PROPOSAL PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
II
Peranan Mohammad Hatta dalam peletakan Politik Luar Negeri
Indonesia Bebas-Aktif (1945-1949)
Oleh Fadhil Akbar Kurniawan1110852004Jurusam Ilmu Hubungan
InternasionalFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas
Andalas2013
AbstractMohammad Hatta is one of Indonesia founding fathers who
laid the foundation of Indonesia Foreign Policy. Generally, Foreign
Policy is a policy taken by the government of a state or other
political community to rule the relation among state and non-state
actors in international system. Foreign Policy makes domestic
region and international system connected. Foreign Policy can be a
diplomatic relationship, doctrine, alliance, or make a short term
or long term planning.Doctrine of Bebas Aktif Indonesian Foreign
Policy is an idea of Mohammad Hatta. It appeared for the first time
on KNIP meeting in Yogyakarta, September 1948. Bebas Aktif
Indonesian Foreign Policy was the response to face International
System at that time. When the world order system divide into West
Block and East Block. Indonesia Foreign Policy was make to push the
internal conflict while international politics got conflict among
two superpower states, United States and Uni Soviet. The aim of
this research is reviewing agenda, strategic, media, technical,
policy options and achievement of Mohammad Hattas ideas and action
about Bebas Aktif Foreign Policy. Include problem and crisis faced
with the research tittle, Mohammad Hatta Role for determination of
Bebas Aktif Indonesian Foreign Policy .Keywords: Mohammad Hatta,
Foreign Policy
BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangPolitik luar negeri merupakan
salah satu bidang kajian dalam Ilmu Hubungan Internasional. Politik
Luar Negeri sampai saat ini masih menjadi sebuah studi yang
kompleks karena tidak hanya melibatkan aspek-aspek eksternal namun
juga aspek-aspek internal suatu negara.[footnoteRef:2] Negara,
sebagai sebuah aktor yang melaksanakan politik luar negeri,
merupakan unit politik utama dalam sistem hubungan internasional,
meskipun akto-aktor non-state semakin memainkan peran penting dalam
kajian ilmu hubungan internasional. [2: James N. Rosenau, Gavin
Boyd, Kennth W. Thompson.1976. World Politics: An Introduction. New
York: the Free Press, hal.15]
Dalam kajian politik luar negeri sebagai suatu sistem,
rangsangan dari lingkungan eksternal dan domestik sebagai sebuah
input yang mempengaruhi politik luar negeri suatu negara
dipersepsikan oleh para pembuat keputusan dalam suatu proses
konversi menjadi ouput. Proses konversi yang terjadi dalam
perumusan politik luar negeri suatu negara ini mengacu pada
pemaknaan situasi, baik yang berlangsung dalam lingkungan eksternal
maupun internal dengan mempertimbangkan tujuan yang ingin dicapai
serta sarana dan kapabilitas yang dimilikinya.[footnoteRef:3] [3:
James N. Rosenau, 1980. The Scientific Study of Foreign Policy. New
York: The Free Press, hal. 171, 173.]
Permasalahan Politik Luar Negeri Indonesia ini telah diatur
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
karena itu penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Pernyataan tersebut menunjukkan
ciri utama dari politik luar negeri Indonesia.[footnoteRef:4] [4:
Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke
Masa, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa
Periode 1966-1995 Jilid IVA, Jakarta: Departemen Luar Negeri RI,
2005, hlm. 14]
17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan diri sebagai negara
yang merdeka dan berdaulat. Proklamasi kemerdekaan yang dibacakan
pada hari Jumat pagi itu bukanlah suatu akhir, melainkan suatu
permulaan untuk hal yang lebih besar lagi. Proklamasi hanyalah
suatu bentuk pencapaian negara Indonesiauntuk hadir sebagai negara
yang berdaulat, otonom, dan bebas dari campur tangan negara lain.
Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia banyak dihadapkan dengan
masalah-masalah besar disamping masalah-masalah lainnya. Salah
satunya yaitu belum adanya pengakuan internasional yang luas atas
kemerdekaan dan kedaulatan yang baru saja diterima oleh Indonesia.
Belanda tidak mengakui kedaulatan negara Indonesia yang dianggap
bentukan Jepang yang berbau fasisme. Hal ini menimbulkan ide dari
Belanda untuk melaksanakan Agresi Militer I dan Agresi Militer II
oleh para tentara sekutu, yang dijadikan Belanda sebagai alat untuk
kembali berkuasa pada masa itu. Kedatangan Sekutu yang membawa
orang-orang NICA (Netherlands Indies Civil Administration)
meresahkan dan menimbulkan ancaman terhadap kedaulatan Republik
Indonesia yang saat itu baru seumur jagung. Belanda terus menerus
memancing perang dengan Indonesia hingga akhirnya ibukota Jakarta
harus dipindahkan ke Jogjakarta pada 4 Januari 1946. Dan dari
Jogjakarta dipindahkan ke Bukittinggi yang dikenal dengan
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.Pada periode tahun
1945-1949 bisa dikatakan Indonesia masuk ke dalam situasi yang
sangat genting. Nasib Indonesia memerlukan pembicaraan ulang antara
pihak Republik Indonesia dan Belanda. Belanda dengan berbagai
kepentingannya masih saja mempertanyakan kedaulatan Republik
Indonesia. Namun, hal tersebut segera ditanggulangi oleh Sjahrir
yang kala itu tampil di panggung internasional untuk berunding
dengan Belanda.Ketika Indonesia menjadi suatu negara yang merdeka,
maka terdapat pembagian politik dalam sistem pemerintahan dan
pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Republik
Indonesia, yaitu internal dan eksternal. Pembuatan kebijakan
internal lebih mengarah kepada kebijakan yang diterapkan oleh
negara untuk mengatur permasalahan yang bersifat domestic.
Sedangkan pembuatan kebijakan eksternal lebih mengacu kepada
kebijakan yang dibuat Republik Indonesia untuk berinteraksi dan
menghadapi sistem internasional.Pada fase awal kemerdekaan, selain
masalah internal, Indonesia juga dihadapkan dengan berbagai masalah
dari eksternal. Pemaknaan situasi yang mengacu pada kondisi
masa-masa setelah Perang Dunia II berakhir yang memasuki fase Cold
War, dimana pada saat itu dunia terpolarisasi menjadi blok Barat
dan Blok Timur. Hal tersebut ditanggapi oleh Indonesia dengan
membuat konsep jangka panjang dan jangka pendek. Jangka pendeknya
yaitu berkaitan dengan hal yang didasarkan atas kegunaan dan
keuntungan bagi kepentingan rakyat Indonesia serta kepentingan umat
manusia, namun tetap berlandaskan pada pancasila sebagai moral
bangsa. Sedangkan jangka panjangnya yaitu bertindak nyata dalam
pemikiran dan memberikan perhatian pada perubahan dunia
internasional.[footnoteRef:5] Hal ini disebabkan karena pada saat
itu Indonesia dihadapkan pada perang ideologi antara American Bloc
dan Soviet Bloc. [5: Adhitia Pahlawan, Journal of Indonesias
Foreign Policy]
Pada tahun 1946, sebagai negara yang baru merdeka Indonesia
langsung menujukkan kontribusinya terhadap dunia internasional
melalui kebijakan politik luar negerinya. Hal tersebut
diperlihatkan dengan memberikan bantuan sejumlah 500.000 ton gabah
untuk meringankan beban rakyat India yang ditimpa bahaya kelaparan.
