Top Banner
22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUTANG PEWARIS DALAM HUKUM ISLAM DAN KUH PERDATA A. Pengertian Hutang Pewaris menurut Hukum Islam dan KUH Perdata Utang pewaris sebenarnya bukan termasuk dalam lingkup hukum waris. Utang pewaris pada dasarnya berkaitan dengan hal-hal yang harus dipenuhi oleh ahli waris sebelum harta pusaka dibagikan. Di samping hal-hal lain yang harus dipenuhi, seperti biaya perawatan jenazah, biaya penguburan jenazah dan lain sebagainya. Sedangkan hukum waris lebih memfokuskan pembahasannya pada aturan dan ketetentuan pembagian harta warisan, yang menyangkut siapa yang berhak mendapat harta warisan dan berapa kadar yang mereka peroleh dari pembagian itu. Apabila seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta dan ahli waris, maka tidaklah mutlak secara seluruh harta yang ditinggalkan oleh si pewaris tersebut menjadi hak ahli waris, sebab di dalam harta peninggalan, si pewaris tersebut masih ada hak-hak lain yang harus dikeluarkan terlebih dahulu sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris, di antara pelunasan hutang pewaris. 1 Jadi, pelunasan hutang pewaris adalah hal yang sangat urgen yang harus dipenuhi oleh ahli waris sebelum harta itu dibagikan. 1 Dalam Islam ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dan dipenuhi ketika si pewaris meninggal dan sebelum harta bendanya dibagikan adalah mencakup empat hal, yaitu: biaya perawatan, harta pewaris, wasiat pewaris, dan utang pewaris. (Lihat, Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2001), hal. 39)
24

BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

Mar 02, 2019

Download

Documents

dangtuyen
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

22

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUTANG PEWARIS

DALAM HUKUM ISLAM DAN KUH PERDATA

A. Pengertian Hutang Pewaris menurut Hukum Islam dan KUH Perdata

Utang pewaris sebenarnya bukan termasuk dalam lingkup hukum waris.

Utang pewaris pada dasarnya berkaitan dengan hal-hal yang harus dipenuhi

oleh ahli waris sebelum harta pusaka dibagikan. Di samping hal-hal lain yang

harus dipenuhi, seperti biaya perawatan jenazah, biaya penguburan jenazah dan

lain sebagainya. Sedangkan hukum waris lebih memfokuskan pembahasannya

pada aturan dan ketetentuan pembagian harta warisan, yang menyangkut siapa

yang berhak mendapat harta warisan dan berapa kadar yang mereka peroleh

dari pembagian itu.

Apabila seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta dan ahli waris,

maka tidaklah mutlak secara seluruh harta yang ditinggalkan oleh si pewaris

tersebut menjadi hak ahli waris, sebab di dalam harta peninggalan, si pewaris

tersebut masih ada hak-hak lain yang harus dikeluarkan terlebih dahulu

sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris, di antara pelunasan hutang

pewaris.1 Jadi, pelunasan hutang pewaris adalah hal yang sangat urgen yang

harus dipenuhi oleh ahli waris sebelum harta itu dibagikan.

1 Dalam Islam ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dan dipenuhi ketika si

pewaris meninggal dan sebelum harta bendanya dibagikan adalah mencakup empat hal, yaitu: biaya perawatan, harta pewaris, wasiat pewaris, dan utang pewaris. (Lihat, Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2001), hal. 39)

Page 2: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

23

1. Pengertian Hutang dan Pewaris dalam Islam dan KUH Perdata

“Hutang atau utang” secara etimologis berarti uang yang dipinjam

dari orang lain: kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima:

membayar;- harus dikembalikan”2, sedangkan secara istilah utang adalah

“tanggungan yang harus diadakan pelunasannya dalam suatu waktu

tertentu. Kewajiban pelunasan utang timbul sebagai prestasi (imbalan)

yang telah diterima oleh si berutang”.3 Jadi utang adalah suatu tanggungan

yang harus dilunasi oleh seseorang sebagai akibat dari menerima imbalan”

Dalam al-Qur’an, utang atau hutang disebut dengan ungkapan dain

(���).4 Dain adalah bentuk masdar dari kata asalnya dainan ( ����������������

� �������). Ia berakar kata dari huruf-huruf dal, ya, alif dan nun. Dan tercatat

29 kali dalam al-Qur’an, maka yang dapat diidentifikasikan dari ayat-ayat

tersebut adalah tiga macam. Pertama, ia bermakna kredit harta tidak

secara tunai. Kedua, ia dapat juga berarti akidah. Ketiga, ia bahkan dapat

bermakna ketaatan.5

Dalam kajian ini, hutang di sini dibatasi pada pengertian yang

pertama, yakni kredit itu wajib dikembalikan kepada yang berhak. Ini

berarti, da’in dapat bermakna utang atau pinjaman yang dilakukan oleh

pewaris semasa hidupnya dan ia wafat sebelum melunasinya.6 Oleh karena

2 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Pusat

Pembinaan Pengembangan Bahasa: Balai Pustaka, 1990), hal. 896 3 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, op. cit., hal. 45 dan lihat, Fatchur Rahman,

Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hal. 43 4 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah

al-Qur’an, 1973), hlm. 133 5 Ali Parman, Kewarisan Dalam al-Qur’an; Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan

Tafsir Tematik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 97 6 Ibid.

