengertian “kebebasan” dari socrates tidak identik dengan pengertian plato. Demikian juga dengan pemahaman “kebebasan” orang yunani berbeda dengan orang cina. 1 Fakta inilah yang kemudian banyak melahirkan perseteruan antara masyarakat. Tapi perlu dicatat, bahwa pengertian keragaman “kebebasan” ini juga dapat dijadikan alasan untuk memperkaya dan mengembangkan konseptualisasi pengertian tentang kebebasan. Sebelum mendefinisikan makna kebebasan lebih luas, ada baiknya penulis mengartikan kata bebas. Bebas dalam kamus umum Bahasa Indonesia berarti “lepas sama sekali (tidak terlarang, terganggu dan sebagainya sehingga dapat bercakap, berbuat dengan leluasa).” 2 “Seorang yang bebas adalah yang 1 Ahmed. O. Altwajri, Islam Barat dan Kebebasan Akademis, Penerjemah Mujib, ed., . Musyafak Maimun, (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997), Cet I. Hlm 31. 2 W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm 103.
21
Embed
BAB II 3199063 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/15/jtptiain-gdl-s1... · bahwa kebebasan manusia itu tidak mutlak. Kebebasan dalam Islam itu mempunyai
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
15
BAB II
KEBEBASAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM
A. Kebebasan Manusia dalam Al-Qur’an
Konsep kebebasan menempati ruang yang amat luas dalam sejarah
manusia. Sejak dulu sampai sekarang manusia ingin merakit kebebasan dan
menjadikannya sebagai perangkat “agung” untuk menyusuri perjalanannya
yang melelahkan di atas bumi.
Konsep kebebasan mempunyai nuansa yang berbeda-beda antara
masyarakat yang satu dengan yang lain, dari pengertian masa ke masa
berikutnya. Pemahaman atau pengertian “kebebasan” dalam suatu masyarakat
atau tahapan sejarah tertentu, mustahil sama dan sebangun dengan masyarakat
atau tahapan sejarah yang lain. Adalah wajar jika dikatakan bahwa pengertian
“kebebasan” dari socrates tidak identik dengan pengertian plato. Demikian
juga dengan pemahaman “kebebasan” orang yunani berbeda dengan orang
cina.1
Fakta inilah yang kemudian banyak melahirkan perseteruan antara
masyarakat. Tapi perlu dicatat, bahwa pengertian keragaman “kebebasan” ini
juga dapat dijadikan alasan untuk memperkaya dan mengembangkan
konseptualisasi pengertian tentang kebebasan.
Sebelum mendefinisikan makna kebebasan lebih luas, ada baiknya
penulis mengartikan kata bebas. Bebas dalam kamus umum Bahasa Indonesia
berarti “lepas sama sekali (tidak terlarang, terganggu dan sebagainya sehingga
dapat bercakap, berbuat dengan leluasa).”2 “Seorang yang bebas adalah yang
1 Ahmed. O. Altwajri, Islam Barat dan Kebebasan Akademis, Penerjemah Mujib, ed., .
Musyafak Maimun, (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997), Cet I. Hlm 31.
2 W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm 103.
16
mampu menentukan dirinya sendiri dan tidak merupakan dari suatu sistem,”3
serta tidak adanya suatu paksaan atau rintangan, sementara yang dalam batas-
batas tertentu dapat melakukan atau meninggalkan apa yang diinginkan.
Para penulis arab menggunakan istilah kebebasan seperti hurriyah al
ra’yi (kebebasan berpendapat), hurriyah al qawl (kebebasan berbicara),
hurriyah al tafkir (kebebasan berfikir), hurriyah al ta’bir (kebebasan
beraskspresi atau penafiran), hurriyah al tadayun (kebebasan beragama),
hurriyah al aqidah (kebebasan berkeyakinan).4
Konsep kebebasan pada pengertian yang umum berarti kemerdekaan
atau kebebasan dari segala belenggu kebendaan dan kerohanian yang tidak
syah yang kadang-kadang di paksakan oleh manusia, tanpa alasan yang benar.
