Universitas Jayabaya
Bab III Metodologi penelitian
27
1
BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang didominasi oleh
lautan. Sungai besar dan kecil mengalir dari pegunungan, melewati
pedesaan, perkotaan kemudian bermuara di lautan. Air sungai
memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat di pedesaan dan
perkotaan. Di daerah pedesaan, air sungai digunakan sebagai air
minum, sarana MCK (Mandi, Cuci, Kakus), sarana irigasi pertanian,
peternakan ikan, transportasi air, dan lain-lain. Sekarang ini air
sungai tidak dipergunakan sebagaimana mestinya atau digunakan tanpa
memperhatikan lingkungan, seperti sebagai sarana membuang sampah,
limbah pabrik dan rumah tangga, namun masyarakat perkotaan masih
memanfaatkan air sungai yang tercemar limbah industri sebagai
kebutuhan dalam rumah tangga. Masyarakat umumnya masih belum sadar
akan kebersihan lingkungan disekitarnya yang berdampak pada
menurunnya kualitas kesehatan.
Salah satu sumber penentu kesehatan mahluk hidup adalah air yang
dikonsumsi. Air mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kehidupan mahluk hidup, air sebagai salah satu sumber utama dalam
kelangsungan mahluk hidup. Seiring dengan perkembangan teknologi
dan meningkatnya populasi makhluk hidup, penggunaan air pun semakin
meningkat. Suatu saat jumlah air bersih di bumi tidak seimbang
dengan jumlah air yang digunakan. Akhirnya banyak orang yang
kesulitan mendapatkan air bersih, hal ini merupakan masalah yang
cukup serius bagi makhluk hidup (Wardhana, A.W., 2001).
Oleh karena itu perlu ada tindakan serius yang diambil oleh
pemerintah dalam menangani kebersihan air sungai. Selain menerapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 mengenai Sungai, Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air, sanksi tegas bagi masyarakat atau
industri yang mencemari sungai, dan menyediakan sarana pengolahan
limbah rumah tangga dan industri yang memadai, juga perlu dilakukan
pembersihan dan pengolahan air sungai yang telah tercemar dengan
menggunakan sistem yang tepat guna.
Banyak cara dan metode dalam membersihkan dan mengolah air
sungai, diantaranya dengan memberlakukan sistem pengolahan air yang
baik. Pengolahan air dapat menggunakan sistem filtrasi dan
penambahan zat kimia. Salah satu zat kimia yang digunakan dalam
pengolahan air kotor menjadi air bersih yaitu tawas kalium
aluminium sulfat (Hanum, F., 2002). Meskipun penggunaannya hanya
sebagai bahan baku penolong, namun peranan garam ini sangat
penting.
Tawas kalium aluminium sulfat sering digunakan sebagai penjernih
air sungai yang kotor. Selain itu juga digunakan sebagai bahan
penolak api pada tekstil, sebagai bahan aditif pada makanan,
digunakan dalam pengolahan limbah cair dan perusahaan air minum
(Anonimus, 2001).
Tawas kalium aluminium sulfat yang digunakan biasanya dibuat
dari batuan kaolin (aluminium silikat) atau korundum (aluminium
oksida) dengan asam sulfat. Namun batuan ini terbatas keberadaannya
di alam, dan suatu saat akan habis (Herman, 2006).
Tawas dapat dibuat dengan memanfaatkan sampah anorganik yaitu
kaleng bekas minuman. Kaleng bekas minuman adalah sampah anorganik
yang tidak bisa didegradasi oleh bakteri, dan tidak bisa diurai
secara alami. Dalam jumlah yang banyak sampah ini dapat mengganggu
kelestarian lingkungan (Anonimus, 2010). Bahan baku ini sangat
banyak dan nilai ekonomisnya sangat terjangkau, serta pemanfaatan
kaleng bekas minuman sebagai bahan baku tawas aluminium kalium
sulfat dapat membantu melestarikan lingkungan.
1
1.1
1.2 Tujuan Penelitian
1.3
1.4
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Pemanfaatan limbah anorganik khususnya limbah kaleng bekas
minuman sebagai bahan baku pembuatan tawas kalium aluminium
sulfat.
2. Mengetahui pengaruh variasi volume pelarut KOH 10% yang
bervariasi pada jumlah zat terlarut (kaleng) yang konstan.
3. Mengetahui pengaruh variasi volume pereaksi H2SO4 6M pada
jumlah K[Al(OH)4] yang konstan.
4. Mengetahui volume optimum larutan tawas kalium aluminium
sulfat dalam menjernihan air sungai.
1.2
1.3 Hipotesis
Kaleng bekas minuman mengandung aluminium yang dilarutkan dengan
KOH 10% dan H2SO4 6M akan menghasilkan kristal tawas kalium
aluminium sulfat. Kristal ini dapat digunakan sebagai penjernih
air.
1.1
1.2
1.3
1.4 Perumusan Masalah
1. Penetapan kadar aluminium pada kaleng bekas minuman.
2. Menguji kelarutan kaleng bekas minuman terhadap KOH 10% dan
reaksi dengan H2SO4 6N.
3. Menetapkan volume pelarut dan volume pereaksi yang optimum
untuk membentuk kristal tawas kalium aluminium sulfat.
4. Menetapkan volume optimum larutan tawas kalium aluminium
sulfat dalam penjernihan air sungai.
2
2.1
2.2
2.3
1.
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi
mengenai:
1. Jumlah pelarut KOH 10% optimum untuk melarutkan aluminium
dari kaleng bekas minuman.
2. Jumlah pereaksi H2SO4 6N optimum untuk menghasilkan kristal
tawas kalium aluminium sulfat.
3. Volume optimum dari larutan tawas yang diaplikasikan ke dalam
air sungai sebagai penjernih air.
4. Meningkatkan nilai ekonomis limbah anorganik yang berupa
kaleng bekas minuman sebagai bahan baku pembuatan tawas kalium
aluminium sulfat yang dapat digunakan sebagai penjernih air.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1Krisis Air Bersih di Indonesia
Air merupakan unsur yang vital dalam kehidupan manusia.
Seseorang tidak dapat bertahan hidup tanpa air, karena itulah air
merupakan salah satu penopang hidup bagi manusia. Ketersediaan air
di dunia ini melimpah ruah, namun yang dapat dikonsumsi oleh
manusia untuk keperluan air minum sangatlah sedikit. Dari total
jumlah air yang ada, hanya lima persen saja yang tersedia sebagai
air minum, sedangkan sisanya adalah air laut. Selain itu,
kecenderungan yang terjadi sekarang ini adalah berkurangnya
ketersediaan air bersih (Nurhasmawaty, 2004).
Semakin meningkatnya populasi, semakin besar pula kebutuhan akan
air minum, sehingga ketersediaan air bersih pun semakin berkurang.
Seperti yang disampaikan Jacques Diouf, Direktur Jenderal
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), saat ini penggunaan
air di dunia untuk kebutuhan sehari-hari naik dua kali lipat lebih
dibandingkan dengan seabad silam, namun ketersediaannya justru
menurun. Akibatnya, terjadi kelangkaan air yang harus ditanggung
oleh lebih dari 40 persen penduduk bumi. Kondisi ini akan kian
memburuk menjelang tahun 2025 karena 1,8 miliar orang tinggal di
kawasan yang mengalami kelangkaan air. Kekurangan air telah
berdampak negatif terhadap semua sektor, termasuk kesehatan. Tanpa
akses air minum yang higienis mengakibatkan 3.800 anak meninggal
tiap hari oleh penyakit.
Disamping bertambahnya populasi manusia, kerusakan lingkungan
merupakan salah satu penyebab berkurangnya sumber air bersih.
Abrasi pantai menyebabkan rembesan air laut ke daratan, yang pada
akhirnya akan mengontaminasi sumber air bersih yang ada di bawah
permukaan tanah (Tejoyuwono, 2006). Pembuangan sampah yang
sembarang di sungai juga menyebabkan air sungai menjadi kotor dan
tidak sehat untuk digunakan.