Page 3: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

24

itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

hanya sebatas berupa uang, namun juga meliputi benda milik, kredit bank,

cicilan dan sebagainya.

Sementara itu dalam KUH Perdata tidak dijelaskan tentang definisi

hutang. KUH Perdata hanya menyebutkan dua istilah yang dipakai dalam

perutangan, yaitu orang yang berhutang dan orang yang mengutangi. Atau

dalam pengertian lain, bahwa utang itu ada dan sering kali seseorang yang

berhutang (debitor) terhadap seorang yang lain (kreditor) diwajibkan

untuk suatu prestasi yang dapat dipaksakan melalui pengadilan. Sehingga

perhutangan adalah hubungan hukum yang atas dasar itu, seseorang dapat

mengharapkan suatu prestasi dari seorang yang lain atau jika perlu dengan

perantaraan hakim.

Prestasi (imbalan) dibebankan (wajib) kepada debitor yang dapat

berupa memberi, berbuat atau tidak berbuat sesuatu prestasi juga harus

tertentu atau dapat ditentukan (terutama perhutangan berdasarkan

perjanjian). Di samping itu prestasi harus mungkin dan halal dapat berupa

suatu perbuatan satu kali, serentetan perbuatan sehingga bersifat terus

menerus atau bahkan prestasi dapat juga berupa tingkah laku yang pasif

belaka.7

Pengertian hutang yang lainnya menurut KUH Perdata didasarkan

pada Pasal 1754-1769 tentang perjanjian pinjam mengganti (verbruikleen)

atau pinjam pakai habis. Dalam perjanjian ini, yang dikembalikan bukan

7 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Perhutangan Bagian A,

(Yogyakarta; Seksi Hukum Perdata FH. UGM, 1980), hlm. 4.

Page 4: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

25

barang yang sama yang telah dipinjam, tetapi barang yang macamnya

sama. Orang yang memberi pinjaman menjadi penagih dan orang yang

diberi pinjaman berkewajiban untuk menyerahkan barang yang sejenis,

sehingga barang yang yang dipinjam dalam perjanjian ini harus dapat

diganti. Maka benda-benda yang tidak bergerak tidak dapat dijadikan

obyek perjanjian pakai habis atau pijam pengganti.

Dengan demikian, pengertian hutang dalam arti pinjaman

mempunyai pengertian yang lebih sempit daripada pengertian perhutangan

yang didasarkan pada Pasal 1234 KUH Perdata, sebab dalam perikatan

verbruikleen ini benda-benda yang tak bergerak tidak dapat dijadikan

sebagai objek perjanjian.

Lebih jauh Hartono Soerjopratiknjo memberikan pengertian

verbruikleen sebagai berikut :

“Verbruikleen atau pinjam pakai habis (yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi perjanjian yang pinjam pengganti) adalah suatu perjanjian pada mana pihak yang satu (kreditur) melepaskan atau menyerahkan (afstand) pada pihak yang lainnya (debitur) suatu jumlah uang tertentu atau jumlah barang tertentu yang habis apabila dipakai dengan janji bahwa di kemudian hari harus dikembalikan jumlah sama atau jumlah barang yang sama yang jenis atau keadaannya adalah sama”.8

Pengertian hutang dari kedua kelompok pasal di atas pada dasarnya

adalah sama, bahwa hutang merupakan hubungan hukum antara dua

subjek hukum atau lebih dengan hak dan kewajiban masing-masing, serta

8 Hartono Soerjopratiknjo, Hutang Piutang Perjanjian Pembayaran dan Pinjaman

Hipotik, (Yogyakarta: Pt Mustika Wikasa, 1994), hlm, 1.

Page 5: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

26

akan selesai bila salah satu pihak sudah memenuhi prestasinya atau karena

sebab-sebab lain yang diperbolehkan undang-undang.

Sementara itu kata “pewaris” dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia diartikan sebagai “orang yang mewariskan”. Sedangkan A. Pitlo

mendefinisikan pewaris sebagai berikut:

“Adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan kekayaan. Orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukan hukum mengenai kekayaannya, baik untuk seluruhnya maupun untuk bagian yang sebanding, dinamakan “waris” atau “ahli waris”.9

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang

dinamakan hutang pewaris adalah tanggungan si mati (orang yang

mewariskan) yang harus dilunasi (dipenuhi) oleh ahli warisnya.

Hal ini didasarkan pada Firman Allah SWT. dalam surat an-Nisa

ayat 11 sebagai berikut:

�������������� ���������������������� ��������������� !�

Artinya: “Setelah diambil untuk wasiat, yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar utangnya” (Q.S. an-Nisa’: 11)10

Jadi, pada prinsipnya pelunasan utang pewaris harus bersumber

pada nilai hartanya. Apabila jumlah uang melampaui jumlah harta

pusakanya, maka pelunasannya harus melalui sumber pendapatan lain

yang diurus oleh masyarakat.11

9 A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, terj.

M. Isa Arief, (Jakarta: Intermesa, 1990), hal. 1 10 Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hal. 117 11 Ali Parman, op. cit., hal. 99

Page 6: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

27

2. Macam-Macam Utang dalam Islam dan KUH Perdata

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa seseorang yang meninggal

dengan meninggalkan tanggungan utang kepada orang lain, maka harus

dibayar utang tersebut atau dilunasi terlebih dahulu (dari harta peninggalan

si pewaris) sebelum hartanya tersebut dibagikan kepada ahli warisnya.