Pada kehidupan sehari-hari yang menyebabkan ia tidak sanggup menikmati
hak-haknya yang wajar dari segi sipil, agama, pemikiran, politik, sosial,
ekonomi. Di samping pengertian-pengertian umum menyeluruh, ada
pengertian-pengertian lain tehadap kebebasan yang kurang bersifat umum dan
menyeluruh di banding dengan pengertian-pengertian diatas, diantaranya yaitu
bahwa kebebasan adalah kebolehan mengerjakan segala yang tidak
membahayakan orang lain.5
Menurut Nasution dalam bukunya Maskuri Abdillah berpendapat
bahwa kebebasan manusia itu tidak mutlak. Kebebasan dalam Islam itu
mempunyai batas-batas tertentu. Misalnya kebebasan berbicara tidak boleh
mengganggu kepentingan umum, kebebasan untuk kaya tidak boleh
membahayakan kepentingan umum, sejalan dengan Nasution, Ma’arif juga
dalam bukunya Maskuri Abdillah berpendapat bahwa tidak ada kebebasan
mutlak dalam arti seseorang dapat melakukan apa saja yang dikehendaki,
3 Dick Hartoko, Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora, (Jakarta: BPK Gunung Muria, 1985), hlm 19.
4 M. Hasyim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, Alih Bahasa Efa. Y. Nu’man dan Fatiyah Basri, (Bandung: Mizan, 1996), hlm 17.
5 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan, (Bandung: Al-Ma’arif, 1995), hlm 44-45.
17
karena kebebasan dibatasi oleh kepentingan umum yang dimanifestasikan
dalam bentuk hukum, tetapi kebebasan itu menekankan untuk bereksis.6
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kebebasan
adalah sikap hidup seseorang yang terlepas dari belenggu kekerasan,
perbudakan, perkosaan, ketakutan dan ancaman dalam melaksanakan aktivitas
sehari-hari.
Dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa macam / bentuk kebebasan
manusia diantaranya :
1. Kebebasan beragama
kebebasan beragama dapat diartikan sebagai hak untuk memeluk
suatu kepercayaan dan melakukan suatu peribadatan dengan bebas tanpa
diikuti kekhawatiran. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya, maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semua.7
b. Surat Al-Baqaroh ayat 256
����:�;��!<�� �"�#��=�*&�� �"/�>���= ?��"-@=� �!����6A�B>� �8���9�Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah ada jalan yang benar dari jalan yang salah.8
6 Maskyuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna : Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi, (Yogyakarta: Tiarawacana, 1999), hlm 139.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah SWT) tataplah fitrah Allah SWT yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.(QS. Ar Rum:30). Al Zamahsari sesuai dengan teori objektifisme rasionalis
Mu’tazilah menafsirkan fitrah sebagai khilqa (watak alamiyah) dalam arti
bahwa Tuhan telah menciptakan kapasitas pada manusia untuk mengakui
ke Esaan Nya dan menerima Islam. penafsiran yang demikian menurutnya
adalah falid atas dasar bahwa ada kemiripan antara fitrah dan akal dan
kesesuaian dan fitrah dan pertimbangan logis. Dengan kata lain fitrah
adalah pertimbangan obyektif dan universal dan seperti telah diketahui
fitrah adalah kapasitas untuk menguji pilihan rasional berkenaan dengan
keyakinan, tidak diragukan lagi bahwa fitrah merupakan watak yang di
bawa sejak lahir dan kapasitas yang melekat yang memungkinkan
seseorang untuk menerima atau menolak keyakinan.10 Dalam arti
demikian, keyakinan merupakan sesuatu yang dengan bebas merupakan
urusan langsung antara Tuhan dengan manusia dan tidak dapat dipaksa.
Pengakuan terhadap kebebasan beraqidah diberikan kepada
manusia semata-mata akibat kebebasan dan kesanggupannya
mempertanggungjawabkan kebebasan tersebut.11 Bentuk umum terhadap
10 David Little, John Kelsey dan Abdul Aziz Sachedina, Kajian Lintas Kultural Islam
Barat: Kebebasan Agama dan Hak-Hak Azasi Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 90.
11 Aisyiah Bintu Syati, Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an, Alih Bahasa Ali Zawawi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm 12.
20
toleransi dan penghargaan Islam terhadap kebebasan beraqidah dan
beragama tidak cukup hanya dengan memancangkannya keseluruh ufuk
yang luas dan meninggi yang mencakup seluruh manusia, akan tetapi
Islam dengan pengakuannya terhadap kebebasan beragama, mewajibkan
kepada pemeluk-pemeluknya untuk memeluk agama, beraqidah dan
berperangai tidak hanya sekedar toleransi bersikap baik maupun
perdamaian belaka tapi juga harus bisa membentuk kepribadianyg baik
yang disadari oleh nilai-nilai agama.
