22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUTANG PEWARIS DALAM HUKUM ISLAM DAN KUH PERDATA A. Pengertian Hutang Pewaris menurut Hukum Islam dan KUH Perdata Utang pewaris sebenarnya bukan termasuk dalam lingkup hukum waris. Utang pewaris pada dasarnya berkaitan dengan hal-hal yang harus dipenuhi oleh ahli waris sebelum harta pusaka dibagikan. Di samping hal-hal lain yang harus dipenuhi, seperti biaya perawatan jenazah, biaya penguburan jenazah dan lain sebagainya. Sedangkan hukum waris lebih memfokuskan pembahasannya pada aturan dan ketetentuan pembagian harta warisan, yang menyangkut siapa yang berhak mendapat harta warisan dan berapa kadar yang mereka peroleh dari pembagian itu. Apabila seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta dan ahli waris, maka tidaklah mutlak secara seluruh harta yang ditinggalkan oleh si pewaris tersebut menjadi hak ahli waris, sebab di dalam harta peninggalan, si pewaris tersebut masih ada hak-hak lain yang harus dikeluarkan terlebih dahulu sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris, di antara pelunasan hutang pewaris. 1 Jadi, pelunasan hutang pewaris adalah hal yang sangat urgen yang harus dipenuhi oleh ahli waris sebelum harta itu dibagikan. 1 Dalam Islam ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dan dipenuhi ketika si pewaris meninggal dan sebelum harta bendanya dibagikan adalah mencakup empat hal, yaitu: biaya perawatan, harta pewaris, wasiat pewaris, dan utang pewaris. (Lihat, Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2001), hal. 39)
24
Embed
BAB II 2100188 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
22
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUTANG PEWARIS
DALAM HUKUM ISLAM DAN KUH PERDATA
A. Pengertian Hutang Pewaris menurut Hukum Islam dan KUH Perdata
Utang pewaris sebenarnya bukan termasuk dalam lingkup hukum waris.
Utang pewaris pada dasarnya berkaitan dengan hal-hal yang harus dipenuhi
oleh ahli waris sebelum harta pusaka dibagikan. Di samping hal-hal lain yang
harus dipenuhi, seperti biaya perawatan jenazah, biaya penguburan jenazah dan
lain sebagainya. Sedangkan hukum waris lebih memfokuskan pembahasannya
pada aturan dan ketetentuan pembagian harta warisan, yang menyangkut siapa
yang berhak mendapat harta warisan dan berapa kadar yang mereka peroleh
dari pembagian itu.
Apabila seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta dan ahli waris,
maka tidaklah mutlak secara seluruh harta yang ditinggalkan oleh si pewaris
tersebut menjadi hak ahli waris, sebab di dalam harta peninggalan, si pewaris
tersebut masih ada hak-hak lain yang harus dikeluarkan terlebih dahulu
sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris, di antara pelunasan hutang
pewaris.1 Jadi, pelunasan hutang pewaris adalah hal yang sangat urgen yang
harus dipenuhi oleh ahli waris sebelum harta itu dibagikan.
1 Dalam Islam ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dan dipenuhi ketika si
pewaris meninggal dan sebelum harta bendanya dibagikan adalah mencakup empat hal, yaitu: biaya perawatan, harta pewaris, wasiat pewaris, dan utang pewaris. (Lihat, Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2001), hal. 39)
23
1. Pengertian Hutang dan Pewaris dalam Islam dan KUH Perdata
“Hutang atau utang” secara etimologis berarti uang yang dipinjam
dari orang lain: kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima:
membayar;- harus dikembalikan”2, sedangkan secara istilah utang adalah
“tanggungan yang harus diadakan pelunasannya dalam suatu waktu
tertentu. Kewajiban pelunasan utang timbul sebagai prestasi (imbalan)
yang telah diterima oleh si berutang”.3 Jadi utang adalah suatu tanggungan
yang harus dilunasi oleh seseorang sebagai akibat dari menerima imbalan”
Dalam al-Qur’an, utang atau hutang disebut dengan ungkapan dain
(���).4 Dain adalah bentuk masdar dari kata asalnya dainan ( ����������������
� �������). Ia berakar kata dari huruf-huruf dal, ya, alif dan nun. Dan tercatat
29 kali dalam al-Qur’an, maka yang dapat diidentifikasikan dari ayat-ayat
tersebut adalah tiga macam. Pertama, ia bermakna kredit harta tidak
secara tunai. Kedua, ia dapat juga berarti akidah. Ketiga, ia bahkan dapat
bermakna ketaatan.5
Dalam kajian ini, hutang di sini dibatasi pada pengertian yang
pertama, yakni kredit itu wajib dikembalikan kepada yang berhak. Ini
berarti, da’in dapat bermakna utang atau pinjaman yang dilakukan oleh
pewaris semasa hidupnya dan ia wafat sebelum melunasinya.6 Oleh karena
2 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Pusat
Pembinaan Pengembangan Bahasa: Balai Pustaka, 1990), hal. 896 3 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, op. cit., hal. 45 dan lihat, Fatchur Rahman,
Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hal. 43 4 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah
al-Qur’an, 1973), hlm. 133 5 Ali Parman, Kewarisan Dalam al-Qur’an; Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan
itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak
hanya sebatas berupa uang, namun juga meliputi benda milik, kredit bank,
cicilan dan sebagainya.