Diperkirakan 60 persen sungai di Indonesia, terutama di
Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi sudah tercemar berbagai limbah,
mulai dari bahan organik, anorganik hingga bakteri coliform
(Escherichiacoli) penyebab diare. Menurut data Departemen Kesehatan
tahun 2002 terjadi 5.789 kasus diare yang menyebabkan 94 orang
meninggal. Pembabatan hutan dan penebangan pohon yang mengurangi
daya resap tanah terhadap air turut pula dalam menambah
berkurangnya asupan air bersih ini. Selain itu pendistribusian air
bersih yang tidak merata juga ikut andil dalam permasalahan ini
(Wardhana, A.W., 2001).
Gambar 1. Air Sungai yang Tercemar Limbah Industri
Di Indonesia, dengan jumlah penduduk mencapai lebih 200 juta,
kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak. Kecenderungan
konsumsi air diperkirakan terus naik hingga 15-35 persen per kapita
per tahun, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung berkurang
akibat kerusakan alam dan pencemaran (Pahlano, 2007). Oleh karena
itu dilakukan segala upaya guna mendapatkan kembali air bersih,
salah satunya dengan pemanfaatan limbah anorganik seperti kaleng
bekas minuman yang dijadikan tawas sebagai bahan penjernih air.
1
2
2.1
2.2 Pemanfaatan Limbah Anorganik
Saat ini banyak dijumpai limbah yang tidak dapat diurai seperti
plastik, karet, kaleng, dan botol, karena manusia cenderung
menginginkan kemudahan dan keindahan dalam hidupnya. Botol minuman
dibuat dari kaleng dan plastik agar ringan dan tidak pecah bila
terjatuh. Menjinjing makanan lebih menarik dan bersih dengan
kantong plastik daripada dibungkus dengan daun pisang atau daun
jati. Penggantian bahan-bahan tersebut dari segi ekonomi lebih
menguntungkan tetapi jika dilihat dari dampak lingkungan hal
tersebut merugikan karena akan menambah jumlah limbah yang tidak
dapat diurai. Akibatnya pencemaran lingkungan semakin bertambah
(Tejoyuwono, 2006).
Limbah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia
karena setiap aktifitas manusia cenderung menghasilkan limbah atau
buangan. Jumlah sampah sebanding dengan tingkat konsumsi manusia
terhadap barang atau material yang digunakan sehari-hari. Salah
satu limbah yang banyak ditemukan di lingkungan adalah limbah
kaleng. Jika disebutkan satu per satu banyak sekali limbah kaleng
yang dihasilkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Proses
daur ulang akan menghemat energi dan eksploitasi sumber daya alam
sekaligus mengurangi timbunan sampah di TPA (Pahlano, 2007).
Selain untuk mengurangi pencemaran lingkungan dan timbunan
sampah di TPA, proses daur ulang juga dapat menambah nilai ekonomis
dari limbah kaleng terutama recovery dari logam-logam seperti
aluminium, Zink, timah, atau besi. Dugaan kuat bahwa beberapa
kaleng bekas mengandung aluminium dengan kadar yang bervariasi,
mengingat aluminium mempunyai sifat tahan korosi, ringan dan mudah
di dapat sehingga memungkinkan untuk dijadikan bahan baku kaleng.
Kandungan aluminium dalam kaleng bekas juga memberi peluang untuk
diolah menjadi bahan koagulan penjernih air (tawas) atau bahan
dalam deodorant. Mengingat banyaknya minuman ringan yang diproduksi
dan menggunakan kemasan kaleng serta dampak yang ditimbulkan
terhadap lingkungan, maka diperlukan penelitian terhadap kandungan
aluminium dari beberapa jenis kaleng minuman ringan. Kaleng bekas
minuman ringan yang mengandung aluminium selanjutnya diolah menjadi
bahan koagulan penjernih air (tawas).
2.3 Pengertian Kaleng Minuman
Kaleng minuman merupakan tempat logam yang didesain untuk
menahan sejumlah porsi larutan seperti minuman ringan berkarbonasi,
minuman beralkohol, teh, kopi dan lain sebagainya. Sebanyak 75%
produksi kaleng minuman di dunia terbuat dari logam aluminium,
sedangkan sisanya sebesar 25% terbuat dari timah berlapis baja
(tin-plated stell).
Kebanyakan kaleng minuman yang diproduksi di Asia terbuat dari
Aluminium, sedangkan di sejumlah bagian benua Eropa dan Amerika
Serikat terbuat dari 55% baja dan 45% campuran Aluminium. Bahan
dasar kaleng minuman yang digunakan di Asia terdiri dari campuran
Aluminium sebanyak 92,5-97,5%, Magnesium sebanyak 1%, Mangan
sebanyak 1%, Besi sebanyak 0,4%, Silikon sebanyak 0,2% dan Tembaga
sebanyak 0,15%.
Bagian dalam kaleng Aluminium dilapisi untuk menjaga aluminium
dari proses oksidasi. Meskipun bagian dalam kaleng dilapisi,
sebagian kecil aluminium dapat terdegradasi. Hal tersebut
dipengarui oleh beberapa faktor seperti tempat penyimpanan, suhu
penyimpanan serta komposisi larutan. Bahan kimia yang digunakan
sebagai bahan pelapis bagian dalam kaleng minuman ini dapat berupa
epoxy resin (Smith, George David.,1988).
2.4 Pengertian Tawas
Pada dasarnya sintesis tawas menggunakan prinsip kristalisasi.
Langkah pertama adalah melarutkan padatan larutan, kemudian larutan
dipanaskan sampai mendidih kemudian larutan disaring dengan
penyaring buchner dalam keadaan panas, kemudian filtrat didinginkan
sampai terbentuk endapan, endapan disaring dengan kertas saring,
selanjutnya endapan dikeringkan (Khamidinal, 2009).
Senyawa tawas seperti KAl(SO4)2.12H2O dapat dengan mudah
dijumpai dipasaran, bermanfaat pada proses penjernihan air dan
industri pencelupan atau warna. Alumunium sulfat juga dapat dipakai
sebagai bahan pemadam kebakaran tipe basa bersama soda NaHCO3
(Sugiyanto, 2003).
(Gambar 2 Serbuk dan Kristal Tawas Aluminium Sulfat)
Tawas adalah garam sulfat rangkap terhidrat dengan formula M+M3+
(SO4)2.12H2O. Dimana M merupakan kation monoatom univalen, M+
umumnya Na+, K+ dan NH4+ kecuali Li+ yang terlalu kecil untuk
ditampung tanpa penghilangan strukturnya (Cotton, 2007) sedangkan
M3+ umumnya Al3+, Fe3+, Cr3+, Ti3+ atau Co3+. Tawas biasa dikenal
dalam kehidupan sehari-hari adalah Aluminium kalium sulfat
dodekahidrat [KAl(SO4)2. 12H2O] (Manuntun Manurung dkk., 2010).
Beberapa contoh tawas dan kegunaannya:
a. Natrium aluminium sulfat dodekahidrat (tawas natrium) dengan
formula NaAl(SO4)2.12H2O digunakan sebagai serbuk pengembang
roti.
b. Kalium aluminium sulfat dodekahidrat (tawas kalium) dengan
rumus KAl(SO4)2. 12H2O digunakan dalam pemurnian air, pengolahan
limbah, dan bahan pemadam api.
c. Amonium aluminium sulfat dodekahidrat (tawas amonium) dengan
formula NH4Al(SO4)2.12H2O digunakan sebagai acar ketimun.
d. Kalium kromium (III) sulfat dodekahidrat (tawas kromium)
dengan formula KCr(SO4)2.12H2O digunakan sebagai penyamak kulit dan
bahan pembuat kain tahan api.
e. Amonium besi (III) sulfat dodekahidrat (tawas besi(II))
dengan formula NH4Fe(SO4)2.12H2O digunakan untuk mordan pada
pewarnaan tekstil.
2.5 Sifat Fisika dan Kimia Tawas Kalium Aluminium Sulfat
a. Rumus Kimia : KAl(SO4)2.12H2O
b. Penampakan : Kristal putih jernih atau tak berwarna.
c. Bobot Molekul : 474,37 g/mol
d. Titik didih : 330 C pada 760 mmHg
e. Titik leleh : 92 oC
f. Kelarutan dalam air : 140 gram/liter (pada 20 oC)
g. Suhu tempat penyimpanan : Temperatur Ruang
h. Lambang bahaya : (Berbahaya/Harmful)
(Anonimus, 2008)
2.6 Kegunaan Tawas Pada Proses Pengolahan Air
Tawas berfungsi sebagai koagulan. Semakin banyak ikatan molekul
hidrat maka semakin banyak ion lawan yang nantinya akan ditangkap
akan tetapi umumnya tidak stabil. Pada pH 7 terbentuk Al(OH)4-.