Bantuan tersebut sebenarnya cukup kecil jika dibandingkan dengan
kebutuhan India yang begitu besar. Namun sebagai sumbangan rakyat
Indonesia akan menjadi sangat besar artinya pada masyarakat India
dan masyarakat internasional. Sumbangan tersebut nyatanya dapat
menumbuhkan perhatian dunia internasional tertuju kembali pada
Indonesia. Sebagai negara yang baru saja mendapatkan kedaulatan,
merupakan sebuah capaian besar bagi Indonesia dapat menolong negara
lainnya. Kondisi sistem internasional pada masa ColdWar yang
mengharuskan Indonesia untuk memutuskan untuk beraliansi pada salah
satu blok, ditanggapi oleh Mohammad Hatta dalam pidatonya didepan
KNIP pada tanggal 2 September 1948. Prinsip dasar politik luar
negeri Indonesia adalah Bebas Aktif, yang dikemukakan pertama kali
oleh Sjahrir pada Asia Conference di New Delhi pada 1946. Kemudian
dikemukakan kembali oleh Mohammad Hatta dalam sidang Komite
Nasional Indonesia Pusat yang diberi judul Mendayung Antara Dua
Karang.[footnoteRef:6] [6: Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi
Republik Indonesia, 12-13]
Namun, bukan berarti Indonesia bersifat netral terhadap hal
tersebut. Menurut Philip.C Jessup, terminologi netral memiliki arti
anti sosial. Hal tersebut bisa membuat pandangan dari masyarakat
internasional terhadap Indonesia menjadi buruk, yaitu Indonesia is
unsocial. Alasan lain yaitu karena sudah menjadi mandate dari
piagam PBB, dimana negara harus memiliki international solidarity
terhadap sebuah iven dan ini telah menjadi sebuah komitmen
internasional.[footnoteRef:7] [7: Pada praktiknya solidaritas
internasional mengalami pergeseran dimana solidaritas internasional
itu lahir akibat konteks perang antara blok barat dengan blok
timur. Indonesias Foreign Policy. Page 444]
Salah satu argument Bung Hatta yang disampaikan dalam pembahasan
politik luar negeri mencerminkan Indonesia tidak bisa berada
dibawah ketiak negara lain dan menjadi objek kepentingan, yaitu
:Pemerintah berpendapat bahwa pendirian jang harus kita ambil ialah
supaja kita djangan menjadi objek dalam pertarungan politik
internasional, melainkan kita harus tetap mendjadi subjek jang
berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperdjoangkan
tudjuan kita sendiri, jaitu Indonesia Merdeka
seluruhnya.[footnoteRef:8] [8: Drs. Mohammad Hatta dimuka siding
B.P.K.N.P di Djokja 1948, Mendajung Antara Dua Karang, Kementrian
Penerangan Republik Indonesia]
Kutipan diatas menjelaskan dasar-dasar politik luar negeri yang
ingin dicetuskan oleh Mohammad Hatta pada saat itu. Lebih lanjut,
menurut Hatta, the policy of the Republic Indonesia is not one
neutrality. Melainkan bebas dan aktif dalam pertentangan kedua
blok. PLN bebas-aktif mengandung dua unsure fundamental yaitu bebas
dan aktif. Bebas berarti kita berhak menentukan penilaian dan sikap
kita sendiri terhadap masalah dunia dan bebas dari keterikatan pada
satu blok kekuatan di dunia serta persekutuan militernya. Aktif,
yaitu secara aktif dan konstruktif berupaya menyumbang tercapainya
kemerdekaan yang hakiki, perdamaian dan keadilan di dunia, sesuai
dengan Pembukaan UUD 1945.[footnoteRef:9] [9: Panitia Penulisan
Sejarah Diplomasi Republik Indonesia, 13.]
Secara politis, politik luar negeri Indonesia berpedoman pada
amanat konstitusi : dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam pelaksanaannya Indonesia menganut paham Bebas-Aktif yang
dicetuskan oleh Mohammad Hatta. Prinsip dasar Bebas-Aktif itulah
yang member kandungan atau cerminan kepentingan nasional yang ingin
diperjuangkan dan dipertahankan melalui mekanisme
diplomasi.[footnoteRef:10] [10: Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi
Republik Indonesia dari Masa ke Masa, Sejarah Diplomasi Republik
Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1966-1995 Jilid IVA, Jakarta:
Departemen Luar Negeri RI, 2005, hlm. 15]
Faktor lain yang menjadi landasan dari Politik Luar Negeri
Indonesia Bebas dan Aktif tidak bisa lepas dai konsep Pancasila.
Hal ini disebabkan oleh Pancasila sebagai dasar negara Republik
Indonesia. Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor
yang membentuk politik luar negeri Indonesia. Menurut Mohammad
Hatta, Pancasila menciptakan keteraturan (order) dalam politik luar
negeri. Oleh karena itu, prinsip dari bebas-aktif itu sendiri
memposisikan pancasila sebagi landasan idiilnya dan UUD 1945
sebagai landasan konstitusionalnya. Namun, yang perlu digaris
bawahi adalah prinsip bebas dan aktif dalam operasionalisasinya
menurut Hatta senantiasa berubah sesuai kondisi international
system dan national interest dari negara Indonesia sendiri.
Mohammad Hatta berperan aktif memimpin Republik Indonesia sebagai
wakil presiden semenjak diproklamasikannya kemerdekaan pada tanggal
17 Agustus 1945. Pada awalnya Mohammad Hatta melalui keadaan yang
sangat sulit dengan merangkap sebagai Perdana Menteri pada tahun
1948-1949. Setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk
sesuai amanat proklamasi, hatta terpilih sebagai wakil presiden
oleh parlemen.[footnoteRef:11] [11: Mohammad hatta, Potrait of a
Patriot. Alih bahasa Deliar Noer, The hauge Paris: Mouton
Publisher, 1972.]
Warisan Timur yang menyatu dalam pribadi Hatta merupakan nilai
budaya Minangkabau yang egaliter dan nilai Islam modern.
Nilai-nilai tersebut diintegrasikan dengan nilai-nilai Barat berupa
nasionalisme dan demokrasi sebagai ilham untuk menegakkan hak asasi
manusia, dimana sebuah obsesi Hatta yang masih belum terwujud
hingga hari ini. Mohammad Hatta yang pernah meneruskan studinya ke
Belanda selama sebelas tahun dianggap menjadi seorang pemimpin
berkualitas baik dalam keilmuwan maupun organisasi pergerakan
kemerdekaan. Pemikiran politiknya sering mendapat predikat
integrator warisan Timur dan Barat. Dalam menentukan kriteria
mengenai bangsa dan kebangsaan, bukanlah suatu paradigma yang
mudah. Mohammad Hatta tidak sependapat dengan teori geopolitik.
Dimana ia menganggap bangsa dan kebangsaan tidak bisa diambil dari
kriteria persamaan asal, persamaan bahasa dan persamaan agama.
Sementara geopolitik memandang masalah kekuatan nasional
semata-mata dalam istilah geografi dan di dalam proses, merosot
menjadi metafisika politis yang diutarakan dalam jargon yang tidak
berdasar ilmu pengetahuan.[footnoteRef:12] Pemikirannya mengenai
kebangsaan ini mempengaruhi terbentuknya politik luar negeri
Indonesia. Bahkan, peranan Mohammad Hatta diakui oleh Mochtar
Kusumaatmaja, bahwa Mohammad Hatta-lah orang pertama sebagai
peletak dasar politik luar negeri Indonesia.[footnoteRef:13] [12:
Hans J. Morgenthau, politik Antar Bangsa ke-6. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1990, hlm.242.] [13: Mochtar Kusumaatmaja, Bung
Hatta: Peletak Dasar Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta, hlm.
198.]
Hatta termasuk pemikir Indonesia yang mempunyai pendapat bahwa
perkembangan suatu masyarakat memerlukan perencanaan yang rasional.
Mohammad Hatta memilih cara yang bertahap namun nyata. Hal ini
tercermin jauh sebelum Indonesia merdeka. Pemikiran Hatta
dipengaruhi oleh berbagai latar belakang. Dimana Mohammad Hatta
dibesarkan dalam zaman penjajahan, membuatnya melihat keprihatinan
akibat perlakuan Belanda terhadap rakyat Indonesia. Keadaan rakyat
Indonesia inilah yang kemudian membuat Hatta menolak keras
imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk apapun.Mohammad Hatta
sebagi seorang sosialis, sosialisme yang berhaluan Islam. Ia
memberikan pemahaman mengenai sosialisme yang berkaca dari
kehidupan di desa yang berupa gotong royong dan azas kekeluargaan
yang merupakan kesinambungan dari kolektivisme yang beraturan. Pada
intinya Mohammad Hatta menginginkan tidak adanya pemimpin yang
besar yang tidak terkontrol untuk melaksanakan segala keinginannya,
sebaliknya menginginkan azas kekeluargaan yang mufakat. Sosialisme
yang dianut oleh Hatta ini tidak lepas dari pengaruh Barat, hal ini
juga berkaitan erat dengan ia menempuh studinya di Belanda. Salah
satu pengaruh yang menonjol dari dalam diri Hatta adalah koperasi
yang diterapkannya di Indonesia yang merupakan hasil belajarnya
selama di Skandinavia. Dengan koperasi, Hatta merasa ada kecocokan
untuk diterapkan di Indonesia, yang merupakan paham sosialis.
[footnoteRef:14] [14: Noer, Deliar. 1990. Mohammad Hatta, Biografi
Politik. Jakarta:LP3ES]
Doktrin politik luar negeri bebas aktif ini sejak awal dianggap
sebagai komitmen nasional yang harus dipegang teguh, sehingga
pelanggaran terhadap doktrin tersebut mengundang kritik yang tajam.
Pemerintahan Perdana Menteri Sukiman jatuh pada tahun 1952 ketika
diketahui bahwa Menteri Luar Negeri Subardjo secara diam-diam
sepakat menerima bantuan ekonomi Amerika berdasarkan syarat-syarat
yang tertuang dalam Mutual Security Act Of 1951. Berdasarkan fakta
tersebut, negara menerima bantuan ekonomi dan teknis dari Amerika
Serikat, dan terikat dalam perjanjian pertahanan keamanan dengan
negara adidaya tersebut. Dengan demikian, Kabinet Sukiman telah
menjadikan Indonesia sebagai sekutu Amerika Serikat, sehingga
secara jelas telah melanggar doktrin politik luar negeri bebas dan
aktif. Hal tersebut mengakibatkan kejatuhan Kabinet Sukiman. Sejak
saat itu diputuskan bahwa setiap perjanjian internasional harus
diratifikasi parlemen, sehingga eksekutif tidak dapat lagi
menjalankan diplomasi rahasia.[footnoteRef:15] [15: Bangun, Rikard.