Sementara itu dalam KUH Perdata tidak dijelaskan tentang definisi
hutang. KUH Perdata hanya menyebutkan dua istilah yang dipakai dalam
perutangan, yaitu orang yang berhutang dan orang yang mengutangi. Atau
dalam pengertian lain, bahwa utang itu ada dan sering kali seseorang yang
berhutang (debitor) terhadap seorang yang lain (kreditor) diwajibkan
untuk suatu prestasi yang dapat dipaksakan melalui pengadilan. Sehingga
perhutangan adalah hubungan hukum yang atas dasar itu, seseorang dapat
mengharapkan suatu prestasi dari seorang yang lain atau jika perlu dengan
perantaraan hakim.
Prestasi (imbalan) dibebankan (wajib) kepada debitor yang dapat
berupa memberi, berbuat atau tidak berbuat sesuatu prestasi juga harus
tertentu atau dapat ditentukan (terutama perhutangan berdasarkan
perjanjian). Di samping itu prestasi harus mungkin dan halal dapat berupa
suatu perbuatan satu kali, serentetan perbuatan sehingga bersifat terus
menerus atau bahkan prestasi dapat juga berupa tingkah laku yang pasif
belaka.7
Pengertian hutang yang lainnya menurut KUH Perdata didasarkan
pada Pasal 1754-1769 tentang perjanjian pinjam mengganti (verbruikleen)
atau pinjam pakai habis. Dalam perjanjian ini, yang dikembalikan bukan
7 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Perhutangan Bagian A,
(Yogyakarta; Seksi Hukum Perdata FH. UGM, 1980), hlm. 4.
25
barang yang sama yang telah dipinjam, tetapi barang yang macamnya
sama. Orang yang memberi pinjaman menjadi penagih dan orang yang
diberi pinjaman berkewajiban untuk menyerahkan barang yang sejenis,
sehingga barang yang yang dipinjam dalam perjanjian ini harus dapat
diganti. Maka benda-benda yang tidak bergerak tidak dapat dijadikan
obyek perjanjian pakai habis atau pijam pengganti.
Dengan demikian, pengertian hutang dalam arti pinjaman
mempunyai pengertian yang lebih sempit daripada pengertian perhutangan
yang didasarkan pada Pasal 1234 KUH Perdata, sebab dalam perikatan
verbruikleen ini benda-benda yang tak bergerak tidak dapat dijadikan
sebagai objek perjanjian.
Lebih jauh Hartono Soerjopratiknjo memberikan pengertian
verbruikleen sebagai berikut :
“Verbruikleen atau pinjam pakai habis (yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi perjanjian yang pinjam pengganti) adalah suatu perjanjian pada mana pihak yang satu (kreditur) melepaskan atau menyerahkan (afstand) pada pihak yang lainnya (debitur) suatu jumlah uang tertentu atau jumlah barang tertentu yang habis apabila dipakai dengan janji bahwa di kemudian hari harus dikembalikan jumlah sama atau jumlah barang yang sama yang jenis atau keadaannya adalah sama”.8
Pengertian hutang dari kedua kelompok pasal di atas pada dasarnya
adalah sama, bahwa hutang merupakan hubungan hukum antara dua
subjek hukum atau lebih dengan hak dan kewajiban masing-masing, serta
8 Hartono Soerjopratiknjo, Hutang Piutang Perjanjian Pembayaran dan Pinjaman
akan selesai bila salah satu pihak sudah memenuhi prestasinya atau karena
sebab-sebab lain yang diperbolehkan undang-undang.
Sementara itu kata “pewaris” dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia diartikan sebagai “orang yang mewariskan”. Sedangkan A. Pitlo
mendefinisikan pewaris sebagai berikut:
“Adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan kekayaan. Orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukan hukum mengenai kekayaannya, baik untuk seluruhnya maupun untuk bagian yang sebanding, dinamakan “waris” atau “ahli waris”.9
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dinamakan hutang pewaris adalah tanggungan si mati (orang yang
mewariskan) yang harus dilunasi (dipenuhi) oleh ahli warisnya.
