Page 1
1
BAB I
PENDAHULUANi
I.1. Latar Belakang
Kesehatan adalah aspek yang penting dan harus diperhatikan didalam kehidupan,
kesehatan juga merupakan salah satu indikator dalam pembangunan yang perlu
diperhatikan untuk mencapai kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kesehatan menjadi sebuah kebutuan primer untuk masyarakat, tinggi nya angka tingkat
kesehatan yang positif maka akan menghadirkan sebuah manfaat atau dampak yang
positif bagi aktivitas kehidupan sosial masyarakat. Namun sebaliknya, jika kesehatan
ada pada tingkatan yang rendah maka dapat menimbulkan gangguan bagi proses
kehidupan sosial masyarakat.
Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, memiliki tingkat indeks kesehatan
masyarakat yang rendah, tingkatan indeks kesehatan ini dijelaskan dalam sebuah situs
yang dipaparkan oleh laporan The Legatum Prosperity Index pada tahun 2017 bahwa
Indonesia berapa pada urutan 101 dalam indeks kesehatan dengan urutan terakhir yaitu
pada angka 149 negara, indeks ini dilihat melalui berbagai sisi penilaian dari kesehatan
fisik masyarakat, kesehatan jiwa, ketersediaan dan akses fasilitas kesehatan serta upaya
pencegahan dalam penanganan suatu gangguan kesehatan1.
1 tirto.id. “Indeks Kesehatan Indonesia Masih Sangat Rendah”, diakses dari https://tirto.id/indeks-
kesehatan-indonesia-masih-sangat-rendah-cBRn, pada tanggal 20 Februari 2020 pukul 20.13 WIB.
Page 2
2
Berdasarkan aspek – aspek penilaian tersebut dalam menentukan tingkatan angka
kesehatan, pada kondisi realita nya terdapat faktor – faktor dari sisi masyarakat yang
dimana pada kondisi nyata yang ada bahwa akses kesehatan di Indonesia itu sendiri
masih kurang baik seperti akses fasilitas kesehatan untuk memperoleh kesembuhan
yang cukup sulit bagi sebagian masyarakat, dan kurangnya sumber daya manusia
dalam bidang kesehatan, membuat akses kesehatan cukup sulit sehingga belum dapat
mencangkup tiap – tiap lapisan masyarakat ketika mereka membutuhkan perawatan
kesehatan. Selanjutnya indikator yang dapat mempengaruhi rendahnya kesehatan
masyarakat ialah dari dalam diri individu sendiri dimana masyarakat masih memiliki
pengetahuan kesehatan yang terbatas dan kurang, serta sosialisasi yang diberikan
belum dapat merangkul masyarakat secara keseluruhan. Namun, tidak bisa dipungkiri
terdapat faktor lain yang membuat minimnya pengetahuan kesehatan yang dimiliki
masyarakat yaitu karena adanya sikap kurang peduli pada masyarakat itu sendiri.
Kedua faktor tersebut memliki pengaruh yang cukup berarti jika mencoba ditelaah
megenai alasan dibalik rendahnya angka kesehatan masyarakat Indonesia. Kesulitan
masyarakat dalam menjangkau dan mengakses fasilitas kesehatan, khususnya
masyarakat yang hidup dalam kondisi geografi yang sulit dijangkau membuat
hambatan tersendiri bagi masyarakat untuk mendapatkan perawatan dan kesehatan
yang baik.
Page 3
3
Rendahnya angka indeks kesehatan Indonesia juga dibuktikan dari sebuah grafik
histogram mengenai bagaimana gambaran dari kesehatan Indonesia yang telah di
publikasikan oleh CNN berdasarkan hasil penelitian mengenai kesehatan di Indonesia
yang diteliti oleh badan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018. Pada
infografis tersebut, terlihat bahwa beberapa kategori kesehatan seperti status gizi,
penyakit menular, penyakit tidak menular dan penyakit mental secara garis besar
mengalami kenaikan angka yang cukup perlu di perhatikan pada masyarakat.
Khususnya pada penyakit tidak menular dan penyakit mental yang memiliki kenaikan
yang cukup di signifikan di masyarakat. Penurunan yang terjadi pada kategori status
gizi dan penyakit menular dapat menjadi prestasi bagi pemerintah dalam melakukan
penanganan terhadap masalah kesehatan tersebut, walaupun masih terjadi kenaikan
pada kasus obesitas yang terjadi pada masyarakat2.
2 CNN Indonesia. “Catatan Kesehatan Indonesia Sepanjang 2018”, diakses dari
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20181217130400-255-354250/catatan-kesehatan-
indonesia-sepanjang-2018, pada tanggal 31 Maret 2020 pukul 16.00 WIB
Page 4
4
Gambar I.1
Infografis Potret Kesehatan Indonesia
Sumber: CNNIndonesia.com, Riset Kesehatan Dasar 2020
Dapat dilihat bahwa dari setiap kategori yang mengalami penurunan maupun
kenaikan angka pada masyarakat, penyakit mental memiliki kenaikan angka yang
cukup signifikan dan sangat perlu diperhatikan. Kenaikan angka yang terjadi pada
penyakit mental di masyarakat melonjak cukup tinggi dari 1,7% menjadi 7% sesuai
dengan data yang di dapatkan dari infografis tersebut. Kenaikan ini mungkin dapat
menjadi suatu hal yang cukup serius bagi kesejahteraan masyarakat, dengan pertanyaan
mendasar bagaimana penyakit mental dapat menjadi penyakit yang mengalami
kenaikan yang cukup signifikan. Upaya pemerintah dalam mengatasi penyakit mental
yang ada di masyarakat harus dievaluasi dan di tingkatkan.
Selain Infrastruktur kesehatan dan pengetahuan kesehatan, faktor selanjutnya yang
dapat mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat Indonesia ialah persepsi penyakit
yang dimiliki oleh seseorang. Persepsi penyakit yang dimiliki oleh seseorang juga bisa
Page 5
5
menjadi pengaruh terhadap kesadaran mereka untuk menjaga kesehatan maupun
memperoleh kesembuhan dari penyakitnya, persepsi ini memiliki pengaruh terhadap
tindakan bagi seseorang ketika akan melakukan pengobatan yang akan mereka lakukan
guna memperoleh kesembuhan dari gangguan kesehatan yang mereka derita.
Pengobatan modern dan pengobatan tradisional menjadi pilihan masyarakat dalam
melakukan pengobatan terhadap gejala penyakit yang mereka rasakan, namun juga
tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat individu di masyarakat yang lebih memilih untuk
menlakukan pengobatan mandiri atau swamedikasi dan juga ada individu yang acuh
atau tidak peduli terhadap gejala penyakit yang mereka rasakan sehingga mereka tidak
melakukan apa – apa untuk mengatasi masalah kesehatan atau penyakit yang mereka
alami.
Setiap individu dalam masyarakat pasti memiliki persepsi mengenai suatu penyakit
yang berbeda – beda, persepsi tersebut membuati masyarakat berasumsi terhadap
penyakitnya dan menghasilkan pemikiran atau perasaan subjektif terhadap suatu
gangguan kesehatan yang mereka rasakan. Berdasarkan pemahaman serta pengetahuan
yang mereka miliki mengenai penyakit atau gangguan kesehatan, mereka melakukan
diagnosa dengan berasumsi berdasarkan kondisi mereka dengan melihat apa yang
mereka rasakan dari tanda – tanda gangguan kesehatan yang muncul pada tubuhnya
serta ditambah dengan informasi pengetahuan yang mereka dapat dari sumber
informasi lainnya. Hasil dari asumsi sehingga membentuk fikiran yang subjektif
terhadap suatu penyakti inilah yang dikenal sebagai self diagnosis atau diagnosa
Page 6
6
mandiri, yakni kondisi dimana seseorang melakukan diagnosa terhadap penyakit atau
gejala penyakit yang muncul pada tubuhnya tanpa adanya bantuan dari seseorang yang
kompeten pada bidangnya seperti tenaga ahli medis atau dokter. Diagnosa mandiri
yang dilakukan oleh seseorang ialah berdasarkan penglihatan dan efek yang mereka
rasakan dari gejala atau tanda – tanda gangguan kesehatan yang muncul pada tubuhnya,
lalu mereka mencocokkan dengan pengetahuan dan informasi tentang gangguan
kesehatan yang mereka rasakan dari berbagai sumber informasi yang mereka temui.
Dilansir pada situs di internet yang memberikan informasi kesehatan, Self diagnosis
atau diagnosa mandiri merupakan usaha atau upaya yang seseorang lakukan untuk
membuat diagnosa suatu penyakit atau gejala penyakit yang diderita oleh individu
tersebut tanpa bantuan tenaga medis atau dilakukan sendiri, dengan dibantu oleh
pengetahuan atau informasi tentang penyakit yang didapatkan melalui kerabat,
keluarga, internet dan bahkan pengalaman penyakit individu tersebut di masa lalu3.
Ketidakmampuan seseorang dalam mengakses layanan kesehatan serta adanya rasa
kekhawatiran akan suatu penyakit yang berlebih yang disertai dengan terbatasnya
pengetahuan kesehatan yang dimiliki oleh seseorang, dapat menjadi salah satu faktor
yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan diagnosa mandiri. Fakta tersebut
dapat dibuktikan dengan melihat studi penelitian yang ditulis oleh peneliti dalam
sebuah penelitian tentang bagaimana perbedaan sosio ekonomi pada masyarakat
3 helloSEHAT. “Self Diagnosis, Kebiasaan Mendiagnosis Diri Sendiri yang Bisa Berbahaya”, diakses
dari https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/self-diagnosis-diri-sendiri/, pada tanggal 18 Januari
2019 pukul 19.00 WIB
Page 7
7
tenggara Nigeria memliki pengaruh dalam mencari layanan kesehatan untuk
melakukan diagnosa dan pengobatan terhadap wabah penyakit malaria yang terjadi di
masyarakat, dijelaskan secara garis besar bahwa aktifitas atau perilaku self diagnosis
lebih banyak di lakukan oleh keluarga yang termasuk ke dalam kategori keluarga
miskin, perilaku self diagnosis tersebut muncul diduga karena disebabkan oleh
kebiasaan dan merupakan perilaku yang telah menjadi budaya di masyarakat. Dimana
masyarakat masih lebih mempercayai perasaan serta dugaan yang mereka buat sendiri
dalam melakukan diagnosa diri dibandingkan mereka harus berusaha dan bersusah -
susah untuk mencari atau melakukan diagnosa yang tepat terhadap penyakit yang
mereka derita4.
Self-diagnosis atau diagnosa mandiri yang dilakukan ini cukup berbahaya, karena
tingkat keakuratan dari diagnosa yang dilakukan tidak cukup tepat dalam mendiagnosa
penyakit yang dirasakan oleh seseorang, serta dapat menghadirkan kekeliruan yang
cukup fatal dalam pengambilan tindakan pengobatan yang seseorang lakukan untuk
menyebuhkan penyakit yang bahkan mereka keliru dalam mengidentifikasi penyakit
tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Roberta Raffaeta pada sebuah buku, dimana ia
melilhat pada sebuah fenomena yang pernah terjadi di negara Italia. Pada saat itu
terdapat sebuah penyakit alergi yang mewabah, wabah tersebut belum dikonfirmasi
4 Uzochukwo SC, Benjamin., Onwujekwe E, Obinna. 2004. “Socio-Economic differences and Health
seeking behavior for the diagnosis and treatment of malaria: a case study of four local government areas
operating the Bamako initiative programme in south-east Nigeria”. International Journal for Equity in
Health, Vol 3, Article 6, Hlm 7
Page 8
8
secara pasti oleh tenaga medis. Namun, masyarakat sudah melaukan self-diagnosis atau
diagnossa diri berdasarkan gejala – gejela penyakit alergi yang mereka rasakan. Self-
diagnosis yang dilakukan oleh masyarakat tersebut didasari oleh asumsi mereka
mengenai gejala penyakit dan gangguan kesehatan yang mereka rasakan dengan
berlandaskan pada pengetahuan mereka tentang ilmu kesehatan dan pengetahuan
mengenai penyakit yang mereka miliki, lalu informasi yang mereka temukan di media
dan melalui interaksi sosial5.
Terdapat beberapa hasil penelitian dengan tema mengenai self-diagnosis atau
diagnosa mandiri yang dilakukan oleh individu maupun masyarakat luas, seperti pada
tulisan – tulisan yang ditulis oleh Ahmed A., dkk: 20176, Lanseng E., dkk: 20077,
Annemarie J., dkk: 20118, Ani C., dkk: 20089, Denise A., dkk: 200910, dan Semigran
L., dkk: 201511. Pada tulisan – tulisan dari penelitian yang bertema mengenai self
diagnosis tersebut secara garis besar membahas mengenai bagaimana masyarakat
5 Fainzang, Sylvie & Haxaire, Claudie. “Of Bodies and Symptoms: Antropological perspectives on their
social and medical treatment”. 2011. Tarragona: Publications URV. Hlm 10 6 Ahmed, Aaiz & Stephen S. 2017. “Self-Diagnosis in Psychology Students”. The International Journal
of Indian Psychology, Volume 4, Issue 2 No 86, Hlm 120 – 139. 7 Lanseng, J Evan & Andreasen, Tor W. 2007. “Electronic healthcare: a study of people’s readiness and
attitude toward performing self-diagnosis”. International Journal of Service Industry Management,
Volume 18, No 4, Hlm 394 – 417. 8 Jutel, Annemarie., Baker G, Micahel., Stanley, James., Huang, Sue Q., Don Bandaranayake. 2015.
“Self-diagnosis of influenza during a pandemic: a cross-sectional survey”. BMJ Open, Vol 1, Issue 2 9 Ani C., Bazargan M., Bazargan-Hejazi S., Andersen RM., Hindman DW., Baker RS. 2008. “Correlates
of self-diagnosis of chronic medical and mental health conditions in under-served African American and
Latino populations”. Ethnicity & Disease, Volume 18, S2, Hlm 105 - 111 10 Copelton, Denise A., Valle, Giuseppina. 2009. “You don’t need a prescription to gluten-free: The
scientific self-diagnosis of celiac disease”. Social Science & Medicine, Volume 69, Issue 4, Hlm 623 -
631 11 Semigran, Hannah L., Linder A, Jeffey., Gidengil, Courtney., Mehrota Ateev. 2015. “Evaluation of
symptoms checkers for self diagnosis and triage: audit study”. British Medical Journal (BMJ), Vol 351,
Issue h3480
Page 9
9
dalam mempraktikan self diagnosis dipengaruhi oleh beberapa faktor yang melatar
belakangi serta alasan mereka dalam melakukan self-diagnosis. Tiap – tiap tulisan
tersebut juga memparkan perbedaan dalam aspek – aspek yang mendorong alasan
masyarakat dalam melakukan self diagnosis tersebut, baik dari kondisi sosio ekonomi
masyarakat hingga masyarakat yang diharuskan untuk melakukan self diagnosis atas
perintah tenaga ahli medis dengan alasan untuk meningkatkan perhatian masyarakat
akan kesehatan dan menekan angka penyebaran pada sebuah wabah atau pandemi
penyakit. Meskipun tetap tidak bisa dipungkiri bahwa pada hakikatnya diagnosa diri
merupakan kegiatan yang berbahaya bagi individu untuk akhirnya mereka megambil
keputusan atas gejala penyakit yang mengganggu kesehatan tanpa bantuan tenaga ahli
medis yang kompeten dalam bidangnya dan dapat menkonfirmasi gangguan kesehatan
yang mereka alami secara tepat.