(ed). 2003. Bung Hatta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.]
Penandatanganan perjanjian MSA (Mutual Security Act) dengan
Amerika Serikat oleh Subardjo sebagai Menteri Luar Negeri dalam
Kabinet Sukiman, disalahkan oleh Hatta, dimana menurut
kesimpulannya, Subardjo bersalah dalam hal ini, ia telah mengetahui
segala implikasi perjanjian tersebut yang diperolehnya dari Duta
Besar Amerika Serikat, M. Cocchran, dan ia tidak membicarakan
persetujuan itu sebelumnya dengan cabinet,, padahal kepada Duta
Besar Cocchran, Subardjo mengaku telah sudah membicarakannya dengan
cabinet. Subardjo telah menjalankan diplomasi rahasia dengan
sendirinua (seorang diri) dengan tidak menginsyafi bahwa soal
semacam ini tidak dapat dirahasiakan. Ini merupakan kelalaian
Subardjo yang kurang peka dan kurang perhatian seperti biasanya
pekerjaan Subardjo[footnoteRef:16] [16: Noer, Deliar. 1990.
Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakarta:LP3ES]
Pada tahun 1953, Republik Indonesia menggandengkan politik bebas
aktifnya dengan politik bertetangga baik (good neigbhour policy).
Perkembangan baru dalam pelaksanaan politik bebas aktif ini terjadi
pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Kabinet ini tidak
menitikberatkan hubungannya terhadap Barat, namun lebih mendekatkan
diri dengan negara-negara Asia-Afrika yang diwujudkan dengan
menggalang solidaritas negara-negara Asia dan Afrika yang bertujuan
untuk menghapuskan kolonialisme dan untuk meredakan ketegangan
dunia yang ditimbulkan oleh ancaman perang nuklir antara dua negara
raksasa, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Indonesia kemudian
berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, pada
April 1955. Meneliti peranan Mohammad Hatta dalam pembentukan
Politik Luar Negeri Indonesia yang Bebas-Aktif merupakan sebuah
usaha yang penting dan sangat bermanfaat untuk pengembangan konsep
Politik Luar Negeri, khususnya membahas mengenai Politik Luar
Negeri Indonesia. Menurut peneliti, politik luar negeri merupakan
salah satu kajian dalam ilmu Hubungan internasional yang terpenting
dan sangat berguna bagi para scholar Hubungan Internasional untuk
menganalisis interaksi politik antar aktor di sistem internasional.
Pemikiran politik luar negeri Indonesia yang Bebas-Aktif merupakan
pencapaian yang sangat berharga dalam kajian Politik Luar Negeri
Indonesia. Peneliti sangat tertarik untuk meneliti faktor internal
dan eksternal dari sosok Mohammad Hatta dalam mencetuskan
padangannya membuat politik luar negeri yang Bebas-Aktif. Inilah
yang berusaha penulis upayakan melalui penelitian dan penulisan
skripsi yang berjudul : Peranan Mohammad Hatta dalam peletakan
Politik Luar Negeri Indonesia Bebas-Aktif (1945-1949).
1.2 PermasalahanSetiap negara membuat dan menjalankan politik
luar negerinya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di
negaranya masing-masing. Banyak faktor yang menentukan dalam
pembuatan dan penetapan sebuah politik luar negeri dari suatu
negara. Disamping siatuasi dan keadaan sistem internasional, juga
terdapat aspek-aspek yang bersifat domestic yang mempengaruhinya.
Selain itu, faktor pemikiran aktor, latar belakang, dan juga bentuk
kontribusi dari aktor-aktor yang bermain didalamnya juga sangat
menentukan. Perbedaan waktu, tempat, dan keadaan serta perilaku
kekuasaan dan kepentingan yang kompleks membuat politik luar negeri
sulit untuk dideskripsikan sama secara universal. Karena itu,
setiap aktor mempunyai kekhasan dalam menjalan dan membentuk
politik luar negeri sesuai dengan lingkungan yang membentuk
pemikiran dan sumber-sumber pengetahuan dominan yang hendak
dikejar.Mohammad Hatta diakui sebagai sosok yang paling berpengaruh
dalam peletakan Politik Luar Negeri Indonesia Bebas-Aktif. Hal ini
telah banyak dipublikasikan dan ditulis oleh berbagai peneliti yang
tertarik dalam mendalami masalah Politik Luar Negeri Indonesia.
Terdapat beragam metode dan teknik dalam pelaksanaan dan penerapan
Politik Luar Negeri tergantung dengan kepentingan masing-masing
aktor. Dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk menganalisis
peranan dari Mohammad Hatta dalam pencetusan Politik Luar Negeri
Indonesia yang bersifat Bebas-Aktif melalui kerangka konsep Politik
Luar Negeri dalam Ilmu Hubungan Internasional dengan member
perhatian utama terhadap metode, pemikiran dan perilaku yang
digunakan Mohammad Hatta dalam menetapkan kebijakan tersebut.
1.3 Pertanyaan PenelitianPertanyaan yang hendak penulis jawab
melalui penelitian ini adalah : Apakah peranan dalam
konseptualisasi Politik Luar Negeri Indonesia ? Mengapa Mohammad
Hatta meletakkan politik luar negeri yang bersifat Bebas-Aktif
sebagai bentuk Politik Luar Negeri Indonesia ? Apa saja
faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran Mohammad Hatta dalam
membentuk Politik Luar Negeri Indonesia Bebas-Aktif ?
1.4 Tujuan Penelitian Mendeskripsikan sejarah dan ruang lingkup
Politik Luar Negeri Indonesia Mengkaji konteks-konteks pemikiran
Politik Luar Negeri Bebas-Aktif oleh Mohammad Hatta Mengungkapkan
perjuangan Mohammad Hatta dalam mewujudkan tujuan Politik Luar
Negeri Indonesia Menganalisa peranan Mohammad Hatta dalam
pembentukan Politik Luar Negeri Indonesia Bebas-Aktif1.5 Manfaat
Penelitian Mencoba membuka kembali pemikiran aktor Indonesia dalam
kajian politik luar negeri dimana pemikiran tersebut mencampurkan
pemikiran Barat dan nilai-nilai Timur. Hal ini juuga bergunan untuk
membangkitkan semangat kaum muda Indonesia untuk mempelajari
aktor-aktor Indonesia ditengah Westerncentric dalam berbagai
keilmuwan yang ada saat ini. Berguna untuk semua elemen masyarakat,
terutama civitas akademika untuk memperluas pemahaman mengenai
politik luar negeri Indonesia.
1.6 Studi PustakaSaat ini, telah banyak kumpulan tulisan yang
menulis mengenai biografi, sejarah perjuangan, hingga ideologi
seorang Mohammad Hatta. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari
peran seorang Mohammad Hatta yang telah berkontribusi begitu besar
dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penulis
mengumpulkan dan menelaah beberapa tulisan mengenai Mohammad Hatta
dalam membantu meyelesaikan penelitian ini.Pertama yaitu buku
Kumpulan Pidato Mohammad Hatta dari tahun 1942 sampai 1949, yang
disusun oleh I. Wangsa Widjaja dan Meutia F. Swasono. Dimana dalam
buku ini menjelaskan bentuk ide dan pemikiran Mohammad Hatta
mengenai kebijakan yang dilakukan oleh Indonesia dalam menghadapi
sistem internasional. Hal yang paling menonjol yaitu bantuan yang
dilakukan Indonesia ke India dalam membantu menangani kasus
kelaparan yang merebak di India. Pengiriman 500.000 ton gabah dari
Indonesia terhadap India membuat mata dunia kembali tertuju
terhadap Indonesia, dimana sebuah negara muda yang masih seumur
jagung telah mampu memberikan kontribusi terhadap negara-negara
lainnya yang ada dalam sistem internasional.[footnoteRef:17] [17:
I. Wangsa Widjaja dan Meutia F. Swasono, Mohammad Hatta: Kumpulan
Pidato (1942-1949) (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981) hlm.81]
Selain itu, Mohammad Hatta menjelaskan bahwa cita-cita bangsa
Indonesia ialah mencapai perdamaian yang abadi serta keadilan
sosial ke dalam maupun ke luar. Perdamaian yang abadi diantara
rakyat dan keadilan sosial bagi rakyat seluruhnya akan dicapai
dengan memperkokoh sendi-sendi negara melalui nilai-nilai yang
terkandung didalam Pancasila. Tuntutan ini juga terjamin melalui
Undang-Undang Dasar kita, misalnya pasal 33 dan 34 tentang
kesejahteraan sosial dan pasal 27 ayat 2, yang menegaskan bahwa
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. Perdamaian abadi dan keadilan sosial ke
luar, yaitu diantara bangsa-bangsa di seluruh dunia, hal tersebut
haruslah disusun oleh segala bangsa. Walaupun demikian, kita
sebagai bangsa Indonesia mempunyai niat yang kuat untuk mencapai
hal tersebut. Dan tujuan Politik Luar Negeri Indonesia, siapapun
yang memimpinnya, akan tetap berdasarkan kepada cita-cita mencapai
perdamaian yang kekal dan keadilan sosial di antara segala bangsa
di dunia.[footnoteRef:18] Tulisan inilah yang menurut penulis
merepresentasikan nilai-nilai yang ada dalam Politik Luar Negeri
Bebas-Aktif yang merupkan buah pemikiran dari Mohammad Hatta dengan
nilai-nilai ketimurannya yang masih kental. [18: Ibid hlm.82]
Buku Politik Luar Negeri Indonesia, tahun 1986 yang merupakan
terjemahan dari Indonesia Foreign Policy oleh DR. Micahel Leifer
yang lebih khusus menjelaskan mengenai perjalanan politik luar
negeri Indonesia. Dalam buku tersebut terdapat bagian tentang
revolusi nasional dan benih-benih politik luar negeri Indonesia
yang membahas mengenai dinamika politik luar negeri Indonesia pada
masa awal kemerdekaan dalam kurun waktu dari tahun 1945 sampai
dengan 1949. Dalam bahsan tersebut, dijelaskan mengenai bagaimana
diplomasi Indonesia dalam menghadapi Belanda, mulai dari
kepemimpinan baru dan perundingan-perundingan yang dilakukan,
intervensi PBB dan masalah Indonesia-Belanda, benih-benih politik
luar negeri Indonesia dan penyerahan kedaulatan.[footnoteRef:19]
[19: Michael Leifer. Politik Luar Negeri Indonesia (Jakarta: PT.