Oleh karena itu manusia diberi kebebasan dan kemerdekaan serta
kepercayaan penuh untuk memilih jalannya masing-masing dan diberi
kesadaran moral untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk,
sesuai dengan hati nuraninya atas bimbingan wahyu.12
Al-Qur’an banyak membicarakan tentang kebebasan manusia
untuk menentukan sendiri perbuatannya yang bersifat ikhtiarriyah yaitu
perbuatan yang dapat dinisbatkan kepada manusia dan yang menjadi
tanggungjawabnya, karena memang ia mempunyai kemampuan untuk
melakukan atau meninggalkannya. Misalnya yang sering di sebut di dalam
Al-Qur’an menerima dan menolak ayat-ayat yang di bawa Rasul.
Sebagaimana yang tercantum dalam surat Luqman ayat 21-22, bahwa
orang yang menolak untuk mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah
SWT dan orang-orang yang menerimanya.13
2. Kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat
Dalam hal ini kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat
telah dijelaskan di dalam firman Allah SWT :
12 M. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm 32-33.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata : Ya Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati. Allah berfirman Apakah kamu belum percaya ? Ibrahim menjawab saya telah percaya akan tetapi agar bertambah tetap hati saya. Allah berfirman (kalau demikian), ambillah empat ekor burung lalu jinakkanlah burung-burung itu kapadamu, kemudian tiap-tiap seekor dari padanya atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah dia, niscaya ia kan datang kepadamu dengan segera. Dan ketahuilah bahwa Allah SWT Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.14
Dan sesungguhnya kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur’an ini dari bermacam-macam perumpamaan dan manusia adalah mahluk yang paling banyak membantah.15
Menurut pemikiran yang populer kasus pertanyaan Ibrahim itu,
biasanya bisa diterapkan dalam kerangka pikiran ilmiah, tapi tidak dapat
digunakan untuk mempertanyakan soal-soal yang telah di tetapkan agama
sebagai ketetapan hukum baku yang menuntut ketetapan adanya
ketundukan mutlak tujuan Al-Qur‘an menceritakan kisah tentang Ibrahim
agar menjadi pelajaran dan petunjuk bagi manusia sebagai bentuk nyata
14 Departeman Agama, op cit, hlm 65.
15 Ibid, hlm 452.
22
dari kebebasan itu adalah perdebatan yang benar dalam masalah
keagamaan dan berbagai masalah yang berkaitan dengannya.
Ayat-ayat Al-Quran yang berbunyi Afalaa ta’qiluun dan Afalaa
tatafakkaruun menunjukkan bahwa Al-Quran menganjurkan kepa setiap
orang untuk berfikir dan tentu saja membolehkan kebebasan berfikir,
karena hasil pemikiran antar individu itu tidak sama, namun kebebasan
berfikir dan berpendapat harus didasarkan pada tanggung jawab dan tidak
mengganggu kepentingan umum, serta tidak menciptakan permusuhan
antar manusia. Menurut Ma’arif, bahwa Islam menjamin kebebasan
berpendapat semua orang tanpa kecuali. Kebebasan ini terkait dengan
masalah-masalah umum seperti moralitas, kepentingan dan hukum.
Konsep Al-Amr bi Al-Munkar wa Al-Nahyu an Al-Munkar menunjukkan
bahwa Islam mempunyai perhatian yang sangat dalam terhadap moralitas
manusia dalam masyarakat. Membatasi kebebasan berpendapat seorang
individu dibenarkan demi menjaga kehidupan masyarakat dari
permusuhan yang disebabkan oleh kata-kata atau pembicaraan kotor.16
Pada zaman Rasulullah dan khulafaurrasyidin kebebasan berfikir
dan berpendapat sudah dijalankan dalam berbagai masalah kehidupan,
mulai dari masalah keluarga hingga masalah penyelenggaran pemerintah.
Dengan kata lain Rasulullah SAW menerapkan prinsip demokrasi. Salah
satu contoh yaitu ketika Rasulullah SAW memutuskan nasib tawanan
perang, ia berdiskusi dengan para sahabatnya. Pada saat perang uhud
Rasulullah SAW berpendapat agar kaum muslimin keluar kota
menghadapi kaum musyrik, Rasulullah SAW menyetujui dan
melaksanakan pendapat kaum muslimin tersebut.