Penelitian – penelitian selanjutnya yang peneliti yakini memiliki persamaan pada
konsep variabel dengan tema pembahasan yang akan peneliti angkat yaitu mengenai
Health seeking behavior juga menjadi perhatian peneliti untuk dijadikan referensi
sebagai penelitian terdahulu yang dapat mendukung penelitian peneliti. Seperti
penelitian yang ditulis oleh Novita Ressa A., dkk: 201812, Larasati Fatati.: 202013, Peng
12 Affandi, Novita Ressa., Alisjahbana, Bachti., Raksanagara, Ardini S. 2018. “Health Seeking Behavior
of Dengue Hemorrhagic Fever Patients in Several Hospitals in Bandung West Java Indonesia”. Althe
Medical Journal, Volume 5, No 3, Hlm 121 – 126 13 Larasati, Fatati. 2020. “Health Seeking Behavior in Bulak Banteng, Surabaya”. International Journal
of Public Health Science (IJPHS), Volume 9, No 1, Hlm 1 – 7
Page 10
10
Yingchun., dkk: 201014, dan Uzochukwu Benjamin SC., dkk: 200415. Seperti halnya
self diagnosis yang dilakukan oleh masyarakat dengan faktor latar belakang serta
alasan yang berbeda beda, pada tulisan tulisan tersebut secara garis besar juga melihat
dan membahas mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku mencari
kesehatan atau health seeking behavior masyarakat dalam memperoleh kesehatan bagi
dirinya.
Penelitian – penelitian mengenai self diagnosis dan perilaku mencari kesehatan
atau health seeking behavior, membuat peneliti menjadi sangat tertarik untuk
membahas dan mengkaji perilaku self diagnosis atau diagnosa mandiri. Fenomena
lainnya yang membuat peneliti tertarik dan terdorong untuk membahas topik tersebut
ialah dewasa ini self diagnosis menjadi trend baru di kalangan anak muda, khususnya
untuk melakukan asumsi atau diagnosa diri terhadap gangguan kesehatan mental
mereka. Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah laman web yang membahas mengenai
fenomena tersebut dimana muncul film – film yang mengangkat tentang gangguan
kesehatan mental, contohnya yaitu film yang berjudul Joker. Film tersebut memiliki
manfaat dan dampak tersendiri bagi anak anak muda, kehadiran film – film tersebut
membuat banyak orang semakin peduli akan pentingnya kesehatan mental. Namun,
14 Peng, Yingchun., Chang, Wenhu., Zhou, Haiqing., Hu, Hongpu., Liang, Wannian. 2010. “Factors
associated with health-seeking behavior among migrant workers in Beijing, China”. BMC Health
Services Research, Volume 10, Issue 69. 15 Uzochukwo SC, Benjamin., Onwujekwe E, Obinna. 2004. “Socio-Economic differences and Health
seeking behavior for the diagnosis and treatment of malaria: a case study of four local government areas
operating the Bamako initiative programme in south-east Nigeria”. International Journal for Equity in
Health, Vol 3, Article 6.
Page 11
11
disisi lain juga munculnya film tersebut menimbulkan fenomena di masyarakat
khususnya dalam kasus ini ialah anak muda yang memiliki anggapan bahwa gangguan
mental menjadi suatu yang keren dan trend, dengan kemudahan akses informasi di
berbagai media mereka mencoba melakukan self diagnosis terhadap dirinya dan
beranggapan serta dengan percaya diri mengungkapkan bahwa mereka memiliki
gangguan kesehatan mental layaknya di film yang mereka saksikan16.
Melihat fenomena tersebut, lebih mendorong peneliti untuk mengangkat topik
tersebut. Namun dalam hal ini peneliti akan lebih berfokus untuk mengangkat topik
tentang apakah self diagnosis berpengaruh terhadap perilaku seseorang dalam mencari
kesehatan atau health seeking behavior, tidak hanya pada gangguan kesehatan mental
saja. Subjek penelitian dari topik penelitian yang akan di angkat ini ialah para
pemuda/pemudi atau remaja millennial yang pernah melakukan pencarian informasi
terkait gejala penyakit atau penyakit yang sedang mereka derita, dengan menggunakan
media informasi seperti dari internet, atau aplikasi kesehatan serta sumber informasi
lainnya ketika mereka mengalami gangguan kesehatan atau jatuh sakit dalam kurun
waktu 2 bulan terakhir. Karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa self
diagnosis didasari oleh pengetahuan mengenai kesehatan yang dimiliki oleh seseorang
dan didukung oleh informasi – informasi yang mereka dapatkan dari berbagai media
maupun dari interaksi sosial.
16 National Geographic Indonesia. “Bahaya Self Diagnosis Gangguan Mental Pascamenonton Film
Joker”, diakses dari https://nationalgeographic.grid.id/read/131886424/bahaya-self-diagnosis-
gangguan-mental-pascamenonton-film-joker?page=all, pada tanggal 21 Juli 2020 pukul 19.00 WIB
Page 12
12
Kemudahan akses informasi dengan adanya internet serta hadirnya aplikasi –
aplikasi kesehatan yang memberikan banyak kemudahan dalam mengakses informasi
kesehatan berkat kecanggihan zaman saat ini juga dapat mendorong praktik self
diagnosis di masyarakat khususnya seseorang dengan lebih mudah. Pemuda yang akan
menjadi subjek penelitian yakni dengan kriteria dan lebih difokuskan kepada remaja
yang bertempat tinggal di DKI Jakarta, yang sudah masuk ke dalam usia produktif
yakni usia 20 sampai 39 tahun.
I.2. PermasalahaniPenelitian
Ketersediaan layanan kesehatan serta kemudahan akses informasi kesehatan yang
dapat dengan mudah diakses melalui berbagai media saat ini oleh masyarakat
perkotaan, peneliti melihat bahwa hal tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap
kesempatan masyarakat untuk melakukan self-diagnosis. Akses informasi yang luas
dan mudah yang ada saat ini bagai pisau bermata dua dimana disatu sisi memiliki
manfaat tersendiri guna meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menjaga
kesehatan tubuhnya, tetapi juga dapat membuat mereka melakukan diagnosa diri yang
bisa menghadirkan kekeliruan terhadap penyakit yang mereka derita
Berdasarkan alasan yang telah peneliti kemukakan, maka studi ini akan berfokus
pada pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah terdapat pengaruh dari self-diagnosis atau diagnosa mandiri yang
dilakukan oleh seorang individu terhadap perilaku mereka dalam mencari
Page 13
13
pengobatan guna memperoleh kesembuhan dari penyakit yang diderita
individu?
I.3. TujuaniPenelitian
Adapun melihat dan mempertimbangkan pertanyaan penelitian maka tujuan utama
dari studi yang akan peneliti lakukan ini ialah untuk meneliti dan mengukur pengaruh
dari self diagnosis atau diagnosa mandiri terhadap perilaku masyarkaat dalam mencari
pengobatan guna mempeorleh kesehatan pada masyarakat perkotaan, yang memiliki
akses terhadap pelayanan kesehatan yang cukup mudah khususnya pada penelitian ini
berfokus pada remaja atau pemuda/i yang berusia produktif.
I.4. ManfaatiPenelitian
Peneliti berharap dari penelitian yang dilakukan ini dapat memiliki
kebermanfaatan baik bagi peneliti seorang, maupun bagi orang lain. Untuk itu peneliti
membagi manfaat penelitian yaitu manfaat praktis dan manfaat teoritis dari penelitian
yang akan dilakukan yakni sebagai berikut:
I.4.1. ManfaatiPraktis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat memberikan pengalaman kepada peneliti di
bidang sosiologi kesehatan. Peneliti juga dapat menyadari
pentingnya menjaga kesehatan dan bertindak dalam memperoleh
kesembuhan dengan bijak.
Page 14
14
b. Bagi Remaja Usia Produktif
Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai bahaya dari
diagnosa mandiri yang dilakukan serta memberikan gambaran
mengenai bagaimana tindakan atau respon mereka ketika mengalami
gangguan kesehatan atau jatuh sakit, sehingga dapat mengambil
langkah yang bijak untuk memperoleh kesembuhan dari penyakit
yang diderita.
c. Bagi Tenaga Ahli Medis
Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai masih
banyaknya individu dalam masyarakat yang melakukan diagnosa
mandiri terhadap gangguan kesehatan yang mereka derita, sehingga
dapat merugikan bagi individu itu sendiri dan mengabaikan arahan
dari tenaga ahli medis yang kompeten. Dengan demikian, penelitian
ini dapat membantu tenaga ahli medis dalam bertindak ketika
menghadai seorang pasien yang melakukan diagnosa mandiri
terhadap penyakitnya.
I.4.2. ManfaatiTeoritis
Peneliti berharap dapat menghadirkan manfaat keilmuan dari penelitian
yang dilakukan ini bagi para akademisi yakni studi yang dilakukan ini bisa
menjadi bahan kajian untuk pengembangan ilmu, khususnya dalam
pengembangan ilmu sosiologi medis dan kesehatan yang lebih spesifik lagi yaitu
Page 15
15
kajian dalam sosiologi diagnosa. Diharapkan juga penelitian ini dapat
memberikan pengetahuan mengenai respon – respon masyarakat ketika mereka
mengalami sakit dan konsep mengenai diagnosa mandiri (self diagnosis) itu
sendiri jika dilihat dari kacamata sosiologi.
I.5. TinjauaniPenelitianiSejenis
Sebagai bahan rujukan dan tinjauan untuk mendorong dan membantu peneliti
dalam kesuksesan melakukan penelitian, langkah pertama yang dilakukan ialah peneliti
mencoba untuk melakukan pencarian kepustakaan berupa literatur – literatur yang
berkaitan dengan tema penelitian yang akan peneliti angkat dari penelitian terdahulu,
sehingga dapat peneliti jadikan bahan acuan dan dasar konsep yang kuat bagi penelitian
yang akan dilakukan peneliti. Berdasarkan penelusuran dan pencarian yang telah
dilakukan, peneliti telah mendapatkan beberapa studi penelitian yang memiliki
kesamaan dan kemiripan dari segi topik atau tema yang dibahas serta memiliki
hubungan konsep yang mirip atau sama dengan penelitian yang akan diteliti dan juga
memliki sudut pandang serta objek penelitian yang berbeda, sehingga dapat menjadi
perbandingan.
Penelitian pertama dengan tema self diagnosis diperoleh dari jurnal yang berjudul
Self-Diagnosis in Psychology Students17. Pembahasan dalam jurnal ini menjelaskan
tentang bagaimana latar belakang seperti pemahaman tentang self diagnosis atau
17 Ahmed, Aaiz & Stephen S. 2017. “Self-Diagnosis in Psychology Students”. The International Journal
of Indian Psychology, Volume 4, Issue 2 No 86, Hlm 120 – 139.
Page 16
16
diagnosa mandiri, factor pendorong yang dapat mempengaruhi serta metode atau cara
yang dilakukan seseorang untuk melakukan diagnosa mandiri. Dampak dari self
diagnosis bagi seseorang yang melakukannya juga dijelaskan pada pembahasan jurnal
ini. Hasil dari pembahasan jurnal ini bahwa terdapat empat poin yakni yang pertama
ialah latar belakang penyebab seseorang melakukan self diagnosis yang dipengaruhi
oleh latar belakang klinis atau kesehatan seseorang, pengalaman penyakit sebelumnya,
dan sumber informasi tentang penyakit dan kesehatan.
Poin kedua ialah cara bagaimana seseorang dalam melaukan self diagnosis yakni
dengan diawali dengan pemikiran seseorang yang menduga – duga lalu dilanjutkan
dengan membaca sumber – sumber informasi yang dicari melalui internet ataupun
media lainnya. Poin ketiga ialah dampak yang dirasakan atau didapatkan oleh
seseorang yang melakukan self diagnosis yakni dapat berdampak terhadap dirinya
sendiri maupun orang lain, dimana terdapat dampak kognitif, dampak afektif, dan
dampak perilaku. Poin keempat atau poin terakhir ialah academic maturity atau bisa
dikatakan juga sebagai kemahiran seseorang dalam suatu bidang ilmu pengetahuan,
yang mana dalam jurnal ini penulis jurnal mengambil kasus pada mahasiswa psikologi
yang memiliki pemahaman lebih mengenai self diagnosis. Pengetahuan psikologi yang
mereka miliki bisa menjadi sebuah pembenaran dan memandu mereka dalam
melakukan self diagnosis dan mengurangi dampak yang mereka terima.
Selanjutnya tulisan penelitian kedua yang memiliki kemiripan dengan fokus yang
akan diangkat oleh peneliti yang menjadi penelitian acuan bagi peneliti yaitu penelitian
Page 17
17
yang berjudul Electronicihealthcare: aa studya ofa people’sa readinessa anda
attitudeatowarda performinga self-diagnosis18, penelitian ini ditebitkan pada tahun
2007. Tujuan dari tulisan penelitian ialah untuk menguji sebuah teknologi self services
atau SST pada diagnosa kesehatan serta diharapkan dapat membantu untuk mengurangi
biaya dan meningkatkan kualitas pada sektor kesehatan. Penelitian ini juga berfokus
dengan dua studi atau dua penelitian yang dilakukan untuk melihat bagaimana kesiapan
masyarakat dalam penggunaan teknologi self services dalam bidang kesehatan dan
sikap konsumen atau masyarakat dalam penerapan serta penerimaan terhadap teknologi
self-services khususnya dalam bidang pelayanan kesehatan. Menurut peniliti dalam
penelitian ini, topik studi penelitian ini cukup penting untuk diangkat karena terdapat
dua alasan. Pertama yaitu pada sebagian negara, layanan kesehatan merupakan hal
yang cukup mahal, selanjutnya alasan kedua ialah pada sebagian besar negara terdapat
kekhawatiran mengenai sistem pelayanan kesehatan yang ada dan berjalan saat ini
tidak berkelanjutan untuk masa yang akan datang dimana ketika populasi masyarakat
yang menua akan bertambah dan akan terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada
permintaan untuk layanan kesehatan.
Pembagian fokus studi dalam satu penelitian yang ditulis oleh peneliti penelitian
ini, fokus studi pertama yaitu berfokus pada bagaimana kesiapan konsumen atau
masyarakat dalam penggunaan teknologi self services dalam bidang layanan kesehatan.
18 Lanseng, J Evan & Andreasen, Tor W. 2007. “Electronic healthcare: a study of people’s readiness
and attitude toward performing self-diagnosis”. International Journal of Service Industry Management,
Volume 18, No 4, Hlm 394 – 417.
Page 18
18
Populasi dari kesiapan teknologi masyarakat nantinya akan membentuk fondasi yang
digunakan untuk melihat bagaimana pengadopsian teknologi tersebut dengan melihat
dari bagaimana masyarakat menerima aplikasi self diagnosis berbasis laman web.
Fokus studi kedua dalam penelitian ini ialah untuk melihat bagaimana sikap pengguna
atau masyarakat dalam menggunakan layanan jasa kesehatan atau e-health, untuk fokus
ini peneliti menggunakan model penelitian yang disebut TAM atau Technology
Acceptence Model untuk analisa dan melihat hasil dari fokus studi yang kedua, namun
model TAM yang digunakan pada penelitian ini dikembangkan dengam
menambahkkan variabel kepercayaan sebagai penentu dari penerimaan pengguna dan
disesuaikan dengan mengganti variabel kegunaan menjadi variabel kenyamanan.