Para fuqaha mengelompokkan hutang seseorang itu kepada dua

kelompok:

a. Utang terhadap sesama manusia, atau dalam istilah hukum Islam

disebut juga dengan dain al-‘ibad (� ��������).

b. Utang kepada Allah SWT. atau dalam istilah hukum Islam disebut

juga dengan dain Allah (������).12

Utang terhadap sesama manusia apabila dilihat dari segi

pelaksanaannya dapat dipilih kepada:

a. Utang yang berkaitan dengan persoalan kehartabendaan (da’in

‘ainiyah).

b. Utang yang tidak berkaitan dengan persoalan kehartabendaan (da’in

mutlaqah).13

Utang yang tidak berkaitan dengan persoalan kehartabendaan ini

dilihat dari segi waktu pelaksanaannya dapat pula dikelompokkan kepada:

a. Utang mutlaqah apabila dilakukan pada waktu si pewaris dalam

keadaan sehat dan dibuktikan keabsahannya, disebut dengan da’in

sihah.

12 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, loc. cit. 13 Ibid., hal. 46

Page 7: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

28

b. Utang mutlaqah apabila dilakukan pada waktu si pewaris dalam

keadaan sakit, serta tidak pula didukung oleh bukti-bukti yang kuat,

disebut juga dengan da’in marad.14

Di samping hutang si mati yang menyangkut pengklasifikasian

sebagaimana di atas (dain Allah dan dain al-‘Ibad), perhutangan juga

dibagi menjadi dua jenis. Pertama, adalah hutang yang ada sangkut

pautnya dengan harta tirkah, seperti gadai, barang yang sudah dibeli oleh

si mati semasa hidupnya. Kedua, hutang yang tidak ada sangkut pautnya

dengan harta tirkah, seperti hutang mahar, hutang tanpa gadai dan

sebagainya.15 Atau dalam pengertian lain, bahwa hutang si mati itu

meliputi hutang yang disertai dengan jaminan kebendaan dan hutang yang

tidak disertai kebendaan.

a. Hutang yang disertai jaminan kebendaan

Ada dua macam jaminan kebendaan yang digunakan untuk

menjamin suatu hutang, yaitu:16

1) Hipotik

Pada Pasal 1162 KUH Perdata menyebutkan:

“Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda tak bergerak guna mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan”.17

Dengan kata lain hipotik adalah hak kebendaan yang sengaja

diletakkan atas benda tak bergerak milik orang lain dengan maksud

14 Ibid. 15 Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (t.kp: Pustaka

Jaya, t.th.), hal. 72 16 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata , (Jakarta: Inter Masa, 1987). Hal. 77 17 KUH Perdata Pasal 1162 17 Hartono soerjopratikjo, op cit. hlm 49

Page 8: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

29

untuk dapat mengambil pelunasan hutangnya dari hasil penjualan

benda tersebut, dengan mendahului hak-hak para kreditur yang lain.

Adapun barang-barang yang dapat dibebankan atau dijadikan

benda hipotik adalah:

a) Benda-benda bergerak yang dapat diperdagangkan dengan segala perlengkapannya, sepanjang yang terakhir itu dipandang sebagai benda tak bergerak.

b) Hak pungut atas benda-benda tersebut beserta perlengkapanya. c) Hak apsdtal (hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau

tanaman-tanaman atas tanahnya orang lain) dan erfpacht (hak untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk jangka waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atas penghasilan setiap tahunnya kepada pemilik tanah tersebut.

d) Bunga tanah baik yang harus dibayar dengan uang, maupun dengan sesuatu benda yang dihasilkan dari tanah tersebut.

e) Bunga sepersepuluh. f) Pasar-pasar yang diakui pemerintah beserta hak-hak istimewa

yang melekat padanya. 18

Dari keterangan di atas tampak bahwa tidak hanya barang

atau benda saja yang dapat dijadikan objek dalam hipotik.

Melainkan juga hak asalpun bisa dikategorikan dalam benda tak

bergerak .

Seorang yang akan nengadakan perjanjian hipotik haruslah

memenuhi syarat tertentu sesuai Pasal 1171 KUH Perdata berbunyi :

“Hipotik hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk undang-undang”19

Berdasarkan stanblat 1947 No. 53 hipotik harus dengan akta

yang dibuat di muka kepala kantor pendaftaran tanah, dan setelah itu

hipotik harus didaftarkan. Akan tetapi setelah berlakunya UU PA,

18 Ibid., 19 KUH Perdata Pasal 1171

Page 9: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

30

pembebanan hipotik harus dibuat dengan akta yang dibuat oleh dan

dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh menteri agraria. Selanjutnya

didaftarkan dalam buku tanah.20 Pejabat yang dimaksud itu ialah

pejabat pembuat akta tanah (PPAT) mereka itu adalah :

a) Notaris b) Pegawai dalam lingkungan Departemen Agraria c) Pamong praja yang pernah melaksanakan tugas seorang pejabat d) Orang yang sudah lulus ujian yang diadakan oleh Menteri

Agraria (PMA No. 10 Th. 1961 Pasal 3).21

Dengan demikian, hipotik lahir pada saat dibuatnya akta

tersebut oleh pihak berwenang (PPAT), meskipun hal itu belum

merupakan alat bukti yang lewat tentang adanya perjanjian hipotik

selanjutnya untuk sampai pada tingkat alat bukti yang kuat harus

didaftarkan kepada kepala seksi pendafataran tanah. Sebuah sertifikat

hipotik yang disertai salinan akta mempunyai fungsi grase akta

hyphoteek serta mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu mempunyai

kekuatan sebagai putusan pengadilan.