Hal ini didasarkan pada Firman Allah SWT. dalam surat an-Nisa
Artinya: “Setelah diambil untuk wasiat, yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar utangnya” (Q.S. an-Nisa’: 11)10
Jadi, pada prinsipnya pelunasan utang pewaris harus bersumber
pada nilai hartanya. Apabila jumlah uang melampaui jumlah harta
pusakanya, maka pelunasannya harus melalui sumber pendapatan lain
yang diurus oleh masyarakat.11
9 A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, terj.
M. Isa Arief, (Jakarta: Intermesa, 1990), hal. 1 10 Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hal. 117 11 Ali Parman, op. cit., hal. 99
27
2. Macam-Macam Utang dalam Islam dan KUH Perdata
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa seseorang yang meninggal
dengan meninggalkan tanggungan utang kepada orang lain, maka harus
dibayar utang tersebut atau dilunasi terlebih dahulu (dari harta peninggalan
si pewaris) sebelum hartanya tersebut dibagikan kepada ahli warisnya.
Para fuqaha mengelompokkan hutang seseorang itu kepada dua
kelompok:
a. Utang terhadap sesama manusia, atau dalam istilah hukum Islam
disebut juga dengan dain al-‘ibad (� ��������).
b. Utang kepada Allah SWT. atau dalam istilah hukum Islam disebut
juga dengan dain Allah (������).12
Utang terhadap sesama manusia apabila dilihat dari segi
pelaksanaannya dapat dipilih kepada:
a. Utang yang berkaitan dengan persoalan kehartabendaan (da’in
‘ainiyah).
b. Utang yang tidak berkaitan dengan persoalan kehartabendaan (da’in
mutlaqah).13
Utang yang tidak berkaitan dengan persoalan kehartabendaan ini
dilihat dari segi waktu pelaksanaannya dapat pula dikelompokkan kepada:
a. Utang mutlaqah apabila dilakukan pada waktu si pewaris dalam
keadaan sehat dan dibuktikan keabsahannya, disebut dengan da’in
sihah.
12 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, loc. cit. 13 Ibid., hal. 46
28
b. Utang mutlaqah apabila dilakukan pada waktu si pewaris dalam
keadaan sakit, serta tidak pula didukung oleh bukti-bukti yang kuat,
disebut juga dengan da’in marad.14
Di samping hutang si mati yang menyangkut pengklasifikasian
sebagaimana di atas (dain Allah dan dain al-‘Ibad), perhutangan juga
dibagi menjadi dua jenis. Pertama, adalah hutang yang ada sangkut
pautnya dengan harta tirkah, seperti gadai, barang yang sudah dibeli oleh
si mati semasa hidupnya. Kedua, hutang yang tidak ada sangkut pautnya
dengan harta tirkah, seperti hutang mahar, hutang tanpa gadai dan
sebagainya.15 Atau dalam pengertian lain, bahwa hutang si mati itu
meliputi hutang yang disertai dengan jaminan kebendaan dan hutang yang
tidak disertai kebendaan.
a. Hutang yang disertai jaminan kebendaan
Ada dua macam jaminan kebendaan yang digunakan untuk
menjamin suatu hutang, yaitu:16
1) Hipotik
Pada Pasal 1162 KUH Perdata menyebutkan:
“Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda tak bergerak guna mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan”.17
Dengan kata lain hipotik adalah hak kebendaan yang sengaja
diletakkan atas benda tak bergerak milik orang lain dengan maksud
14 Ibid. 15 Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (t.kp: Pustaka
Jaya, t.th.), hal. 72 16 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata , (Jakarta: Inter Masa, 1987). Hal. 77 17 KUH Perdata Pasal 1162 17 Hartono soerjopratikjo, op cit. hlm 49
29
untuk dapat mengambil pelunasan hutangnya dari hasil penjualan
benda tersebut, dengan mendahului hak-hak para kreditur yang lain.
Adapun barang-barang yang dapat dibebankan atau dijadikan
benda hipotik adalah:
a) Benda-benda bergerak yang dapat diperdagangkan dengan segala perlengkapannya, sepanjang yang terakhir itu dipandang sebagai benda tak bergerak.
b) Hak pungut atas benda-benda tersebut beserta perlengkapanya. c) Hak apsdtal (hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau
tanaman-tanaman atas tanahnya orang lain) dan erfpacht (hak untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk jangka waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atas penghasilan setiap tahunnya kepada pemilik tanah tersebut.
d) Bunga tanah baik yang harus dibayar dengan uang, maupun dengan sesuatu benda yang dihasilkan dari tanah tersebut.
e) Bunga sepersepuluh. f) Pasar-pasar yang diakui pemerintah beserta hak-hak istimewa
yang melekat padanya. 18
Dari keterangan di atas tampak bahwa tidak hanya barang
atau benda saja yang dapat dijadikan objek dalam hipotik.
