1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah “Sedino-dino mung nangis gawene Sing leren-leren sampek alum matane. Yo mesesegen ilang suaranae Kesuwen nangis sampek nono iluhe. Kepingin seru ketemu, eman Nong kembang hang biso ngudang atine. Kadung urip nong endi sangkane Dung wes mati nong endi paesane. Arep sun kirim kembang hang wangi gandane Arep sun kirim gending nawi tah biso, nentremaken atine” 1 Syair di atas merupakan sebuah lagu Tetese Eluh karangan Catur Arum dan Yon’s Dd tahun 2003. Pada syair tersebut, pengarang berusaha menggambarkan kesedihan seseorang yang telah ditinggal pergi orang terdekat akibat pergolakan pada akhir tahun 1965 di Banyuwangi. 2 Pergolakan ini terjadi pasca peristiwa 1 Alih bahasa dalam Indonesia: Setiap hari hanya menangis, tidak berhenti hingga layu matanya. ya kasihan hilang suaranya, terlampau menangis hingga kering air matanya. Berharap sangat ingin bertemu, sayang, hanya bunga yang dapat menghibur hatinya. Jika masih hidup dimana alamatnya, jika sudah mati dimana pusaranya. Hendak ku kirim bunga yang semerbak wanginya. Akan kukirim nyayian, mungkin bisa menentramkan hatinya. Merupakan sebuah lagu lokal yang dikarang oleh Arum Candra dan Yon’s DD. Lagu dipopulerkan Patrol Orkestra Banyuwangi (POB) dengan menggabungkan unsur musik Kendang kempul, Patrol, Keroncong. https://www.youtube.com/watch?v=0IS5Cbo_Y7E 2 Dituturkan oleh bapak Suhalik, seorang pemerhati sejarah lokal Banyuwangi (wawancara: 10 Mei 2014, Perum Permata Giri Banyuwangi).
21
Embed
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87240/potongan/S2-2015... · agama besar-besaran ke Hindu, ... banyak pergolakan hingga pembantaian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
“Sedino-dino mung nangis gawene Sing leren-leren sampek alum matane. Yo mesesegen ilang suaranae Kesuwen nangis sampek nono iluhe. Kepingin seru ketemu, eman Nong kembang hang biso ngudang atine. Kadung urip nong endi sangkane Dung wes mati nong endi paesane. Arep sun kirim kembang hang wangi gandane Arep sun kirim gending nawi tah biso, nentremaken atine”1
Syair di atas merupakan sebuah lagu Tetese Eluh karangan
Catur Arum dan Yon’s Dd tahun 2003. Pada syair tersebut,
pengarang berusaha menggambarkan kesedihan seseorang yang
telah ditinggal pergi orang terdekat akibat pergolakan pada akhir
tahun 1965 di Banyuwangi.2 Pergolakan ini terjadi pasca peristiwa
1 Alih bahasa dalam Indonesia: Setiap hari hanya menangis,
tidak berhenti hingga layu matanya. ya kasihan hilang suaranya,
terlampau menangis hingga kering air matanya. Berharap sangat ingin bertemu, sayang, hanya bunga yang dapat menghibur hatinya. Jika masih hidup dimana alamatnya, jika sudah mati
dimana pusaranya. Hendak ku kirim bunga yang semerbak wanginya. Akan kukirim nyayian, mungkin bisa menentramkan
hatinya. Merupakan sebuah lagu lokal yang dikarang oleh Arum Candra dan Yon’s DD. Lagu dipopulerkan Patrol Orkestra Banyuwangi (POB) dengan menggabungkan unsur musik Kendang
pembunuhan Perwira Angkatan Darat oleh kelompok yang
menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September.3
Setelah pergolakan berakhir, di Banyuwangi terjadi konversi
agama besar-besaran ke Hindu, hingga seorang pendeta Hindu
didatangkan dari Bali untuk melayani orang-orang Banyuwangi
yang pindah kepercayaan baru.4 Hal ini memberitahukan bahwa
salah satu dampak dari konflik peristiwa Gerakan 30 September,
menimbulkan rasa ketidakpuasan terhadap suatu kepercayaan.
