42 BAB III KONSEP KEHIDUPAN SETELAH MATI (ESKATOLOGI) DALAM AGAMA BUDHA A. Tinjauan Singkat Agama Budha Agama Budha lahir dan berkembang pada abad ke-6 SM. Agama itu beroleh dari nama panggilan yang diberikan kepada pembangunnya yang mula-mula Sidharta Gautama (563-487 SM) yang di panggil dengan Budha. 1 Secara etimologi perkataan "Budha" berasal dari kata "Bhud" yang artinya bangun. Orang Budha ialah orang yang bangun artinya "orang telah bangun dari malam kesesatan dan sekarang ada ditengah cahaya yang benar. 2 Budha ialah orang yang mendapat pengetahuan dengan tidak mendapatkan wahyu dari Tuhan dan bukan dari seseorang guru sebagaimana disebutkan dalam Maha Vogga 1-67: "Aku sendiri yang mencapai pengetahuan, akan kukatakan pengikut siapakah aku ini? Aku tak mempunyai guru, aku guru, yang tak ada bandingannya." 3 Panggilan itu di peroleh Sidharta Gautama sesudah menjalani sikap hidup penuh kesucian, bertapa, berkwalat, mengembara untuk menemukan lebenaran dekat tujuh tahun lamanya dan dibawah sebuah pohon (yang dewasa ini berada di kota Goya) ia pun beroleh hikmat dan terang hingga pohon itu sampai kini di panggilkan pohon Hikmat (Tree of Bodhi) Kitab suci di dalam agama Budha itu dipanggilkan dengan: Tripitaka, tri itu bermakna tiga, dan pitaka itu bermakna bakul tapi dimaksudkan ialah bakul hikmat, hingga Tripitaka itu pada hakikatnya bermakna tiga himpunan Hikmat, yaitu: 1 Joe, Soef Sou'yb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Al-Husna Zikro, 1996), hlm. 72. 2 AG. Honiq, Ilmu Agama, (Jakarta: PT. BPK. Gunung Muria, 1992), hlm. 165. 3 Moh. Rifa'I, Perbandingan Agama, (Semarang: Wicaksana, 1980), hlm. 92.
21
Embed
BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
42
BAB III
KONSEP KEHIDUPAN SETELAH MATI (ESKATOLOGI)
DALAM AGAMA BUDHA
A. Tinjauan Singkat Agama Budha
Agama Budha lahir dan berkembang pada abad ke-6 SM. Agama itu
beroleh dari nama panggilan yang diberikan kepada pembangunnya yang
mula-mula Sidharta Gautama (563-487 SM) yang di panggil dengan Budha.1
Secara etimologi perkataan "Budha" berasal dari kata "Bhud" yang artinya
bangun. Orang Budha ialah orang yang bangun artinya "orang telah bangun
dari malam kesesatan dan sekarang ada ditengah cahaya yang benar.2 Budha
ialah orang yang mendapat pengetahuan dengan tidak mendapatkan wahyu
dari Tuhan dan bukan dari seseorang guru sebagaimana disebutkan dalam
Maha Vogga 1-67:
"Aku sendiri yang mencapai pengetahuan, akan kukatakan pengikut siapakah aku ini? Aku tak mempunyai guru, aku guru, yang tak ada bandingannya."3 Panggilan itu di peroleh Sidharta Gautama sesudah menjalani sikap
hidup penuh kesucian, bertapa, berkwalat, mengembara untuk menemukan
lebenaran dekat tujuh tahun lamanya dan dibawah sebuah pohon (yang
dewasa ini berada di kota Goya) ia pun beroleh hikmat dan terang hingga
pohon itu sampai kini di panggilkan pohon Hikmat (Tree of Bodhi)
Kitab suci di dalam agama Budha itu dipanggilkan dengan: Tripitaka,
tri itu bermakna tiga, dan pitaka itu bermakna bakul tapi dimaksudkan ialah
bakul hikmat, hingga Tripitaka itu pada hakikatnya bermakna tiga himpunan
Hikmat, yaitu:
1 Joe, Soef Sou'yb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Al-Husna Zikro, 1996), hlm.
72. 2 AG. Honiq, Ilmu Agama, (Jakarta: PT. BPK. Gunung Muria, 1992), hlm. 165. 3 Moh. Rifa'I, Perbandingan Agama, (Semarang: Wicaksana, 1980), hlm. 92.
