1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam dan sangat luas, mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara progresif, dan pada umumnya akan berakhir dengan gagal ginjal tahap akhir (terminal) (1). Hampir 8 juta orang (4% dari populasi dewasa AS) menderita PGK sedang sampai berat, dan 450.000 lainnya menderita penyakit ginjal stadium akhir (End Stage Renal Disease/ESRD). Angka tersebut diperkirakan akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, prevalensi diabetes, dan hipertensi. Populasi ESRD diperkirakan akan meningkat paling tidak 600.000 sampai dengan 2015 (2,3). Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia, diperkirakan insidensi dan prevalensi PGK masing-masing berkisar 100-150/juta penduduk dan 200-250/juta penduduk (4). Sementara itu, 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam dan sangat luas, mengakibatkan terjadinya penurunan
fungsi ginjal yang terjadi secara progresif, dan pada umumnya akan berakhir
dengan gagal ginjal tahap akhir (terminal) (1). Hampir 8 juta orang (4% dari
populasi dewasa AS) menderita PGK sedang sampai berat, dan 450.000 lainnya
menderita penyakit ginjal stadium akhir (End Stage Renal Disease/ESRD). Angka
tersebut diperkirakan akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia,
prevalensi diabetes, dan hipertensi. Populasi ESRD diperkirakan akan meningkat
paling tidak 600.000 sampai dengan 2015 (2,3). Dari data di beberapa pusat
nefrologi di Indonesia, diperkirakan insidensi dan prevalensi PGK masing-masing
berkisar 100-150/juta penduduk dan 200-250/juta penduduk (4). Sementara itu,
berdasarkan rekam medik di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin, jumlah
kunjungan pasien PGK yang sudah mencapai tahap ESRD yang ditangani di Unit
Hemodialisis pada tahun 2009 sebanyak 462 orang.
Pada GFR di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius, dan pasien sudah memerlukan terapi penggantian ginjal (renal replacement
therapy), antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) (1). Berkurangnya fungsi ginjal
dihubungkan dengan banyak komplikasi, seperti hipertensi, anemia, gagal
1
2
jantung, asidosis metabolik, malnutrisi, penyakit tulang, berkurangnya kualitas
hidup, bahkan meninggal. Komplikasi PGK muncul paling banyak pada stadium 4
atau 5. Diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menilai prognosis dari PGK
(1,5).
Pemeriksaan untuk menilai fungsi ginjal sangat beragam, seperti perkiraan
dan tekanan darah (6). Berdasarkan penelitian Daniel, dalam mengidentifikasi
pasien PGK, hal yang paling penting adalah memperkirakan GFR dengan akurat.
Standar klinik saat ini menganjurkan perkiraan GFR dengan menggunakan
persamaan kreatinin serum (3). Menurut Lesley et al, perkiraan GFR merupakan
penilaian secara keseluruhan yang terbaik dalam menentukan tingkat fungsi ginjal
(5). Menurut Levey et al, penurunan GFR pada usia lanjut merupakan prediktor
independen dalam menentukan komplikasi, seperti kematian dan penyakit
kardiovaskular. Hal ini disebabkan oleh prevalensi PGK yang meningkat seiring
bertambahnya usia, kira-kira 17% dari pasien yang berusia lebih dari 60 tahun
memiliki GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 (2). Namun, terdapat masalah
keakuratan dari formula yang digunakan untuk memperkirakan GFR, yaitu
populasi dan etnik yang beragam dengan perbedaan ukuran tubuh dan massa otot.
Masalah lainnya adalah perbedaan pengukuran kadar kreatinin serum di
laboratorium klinik, padahal penghitungan GFR diperkirakan dari hasil
pengukuran tersebut (7). Selain itu, pengukuran GFR ini memerlukan banyak
waktu, mahal (8).