Flokflok Al(OH)3 mengendap berwarna putih (Anonimus, 2011).
Ukuran kristal yang terbentuk selama pengendapan tergantung 2
faktor penting, yaitu laju pembentukan inti (nukleasi) dan laju
pertumbuhan kristal. Jika laju pembentukan tinggi, banyak kristal
yang terbentuk dan terbentuk endapan-endapan yang terdiri dari
partikel-partikel kecil (Vogel, 1985).
Gugus utama dalam proses koagulasi adalah senyawa aluminat yang
optimum pada pH netral. Apabila pH tinggi atau dikatakan kekurangan
dosis maka air akan nampak seperti air baku karena gugus aluminat
tidak terbentuk secara sempurna. Akan tetapi apabila pH rendah atau
dikatakan kelebihan dosis maka air akan tampak keputih putihan
karena terlalu banyak konsentrasi alum yang cenderung berwarna
putih (Keenan, 1984). Dalam cartesian terbentuk hubungan parabola
terbuka, sehingga memerlukan dosis yang tepat dalam proses
penjernihan air. Reaksi alum dalam larutan dapat dituliskan:
Al2(SO4)3 + 6H2O 2Al(OH)3 + 6H+ + 3SO42-
Reaksi ini menyebabkan pembebasan ion H+ dengan kadar yang
tinggi ditambah oleh adanya ion alumunium. Ion alumunium bersifat
amfoter sehingga bergantung pada suasana lingkungan yang
mempengaruhinya. Karena suasananya asam maka aluminium akan juga
bersifat asam sehingga pH larutan menjadi turun.
Jika zat-zat ini dilarutkan dalam air, akan terjadi disosiasi
garam menjadi kation logam dan anion. Ion logam akan menjadi
lapisan dalam larutan dengan konsentrasi lebih rendah dari pada
molekul air, hal ini disebabkan oleh muatan posistif yang kuat pada
permukaan ion logam (hidratasi) dengan membentuk molekul heksaquo
(yaitu 6 molekul air yang digabung berdekatan) atau disebut dengan
logam (H2O)63+ , seperti [Al.(H2O)6]3+ (Keenan, 1984).
Ion seperti ini hanya stabil pada media yang sedikit asam,
aluminium pada pH < 4 dan Fe pada pH < 2. Jika pH meningkat
ada proton yang akan lepas dari ion logam yang terikat dan bereaksi
sebagai asam. Sebelum digunakan, yang harus disiapkan yaitu larutan
koagulan. Di dalam larutan, koagulan harus lebih efektif, bila
berada pada bentuk trivalen (valensi 3) seperti Fe3+ atau Al3+,
menghasilkan pH 6 (dipengaruhi oleh Ca2+) akan terbentuk senyawa
netral seperti Fe(OH)3 dan Al(OH)3 yang tidak bisa larut dan
mempunyai volume yang besar dan bisa diendapkan sebagai flok. Jika
alkalinitas cukup, ion H+ yang terbentuk akan terlepas dan endapan
Al(OH)3 yang terbentuk. Pada pH lebih besar dari 7,8 ion aluminat
Al(OH)4 yang terbentuk bermuatan negatif dan larut dalam air. Untuk
menghindari terbentuknya senyawa aluminium terlarut, maka tidak
boleh dilakukan koagulasi dengan senyawa aluminium pada nilai pH
lebih besar dari 7,8.
Polimerisasi senyawa aluminium hidroksil berlangsung
menghasilkan kompleks yang mengandung ion Al yang berbeda berikatan
dengan ion lainnya oleh gugus OH (Cotton, 2007). Selama koagulasi
pengaruh pH air terhadap ion H+ dan OH adalah penting untuk
menentukan muatan hasil hidrolisis. Komposisi kimia air juga
penting, karena ion divalen seperti SO42 dan HPO42 dapat diganti
dengan ion-ion OH dalam kompleks oleh karena itu dapat berpengaruh
terhadap sifat-sifat endapan. Presipitasi dari hidroksida menjamin
adanya ion logam yang bisa dipisahkan dari air karena koefisien
kelarutan hidroksida sangat kecil. Senyawa yang terbentuk pada pH
antara 4 6 dan yang terhidrolisis, dapat dimanfaatkan untuk
polimerisasi dan kondensasi (bersifat membentuk senyawa dengan atom
logam lain).
Bentuk hidrolisis yang akan terbentuk didalam air, sebagian
besar tergantung pada pH awal, kapasitas dapar (buffer), suhu,
maupun konsentrasi koagulan dan kondisi ionik (Ca2+ dan SO42)
maupun juga dari kondisi pencampuran dan kondisi reaksi.
2.7 Sintesis Tawas Kalium Aluminium Sulfat
Kalium aluminium sulfat dedokahidrat KAl(SO4)2.12H2O dapat
dibuat dari logam aluminium dan kalium hidroksida. Logam aluminium
bereaksi secara cepat dengan KOH panas menghasilkan garam kalium
aluminat (Anonimus, 2009).
2Al +2KOH + 6H2O 2KAl(OH)4 + 3H2
Ion aluminium Al(OH)4- bersifat amfoter jika direaksikan dengan
asam sulfat, diendapkan sebagai aluminium hidroksida, tetapi larut
pada pemanasan (Anonimus, 2009).
2KAl(OH)4 + H2SO4 2Al(OH)3 + K2SO4 + 2H2O
2Al(OH)3 + 3H2SO4 Al2(SO4)3 + 6H2O
Jika larutan kalium aluminat sulfat dodekahidrat yang hampir
jenuh didinginkan maka akan terbentuk kristal-kristal yang
terbentuk oktahedron (Anonimus, 2009). Larutan garam aluminium
sulfat bersifat asam artinya hidrolisis garam ini menghasilkan
endapan Al(OH)3 dan ion H3O+ yang membawa sifat asam.
BAB IIIMETODE PENELITIAN3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 13 bulan dimulai dari September
2012 hingga Oktober 2013 dan dilakukan di Laboratorium Quality
Control PT. SANDOZ INDONESIA.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain KOH
(p.a), H2SO4 (p.a), Etanol 95% (p.a), AlCl3 (p.a), HCl (p.a),
aquades, larutan standar EDTA 0.1 M, buffer Amonium Asetat,
indikator Ditizon R, larutan standar ZnSO4 0.1 M, larutan induk Fe
10 ppm, HNO3 (p.a), larutan induk As 10 ppm, Larutan induk Pb 10
ppm, buffer pH 10, indikator EBT, larutan standar KMnO4 0.01 N,
Larutan standar Asam Oksalat 0.01 N, dan larutan induk Nitrat 10
ppm. Sampel berupa beberapa kaleng bekas minuman ringan,yaitu :
A = kaleng bekas merek Pocari Sweat
B = kaleng bekas merek Larutan Cap Kaki Tiga
C = kaleng bekas merek Greensands
D = kaleng bekas merek Coca-Cola
Selanjutnya akan digunakan simbol A, B,C dan D.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain
Gunting, Amplas, Neraca Analitik, Piala Gelas, Labu Ukur, Gelas
Ukur, Magnetic Stirer & Hot Plate, Thermometer, Pengaduk Kaca,
Penyaring Vakum, Pompa Vakum, Freezer 2-8oC, Corong Buchner ,
Buret, Corong, Turbidimeter varian DMS 80, Spektrofotometer UV-Vis
dan Spektrofometer Serapan Atom
3.3 Metode Penelitian3.3.1 Penentuan Kandungan Logam dalam
Kaleng Bekas
Disiapkan beberapa kaleng bekas A, B, C dan D kemudian bersihkan
dengan menggunakan amplas untuk menghilangkan warna dan lapisan
plastiknya dibagian luar dan dalam kaleng. Kaleng bekas yang sudah
dibersihkan kemudian dipotong sebesar 0,5 cm. Potongan-potongan
kaleng bekas ditimbang sekitar 1,0 g dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 100 mL. Kemudian ditambahkan HCl(p) sebanyak 50,0 mL ke
dalam erlemeyer dan dipanaskan diatas hotplate. Proses pemanasan
dihentikan sampai gelembung-gelembung gas hilang. Larutan tersebut
disaring lalu didinginkan dan dipipet sebanyak 10,0 mL kedalam labu
ukur 100,0 mL kemudian diencerkan dengan air suling hingga tanda
batas. Selanjutnya larutan tersebut dianalisis kandungan
logam-logamnya seperti Aluminium (309,3 nm), Magnesium (285,2 nm),
Mangan (279,5 nm), Besi (248,3 nm), Silikon (257,6 nm) dan Tembaga
(327,4 nm) dengan SSA pada panjang gelombang masing-masing.