43
1. Sutta Pitaka, berisikan himpunan ajaran dan khotbah Budha Gautama.
Bagian terbesar dari padanya terdiri atas percakapan (dialog) antara Budha
dengan berbagai muridnya.
2. Vinaya Pitaka, berisikan Patti Mokkha, yaitu peraturan tata hidup setiap
anggota biara-biara (Sangha).
3. Abidhamma Pitaka, yang di tujukan bagi lapisan terpelajar dalam agama
Budha, bermakna: Dhamma lanjutan atau dharma khusus. Berisikan
berbagai himpunan yang mempunyai nilai tinggi (great values) bagi
Latihan-Ingatan (Mind-Traning).4
Agama Budha atau ajaran Budha lebih menerapkan "Way of Life" dari
pada suatu agama dan filsafat, sebab ajaran Budha lebih merupakan satu
perangkat sistem keyakinan yang didasarkan pada pengertian dan mengarah
pada corak perilaku atau perbuatan untuk mencapai kebebasan penderitaan.
Pengertian memerlukan dan mengundang penalaran serta penghayatan secara
mendalam sebagai awal mula munculnya keyakinan terhadap pengertian
tersebut.
Keyakinan agama Budha akan muncul dari penyelidikan dan analisis
pikiran secara mendalam yang bisa dilakukan oleh siapapun juga tanpa
kecuali. Budha Gautama mengatakan dalam khutbah kepada orang-orang suku
Kalama agar jangan percaya begitu saja pada adat tradisi, buku-buku suci,
kata-kata guru termasuk kata-kata Budha sendiri, tetapi sesudah melalui
penyelidikan dan analisis berpikir yang mendalam hendaknya seorang
menerima satu ajaran dan melaksanakannya.5
Ajaran dan keyakinannya adalah:
1. Kenyataan penderitaan, hidup semua makhluk di bumi ialah penderitaan.
2. Kenyataan sebab penderitaan, penderita ini sebagai sebab dari trsna
(Harus hidup atau levensdrang-bahasa belanda) yang mengakibatkan
tumimbal lahir atau reinkarnasi.
4 Joe, Soef Sou'yb, op. cit., hlm., 73. 5 Djam'annuri, Agama Kita, Perspektif Sejarah Agama-Agama, (Yogyakarta: Kurnia
Salam Semesta, 2000), hlm. 67.
44
3. Kenyatan penyingkiran; jika trsna ditindas atau disingkirkan maka sebab
penderitaan akan tersingkir pula, mengakibatkan tumimbal lahir akan
tersingkir pula.
4. Kenyatannya jalan untuk menyingkirkan penderitaan atau jalan untuk
menghindari trsna, ialah dengan melalui jalan delapan, yaitu ajaran yang
benar, tingkah laku yang benar upajiwa (penghidupan) yang benar,
semangat kegiatan yang benar, minat yang benar dan samadi yang benar.
Kenyataan utama, dua dan tiga, dijelaskan lagi oleh rangkaian dua
belas yaitu:
1. Kesunyatan terdapat dalam alam ini karena ketidaktahuan atau oleh sebab
pengetahuan yang keliru
2. Kesadaran tumbuh karena kesan.
3. Kesadaran disebabkan oleh alat indra. (panca indra)
4. Alam indra itu disebutkan nama-namanya
5. Sentuhan dari nama indra (panca indra ditambah dengan batin dan
jasmani).