2
3
Salah satu pemeriksaan penting lainnya untuk menilai fungsi ginjal adalah
pemeriksaan kadar Hb. Ginjal yang normal memproduksi hormon yang disebut
eritropoietin, yang dapat merangsang sumsum tulang untuk memproduksi jumlah
sel darah merah dengan tepat yang dibutuhkan untuk membawa oksigen ke organ
vital. Pasien dengan PGK stadium 4 dan 5 hampir selalu mengalami penurunan
Hb di bawah kadar normal. Penyebab paling penting dari hal ini adalah
berkurangnya sekresi eritropoietin ginjal. Jika ginjal mengalami kerusakan berat,
ginjal tidak mampu membentuk eritropoietin dalam jumlah yang cukup, sehingga
mengakibatkan penurunan produksi sel darah merah dan menimbulkan penurunan
Hb (9,10). Beberapa studi menunjukkan hubungan antara konsentrasi Hb dan
fungsi ginjal (11). Pemeriksaan hemoglobin relatif murah dan tersedia secara luas
di Puskesmas, sehingga baik diterapkan untuk menjadi pemeriksaan dalam
menilai fungsi ginjal.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mencari korelasi antara hasil
pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai GFR tersebut. Penelitian mengenai hal
ini belum pernah dilakukan sebelumnya di RSUD Ulin Banjaramasin. Penelitian
akan dilakukan di Instalasi Hemodialisis RSUD Ulin Banjarmasin karena rumah
sakit tersebut merupakan pusat rujukan pasien penyakit ginjal dari seluruh
wilayah Kalimantan Selatan. Instalasi Hemodialisis umumnya menangani pasien
penyakit ginjal yang sudah berada pada tahap akhir (ESRD).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dikemukakan permasalahan, yaitu:
Apakah terdapat korelasi antara hasil pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai
3
4
GFR dalam menilai prognosis gagal ginjal terminal pada pasien hemodialisis di
RSUD Ulin Banjarmasin?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara hasil
pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai GFR dalam menilai prognosis gagal
ginjal terminal pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin.
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengukur kadar hemoglobin,
menghitung nilai GFR, dan mencari korelasi keduanya dalam menilai prognosis
gagal ginjal terminal pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memprediksi prognosis gagal ginjal terminal
dengan menggunakan pemeriksaan kadar hemoglobin, sehingga dapat mencegah
komplikasi, prognosis yang buruk, dan secara tidak langsung akan mengurangi
angka kematian akibat gagal ginjal terminal. Oleh karena itu, penelitian ini akan
bermanfaat untuk masyarakat dan pengembangan ilmu kedokteran.
4
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Ginjal Kronik dan Gagal Ginjal Terminal
Pada tahun 2002, National Kidney Foundation (NKF) memperkenalkan
sebuah petunjuk standar untuk diagnosis, definisi dan klasifikasi PGK. Definisi
PGK adalah kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, yang ditandai dengan
abnormalitas struktur dan fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan GFR, atau
GFR < 60 ml/menit/1,73 m² luas permukaan tubuh lebih dari tiga bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal (12,13). Suatu keadaan dimana faal ginjal yang masih
tersisa sudah minimal sehingga usaha pengobatan konservatif yang berupa diet,
pembatasan minum, obat-obatan, dan lain-lain tidak memberi pertolongan yang
diharapkan lagi disebut gagal ginjal terminal (GGT) atau end-stage renal disease
(ESRD) (14). Klasifikasi PGK menurut NKF adalah seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 2.1.
5
6
Tabel 2.1. Klasifikasi PGK dan rencana tatalaksana sesuai dengan stadiumnya (1,15)
Stadium PGK
DeskripsiGFR
(ml/menit/1,73m2)Rencana Tatalaksana
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat
>90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid*, evaluasi progresivitas fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskuler
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan
60-89 Menghambat progresivitas
3 Penurunan GFR sedang
30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 Penurunan GFR berat
15-29 Persiapan untuk terapi penggantian ginjal
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis Terapi penggantian ginjal jika uremia
Keterangan:* Kondisi komorbid seperti gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol,
infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
PGK merupakan masalah kesehatan utama di Amerika Serikat.
Prevalensi gagal ginjal meningkat secara permanen sejak ditemukannnya
penyakit ini oleh Medicare pada tahun 1973 (16). Menurut penelitian Daniel,
insidensi dan prevalensi meningkat dari semua stadium penyakit ginjal, termasuk
gagal ginjal. Hampir 8 juta orang (4% dari populasi dewasa AS) menderita PGK
sedang sampai berat, dan 450.000 lainnya menderita penyakit ginjal stadium akhir
(ESRD). Angka tersebut diperkirakan akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, prevalensi diabetes, dan hipertensi. Populasi ESRD
diperkirakan akan meningkat paling tidak 600.000 sampai dengan 2015 (3). Di
Singapura, negara Asia Selatan-Timur, prevalensi PGK dilaporkan 10,1% (5,17).