Melainkan juga hak asalpun bisa dikategorikan dalam benda tak
bergerak .
Seorang yang akan nengadakan perjanjian hipotik haruslah
memenuhi syarat tertentu sesuai Pasal 1171 KUH Perdata berbunyi :
“Hipotik hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk undang-undang”19
Berdasarkan stanblat 1947 No. 53 hipotik harus dengan akta
yang dibuat di muka kepala kantor pendaftaran tanah, dan setelah itu
hipotik harus didaftarkan. Akan tetapi setelah berlakunya UU PA,
18 Ibid., 19 KUH Perdata Pasal 1171
30
pembebanan hipotik harus dibuat dengan akta yang dibuat oleh dan
dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh menteri agraria. Selanjutnya
didaftarkan dalam buku tanah.20 Pejabat yang dimaksud itu ialah
pejabat pembuat akta tanah (PPAT) mereka itu adalah :
a) Notaris b) Pegawai dalam lingkungan Departemen Agraria c) Pamong praja yang pernah melaksanakan tugas seorang pejabat d) Orang yang sudah lulus ujian yang diadakan oleh Menteri
Agraria (PMA No. 10 Th. 1961 Pasal 3).21
Dengan demikian, hipotik lahir pada saat dibuatnya akta
tersebut oleh pihak berwenang (PPAT), meskipun hal itu belum
merupakan alat bukti yang lewat tentang adanya perjanjian hipotik
selanjutnya untuk sampai pada tingkat alat bukti yang kuat harus
didaftarkan kepada kepala seksi pendafataran tanah. Sebuah sertifikat
hipotik yang disertai salinan akta mempunyai fungsi grase akta
hyphoteek serta mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu mempunyai
kekuatan sebagai putusan pengadilan.
Perjanjian hipotik hanya dapat berakhir dengan adanya roya
hipotik, yaitu pencoretan hipotik dari pendaftaran dalam register
umum oleh kepala seksi pendaftaran tanah, sesudah mendapat
laporan dari bank bahwa piutangnya telah dibayar lunas. Hal itu
dilakukan berdasarkan persetujuan antara pihak yang bersangkutan
dan berdasarkan putusan hakim. Sesuai dengan Pasal 1195 KUH
Perdata:
20 PP No. 10 Tahun 1961 Pasal 19 dan 22 Ayat 3 21 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty,
1981, hlm. 110)
31
“Segala pembukuan hapus dengan dicoretnya di dalam register. Pencoretan dilakukan atas biaya si berhutang dengan ijinnya para pihak yang berkepentingan, atau menurut keputusan hakim yang dijatuhkan dalam tingkatan penghabisan atau yang telah memperoleh kekuatan mutlak”.22
2) Gadai (pand)
Pasal 1150 KUH Perdata menyebutkan:
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh lain atas namanya dengan memberikan kekuasaan kepadaaa orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya”.23
Adapun benda-benda yang dapat dijadikan jaminan gadai
adalah semua jenis benda bergerak yang bukan milik kreditur itu
sendiri seperti perabot rumah, hak vreghtbuik (hak kebendaan untuk
menarik penghasilan dari sesuatu benda milik orang lain seolah-olah
benda itu miliknya sendiri dengan kewajiban menjaga supaya benda
tersebut tetap dalam keadaan semula), dan sesuatu benda bergerak
penagihan atas sejumlah uang atau sesuatu benda bergerak, surat-
surat sero dari suatu perseroan perdagangan, surat-surat obligasi
negara dan sebagainya.24
Gadai baru dianggap lahir dengan penyerahan kekuasaan
(bezit) atas barang yang dijadikan tanggungan pada pandnemer
Di samping perhutangan di atas, perhutangan dapat pula
dibedakan dari aspek yang berbeda antara lain:
1) Perhutangan perdata, ialah perhutangan yang pemenuhannya dapat digugat lewat pengadilan.
2) Perhutangan wajar, ialah perhutangan yang tidak ada pemaksaan untuk memenuhinya melalui gugat hukum.
3) Perhutangan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi, ialah perhutangan yang prestasinya dapat atau tidak dapat dibagi dalam artian yuridis, bukan dalam artian wajar.
4) Perhutangan pokok (principal), ialah perhutangan yang merupakan pokok sesuatu hubungan hukum, seperti kewajiban seorang penjual menyerahkan barang dan menanggung bebas.
5) Perhutangan tambahan, ialah perhutangan yang timbul dari keawajiban seorang pembeli yang membua janji untuk membeli kembali jika jual beli diadakan.