Peneliti dalam penelitian tersebut mendapati kesimpulan dari dua studi yang
berfokus pada kesiapan masyarakat dalam penggunaan teknologi dan sikap masyarakat
pada penggunaan layanan jasa berbasis teknologi tersebut ialah aplikasi layanan self
diagnosis yang merupakan aplikasi teknologi self service akan menyebar dan diadopsi
dalam kehidupan masyarakat, dan juga diperkirakan bahwa unsur kenyamanan dan
kemudahaan dalam menggunakan aplikasi layanan self diagnosis menjadi variabel
yang berperan penting dalam penyebaran tersebut.
Penelitian ketiga dengan tema self diagnosis ialah studi yang berjudul Selfi
diagnosisi ofi influenzai duringi a pandemici: a cross-sectional survey19 yang
19 Jutel, Annemarie., Baker G, Micahel., Stanley, James., Huang, Sue Q., Don Bandaranayake. 2015.
“Self-diagnosis of influenza during a pandemic: a cross-sectional survey”. BMJ Open, Vol 1, Issue 2
Page 19
19
diterbitkan pada tahun 2015. Jurnal ini secara garis besar menjelaskan tentang sebuah
wabah penyakit influenza yang terjadi di masyarakat Selandia Baru, dimana petugas
medis menyarankan masyarakat untuk melakukan self diagnosis atau diagnosa diri
terhadap kondisi gejala penyakit influenza yang mereka rasakan.
Diagnosa diri yang disarankan oleh tenaga medis ini dianggap penting bagi
masyarakat dan bertujuan untuk membantu mengendalikan wabah penyakit yang
sedang terjadi. Dengan diagnosa diri yang dilakukan oleh masyarakat, petugas medis
berharap masyarakat dapat lebih bijaksana untuk melakukan pencegahan serta menjaga
kesehatan mereka secara mandiri dan juga bisa mengurangi masyarakat untuk
mendatangi fasilitas kesehatan sehingga petugas medis tidak mengalami kesusahan
dalam mengendalikan pasien dari wabah influenza yang terjadi. Namun, sangat
disayangkan yang terjadi tidak sesuai dengan harapan dan spekuasi para petugas medis,
dimana diagnosa diri atau self-diagnosis yang dilakukan oleh masyarakat dalam
melakukan diagnosa dari gejala penyakit yang dirasakan dianggap kurang akurat dan
tidak tepat. Kurang tepatnya hasil diagnosa mandiri yang didapat tersebut disebabkan
karena masyarakat memliki pengetahuan yang kurang terhadap penyakit influenza
tersebut.
Penelitian keempat yang menjadi rujukan peneliti ialah penelitian yang berjudul
Correlates of Self-diagnosis of Chronic Medical and Mental Health Conditions in
Page 20
20
Under-Served African American and Latino Populations20. Penelitian ini bertujuan
untuk menguji korelasi dari self diagnosis penyakit medis kronis dan gangguan
kesehatan mental pada warga masyarakat minoritas yang terlantar atau tidak
mendapatkan pelayanan, studi ini juga bermaksud untuk menunjukkan bahwa terdapat
kebutuhan yang penting dan mendesak untuk memahami sistem kesehatan dan faktor
yang menentukan penyebab dari diagnosa penyakit serta pengobatan dini yang tertunda
pada populasi yang spesifik seperti pada masyarakat yang mengalami kondisi yang
difokuskan pada penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan Behavioral Model, model ini dapat
mengkonseptualisasikan pemanfaatan layanan kesehatan sebagai sebuah produk akhir
dari pola interaksi yang kompleks diantara kecenderungan, kemungkinan, dan
karakterisik kebutuhan perawatan. Pada faktor kecendrungan, mewakili indikator
seperti halnya karakteristik demografi, karakteristik struktur sosial, karakteristik masa
kecil, kondisi kehidupan, sumber daya psikologis dan variabel yang mempengaruhi
health belief. Selanjutnya untuk faktor kemungkinan, mewakili indikator – indikator
seperti sumber daya keluarga dan pribadi, status asuransi, keterjangkauan dalam
mendapatkan perawatan medis, pendapatan, penerimaan manfaat publik, kebuuhan
bersaing di masyarakat, dan ketersediaan serta pengguaan sumber daya informasi.
20 Ani C., Bazargan M., Bazargan-Hejazi S., Andersen RM., Hindman DW., Baker RS. 2008.
“Correlates of self-diagnosis of chronic medical and mental health conditions in under-served African
American and Latino populations”. Ethnicity & Disease, Volume 18, S2, Hlm 105 - 111
Page 21
21
Faktor ketiga ialah kebutuhan perawatan, yang mewakili indikator seperti kondisi
kesehatan yang di persepsikan dan dievaluasi.
Hasil yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan dapat terlihat bahwa 43%
sampel partisipan pada penelitian ini yang dimana mereka menderita berbagai penyakit
atau gangguan kondisi medis mengungkapkan bahwa setidaknya untuk satu penyakit
yang pernah mereka derita mereka mengklaim belum pernah secara formal atau resmi
didiagnosa oleh penyedia layanan medis perawatan. Selanjutnya sebesar 16 % dari
keseluruhan pastisipan yang percaya bahwa mereka menderita gangguan kesehatan
mental yaitu depresi juga mengklaim bahwa mereka tidak pernah di diagnosa oleh
seorang psikiater.
Penelitian sejenis selanjutnya datang dari jurnal yang berjudul Evaluation of
symptom checkers for self diagnosis and triage: audit study21. Penelitian ini di
publikasikan pada tanggal 15 Juni 2015, fokus pembahasan pada penelitian ini ialah
mengevaluasi fungsi dan manfaat dari sebuah aplikasi yang berfungsi untuk melakukan
pengecekan terhadap gejala penyakit. Aplikasi - aplikasi yang menjadi fokus evaluasi
ini diambil dari aplikasi aplikasi yang tersedia secara gratis di layanan smartphone
seperti Google Play untuk android dan Apple App untuk pengguna iphone. Alasan
peneliti dalam jurnal ini mengangkat judul penelitian serta melakukan evaluasi
21 Semigran, Hannah L., Linder A, Jeffey., Gidengil, Courtney., Mehrota Ateev. 2015. “Evaluation of
symptoms checkers for self diagnosis and triage: audit study. British Medical Journal (BMJ), Vol 351,
Issue h3480.
Page 22
22
terhadap aplikasi aplikasi tersebut ialah karena saat ini terdapat sebuah keresahan
bahwa di masyarakat semakin marak penggunaan internet untuk melakukan diagnosa
diri atau self-diagnosis. Hal tersebut dijelaskan pada jurnal ini bahwa dengan melihat
hasil penelitian seelumnya dimana terdapat lebih dari tiga orang dewasa di Amerika
Serikat, menggunakan internet dan mencari informasi kesehatan untuk melakukan
diagnosa diri atau self diagnosis seperti halnya untuk mencari informasi gejala penyakit
yang sangat parah hingga penyakit yang ringan.
Untuk mendapatkan evaluasi yang tepat bagi tiap tiap aplikasi tersebut, peneliti
mengukur seberapa tepat dan akurat dari diagnosa dan saran tingkat keparahan sebuah
penyakit yang ditampilkan atau hasil yang ditunjukkan dari aplikasi symptoms checker
tersebut dengan menggunakan sebuah sketsa yang menempakan 45 orang pasien untuk
menggunakan dan melakukan evaluasi 23 aplikasi symptoms checker yang telah
tersedia dan dipilih sebagai sampel evaluasi. Sketsa – sketsa yang diperagakan oleh 45
orang pasien yang terpilih mencerminkan berbagai kondisi kesehatan seseorang dari
yang penyakit biasa hingga penyakit yang tidak umum atau parah sampai bisa
mengakibatkan kematian. Analisa yang digunakan peneliti pada saat data - data yang
telah berhasilkan dikumpulkan ialah dengan analisa interval kepercayaan 95%
berdasarkan distribusi binomial menggunakan Stata / MP 13.0.
Peneliti mendapatkan hasil bahwa dari 23 aplikasi symptoms checker yang dipilih
untuk di evaluasi secara garis besar atau secara umum berdasarkan hasil dari ketiga
kategori pasien yang telah di gabungkan nilainya memiliki tingkat diagnosa yang
Page 23
23
akurat dan tepat hanya sebesar 34% jika dihitung dengan interval kepercayaan sebesar
95 % yang digunakan peneliti untuk menganalisa data tersebut. Namun, aplikasi
tersebut juga menampilkan diagnosa yang cukup tepat pada 20 diagnosa gejala
penyakit pasien dengan hasil yaitu sejumlah 58%.
Untuk evaluasi triase atau seberapa tepat aplikasi tersebut mengukur tinggi tingkat
urgensi atau kedaruratan kondisi pasien, yakni didapati hasil bahwa apliasi tersebut
memberikan saran triase yang cukup bervariasi tergantung urgensi atau ke daruratan
kondisi pasien yakni dengan memiliki saran triase yang cukup tepat yang berjumlah
sebesar 80% pada pasien yang memiliki kondisi yang cukup darurat atau membutuhkan
penanganan penyakit yang segera mungkin, dan 55% saran triase yang tepat pada
pasien yang dianggap kondisi penyakit nya tidak terlalu urgen atau darurat.
Studi dengan tema self diagnosis selanjutnya dengan judul penelitian yaitu You
don’t need a prescription to go gluten-free: The scientific self-diganosis of celiac
disease22, penempatakan konsep self diagnosis pada penelitian ini dijadikan
perbandingan dengan medical diagnosis dan juga dalam studi ini melihat bagaimana
proses sosial dari kedua metode diagnosis tersebut untuk mendiagnosa penyakit Celiac
atau autoimun. Medical diagnosis dijelaskan pada jurnal ini merupakan sebuah sosisal
proses yang menentukan kehidupan dan legitimasi dari sebuah kondisi fisik. Sebuah
22 Copelton, Denise A., Valle, Giuseppina. 2009. “You don’t need a prescription to gluten-free: The
scientific self-diagnosis of celiac disease”. Social Science & Medicine, Volume 69, Issue 4, Hlm 623 -
631
Page 24
24
diagnosa memerlukan negosiasi antara sudut pandang medis dan sudut pandang awam
dengan sebelumnya berfokus pada data klinis, laboratorium, epidemiologis dan yang
terakhir tentang persepsi dan pengalaman dari penyakit serta perawatan penyakit
tersebut. Namun, ketika sebuah diagnosa sulit untuk ditentukan maka terjadi
penyimpangan dari sudutu pandang orang awam dengan sudut pandang medis yang
sering kali menimbulkan konflik.
Untuk seorang pasien, medical diagnosis dilihat sebagai sebuah pintu untuk
mendapatkan peran sakit yang melegitimasi penderitaan dan penyimpangan dari norma
sosial yang berlaku di masyarakat. Seorang pasien juga tidak selamanya bisa
mendapatkan diagnosa yang tepat mengenai kondisi mereka, dan mereka yang
memiliki gejala penyakit yang tidak sesuai dengan standar diagnosa yang ada, mereka
akan kesulitan untuk menerima diagnosa tersebut. Namun, ketika seorang pasien tidak
berhasil mendapatkan diagnosa yang tepat atau tidak setuju dengan diagnosa yang ada,
mereka mungkin akan mencari beberapa pilihan dari tenaga ahli medis lainnya atau
menggunakan sumber informasi alternative seperti melalui media internet, buku, dan
sebagainya. Menariknya adalah ketika seseorang melakukan self diagnosis mereka
tetap melanjutkan untuk mencari medial diagnosis dari tenaga ahli medis atau mencari
alternative diagnosis lainnya. Baik melakukan diagnosa secara mandiri atau self
diagnosis dengan sudut pandang awam maupun melakukan medical diagnosis yang
dilakukan dengan dan dari sudut pandang tenaga ahli, sebuah diagnosa dapat membuat
individu merasa lega.
Page 25
25
Untuk memperkuat fokus serta konsep yang akan diteliti oleh peneliti, maka
selanjutnya peneliti menelusuri dan menggunakan beberpaa jurnal penelitian yang
bertema sejenis dengan variabel dependen yang menjadi fokus penelitian peneliti, yaitu
tema mengenai health-seeking behavior atau perilaku mencari kesehatan. Jurnal
penelitian yang pertama mengenai health-seeking behavior ialah penelitian yang
berjudul Health-Seeking Behavior of Dengue Hemorrhagic Fever Patients in
Several Hospitals in Bandung, West Java, Indonesia23. Secara garis besar, studi
penelitian ini membahas tentang bagaimana perilaku mencari kesehatan dari para
pasien pendertia demam berdarah di beberapa rumah sakit yang berada di Bandung,
Jawa Barat. Studi pada jurnal ini menggunakan teori mengenai faktor – faktor yang
mempengaruhi perilaku dari Lawrence W. Green sebagai dimensi yang akan digunakan
untuk meneliti perilaku pasien dalam mencari kesehatan. Lawrence mengungkapkan
bahwa terdapat 3 faktor yang mempengaruhi perilaku, faktor pertama ialah faktor
predisposisi (predisposing factor) yang terdiri dari pengetahuan dan sikap. Faktor
kedua ialah faktor kemungkinan (enabling faktor) yang terdiri dari akses, yang faktor
yang terakhir ialah faktor yang memperkuat (reinforcing factors) yaitu terdiri dari
ekonomi dan pendidikan.
23 Affandi, Novita Ressa., Alisjahbana, Bachti., Raksanagara, Ardini S. 2018. “Health Seeking Behavior
of Dengue Hemorrhagic Fever Patients in Several Hospitals in Bandung West Java Indonesia”. Althe
Medical Journal, Volume 5, No 3, Hlm 121 – 126
Page 26
26
Penelitian dengan topik health seeking behavior selanjutnya berjudul Health
seeking behavior in Bulak Banteng, Surabaya24. Studi ini meneliti tentang bagaimana
perilaku mencari kesehatan sebagai sebuah respon bagi seorang ibu ketika anak mereka
menderita sakit atau mengalami gangguan kesehatan, berbeda dengan penelitian
sejenis yang pertama. Penelitian ini menggunakan teori health seeking behavior yang
dikemukakan oleh Andersen, dimana pada teori tersebut Andersen menunjukkan
bahwa terdapat 6 respon dari seseorang ketika mengetahui bahwa mereka mengalami
gangguan kesehatan atau sakit. Respon yang pertama ialah dengan tidak melakukan
apa – apa, respon kedua ialah dengan melakukan pengobatan mandiri, mencari
pengobatan tradisional adalah respon ketiga, keempat ialah dengan membeli
pengobatan dari sebuah toko ataupun apotik, respon kelima ialah dengan pergi ke
fasilitas layanan kesehatan seperti halnya rumah sakit dan pusat kesehatan lainnya, dan
respon keenam ialah pergi ke fasilitas layanan kesehatan yang lebih modern seperti
menemui dokter praktik khusus.
Dijelaskan juga dari tiap – tiap respon yang dikemukakan oleh Andersen bahwa
respon pertama ialah bentuk respon dari seseorang yang memilih untuk menunda –
nunda mencari layanana kesehatan dan lebih memilih untuk mengabaikan penyakit
tersebut. Selanjutnya pada respon kedua, ketiga dan keempat ialah bentuk respon dari
seseorang ketika mereka memilih untuk melakukan pengobatan tanpa mencari refrensi
24 Larasati, Fatati. 2020. “Health Seeking Behavior in Bulak Banteng, Surabaya”. International Journal
of Public Health Science (IJPHS), Volume 9, No 1, Hlm 1 – 7
Page 27
27
atau konsultasi dengan pihak lain, respon ini termasuk kedalam konsep self-care.