Gramedia, 1986).]
Dalam Jurnal Aktivitas Mohammad Hatta yang ditulis oleh Dian
Safitri, menjelaskan mengenai pemikiran-pemikiran Mohammad Hatta
yang bersifat sosialis namun berhaluan Islam. Latar belakang
Mohammad Hatta sebagai seorang anak yang berasal dari Budaya
Minangkabau membuat ide-ide budayanya selalu melekat dengan
pemikirannya walaupun dicampurkan dengan pemikiran Barat yang
memang dia tekuni pada saat melakukan studi ke Belanda selama
sebelas tahun. Yang pada intinya Hatta menginginkan tidak adanya
pemimpin yang besar yang tidak terkontrol untuk melaksanakan segala
keinginannya, sebaliknya azas kekeluargaan yang
mufakat.[footnoteRef:20] [20: Dian Safitri. Aktifitas Mohammad
Hatta. Prodi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Malang]
Selanjutnya yaitu, buku Mendajung Antara Dua Karang Drs.
Mohammad Hatta, (Keterangan yang diucapkan oleh Drs. Mohammad Hatta
didepan siding B.P.K.N.P di jogja pada tahun 1948) yang berisi
ide-ide pemikiran Mohammad Hatta mengenai Politik Luar Negeri
Indonesia pada periode dimana lingkungan internasional terpecah
menjadi dua kekuatan besar (Bipolar), yang membentuk Blok Barat
yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni
Soviet. Negara-negara di dunia pada saat itu dihadapkan pada
pilihan untuk memilih sebagai pengikut dari ideologi yang
direpresentasikan oleh kedua negara tersebut. Buku ini diberi judul
Mendajung Antara Dua Karang merupakan suatu judul yang identik
dengan politik luar negeri Indonesia kala itu, dimana Kementrian
Penerangan mungkin memang ingin lebih menonjolkan soal-soal politik
luar negerinya ketimbang soal-soal domestik. Bagaimana penjelasan
Mohammad Hatta tentang konsepnya ini bisa kita lihat dalam pidato
pertamanya tanggal 2 September, dimana Mohammad hatta mengawali
penjelasannya mengenai prinsip politik luar negeri yang dipegang
Pemerintah Republik Indonesia dengan menjabarkan sikap pemerintah
terhadap Perjanjian Renville. Menurut pemerintah, Republik
Indonesia yang pada saat itu hanya terdiri dari Jawa, Sumatera, dan
Madura, harus menaati Perjanjian Renville karena telah
menyepakatinya. Selain itu, realita di lapangan membuat pemerintah
mau tidak mau juga mesti berunding dengan Belanda karena perjuangan
senjata terus menerus justru kontraproduktif dengan upaya mencapai
kemerdekaan.[footnoteRef:21] [21: Drs. Mohammad Hatta. 1948.
Mendajung Antara Dua Karang. Kementrian Penerangan Republik
Indonesia]
Terhadap perundingan dengan Belanda kita senantiasa mendasarkan
politik kita atas keadaan jang njata atas tuntutan jang rasional
dimata dunia internasional. Oleh karena perestudjuan Renville sudah
diterima oleh negara, delegasi kita harus mendjalankan politik
perundingan jang sebaik baiknja berdasarkan persetudjuan Renville
itu, demikian ungkap Mohammad Hatta.[footnoteRef:22] [22: Ibid]
Isi Perjanjian Renvil tersebut intinya Republik Indonesia harus
menarik tentaranya dari wilayah yang sebelumnya dikuasainya hingga
pada garis Van Mook. Akibar perjanjian itu, Indonesia harus
kehilangan sebagian dari wilayah yang sebelumnya sudah menyempit
akibat dari Perjanjian Linggarjati. Pada saat yang sama, di
kalangan domestic sendiri terjadi perpecahan dalam menyikapi
Perjanjian Renville. Kalangan FDR (Front Demokrasi Rakjat) yang
berhaluan komunis yang semula mendukung mengubah sikap dengan
mengusulkan pembatasan perjanjian. Kalngan ini menuntut agar
Indonesia lebih berpihak kepada Uni Soviet yang kala itu menjadi
symbol perlawanan terhadap imperialisme. Nah, dalam menjawab
perpecahan internal ini Mohammad Hatta menegaskan sikap politik
yang diambil oemerintah dengan menyatakan:Tetapi mestikah kita
bangsa Indonesia, jang memperdjoangkan kemerdekaan bangsa dan
negara kita, hanja harus memilih pro Rusia atau pro Maerika ?
Apakah tak ada pendirian jang lain harus kita ambil dalam mengedjar
tjita-tjita kita?Pemerintah berpendapat bahwa pendirian jang harus
kita ambil ialah supaja kita djangan menjadi objek dalam
pertarungan politik internasional, melainkan kita harus tetap
mendjadi subjek jang berhak menetukan sikap kita sendiri, berhak
memperdjoangkan tudjuan kita sendiri, jaitu Indonesia Merdeka
seluruhnja.Dalam memperkuat argumennya tersebut Mohammad Hatta
mengambil contoh Uni Soviet yang pada tahun 1935 melunakkan
sikapnya terhadap negara-negara demokrasi Barat dan bekerja sama
dengan negara-negara tersebut demi menghadapi fasisme Nazi Jerman.
Tidak hanya sampa disitu, Soviet bahkan menyarakan kepada
bangsa-bangsa yang masih terjajah untuk mengurangi perjuangannya
melawan imperialisme dan melepaskan sementara waktu cita-cita
kemerdekaannya demi membantu perlawanan terhadap Jerman kala itu.
Ini membuktikan bahwa Uni Soviet pun mempertimbangkan situasi riil
di lapangan dan tidak melulu terpaku terhadap ideology untuk
menentukan sikap politik internasionalnya. Pragmatisme cerdas
inilah yang diajukan Mohammad Hatta untuk juga diterapkan oleh
Indonesia dalam menghadapi situasi politik
internasional.[footnoteRef:23] [23: Drs. Mohammad Hatta. 1948.
Mendajung Antara Dua Karang. Kementrian Penerangan Republik
Indonesia]
1.7 Kerangka Konseptual1.7.1 Politik Luar NegeriPolitik luar
negeri pada dasarnya merupakan action theory, atau kebijaksanaan
suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu
kepentingan tertentu. Secara umum pengertian politik luar negeri
(foreign policy) merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap,
arah serta saran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan
kepentingan nasional dalam percaturan dunia internasioal. Suatu
komitmen yang pada sarnya merupakan strategi dasar untuk mencapai
suatu tujuan baik dalam konteks domestic dan luar negeri serta
sekaligus menentukan keterlibatan suatu negara di dalam isu-isu
internasional atau lingkungan sekitarnya.[footnoteRef:24] [24:
Yanyan Mochamad Yani, Drs., MAIR., Ph.D. dalam Jurnal Politik Luar
Negeri]
Salah satu cara dalam memahami konsep politik luar negeri adalah
dengan jalan memisahkannya ke dalam dua komponen: politik dan luar
negeri. Politik (policy) merupakan seperangkat keputusan yang
menjadi pedoman untuk bertindak, atau seperangkat aksi yang
bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan
sebelumnya. Policy itu sendiri berakar pada konsep
pilihan(choices): memilih tindakan atau membuat keputusan-keputusan
untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan gagasan mengenai kedaulatan
dan konsep wilayah akan membantu upaya memahami konsep luar negeri
(foreign). Kedaulatan berarti kontrol atas wilayah (dalam) yang
dimiliki oleh suatu negara. Jadi, politik luar negeri (foreign
policy) berarti seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang
ditujukan ke luar wilayah suatu negara.[footnoteRef:25] [25:
Ibid]
Pemahaman konsep ini diperlukan agar kita dapat membedakan
antara politik luar negeri dan politik domestic (dalam negeri).