6
7
Berdasarkan data di beberapa pusat nefrologi Indonesia diperkirakan
insidensi dan prevalensi PGK masing-masing berkisar 100-150/juta penduduk dan
200-250/juta penduduk (4). Namun menurut Widiana, di Indonesia sendiri belum
memiliki sistem register yang lengkap di bidang penyakit ginjal, diperkirakan
terdapat 100 per sejuta penduduk atau sekitar 20.000 kasus baru dalam setahun.
Selain itu mahalnya tindakan hemodialisis masih merupakan masalah besar dan di
luar jangkauan sistem kesehatan (18).
Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pada stadium paling dini PGK, terjadi kehilangan daya cadang ginjal
(renal reserve), dimana GFR basal masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai GFR 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai GFR 30%,
mulai terjadi keluhan pada pasien, seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu
makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah
dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi, seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo- atau hipervolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit, antara lain natrium dan kalium. Pada GFR di bawah 15% akan terjadi
7
8
gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal (renal replacement therapy), antara lain dialisis atau transplantasi
ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD)
(1).
Pada ESRD, pasien mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah,
karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan
elektrolit dalam tubuh (19). Gejala-gejala klinis yang serius sering tidak muncul
sampai jumlah nefron fungsional berkurang sedikitnya 70% di bawah normal (9).
Urutan peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal progresif dapat diuraikan
dari segi hipotesis nefron yang utuh. Meskipun PGK terus berlanjut, namun
jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan
homeostasis tidak berubah, walaupun jumlah nefron yang bertugas melakukan
fungsi tersebut sudah menurun secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan
oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk
melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi,
beban zat terlarut dan reabsorbsi tubulus dalam setiap nefron, meskipun GFR
untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai
normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat
rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka
kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi
sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus (keseimbangan antara peningkatan
8
9
filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan.
Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun konservasi zat terlarut dan air
menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah
keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR (yang berarti
makin sedikit nefron yang ada), semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per
nefron (19).
Faktor risiko PGK antara lain adalah hipertensi atau penyakit
kardiovaskular, diabetes mellitus, usia di atas 60 tahun, riwayat penyakit ginjal di
keluarga, infeksi saluran kemih yang berulang, terpapar obat-obatan Nonsteroidal
anti-inflamatory drugs (NSAID), antibiotik, dan agen kimia lainnya (20).
PGK mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi (1), seperti ditunjukkan pada
Tabel 2.2.
9
10
Tabel 2.2. Komplikasi PGK (1)
Derajat PenjelasanGFR
(ml/menit)Komplikasi
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal
> 90-
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR yang ringan
60-89Tekanan darah mulai meningkat
3 Penurunan GFR sedang 30-59 Hiperfosfatemia Hipokalemia Anemia Hiperparatiroid Hipertensi Hiperhomosistinemia4 Penurunan GFR berat 15-29 Malnutrisi Asidosis metabolic
Cenderung hiperkalemia
Dislipidemia5 Gagal ginjal <15 Gagal jantung
Uremia
B. GFR
GFR didefinisikan sebagai kecepatan munculnya filtrat glomerulus dari
filtrasi darah di glomerulus (19). GFR relatif konstan dan memberi indikasi kuat
mengenai fungsi ginjal (21). Nilai GFR yang tinggi bermanfaat untuk membuat
ginjal mampu menyingkirkan produk sisa dari tubuh dengan cepat, yang terutama
bergantung pada filtrasi glomerulus untuk eksresinya. Nilai normal GFR kira-kira
130 ml/menit/1,73m² pada pria muda dan 120 ml/menit/1,73m² pada wanita muda
(5). Kebanyakan produk sisa tersebut direabsorbsi sedikit oleh tubulus, oleh
10
11
karena itu bergantung pada GFR yang tinggi untuk penyingkiran yang efektif
pada tubuh (9).
Faktor yang mempengaruhi GFR antara lain adalah (21):
1. Tekanan kapiler
Tekanan kapiler bergantung pada tekanan arteri rerata. Peningkatan tekanan
arteri rerata meningkatkan tekanan kapiler, sehingga cenderung terjadi
peningkatan filtrasi glomerulus, dan sebaliknya.