(Lampiran 1).
3.3.2 Pembuatan Tawas dari Kaleng Bekas
3.3.2.1 Pengaruh Variasi Volume Pelarut KOH 10% Terhadap Jumlah
Zat Terlarut yang Konstan
Disiapkan kaleng bekas dengan kadar aluminium tertinggi dari
penelitian pendahuluan kemudian dibersihkan dengan menggunakan
amplas untuk menghilangkan warna dan lapisan plastiknya. Kaleng
bekas yang sudah dibersihkan kemudian digunting menjadi bagian yang
kecil. Potongan-potongan kaleng bekas ditimbang masing-masing
sekitar 1,0 g dan dimasukkan ke dalam 6 buah erlenmeyer 100 mL,
kemudian ditambahkan KOH 10% dengan variasi jumlah pelarut 10, 20,
30, 40, 50 dan 60 mL sambil dipanaskan diatas hotplate. Proses
pemanasan dihentikan sampai gelembung-gelembung gas hilang. Larutan
tersebut disaring lalu didinginkan. Diukur jumlah Filtrat
K[Al(OH)4] dan dipindahkan kedalam labu ukur 100 mL kemudian
diencerkan hingga tanda batas menggunakan air suling. Dipipet 1,0
mL larutan kedalam labu ukur 100 mL dan himpitkan dengan
menggunakan air suling. Dipipet sebanyak 25,0 mL larutan ke dalam
erlenmeyer 250 mL dan ditambahkan 25,0 mL EDTA 0.1 M dan 10,0 mL
larutan buffer Ammonium Asetat. Kemudian panaskan larutan tersebut
hingga mendidih selama 2 menit lalu didinginkan pada suhu kamar.
Ditambahkan 50,0 mL ethanol dan 3,0 mL ditizon 0.25 g/L. Sisa EDTA
0,1M dititar dengan larutan ZnSO4 0,1M sampai warna larutan berubah
dari warna biru kehijauan menjadi ungu kemerahan (a mL). Dilakukan
penitaran blanko (b mL) dengan 25 mL air. Filtrat yang mengandung
kadar Al tertinggi dengan penambahan pelarut terendah merupakan
volume optimum penambahan pelarut KOH 10% (Lampiran 2).
1,0 mL EDTA 0.1 M setara dengan 2,698 mg Al.
3.3.2.2 Pengaruh Variasi Volume Pereaksi H2SO4 6M Terhadap
Jumlah K[Al(OH)4] yang Konstan
Filtrat dengan kadar Al tertinggi kemudian dipipet sebanyak 50,0
mL kedalam 5 buah piala gelas 200 mL dan ditambahkan dengan
hati-hati masing-masing piala gelas dengan H2SO4 6 M dengan variasi
jumlah pereaksi 20, 30, 40, 50 dan 60 mL sambil diaduk dan
dipanaskan diatas hotplate. Setelah itu dilakukan penyaringan.
Filtrat didinginkan di dalam Freezer 2-8oC. Kristal tawas yang
terbentuk dipisahkan dengan corong Buchner dan dicuci dengan etanol
50%. Endapan dikeringkan, setelah kering kemudian ditimbang sampai
beratnya konstan. Filtrat yang menghasilkan tawas kalium aluminium
sulfat terbanyak dengan penambahan pereaksi terendah merupakan
volume optimum penambahan Pereaksi H2SO4 6M (Lampiran 2).
1
2
3
3.1
3.2
3.3
3.4 Metode Analisis Kristal Tawas Alumminium Kalium Sulfat
Analisis tawas kalium aluminium sulfat yang dihasilkan dari
penelitian dianalisis mutunya berdasarkan pada SNI 06-2102-1991
mengenai Kalium Aluminium Sulfat Teknis.
Tabel 1. SNI 06-2102-1991 Aluminium Kalium Sulfat Teknis
No.
Parameter
Syarat Mutu
Metode
1.
Kadar Tawas ( Kemurnian )
Min. 93 %
Titrimetri
2.
Susut Pengeringan
Maks 2,0 %
Gravimetri
3.
Kadar Besi
Maks. 0,01 %
SSA
4.
Kadar Arsen
Maks 0,0002 %
SSA
5.
Kadar Logam Berat
Maks. 0,003 %
SSA
6.
Bahan yang tidak larut dalam air
Maks. 0,02 %
Gravimetri
Penetapan-penetapan yang dilakukan dalam analisis Aluminium
Kalium Sulfat adalah sebagai berikut :
1
2
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.4.1 Penetapan Kadar Tawas
Ditimbang teliti sebanyak 1,0 gram contoh ke dalam labu ukur 100
mL kemudian dilarutkan dengan 50 mL air lalu himpitkan sampai tanda
batas. Dipipet 1,0 mL larutan kedalam labu ukur 100 mL dan
himpitkan dengan menggunakan air suling. Dipipet sebanyak 25,0 mL
larutan ke dalam erlenmeyer 250 mL dan ditambahkan 25,0 mL EDTA 0.1
M dan 10,0 mL larutan buffer Ammonium Asetat. Kemudian panaskan
larutan tersebut hingga mendidih selama 2 menit lalu didinginkan
pada suhu kamar. Ditambahkan 50,0 mL ethanol dan 3,0 mL ditizon
0.25 g/L. Sisa EDTA 0,1M dititar dengan larutan ZnSO4 0,1M sampai
warna larutan berubah dari warna biru kehijauan menjadi ungu
kemerahan (a mL). Dilakukan penitaran blanko (b mL) dengan 25 mL
air.
1,0 mL EDTA 0.1 M setara dengan 47,437 mg KAl(SO4)2.12H2O.
3.4.2 Susut Pengeringan
Ditimbang bobot kosong cawan petri (a gram) yang telah
dipanaskan pada suhu 32-37 oC, ditimbang 100 gram contoh Tawas ke
dalam cawan petri tersebut (b gram) dan ratakan permukaan contoh.
Disimpan ke dalam oven pengering pada suhu 32-37oC selama 2 jam,
kemudian dipindahkan ke dalam desikator dan disimpan selama 10-15
menit. Ditimbang kembali bobot cawan petri beserta contoh yang
telah dikeringkan tersebut (c gram).
1
2
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.4.1
3.4.2
3.4.3 Penetapan Kadar Besi
Dipipet 10,0 mL larutan standar induk Fe 1000 ppm ke dalam labu
ukur 100,0 mL encerkan sampai tanda batas dengan larutan HNO3 0,5 N
(100 ppm Fe). Pipet masing-masing 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 mL larutan
standar induk Fe 100 ppm ke dalam labu ukur 100,0 mL, lalu
himpitkan sampai tanda batas dengan larutan HNO3 0,5 N (0; 1; 2; 3;
4; dan 5 ppm Fe). Ditimbang sekitar 1,0 gram contoh, dimasukan ke
dalam erlenmeyer dilarutkan dengan air suling dan ditambahkan 25 mL
HNO3 0,5 N kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit lalu
didinginkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50,0 mL dan
dihimpitkan hingga tanda batas dengan HNO3 0,5 N. Diukur nilai
absorbansinya dengan Spektrofotometer Serapan Atom pada panjang
gelombang 248,3 nm.