6. Perasaan timbul karena sentuhan
7. Perasaan menimbulkan nafsu, keharusan hidup.
8. Materi timbul dari trsna, nafsu dan hidup
9. Individu terjadi karena materi
10. Kelahiran disebabkan karena terjadinya individu.
11. Manusia terjadi karena dilahirkan
12. Umur, mati, sakit dan segala penderitaan lekat pada hidup manusia karena
dilahirkan.6
Dalam suatu kesempatan, Budha memberikan perumpamaan perihal
ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan
untuk menyeberang dari satu pantai yang tidak aman kepantai seberang yang
aman. Demikiran pula, ajaran Budha, ibarat rakit merupakan sarana yang di
6 Kamil Karta Praja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan
Masa Agung, 1985), hlm. 19
45
gunakan untuk menyeberang ke pantai yang aman dan bahagia (bebas dari
penderitaan).
Pokok-pokok ajaran Budha terdiri dari 6 (enam)unsur berikut:
1. Tiga permata (tiratana atau triratna pali)
2. Empat kesunyatan atau mulia dan jalan utama bersumber delapan
3. Tiga corak umum.
4. Hukum Perilaku (Karma) dan tumimmbal lahir.
5. Hukum sebab musabab yang saling berkaitan.
6. Kebebasan penderitaan (nibbana atau nirvana).7
Demikianlah ajaran pokok dari Budha untuk melatih tidak
mengindahkan keduniaan ini, hidup utama dengan latihan menjernihkan jiwa,
penuh samadhi. Didalam kepercayaan ini tidak sedikitpun tampak gambaran
sesuatu yang maha Esa, yang menciptakan, menyelenggarakan,
menghancurkan segala yang ada.
B. Kematian Dalam Agama Budha
Masalah pertama yang dihadapi Budhisme adalah kenyataan bahwa
manusia menderita dalam banyak hal.8 Penderitaan yang dihadapi yaitu
kelahiran, umur tua, dan kematian.9 Sepanjang sejarah Budhisme penderitaan
telah ditekankan sebagai ajaran Budha, hidup adalah penderitaan.
Para penganut Budha dari semua negara secara khusus menekankan
kekhawatiran akan kematian yang bisa dihadapkan pada kematian, walaupun
pada umumnya ia tidak menyadarinya. Tentang kematian menurut ajaran
agama Budha yang terserat dalam kitab Dhamapada VIII: 114 yang berbunyi:
7 Djam'annuri, op. cit., hlm. 67-68. 8 Mudji Sutrisno, Budhisme Pengaruhnya Dalam Abad Modern, (Yogyakarta: Kanisius,
Artinya: "Walaupun seorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat keadaan tanpa kematian, sesungguhnya kebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat keadaan tanpa kematian."10
Adapun ajaran tentang kematian dalam kitab Dhammapada vol. XI.
145 yaitu:
Parijamam idam rupam
Poganiddam pabbangunam
Bhijjti puti dan deho
Marahatam hijivitam
Artinya: "Tubuh ini benar-benar rapuh, sarang penyakit dan mudah busuk. Tumpukan yang menjijikkan ini akan hancur berkeping-keping. Sesungguhnya kehidupan ini akan berakhir dengan kematian"
Berdasarkan ajaran Dhammapada di atas menilai bahwa kematian
adalah hukuman dari semua kehidupan.11 Kematian tentu saja berarti
penghentian seluruh fungsi jasmani.12 Kenyataan hidup yang mustahil untuk
dihindari. Manusia ialah mahluk hidup, binatang yang hidup dengan
kesadaran bahwa suatu saat ia akan mati dan mereka selalu menyadarinya
bahwa keyakinan akan kematian sulit untuk dipahami.