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwasanya pembuatan politik luar
negeri selalu terkait dengan konsekuensi-konsekuensi yang ada
didalam negeri. Meminjam istilah Henry Kissinger, seorang akademisi
sekaligus praktisi politik luar negeri Amerika Serikat, menyatakn
bahwa foreign policy begins when domestic policy
ends.[footnoteRef:26] Dengan kata lain kajian politik luar negeri
berada pada persimpangan antara aspek dalam negeri suatu negara
(domestic) dan aspek internasional (eksternal) dari kehidupan suatu
negara. Karena itu studi politik luar negeri tidak dapat menisbikan
struktur dan proses baik dari sistem internasional (lingkungan
eksternal) maupun dari sistem politik domestic. Dari pernyataan di
atas sulit bagi kita untuk memisahkan antara politik luar negeri
dengan politik dalam negeri. Pemisahan ini hanya dimungkinkan untuk
keperluan analisis atau penelitian dalam Hubungan Internasional.
[26: Wolfram F. Hanrieder. 1971. Comparative Foreign Policy:
Theoretical Essays. New York: David McKay Co, hal. 22]
Politik luar negeri merupakan salah satu bidang kajian dalam
studi Ilmu Hubungan Internasional. Politik Luar Negeri merupakan
suatu studi yang kompleks karena tidak saja melibatkan aspek-aspek
eksternal akan tetapi juga aspek-aspek internal suatu
negara.[footnoteRef:27] Negara, sebagai aktor yang melakukan
politik luar negeri, tetap menjadi unit politik utama dalam sistem
hubungan internasional, meskipun aktor-aktor non-negara semakin
memainkan peran nya yang semakin hari semakin menyaingi peran
negara dalam dinamika hubungan internasional. [27: James N.
Rosenau. Gavin Book, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An
Introduction. New York: The Free Press, hlm.15]
Dalam kajian politik luar negeri sebagai suatu sistem,
rangsangan dari lingkungan eksternal dan domestic sebagai input
yang mempengaruhi politik luar negeri atau negara dipersepsikan
sebagai sebuah input yang oleh para decision maker dalam suatu
konversi menjadi output. Prosen konversi tersebut dilakukan dalam
perumusan politik luar negeri suatu negara dan hal ini mengacu pada
pemaknaan situasi baik yang berlangsung dalam hal eksternal maupun
internal dengan mempertimbangkan tujuan yang ingin dicapai serta
sarana dan kapabilitas yang dimilikinya.[footnoteRef:28] [28: James
N. Rosenau. 1980. The Scientific Study of Foreign Policy. New York:
The Free Press, hal. 171-173]
Kebijakan luar negeri merupakan strategi ataupun sebuah rencana
tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam
menghadapi negara lain ataupun unit-unit politik lainnya, dan
digunakan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang tertuang
dalam terminologi national interest.[footnoteRef:29] Kebijakan luar
negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara memang
bertujuan untuk emncapai kepentingan nasional masyarakat yang
diperintahnya meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu
itu ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu
tersebut.[footnoteRef:30] Untuk memenuhi kepentingan nasionalnya
itu, negara-negara maupun aktor dari negara tersebut melakukan
berbagai macam kerjasama diantaranya adalah kerjasama bilateral,
triteral, regional, dan multilateral. [29: Jack C. Plano dan Ray
Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Bandung: Abardin,hlm.5]
[30: Mochtar Masoed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin
dan Metodologi. Jakarta: LP3ES, Hlm.184]
Menurut Rosenau, pengertian kebijakan luar negeri yaitu upaya
suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk
mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan
eksternalnya.[footnoteRef:31] Kebijakan luar negeri menurutnya
ditujukan untuk memeilihara dan mempertahankan kelangsungan hiudp
suatu negara.[footnoteRef:32] Bahkan, apabila kita mengkaji
kebijakan luar negeri suatu negara maka kita akan memasuki fenomena
yang luas dan kompleks, meluputi kehidupan internal dan kebutuhan
eksternal termasuk didalamnya adalah kehidupan internal dan
eksternal seperti aspirasi, atribut nasional, kebudayaan, konflik,
kapabilitas, institusi, dan aktivitas rutin yang ditujukan untuk
mencapai dan memelihara identitas sosial, hukum, dan geografi suatu
negara sebagai negara-bangsa (nation-state).[footnoteRef:33] [31:
James N. Rosenau. Gavin Boyd. Kenneth W. Thompson. 1976. World
Politics: An Introduction. New York: The Free Press, hlm. 27.] [32:
Ibid, hlm.32] [33: Ibid, hlm.15]
Langkah-langkah awal dalam proses pembuatan kebijakan luar
negeri mencakup: Menjabarkan pertimbangan kepentingan nasional ke
dalam bentuk tujuan dan sasaran spesifik; Menetapkan faktor
situasional di lingkungan domestic dan internasional yang berkaitan
dengan tujuan kebijakan luar negeri; Menganalisa kapabilitas
nasional untuk menjangkau hasil yang dikehendaki; Mengembangkan
perencanaan atau strategi untuk memasuki kapabilitas nasional dalam
menanggulangi variabel tertentu sehingga mencapai tujuan yang telah
ditetapkan; Melaksanakan tindakan yang diperlukan; Secara periodeik
meninjau dan melakukan evaluasi perkembangan yang telah berlangsung
dalam menjangkau tujuan atau hasil yang
dikehendaki.[footnoteRef:34] [34: Jack C. Plano dan Ray Olton.1999.
Kamus Hubungan Internasional. Bandung: Abardin, hlm.5]
Sementara menurut Holsti, lingkup kebijakan luar negeri meliputi
semua tindakan serta aktivitas negara terhadap lingkungan
eksternalnya dalam upaya memperoleh keuntungan dari lingkungan
tersebut, serta hirau akan berbagi kondisi internal yang menopang
formulasi tindakan tersebut.[footnoteRef:35] [35: KJ. Holsti. 1992.
Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Bandung: Bina
Cipta, Hlm 21]
1.7.2 Tujuan Politik Luar NegeriTujuan dari kebijakan luar
negeri sebenarnya merupakan fungsi dari proses dimana tujuan negara
disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh sasaran yang dilihat dari
masa lalu dan aspirasi untuk masa yang akan dating. Tujuan
kebijakan luar negeri dibedakan atas tujuan jangka panjang, jangka
menengah, dan jangka pendek. Pada dasarnya tujuan jangka panjang
kebijakan luar negeri adalah untuk mencapai perdamaian, keamanan,
dan kekuasaan.[footnoteRef:36] [36: James N. Rosenau. 1969.
International Politics dan Foreign Policy: A Reader in Research and
Theory. New York: The Free Press, hlm.167]
Sementara itu, menurut Plano setiap kebijakan luar negeri
dirancang untuk menjangkau tujuan nasional. Tujuan nasional yang
hendak digunakan melalui kebijakan luar negeri merupakan formulasi
konkret dan dirancang dengan mengaitkan kepentingan nasional
terhadp situasi internasional yang sedang berlangsung serta power
yang dimiliki untuk menghadapinya. Tujuan dirancang, dipilih, dan
diterapkan oleh pembuat keputusan dan dikendalikan untuk mengubah
kebijakan (revisionist policy) atau mempertahakan (status quo
policy) kenegaraan tertentu di lingkungan
internasional.[footnoteRef:37] [37: Jack C. Plano dan Ray Olton.
1999. Kamus Hubungan Internasional. Bandung: Abardin, hlm. 6]
Tujuan politik luar negeri dapat dikatakan sebagai citea
mengenai keadaan dan kondisi di masa depan suatu negara dimana
pemerintah melalui para perumus kebijaksanaan nasional mampu
meluaskan pengaruhnya kepada negara-negara lain untuk mengubah atau
mempertahankan tindakan negara lain. Jika ditinjau dari sifatnya,
tujuan politik luar negeri dapat bersifat konkret dan abstrak.
Sedangkan dilihat dari segi waktunya, tujuan politik luar negeri
dapat bertahan lama dalam suatu periode waktu tertentu dan dapat
pula bersifat sementara, berubah sesuai dengan kondisi waktu
tertentu. K.J. Holsti memberikan tiga kriteria untuk
mengklasifikasikan tujuan-tujuan politik luar negeri suatu negara,
yaitu : Nilai (value) yang menjadi tujuan dari para pembuat
keputusan. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan
yang telah ditetapkan. Dengan kata lain ada tujuan jangka pendek
(short-term), jangka menengah (middle-term) dan jangka panjang
(long-term). Tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada negara
lain.[footnoteRef:38] [38: Bruce Russet dan Harvey Starr. 1988.