Sementara untuk respon kelima dan keenam, ialah bentuk respon dari seseorang yang
memilih untuk mendapatkan refrensi dan konsultasi dari pihak lain, seperti pekerja
kesehatan yang bekerja pada layanan jasa kesehatan formal maupun tidak formal. Pada
tulisan studi selanjutnya yang berjudul Factors associated with health-seeking
behavior among migrant workers in Beijing, China25, dimana studi ini secara garis
besar membahas tentang faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku mencari
kesehatan diantara para pekerja migran di Beijing, China. Tidak jauh berbeda dengan
penelitian sejenis yang sebelumnya, pada jurnal ini faktor perilaku seseorang diukur
dengan menggunakan dan melihat dari karakteristik demografi sosial para pekerja
migran.
Hasil yang ditemukan oleh penulis penelitian ini ialah, layanan medis yang akan
mereka kunjungi ketika mereka menderita sakit ialah layanan kesehatan di desa atau
layanan kesehatan yang ada di komunitas masyarakat. Selanjutnya, beberapa sampel
yang selama dua minggu sebelumnya menderita sakit mereka 36,4% mereka memilih
untuk menemui dokter dan sisa nya memilih untuk melakukan pengobatan mandiri
ataupun tidak melakukan apa – apa untuk menyembuhkan penyakit mereka. Biaya
yang mahal bagi para pekerja sehingga tidak dapat membayar biaya pengobatan
25 Yingchun Peng, Wenhu Chang, Haiqing Zhou, Hongpu Hu dan Wannian Liang. 2010. “Factors
associated with health-seeking behavior among migrant workers in Beijing, China”. BMC Health
Services Research, Vol 10, Issue 69
Page 28
28
menjadi alasan utama pekerja migran memilih untuk melakukan pengobatan mandiri
maupun tidak melakukan apa – apa terhadap penyakitnya.
Pekerjaan para migran yang berbasis kontrak jangka pendek, para pekerja migran
mengalami penderitaan dari kehidupan yang tidak stabil. Sehingga membuat mereka
sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, baik untuk tempat tinggal maupun
melakukan investasi pada asuransi kesehatan. Bahkan sebanyak 3% pekerja yang
memiliki asuransi kesehatan, mereka masih memiliki akses yang sangat terbatas
terhadap layanan kesehatan karena tingkat keuangan mereka yang rendah. Studi ini
menunjukkan bahwa asuaransi memegang peran penting dalam perilaku mencari
kesehatan atau Health seeking behavior, hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian
besar populasi pekerja migran tidak memiliki asuransi dan harus membayar biaya
kesehatan mereka sendiri dengan biaya pengobatan yang meningkat sebesar 20,3%
dalam beberpa tahun terakhir. Mahalnya biaya pengobatan, menempatkan posisi
pekerja imigran menjadi tidak diuntungkan yang membuat mereka kesulitan untuk
mendapatkan akses layananan kesehatan ketika mereka tinggal dan bekerja di area
pinggiran kota.
Peneltian selanjutnya yang digunakan peneliti untuk penelitian sejenis ialah sebuah
penelitian yang memiliki judul Socio-Economic i differencesi andi Healthi seekingi
behaviori for the diagnosisi and treatmenti of malaria: a case studyi of four local
governmenti areas operating i the Bamako i initiative programme i in south-east
Page 29
29
Nigeria26. Penelitian pada jurnal ini berfokus melihat tentang apakah terdapat sebuah
perbedaan pada masyarakat ketika ingin melakukan diagnosa dan mengobati penyakit
malaria jika dilihat melalui keadaan sosial ekonomi masyarat dan perilaku masyarakat
dalam mencari kesehatan, dengan studi kasus penelitian pada empat area operasi
pemerintah lokal di wilayah Tenggara Nigeria dalam menjalankan program Bamako.
Untuk menentukan indeks atau tingkatan status sosial ekonomi masyarakat, peneliti
pada jurnal ini menggunakan tinkat aset kepemilikan dan pendapatan pada keluarga.
Analisis PCA (Primary Component Asset) atau analisis komponen utama dengan
berbagai input seperti kepemilikan alat elektronik, dan kendaraan pada rumah tangga
digunakan oleh peneliti jurnal ini untuk mendapatkan data mengenai status sosial
ekonomi yang tepat. Selanjutnya juga peneliti membagi klasifikasi status sosial
ekonomi masyarakt menjadi empat kategori dengan urutan terbawah yaitu rumah
tangga paling miskin yakni rumah tangga yang sama sekali tidak memiliki kendaraan
maupun alat elektronik, selanjutnya yaitu rumah tangga yang miskin, ketiga ada rumah
tangga yang cukup, dan yang terakhir ialah rumah tangga yang cukup dan
berkecukupan atau rumah tangga yang sejahtera.
Secara garis besar kesmipulan dari hasil yang dilihat dari analisa yang telah
dilakukan oleh peneliti melalui data – data yang telah dikumpulkan menunjukkan
26 Uzochukwo SC, Benjamin., Onwujekwe E, Obinna. 2004. “Socio-Economic differences and Health
seeking behavior for the diagnosis and treatment of malaria: a case study of four local government
areas operating the Bamako initiative programme in south-east Nigeria”. International Journal for
Equity in Health, Vol 3, Article 6.
Page 30
30
bahwa masyarakat secara umum melakukan diagnosa diri atau self diagnosis untuk
melakukan diagnosa dan perawatan terhadap penyakit malaria yang mewabah, diikuti
dengan diagnosis yang dihasilkan dari tes di laboratorium, petugas kesehatan yang ada
di masyarakat, dan tabib dari pengobatan tradisional. Self diagnosis atau diagnosa diri
paling umum dilakukan pada masyarakat yang rumah tangga nya memiliki status sosial
ekonomi di kategori miskin dan rumah tangga paling miskin.
Untuk melakukan pengobatan jika mereka terjangkit malaria, pilihan pertama
masyarakat ialah tidak langsung menuju ke pusat layanan kesehatan atau rumah sakit
melainkan mereka akan menggunakan obat – obatan yang dijual di toko. Terlihat dari
respon pada kuesioner juga bahwa mayoritas masyarakat lebih memilih fasilitas
kesehatan swasta sebagai fasilitas kesehatan yang akan mereka kunjungi pertama kali
jika obat – obatan yang dijual di toko dianggap tidak efektif, lalu baru diikuti menuju
ke fasilitas kesehatan pemerintah dan pengobatan tradisional. Hal tersebut
menunjukkan bahwa terdapat ketidakpercayaan masyarakat kepada fasilitas pusat
layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah, yang menjadi evaluasi
sebagai peningkatakan mutu dari program layanan kesehatan Bamako.
Page 31
31
Tabel I.1
Tabel Penelitian Sejenis NOi Nama
Penelitii
Jenis Pustaka/
Tahuni
Temuan pembahasani Metodologi
i
Juduli Analisisi
Persamaani Perbedaani
1 Aaiz Ahmed.,
dkk
Jurnali
Internasionali/
2017
Self diagnosis yang dilakukan oleh
mahasiswa Psikologi ini dengan didasari
oleh pengetahuan mereka serta informasi –
informasi yang mereka dapatkan dari
berbagai macam sumber informasi seperti
buku, internet, dan sebagainya. Sehingga
mereka melakukan diagnosa mandiri
terhadap gangguan kesehatan mental yang
mereka yakini bahwa mereka mendertia
penyakit tersebut
Metode
Kualitatif,
dengan
teknik
pengumpul
an data
melalui
wawancara
Self-diagnosisi
ini Psychologyi
Studenti
Studi ini memiliki
konsep dan tema
penelitian yang cukup
mirip dengan penelitian
yang akan diangkat,
seperti konsep
mengenai self diagnosis
(diagnosa mandiri)
yang digunakan.
Studi ini berbeda dengan
penelitian yang akan
dilakukan peneliti, dimana
pada studi ini
menggunakan metode
penelitian kualitatif dalam
mengkaji tema penelitian.
2 Even J.
Lanseng., dkk
Jurnal
Internasional/
2007
Studi ini membahas tentang bagaimana
kesiapan dan sikap masyarakat terhdap
penggunaan layanan jasa yang
menggunakan teknologi dalam bidang
kesehatan yaitu pada layanan aplikasi self-
diagnosis. Pengguna atau masyarakat
sudah memiliki kesiapan dan sikap yang
baik untuk menggunakan dan mengadopsi
layanan jasa berbasis teknologi dalam
bidang kesehatan sehingga layanan tersebut
bisa menyatu di masyarakat.
Kuantitaif,
kuesioner
dan
menggunak
an skenario
Electronic
healthcare: a
study of
people’s
readiness and
attitude toward
performing self-
diagnosis
Studi ini memiliki
fokus yang cukup sama,
yaitu dimana self
diagnosis dilakukan
menggunanan layanan
jasa berbasis teknologi
yang dapat
mempermudah
seseorang dalam
melakukan self
diagnosis di era saat ini.
Penelitian ini lebih menitik
beratkan pada kesiapan dan
sikap masyarakat dalam
proses pengenalan layanan
jasa di bidang kesehatan
yang berbasis teknologi
serta penggunaan teknik
pengumpulan data yang
menggunakan scenario
untuk melihat evaluasi dari sikap masyarakat terhadap
layanan jasa tersebut
3 Annemarie
Jutel., dkk
Jurnal
Internasional/
2015
Pada studi ini, self diagnosis atau diagnosa mandiri digunakan dan disarankan oleh
petugas ahli medis guna mencegah dan
mengendalikan sebuah wabah penyakit
yang terjadi. Namun, keakuratan diagnosa
Metode Kuantitatif,
dengan
survei
Self-diagnosis of influenza during
a pandemic: a
Fokus pada penelitian yaitu diagnosa mandiri
yang dilakukan
masyarakat untuk
Studi ini berusaha untuk memaparkan bagaimana
tingkat keakuratan dari
mandiri yang dilakukan
oleh masyarakat sebagai
Page 32
32
mandiri yang dialkukan oleh masyarakat
sangatlah rendah karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai gejala
dan penyakit influenza yang menyerang
dan mewabah di masyarakat.
cross-sectional
survey
mendeteksi kondisi
penyakit
bentuk untuk menekan
angka persebaran pandemi dan dalam mendeteksi
penyakit
3 Chizobam
Ani, MD dkk
Jurnal
Internasional/
2008
Studi ini berfokus pada apakah terdapat
korelasi pada self diagnosis terhadap
penyakit medis dan gangguan kesehatan
mental pada masyarakat minoritass yang
terlatar dan tidak mendapatkan layanan
kesehatan yang memadai. Hasil yang
ditemukan membuktikan bahwa, terdapat
korelasi namun tidak begitu kuat dengan
bukti bahwa masih ada masyarakat yang
memiliki penyakit medis maupun
gangguan kesehatan mental yang tidak
pernah sekalipun diperiksa secara formal
oleh tenaga ahli kesehatan maupun
psikiater. Hal tersebut yang membuat
mereka melakukan self diagnosis, faktor
lainnya ialah gejala penyakit yang sulit
untuk dideteksi dan asympomatis atau
bahkan tidak memiliki gejala
Kuantitatif,
Cross
Sectional
Correlates of
Self-diagnosis
of Chronic
Medical and
Mental Health
Conditions in
Under-Served
African
American and
Latino
Populations
Penelitian ini
memaparkan faktor
lainnya yang dapat
mempengaruhi
seseorang dalam
melakukan self
diagnosis, yakni akses
terhadap layanan
kesehatan yang sulit.
Membuat masyarakat
lebih memilih untuk
melakukan self
diagnosis.
Posisi konsep diagnosa
mandiri, menjadi variabel
atau fokus yang akan
dipengaruhi, berbeda
dengan penelitian yang
akan dilakukan peneliti
dimana self diagnosis
menjadi variabel yang
mempengaruhi.
4 Hannah L
Semigran.,
dkk
Jurnal
Internasional /
2015
Keakuratan diagnosa mandiri yang
dihasilkan dengan menggunakan aplikasi pada internet maupun layanan aplikasi
lainnya sangat rendah, namun dapat
memberikan saran triasse yang cukup baik
bagi pengguna aplikasi tersebut
Kuantitatif,
dengan
audit study
Evaluation of
symptom checkers for self
diagnosis and
triage: audit
study
Studi ini memaparkan
tentang keakuratan yang dihasilkan dari
sebuah aplikasi
diagnosa mandiri
sangat rendah sehingga
menunjukkan bahw
diagnosa mandiri dapat
berbahaya dan
menghadirkan
Studi ini berfokus untuk
melakukan evaluasi pada aplikasi layanan diagnosa
mandiri, berbeda dengan
penelitian yang akan
peneliti angkat dimana
akan befokus pada
seseorang yang melalukan
diagnosa mandiri
berdasarkan faktor lainnya.
Page 33
33
kekeliruan bagi
seseorang.
5 Denise A.
Copelton,.
dkk
Jurnal
Internasional/
2009
Studi ini berfokus pada bagaimana
perbandingan medical diagnosis dan self
diagnosis yang dilakukan oleh masyarakat dalam melihat gejala – gejala serta mencari
pengobatan terhadap penyakit autoimun.
Studi ini juga mampersembahkan
bagaimana proses sosial dari sebauh
diagnosis yang merupakan sebuah proses
negosiasi antara sudut pandang orang
awam dengan sudut pandang tenaga ahli
medis sehingga dapat menimbulkan konflik
Ketika seseorang tidak merasa puas dengan
diagnosa gejala penyakit yang mereka
dapatkan baik itu dari medical diagnosis
dan self diagnosis yang mereka lakukan,
meraka akan tetap mencari diagnosa yang menurut mereka dapat diterima sesuai
dengan standar yang mereka inginkan
Kualitatif,
wawancara
‘‘You don’t
need a
prescription to go gluten-free’’:
The scientific
self-diagnosis of
celiac disease
Studi ini menjelaskan
bagaimana self
diagnosis merupakan sebuah metode
diagnosa yang dapat
muncul karena ketidak
puasan pasien terhadap
diagnosa yang
diberikan oleh medical
diagnosis tidak sesuai
dengan harapan pasien
tersebut.
Penelitian ini
menggunakan metode
penelitian kualitatif dan juga bertujuan unutk
membandingkan diagnosa
medis dengan self
diagnosis yang pada
akhirnya muncul scientific
self diagnosis sebagai
metode diagnosa yang
posisi nya berda ditengah
antara self diagnosis
dengan medical diagnosis
6 Ressa Novita
Afandi,. dkk
Jurnal
Nasional/
2018
Studi pada jurnal ini menggunakan teori mengenai faktor – faktor yang
mempengaruhi perilaku dari Lawrence W.