Apa yang melatarbelakangi sebagian masyarakat Banyuwangi
tersebut perlu mendapat perhatian. Sebelum konflik Gerakan 30
September bergejolak, Banyuwangi didominasi oleh partai komunis
3 Setelah peristiwa Gerakan 30 September di Jakarta, terjadi
banyak pergolakan hingga pembantaian besar-besaran di Indonesia khususnya di Jawa. Lihat pada Robert Cribb, The Indonesia Killings: Pembantaian di Jawa dan Bali 1965-1966, (Jakarta: Mata Bangsa, 2004); John Roosa, Dahlil pembunuhan Massal, (Jakarta: Institut
Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008). 4 Pada sensus penduduk tahun 1971, terdapat peningkatan
pemeluk agama Hindu di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Peningkatan pemeluk hindu hingga sebanyak 168.000 orang, yang terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu, khususnya
Gunung Kidul, klaten, Boyolali, and Banyuwangi. M.C. Riklefs. Islamisation and its opponents in java c. 1930 to the present, (Singapore: NUS Press, 2012), hlm., 139; Andrew Beatty, Varieties of Javanese Religion, (UK: Cambridge University Press, 1999), hlm.,
150.
3
Indonesia.5 Masyarakat yang plural6 serta pengaruh partai politik
saat itu, memunculkan dua kekuatan yang menonjol di
Banyuwangi, yaitu PKI dan NU. Persaingan antar kekuatan utama
di Banyuwangi itu sudah sangat terlihat sejak periode pendudukan
Belanda. PKI membunuh pemimpin-pemimpin NU sejak masa
pendudukan Belanda. Pembunuhan ini berdasar alasan bahwa
para pemimpin-pemimpin NU adalah mata-mata Belanda.7
Selanjutnya menjelang tahun 1960, persaingan dan
perselisihan kedua kekuatan ini tidak hilang karena perselisihan
diantara kelompok komunis dan non-komunis, merupakan
implementasi undang-undang pertanahan (UUPA) dan gerakan
anggota PKI ke dalam jabatan-jabatan resmi serta mobilisasi
massa.8 Persaingan juga terlihat pada pemilu tahun 1955, tetapi
5 Pengaruh PKI banyak tersebar di Kecamatan Glagah,
Singajuruh, Kabat, Ronggojami, Genteng, Pasanggaran, Cluring, Purwoharjo dan Glenmore. Sedangkan kecamatan Wongsorejo, Giri
dan Cluring mendapat pengaruh kuat NU, dan pengikut PNI umumnya terdiri dari pegawai negeri dan pejabat desa yang
menyebar di berbagai kecamatan. Dalam Robert Cribb, op. cit., hlm., 250.
6 Terdiri dari beberapa etnis dan kepercayaan, dari unsur
etnis dan kepercayaan membuat perbedaan golongan partai,
kebanyakan yang memeluk agama islam lebih condong ke NU sedangkan abangan lebih condong ke PKI. Arbit Sanit. Badai revolusi: sketsa kekuatan politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2000). hlm., 175-178.
7 Robert Cribb, op. cit., hlm., 247. 8 Ibid.
4
tidak begitu terlihat secara signifikan. Puncak ketegangan antar
kekuatan di Banyuwangi meningkat pada bulan Oktober tahun
1965, bersamaan dengan isu politik Dewan Jendral atau Dewan
Revolusi akibat dari peristiwa Gerakan 30 September.9
Ketegangan yang meningkat di Banyuwangi berimbas
pecahnya pergolakan dalam masyarakat. Pergolakan yang terjadi
tahun 1965 menimbulkan beberapa rangkaian tindakan kekerasan
yang dilatarbelakangi konflik antar golongan, seperti insiden
Cemetuk dan Karangasem. Tindakan kekerasan ini dipicu antara
pemuda Ansor dan pemuda Marhanisme melawan simpatisan PKI.10
Di Banyuwangi, kasus-kasus kekerasan berkembang dari isu politik
di masyarakat. Pluralitas masyarakat Banyuwangi memberikan
nuansa kekerasan semakin memanas. Perbedaan agama, ras dan
etnis menjadi sebuah subtansi terjadinya gesekan, hingga tindak
kekerasan yang terjadi tahun 1965 di Banyuwangi berdampak
kepada keturunan dari korban maupun pelaku. Melihat tindakan
kekerasan tahun 1965 sampai menimbulkan dampak yang
9 Kekerasan massa terhadap pengikut PKI menjadi isu politik
nasional saat Dewan Jendral terbunuh dalam Gerakan 30
September. Isu politik nasional inilah yang membawa PKI di Banyuwangi dibekukan pada 16 Oktober 1965. Pembekuan PKI di Banyuwangi menyebabkan pecahnya konflik antar ras, suku,
bahkan agama. Surabaya Minggu, (minggu ke IV, september 1982); Robert Cribb, op. cit., hlm., 255.