World Politics: the Menu for Choice. 2nd ed. New York: W.H. Freeman
and Co. hlm. 190-193.]
Konsep lain yang melekat pada tujuan politik adalah kepentingan
nasional (national interest) yang didefinisikan sebagai konsep
abstrak yang meiliputi berbagai kategori/keinginan dari suatu
negara yang berdaulat. Kepntingan nasional terbagi ke dalam
beberapa jenis, yaitu : Core/basic/vital interest; kepentingan yang
sangat tinggi nilainya sehingga suatu negara bersedia untuk
berperang dalam mencapainya. Melindungi daerah-daerah wilayahnya,
menjaga dan melestarikan nilai-nilai hidup yang dianut suatu negara
merupakan beberapa contoh dari core/basic/vital interest ini.
Secondary interests, meliputi segala macam keinginan yang hendak
dicapai masing-masing negara, namun mereka tidak bersedia berperang
dimana masih terdapat kemungkinan lain untuk mencapai hal tersebut
melalui jalan perundingan atau diplomasi misalnya.
1.7.3 Konsepsi Kebijakan Luar NegeriKebijakan luar negeri
mempunyai tiga konsep untuk menjelaskan hubungan suatu negara
dengan kejadian dan stuasi di luar negara, yaitu : Kebijakan luar
negeri sebagai sekumpulan orientasi (as a cluster of orientation).
Politik luar negeri sebagai sekumpulan orientasi merupakan pedoman
bagi para pembuat keputusan untuk meghadapi kondisi-kondisi
eksternal yang menuntut pembuatan keputusan dan tindakan
berdasarkan orientasi tersebut. Orientasi ini terdiri dari sikap,
persepsi, dan nilai-nilai yang dijabarkan dari pengalaman sejarah,
dan keadaan strategis yang menentukan posisi negara dalam politik
internasional.Karena itu politik luar negeri yang dipandang sebagai
sekumpulan orientasi mengacu pada prinsip-prinsip dan tendensi umum
yang mendasari tindakan negara di dalam dunia internasional,
misalnya UUD 1945 dan Pancasila yang dipunyai oleh
Indonesia.Politik luar negeri sebagai seperangkat komitmen dan
rencana untuk bertindak (as a set of commitments to and plan for
action). Dalam hal ini kebijakan luar negara berupa rencana dan
komitmen konkrit yang dikembangkan oleh para pembuat keputusan
untuk membina dan mempertahankan situasi lingkungan eksternal yang
konsisten dengan orientasi kebijakan luar negeri. Rencana tindakan
ini termasuk tujuan yang spesifik serta alat atau cara untuk
mencapainya yang dianggap cukup memadai untuk menjawab peluang dan
tantangan dari luar negeri. Dalam kenyataannya, rencana tindakan
ini merupakan penerjemahan dari orientasi umum dan reaksi terhadap
keadaan yang konkret. Pada fase ini rencana tindakan politik luar
negeri ini akan memberikan pedoman bagi : Tindakan yang ditujukan
pada situasi yang berlangsung lama, misalnya kebijakan luar negeri
yang berkenaan dengan konflik Arab-Israel. Tindakan Tindakan yang
ditujukan kepada negara-negara tertentu. Tindakan yang ditujukan
pada isu-isu khusus, seperti kebijakan luar negeri mengenai
pengawasan dan elucutan persenjataan. Tindakan yang ditujukan pada
berbagai sasaran lainnya, misalnya isu lingkungan hidup dan hak
asasi manusia.Politik luar negeri pada fase ini lebih mudah diamati
daripada orientasi umum karena biasanya diartikulasikan dalam
pernyataan-pernyataan formal dalam konferensi pers atau dalam
komunitas diplomatic. Hal ini merepresentasikan apa yang dilakukan
Mohammad Hatta dalam konferensi KNIP di Jogjakarta pada tahun 1948
dalam menyampaikan gagasannya mengenai Politik Luar Negeri
Indonesia yang dikenal dengan Mendajung Diantara Dua Karang
.Kebijakan luar negeri sebagai bentuk perilaku atau aksi, dimana
pada tingkat ini kebijakan luar negeri berada dalam tingkat yang
lebih empiris, yaitu berupa langkah-langkah nyata yang diambil oleh
para pembuat keputusan yang berhubungan dengan kejadian serta
situasi di lingkungan eksternal. Langkh-langkah ini dilakukan
berdasarkan orientasi umum yang dianut serta dikembangkan
berdasarkan komitmen dan sasaran yang lebih
spesifik.[footnoteRef:39] [39: James N.Rossenau, gavin Boyd,
Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An Introduction. New
York: The free Press]
Jadi, kebijakan luar negeri dapat dibedakan sebagai sekumpulan
orientasi, sekumpulan komitmen dan rencana aksi, dan sebagai suatu
bentuk perilaku. Setiap negara menghubungkan negaranya kepada
peristiwa dan situasi di luar dengan ketiga bentuk kebijakan luar
negeri diatas.1.7.4 Sumber-Sumber Politik Luar NegeriKeputusan dan
tindakan ini dipengaruhi oleh faktor yang berasal baik dari
lingkungan eksternal maupun lingkungan internal. Faktor-faktor yang
mendasari dan menentukan rencana-rencan dan pilihan-pilihan yang
dibuat oleh para pembuat keputusan sangatlah banyak untuk
disebutkan. Karena itu, perlu adanya suatu pengelompokkan
faktor-faktor tersebut.Howard Lentner mengklasifikasikannya ke
dalam dua kelompok, yaitu determinan luar negeri dan determinan
domestik.[footnoteRef:40] Determinan luar negeri mengacu pada
keadaan sistem internasional dan situasi pada suatu wilayah
tertentu. Sistem internasional didefinisikan sebagai pola interaksi
diantara negara-negara yang terbentuk/dibentuk oleh struktur
interaksi diantara pelaku-pelaku yang paling kuat (most powerful
actors). Sistem internasional setelah periode Perang Dunia II yang
dikenal sebagai bipolaritas (dua kutub) merupakan contoh dari
sistem internasional yang pernah berlaku dalam politik global. Hal
ini merupakan kunci yang penting dalam menganalisis pembentukan
kebijakan dan penelitian yang akan dilakukan mengenai faktor faktor
yang menyebabkan Mohammad Hatta mencetuskan Politik Luar Negeri
Indonesia yang Bebas-Aktif. [40: Howard lentner. 1974. Foreign
policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach. Ohio: Bill
and Howell Co, hal. 105-171.]
Contoh lainnya, yaitu pola hubungan diantara negara-negara di
Asia Tenggara yang terlibat dalam ASEAN akan dibahas sebagai sebuah
situasi.[footnoteRef:41] Dengan demikian, situasi sebagai suatu lat
analisis (analytical tool) dapat memberikan alat untuk menetukan
lingkungan eksternal yang relevan bagi para pembuat keputusan
(decision maker). Selain itu, konsep ini juga berfungsi sebagai
alat untuk menghubungkan dua unit analisis yang lainnya yaitu
negara dan sistem internasional. [41: Ibid, hal.51-70]
Sedangkan James N. Rosenau mengkategorikan faktor-faktor/sumber
sumber politik luar negeri melalui dua kontinum, yakni dengan cara
menempatkan sumber-sumber itu pada kontinu waktu dan kontinu
agregasi sitematik.[footnoteRef:42] Kontinum waktu meliputi
sumber-sumber yang cenderung bersifat mantap dan berlaku terus
menerus dan tetap dan sumber-sumber yang dapat dipengaruhi oleh
fluktuasi jarak pendek, dan sumber-sumber yang dapat berubah. [42:
James N.Rossenau, gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World
Politics: An Introduction. New York: The free Press, hlm.18]
Sumber-sumber utama yang menjadi input dalam perumusan kebijakan
luar negeri, yaitu : Sumber sistemik (systemis source), merupakan
sumber yang berasal dari lingkungan eksternal suatu negara. Sumber
ini menjelaskan struktur hubungan di antara negara-negara besar,
pola-pola aliansi yang terbentuk diantara negara-negara dan faktor
situasional eksternal yang dapat berupa isu area atau krisis.