Green sebagai dimensi yang akan
digunakan untuk meneliti perilaku pasien
dalam mencari kesehatan. Lawrence
mengungkapkan bahwa terdapat 3 faktor
yang mempengaruhi perilaku, faktor
pertama ialah faktor predisposisi
(predisposing factor) yang terdiri dari
pengetahuan dan sikap. Faktor kedua ialah
faktor kemungkinan (enabling faktor) yang
terdiri dari akses, yang faktor yang terakhir
Kuantitatif,
deksriptif
Health-Seeking Behavior of
Dengue
Hemorrhagic
Fever Patients
in
Several
Hospitals in
Bandung West
Java Indonesia
Penelitian ini terdapat fokus teori mengenai
health seeking behavior
yang sasama dengan
penelitian yang akan
diangkat oleh peneliti
dan bisa menjadi acuan
teori bagi peneliti
Studi ini menggunakan beberapa faktor yang
diagbungkan dengan
demografi sosial
masyarakat untuk
mengukur perilaku mencari
kesehatan masyarakat,
posisi health seeking
behavior pada penelitian ini
merupakan variabel yang
dipengaruhi
Page 34
34
ialah faktor yang memperkuat (reinforcing
factors) yaitu terdiri dari ekonomi dan
pendidikan.
7 Fatati Larasati Jurnal
Internasional/
2020
Penelitian ini menggunakan teori health
seeking behavior yang dikemukakan oleh Andersen, dimana pada teori tersebut
Andersen menunjukkan bahwa terdapat 6
respon dari seseorang ketika mengetahui
bahwa mereka mengalami gangguan
kesehatan atau sakit. Respon yang pertama
ialah dengan tidak melakukan apa – apa,
respon kedua ialah dengan melakukan
pengobatan mandiri, mencari pengobatan
tradisional adalah respon ketiga, keempat
ialah dengan membeli pengobatan dari
sebuah toko ataupun apotik, respon kelima
ialah dengan pergi ke fasilitas layanan
kesehatan seperti halnya rumah sakit dan
pusat kesehatan lainnya, dan respon
keenam ialah pergi ke fasilitas layanan
kesehatan yang lebih modern seperti
menemui dokter praktik khusus.
Kuantitatif,
deskriptif
Health seeking
behavior in Bulak Banteng,
Surabaya
Penelitian ini
memaparkan teori mengenai health
seeking behavior yang
sama dengan fokus
penelitian peneliti
sehingga dapat menjadi
acuan tambahan bagi
peneliti
Studi ini dilakukan pada
daerah Surabaya, yang mana berbeda dengan
penelitian yang akan
dilakukan peneliti yakni di
Jakarta. Serta studi ini
menggunakan demografi
sosial seperti umur, tingkat
pendidikan, pekerjaan dan
pemasukan keluarga untuk
mengukur perilaku.
8 Yingchun
Peng., dkk
Jurnal
Internasional/
2010
Studi ini secara garis besar membahas
tentang faktor – faktor yang mempengaruhi
perilaku mencari kesehatan diantara para pekerja migran di Beijing, China. Tidak
jauh berbeda dengan penelitian sejenis
yang sebelumnya, pada jurnal ini faktor
perilaku seseorang diukur dengan
menggunakan dan melihat dari
karakteristik demografi sosial para pekerja
migran.
Kuantitatif,
menyebar
angket
Factors
associated with
health-seeking behavior among
migrant workers
in Beijing,
China
Studi ini membahas
mengenai health
seeking behavior dan menujukkan faktor
lainnya dari hasil
penelitian yang dapat
digunakan sebagai
peneliti sebagai acuan
untuk menodorong
penelitian
Sama seperti sebelumnya,
penelitian ini menggunakan
demografis sosial masyarakat sebagai
variabel yang
mempengaruhi dari
perilaku mencari kesehatan
masyarakat.
Page 35
35
Hasil yang didpatkan dari studi ini
menunjukkan bahwa asuaransi memegang peran penting dalam perilaku mencari
kesehatan atau Health seeking behavior, hal
tersebut menunjukkan bahwa sebagian
besar populasi pekerja migran tidak
memiliki asuransi dan harus membayar
biaya kesehatan mereka sendiri dengan
biaya pengobatan yang meningkat sebesar
20,3% dalam beberpa tahun terakhir.
Mahalnya biaya pengobatan, menempatkan
posisi pekerja imigran menjadi tidak
diuntungkan yang membuat mereka
kesulitan untuk mendapatkan akses
layananan kesehatan ketika mereka tinggal
dan bekerja di area pinggiran kota.
9 Benjamini SC
Uzochukwo.,
dkk
Jurnal
iInternasional/
2004
Perbedaan tingkat sosial ekonomi pada
masyarakat tenggara Nigeria
mempengaruhi perilaku masyarakatnya
dalam mencari sebuah pengobatan dan
diagnosa terhadpa penyakit Malaria yang
mewabah di masyarakat. Serta perlu adanya peningkatan dalam layanan
kesehatan yang disediakan oleh pemerintah
agar masyarakat bisa dan lebih memilih
untuk menggunakan layanan yang
disediakan dibandingkan pergi ke rumah
sakit swasta
Kuantitatif,
kuesioner.
Socio-Economic
differences and
Health seeking
behavior for the
diagnosis and
treatment of malaria: a case
study of four
local
government
areas operating
the Bamako
initiative
programme in
south-east
Nigeria
Studi ini membahas
tentang perilaku
mencari pengobatan
pada masyarakat,
sehingga dapat menjadi
tinjauan sejenis dan
acuan bagi peneliti.
Penelitian ini
menggunakan status sosial
ekonomi sebagai variabel
independent yang
mempengaruhi seseorang
atau masyarakat dalam
melakukan self diagnosis.
Sumber: Hasil Olah Data Peneliti, 2020
Page 36
36
I.6. KerangkaiTeoritik
I.6.1. Konsep Self Diagnosisi (Diagnosa Mandiri)
Diagnosis dalam sebuah kesehatan merupakan hal yang umum dan sudah
sepaharusnya dilakukan oleh seorang dokter atau tenaga ahli medis untuk
menentukan kondisi kesehatan pasien dan melakukan pengobatan agar pasien
tersebut mendapatkan perawatan kesehatan yang seuai dan tepat. Annmarie Jutel
dalam Sociology of Diagnosis menjelaskan bahwa diagnosis merupakan salah satu
alat yang sangat penting dalam pengobatan dan juga menunjukkan bagaimana
kedokteran berperan dalam sebuah masyarakat. Pembahasan sosilogis melihat
bahwa diagnosis merupakan alat sosial yang kuat dengan keunikan fitur dan
dampak yang memiliki analisis spesifik nya tersendiri27.
Denise A Copelton dan Giuseppina Valle menjelaskan bahwa, seorang
pasien tidak selamanya akan menemukan diagnosa yang tepat yang berbanding
lurus dengan apa yang mereka inginkan dan jika seseorang yang memiliki gejala
penyakit yang tidak sesuai dengan standar diagnosa yang akan mereka mungkin
akan berusaha untuk mendapatkan diagnosa yang lainnya dengan menggunakan
informasi alternative seperti halnya melalui internet, dan sebagainya28.
Ketidakyakinan dan kurang percaya nya seseorang dengan diagnosa yang
27 McGann, PJ & Hutson, J David. “Sociology of Diagnosis (Advances in Medical Sociology) Volume
12. 2011. Howard House UK: Emerald Group Publishing Limited. Hlmn 4 28 Copelton, Denise A., dkk, .2009, Op.cit., Hlm 625
Page 37
37
diberikan oleh tenaga ahli medis dapat memicu seseorang dalam melakukan self
diagnosis dengan melihat dari gejala penyakit yang mereka rasakan lalu ditambah
dengan informasi alternatif yang mereka dapatkan atau miliki, fakta tersebut juga
dikemukakan oleh Robert Raffaeta dalam sebuah buku dengan melilhat sebuah
fenomena yang pernah terjadi pada masyarakat Italia, dimana masyarakat tersebut
melakukan diagnosa mandiri terhadap suatu penyakit alergi yang belum
terkonfirmasi kebenarannya oleh diagnosa medis. Diagnosis mandiri yang
dilakukan oleh masyarakat tersebut berdasarkan pengetahuan mereka tentang
patologi atau penyakit, dan informasi yang mereka dapatkan melalui media
ataupun melalui interaksi sosial29.
Self-diagnosis dijelaskan dalam sebuah model terapetik S-DTM pada
psikoparmakologi yang dikemukakan oleh Charlton B dimana self-diagnosis
digambarkan menjadi sebuah kesadaran dan kepedulian seorang individu terhadap
suatu penyakit atau gejala kesehatan lainnya yang membuat seseorang tersebut
merasa gelisah dan muncul perasaan tidak menyenangkan bagi dirinya, sehingga
membuat individu menjadi tergerak untuk melakukan identifikasi terhadap gejala
– gejala penyakit yang muncul pada dirinya secara spesifik sebagai dasar dari
identifikasi akan penyakit yang diderita30.
29 Fainzang, Sylvie., dkk. 2011, Op.Cit., Hlmn 10 30 Cahrlton, Bruce G. 2005. "Self-management of psychiatric symptoms using over-the-counter (OTC)
psychopharmacology: the S-DTM therapeutic model--Self-diagnosis, self-treatment, self-monitoring”.
Medical Hypotheses, Volume 65, Issue 5, Hlm 824.
Page 38
38
Aaiz Ahmed dan Stephen S juga menambahkan penjelasan definisi
mengenai konsep tersebut bahwa, diagnosa diri atau self diagnosis merupakan
sebuah tindakan pengamatan seseorang terhadap gejala – gejala penyakit atau
gangguan kesehatan yang mereka rasakan secara mandiri serta melakukan
identifikasi terhadap penyakit yang mereka rasakan hanya berdasarkan gejala –
gejala penyakit yang dirasakan tanpa bantuan tenaga medis maupun konsultasi
medis31. Annemarie Jutel dalam studi nya melihat fenomena self diagnosis yang
dilakukan oleh orang awam sebagai penentangan otoritas kedokteran, yang mana
otoritas yang dimiliki oleh seorang dokter menjadi menurun. Diagnosis merupakan
pusat dari praktik kedokteran itu sendiri, serta untuk menentukan peran dan
batasan antara pasien dan seorang dokter professional. Namun, self diagnosis
muncul dan mengaburkan perbedaan antara seorang pasien dan dokter tersebut32.
Setelah peneliti menelusuri beberapa jurnal dan literatur tentang self
diagnosis, peneliti melihat pada satu literatur buku yang membahas mengenai
Teori – teori perilaku, dengan melihat dan memahami hal – hal yang dapat
mempengaruhi seseorang dalam melakukan self diagnosis berdasarkan beberapa
jurnal literatur yang telah peneliti telusuri serta simpulkan. Teori Precede –
Proceed yang dikembangkan Lawrence Green, sesuai dengan indikator yang dapat
mempengaruhi self diagnosis. Lawrence Green membagi tiga faktor utama dalam
31 Ahmed, Aaiz., dkk. 2017, Op.cit., Hlmn 121 32 Jutel, Annemarie., dkk. 2015. Op.cit., Hlmn 1
Page 39
39
teori nya Precede yaitu predisposing, enabling, dan reinforcing33. Dijelaskan lebih
lanjut mengenai ketiga faktor tersebut dalam sebuah jurnal penelitian, dimana
faktor pertama yaitu faktor predisposisi adalah faktor yang terbentuk pada
pengetahuan dan sikap. Lalu faktor kedua atau faktor pemungkin adalah faktor
yang terbentuk dari sebuah akses terhadap informasi maupun layanan – layanan di
bidang kesehatan. Terakhir adalah faktor penguat yang terbentuk dalam hal yang
menjadi panutan refrensi dari perilaku masyarakat34.
Sehingga faktor – faktor yang mempengarui self diagnosis berdasarkan
teori perilaku Lawrence Green dan penelitian – penelitian yang telah peneliti
telusuri yakni sebagai berikut:
A. Predisposisi (Predisposing factors)
Berdasarkan jurnal – jurnal dan literature lainnya dengan tema
pembahasan self diagnosis, terdapat faktor predisposing yang
mempengaruhi dan mendorong seorang individu melakukan self
diagnosis. Indikator pertama pada faktor ini ialah pengetahuan
(knowledge) mengenai kesehatan dan penyakit yang dimiliki oleh seorang
individu. Sebelumnya telah dijelaskan tentang bagaimana Robert
Raffaeta melihat sebuah penyakit alergi yang muncul di masyarakat dan
33 Notoatmodjo, Soekidjo. “Ilmu Perilaku Kesehatan Cetakan Kedua”. 2014. Jakarta: PT RINEKA
CIPTA. Hlm 75 34 Affandi, Novita Ressa., dkk. 2018, Op.cit., Hlmn 122
Page 40
40
orang – orang tersebut melakukan self diagnosis. Robert Raffaeta
mengatakan bahwa self diagnosis yang dilakukan oleh orang – orang
tersebut didasarkan atas pengetahuan patologi yang mereka miliki35.
Charlton B juga menegaskan hal tersebut bahwasanya untuk
mendapatkan diagnosa yang berguna unutk nantinya melakukan
pengobatan mandiri, maka seseorang perlu memiliki pengetahuan tentang
kemungkinan munculnya gejala agar sehingga bisa menemukan
pengobatan yang potensial36. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Annemarie Jutel, dkk dimana kurangnya tingkat
keakuratan self diagnosis yang dilakukan oleh masyarakat pada situasi
pandemi dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
penyakit yang mewabah sehingga keakuratan self diagnosis yang
dilakukan tidak akurat37.
Persepsi penyakit seseorang menjadi indikator kedua pada faktor
Predisposing sebagai suatu sikap (attitude) yang dapat mempengaruhi
seseorang individu dalam melakukan self diagnosis, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa ketika seorang pasien tidak setuju dan tidak
bisa menerima diagnosa yang didapatkan dari tenaga ahli medis karena
35 Fainzang, Sylvie, loc.cit 36 Cahrlton, Bruce G. 2005, Op.cit., Hlmn 825 37 Jutel, Annemarie., dkk. 2015,Op.cit., Hlmn 5
Page 41
41
tidak sesuai dengan apa yang mereka rasakan, maka mereka akan
mencoba untuk mencari diagnosa lainnya melalui cara alternative dengan
menggunakan informasi yang mereka dapatkan. Hal ini juga
membuktikan bahwa terdapat ketidak puasan pada diri seorang pasien
ketika menerima diagnosa dari seorang tenaga ahli medis dalam
menentukan diagnosis terhdap kondisi serta gejala penyakit yang
dirasakan.
Persepsi penyakit seseeorang dapat diukur dengan beberapa aspek
atau unsur pada cognitive representation of illness yang dipaparkan pada
sebuah jurnal, yakni terdapat beberapa unsur untukmelihat bagaimana
persepsi penyakit pada seseorang yaitu38; 1) Identifikasi atau
pengenalan, yaitu labelisasi seseorang untuk dapat membentuk
gambaran penyakit dan gejala – gejala penyakit yang dirasakan.
Contohnya seperti tanda – tanda yang menggambarkan gejala penyakit
yang muncul pada seseorang terkena flu seperti batuk – batuk; 2)
konsekuensi, efek serta dampak dari penyakit yang dirasakan. Contohnya
ialah seseorang merasa letih dan tidak bergairah pada saat beraktivitas
sehingga penyakit tersebut dapat mengganggu aktivitas seseorang; 3)
penyebab, yaitu sebuah asumsi seseorang tentang apa yang menjadi sebab
38 Broadbent, Elizabeth., Petrie J, Keith., Main, Jodie., Weinman, John. 2006. “The Brief Illness
Perception Questionnaire”. Journal of Psychosomatic Research, Volume 60, Issue 6, Hlmn 631
Page 42
42
dari gangguan kesehatan tersebut. Seperti munculnya rasa cemas terhadap
penyakit yang diderita dan pengaruh dari sebuah penyakit terhadap emosi
penderita; 4) jangka waktu, yaitu mengenai berapa lama seseorang
percaya penyakitnya muncul dalam kondisi tubuhnya; 5) Pemulihan dan
Pengendailan, kepercayaan seseorang dan bagaimana seseorang itu
memperoleh kesembuhan dari gangguan kesehatannya itu.