Perjanjian hipotik hanya dapat berakhir dengan adanya roya

hipotik, yaitu pencoretan hipotik dari pendaftaran dalam register

umum oleh kepala seksi pendaftaran tanah, sesudah mendapat

laporan dari bank bahwa piutangnya telah dibayar lunas. Hal itu

dilakukan berdasarkan persetujuan antara pihak yang bersangkutan

dan berdasarkan putusan hakim. Sesuai dengan Pasal 1195 KUH

Perdata:

20 PP No. 10 Tahun 1961 Pasal 19 dan 22 Ayat 3 21 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty,

1981, hlm. 110)

Page 10: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

31

“Segala pembukuan hapus dengan dicoretnya di dalam register. Pencoretan dilakukan atas biaya si berhutang dengan ijinnya para pihak yang berkepentingan, atau menurut keputusan hakim yang dijatuhkan dalam tingkatan penghabisan atau yang telah memperoleh kekuatan mutlak”.22

2) Gadai (pand)

Pasal 1150 KUH Perdata menyebutkan:

“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh lain atas namanya dengan memberikan kekuasaan kepadaaa orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya”.23

Adapun benda-benda yang dapat dijadikan jaminan gadai

adalah semua jenis benda bergerak yang bukan milik kreditur itu

sendiri seperti perabot rumah, hak vreghtbuik (hak kebendaan untuk

menarik penghasilan dari sesuatu benda milik orang lain seolah-olah

benda itu miliknya sendiri dengan kewajiban menjaga supaya benda

tersebut tetap dalam keadaan semula), dan sesuatu benda bergerak

penagihan atas sejumlah uang atau sesuatu benda bergerak, surat-

surat sero dari suatu perseroan perdagangan, surat-surat obligasi

negara dan sebagainya.24

Gadai baru dianggap lahir dengan penyerahan kekuasaan

(bezit) atas barang yang dijadikan tanggungan pada pandnemer

(penerimaan gadaaai).

22 KUH Perdata Pasal 1195 23 Ibid, Pasal 1150 24 Subekti, op. cit., hlm. 62

Page 11: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

32

Pengertian ini oleh undang-undang dianggap sebagai sangat

mutlak untuk lahirnya suatu perjanjian gadai.25 Berdasarkan Pasal

1151 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “Persetujuan gadai

dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian

persetujuan yang pokok”. 26

Gadai haruslah ada surat perjanjian, meskipun dalam KUH

Perdata tidak mensyaratkan apa-apa oleh karenanya bentuk

perjanjian gadai dapat bebas tidak terikat oleh suatu bentuk tertentu.

Artinya, perjanjian bisa dilakukan secara tertulis atau lisan saja.

Secara tertulis bisa diadakan dengan akta notaris (otentik), bisa juga

diadakan dengan akta di bawah tangan saja.27

Perjanjian gadai dapat dihapus dengan dibayarnya hutang

debitur, dan apabila barangnya gadai keluar dari kekuasaan si

penerima gadai (Pandnemer).28

b. Hutang yang tidak disertai jaminan kebendaan

Yang termasuk dalam jenis hutang ini adalah seluruh hutang

yang ditimbulkan akibat tidak atau belum terpenuhinya sesuatu prestasi

dari pihak debitur. Jadi, hutang semacam ini tidak disertai pemberian

suatu jaminan apapun, baik berupa hipotik ataupun gadai.

25 Ibid, hlm. 80 26 KUH Perdata Pasal 1151 27 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit., hlm. 99 28 Ibid., hlm. 102

Page 12: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

33

Di samping perhutangan di atas, perhutangan dapat pula

dibedakan dari aspek yang berbeda antara lain:

1) Perhutangan perdata, ialah perhutangan yang pemenuhannya dapat digugat lewat pengadilan.

2) Perhutangan wajar, ialah perhutangan yang tidak ada pemaksaan untuk memenuhinya melalui gugat hukum.

3) Perhutangan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi, ialah perhutangan yang prestasinya dapat atau tidak dapat dibagi dalam artian yuridis, bukan dalam artian wajar.

4) Perhutangan pokok (principal), ialah perhutangan yang merupakan pokok sesuatu hubungan hukum, seperti kewajiban seorang penjual menyerahkan barang dan menanggung bebas.

5) Perhutangan tambahan, ialah perhutangan yang timbul dari keawajiban seorang pembeli yang membua janji untuk membeli kembali jika jual beli diadakan.

6) Perhutangan spesifik, ialah perhutangan mengenai benda tertentu satu persatu (individual bepald).