10 H. Abdul Mun’im DZ, Benturan NU-PKI 1948-1965, (Depok:
Langgar Swadaya Nusantara, 2014), hlm., 18.
5
signifikan kepada masyarakat Banyuwangi, maka peristiwa
kekerasan yang berlangsung tahun 1965 di Banyuwangi begitu
penting untuk dikaji.
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
Berdasarkan uraian di atas, pokok penelitian ini menjelaskan
bagaimana kekerasan arus bawah dapat memberikan dampak
secara personal maupun kultural dan mengapa kekerasan arus
bawah di Kalangan masyarakat Banyuwangi dapat terjadi.
Pembahasan akan difokuskan pada dua hal, pertama menganalisis
kekerasan yang melanda arus bawah Banyuwangi selama
pergolakan politik 1965 berlangsung. Kedua mengkaji warisan
kekerasan arus bawah yang membentuk stigma kiri di tengah-
tengah masyarakat Banyuwangi. Maka akan dikemukakan
beberapa permasalahan.
Permasalahan yang pertama, berkaitan dengan kondisi sosial
budaya Banyuwangi. Masyarakat Banyuwangi tergolong plural,
dihuni dari berbagai macam etnis dan budaya serta beragam
kepercayaan yang dianut. Sehubungan hal ini terdapat anggapan
bahwa masyarakat plural akan berpotensi terhadap konflik yang
berujung pada tindakan kekerasan,11 maka muncul pertanyaan
11 Kutut Suwondo, Civil Society: Di Atas Lokal, Perkembangan
Hubungan Antara Rakyat dan Negara di Pedesaan Jawa, (Salatiga:
Pustaka Pelajar dan Pustaka Percik, 2003), hlm., 158-173.
6
yang mendasar, apakah Banyuwangi merupakan daerah rawan
konflik? Faktor apa yang mudah menyulut konflik di Banyuwangi?
apakah terdapat kaitan dengan pluralitas yang ada?
Permasalahan kedua, kekerasan langsung terjadi bersamaan
dengan perpecahan antar organisasi politik di Banyuwangi. Muncul
pertanyaan, mengapa tindakan kekerasan di Banyuwangi terjadi?
Momentum apa yang memicunya? Apakah kekerasan yang
berlatarbelakang konflik di Banyuwangi merupakan konflik
lanjutan dari sebelumnya atau baru terjadi? Bagaimana keterkaitan
kekerasan di Banyuwangi dengan politik masa itu? Selain politik,
alasan apa yang mendorong masyarakat melakukan tindakan
kekerasan? Kondisi sosial psikologi apa yang menyebabkan
tindakan kekerasan hingga meluas?
Sebuah tindakan akan memunculkan sebuah hasil, ini
merupakan korelasi umum mengenai sebab akibat. Begitu juga
halnya dengan kekerasan yang berlangsung pada pergolakan politik
1965, banyak warisan dalam masyarakat Banyuwangi yang hadir
secara lisan ataupun secara tertulis mengenai cerita masa itu.
Sebagai contohnya ialah lagu-lagu lokal Banyuwangi yang dianut
dari cerita masa lalu, diantaranya lagu Tetese Eluh. Karya seni
tersebut berupaya memunculkan kembali cerita kekerasaan 1965.
Sehubungan dengan permasalahan ketiga ini, maka muncul
pertanyaan seperti apa hasil dari kekerasan langsung di
7
Banyuwangi? Bagaimana wujudnya? Mengapa dapat menjadi
warisan? Bagaimana bentuk warisannya? Dan bagaimana dampak
yang dihasilkan terhadap masyarakat baik secara sosial maupun
psikologi?