Suatu contoh dalam Perang Parit, Nabi dan sahabatnya terkepung
dari segala penjuru oleh orang Makkah dan sekutu kabilahnya. Kondisi ini
tidak menguntungkan bagi kaum muslimin, Nabi bermaksud membuat
perdamaian terpisah dengan kabilah Ghatifan yang berjuang melawan
orang Mekkah dengan menyetujui untuk memberi mereka sepertiga hasil
16 M. Hasyim Kamali, op.cit., hlm. 225
23
bumi Madinah. Ia musyawarahkan dengan pemimpin golongan Ansor.
Sa’ad bin Ubaidah dan Sa’ad bin Mu’ad berkata bahwa apabila hal itu
merupakan perintah yang diwahyukan Tuhan, mereka tidak berbuat apa-
apa kecuali harus mematuhinya, tetapi sebaliknya mereka tidak dapat
menyetujui gagasan itu, maka Nabi menghentikan gagasan membuat
perdamaian dengan Ghatifan.17
Kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pernyataan juga
dijamin oleh Islam dalam lembaga syura, yaitu lembaga musyawarah
dengan rakyat. Menurut Abdul Al-Karim Zaidan dalam bukunya
Muhammad Hasyim Kamali berpendapat bahwa sangat tidak masuk akal
jika dikatakan bahwa pemerintah dalam Islam terikat pada prinsip
musyawarah tetapi menghambat kebebasan para partisipan syura untuk
mengemukakan pendapat. Karena pada dasarnya prinsip musyawarah
adalah penerimaan adanya kebebasan berbicara dan berekspresi bagi
orang-orang yang dimintai pendapatnya.
Oleh karena kebebasan berfikir merupakan satu kebebasan yang
ditentang kepada setiap manusia untuk memikirkan sebebas-bebasnya
segala yang dapat dipecahkan secara ilmiah dan pada akhirnya mampu
meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Pencipta Alam Semesta.
Firman Allah SWT dalam surat Al-A’raf ayat 185, mendorong
manusia untuk memperhatikan, mempelajari, merenungkan dan meneliti
secara ilmiah kepada manusia menurut kemampuan yang dimilikinya.
Agama Islam menganugerahkan hak-hak kebebasan berfikir dan
mengungkapkan pendapat pada seluruh umat manusia yang berkenaan
dengan berbagai masalah kebebasan ini harus dimanfaatkan untuk
kebajikan dan kemaslahatan itu. Oleh karena itu kebebasan berfikir dan
berpendapat adalah hak setiap orang yang sudah dijamin sejak lahir.
Jaminan atas hak itulah yang melahirkan cendikiawan atau negarawan
yang mampu memimpin dan mengatur negara demi ketentraman dan
17 Ibid., hlm. 64.
24
kesejahteraan umat. Dengan demikian berarti pemimpin wajib
menghormati rakyatnya untuk berfikir dan mengeluarkan pendapat.
3. Kebebasan berkehendak
Di jelaskan dalam Al-Qur’an surat Ar-Ra’d ayat: 11
Sesungguhnya Allah tidak merubah sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum maka tak ada yang dapat menolongnya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.18
Kebebasan berkehendak (free will) pada kenyataannya merupakan
aspek subtansial yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai aspek
kebebasan yang menyempurnakan manusia sesuai tuntutan
kesanggupannya memikul amanat. Dan pada saat yang sama menetapkan
adanya tanggungjawab manusia terhadap amal perbuatan baik dan buruk
berupa pahala dan siksa.
Memahami masalah ini, para pemikir terpecah menjadi berbagai
golongan. Golongan jabariah berpendapat, segala sesuatu terjadi atas
kehendak mutlak Tuhan, manusia tidak memiliki andil sedikit pun tentang
suatu urusan, berbagai urusan itu terjadi, semata-mata atas qodo’ dan
qodar. Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa manusialah yang
menciptakan perbuatan-perbuatan itu, manusia berbuat baik dan buruk,
patuh dan tidak patuh pada Allah SWT dan atas kehendak dan
kemauannya sendiri. Pendapat yang sama mengatakan bahwa perbuatan
manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia
sendirilah yang mewujudkan perbuatannya.