7) Perhutangan generik, ialah perhutangan mengenai benda yang ditentukan menurut jenisnya. Dalam perhutangan ini debitur dapat memilih benda mana dari jenis yang ditetapkan itu akan dilevernya.

8) Perhutangan sederhana, ialah perhutangan yang hanya membutuhkan satu prestasi tertentu yang menjadi kewajiban debitur.

9) Perhutangan berlipat ganda, ialah perhutangan yang meliputi lebih dari satu prestasi yang nampak untuk dipenuhi dapat berupa alternatif maupun komulatif.

10) Perhutangan murni, ialah perhutangan yang prestasinya terulang seketika.

11) Perhutangan bersyarat, ialah perhutangan yang tergantung suatu syarat, yakni peristiwa yang masih akan terjadi dan tidak pasti atau dengan bantuan waktu.29

Dari sekian banyak jenis perhutangan menurut KUH Perdata,

tentu saja tidak semuanya termasuk dalam pengertian hutang pewaris,

sebab hutang murni, misalnya jelas prestasinya sudah terpenuhi ketika

seorang masih hidup.

29 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit., hlm. 5-7

Page 13: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

34

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa macam hutang pewaris itu

dibagi menjadi dua, yaitu hutang yang berkaitan dengan Allah (dain Allah),

dan hutang yang berkaitan dengan manusia (dain ‘ibad). Hutang si mati

dengan sesamanya, ini meliputi dua hal, baik itu yang berkaitan dengan

kebendaan maupun yang tidak berkaitan dengan kebendaan yang disertai

dengan jaminan atau tidak.

B. Harta Kekayaan Pewaris yang Berpindah kepada Ahli Waris

Harta peninggalan pewaris secara keseluruhan sebelum dikurangi biaya-

biaya yang tercantum dalam privilege30 dan ongkos-ongkos untuk biaya

penguburan pewaris disebut dengan boedel. Termasuk di dalamnya pajak

suksesi yang harus ditunaikan oleh ahli waris, haruslah diselesaikan lebih

dahulu harta peninggalan (boedel) yang sudah dikurangi dengan hak istimewa

(privilage Pasal 1139 sub 1 dan Pasal 1149 sub 1), juga ongkos-ongkos

tersebut di atas barulah disebut dengan harta warisan.

Sebagai harta warisaan menurut KUH Perdata bukanlah kekayaan bersih

sesudah dilunasinya hutang pewaris pada masa hidupnya, melainkan juga

hutang-hutang dari orang yang meninggal dunia.

Burgerlijk Wetboek memandang harta warisan seseorang itu dari sudut

hakekatnya, bahwa yang diwarisi oleh ahli waris itu bukan hanya hal-hal yang

bermanfaat saja bagi mereka, melainkan juga hutang-hutang dari orang yang

30 Privilege adalah hak yang oleh UU diberikan kepada orang yang berpiutang sehingga

tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata karena sifat piutangnya, Lihat, Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Prandnya Paramita, 2002), hal. 91

Page 14: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

35

meninggal dalam arti bahwa kewajiban membayar hutang-hutang itu pada

hakekatnya beralih juga kepada ahli waris.

Dalam hukum waris berlaku juga suatu asas bahwa apabila seseorang

meninggal maka seketika itu juga segala hak dan kewajiban yang dapat dinilai

dengan uang berpindah kepada ahli waris. Namun demikian ada hak-hak dan

kewajiban yang berkaitan dengan hukum kekayaan tetapi tidak dapat

diwariskan,. yaitu perikatan-perikatan yang berasal dari hukum keluarga dan

hubungan hukum tertentu yang bersifat pribadi.31 Seperti hak material,

kewajiban kurator, hak wali atas orang yang berada di bawah perwaliannya.32

Juga keanggotaan dalam suatu perseroan lastgeving atau pemberi kuasa

berakhir dengan meninggalnya pemberi kuasa maupun si penerima kuasa.

Begitu pula hal-hak dan kewajiban yang terletak dalam lapangan perbendaan

atau perjanjian, tetapi tidak beralih pada ahli waris. Seperti suatu perjanjian

perburuhan yang akan dikerjakan dengan tenaganya sendiri atau suatu

perjanjian pengkongsian dagang baik yang berbentuk perseroan maupun firma

yang menurut undang-undang diakhiri dengan meninggalnya salah satu

anggota persero.33

Akan tetapi terdapat pengecualian dalam hak kewajiban yang bersifat

pribadi, seorang bapak untuk menyangkal sahnya anaknya, dan dipihak lain

hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah

31 J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 9-10 32 Ibid, hlm. 10 33 Subekti, op. cit., hlm. 96

Page 15: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

36

dari bapak atau ibunya. Hal tersebut menurut undang-undang beralih (diwarisi

oleh) ahli waris dan masing-masing dari orang yang mempunyai hak tersebut.34

Dengan demikian harta kekayaan pewaris yang berpindah kepada ahli

waris dapat berupa :

1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang termasuk di

dalamnya piutang yang hendak ditagih (aktiva).

2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang yang harus dibayar pada saat

meninggal dunia (passiva).