Pergolakan politik 1965 sebagai cakupan waktu dalam studi
ini memiliki rentan waktu yang sempit dan sulit diartikan secara
tegas. Oleh sebab itu, pergolakan politik 1965 yang dimaksud
mencakup kurun waktu 1965-1966. Tahun 1965-1966 menjadi
pilihan waktu, karena kurun waktu tersebut banyak perubahan
besar dalam percaturan sosial budaya, politik, dan ekonomi bangsa
Indonesia, yang bukan saja mempengaruhi ragam dan dinamika
perpolitikan tetapi juga dorongan masyarakat untuk memberikan
respon terhadap situasi saat itu.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penelitian ini memiliki empat tujuan penting. Pertama,
menggambarkan pola kekerasan arus bawah yang berlangsung
pada masyarakat Banyuwangi pasca Gerakan 30 September.
Kedua, mencari korelasi antara masyarakat arus bawah dengan elit
lokal pada kekerasan kolektif di Banyuwangi. Ketiga, menganalisis
kondisi yang mendasari individu melakukan perilaku agresif,
sehingga terjadi kekerasan yang bersifat jangka panjang. Keempat
menjelaskan secara psikologi tentang warisan kekerasan yang
terbentuk di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi.
8
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah; pertama, penelitian ini diharapkan menjadi bahan
pembanding dengan penelitian terdahulu dan menjadi sumber
rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Kedua, penelitian
ini dapat menjadi tambahan kasanah dalam memandang kekerasan
pada masa pergolakan 1965 pasca Gerakan 30 September.
D. Tinjauan Pustaka
Sehubungan dengan penelitian ini, pembahasan tentang
kekerasan yang berlangsung di dalam masyarakat Banyuwangi
pada tahun 1965. Oleh sebab itu, diperlukan beberapa karya tulis
yang terkait dengan penelitian sebagai perbandingan dan tinjauan,
diantaranya adalah Robert Cribb, “Pembantaian PKI di Jawa dan
Bali 1965-1966”, menjelaskan peristiwa-peristiwa penting yang
terjadi di Jawa dan Bali, serta pengaruh-pengaruh lokal dan
nasional dalam aksi kekerasan tahun 1965 – 1966.12 Robert Cribb
memetakan kembali arti penting pembantaian yang terjadi tahun
1965-1966. Dalam karya Robert Cribb mengulas tetang kekerasan
kolektif yang terjadi di Banyuwangi. Cribb menjelaskan adanya dua
kubu kekuatan yang sangat berpengaruh di Banyuwangi. Insiden
gerakan 30 september menjadi ujung konflik antar dua kubu besar
yang ada di Banyuwangi. Beberapa insiden di Banyuwangi, seperti
12 Robert Cribb, loc. cit.
9
insiden Cemetuk dan Karangasem diulas dalam karya Cribb ini.
Karya Robert Cribb ini dianggap membantu dalam menyusun
penelitian ini.
Selain Robert Cribb terdapat Hermawan Sulistyo, “Palu Arit di
Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang terlupakan
20 Seperti yang dikutip dalam Novri Susan, ibid., hlm, 116. 21 Arus bawah yang dimaksud dalam penelitian ini ialah
menunjuk pada praktek dan diskursus masyarakat kelas bawah
non-elit. Istilah arus bawah sudah pernah digunakan dalam karya Bagong Suyanto. pada karyanya yang berjudul "Gejolak Arus Bawah", mengumpamakan istilah arus bawah sebagai kelompok-
kelompok sosial yang tidak memiliki kekuasaan secara formal
13
Kekerasan di Banyuwangi merupakan sebuah kekerasan
yang terjadi di Kalangan masyarakat dimana dalam penelitian ini
disebut dengan arus bawah. Kekerasan terjadi setelah gagalnya
upaya PKI melakukan kudeta atau yang lebih dikenal dengan
Gerakan 30 September. Beberapa pandangan berupaya
memaparkan keadaan yang memicu kuatnya perilaku agresif
masyarakat dalam tindakan kekerasan 1965. Menurut Arnold
Brackman, pada saat kekerasan 1965 masyarakat Indonesia
mengalami keadaan amok. Amok dilihat sebagai bentuk reaksi
spontan atas keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September.