6) Perhutangan spesifik, ialah perhutangan mengenai benda tertentu satu persatu (individual bepald).
7) Perhutangan generik, ialah perhutangan mengenai benda yang ditentukan menurut jenisnya. Dalam perhutangan ini debitur dapat memilih benda mana dari jenis yang ditetapkan itu akan dilevernya.
8) Perhutangan sederhana, ialah perhutangan yang hanya membutuhkan satu prestasi tertentu yang menjadi kewajiban debitur.
9) Perhutangan berlipat ganda, ialah perhutangan yang meliputi lebih dari satu prestasi yang nampak untuk dipenuhi dapat berupa alternatif maupun komulatif.
10) Perhutangan murni, ialah perhutangan yang prestasinya terulang seketika.
11) Perhutangan bersyarat, ialah perhutangan yang tergantung suatu syarat, yakni peristiwa yang masih akan terjadi dan tidak pasti atau dengan bantuan waktu.29
Dari sekian banyak jenis perhutangan menurut KUH Perdata,
tentu saja tidak semuanya termasuk dalam pengertian hutang pewaris,
sebab hutang murni, misalnya jelas prestasinya sudah terpenuhi ketika
seorang masih hidup.
29 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit., hlm. 5-7
34
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa macam hutang pewaris itu
dibagi menjadi dua, yaitu hutang yang berkaitan dengan Allah (dain Allah),
dan hutang yang berkaitan dengan manusia (dain ‘ibad). Hutang si mati
dengan sesamanya, ini meliputi dua hal, baik itu yang berkaitan dengan
kebendaan maupun yang tidak berkaitan dengan kebendaan yang disertai
dengan jaminan atau tidak.
B. Harta Kekayaan Pewaris yang Berpindah kepada Ahli Waris
Harta peninggalan pewaris secara keseluruhan sebelum dikurangi biaya-
biaya yang tercantum dalam privilege30 dan ongkos-ongkos untuk biaya
penguburan pewaris disebut dengan boedel. Termasuk di dalamnya pajak
suksesi yang harus ditunaikan oleh ahli waris, haruslah diselesaikan lebih
dahulu harta peninggalan (boedel) yang sudah dikurangi dengan hak istimewa
(privilage Pasal 1139 sub 1 dan Pasal 1149 sub 1), juga ongkos-ongkos
tersebut di atas barulah disebut dengan harta warisan.
Sebagai harta warisaan menurut KUH Perdata bukanlah kekayaan bersih
sesudah dilunasinya hutang pewaris pada masa hidupnya, melainkan juga
hutang-hutang dari orang yang meninggal dunia.
Burgerlijk Wetboek memandang harta warisan seseorang itu dari sudut
hakekatnya, bahwa yang diwarisi oleh ahli waris itu bukan hanya hal-hal yang
bermanfaat saja bagi mereka, melainkan juga hutang-hutang dari orang yang
30 Privilege adalah hak yang oleh UU diberikan kepada orang yang berpiutang sehingga
tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata karena sifat piutangnya, Lihat, Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Prandnya Paramita, 2002), hal. 91
35
meninggal dalam arti bahwa kewajiban membayar hutang-hutang itu pada
hakekatnya beralih juga kepada ahli waris.
Dalam hukum waris berlaku juga suatu asas bahwa apabila seseorang
meninggal maka seketika itu juga segala hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang berpindah kepada ahli waris. Namun demikian ada hak-hak dan
kewajiban yang berkaitan dengan hukum kekayaan tetapi tidak dapat
diwariskan,. yaitu perikatan-perikatan yang berasal dari hukum keluarga dan
hubungan hukum tertentu yang bersifat pribadi.31 Seperti hak material,
kewajiban kurator, hak wali atas orang yang berada di bawah perwaliannya.32
Juga keanggotaan dalam suatu perseroan lastgeving atau pemberi kuasa
berakhir dengan meninggalnya pemberi kuasa maupun si penerima kuasa.
Begitu pula hal-hak dan kewajiban yang terletak dalam lapangan perbendaan
atau perjanjian, tetapi tidak beralih pada ahli waris. Seperti suatu perjanjian
perburuhan yang akan dikerjakan dengan tenaganya sendiri atau suatu
perjanjian pengkongsian dagang baik yang berbentuk perseroan maupun firma
yang menurut undang-undang diakhiri dengan meninggalnya salah satu
anggota persero.33
Akan tetapi terdapat pengecualian dalam hak kewajiban yang bersifat
pribadi, seorang bapak untuk menyangkal sahnya anaknya, dan dipihak lain
hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah
dari bapak atau ibunya. Hal tersebut menurut undang-undang beralih (diwarisi
oleh) ahli waris dan masing-masing dari orang yang mempunyai hak tersebut.34
Dengan demikian harta kekayaan pewaris yang berpindah kepada ahli
waris dapat berupa :
1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang termasuk di
dalamnya piutang yang hendak ditagih (aktiva).