3. Serangkaian hak dan kewajiban seseorang pewaris yang dapat dinilai

dengan uang atau kekayaan dengan beberapa pengecualian serta

pengecualian dalam lapangan pribadi, berupa hak untuk menyangkal

sahnya anaknya dan dipihak lain hak seorang anak untuk menuntut supaya

ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari orang tuanya.

C. Tanggung Jawab Ahli Waris terhadap Hutang Pewaris

1. Kedudukan Ahli Waris terhadap Harta Peninggalan

Sistem hukum KUH Perdata memberikan objek pewarisan itu tidak

hanya kekayaan pewaris yang berwujud aktiva melainkan juga segala

hutang yang dimilikinya (passiva) sehingga yang beralih kepada ahli waris

itu meliputi seluruh harta dan hutang pewaris.35

34 J. Satrio, op. cit., hlm. 13-14 35 R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, (Jakarta: Sumur Bandung, 1983),

hlm. 150

Page 16: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

37

Akibat dari ketentuan tersebut, maka undang-undang memberikan

hak kepada ahli waris untuk berfikir dan menentukan sikap. Adapun

jangka waktu yang diberikan untuk berfikir dan menentukan sikap tersebut

adalah empat bulan. Bila sudah lewat waktu empat bulan, ahli waris masih

belum menentukan sikapnya, maka pengadilan negeri dapat

memperpanjang waktu berfikir dan menentukan sikap tersebut untuk satu

atau beberapa kali atas permintaan ahli waris yang bersangkutan. Biasanya

hak berfikir hanya digunakan oleh ahli waris yang dipaksa oleh kreditur

untuk segera menentukan sikapnya, yaitu menerima secara murni,

menerima beneficier36 atau menolak warisan. Sebaliknya bila ahli waris

tidak dalam keadaan terpaksa, maka ia dapat mengulur waktu hingga 30

tahun. Tetapi apabila selama kurun waktu tersebut ahli waris belum juga

dapat menentukan sikapnya, maka ahli waris berikutnya diberikan hak

untuk menerima harta warisan tersebut.37

Bagi ahli waris yang sedang berfikir, maka ia diberikan kesempatan

oleh undang-undang untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan

serta menginvertarisirnya, sesudah itu ia dapat menyatakan sikapnya.

Sebagaimana telah disebutkan, menyatakan sikap itu dapat berupa:

a. Menolak warisan.

Menurut Pasal 1058 KUH Perdata, seorang ahli waris yang

bersikap menolak ahli warisan dianggap tidak pernah ada, sehingga

36 Beneficier adalah penerimaan harta warisan dengan memberikan hak istimewa kepada

ahli waris untuk mengadakan pendaftaran terhadap harta peninggalan agar diketahui bagiannya setiap waktu. Lihat, Subekti dan Tjitrosoedibio, op. cit., hal. 15

37 A. Pitlo, op. cit., hlm. 2

Page 17: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

38

secara otomatis ia tidak berhak atas harta peninggalan, sebaliknya ia

juga tidak dibebani untuk membayar hutang-hutang pewaris. Akibat

penolakan tersebut, maka berdasarkan Pasal 1059 KUH Perdata yang

berbunyi:

“Bagian pada seseorang yang menolak, jauh pada mereka yang sedianya berhak atas bagian itu, seandainya si penolak itu tidak hidup pada waktu meninggalnya orang yang mewariskan”.38

Sebagai bagian yang semestinya jatuh kepada ahli waris tersebut

dikembalikan kepada harta warisan, hanya saja kalau penolakan itu

kemudian disusul dengan meninggalnya ahli waris itu sendiri, maka

dalam hal ini timbul penggantian ahli waris (plaatvervulling).

b. Menerima secara murni

Menurut Pasal 1048 KUH Perdata yang berbunyi:

“Penerimaan suatu warisan dapat dilakukan secara tegas atau dengan diam-diam, terjadilah dengan tegas penerimaan itu, jika seseorang dalam tulisan otentik atau tulisan di bawah tangan menamakan dirinya waris atau mengambil kedudukan sebagai waris, diam-diam terjadilah penerimaan itu. Jika seorang waris melakukan suatu perbuatan yang dengan jelas menunjukkan maksudnya untuk menerima warisan tersebut dan yang memang hanya dapat dilakukannya dalam kedudukannya sebagai ahli waris”.39

Penerimaan secara murni sesuai Pasal di atas dapat terjadi secara

tegas, yaitu membuat surat resmi (otentik) atau surat di bawah tangan,

secara diam-diam, yaitu apabila ahli waris tersebut melakukan sesuatu

yang dirinya dapat disimpulkan maksudnya penerimaan yang tanpa

syarat tersebut.

38 KUH Perdata Pasal 1059 39 Ibid, Pasal 1048

Page 18: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

39

Dalam penerimaan secara diam-diam, maka undang-undang

menetapkan dua syarat:

1) Bahwa persyaratan itu menunjukkan adanya kehendak untuk

menerima warisan.

2) waktu melakukan perbuatan itu kedudukannya semata-mata hanya

sebagai ahli waris.

Sementara itu menurut Pasal 1049 KUH Perdata ada beberapa

perbuatan yang tidak termasuk penerimaan secara diam-diam ialah:

1) Segala perbuatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan

jenazah.

2) Perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan hanya untuk menyimpan,

mengawasi dan mengurus sementara sesuatu benda tertentu dari

harta peninggalan.