Sumber masyarakat (societal source), merupakan sumber yang berasal
dari lingkungan internal. Sumber ini mencakup faktor kebudayaan dan
sejarah pembangunan ekonmi, struktur sosial dan perubahan opini
public. Sumber pemerintahan (governmental source), merupakan sumber
internal yang menjelaskan tentang pertanggungjawaban politik dan
struktur dalam pemerintahan. Sumber idiosentrik (idiosyncratic
source) merupakan sumber internal yang melihat nilai-nilai
pengalaman, bakat serta kepribadian elit politik yang mempengaruhi
persepsi, kalkulasi, dan perilaku mereka terhadap kebijakan luar
negeri.[footnoteRef:43] [43: Ibid, hlm. 15]
1.7.5 Perspektif-Perspektif Politik Luar Negeri1.7.5.1 Model
Strategik/Model RasionalAsumsi dasar model ini yaitu bahwa
negara-negara dapat dianggap sebagai aktor yang berupaya untuk
memaksimalkan pencapaian tujuan mereka berdasarkan kalkulasi
retional di dalam kancah politik global.[footnoteRef:44] Lovel
telah menyarankan adanya beberapa faktor utama yang mempengaruhi
proses perumusan strategi kebijakan luar negeri suatu negara-bangsa
lain, dan kapabilitas yang dimiliki oleh negara tersebut. Keempat
faktor ini menentukan corak interaksi antar negara dalam perspektif
strategi yang meliputi leadership strategy, confrontation strategy,
accommodative strategy, dan concordance strategy.[footnoteRef:45]
[44: Lloyd Jensen.1982. Explaining Foreign Policy. New Jersey.
Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, hlm. 5] [45: John P. Lovel.
1970. Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaption, Decision
Making. New York, Holt, Rinehart and Winston. Inc., 1970]
Leadership strategy menunjukkan adanya posisi pengawasan melalui
cara persuasi dan tawar-menawar daripada melalui cara kekerasan.
Pada tipe strategi ini suatu negara menganggap kapabilitasnya
superior dan strategi negara-negara bangsa lain
mendukung.Concordance strategy merupakan kepentingan yang saling
menguntungkan. Namun, menyadari bahwa kapabilitasnya relative
rendah daripada negara A, maka para pembuat keputusan negara B akan
berusaha untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan negara A
dengan cara menghindari pembuatan kebijakan luar negeri yang dapat
menimbulkan konflik dengan negara A, dan negara B akan bertingkah
laku selaras dengan inisiatif-inisiatif negara A. Sementara itu,
dalam atmosfir confrontation strategy, negara bangsa A akan mencoba
untuk mempertajam isu-isu yang mengandung konflik kepentingan
dengan negara B, dan memaksa negara B untuk memodifikasi negara A.
Di lain pihak, dengan adanya pengakuan negara B terhadap
superioritas kapabilitas negara A, maka diharapkan negara B akan
mencoba untuk membuat strategi penyesuaian-penyesuaian
(accommodation strategy) untuk menghindari konflik, meskiun adanya
kemungkinan di waktu depan negara B akan menerapkan strategi
konfrontasi ketika kapabilitas negara B meningkat. Model ini
dikenal pula sebagai model strategi (model aksi-reaksi) yang
digunakan para analis (terutama para ahli sejarah diplomasi) untuk
menerapkan tiap respon sebagai suatu perhitungan rasional (rational
calculation) untuk menghadapi tindakan yang dilakukan pihak lain.
Kelemahan yang melekat pada model ini adalah asumsi mengenai
perhitungan rasional dari para pembuat keputusan. Sering terjadi
suatu keputusan yang rasional bagi seseorang namun belum tentu
rasional bagi orang lain. Dalam banyak literature mengenai studi
politik luar negeri, dijelaskan bahwa para pengambil keputusan akan
bertindak rasional dengan mencoba menjelaskan keputusan dan
tindakan yang diambilnya.Model inilah yang menjadi Politik Luar
Negeri Bebas-Aktif Indonesia, dimana Mohammad Hatta mencoba
menimbulkan pilihan yang rasional dengan melihat aspek-aspek faktor
internal dan eksternal yang terjadi pada masa itu. Indonesia perlu
untuk tetap menjalankan politik luar negeri yang rasional dan
moderat dengan mengendalikan prinsip-prinsip kerjasama
internasional. Diplomasi Indonesia dijalankan dengan menjauhi sikap
konfrontatif dan melaksanakan peranan aktif dalam diplomasi
preventif serta penyelesaian konflik, hal ini berguna untuk membuat
citra baik Indonesia di mata internasional.
1.8 Metodologi Penelitian1.8.1 Pendekatan dan Jenis
PenelitianMetode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
adalah Historical Representation-Kualitatif yang menjelaskan
rentetan fakta-fakta, peristiwa pada kejadian masa lampau yang
berpengaruh terhadap keadaan saat ini. Fakta-fakta tersebut
disusunn dan dibangun menjadi sebuah cerita yang utuh untuk
mengamati dan menganalisis sebuah proses terjadinya hal tersebut.
Dari hal tersebut akan muncul sebuah interpretasi baru, dimana
apakah penelitian tersebut dapat menjadi sebuah ide yang baru atau
setuju dengan ide-ide yang telah ada sebelumnya.Historical
Representation ini menggunakan metode penafsiran yang focus dalam
berbagai bahsa, ide, budaya, dan bagaimana indikator-indikator
tersebut membuat kreasi dalam struktur dari ilmu pengetahuan
melalui historical moments. Hal ini sangat penting dalam meneliti
Politik Luar Negeri Indonesia Bebas-Aktif, dimana bagaimana
pemikiran dan tindakan tindakan yang dilakukan Mohammad Hatta pada
masa lampau, apa saja aspek-aspek yang mempengaruhinya, dan
tindakan itu akan dipelajari dengan prinsip 5W-1H. Penelitian
Kualitatif dilakukan untuk memahami artinya terhadap objek yang
dipelajari. Pendekatan kualitatif juga digunakan untuk menilai
perilaku yang ditunjukkan subjek dalam konteksnya. Dalam penelitian
ini konteks dasarnya atau setting utamanya adalah Politik Luar
Negeri Indonesia. Secara konseptual pendekatan kualitatif memiliki
karakteristik sebagai berikut: Bersifat induktif, yaitu mendasarkan
pada prosedur logika yang berawal dari proposisi khusus sebagai
hasil pengamatan dan berakhir pada kesimpulan pengetahuan baru atau
pernyataan hipotesis. Dalam hal ini konsep-konsep,
pengertian-pengertian dan pemahaman didasarkan pada pola-pola yang
ditemui di dalam data. Melihat pada structure dan agents sebagai
suatu kesatuan, yaitu mempelajari manusia dalam konteks dan situasi
dimana mereka berada. Oleh sebab itu, agent dan struktur tidak
disederhanakan ke dalam variabel, melainkan dilihat sebagai
kesatuan yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Memahami
perilaku manusia dari suadut pandang mereka sendiri (sudut pandang
yang diteliti). Hal ini dilakukan dengan cara melakukan empati pada
subjek yang diteliti dalam upaya memahami bagaimana mereka
memandang berbagai permasalahan dalam kehidupannya. Lebih
mementingkan proses penelitian daripada hasil penelitian. Oleh
karena itu, bukan pemahaman mutlak yang dicari, namun pemahaman
yang mendalam mengenai kehidupan sosial. Menekankan pada validitas
data sehingga ditekankan pada dunia yang empiris (bukti-bukti yang
ada). Penelitian dirancang sedemikian rupa agar data yang diperoleh
benar-benar mencerminkan apa yang dilakukan dan dikatakan subejek
yang diteliti. Dalam hal ini, data bukannya tidak akurat, melainkan
prosedurnya yang tidak distandarisasi. Bersifat humanistis, yaitu
memahami secara pribadi subjek yang diteliti. Semua aspek kehidupan
sosial dan manusia dianggap berharga dan penting untuk dipahami
karena dianggap bersifat spesifik dan unik.[footnoteRef:46] [46:
Bagong Suyanto dan Sutinah. Metode Penelitian Sosial: berbagai
Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana Perdana Media Grup.2007),
hal 185.]
Indikator-indikator diatas secara umum menunjukkan peneliti
melakukan penelitian kualitatif mengenai peranan Mohammad Hatta
dalam peletakkan Politik Luar Negeri Indonesia Bebas-Aktif.1.8.2
Batasan MasalahBatasan metode dipahami sebagai prinsip, pendekatan,
teknik, dan strategi yang diwujudkan oleh aktor untuk mencapai
tujuannya dalam pembentukan politik luar negeri. Sedangkan batasan
perilaku dan tindakan aktor dipahami sebagai gejala tindakan yang
ditunjukkan oleh aktor mencakup nilai-nilai dan rumusan konkritnya
dalam wujud perbuatan. Pola pikir, watak, dan bahasa yang digunakan
aktor merupakan rangkaian dari perilaku yang dipelajari.Kurun waktu
yang penulis teliti dalam hal ini yaitu 1945-1949 ketika Mohammad
Hatta naik sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia hingga pada
1949 mulai diberlakukannya Politik Luar Negeri Indonesia Bebas
Aktif. Penulis lebih melihat bagaimana ide-ide pemikiran Mohammad
Hatta muncul dan berkembang, serta peranan Mohammad Hatta dalam
meletakkan prinsip Bebas-Aktif dalam Politik Luar Negeri Indonesia.