2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang yang harus dibayar pada saat
meninggal dunia (passiva).
3. Serangkaian hak dan kewajiban seseorang pewaris yang dapat dinilai
dengan uang atau kekayaan dengan beberapa pengecualian serta
pengecualian dalam lapangan pribadi, berupa hak untuk menyangkal
sahnya anaknya dan dipihak lain hak seorang anak untuk menuntut supaya
ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari orang tuanya.
C. Tanggung Jawab Ahli Waris terhadap Hutang Pewaris
1. Kedudukan Ahli Waris terhadap Harta Peninggalan
Sistem hukum KUH Perdata memberikan objek pewarisan itu tidak
hanya kekayaan pewaris yang berwujud aktiva melainkan juga segala
hutang yang dimilikinya (passiva) sehingga yang beralih kepada ahli waris
itu meliputi seluruh harta dan hutang pewaris.35
34 J. Satrio, op. cit., hlm. 13-14 35 R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, (Jakarta: Sumur Bandung, 1983),
hlm. 150
37
Akibat dari ketentuan tersebut, maka undang-undang memberikan
hak kepada ahli waris untuk berfikir dan menentukan sikap. Adapun
jangka waktu yang diberikan untuk berfikir dan menentukan sikap tersebut
adalah empat bulan. Bila sudah lewat waktu empat bulan, ahli waris masih
belum menentukan sikapnya, maka pengadilan negeri dapat
memperpanjang waktu berfikir dan menentukan sikap tersebut untuk satu
atau beberapa kali atas permintaan ahli waris yang bersangkutan. Biasanya
hak berfikir hanya digunakan oleh ahli waris yang dipaksa oleh kreditur
untuk segera menentukan sikapnya, yaitu menerima secara murni,
menerima beneficier36 atau menolak warisan. Sebaliknya bila ahli waris
tidak dalam keadaan terpaksa, maka ia dapat mengulur waktu hingga 30
tahun. Tetapi apabila selama kurun waktu tersebut ahli waris belum juga
dapat menentukan sikapnya, maka ahli waris berikutnya diberikan hak
untuk menerima harta warisan tersebut.37
Bagi ahli waris yang sedang berfikir, maka ia diberikan kesempatan
oleh undang-undang untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan
serta menginvertarisirnya, sesudah itu ia dapat menyatakan sikapnya.
Sebagaimana telah disebutkan, menyatakan sikap itu dapat berupa:
a. Menolak warisan.
Menurut Pasal 1058 KUH Perdata, seorang ahli waris yang
bersikap menolak ahli warisan dianggap tidak pernah ada, sehingga
36 Beneficier adalah penerimaan harta warisan dengan memberikan hak istimewa kepada
ahli waris untuk mengadakan pendaftaran terhadap harta peninggalan agar diketahui bagiannya setiap waktu. Lihat, Subekti dan Tjitrosoedibio, op. cit., hal. 15
37 A. Pitlo, op. cit., hlm. 2
38
secara otomatis ia tidak berhak atas harta peninggalan, sebaliknya ia
juga tidak dibebani untuk membayar hutang-hutang pewaris. Akibat
penolakan tersebut, maka berdasarkan Pasal 1059 KUH Perdata yang
berbunyi:
“Bagian pada seseorang yang menolak, jauh pada mereka yang sedianya berhak atas bagian itu, seandainya si penolak itu tidak hidup pada waktu meninggalnya orang yang mewariskan”.38
Sebagai bagian yang semestinya jatuh kepada ahli waris tersebut
dikembalikan kepada harta warisan, hanya saja kalau penolakan itu
kemudian disusul dengan meninggalnya ahli waris itu sendiri, maka
dalam hal ini timbul penggantian ahli waris (plaatvervulling).
b. Menerima secara murni
Menurut Pasal 1048 KUH Perdata yang berbunyi:
“Penerimaan suatu warisan dapat dilakukan secara tegas atau dengan diam-diam, terjadilah dengan tegas penerimaan itu, jika seseorang dalam tulisan otentik atau tulisan di bawah tangan menamakan dirinya waris atau mengambil kedudukan sebagai waris, diam-diam terjadilah penerimaan itu. Jika seorang waris melakukan suatu perbuatan yang dengan jelas menunjukkan maksudnya untuk menerima warisan tersebut dan yang memang hanya dapat dilakukannya dalam kedudukannya sebagai ahli waris”.39
Penerimaan secara murni sesuai Pasal di atas dapat terjadi secara
tegas, yaitu membuat surat resmi (otentik) atau surat di bawah tangan,
secara diam-diam, yaitu apabila ahli waris tersebut melakukan sesuatu
yang dirinya dapat disimpulkan maksudnya penerimaan yang tanpa
syarat tersebut.