B. Pemungkin (Enabling Factors)
Selain predisposisi, self diagnosis juga dipengaruhi oleh faktor
pemungkin yang mendukung seorang individu dalam melakukan
diagnosa mandiri tersebut. Indikator pertama pada faktor eksternal yang
mempengaruhi seseorang dalam melakukan self diagnosis ialah akses
individu kepada sumber informasi, dimana seseorang akan mencoba
mencari informasi mengenai suatu penyakit atau kondisi kesehatan
mereka. Copelton dan Valle mengemukakan bahwasanya ketika seorang
pasien untuk menolak dan tidak setuju untuk menerima diagnosa yang
diberikan oleh tenaga ahli medis mereka mungkin akan mencari opsi
diagnosa lainnya dari tenaga ahli medis yang lain atau berbelok untuk
Page 43
43
menggunakan informasi alternatif seperti internet, books, dan yang
lainnya39.
Hannah L Semigran, dkk juga menjelaskan dalam penelitiannya
bahwa beberapa pasien meneliti tentang kondisi kesehatan nya secara
online yang dimotivasi oleh rasa takut40. Lebih jelas lagi, Copelton dan
Valle mengemukakan bahwa gejala yang tidak dapat dijelaskan, diagnosa
medis yang tidak memuaskan bagi pasien, akes terhadap informasi medis,
dan sebuah komunitas yang mendukung self help dapat mendorong
individu untuk membentuk praktik epistimologi dan self diagnosis41.
C. Penguat (Reinforcing Factors)
Faktor selanjutnya ialah faktor penguat atau faktor pendorong, faktor
penguat yang menjadi refrensi dari self diagnosis yang dilakukan oleh
seorang individu ialah medical diagnosis, terkait apakah seorang pasien
menolak dan merasa tidak puas atas diagnosa yang mereka dapatkan dari
diagnosa yang dilakukan oleh tenaga ahli medis sehingga mereka mencari
berbagai pilihan lain untuk memperoleh diagnosa yang dapat memuaskan
mereka baik melalui tenaga ahli medis lainnya ataupun melalui cara
39 Copelton, Denise A., Valle, Giuseppina. 2009. “You don’t need a prescription to gluten-free: The
scientific self-diagnosis of celiac disease”. Social Science & Medicine, Volume 69, Issue 4, Hlmn 625 40 Semigran, Hannah L., dkk. 2015, Op.cit., Hlmn 8 41 Copelton, Denise A., Valle, Giuseppina, Op.cit., 2009, Hlmn 626
Page 44
44
alternatif yaitu self diagnosis dengan menggunakan informasi – informasi
yang mereka dapatkan. Dalam penjelasannya juga dijelaskan bahwa
faktor penguat terbentuk dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan42.
Copelton dan Valle juga mengemukakan bahwa seseorang yang
melakukan self diagnosis tetap melanjutkan untuk mencari medical
diagnosis dari seorang dokter atau petugas kesehatan atau mencari
metode diagnosis alternatif yang masih memiliki cap sains, sehingga
dengan begitu dapat pasien tersebut dapat merasakan legitimasi dari
diagnosis tersebut43.
I.6.2. Konsep Perilaku iPencarian iKesehatan (Healthi Seekingi Behaviori)
Perilaku secara umum memiliki pengertian yaitu tindakan yang dilakukan
oleh seseorang dan memiliki hubungan dengan lingkungan nya maupun dirinya
sendiri. Skinner dalam buku Ilmu Perilaku Kesehatan mengemukakan tentang
perilaku yang merupakan sebuah respons atau reaksi dari seseorang terhadap suatu
stimulus (rangsangan dari luar)44. Notoadmodjo dalam bukunya menjelaskan
mengenai Health seeking behavior atau perilaku mencari pengobatan adalah
perilaku atau tindakan seseorang yang mengalami masalah dalam kesehatan nya
atau mendirita suatu penyakit, dimana seseorang tersebut berusaha untuk
42 Notoatmodjo, Soekidjo. 2014, Op.cit., Hlmn 76 43 Copelton, Denise A., Valle, Giuseppina, loc.cit 44 Notoatmodjo, Soekidjo. 2014. Op.cit., Hlmn 20
Page 45
45
memperoleh kesembuhan terhadap penyakitnya dan memecahkan masalah
kesehatan pada tubuhnya45.
Ketika seseorang tidak merasakan sakit tetapi sebenernya mereka
menderita gangguan kesehatan (disease but no illness) mereka akan cenderung
untuk tidak melakukan tindakan apa - apa terhadap penyaktinya atau menunda
pencarian pengobatan. Namun ketika mereka diserang atau menderita suatu
penyakit dan merasakan gejala dari penyakit tersebut, maka mereka baru akan
sadar dan timbul berbagai macam perilaku dan berusaha untuk menyembuhkan
penyakit tersebut. Teori Anderson dalam buku ilmu perilaku kesehatan
menjelaskan respon – respon masyarakat apabila terjangkit penyakit untuk
mencari kesehatan yakni sebagai berikut46:
a. Tidaki bertindaki ataui melakukani apa – apai terhadap
pernyakit yang dirasakan (noiaction).
Respon pertama ini ialah respon dimana seseorang lebih memilih
untuk melupakan penyakit yang mereka derita dengan alasan seseorang
ialah bahwa kondisi penyakit yang mereka rasakan tidak menganggu
kegiatan rutinitas mereka sehari – hari. Mereka lebih memilih untuk
melakukan dan memprioritaskan pekerjaan dan kegiatan rutinitasnya,
karena mereka mungkin sudah memiliki anggapan mengenai penyakit
45 Ibid, Hlmn 24 46 Ibid, Hlmn 107 – 108
Page 46
46
yang mereka derita akan menghilang dengan sendirinya tanpa perlu
diobati. Namun, terdapat alasan lain yang biasa kita sering dengar ketika
seseorang menunda mencari pengobatan untuk penyakitnya dan lebih
memilih untuk tidak melakukan apa – apa, seperti letak fasilitas kesehatan
yang jauh, petugas kesehatan yang kurang berkesan baik, takut biaya
mahal atau bahkan takut untuk mengunjungi rumah sakit.
b. Melakukan Pengobatan Secara Mandiri atau Swamedikasi (self-
treatment)
Alasan seseorang mengapa ia melakukan pengobatan secara mandiri
ialah mereka memiliki kepercayaan diri yang didasari dari pengalaman
mereka dalam melakukan pengobatan pada penyakit yang pernah mereka
derita, dan pengobatan yang mereka berhasil. Pengalaman swamedikasi
yang berhasil tersebut membuat mereka beranggapan bahwa mereka tidak
perlu pergi untuk mencari pengobatan ke fasiltias atau layanan kesehatan
hanya untuk memperoleh kesembuhan bagi penyakit yang di derita nya.
Bentuk – bentuk swamedikasi atau pengobatan mandiri yang sudah cukup
umum dilakukan dan dipraktikan oleh masyarakat antara lain dibagi
menjadi tiga pola yaitu47:
47 Notoatmodjo, Soekidjo. 2014. Op.cit., Hlm 107 – 108
Page 47
47
A. Menggunakan obat – obatan modern yang biasa dan bisa mereka
dapatkan dengan mudah di warung – warung terdekat atau di apotik.
B. Menggunakan obat – obatan tradisional yang biasanya mereka
ramu atau buat sendiri dengan berbagai macam rempah ataupun yang
bisa mereka dapatkan juga di warung – warung seperti jamu racikan.
C. Terakhir yaitu menggunakan obat – obatan lainnya, obat – obatan
ini berbeda dari kedua obat yang telah dijelaskan sebelumnya. Obat
– obatan lainnya yang dimaksud adalah obat – obatan yang
didapatkan dari dukun, paranormal dan sebagainya yang berupa air
dan benda – benda lain yang diberi mantra.
c. Melakukan Pengobatan Untuk Memperoleh Kesembuhan
dengan Pergi ke Fasilitas atau Layanan Pengobatan Tradisional
(traditionaliremedy)
Pemilihan pengobatan tradisional masih cukup tinggi peminatnya
bagi masyarakat pedesaan yang dimana ditempat tinggal nya belum
terjangkau fasilitas kesehatan pemerintah atau sudah ada fasilitas layanan
kesehatan yang formal namun masyarakat desa yang masih percaya pada
pengobatan tradisional karena sudah menjadi tradisi turun – temurun.
Bagi masyarakat pedesaan yang notabane masih sederhana, masalah
kondisi tubuh sehat atau sakit masih dianggap dan bersifat budaya
dibanding gangguan – gangguan fisik.
Page 48
48
Seiring berjalannya waktu, pengobatan tradisional mengalami
kemajuan dan beberapa pengobatan tradisional telah mendapatkan
sertifikasi yang diuji oleh pengobatan konvensional, pengobatan tersebuti
yaitu bernama CAM atau Complementary Alternative Medicine. Pada
sebuah jurnal, mengutip deifnisi yang dikemukakan oleh national center
of complementary and alternative medicine bahwa CAM merupakan
suatu pengobatan yang terdiri dari berbagai macam pengobatan, produk
dan praktik pengobatan CAM bukan bagian dari pengobatan
konvensional48.
Penjelasan tenang CAM ini juga dipaparkan oleh WHO yang dikutip
dalam sebuah jurnal, dimana praktik pengobatan CAM ini melihat pada
sebuah rangkaian praktik pengobatan yang luas namun praktik tersebut
bukan bagian dari sebuah praktik pengobatan yang ada secara luas seperti
hanya praktik pengobatan konvensional. Contoh bentuk - bentuk dari
CAM ini sendiri meliputi pengobatan tradisional china dan sebagainya
seperti halnya yaitu praktik akupuntur, produk - produk pengobatan yang
alami, perawatan dan pengobatan herbal dan sebagainya49. Alasan
seseorang memilih pengobatan CAM ini dikarenakan mereka merasa
48 Satria, Darma. 2013. “Complementary and Alternative Medicine (CAM): Fakta atau Janji?”. Idea
Nursing Journal, Vol. IV, No. 3, Hlm 83. 49 Tavares, Isabel Aida. 2015. “Subtitutes or complements? Diagnosis and Treatment with Non-
conventional and Conventional Medicine”. International Journal of Health Policy and Management,
Vol. 4, Issue 4, Hlm 235.
Page 49
49
tidak puas dan kurang percaya dengan pengobatan modern serta ada nilai
– nilai dan keyakninan yang dimiliki oleh masyarakat50.
d. Melakukan Tindakan Pengobatani kei Fasilitasi Pengobatani
Moderni (Conventional)
Sarana pengobatan konvensional atau pengobatan modern dan
pengobatan barat (western medicine) ini secara umum memiliki definisi
yaitu merupakan pengobatan dengan menggunakan alat - alat modern
yang telah modern dan terus mengalami pembaruan serta diagnosa
penyakit berdasarkan tes ilmiah yang dilakukan. Pada sebuah jurnal
dijelaskan bahwa pengobatan modern atau pengobatan yang dilakukan
oleh profesional merupkan metode pengobatan untuk menghasilkan
kesembuhan bagi tubuh seseorang yang dilakukan berdasarkan dengan
bukti dari penelitian ilmiah yang telah dilakuan serta berdasarkan
pengetahuan dari berbagai aspek klinis dan medis. Obat – obatan yang
digunakan pada pengobatan professional ini semuanya berdasarkan hasil
uji klinis yang dilakukan untuk akhirnya bisa memproduksi obat yang
cukup akurat dalam melakukan penyembuhan penyakit dan juga memiliki
fungsi yang dapat dibuktikan secara ilmiah dan secara medis. Pengobatan
modern ini juga memiliki prosedur dengan langkah – langkah yang sesuai
50 Ibid, Hlm 235 – 236.
Page 50
50
dan konkrit dan terus ditingkatkan sesuai dan seiring dengan kemajuan
zaman dan teknologi51.
I.6.3. Teori The Sick Role, Talcott Parsons
Parson dalam kontribusi nya pada sosilogi kesehatan,
mengkonseptualisasikan the sick role dengan didasari atas dua pengembanagn
yaitu bagi American Medicine dan pengembangan bagi sosiologi. Parson
mengembangkan teori yaitu teori tindakan voluntarisik atau teori tindakan
sukarela, dimana ia mengajukan argument bahwa individu memiliki pilihan untuk
membuat pengalaman dan relasi sosial. Parsons berpendapat bahwa, bisa saja
seseorang dapat secara sukarela memutuskan untuk sakit dengan maksud dan
tujuan aktor tersebut yaitu agar mengadopsi sick role atau peran sakit dengan cara
menyimpang untuk menghindari segala persyaratan kehidupan sosial mereka.
Seseorang mungkin memilih untuk sakit karena itu bisa membebaskan mereka dari
beban kehidupan sosial52.
Hal tersebut sesuai dengan elemen dasar dari teori voluntaristik dimana
seorang aktor berusaha memilih atau berperilaku yang mereka inginkan untuk
memaksimalkan keuntungan transaksi mereka dengan aktor lainnya. Lebih
jelasnya, Parson mengemukakan bahwa the sick role atau peran sakit dilihat bukan
51 Yulianti., Moita, Sulsalman., Upe, Ambo. 2018. “Konstruksi Sosial Dalam Praktik Pengobatan Oleh
Dukun dan Medis”. Neo Societal, Vol. 3, No. 2, Hlm 375 52 White, Kevin. “An Introduction to the Sociology of Health and Illness”. 2002. London: Sage
Publications Ltd, Hlm 111 – 112
Page 51
51
melalui perasaan subjektif, melainkan oleh reaksi dari orang lain dan dari pola
tindakan yang ditunjukkan oleh aktor yang memang sedang sakit53.
Parsons juga mengungkapkan bahwa terdapat hak dan kewajiban dari
seorang aktor yang sedang memegang peran sakit atau sick role. Pada sisi hak,
individu tidak disalahkan dan dibebaskan dari tanggung jawab peran baik itu
tanggung jawab domestik hingga tanggung jawab seperti mengahruskan seorang
aktor mengambil cuti sakit dari dari pekerjaannya. Namun kewajiban tersebut
hanya dapat disahkan seusai dengan syarat. Lalu pada sisi kewajiban ialah seorang
aktor harus mencari bantuan yang kompeten secara teknis untuk mengobati
penyakitnya serta mematuhi rekomendasi dari para ahli yang mereka temui54.
53 Ibid, 54 Collyer, Fran. “The Palgrave Handbook of Social Theory in Health, Illness and Medicine”. 2015.
London: Palgrave Macmillan, Hlmn 213.
Page 52
52
I.6.4. Kerangka Berpikir
Skema I.1
Alur Pemikiran Peneliti
Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2020
Page 53
53
I.7. Hipotesis Penelitian
Lawrence Neumann dalam buku nya menjelaskan bahwa hipotesis adalah sebuah
proposisi teori yang belum diuji atau diverivikasi kebeneraan nya dengan bukti empiris,
sehingga hipotesis banyak digunakan dalam teori deduktif dan dapat dinyatakan
sebagai sebuah prediksi55. Hipotesis dalam sebuah penelitian kuantitatif sangat
diperlukan untuk menjadi prediksi – prediksi atau dugaan yang dibuat peneliti untuk
hasil keseluruhan dari kedua variabel yang akan diuji, seperti yang telah dijelaskan oleh
Neumann tersebut.