3.4.4 Penetapan Kadar Arsen
Dipipet 10,0 mL larutan standar induk As 1000 ppm ke dalam labu
ukur 100,0 mL encerkan sampai tanda batas dengan larutan HNO3 0,5 N
(100 ppm As). Pipet masing-masing 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 mL larutan
standar induk As 100 ppm ke dalam labu ukur 100,0 mL, lalu
himpitkan sampai tanda batas dengan larutan HNO3 0,5 N (0; 1; 2; 3;
4; dan 5 ppm As). Ditimbang sekitar 1,0 gram contoh, dimasukan ke
dalam erlenmeyer dilarutkan dengan air suling dan ditambahkan 25 mL
HNO3 0,5 N kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit lalu
didinginkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50,0 mL dan
dihimpitkan hingga tanda batas dengan HNO3 0,5 N. Diukur nilai
absorbansinya dengan Spektrofotometer Serapan Atom pada panjang
gelombang 193,7 nm.
1
2
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.4.1
3.4.2
3.4.3
3.4.4
3.4.5 Penetapan Kadar Logam Berat
Dipipet 10,0 mL larutan standar induk Pb 1000 ppm ke dalam labu
ukur 100,0 mL encerkan sampai tanda batas dengan larutan HNO3 0,5 N
(100 ppm Pb). Pipet masing-masing 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 mL larutan
standar induk Pb 100 ppm ke dalam labu ukur 100,0 mL, lalu
himpitkan sampai tanda batas dengan larutan HNO3 0,5 N (0; 1; 2; 3;
4; dan 5 ppm Pb). Ditimbang sekitar 1,0 gram contoh, dimasukan ke
dalam erlenmeyer dilarutkan dengan air suling dan ditambahkan 25 mL
HNO3 0,5 N kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit lalu
didinginkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50,0 mL dan
dihimpitkan hingga tanda batas dengan HNO3 0,5 N. Diukur nilai
absorbansinya dengan Spektrofotometer Serapan Atom pada panjang
gelombang 283,3 nm.
1
2
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.4.1
3.4.2
3.4.3
3.4.4
3.4.5
3.4.6 Penetapan bahan yang tidak larut dalam air
Ditimbang sekitar 10,0 gram contoh Tawas ke dalam piala gelas
100 mL kemudian dilarutkan dengan 50 mL air hangat. Larutan
tersebut disaring dengan menggunakan Cawan Kaca Masir G4 yang telah
diketahui terlebih dahulu bobot kosongnya. Cawan Kaca Masir G4 dan
endapan yang tertinggal di dalamnya di keringkan pada oven
pengering pada suhu 105-110 oC selama 1 jam dan didinginkan dalam
desikator kemudian ditimbang hingga bobot tetap.
3.5 Aplikasi Produk dengan Jar Test3.1.1 Pengaruh Variasi Volume
Larutan Tawas 1000 ppm Pada Penjernihan Air Sungai
Produk kristal tawas kalium aluminium sulfat yang dihasilkan,
kemudian diaplikasikan pada penjernihan air sungai untuk
meningkatkan kualitas air sungai. Dilakukan analisis pendahuluan
terhadap air sungai, meliputi analisis fisik (Tabel 2) dan analisis
kimia (Tabel 3). Kemudian sebanyak 1000 mL air sungai dimasukkan
kedalam masing-masing piala gelas pada alat Jar Test dan diatur
putaran pada 140 rpm untuk putaran cepat selama 5 menit dan
ditambahkan larutan tawas 1000 ppm dengan variasi jumlah koagulan
40, 45, 50, 55, 60 dan 65 mL. Setelah 5 menit diatur putaran
menjadi 30 rpm untuk putaran lambat selama 10 menit kemudian
dimatikan alat dan didiamkan selama 20 menit hingga flok-flok yang
terbentuk mengendap. Diamati kejernihan dari masing-masing piala
gelas, dipilih piala gelas yang menghasilkan air jernih dengan
konsentrasi terendah (volume optimum penambahan larutan tawas).
Kemudian pisahkan larutan jernih dari flok-flok, filtrat kemudian
dianalisis meliputi analisis fisik dan kimia. Hasil analisis air
setelah ditambahkan tawas hasil sintesis dibandingkan dengan hasil
analisis air setelah ditambahkan tawas yang dijual dipasaran
(Lampiran 3). Analisis air sungai ini berdasarkan pada peraturan
menteri kesehatan RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990 mengenai Kualitas
Air Bersih.
3.6 Analisis Air3.6.1 Analisis Fisika Air
Tabel 2. Parameter Analisis Fisika Air
No.
Parameter
Metode
1.
Warna
Organoleptik
2.
Bau
Organoleptik
3
Kekeruhan
Turbidimetri
Penetapan yang dilakukan pada analisis fisika air (air sungai
sebelum dan sesudah ditambahkan Tawas) adalah sebagai berikut:
3.6.1.1 Penetapan Warna dan Bau
Contoh ditempatkan dalam suatu wadah tertentu dan ditetapkan
warna dan bau contoh tersebut oleh 20 orang panelis (10 orang
analis dan 10 orang warga).
3
3.6.1.1
3
3.6.1.1
3.6.1.2 Penetapan KekeruhanAlat turbidimeter dikalibrasi dengan
beberapa standar kekeruhan yaitu 20 NTU, 100 NTU dan 800 NTU.
Contoh air sungai dikocok dengan sempurna kemudian didiamkan sampai
gelembung air hilang, lalu dituangkan ke dalam tabung turbidimeter.
Dibaca nilai kekeruhan pada skala alat tersebut, untuk contoh air
yang derajat kekeruhan > 40, maka contoh air tersebut diencerkan
dengan air bebas kekeruhan sampai dicapai kekeruhan 10-40 NTU
(Yahya, A., 1988).3.6.2 Analisis Kimia Air
Tabel 3. Metode Analisis Kimia Air
No.
Parameter
Metode
1.
pH
Elektrometri
2.
Kesadahan (CaCO3)
Titrimetri
3.
Zat Organik
Titrimetri
4.
Nitrat
Spektrofotometri
5.
Zink
Spektrofotometer Serapan Atom
6.
Kadmium
Spektrofotometer Serapan Atom
7.
Besi
Spektrofotometer Serapan Atom
8.
Timbal
Spektrofotometer Serapan Atom
Penetapan-penetapan yang dilakukan pada analisis kimia air (air
sungai sebelum dan sesudah ditambahkan Tawas) adalah sebagai
berikut:
3.6.2
3.6.2.1 Penetapan Derajat Keasaman (pH)
Alat dikalibrasi dengan larutan bufer setiap kali akan dilakukan
pengukuran. Elektroda yang telah dibersihkan dan diseka dicelupkan
ke dalam contoh yang akan diukur pH-nya. Dibaca dan dicatat nilai
pH yang tertera pada alat.
1
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.5.1
3
3.6.1
2
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.6.1
3.6.2
3.6.2.1
3.6.2.2 Penetapan Kesadahan (CaCO3)
Dipipet 50,0 mL contoh air sungai kemudian ditambahkan 2,0 mL
larutan bufer (pH 10 sampai 10,1) lalu ditambahkan 2 tetes larutan
indikator EBT. Larutan dititar dengan larutan EDTA 0,1 M sampai
titik akhir biru dan dilakukan blanko dengan mempergunakan 50,0 mL
air suling.
1
2
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.5.1
3.5.2
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.5.1
3.5.2
3.5.2.1
1
2
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.6.1
3.6.2
3.6.2.1
3.6.2.2
3.6.2.3 Penetapan Jumlah Zat Organik
Dipipet 50,0 mL air sungai kemudian dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 300 mL dan ditambahkan 5,0 mL H2SO4 2N bebas zat
organik. Lalu larutan dipanaskan hingga mendidih selama 1 menit.
Dalam kondisi panas ditambahkan 10,0 mL larutan baku KMnO4 0,01 N
dan dipanaskan kembali hingga mendidih selama 10 menit. Ditambahkan
10,0 mL larutan baku asam oksalat 0,01 N dan pemanasan dilanjutkan
sampai warna merah muda hilang. Kemudian dititrasi dalam keadaan
panas dengan larutan baku KMnO4 0,01 N hingga warna merah muda
mantap selama 10 detik.
1
2
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.5.1
3.5.2
3.5.3
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.5.1
3.5.2
3.5.2.1
3.5.2.2
3.6.2.4 Penetapan Kadar Nitrat
Dibuat deret standar kalibrasi nitrat dengan kepekatan 1; 2; 3;
4; dan 5 ppm serta dipipet contoh sebanyak 50 mL dan dimasukkan ke
dalam erlenmeyer 100 mL, kemudian ditambahkan 1.0 mL HCl 1 N ke
dalam larutan standar dan contoh. Diukur nilai absorbansi contoh
dan standar dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 212,0
nm.