38 KUH Perdata Pasal 1059 39 Ibid, Pasal 1048
39
Dalam penerimaan secara diam-diam, maka undang-undang
menetapkan dua syarat:
1) Bahwa persyaratan itu menunjukkan adanya kehendak untuk
menerima warisan.
2) waktu melakukan perbuatan itu kedudukannya semata-mata hanya
sebagai ahli waris.
Sementara itu menurut Pasal 1049 KUH Perdata ada beberapa
perbuatan yang tidak termasuk penerimaan secara diam-diam ialah:
1) Segala perbuatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan
jenazah.
2) Perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan hanya untuk menyimpan,
mengawasi dan mengurus sementara sesuatu benda tertentu dari
harta peninggalan.
Menurut Pasal 1046 ayat 1 KUH Perdata, bahwa untuk
menyatakan penerimaan terhadap sesuatu harta warisan adalah apabila
ahli waris itu seorang perempuan yang bersuami haruslah dibantu atau
diwakili oleh suaminya, apabila ahli waris itu seorang yang belum
dewasa haruslah dibantu oleh orang tua atau walinya, sedangkan
apabila ahli waris itu seorang berada di bawah pengampuan, maka ia
harus dibantu atau diwakili oleh pengampu atau kuratornya.
Sebagai akibat penerimaan secara murni ini adalah bahwa harta
peninggalan yang diterimanya itu bercampur menjadi satu dengan
harta atau kekayaan pribadi di ahli waris itu sendiri. Ini berarti hutang-
40
hutang pewaris ini juga beralih kepada ahli waris tersebut. Sehingga
para krediturpun dapat langsung mengajukan tagihannya kepada ahli
waris tersebut.40
c. Penerimaan secara Beneficier
Penerimaan dengan cara ini memberikan hak istimewa kepada
ahli waris untuk mengadakan pendaftaran terhadap harta pendaftaran
agar bisa diketahui bagian-bagiannya setiap waktu. Penerimaan itu
sendiri mestilah dilakukan dengan cara memberikan keterangan di
kepaniteraan pengadilan negeri, untuk kemudian didaftarkan di
pengadilan tersebut.
Sesuai Pasal 1031 KUH Perdata, ahli waris yang telah menerima
secara beneficier dapat dianggap menerima secara murni apabila:
1) Jika ia dengan sengaja dan dengan itikad buruk telah memasukkan
sementara benda yang termasuk harta peninggalan dalam
pendaftaran tentang harta itu.
2) Jika ia telah bersalah melakukan penggelapan terhadap benda-
benda yang termasuk harta warisan.41
Akibat penerimaan secara beneficier lebih lanjut diterangkan
dalam Pasal 1032 KUH Perdata yang berbunyi :
“Hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan mempunyai akibat”: 1. Bahwa si waris tidak diwajibkan membayar hutang-hutang dan
beban-beban warisan yang melebihi jumlah harga benda-benda yang termasuk warisan itu, dan bahkan ia dapat emmbebaskan
2. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang pewaris
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pada hakekatnya dalam sistem
KUH Perdata yang berpindah kepada ahli waris itu tidak hanya hal-hal
yang bermanfaat saja melainkan juga tanggung jawab terhadap hak-hak
untuk membayar atau melunasi hutang-hutang mereka. Sehingga yang
beralih kepada ahli waris itu meliputi seluruh harta kekayaan baik berupa
aktiva maupun passiva yang berupa harta benda dan hutang-hutang.
Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang pewaris tergantung pada sikap
mereka terhadap harta warisan ketika terluang:
a. Bagi yang menolak warisan, maka ia tidak dapat dibebani hukum
sama sekali,karena ia dianggap bukan sebagai seorang ahli waris lagi.
Sehingga ia tidak berhak lagi atas hatra warisan, oleh karenanya ia pun
tidak dibebani kewajiban untuk membayar hutang-hutang pewaris,
baik secara tegas maupun diam-diam.
b. Menerima warisan, maka kewajiban membayar dan melunasi hutang-
hutang pewaris itu dibebankan seluruhnya kepadanya. Selanjutnya
Pasal 1033 KUH Perdata menyatakan bahwa:
“Si waris yang telah menerima warisannya dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan diwajibkan mengurus benda-benda yang termasuk harta itu sebagai bapak rumah yang baik, dan menyelesaikan urusaan itu selekas-lekasnya. Ia juga bertanggung jawab kepada para berpiutang dan semua penerima hibah wasiat”.44
44 KUH Perdata Pasal 1033
43
Sehingga ahli waris yang bersikap menerima diwajibkan untuk
mengurus dan menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan harta
warisan secapatnya. Ia juga bertanggung jawab kepada kreditur dan
legataris.
c. Menerima secara beneficier, maka kewajiban membayar hutang-
hutang maksimal hanya ternatas pada besarnya bagian warisan yang
diperolehnya. Apabila masih belum mencukupi, maka ia tidak dikenai
kewajiban untuk menutupi kekurangan-kekurangannya.