Banyak tindakan kekerasan terhadap simpatisan komunis maupun
non-komunis yang dilatarbelakangi unsur balas dendam.22 Berbeda
dengan pandangan Hermawan Sulistiyo. Sulistiyo menganggap
amok kurang memiliki dasar pada tindakan kekerasaan 1965. Hal
ini karena tindakan kekerasan tidak dilakukan oleh individu dalam
kondisi mental yang berubah. Dari sudut pandang psikologis, tiap
individu yang terkait tindakan kekerasan 1965 telah
mempersiapkan kondisi mental dalam kurun waktu yang cukup
dalam sistem politik, atau lebih dikenal dengan golongan
masyarakat kalangan bawah non-elit (underdog). Lihat pada Bagong Suyanto (dkk), Gejolak Arus Bawah, (Jakarta: Pustaka utama grafity. 1994), hlm., X.
22 Arnold C. Brackman, the Communist Collapse in Indonesia,
(New York: Praeger, 1963), hlm., 12.
14
lama, dengan kata lain bukan merupakan semburan dan ledakan
yang tiba-tiba.23 Robert Cribb hampir sependapat dengan
Hermawan Sulistiyo. Menurutnya gagasan amok pada tindakan
kekerasan 1965 tidak sesuai dengan sudut pandang psikologis yang
dikenal saat ini. Cribb memandang tindakan kekerasan 1965
sebagai upaya menyelamatkan kehormatan.24
Ketiga pendapat tersebut, antara Brackman, Sulistiyo dan
Cribb terdapat pertentangan dalam cara pandang masing-masing.
Dari sudut pandang psikologi, Sulistiyo dan Cribb menganggap
kekerasan 1965 bukanlah sebuah spontanitas atau ledakan secara
tiba-tiba. Cribb menganggap amok tidak sesuai dengan sudut
pandang psikologis yang dikenal saat ini. Maka dari itu, penelitian
ini akan menggunakan pendekatan sosio-psikologis untuk
mendapati keadaan seperti apa yang dialami oleh masyarakat
Banyuwangi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dasar
keterkaitan antar individu yang terorganisir untuk melakukan dan
membenarkan diri dalam tindakan kekerasan. Pendekatan sosio-
psikologis yang digunakan dikhususkan pada tingkah laku
represi.32 Pengalaman keadaan tersebut merupakan dampak yang
dihasilkan dari sebuah tindakan kekerasan.
F. Metode dan Sumber Penulisan
Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yang memiliki
empat langkah dalam penulisannya. Pertama, heuristik yang
merupakan pengumpulan sumber. Kedua, kritik sumber untuk
memverifikasi kebenaran dan validitas sumber maupun
subtansinya. Ketiga, interpretasi sumber, dan keempat adalah
historiografi yang merupakan proses penulisan sejarah.33
Mengingat penelitian ini bersifat kontemporer, maka sumber
yang digunakan selain sumber tertulis juga menggunakan sumber
lisan yang diperoleh dari wawancara dengan saksi sejarah dan
pelaku sejarah. Dalam sejarah lisan para informan tidak akan
hanya menceritakan kembali masa lalu, tetapi juga membuat
penilaian atau interpretasi sendiri terhadap masa lalu tersebut.34
32 Johan Galtung, “Kekerasan Budaya” dalam Thomas
Santoso, op. cit., hlm., 184. Represi adalah perasaan yang menyebabkan kecemasan diasingkan atau diingkari aksesenya ke arah kesadaran, kesadaran dalam hal ini adalah ruang publik
sebagai masyarakat bebas. 33 Kuntowidjoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta:
Bentang Budaya, 1995), hlm., 89. 34 Bambang Purwanto, Sejarah Lisan dan Upaya Mencari
Format Baru Historiografi Indonesiasentris, dalam buku Sartono
Kartodirdjo dkk., Dari Samudra Pasai ke Yogyakarta: persembahan kepada Teuku Ibrahim Alfian (Jakarta: Yayasan Masyarakat
Sejarawan Indonesia. 2002), hlm., 152.
19
Pencarian sumber lisan dilakukan dengan menggunakan