Penelitian ini memiliki dua variabel yang akan diteliti yaitu meliputu: satu
variabel bebas (X) dan satu variabel terikat (Y). Variabel self diagnosis atau diagnosa
mandiri menjadi variabel X, sedangkan variabel perilaku mencari pengobatan menjadi
variabel Y.
Sumber: Analisis Peneliti, 2020
Untuk menguji dan mengukur kebenaran dari penelitian yang akan dilakukan ini,
maka hipotesa yang dibuat oleh peneliti ialah sebagai berikut:
H0 : Self diagnosis tidak memiliki pengaruh terhadap perilaku pencarian
pengobatan
55 Neumann, Lawrence. W. 2014, op.cit., Hlm 68
Skema 1.2 Model Analisis
Self diagnosis (X1) Perilaku Mencari
Pengobatan (Y1)
H1
Page 54
54
H1 : Self diagnosis memiliki pengaruh terhadap perilaku pencarian
pengobatan
I.8. Metodologi Penelitian
I.8.1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Untuk membahas penelitian ini, metode pendekatan penelitian yang
digunakan ialah metode penelitian kuantitatif. Creswell menjelaskan mengenai
penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk melakukan
pegujian terhadap sebuah teori tertentu dengan cara melakukan penelitian pada
hubungan antar variabel dengan menggunakan instrumen – instrumen penelitian
yang akan menghasilkan data berupa angka – angka dan selanjutnya akan
dianalisis menggunakan statistik56. Adapun metode penelitian yang akan
digunakan oleh peneliti untuk melakukan penelitian ini ialah dengan metode
survey, dimana data – data dikumpulkan secara sistematis dari sampel – sampel
untuk mewakili hasil dari keseluruhan populasi. Data dikumpulkan dari responden
dengan menggunakan kuesioner atau angket, tujuan dari penelitian ini yaitu
eksplanatif yakni bertujuan untuk menguji hubungan antara variabel bebas dengan
variabel terikat. Pada penlitian ini, variabel (X) atau variabel bebas adalah self
diagnosis dan variabel (Y) atau variabel terikat adalah perilaku mencari
pengobatan (health seeking behavior).
56 John. W, Creswell. 2014. “Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Method Approaches
4th Edition”. United States Of America: SAGE Publications. Hlmn 4
Page 55
55
I.8.2. Lokasii dani Waktui Penelitiani
Lokasi dan waktu penelitian menjadi unsur penting dalam menentukan
pengambilan populasi dan sampel yang akan dijadikan responden untuk akhirnya
menjadi data bagi peneliti serta disiplin terhadap target waktu penelitian yang
peneliti perkirakan dan gunakan. Sesuai dengan fokus peneliti pada penelitian ini,
dimana penelitian ini akan berlokasi di DKI Jakarta. Sesuai dengan unit analisis
yang akan peneliti teliti yaitu para pemuda produktif. Waktu penelitian pada
penelitian ini kurang lebih dilaksanakan selama 3 bulan terhitung dari bulan Mei
2020 hingga bulan Juli 2020.
I.8.3. Populasii dani Sampeli Penelitiani
Lawrence Neuman menjelaskan mengenai populasi dan sampel, dijelaskan
bahwa sebuah populasi merupakan kumpulan gagasan abstrak dari kelompok -
kelompok besar yang peneliti akan mengambil sebuah sampel dan akan
digeneralisasi57. Neuman juga menjelaskan mengenai sampel yang didefinisikan
sebagai perangkat dalam sebuah kasus kecil yang akan diambil oleh peneliti dari
sekelompok besar yang telah ditentukan dan akan nantinya akan di generalisasi ke
dalam sebuah populasi58. Pengambilan sampel dalam sebuah penelitian merupakan
hal yang paling penting dalam sebuah penelitian dengan pengambilan sampel yang
paling utama ialah mengambil sampel yang representatif, yakni sampel yang dapat
57 Neumann, Lawrence. W. “Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches
Seventh Edition”. 2014. Harlow: Pearson Education Limited. Hlmn 247 58 Ibid, Hlmn 246
Page 56
56
menggambarkan secara jelas tema penelitian yang ada bagi populasi serta sampel
yang mereproduksi atau mewakili temuan – temuan menarik dalam sekelompok
besar populasi.
Populasi yang digunakan dalam penelitian peneliti berdasarkan subjek
penelitian yang akan diteliti, dalam hal hini peneliti mengambil subjek penelitan
pada pemuda produktif. Subjek penelitian adalah masyarakat yang bertempat
tinggal di DKI Jakarta, agar data yang didapatkan peneliti menjadi lebih
proporsional. Langkah pertama yang peneliti lakukan ialah dengan melihat data
yang dipublikasi oleh BPS mengenai jumlah penduduk DKI Jakarta yang berusia
20 – 39 tahun berdasarkan kabupaten/kota tahun 2019 sebagai berikut:
Tabel I.2
Penduduk DKI Jakarta Usia 20 – 39 Tahun Menurut Kelompok Kota Pada
Tahun 2019
Kabupaten/Kota Jumlah Masyarakat Usia 20 – 39 Tahun
Kepulauan Seribu 7.032
Jakarta Utara 658.552
Jakarta Pusat 305.800
Jakarta Timur 1.000.128
Jakarta Barat 942.706
Jakarta Selatan 777.904
Jumlah 3.692.122
Sumber: Jakarta.bps.go.id, 2020
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa Kota Administrasi Jakarta Timur memiliki
jumlah masyarakat Usia 20 – 39 tahun lebih besar dibandingkan dengan Kota
Administrasi lainnya di Provinsi DKI Jakarta. Maka dengan begitu, peneliti
Page 57
57
menetapkan jumlah masyarakat usia 20 – 39 tahun sebagai populasi penelitian. Kota
Administrasi Jakarta Timur terdiri dari 10 kecamatan yaitu Cakung, Cipayung, Ciracas,
Duren Sawit, Jatinegara, Kramat Jati, Makasar, Matraman, Pasar Rebo dan Pulo
Gadung.
Selanjutnya, berdasarkan data yang didapatkan peneliti melalui situs web Jakarta
Open Data, mengenai data jumlah penduduk usia kerja berdasarkan jenis kelamin dan
kelompok umur per kelurahan untuk tahun 2018 yang telah diperbarui atau di update
terakhir tanggal 17 Maret 2020. Maka didapati jumlah pemuda & pemudi usia produkif
20 – 39 tahun untuk setiap kecamatan Kota Administrasi Jakarta Timur ialah sebagai
berikut:
Tabel I.3
Penduduk Kota Administrasi Jakarta Timur Menurut Kelompok Usia &
Kecamatan
Kecamatan Jumlah Penduduk Usia 20 – 39 Tahun
Cipayung 93.275
Ciracas 102.848
Makasar 72.404
Duren Sawit 140.555
Cakung 191.328
Pasar Rebo 76.881
Kramat Jati 101.782
Jatinegara 104.840
Pulo Gadung 96.737
Matraman 58.752
Jumlah 1.039.402
Sumber: Data.Jakarta.go.id, 2020
Page 58
58
Berdasarkan tabel I.3, jumlah keseluruhan penduduk yang berusia 20 tahun hingga
39 tahun pada Kota Administrasi Jakarta Timur ialah 1.039.402 jiwa. Maka dengan
jumlah tersebut, untuk menentukan jumlah sampel minimum dalam penelitian ini.
Peneliti menggunakan perhitungan rumus Slovin dengan tingkat kepercayaan sebesar
85% dan margin error sebesar 15%, sehingga perhitungan untuk menentukan jumlah
sampel minimal pada penelitian ini ialah sebagai berikut:
Keterangan:
n= ukuran sampel
N= ukuran populasi
e= Error (% yang ditoleransi dengan ketidaktepatan penggunaan sampel)
𝑛 = 1.039.402
1 + 1.039.402(0,15)2
𝑛 = 1.039.402
23.387,545
𝑛 = 44,443
Hasil perhitungan didapatkan bahwa minimal jumlah responden yaitu berjumlah
44 orang, namun peneliti bulatkan menjadi berjumlah 45 responden yang sesuai dengan
karakteristik dan kriteria yang ditetapkan. Berdasarkan data pada tabel I.3, maka
Page 59
59
perhitungan sampel yang akan diambil peneliti agar lebih proporsional, ialah dengan
perhitungan rumus Slovin sebagai berikut:
Jumlah sampel tiap kecmatan = jumlah sampel/jumlah populasi x jumlah
masyarakat berusia 20 – 39 tahun.
Tabel I.4
Perhitungan Jumlah Sampel Proporsi Tiap Kecamatan Kecamatan Perhitungan Jumlah Sampel
Cipayung 45/1.039.402 x 93.275= 4,0 4
Ciracas 45/1.039.402 x 102.848= 4,4 4
Makasar 45/1.039.402 x 72.404= 3,1 3
Duren Sawit 45/1.039.402 x 140.555= 6,0 6
Cakung 45/1.039.402 x 191.328= 8,2 8
Pasar Rebo 45/1.039.402 x 76.881= 3,3 3
Kramat Jati 45/1.039.402 x 101.782= 4,4 5
Jatinegara 45/1.039.402 x 104.840= 4,5 5
Pulo Gadung 45/1.039.402 x 96.737= 4,1 4
Matraman 45/1.039.402 x 58.752= 2,5 3
Jumlah 45
Sumber: Hasil Olah Data Peneliti, 2020
Alasan peneliti mengambil subjek penelitian dengan rentang usia 20 – 39 tahu ini
ialah karena peneliti melihat dari statistik data penggunaan internet yang menunjukkan
usia produktif sebagai usia yang paling banyak dalam penggunaan akses internet untuk
mencari informasi serta memiliki smartphone. Dengan begitu, dapat menujukkan
bahwa mereka dapat akses terhadap informasi mengenai kesehatan dari penggunaan
internet yang mereka lakukan, sehingga hal tersebut dapat sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan peneliti.
Page 60
60
Peneliti lebih mengutamakan subjek penelitian dengan kriteria tertentu sesuai
dengan teknik sampling yang peneliti gunakan yaitu nonprobability sampling, lebih
spesifik yaitu Snowball Sampling, Lawrence Neumann menjelaskan bahwa
pengambilan sampel bola salju disebut juga sampel jaringan adalah metode
pengambilan sampel atau pemilihan kasus dalam sebuah jaringan. Sampel nonramdom
ini menggunakan analogi bola salju, yang awalnya kecil semakin lama menjadi lebih
besar, pengambilan sampel bola salju ini merupakan pengambilan sampel multi stage,
dimulai dengan beberapa orang atau kasus dan menyebar berdasarkan tautan ke kasus
awal59. Sehingga, peneliti memutuskan melakukan penjaringan subjek penelitian yang
memiliki karakteristik tertentu, dimana penjaringan subjek penelitian berdasarkan
karakteristik dan kriteria sebagai berikut:
1. Pemuda & pemudi yang memiliki atau berusia produktif dari 20 – 39
tahun
2. Mengalami gejala penyakit atau menderita sakit dalam dua bulan
terakhir
3. Melakukan diagnosa mandiri berdasarkan informasi yang didapatkan
melalui pencarian mengenai gejala penyakit dan gangguan kesehatan
yang diderita menggunakan berbagai media informasi tentang
59 Neumann, Lawrence. W. 2014, op.cit., Hlm 275
Page 61
61
kesehatan khususnya dari penggunaan mesin pencarian yang tersedia
di internet atau aplikasi pada smartphone.
I.8.4. Operasionalisasii Konsepi
Sub bab sebelumnya telah dijelaskan dan dipaparkan mengenai konsep –
konsep yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini, kosep tersebut akan
digunakan peneliti tersebut akan peneliti gabungkan dan membentuk sebuah tabel
operasionalisasi konsep. Konsep – konsep yang digunakan peneliti antara lain
adalah konsep diagnosa mandiri (self diagnosis), dimana menurut teori pengaruh
perilaku Precede yang dikemukakan oleh Lawrence Green, terdapat tiga faktor
yang memepengaruhi yaitu, Faktor predisposisi, faktor kemungkinan, dan faktor
penguat60. Konsep kedua adalah konsep perilaku seseorang dalam mencari
pengobatan (health seeking behavior), yakni menurut Teori Andersen terdapat
empat respon masyarakat untuk menyembuhkan suatu penyakit yang diderita yaitu
dengan tidak melakukan pengobatan apa – apa, melakukan swamedikasi,
menggunakan pengobatan tradisional dan pengobatan modern61.
60 Notoatmodjo, Soekidjo. 2014, op.cit., Hlm 75 61 Larasati, Fatati. 2020, op.cit., Hlm 2
Page 62
62
Tabel I.5
TabeliOperasionalisasii Konsepi Konsep Variabel Dimensi Indikator Kategori Pengukuran
Variabel Independen
Konsep Self diagnosis
Tingkat Self-diagnosis
Faktor Predisposisi I. Pengetahuan II. Sikap
Baik
Buruk
Ordinal
Faktor Kemungkinan
I. Akses terhadap informasi kesehatan Baik
Buruk
Ordinal
Faktor Penguat I. Medical Diagnosis Baik
Buruk
Ordinal
Variabel Dependen
Konsep Perilaku
Mencari Pengobatan
(health seeking
behavior)
Tingkat Perilaku
Mencari Pengobatan
Tidak melakukan pengobatan apa apa
(No action)
I. Alasan dalam memilih untuk tidak melakukan pengobatan apa – apa
Tinggi
Rendah
Ordinal
Swamedikasi (self treatment atau self
treatment)
I. Alasan dalam memilih untuk melakukan swamedikasi
Tinggi
Rendah
Ordinal
Menggunakan pengobatan tradisional (tradisional
remedy)
I. Alasan dalam melakukan pengobatan tradisional
Tinggi
Rendah
Ordinal
Menggunakan pengobatan modern
I. Alasan dalam memilih pengobatan modern
Tinggi
Rendah
Ordinal
Sumber: Hasil Olah Data Peneliti, 2020
Page 63
63
I.8.5. Teknik Pengumpulan Data
Sebuah penelitian, terdapat teknik – teknik pengumpulan data dan analisis
data yang diperlukan untuk memperoleh temuan penelitian. Untuk mendapatkan
hasil dan temuan penelitian yang baik, maka teknik pengumpulan dan analisis data
dilakukan secara teratur dan disiplin sehingga mengurangi kesalahan yang akan
dibuat dalam penelitian Penelitian ini akan menggunakan data primer yang
didapatkan dari menyerbakan angket kuesioner yang disebarkan akan
menggunakan kuesioner online yakni dengan menggunakan Google Forms, agar
pengumpulan data lebih efektif dan efisioen. Studi literatur atau kajian Pustaka
dari studi – studi terdahili juga digunakan sebagai data sekunder dalam penelitian
yang akan dilakukan ini untuk menunjang analisa dari data – data yang telah
berhasil didapatkan oleh peneliti dari lapangan.