Apabila hanya ada satu ahli waris dan ia bersikap menolak warisan,
maka menurut Pasal 1058 KUH Perdata ia tetap dianggap tidak pernah
ada. Dalam hal ini pewaris beralih kepada para ahli waris golongan
berikutnya. Apabila ahli waris itu lebih dari jumlah seorang, sedangkan
mereka yang menolak di lain pihak ada yang menerima, maka kreditur
hanya dapat mengajukan tagihannya kepada ahli waris yang bersikap
menerimanya itu saja.
Berdasarkan Pasal 1058 KUH Perdata kecuali dan jika terjadi ahli
waris pengganti di lain pihak kalau di antara ahli waris yang bersikap
menerima warisan itu ada yang menerima secara murni dan ada yang
menerima secara beneficier, maka sesuai dengan Pasal 1050 ayat 2 KUH
Perdata, seluruh harta peninggalan dianggap diterima secara beneficier,
dengan demikian harta peninggalan akan diselesaikan secara beneficier
pula. Tetapi jika ahli waris yang menerima secara murni telah terlebih
dahulu membayar dan melunasi hutang-hutang pewaris dengan
44
mengorbankan harta kekayaan pribadinya, maka menurut hukum itu tetap
dianggap menerima secara murni, tetapi hanya sekedar mengenai
bagiannya saja. Sedangkan ahli waris yang lain tetap dianggap menerima
secara beneficier.
Dalam hal ini Hartono Soerjo Pratiknjo berpendapat:
“Dengan tidak mempedulikan apakah dia akan berpikir atau tidak ahli waris mempunyai wewenang untuk menerima secara beneficier (Pasal 1042 BW) kalau sudah diterima dengan murni maka tidak mungkin lagi diterima secara beneficier, akan tetapi sesudah ahli waris menerima secara beneficier ia masih dapat menerima secara murni. Siapa yang sudah menerima secara murni atau secara beneficier tidak dapat lagi menolak siapa yang sudah menolak tidak dapat menerima dengan cara bagaimanapun juga”45
Di lain pihak, R. Wirjono Prodjodikoro menegaskan: “Setelah A.
menerima tanpa syarat para berpiutang dan para legataris dapat menuntut
haknya terhadap kekayaan pribadi dari A”.
Hak ini lenyap apabila sebagai akibat dari penerimaan bersyarat dari
B, penerimaan tanpa syarat dari A, sekaligus menjelma menjadi
penerimaan bersyarat.
Pelenyapan hak para kreditur dan para legataris ini oleh semua ahli
hukum di negeri Belanda dianggap tidak adil, maka dari itu konsekuensi
ini tidak ditarik oleh mereka, melainkan dianggap A tetap diberlakukan
sebagai ahli waris yang menerima warisan tanpa syarat tetapi hanya
sekedar mengenai bagiannya dalam harta warisan. Artinya, kreditur dan
legataris dapat menuntut haknya terhadap barang-barang milik pribadi A
45 Hartono Soerjo Pratiknjo, op. cit., hlm. 60-61
45
tetapi hanya sebagian saja, misalnya A berhak atas separoh dari hutang-
hutang pewaris dapat dituntut pembayarannya kembali dari si A itu.46
Selanjutnya Hartono Soerjo Pratiknjo menambahkan:
“Seseorang ahli waris serta (mederfgenaam) yang sudah menerima secara murni tetap menjadi ahli waris murni dan bertanggung jawab dengan seluruh kekayaan untuk bagiannya dalam hutang dan hibah wasiat dari harta peninggalan”.47
Akhirnya Pasal 832 ayat 2 KUH Perdata menerangkan bahwa:
“apabila pewaris itu tiadk meninggalkan ahli waris sama sekali, maka
harta peninggalannya menjadi milik negara dengan kewajiban
pembayaran hutang-hutang pewaris sekedar peninggalan tersebut
mencukupinya”.
Dalam hal ini para kreditur dapat mengajukan tagihannya kepada
negara, yaitu melalui balai harta peninggalan, sedangkan tagihan tersebut
dapat dipenuhi selagi jumlah harta peninggalan cukup melunasinya.