Golongan ini mengakui adanya kehendak bebas manusia, hal ini
didasarkan atas dalil Al-Qur’an ayat 62. Golongan lain adalah Al-
18 Departemen Agama, op.cit., hlm. 370
25
Asy’riah, dalam hal ini kaum asy’ariah lebih dekat pada paham jabariah
dari pada paham mu’tazilah. Manusia dalam kelemahannya banyak
bergantung pada kehendak dan kekuasan Tuhan. Untuk menggambarkan
hal tersebut Al Asy’ari memahami kata Al kasb (perolehan).
Al kasb menurut Al Asy’ari sendiri ialah bahwa sesuatu terjadi
dengan perantara daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi
perolehan bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul.
Argumen yang diajukan oleh Al Asy’ari tentang penciptaan kasb oleh
Tuhan adalah ayat As shaffat ayat 96.
� O+��������#,����� B �i��cF�� ,6�H ���X � 8��9 �Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat. Jadi dalam paham Al Asy’ari perbuatan-perbuatan manusia adalah
diciptakan Tuhan dan tidak ada pembuatan bagi kasb selain Allah SWT.
Dalam teori kasb untuk mewujudkan suatu perbuatan manusia terdapat
dua perbuatan yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan
Tuhan adalah hakiki dan perbuatan manusia adalah majasi (lambang).
Dengan demikian perbuatan manusia pada hakekatnya terjadi dengan
perantaraan daya Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan
sifat sebagai pembuat.19
Dari argumen-argumen diatas Hasan Al Basri nampaknya telah
mengambil suatu independen atas jabar dan qodar, Hasan AL Basri
berpend.apat bahwa Tuhan tidak menciptakan semua perbuatan manusia.
Dia menyuruh manusia hanya untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan
keji atau munkar. Menurutnya petunjuk berasal dari Allah SWT tetapi
perbuatan buruk datang dari manusia.20 Perbuatan yang baik merupakan
anugerah dari Allah SWT, Allahlah yang menentukan kualifikasi kebaikan
dan kejujuran pada diri mahluknya. Dengan sikap tersebut diatas
19 Budi Munawar, Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 140-141.
Dari Abu Said Al Khudry ra, dari Nabi SAW beliau bersabda sesungguhnya dunia ini manis dan indah dan sesungguhnya Allah SWT menguasakan kepada kamu semua untuk mengolah apa yang ada di dalamnya kemudian Allah SWT mengawasi bagaimana kamu sekalian berbuat (HR Muslim).21 Sebagai seorang penguasa atau wakil Allah di bumi ini tidak akan
mampu melaksanakan tugas kekhalifahannya apabila dirinya tidak
mempunyai berbagai kemampuan atau potensi sebagai dasar kekuatan dirinya
dalam mewujudkan sumber daya manusia maupun menggali, mengolah dan
memakmurkan bumi. Dan oleh karena itu Allah SWT telah menciptakan
manusia dengan dipersiapi dan dibekali potensi-potensi yang membolehkan
manusia memikul tanggungjawab yang besar itu dan menurut salah satu
hadits Nabi dijelaskan bahwa kemampuan atau potensi-poteni tersebut disebut
Dari Abu Hurairah dia berkata Rasulullah SAW berkata setiap seseorang yang dilahirkan membawa fitrah dan ibu bapaknyalah yang menjadikan yahudi, nasrani atau majusi.22
Menurut hadits ini manusia lahir membawa potensi. Potensi adalah
kemampuan, dan dalam hadits ini kemampuan atau potensi yang diberikan
Allah SWT kepada manusia yaitu, bahwa dalam hal ini manusia telah
dianugerahkan oleh Allah SWT dengan empat daya yakni :
1. Daya tubuh yang mengantar manusia berkekuatan fisik, berfungsinya
organ tubuh dan panca indra berasal dari daya ini.
2. Daya hidup yang menjadikan manusia memiliki kemampuan
mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan, serta
mempertahankan hidupnya dalam menghadapi tantangan.
21 Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Riyadlu Al-Shalihin, (Beirut:
Muasyafah Manahil Al-Arafani, 5931), hlm. 60 22 Imam Abu Husain Muslim bin Hajjat Al-Qusyairy An-Naisabury, Shakhih Muslim,