Menurut Pasal 1046 ayat 1 KUH Perdata, bahwa untuk

menyatakan penerimaan terhadap sesuatu harta warisan adalah apabila

ahli waris itu seorang perempuan yang bersuami haruslah dibantu atau

diwakili oleh suaminya, apabila ahli waris itu seorang yang belum

dewasa haruslah dibantu oleh orang tua atau walinya, sedangkan

apabila ahli waris itu seorang berada di bawah pengampuan, maka ia

harus dibantu atau diwakili oleh pengampu atau kuratornya.

Sebagai akibat penerimaan secara murni ini adalah bahwa harta

peninggalan yang diterimanya itu bercampur menjadi satu dengan

harta atau kekayaan pribadi di ahli waris itu sendiri. Ini berarti hutang-

Page 19: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

40

hutang pewaris ini juga beralih kepada ahli waris tersebut. Sehingga

para krediturpun dapat langsung mengajukan tagihannya kepada ahli

waris tersebut.40

c. Penerimaan secara Beneficier

Penerimaan dengan cara ini memberikan hak istimewa kepada

ahli waris untuk mengadakan pendaftaran terhadap harta pendaftaran

agar bisa diketahui bagian-bagiannya setiap waktu. Penerimaan itu

sendiri mestilah dilakukan dengan cara memberikan keterangan di

kepaniteraan pengadilan negeri, untuk kemudian didaftarkan di

pengadilan tersebut.

Sesuai Pasal 1031 KUH Perdata, ahli waris yang telah menerima

secara beneficier dapat dianggap menerima secara murni apabila:

1) Jika ia dengan sengaja dan dengan itikad buruk telah memasukkan

sementara benda yang termasuk harta peninggalan dalam

pendaftaran tentang harta itu.

2) Jika ia telah bersalah melakukan penggelapan terhadap benda-

benda yang termasuk harta warisan.41

Akibat penerimaan secara beneficier lebih lanjut diterangkan

dalam Pasal 1032 KUH Perdata yang berbunyi :

“Hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan mempunyai akibat”: 1. Bahwa si waris tidak diwajibkan membayar hutang-hutang dan

beban-beban warisan yang melebihi jumlah harga benda-benda yang termasuk warisan itu, dan bahkan ia dapat emmbebaskan

40 R. Wirjono Prodjodikoro, op. cit., hlm. 154 41 KUH Perdata Pasal 1031

Page 20: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

41

dirinya dari pembayaran itu, dengan menyerahkan semua benda yang termasuk warisan kepada kekuasaan para berhutang.

2. Benda-benda pribadi si waris tidak dicampur dengan benda-benda warisan dan bahwa ia tetap berhak menagih piutangnya pribadi dari warisan.42

Dengan demikian, ahli waris semacam ini tidak dapat dianggap

sebagai orang yang memiliki hutang terhadap kreditur pewaris, tetapi

ia dapat digugat oleh para kreditur, hanya saja gugatan itu semata-

mata untuk menetapkan jumlah hutang pewaris.

Pembayaran atas hutang-hutang pewaris hanya dapat diambilkan

dari peninggalan. Ahli waris tidak dapat dituntut atau dipaksa untuk

membayar atau melunasi seluruh hutangnya, tetapi apabila sudah

dilunasi seluruh hutang-hutang pewaris dan masih terdapat sisa harta,

maka sisa tersebut menjadi hak ahli waris itu sendiri.

Seorang ahli waris beneficier, di samping melakukan

pencatatan-pencatatan terhadap harta peninggalan dapat empat bulan

setelah pernyataan diri bahwa ia menerima secara beneficier, juga

harus mengurus harta peninggalan sebaik-baiknya, sebebas-bebasnya

membereskan urusan warisan dan apabila diminta oleh semua orang

berpiutang harus memberikan tanggungan, memberikan jawaban-

jawaban kepada sekalian penagih hutang dan orang-orang yang

menerima pemberian secara legaat, serta memanggil orang-orang

berpiutang yang tidak terkenal dalam surat kabar.43

42 Ibid., Pasal 1032 43 Subekti, op. cit., hlm. 105

Page 21: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

42

2. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang pewaris

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pada hakekatnya dalam sistem

KUH Perdata yang berpindah kepada ahli waris itu tidak hanya hal-hal

yang bermanfaat saja melainkan juga tanggung jawab terhadap hak-hak

untuk membayar atau melunasi hutang-hutang mereka. Sehingga yang

beralih kepada ahli waris itu meliputi seluruh harta kekayaan baik berupa

aktiva maupun passiva yang berupa harta benda dan hutang-hutang.

Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang pewaris tergantung pada sikap

mereka terhadap harta warisan ketika terluang:

a. Bagi yang menolak warisan, maka ia tidak dapat dibebani hukum

sama sekali,karena ia dianggap bukan sebagai seorang ahli waris lagi.