Dalam Budha Dhamma, kematian itu kerap diingatkan tak diundang ia
kemari, tak diterima ia pergi, sesungguhnyalah datang dari mana ia sungguh
disini barang beberapa hari melalui satu jalan ia datang, melalui jalan ia pergi,
meninggal sebagian manusia, seseorang menjalani kelahiran berikutnya,
seperti ia datang begitu pula ia pergi. Dalam kitab Dhammapada 150 yang
berbunyi "jasmani ini terbuat dari tulang-tulang yang dihubungkan oleh
Dari uraian diatas agama Budha tidak menolak sama sekali adanya
sesuatu kepribadian dalam suatu pengertian empiris. Agama Budha hanya
bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada dalam suatu pengertian
mutlak dalam istilah Budhis bagi seorang individu adalam santana yaitu
arus atau kelangsungan yang mencakup unsur-unsur rohani dan jasmani.
Arus kelangsungan fenomena psiko-fisik yang telah terputus ini di
syarati oleh kamma dan tidak terbatas hanya pada kehidupan sekarang,
tetapi memiliki sumbernya pada masa lampau tanpa awal serta
kelangsungan pada masa yang akan datang.
2. Kiamat
Kiamat dalam Agama Budha adalah hancur leburnya bumi atau
Alam semesta bukan merupakan akhir dari kehidupan sebab di alam
semesta ini tetap berlangsung pula evolusi bumi.
Kiamat atau hancur leburnya bumi menirut Agama Budha dalam
kitab Aggutara Nikayya satta kanipatta diakibatkan oleh terjadinya musim
kemarau yang lama.Dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang
muncul Matahari kedua ,dengan berselangnya suatu masa yang lama
Matahari ketiga muncul.Matahari keempat, Matahari kelima, keenam,
ketujuh. Pada Matahari ketujuh muncul bumi akan terbakar sehingga
menjadi debu dan lenyap berterbangan dialam semesta.
Pemunculan Matahari kedua, ketiga, dan lain- lain bukan berarti
matahari tiba-tiba terjadi dan muncul di angkasa, tetapi matahari tersebut
telah ada di alam semesta ini.Adapun uraian tentang kiamat dalam khotbah
sang Budha kepada para Bhikkhu:
Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon penghasil obat-obatan pohon palm dan pohon besar di hutan menjadi layu, kering dan mati.
Para Bikkhu, selanjutnya akan bebas suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari ke dua muncul, maka sungai kecil dan danau kecil surut kering dan tiada.
54
Para Bikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketiga muncul. Ketika matahari ke tiga muncul, maka semua sungai besar yaitu, sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada.
Para Bikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ke empat muncul. Ketika matahari ke empat muncul, maka semua danau besar tempat bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara, Kannamunda, Kunala, Chaddanta, dan Mandakini surut dan kering.23
3. Surga dan neraka
Ajaran agama Budha setelah manusia mengalami tumimbal lahir
yang secara langsung kemudian dengan karmanya masing-masing akan
memasuki kehidupan di surga atau neraka.
a. Surga
Surga dalam agama Budha merupakan suatu alam kehidupan
yang menyenangkan namun tidak kekal. Surga terbuka bagi siapa saja
yang tidak melakukan perbuatan jahat dan banyak melakukan perbuatan
baik. Seseorang yang percaya kepada sang Budha dan menjalankan
ajaranya dengan abaik tentu akan dapat masuk surga. Kelahiran dia di
alam surga merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan. Dalam
dhamma pada Attha Kattha di ceritakan bahwa ada yang terlahir dialam
surga karena selalu mengatakan kebenaran.
Kehidupan di alam surga adalah kehidupan yang
menyenangkan, penghuninya adalah para dewa dan dewi yang
menikmati kebahagiaan sebagai hasil dari perbuatan baik yang
dilakukan sebelumnya. Dewa dan dewi adalah makhluk yang
memancarkan cahaya dan sepanjang hidupnya selalu tampak tampan
dan cantik. Mereka tinggal di istana-istana emas permata yang indah. Di
sekitarnya terdapat taman, bunga-bunga, dan burung-burung yang
berkicau menyanyikan lagu-lagu merdu.
23 Corneles Wowor, MA., Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama Budha, (Jakarta:
Akademi Budhis Nalada, 1980), hlm. 7-8.