2. Tekanan cairan interstisium
Tekanan cairan interstisium di kapsula Bowman dan tubulus di sekitarnya
dapat meningkat secara drastis apabila glomerulus rusak. Peningkatan tekanan
cairan interstisium menahan filtrasi glomerulus lebih lanjut. Dengan
berkurangnya filtrasi glomerulus, maka volume darah dan komposisi elektrolit
tidak dapat diatur.
3. Tekanan osmotik koloid plasma
Tekanan osmotik koloid plasma bergantung pada konsentrasi protein plasma.
Kadar protein plasma dapat menurun akibat penyakit hati, pengeluaran protein
melalui urin, atau malnutrisi protein. Tekanan osmotik koloid plasma
merupakan faktor utama yang mendorong terjadinya reabsorbsi cairan kembali
ke kapiler.
4. Tekanan osmotik koloid cairan interstisium
Tekanan osmotik koloid cairan interstisium rendah karena hanya sedikit
protein plasma atau sel darah merah dapat menembus glomerulus. Pada cedera
glomerulus, tekanan osmotik koloid cairan interstisium dapat meningkat.
11
12
Apabila tekanan osmotik koloid cairan interstisium meningkat, maka cairan
akan tertarik keluar glomerulus, sehingga terjadi pembengkakan dan edema di
ruang yang mengelilingi tubulus, sehingga dapat mengganggu filtrasi
glomerulus lebih lanjut.
Menurut Amira, terdapat beberapa cara yang digunakan para klinisi untuk
menilai GFR, yaitu (22):
1. Kreatinin serum
Kreatinin adalah metabolit dari kreatinin fosfat yang ditemukan di otot skelet.
Produksinya dipengaruhi oleh massa otot dan diet protein. Kreatinin bebas
difiltrasi di glomerulus dan juga mengalami sekresi di tubulus, nilainya
beragam di setiap individu tergantung dari tingkat fungsi ginjal. Nilai normal
kreatinin serum 0,6-1,2 mg/dl.
2. Bersihan inulin
Inulin merupakan polimer fruktosa yang memilki berat molekul 5200 dalton.
Inulin bebas difiltrasi, tidak direabsorbsi dan disekresi di tubulus, akan tetapi
harus dieliminasi dari ginjal. Oleh karena itu, bersihan inulin merupakan
standar baku emas dalam menilai GFR. Akan tetapi, adanya prosedur yang
sangat menyulitkan dan mahal membuat cara ini jarang digunakan oleh klinisi.
3. Bersihan kreatinin endogen
Bersihan kreatinin membutuhkan urin 24 jam yang dikumpulkan, yang cukup
sulit untuk dilakukan. Sumber kesalahan dari pengukuran ini adalah proses
pengumpulan urin, yaitu memulai mengumpulkan urin pasien di saat kandung
12
13
kemihnya kosong dan mencatat waktu dimulainya pengumpulan urin selama
24 jam.
4. Plasma cystatin C
Cystatin C merupakan penanda baru dalam menilai GFR yang sensitif yang
lebih akurat dari pengukuran lainnya. Cystatin C adalah protein yang berat
molekulnya rendah, diproduksi di seluruh inti sel dan relatif konstan. Kondisi
peradangan, perubahan diet, dan status volume tidak mempengaruhi penanda
ini. Cystatin C dieliminasi dari tubuh melalui filtrasi glomerulus dan tidak
disekresi di tubulus. Akan tetapi, pemeriksaan ini sangat mahal dan belum
tersedia secara luas, sehingga hanya sebagian kecil klinisi yang menggunakan
cara ini untuk menilai GFR.
5. Formula perkiraan
Persamaan Cockcroft–Gault dapat digunakan untuk memperkirakan GFR pada
orang dewasa. Rasio filtrasi glomerulus dapat diperkirakan dari kadar kreatinin
serum dengan menggunakan persamaan yang juga mempertimbangkan usia,
berat badan, jenis kelamin, dan kreatinin plasma (2).