1
2
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.6.1
3.6.2
3.6.2.1
3.6.2.2
3.6.2.3
3.6.2.4
3.6.2.5 Penetapan Kadar Besi
Dipipet 10,0 mL larutan standar induk Fe 1000 ppm ke dalam labu
ukur 100,0 mL encerkan sampai tanda batas dengan larutan HNO3 0,5 N
(100 ppm Fe). Pipet masing-masing 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 mL larutan
standar induk Fe 100 ppm ke dalam labu ukur 100,0 mL, lalu
himpitkan sampai tanda batas dengan larutan HNO3 0,5 N (0; 1; 2; 3;
4; dan 5 ppm Fe). Pipet sebanyak 10,0 mL contoh, dimasukan ke dalam
erlenmeyer dilarutkan dengan air suling dan ditambahkan 25 mL HNO3
0,5 N kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit lalu
didinginkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50,0 mL dan
dihimpitkan hingga tanda batas dengan HNO3 0,5 N. Diukur nilai
absorbansinya dengan Spektrofotometer Serapan Atom pada panjang
gelombang 248,3 nm.
1
2
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.5.1
3.5.2
3.5.3
3.5.4
3.5.5
1
2
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.6.1
3.6.2
3.6.2.1
3.6.2.2
3.6.2.3
3.6.2.4
3.6.2.5
3.6.2.6 Penetapan Kadar Timbal
Dipipet 10,0 mL larutan standar induk Pb 1000 ppm ke dalam labu
ukur 100,0 mL encerkan sampai tanda batas dengan larutan HNO3 0,5 N
(100 ppm Pb). Pipet masing-masing 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 mL larutan
standar induk Pb 100 ppm ke dalam labu ukur 100,0 mL, lalu
himpitkan sampai tanda batas dengan larutan HNO3 0,5 N (0; 1; 2; 3;
4; dan 5 ppm Pb). Pipet sebanyak 10,0 mL contoh, dimasukan ke dalam
erlenmeyer dilarutkan dengan air suling dan ditambahkan 25 mL HNO3
0,5 N kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit lalu
didinginkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50,0 mL dan
dihimpitkan hingga tanda batas dengan HNO3 0,5 N. Diukur nilai
absorbansinya dengan Spektrofotometer Serapan Atom pada panjang
gelombang 283,3 nm.
3.6.2.6
3.6.2.7 Penetapan Kadar Zink
Dipipet 10,0 mL larutan standar induk Zn 1000 ppm ke dalam labu
ukur 100,0 mL encerkan sampai tanda batas dengan larutan HNO3 0,5 N
(100 ppm Zn). Pipet masing-masing 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 mL larutan
standar induk Zn 100 ppm ke dalam labu ukur 100,0 mL, lalu
himpitkan sampai tanda batas dengan larutan HNO3 0,5 N (0; 1; 2; 3;
4; dan 5 ppm Zn). Pipet sebanyak 10,0 mL contoh, dimasukan ke dalam
erlenmeyer dilarutkan dengan air suling dan ditambahkan 25 mL HNO3
0,5 N kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit lalu
didinginkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50,0 mL dan
dihimpitkan hingga tanda batas dengan HNO3 0,5 N. Diukur nilai
absorbansinya dengan Spektrofotometer Serapan Atom pada panjang
gelombang 213,7 nm.
3.6.2.8 Penetapan Kadar Kadmium
Dipipet 10,0 mL larutan standar induk Cd 1000 ppm ke dalam labu
ukur 100,0 mL encerkan sampai tanda batas dengan larutan HNO3 0,5 N
(100 ppm Cd). Pipet masing-masing 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 mL larutan
standar induk Cd 100 ppm ke dalam labu ukur 100,0 mL, lalu
himpitkan sampai tanda batas dengan larutan HNO3 0,5 N (0; 1; 2; 3;
4; dan 5 ppm Cd). Pipet sebanyak 10,0 mL contoh, dimasukan ke dalam
erlenmeyer dilarutkan dengan air suling dan ditambahkan 25 mL HNO3
0,5 N kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit lalu
didinginkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50,0 mL dan
dihimpitkan hingga tanda batas dengan HNO3 0,5 N. Diukur nilai
absorbansinya dengan Spektrofotometer Serapan Atom pada panjang
gelombang 228,8 nm.
Penetapan analisis air secara fisika maupun kimia dilakukan
sebelum dan sesudah ditambahkan larutan tawas kalium aluminium
sulfat 1000 ppm dengan variasi jumlah tertentu. Air sungai yang
menghasilkan air jernih dengan konsentrasi terendah setelah
ditambahkan larutan tawas 1000 ppm merupakan volume optimum
penambahan larutan tawas pada proses penjernihan air sungai,
larutan tersebut yang akan dianalisis fisika dan kimianya. Hasil
dari analisis sebelum penambahan larutan tawas dibandingkan dengan
hasil analisis setelah penambahan larutan tawas untuk mengetahui
efektifitas dari tawas kalium aluminum sulfat yang telah
dihasilkan. Dilakukan pula penjernihan air sungai dengan
menggunakan larutan tawas yang beredar dipasaran dengan volume
optimum penambahan larutan tawas 1000 ppm hasil sintesis.
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
4
4.1 Penentuan Kandungan Logam dalam Kaleng Bekas
Sebelum melakukan penelitian yang lebih jauh, dilakukan analisis
kadar logam-logam pada beberapa sampel kaleng bekas minuman sebagai
langkah awal untuk mengetahui komposisi dari kaleng minuman
tersebut. Adapun kadar logam yang dianalisis meliputi kadar
Aluminium, Magnesium, Mangan, Besi, Silikon dan Tembaga.
Logam-logam tersebut dianalisa menggunakan Spektrofotometer Serapan
Atom (SSA). Sampel kaleng bekas minuman yang dianalisis merupakan
beberapa merek kaleng yang banyak terdapat di tempat pembuangan
sampah (TPS) di daerah Cibinong dan Citeureup.
Tabel 4. Kandungan Logam dari Berbagai Keleng Minuman Bekas
No.
Parameter
Satuan
Kode Kaleng
A
B
C
D
1.
Aluminium (Al)
%
96,38
89,74
90,87
93,28
2.
Magnesium (Mg)
%
1,14
3,28
2,25
1,17
3.
Mangan (Mn)
%
0,75
1,93
1,21
1,04
4.
Besi (Fe)
%
0,51
1,79
1,52
1,72
5.
Silikon (Si)
%
0,19
0,88
1,33
0,68
6.
Tembaga (Cu)
%
0,19
2,36
1,92
1,26
Dari hasil analisis di atas, didapatkan bahwa kaleng bekas
minuman dengan kode A memiliki kandungan aluminium paling tinggi
yaitu sebesar 96,38%. Sedangkan kaleng bekas minuman dengan kode B
memiliki kandungan aluminium paling rendah yaitu sebesar
89,74%.
Sehinga untuk penelitian sintesis tawas kalium aluminium sulfat
menggunakan limbah kaleng bekas minuman dengan kode A yaitu kaleng
bekas minuman dengan merek Pocari Sweat sebagai bahan baku utama
dari penelitian ini.
4.2 Pembuatan Tawas dari Kaleng Bekas4.2.1 Pengaruh Variasi
Volume Pelarut KOH 10% Terhadap Jumlah Zat Terlarut yang
Konstan
Pada penambahan KOH 10% reaksi berjalan cepat dan bersifat
eksoterm karena menghasilkan kalor. Reaksi yang terjadi adalah
:
2Al + 2KOH + 6H2O 2K[Al(OH)4] + 3H2
Dalam reaksi ini terbentuk gas H2 yang ditandai dengan munculnya
gelembung-gelembung gas. Gelembung-gelembung gas ini hilang setelah
semua aluminium bereaksi. Untuk menghindari terbentuknya Al(OH)3
maka KOH 10% ditambahkan berlebih. Pada tahap ini, dilakukan
pemanasan untuk mempercepat reaksi. Pemanasan dilakukan pada suhu
100oC dan pengadukan menggunakan magnetic stirrer pada 50 rpm.