55
Kehidupan di alam surga mempunyai jangka waktu tertentu dan
setelah itu makhluk penghuni surga akan terlahir kembali ke alam lain
sesuai dengan buah dari perbuatanya. Oleh karena itu, dalam agama
Budha surga bukanlah tujuan akhir manusia.24
Tujuan akhir umat Budha adalah mencapai keadaan
kebahagiaan mutlak yang merupakan puncak pencapaian manusia
sebagai perwujudan dan aspek ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana
di ungkapkan dalam Udana VIII:
" Di ketahuilah para bhikku bahwa ada sesuatu yang dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak tercipta yang mutlak. Duhai para bikku, apabila tidak ada yang tidak dilahirkan yang tidak menjelma, yang tidak diciptakan, yang mutlak, maka tidak akan ,mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikku, karena ada yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak tercipta, yang pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu".25
Terdapat banyak alam surga dalam dalam agama Budha, ada
enam alam surga diatas alam manusia. Diatasnya terdapat alam surga
yang lebih tinggi yang dihuni oleh para brahma, yaitu para dewa yang
telah mencapai tingkat meditasi tinggi. Tingkatan sugati bumi antara lain:
Catum mahanjika : Alam 4 raja dewa.
Tavatimsa : Alam 33 dewa.
Yoma : Alam dewa.
Tusita : Alam penuh kenikmatan
Nimmarati : Alam dewa-dewa yang bisa menciptakan
sesuatu.
Para Nimmitayasavatti : Alam dewa yang membantu kesempurnaan
ciptaan dewa-dewa yang lain.26
24 Dharma K. Widya, Mengenal Lebih Dekat Agama Budha, (Jakarta: Pendidikan Budhis
Nalada, 2003), hlm. 10-11. 25 Ibid., hlm. 12. 26 Pandit J. Kaharudin, Hidup dan Kehidupan, (Graha Metta Sejahtera, 2000), hlm. 22.
56
b. Neraka
Neraka dalam agama Budha disebut "Niraya" terbentuk atas dua
kosa kata, yakni "Ni" yang berarti bukan, tidak ada, dan Aya' yang
berarti "kebajikan, kebahagian, pengembangan". Niraya tau neraka
adaah suatu alam kehidupan yang penuh derita dan siksaan, tanpa
kesempatan untuk berbuat kebajikan tanpa kebahagiaan, tanpa
perkembangan. Neraka dalam panadangan agama Budha bukanlah suatu
alam kehidupan yg bersifat kekal. Apabila akibat buruk dari suatu
kejahatan telah terlunasi, mereka yang terjatuh dalam neraka akan dapat
terlahirkan kembali di alam-alam lain yang lebih tinggi tergantung
perbuatan-perbuatan lain yang pernah mereka lakukan sepanjang
kehidupan-kehidupan lampau.27
Seseorang akan terlahir dijalan neraka apabila banyak
melakukan perbuatan jahat seperti membunuh dan menganiaya makhluk
lain, melakukan tindakan-tindakan dengan penuh kebencian dan
kekejaman dan sebagainya.
Di lain pihak, terdapat kemungkinan makhluk dari neraka
terlahir kembali sebagai manusia. Kelahiran kembali dari alam biasanya
merupakan kelahiran dengan keadaan yang menyedihkan atau dengan
dengan Tasmani tidak sempurna.28
Dalam kitab Dhammapada Bab XXII mengatakan sebab-sebab
orang masuk neraka (Niraya vaga):
1. Abhutavadi Nirayam upeti yo vapi katva "na karomi" ti caha, ubho
pi te pecca sama bhavanti nihinakamma manuja parattha. (306)
2. Kasavakantha bahavo papadhamma asannata, papa papehi
kammmehi Nirayam te upapajjare. (307).
3. Seyyo ayogulo bhutto tatto aggisikkhupamo yan ce bhunjeyya