Sehingga ia tidak berhak lagi atas hatra warisan, oleh karenanya ia pun

tidak dibebani kewajiban untuk membayar hutang-hutang pewaris,

baik secara tegas maupun diam-diam.

b. Menerima warisan, maka kewajiban membayar dan melunasi hutang-

hutang pewaris itu dibebankan seluruhnya kepadanya. Selanjutnya

Pasal 1033 KUH Perdata menyatakan bahwa:

“Si waris yang telah menerima warisannya dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan diwajibkan mengurus benda-benda yang termasuk harta itu sebagai bapak rumah yang baik, dan menyelesaikan urusaan itu selekas-lekasnya. Ia juga bertanggung jawab kepada para berpiutang dan semua penerima hibah wasiat”.44

44 KUH Perdata Pasal 1033

Page 22: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

43

Sehingga ahli waris yang bersikap menerima diwajibkan untuk

mengurus dan menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan harta

warisan secapatnya. Ia juga bertanggung jawab kepada kreditur dan

legataris.

c. Menerima secara beneficier, maka kewajiban membayar hutang-

hutang maksimal hanya ternatas pada besarnya bagian warisan yang

diperolehnya. Apabila masih belum mencukupi, maka ia tidak dikenai

kewajiban untuk menutupi kekurangan-kekurangannya.

Apabila hanya ada satu ahli waris dan ia bersikap menolak warisan,

maka menurut Pasal 1058 KUH Perdata ia tetap dianggap tidak pernah

ada. Dalam hal ini pewaris beralih kepada para ahli waris golongan

berikutnya. Apabila ahli waris itu lebih dari jumlah seorang, sedangkan

mereka yang menolak di lain pihak ada yang menerima, maka kreditur

hanya dapat mengajukan tagihannya kepada ahli waris yang bersikap

menerimanya itu saja.

Berdasarkan Pasal 1058 KUH Perdata kecuali dan jika terjadi ahli

waris pengganti di lain pihak kalau di antara ahli waris yang bersikap

menerima warisan itu ada yang menerima secara murni dan ada yang

menerima secara beneficier, maka sesuai dengan Pasal 1050 ayat 2 KUH

Perdata, seluruh harta peninggalan dianggap diterima secara beneficier,

dengan demikian harta peninggalan akan diselesaikan secara beneficier

pula. Tetapi jika ahli waris yang menerima secara murni telah terlebih

dahulu membayar dan melunasi hutang-hutang pewaris dengan

Page 23: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

44

mengorbankan harta kekayaan pribadinya, maka menurut hukum itu tetap

dianggap menerima secara murni, tetapi hanya sekedar mengenai

bagiannya saja. Sedangkan ahli waris yang lain tetap dianggap menerima

secara beneficier.

Dalam hal ini Hartono Soerjo Pratiknjo berpendapat:

“Dengan tidak mempedulikan apakah dia akan berpikir atau tidak ahli waris mempunyai wewenang untuk menerima secara beneficier (Pasal 1042 BW) kalau sudah diterima dengan murni maka tidak mungkin lagi diterima secara beneficier, akan tetapi sesudah ahli waris menerima secara beneficier ia masih dapat menerima secara murni. Siapa yang sudah menerima secara murni atau secara beneficier tidak dapat lagi menolak siapa yang sudah menolak tidak dapat menerima dengan cara bagaimanapun juga”45

Di lain pihak, R. Wirjono Prodjodikoro menegaskan: “Setelah A.

menerima tanpa syarat para berpiutang dan para legataris dapat menuntut

haknya terhadap kekayaan pribadi dari A”.

Hak ini lenyap apabila sebagai akibat dari penerimaan bersyarat dari

B, penerimaan tanpa syarat dari A, sekaligus menjelma menjadi

penerimaan bersyarat.

Pelenyapan hak para kreditur dan para legataris ini oleh semua ahli

hukum di negeri Belanda dianggap tidak adil, maka dari itu konsekuensi

ini tidak ditarik oleh mereka, melainkan dianggap A tetap diberlakukan

sebagai ahli waris yang menerima warisan tanpa syarat tetapi hanya

sekedar mengenai bagiannya dalam harta warisan. Artinya, kreditur dan

legataris dapat menuntut haknya terhadap barang-barang milik pribadi A

45 Hartono Soerjo Pratiknjo, op. cit., hlm. 60-61

Page 24: BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak

45

tetapi hanya sebagian saja, misalnya A berhak atas separoh dari hutang-

hutang pewaris dapat dituntut pembayarannya kembali dari si A itu.46

Selanjutnya Hartono Soerjo Pratiknjo menambahkan:

“Seseorang ahli waris serta (mederfgenaam) yang sudah menerima secara murni tetap menjadi ahli waris murni dan bertanggung jawab dengan seluruh kekayaan untuk bagiannya dalam hutang dan hibah wasiat dari harta peninggalan”.47

Akhirnya Pasal 832 ayat 2 KUH Perdata menerangkan bahwa:

“apabila pewaris itu tiadk meninggalkan ahli waris sama sekali, maka

harta peninggalannya menjadi milik negara dengan kewajiban

pembayaran hutang-hutang pewaris sekedar peninggalan tersebut

mencukupinya”.

Dalam hal ini para kreditur dapat mengajukan tagihannya kepada

negara, yaitu melalui balai harta peninggalan, sedangkan tagihan tersebut

dapat dipenuhi selagi jumlah harta peninggalan cukup melunasinya.

46 R. Wirjono Prodjodikoro, op. cit., hlm. 155-156 47 Hartono Soerjo Pratiknjo, op. cit., hlm. 63