Larutan yang didapatkan disaring untuk menghilangkan
kotoran-kotoran yang tidak larut dalam KOH 10%. Penyaringan
menggunakan kertas saring yang dilengkapi dengan pompa vakum untuk
mempercepat waktu proses penyaringan.
Tabel 5. Variasi KOH 10% Terhadap 1 gram Kaleng
No.
Volume Pelarut KOH 10 %
Kaleng
Waktu Reaksi
Kadar Al
(mL)
(gram)
(%)
1
10
1,0083
2635
43,75
2
20
1,0129
2019
85,12
3
30
1,0039
1432
98,20
4
40
1,0092
1421
98,26
5
50
1,0175
1412
98,31
6
60
1,0008
1403
98,30
Dari data pada Tabel 5, diplotkan pada grafik hubungan jumlah
volume pelarut KOH 10% dengan waktu reaksi. Dimana sumbu x adalah
volume pelarut KOH 10% dan sumbu y adalah waktu reaksi.
Grafik 1. Hubungan Volume Pelarut KOH 10 % dan Waktu Reaksi
Pada Grafik 1 Hubungan volume pelarut KOH 10% dengan waktu
reaksi dapat dilihat dengan jelas bahwa jumlah pelarut KOH 10% yang
ditambahkan secara bervariasi pada 1 gram kaleng bekas minuman
memberikan pengaruh pada lamanya waktu reaksi. Semakin besar jumlah
pelarut KOH 10% yang ditambahkan pada jumlah zat terlarut (kaleng
bekas minuman) yang konstan (1 gram) maka semakin cepat reaksi
berlangsung.
Hal ini sesuai dengan teori tumbukan partikel bahwa laju reaksi
dipengaruhi oleh konsentrasi reaktan. Semakin besar konsentrasi
reaktan maka semakin besar tumbukan partikel yang terjadi dan
semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya reaksi. Namun
waktu reaksi akan mencapai hasil yang maksimal pada volume
tertentu. Hal ini disebabkan jumlah mol Aluminium dalam zat
terlarut atau kaleng bekas minuman sudah bereaksi seluruhnya dengan
pelarut KOH 10%.
Pada hasil penelitian pada Tabel 5 pada penambahan 30 mL pelarut
KOH 10% didapatkan waktu reaksi yang dibutuhkan adalah 14 menit 32
detik. Pada penambahan 40 mL KOH 10% waktu reaksi yang dibutuhkan
adalah 14 menit 21 detik. Dari nilai tersebut tidak terdapat
perbedaan yang berarti antara waktu reaksi pada penambahan 30 mL
dengan 40 mL KOH 10%. Maka dapat disimpulkan bahwa 14 menit 32
detik adalah waktu optimum yang dibutuhkan dalam proses pelarutan 1
gram kaleng bekas minuman dengan menggunakan pelarut KOH 10%.
Dari data Tabel 5, diplotkan pada grafik hubungan jumlah volume
pelarut KOH 10% dengan Kadar Al pada K[Al(OH)4]. Dimana sumbu x
adalah volume pelarut KOH 10% dan sumbu y adalah Kadar AL dalam
K[Al(OH)4].
Grafik 2. Hubungan Volume Pelarut KOH 10% dengan Kadar Al dalam
K[Al(OH)4]
Dari data pada Tabel 5 pun dapat diketahui bahwa semakin banyak
penambahan volume KOH 10% pada 1 gram kaleng maka semakin besar
kandungan aluminium pada filtrat K[Al(OH)4].
Namun kandungan Aluminium pada filtrat K[Al(OH)4] akan mengalami
masa stagnasi (tetap/berhenti) atau tidak ada lagi peningkatan
kadar aluminium. Hal ini disebabkan jumlah mol Aluminium dalam zat
terlarut atau kaleng bekas minuman sudah bereaksi seluruhnya dengan
pelarut KOH 10%, bila mol pelarut terus ditambahkan pada mol zat
terlarut yang konstan maka dalam produk terdapat banyak sisa mol
pelarut yang tidak bereaksi dengan zat terlarut atau disebut juga
dengan exces.
Pada hasil penelitian pada Tabel 5 pada penambahan 30 mL pelarut
KOH 10% didapatkan kadar aluminium pada filrat K[Al(OH)4] sebesar
98.20 dan pada penambahan 40 mL KOH 10% sebesar 98.26%.
Dari nilai di atas tidak terdapat perbedaan yang berarti antara
penambahan 30 mL dengan 40 mL KOH 10% pada 1 gram kaleng bekas
minuman. Maka dapat disimpulkan bahwa pada volume 30 mL KOH 10%
adalah volume optimum yang dibutuhkan untuk melarutkan 1 gram
kaleng bekas minuman.
4.2.2 Pengaruh Variasi Volume Pereaksi H2SO4 6M Terhadap Jumlah
K[Al(OH)4] yang Konstan
Penambahan larutan H2SO4 6M dilakukan agar seluruh senyawa
K[Al(OH)4] dapat bereaksi sempurna. Al(OH)3 yang terbentuk langsung
bereaksi dengan H2SO4 6M dengan persamaan reaksi sebagai berikut
:
2K[Al(OH)4] + H2SO4 2Al(OH)3 + K2SO4 + 2H2O
2Al(OH)3 + 3H2SO4 Al2(SO4)3 + 6H2O
Pada reaksi sebelumnya, penambahan H2SO4 membentuk Al(OH)3
bersama-sama dengan K[Al(OH)4], namun setelah berlebih H2SO4
melarutkan Al(OH)3 menjadi Al2(SO4)3 berupa larutan bening tak
berwarna. Senyawa Al2(SO4)3 yang terbentuk pada reaksi di atas
bereaksi kembali dengan K2SO4 hasil reaksi membentuk kristal yang
diperkirakan adalah KAl(SO4)2.12H2O berwarna putih (anonim, 2006).
Reaksinya adalah :
K2SO4 + Al2(SO4)3 + 24H2O 2KAl(SO4)2.12H2O
Kristal tawas yang diperoleh dicuci dengan larutan etanol 50%
yang bertujuan untuk menyerap kelebihan air dan mempercepat
pengeringan.
Tabel 6. Variasi H2SO4 6M Terhadap Volume K[Al(OH)4] Konstan
No.
Volume K[Al(OH)4]
Volume H2SO4 6M
Jumlah Kristal Tawas
(mL)
(mL)
(gram)
1
50
20
5,0531
2
50
30
9,9260
3
50
40
16,6435
4
50
50
16,6691
5
50
60
16,7858
Dari hasil penelitian di atas dapat dilihat bahwa semakin besar
volume H2SO4 6M pada volume K[Al(OH)4] yang tetap didapatkan jumlah
bobot kristal tawas yang semakin besar. Namun kandungan aluminium
pada kristal tawas yang terbentuk tidak berubah atau tidak ada lagi
peningkatan kadar aluminium. Hal ini disebabkan jumlah mol
aluminium dalam K[Al(OH)4] telah habis bereaksi dengan H2SO4
6M.
Pada hasil penelitian yang tertera pada Tabel 6, pada penambahan
40 mL H2SO4 6M didapatkan tawas sebanyak 16,6435 gram dan pada
penambahan 50 mL H2SO4 6M didapatkan tawas sebanyak 16,6691 gram.
Hal ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang berarti antara
penambahan 40 mL dengan 50 mL H2SO4 6M pada 50 mL filtrat
K[Al(OH)4] . Maka dapat disimpulkan bahwa volume 40 mL H2SO4 6M
adalah volume optimum yang dibutuhkan untuk mereaksikan 50 mL
filtrat K[Al(OH)4] untuk menjadi kristal tawas kalium aluminium
sulfat.
Jumlah kristal tawas yang dihasilkan dari penelitian adalah
sebesar 16,6435 gram dari 1 gram kaleng bekas minuman. Hasil ini
hampir mendekati berat teoritis yang seharusnya dihasilkan, yaitu
sekitar 17,55 gram tawas untuk 1 gram aluminium yang direaksikan.
Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya pengendapan tawas
kemungkinan belum sempurna, proses pengkristalan yang kurang
optimum karena hanya didinginkan di lemari pendingin biasa pada
suhu 10-16 oC seharusnya pada suhu 2-6oC.