Persamaan Formula Cockroft-Gault adalah sebagai berikut (1):
GFR (ml/menit/1,73m2) = (140-umur) x Berat badan (pria)
72 x kreatinin plasma
GFR (ml/menit/1,73m2) = (140-umur) x Berat badan x 0,85 (wanita)
72 x kreatinin plasma
Berdasarkan penelitian Daniel, dalam mengidentifikasi pasien PGK, hal
yang paling penting adalah memperkirakan GFR dengan akurat. Standar klinik
13
14
saat ini menganjurkan perkiraan GFR dengan menggunakan persamaan kreatinin
serum (3). Menurut Lesley et al, perkiraan GFR merupakan penilaian secara
keseluruhan yang terbaik dalam menentukan tingkat fungsi ginjal, karena
kerusakan/pemburukan ginjal seiring dengan penurunan GFR (5). Namun,
terdapat masalah pada keakuratan formula yang digunakan untuk memperkirakan
GFR, yaitu dalam hal populasi dan etnik yang beragam dengan perbedaan ukuran
tubuh dan massa otot. Masalah lainnya adalah perbedaan pengukuran kadar
kreatinin serum di laboratorium klinik, padahal penghitungan GFR diperkirakan
dari hasil pengukuran tersebut (7).
C. Kadar Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) adalah molekul protein dalam sel darah merah yang
membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan kembali membawa
karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru. Hb memiliki kapasitas mengikat
oksigen antara 1,36 sampai 1,37 ml oksigen per gram Hb (9).
Ginjal yang normal memproduksi hormon yang disebut eritropoietin (EPO),
yang dapat merangsang sumsum tulang untuk memproduksi jumlah sel darah
merah dengan tepat yang dibutuhkan untuk membawa oksigen ke organ vital.
Pasien dengan PGK stadium 4 dan 5 hampir selalu mengalami penurunan Hb di
bawah normal. Penyebab paling penting dari hal ini adalah berkurangnya sekresi
eritropoietin ginjal. Jika ginjal mengalami kerusakan berat, ginjal tidak mampu
membentuk eritropoietin dalam jumlah yang cukup, sehingga mengakibatkan
penurunan produksi sel darah merah dan menimbulkan penurunan kadar Hb di
karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru (9). Ginjal yang normal memproduksi
hormon yang disebut eritropoietin (EPO), yang dapat merangsang sumsum tulang
untuk memproduksi jumlah sel darah merah dengan tepat yang dibutuhkan untuk
membawa oksigen ke organ vital. Pasien dengan PGK stadium 4 dan 5 hampir
selalu mengalami penurunan Hb di bawah normal. Penyebab paling penting dari
hal ini adalah berkurangnya sekresi eritropoietin ginjal (9,10). Beberapa studi
menunjukkan terdapat hubungan antara konsentrasi Hb dan fungsi ginjal (11).
Dari uraian di atas dapat dibuat kerangka konsep seperti pada Gambar 3.1.
Keterangan : = menginduksi, = diduga, * variabel yang diteliti
Gambar 3.1 Skema kerangka konsep penelitian korelasi antara kadar hemoglobin dan nilai GFR dalam menilai prognosis GGT pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin periode Juli 2010
18
Penurunan GFR*
Fungsi ginjal terganggu
Produksi hormon eritropoietin menurun
Rangsangan produksi sel darah merah di sumsum tulang menurun
Penurunan kadar hemoglobin*
Filtrasi glomerulus menurun
Ginjal rusak
Gagal Ginjal Terminal
PGK
19
B. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat korelasi antara hasil pemeriksaan
kadar hemoglobin dan nilai GFR dalam menilai prognosis gagal ginjal terminal
pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin.
19
20
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan pendekatan
cross-sectional.
B. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah pasien gagal ginjal terminal yang
dihemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin selama kurun waktu bulan Juli 2010.
Proses pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling.
Pada penelitian ini, jumlah sampel yang digunakan adalah 30 orang. Kriteria
inklusi pasien adalah pasien yang tidak sedang menderita penyakit hematologi
lain seperti leukemia, tidak sedang menderita penyakit kronis seperti HIV dan
TBC, tidak sedang menderita penyakit keganasan, dan tidak sedang mendapatkan
pengobatan kemoterapi pada pasien PGK dengan kanker (24).
C. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan penelitian
Bahan yang digunakan pada pemeriksaan kadar hemoglobin adalah darah