Namun, semua yang terkait dan mempengaruhi perilaku saat itu, di
masa sebelumnya dan sesudahnya, juga diperiksa, untuk membentuk
rangkaian-rangkaiannya.Konteks-konteks yang dipelajari terdapat di
berbagai tingkat, lokal, nasional, dan internasional, dan bersifat
historis, yang artinya sudah berlangsung dan mustahil untuk diulang
kembali. Sekalipun demikian, bukan berarti tidak relevan lagi
dengan kondisi pada masa sekarang. Politik Luar Negeri Bebas-Aktif
masih digunakan oleh Indonesia dalam konteks interaksinya terhadap
sistem internasional sampai saat ini, dan ini menandakan bahwa apa
yang terjadi di masa lampu masih memiliki pengaruh yang begitu kuat
hingga saat ini. Karena yang dipelajari ada di berbagai tingkat dan
sudah menjadi sejarah, maka lokasi penelitian tidak bisa ditetapkan
di suatu tempat tertentu atau wilayah tertentu. Dimanapun informasi
dan data yang menyimpan mengenai hal tersebut, yang dapat membantu
untuk penelusuran sejarah, dan bisa menyumbang untuk penelitian ini
semuanya relevan.
1.8.3 Tingkat dan Unit AnalisaTingkat analisa dan unit analisa
dalam penelitian ilmu Hubungan Internasional harus ditentukan untuk
kefokusan dalam membahas permasalahan yang diangkat. Dengan
demikian menentukan objek tingkat analisa dan unit analisa,
peneliti bisa memfokuskan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan
fenomenan hubungan internasional.
Individu-individu tidak hanya bisa dijelaskan melalui pilihan
kebijakan dalam kerangka sistem, namun juga karakteristik hubungan
antar negara dan tujuan negara. Dalam hal ini, Mohammad Hatta
dilihat sebagai individu yang mewakili akto negara, yang beroperasi
dan menciptakan ide yang berpengaruh dalam masyarakat
internasional. Dengan kata lain, tingkat analisa merupakan
masyarakat internasional, yang dipahami sebagai kumpulan
negara-negara yang menjalankan peran-peran khusus dalam
mempengaruhi perkembangannya. Unit analisa yaitu perilaku objek
yang menjadi landasan keberlakuan pengetahuan yang
digunakan.[footnoteRef:47] Unit analisa dalam penelitian ini adalah
individu, dimana negara dilihat sebagai kumpualn individu-individu
yang membawa sifat-sifat dan perilaku tertentu yang menghasilkan
bentuk-bentuk tindakan politik dan member pengaruh kepada tindakan
atau perilaku pihak-pihak lain. [47: Joshua S. Golstein, John C.
Pevehouse, Level of Analysis (London: Pearson international
edition, international relation, eight edition, 2007), 17.]
1.8.4 Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data dipahami
sebagai tahapan yang dilakukan yaitu melakukan pencaarian,
penelusuran dan pengumpulan sumber-sumber yang relevan dan
berhubungan dengan penelitian.[footnoteRef:48] Data penelitian ini
penulis dapatkan dari berbagai buku, jurnal, majalah dan berbagi
bentuk publikasi yang mengandung dokumen resmi maupun tidak resmi,
arsip, catatan sejarah, auto biograi, dan analisa yang dilakukan
oleh ahli lain dan dikumpulkan melalui serangkaian kegitan
observasi. [48: Lawrence W. neuman, Social Research Methods:
Qualitative and Quantitative Approach. 3rd edition (Boston: Allyn
and Bacon, 1997), hlm.70]
1.8.5 Teknik Pengolahan Data dan AnalisaDalam melakukan
pengolahan data, peneliti berusaha menginterpretasikan
kejadian-kejadian dan situasi yang berhubungan dengan aksi dan
pemikiran aktor. Kumpualn informasi yang bersifat acak dikumpulkan
dan disusun berdasarkan masa waktu periode terjadi dan dirumuskan
menjadi satu rankaian cerita dan diperoleh penafsiran atas sejumlah
informasi yang telah dirangkai tersebut.
1.9 Sistematika PenulisanBab I PendahuluanBab pendahuluan berisi
alasan-alasan mengapa mengangkat penelitian ini. Bab ini mencakup
latar belakang, permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, konsep-konsep dan kerangka
pemikiran, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.Bab II
Perjalanan hidup dan pandangan Mohammad HattaBab ini berisi
deskripsi riwayat hidup Mohammad Hatta yang menjelaskan latar
belakangnya, mulai dari kelahiran, lingkungan, dan aspek-aspek yang
membentuk pengetahun dan alam pikiran Mohammad Hatta dalam konteks
lokal, nasional dan internasional. Karena objek yang diteliti
adalah individu, maka sangat penting untuk melihat individu secara
utuh.Bab III Mohammad Hatta sebagai pencetus Politik Luar Negeri
Indonesia Bebas-AktifBab ini berisi mengenai deskripsi sejarah dan
ruang lingkup Politik Laur Negeri Indonesia, fungsi dan juga
indikator pembentukannya. Disini dijelaskan hal-hal yang mendasari
Mohammad Hatta dalam meletakkan dasar politik luar negeri
Indonesia, dan dianalisa melalui aspek internal dan domestik,
maupun eksternal (atau keadaan sistem internasional saat itu).
Dijelaskan juga berbagai permasalahan, konflik dan
hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Mohammad Hatta dalam
memperjuangkan politik luar negeri IndonesiaBab IV Peranan Mohammad
Hatta terhadap Politik Luar Negeri Indonesia (1945-1949)Bab ini
berisi analisis rangkaian peristiwa dan rincian-rincian serta
interpretasi baru yang penulis angkat dari rentetan historical yang
terjadi pada masa periode 1945-1949. Dimana penulis menitikberatkan
pada meaning dari dasar pemikiran yang diambil oleh Mohammad Hatta
dalam mencetuskan politik luar negeri Indonesia. Konsep politik
luar negeri akan diperkaya dengan hasil analisa penulis mengenai
politik luar negeri yang dikonsep Mohammad Hatta dan peranannya
terhadap politik luar negeri Indonesia.
Bab V Penutup/KesimpulanBab ini berisi rangkaian dari
keseluruhan pembahasan dan hasil penelitian, rumusan penulis
mengenai peranan Mohammad Hatta dalam konteks Politik Luar Negeri
Indonesia.
Daftar Pustaka James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kennth W.
Thompson.1976. World Politics: An Introduction. New York: The Free
Press James N. Rosenau, 1980. The Scientific Study of Foreign
Policy. New York: The Free Press Panitia Penulisan Sejarah
Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa, Sejarah Diplomasi
Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1966-1995 Jilid IVA,
Jakarta: Departemen Luar Negeri RI, 2005 Adhitia Pahlawan, Journal
of Indonesias Foreign Policy Drs. Mohammad Hatta dimuka siding
B.P.K.N.P di Djokja 1948, Mendajung Antara Dua Karang, Kementrian
Penerangan Republik Indonesia Mohammad hatta, Potrait of a Patriot.
Alih bahasa Deliar Noer, The hauge Paris: Mouton Publisher, 1972.
Hans J. Morgenthau, politik Antar Bangsa ke-6. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1990 Mochtar Kusumaatmaja, Bung Hatta: Peletak
Dasar Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta Noer, Deliar. 1990.
Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakarta:LP3ES Bangun, Rikard.
(ed). 2003. Bung Hatta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Wangsa
Widjaja dan Meutia F. Swasono, Mohammad Hatta: Kumpulan Pidato
(1942-1949) (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981) Michael Leifer. Politik
Luar Negeri Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 1986). Dian Safitri.
Aktifitas Mohammad Hatta. Prodi Pendidikan Sejarah, Universitas
Negeri Malang Drs. Mohammad Hatta. 1948. Mendajung Antara Dua
Karang. Kementrian Penerangan Republik Indonesia Yanyan Mochamad
Yani, Drs., MAIR., Ph.D. dalam Jurnal Politik Luar Negeri F.
Hanrieder. 1971. Comparative Foreign Policy: Theoretical Essays.
New York: David McKay Co Jack C. Plano dan Ray Olton. 1999. Kamus
Hubungan Internasional. Bandung: Abardin Mochtar Masoed. 1994. Ilmu
Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES KJ.
Holsti. 1992. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis.
Bandung: Bina Cipta Bruce Russet dan Harvey Starr. 1988. World
Politics: the Menu for Choice. 2nd ed. New York: W.H. Freeman and
Co. Howard lentner. 1974. Foreign policy Analysis: A Comparative
and Conceptual Approach. Ohio: Bill and Howell Co Lloyd
Jensen.1982. Explaining Foreign Policy. New Jersey. Prentice Hall,
Inc. Englewood Cliffs John P. Lovel. 1970. Foreign Policy in
Perspective: Strategy, Adaption, Decision Making. New York, Holt,
Rinehart and Winston. Inc Bagong Suyanto dan Sutinah. Metode
Penelitian Sosial: berbagai Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana
Perdana Media Grup.2007) Joshua S. Golstein, John C. Pevehouse,
Level of Analysis (London: Pearson international edition,
international relation, eight edition, 2007), Lawrence W. neuman,
Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. 3rd
edition (Boston: Allyn and Bacon, 1997)