4.3 Hasil Analisis Kristal Tawas Alumminium Kalium Sulfat
Berikut hasil analisis tawas yang hasilkan dibandingkan dengan
SNI 06-2102-1991 mengenai Aluminium Kalium Sulfat Teknis.
Tabel 7. Hasil Analisis Produk Dibandingkan dengan SNI
06-2102-1991 Kalium Aluminium Sulfat Teknis.
No.
Parameter
Satuan
Hasil
Standar
1
Kadar Tawas (Kemurnian)
%
96,42
min. 93
2
Susut Pengeringan
%
1,05
maks. 2,0
3
Besi (Fe)
%
0,0052
maks. 0,01
4
Arsen (As)
%
Tidak Terdeteksi
maks. 0,0002
5
Logam-logam berat
%
0,0008
maks. 0,003
6
Bahan yang tidak larut dalam air
%
0,006
Maks. 0,02
Dari hasil analisis mutu tawas aluminium kalium sulfat yang
dihasilkan berkualitas baik dan memenuhi persyaratan SNI
06-2102-1991.
4.4 Aplikasi Produk dengan Jar Test4.4.1 Pengaruh Variasi Volume
Larutan Tawas 1000 ppm Pada Penjernihan Air Sungai
Produk kristal tawas kalium aluminium sulfat yang dihasilkan,
kemudian diaplikasikan pada penjernihan air sungai untuk
meningkatkan mutu atau kualitas air sungai. Pengaplikasian tawas
tersebut menggunakan alat yang disebut Jar Test. Air sungai yang
menjadi sampel adalah air dari sungai yang mengalir di pinggir
Pasar Kramat Jati, Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Variasi volume larutan tawas 1000 ppm yang dibutuhkan untuk
menjernihkan 1000 mL air sungai tertera pada Tabel 8.
Tabel 8. Variasi Larutan Tawas 1000 ppm Terhadap Air Sungai
No.
Volume Air Sungai
Volume Larutan Tawas 1000 ppm
Kejernihan
pH
Turbiditas
(mL)
(mL)
(NTU)
1
1000
40
Keruh
7,08
20,43
2
1000
45
Keruh
7,01
18,89
3
1000
50
Agak jernih
6,93
16,15
4
1000
55
Jernih
6,99
14,94
5
1000
60
Jernih
6,87
14,20
6
1000
65
Jernih
7,03
13,71
Pada hasil penelitian yang tertera pada Tabel 8 didapatkan bahwa
air sungai setelah penambahan 55 mL larutan tawas 1000 ppm menjadi
jernih dengan nilai pH sebesar 6,99 dan nilai turbiditas sebesar
14,94 NTU. Maka dapat disimpulkan bahwa volume 55 mL merupakan
volume optimum penambahan larutan tawas 1000 ppm terhadap 1000 mL
air sungai.
4.5 Hasil Analisis Air
Untuk menguji efisiensi tawas yang dihasilkan maka perlu
dibandingkan dengan tawas yang beredar di pasaran. Pengujian
tersebut berdasarkan peraturan menteri kesehatan RI No.
416/Menkes/Per/IX/1990 mengenai Kualitas Air Bersih.
Tabel 9 Hasil Analisa Kualitas Air Sungai Sebelum dan Sesudah
Penambahan Tawas Aluminium Kalium Sulfat
No.
Parameter
Satuan
Hasil
Standar
Sebelum Penambahan Tawas
Sesudah Penambahan Tawas hasil sintesis
Sesudah Penambahan Tawas pasaran
1
Bau
-
Berbau
Tidak Berbau
Tidak Berbau
Tidak Berbau
2
Warna
-
Keruh
Tidak Berwarna
Tidak Berwarna
Tidak Berwarna
3
Kekeruhan
NTU
210,23
14,94
20,78
25
4
pH
-
7,83
6,99
7,29
6,5-9,0
5
Kesadahan
ppm
398,684
158,783
193,038
500
6
Nitrat
ppm
12,897
6,295
7,351
10
7
Zink (Zn)
ppm
10,114
1,096
0,914
15
8
Timbal (Pb)
ppm
0,062
0,021
0,033
0,05
9
Besi (Fe)
ppm
4,34
0,359
0,599
1
10
Kadmium (Cd)
ppm
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
0,005
11
Zat Organik
ppm
189,673
144,822
129,529
10
Dari hasil analisis yang tertera pada Tabel 9 di atas dapat
disimpulkan bahwa hampir seluruh parameter uji untuk kualitas air
sungai memberikan hasil yang baik atau memenuhi persyaratan yang
ditentukan kecuali parameter zat organik yang tidak sesuai standar.
Hal ini disebabkan kandungan zat organik pada air sungai sebelum
ditambahkan tawas sudah menunjukkan nilai yang tinggi sekali. Hal
ini juga disebabkan air sungai yang melintas di Pasar Kramat jati
didominasi oleh sampah organik. Sampah organik dapat didaur ulang
menjadi pupuk kompos dan untuk menurunkan kadar zat organik dalam
air sungai dapat dilakukan dengan metode biofilter.
Tabel 10. Efektifitas Tawas Terhadap Penurunan Parameter Uji
dalam Air Sungai
No.
Parameter
Efektifitas Tawas hasil sintesis (%)
Efektifitas Tawas pasaran (%)
1
Bau
-
-
2
Warna
-
-
3
Kekeruhan
92,89
90,12
4
pH
10,73
6,90
5
Kesadahan
60,17
51,58
6
Nitrat
51,19
43,00
7
Zink (Zn)
89,16
90,96
8
Timbal (Pb)
66,13
46,77
9
Besi (Fe)
91,73
86,20
10
Kadmium (Cd)
-
-
11
Zat Organik
23,65
31,71
Dari hasil pada Tabel 10 didapatkan bahwa untuk tawas hasil
sintesis dari kaleng bekas minuman memiliki persentase efisiensi
penurunan lebih tinggi dibandingkan dengan persentase efisiensi
penurunan dari tawas yang beredar di pasaran, kecuali untuk
parameter Zink (Zn) dan zat organik.
BAB VKESIMPULAN
5
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian sintesis tawas kalium aluminium sulfat
dari limbah kaleng bekas minuman dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Kaleng dengan merek Pocari Sweat memiliki kandungan aluminium
paling tinggi yaitu sebesar 96,38% sehingga dapat dijadikan sumber
bahan baku pembuatan tawas.
2. Pengaruh variasi volume pelarut KOH 10% terhadap jumlah zat
terlarut yang konstan didapatkan hasil bahwa 30,0 mL pelarut KOH
10% adalah volume optimum untuk melarutkan 1 gram kaleng dengan
kadar aluminium pada filrat K[Al(OH)4] sebesar 98,20%.
3. Pengaruh variasi volume pereaksi H2SO4 6M terhadap jumlah
K[Al(OH)4] yang konstan didapatkan hasil bahwa 40 ml H2SO4 6M
menghasilkan kristal tawas sebanyak 16,6435 gram. Kristal tersebut
memiliki kemurnian kristal tawas sebesar 96,42% yang sesuai dengan
SNI 06-2102-1991.
4. Volume 55,0 ml merupakan nilai optimum penambahan larutan
tawas 1000 ppm untuk menjernihkan 1000 mL air sungai.
5. Tawas hasil sintesis dari kaleng bekas minuman memberikan
hasil yang memenuhi persyaratan air bersih yang berdasarkan pada
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990.
5.2 Saran
Diharapkan untuk penelitian selanjutnya dilakukan perhitungan
efektifitas biaya dalam sintesis tawas kalium aluminium sulfat.
Perbandingan Volume Pelarut KOH 10 % dan Waktu Reaksi
10203040506026.3520.19000000000000114.3214.2114.1214.03
Volume Pelarut KOH 10 % (mL)
Waktu Reaksi (Menit)
Perbandingan Volume Pelarut KOH 10% dan Kadar Al
10203040506043.7585.1199999999999998.298.2698.3198.3
Volume Pelarut KOH 10% (mL)
Kadar Al (%) (b/b)
Pengaruh Zat Pelarut dan Zat Pereaksi pada Sintesis Tawas
Aluminium Kalium Sulfat dari Limbah Kaleng Minuman Ringan Bekas
sebagai Zat Penjernih Air
1