Tahap pertama ialah tahapipersiapan, pada tahap ini peneliti akan
menentukan populasi dan sampel yang telah ditentukan yang akan menjadi
responden pada penelitian peneliti kali ini, selanjutnya peneliti akan melakukan
pembuatan kuesioner yang berpedoman pada variabel – variabel serta konsep yang
telah peneliti tentukann. Selanjutnya taahapipelaksanaan, pada tahap ini peneliti
akan melakukan pemetaan dan pencarian responden yang sesuai dengan kriteria
yang telah ditetapkan agar data yang didapatkan bisa sesuai menggambarkan
kondisi yang ada, selanjutnya peneliti akan melakukan penyebaran kuesioner
kepada responden yang telah sesuai dengan kriteria dan ditetapkan oleh peneliti
Page 64
64
sebagai responden. Kuesioner sendiri terdiri dari pertanyaan penelitian yang sesuai
dengan indikator pada operasionalisasi konsep peneliti dan pernyataan mengenai
identias responden. Studi literatur seperti buku, jurnal dan informasi yang didapat
dari internet digunakan pada penelitian ini sebagai tambahan data dan refrensi
peneliti.
I.8.6. Teknik Analisis Data
Setelah data - data berhasil peneiliti kumpulkan, data tersebut selanjutnya
diolah dan dianalisis dengan uji – uji yang ada. Seperti deskripsi data, tabulasi
silang dan pengujian regresi logistik ordinal dengan menggunakan bantuan
aplikasi SPSS Statistics versi 26.0. Uji yang akan dilakukan pertama, ialah
deskripsi data yang bertujuan dan bermaksud untuk memparkan hasil frekuensi
kategorisasi pada data – data yang telah didapatkan. Selanjutnya yaitu tabulasi
silang, untuk melakukan interpretasi terhadap pengaruh kedua variabel dari
tingkatan yang dihasilkan oleh respon atau jawaban tiap responden. Ketiga ialah
pengujian regresi logistik ordinal yang bertujuan untuk mengukur seberapa besar
hubungan antara variabel self diagnosis yang dilakukan dengan perilaku pencarian
pengobatan seseorang melalui uji Wald, dan melihat kecocokan model penelitian
yang digunakan berdasarkan nilai deviance serta interpretasi dari koefisien regresi
ordinal pada nilai estimasi yang dihasilkan.
Page 65
65
I.8.7. Kisii – Kisii Instrumeni Penelitiani
Tabel I.6
Instrumeni Variabeli Independeni (X)
Variabel Self-diagnosis Pernyataan Penelitian
Dimensi Faktor Predisposisi
Pengetahuan 1. Saya mengetahui tentang kode – kode gambar
atausimbol yang ada di fasilitas kesehatan
maupun di kemasan obat – obatan
2. Saya mengetahui tentang istilah – istilah yang
ada di dunia medis
3. Saya mengetahui tentang kategori dan jenis –
jenis sebuah penyakit
4. Saya memiliki pengetahuan tentang prosedur –
prosedur dasar medis seperti pertolongan
pertama, dsb
5. Menurut saya memiliki pengetahuan tentang
prosedur dasar medis seperti pertolongan
pertama, dan sebagainya cukup membantu
Sikap 6. Saya dapat mengidentifikasi penyakit dari
gejala yang saya rasakan dengan pengetahuan
tentang penyakit yang saya miliki
7. Bagi saya sulit untuk menggambarkan gejala
penyakit yang saya derita
8. Penyakit yang saya derita dapat menganggu
aktivitas sehari hari saya
9. Saya memahami tentang penyebab penyakit
yang saya derita
10. Saya dapat memperkirakan berapa lama saya
menderita sakit
Page 66
66
11. Saya perlu datang ke fasilitas kesehatan untuk
berobat baru saya bisa memperoleh
kesembuhan
Dimensi Faktor Pemungkin
Akses informasi kesehatan 12. Saya memiliki pengetahuan tentang dunia
medis dan kedokteran karena saya dapat
mengakses informasi kesehatan dengan mudah
13. Menurut saya adanya internet sangat membantu
dalam mencari informasi kesehatan
14. Saya menggunakan aplikasi kesehatan untuk
membantu mencari tahu masalah kesehatan
saya
15. Saya selalu mencari informasi tentang penyakit
saya di internet/google ketika saya sakit
16. Saya mengikuti atau berlangganan di salah satu
aplikasi kesehatan
17. Saya tergabung dalam sebuah komunitas yang
selalu memberikan informasi mengenai
kesehatan
18. Selain dari internet, saya biasa mencari
informasi kesehatan melalui sumber lain seperti
buku atau media lain
19. Saya merasa mendapatkan banyak sekali
informasi kesehatan setelah saya membuka
salah atu aplikasi kesehatan
20. Biasanya saya juga mendapatkan informasi
mengenai kesehatan dari interaksi sosial dengan
orang lain
21. Menurut saya informasi tentang kesehatan
sudah menjadi kebutuhan yang penting bagi
setiap orang
Page 67
67
Dimensi Faktor Penguat
Medical diagnosis 22. Terkadang saya masih merasa ragu dengan
diagnosa yang diberikan oleh dokter terhadap
penyakit saya
23. Setelah saya berkonsultasi dengan dokter, saya
masih mencari tahu tentang penyakit saya di
internet atau sumber informasi lainya
24. Menurut saya diagnosa yang diberikan oleh
dokter sudah cukup tepat
25. Menurut saya perbedaan diagnosa yang
diberikan oleh satu doker atau tenaga ahli medis
yang lain, membuat seseorang menjadi ragu
terhadap diagnosa penyakit yang mereka terima
Sumber: Hasil Olah Data Peneliti, 2020
Tabel I.7
Instrumeni Variabeli dependeni (Y) Variable Perilaku mencari Pengobatan
(Health Seeking Behavior)
Pernyataan Penelitian
Dimensi Tidak Melakukan Pengobatan Apa – apa (No action)
Alasan dalam memilih untuk tidak
melakukan pengobatan apa – apa
1. Ketika saya sakit saya lebih
mempriotitaskan aktivitas lainnya
dibandingkan pergi berobat
2. Saya tidak memiliki biaya untuk
melakukan pengobatan ke fasilitas
kesehatan
3. Fasilitas kesehatan jaraknya cukup jauh
dari tempat tinggal saya
4. Pelayanan pada fasilitas kesehatan yang
dekat tempat tinggal saya kurang baik
5. Menurut saya penyakit yang saya derita
dapat sembuh dengan sendirinya.
Page 68
68
Dimensi Swamedikasi (Self medication atau self treatment)
Alasan dalam memilih untuk
melakukan swamedikasi
6. Saya sudah mengetahui obat – obatan
yang cocok untuk mengobati penyakit
yang saya rasakan
7. Melakukan pengobatan sendiri lebih
murah dan terjangkau
8. Saya sudah terbiasa dalam melaukan
pengobatan sendiri
9. Melakukan pengobatan mandiri menjadi
pilihan pertama saya ketika saya sakit
10. Informasi yang saya dapatkan dari orang
lain atau media lainnya membuat saya
yakin untuk melakukan pengobatan
mandiri
Dimensi Melakukan Pengobatan Tradisional (traditional remedy)
Alasan dalam memilih untuk
melakukan pengobatan tradisional
11. Terdapat praktik pengobatan tradisional
di dekat tempat tinggal saya
12. Akses fasilitas kesehatan formal yang
cukup jauh
13. Biaya pengobatan tradisional lebih
murah
14. Menurut saya praktik pengobatan
tradisional lebih rendah resiko
15. Tenaga ahli medis atau dokter
menyarankan saya untuk menggunakan
pengobatan tradisional untuk membantu
saya dalam memproleh kesembuhan
penyakit saya
16. Orang terdekat saya yang membawa saya
berobat ke praktik pengobatan
tradisional.
Page 69
69
Dimensi Melaukan Pengobatan Modern
Alasan dalam memilih unutk
melakukan pengobatan modern
17. Akses fasilitas kesehatan modern cukup
mudah
18. Pengobatan konvensional atau modern
sudah menggunakan alat – alat canggih
yang dapat mempercepat kesembuhan
19. Pelayanan pada pengobatan modern
sudah sangat baik dan sesuai dengan
prosedur
20. Pengobatan modern lebih tepat dan
akurat dalam melakukan pengobatan
21. Saya memilki asuransi kesehatan yang
dapat di gunakan untuk berobat pada
pengobatan modern
22. Pergi ke praktik pengobatan modern
unutk memperoleh kesembuhan
merupakan keinginan saya sendiri
Sumber: Hasil Olah Data Peneliti, 2020
I.8.8. Uji Validtas dan Reliabilitas Instrumen
A. Uji Validitas Instrumen
Lawrence Neumann menjelaskan bahwa validitas ialah upaya untuk
menunjukkan kebenaran atau ketepatan untuk memberikan jawaban
seberapa baik sebuah ide sesuai dengan realitas aktual atau realitas
nyata62. Rochmat Ady juga menjelaskan mengenai uji validitas bahwa
tujuan dari uji validitas pada sebuah item instrumen penelitian ialah untuk
62 W. Lawrence, Neumann. “Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (Edisi
7). 2015. Jakarta: PT Indeks. Hlmn 236 & 238
Page 70
70
mengetahui kecermatan dan ketepatan suatu item pada instrumen dalam
mengukut tema penelitian yakan akan diukur63. Guna peneliti dapat
mengethaui kualitas dari sebuah item instrumen telah dibuat oleh peneliti,
peneiliti menggunakan aplikasi SPSS untuk membantu peneliti dalam
melakukan uji ini. Peneliti menggunakan nilai r dengan signifikansi 0,05
dan signifikansi 0,1 pada tabel r sebagai perbandingan dan menentukan
sebuah item pada instrumen penelitian dinyatakan valid atau tidak, karena
margin error yang digunakan peneliti dalam penelitian ini ialah 15% atau
0,15
Jika nilai r hitung yang pada item instrument lebih besar dari nilai
yang ada pada r tabel, maka item pada instrumen tersebut dinyatakan
valid. Sebaliknya, jika apabila nilai pada r hitung disebuah item
instrument memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai r tabel maka item
tersebut dinyatakan tidak valid. uji validitas pada bab ini akan bermaksud
untuk menguji atau mengukur item – item instrumen penelitian yang telah
diperbaiki ke keseluruhan responden atau sampel yang telah ditetapkan
oleh peneliti yakni sejumlah 45 responden. Seperti sebelumnya, uji
validitas ini dilakukan dengan menggunakan bantuan aplikasi SPSS versi
26.0, dan melihat serta membandingkan nilai r hitung yang didapatkan
63 Purnomo, Rochmat Ady. “Analisis Statistik Ekonomi dan Bisnis dengan SPSS. 2016. Wage Group.
Hlmn 56
Page 71
71
dengan nilai r tabel pada signifikansi 0,05. Penentuan nilai r tabel seperti
sebelumnya menggunakan rumus df (degree of freedom) yaitu df = n-2,
dengan total responden berjumlah 45, sehingga df dapat jatuh pada 45-2
= 43.
Nilai r tabel untuk 43 pada signifikansi 0,05 yaitu sebesar 0,294 dan
pada signifikansi 0,01 sebesar 0,2483. Untuk hasil pengujian validitas
pada variabel self diagnosis, dipaparkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel I.8
Rangkuman Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian Variabel
Penelitian
Butir Item yang Valid Butir Item yang
Tidak Valid
Self Diagnosis 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16, 17,18,19,20,21,22,23
24,25
Perilaku Mencari Pengobatan
2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,20 1,4,17,18,19, 21,22
Sumber: Hasil Olah Data Peneliti, 2020
Terlihat dari tabel diatas. hasil rangkuman uji validitas bahwa
setelah peneliti melakukan perbaikan dan penambahan pada item
pertanyaan untuk variabel x atau variabel self diagnosis, didapati hasil
bahwa dari 25 item, 23 item dinyatakan valid dan hanya 2 item yang
dinyatakan tidak valid. Sesuai dengan hasil yang dipaparkan pada hasil
rangkuman uji validitas pada tabel, bahwa dari 22 item pertanyaan, 15
item dinyatakan valid dan 7 item dinyatakan tidak valid. Namun, peneliti
tetap akan menggunakan beberapa item yang tidak valid karena item
Page 72
72
tersebut dapat mewakili dari dimensi yang akan peneliti butuhkan data
nya untuk di olah ke uji selanjutnya.
B. Uji Reliabilitas Instrumen
Peneliti selanjtunya melakukan uji reliabilitas dalan uji coba
instrumen kali ini untuk apakah instrumen yang ada konsisten untuk
mengukur indikator - indikator penelitian yang digunakan oleh peneliti
atau tidak. Untuk melakukan uji reliabilitas ini, peneliti menggunakan
bantuan aplikasi SPSS guna mengetahui apakah instrumen penelitian
yang telah disusun konsisten atau tidak. Untuk uji coba instrumen kali ini,
peneliti melihat hasil berdasarkan nilai cronbach’s alpha yang
merupakan output uji reliabilitas dari aplikasi SPSS, dan pengamilan
keputusan sebagai berikut:
Jika Alpha > 0,90 maka reliabilitas sempurnai
Jika Alpha antara 0,70 – 0,90 maka reliabilitas tinggii
Jika Alpha antara 0,50 – 0,70 maka reliabilitas moderati
Jika Alpha < 0,50 maka reliabilitas rendahi
Page 73
73
Setelah dilakukan uji reliabilitas pada kedua variabel, maka output
hasil yang didapatkan ialah sebagai berikut:
Tabel I.9
Rangkuman Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian Variabel Penelitian Nilai (Cronbach Alpha) Kategori
Self Diagnosis 0,905 Reliabilitas Tinggi
Perilaku Mencari Pengobatan 0,771 Reliabilitas Tinggi
Sumber: Hasil Olah Data Peneliti, 2020
Berdasarkan tabel I.9 yang memaparkan rangkuman hasil uji
reliabilitas, terlihat hasil reliabilitas dari variabel self diagnosis memiliki
nilai reliabilitas sebesar 0,905 dan dapat diartikan bahwa memiliki nilai
reliabilitas tinggi. Lalu pada perilaku mencari pengobatan memiliki nilai
sebesar 0,771 dan dinyatakan memiliki nilai reliabilitas tinggi.
I.9. Sistematikai Penulisani
Secara garis besar, sistematika penulisan dalam penelitian ini mencakup dan
terdiri dari lima bagian atau bab. Bab pertama, yakni merupakan bagian pendahuluan
yang memaparkan latar belakang penelitian beserta permasalahan penelitian, tujuan
penelitian dan manfaat penelitian. Pemaparan mengenai penelitian sejenis yang
digunakan oleh peneliti sebagai acuan dalam penulisan penelitian ini juga dipaparkan
pada bagian ini beserta tabel perbandingan dari tiap – tiap literatur, dari pemaparan
penelitian sejenis dapat dibentuk kerangka teori dan konsep dari masing – masing
variabel yang menjadi fokur penelitian. Pada bagian ini juga dipaparkan metodologi
penelitian dan hipotesa penelitian yang digagas oleh peneliti.
Page 74
74
Bab kedua, yakni memaparkan mengenai deskripsi lokasi penelitian dan
karakteristik responden berdasarkan identitas responden yang ada pada kuesioner
penelitian yang disebar oleh peneliti dalam memperoleh data untuk 74ublic74. Bab
ketiga, ialah bab yang memaparkan hasil temuan data yang diperoleh dari penyebaran
kuesioner, dan dilakukan uji uji untuk melihat hasil output dari data yang telah
didapatkan. Bab keempat, adalah pembahasan hasil penelitian dengan menghubungkan
temuan data pada bab sebelumnya dengan teori dan konsep yang digunakan dalam
penelitian ini. Terakhir, bab kelima yaitu bagian penutup dari penelitian ini yang berisi
kesimpulan dari hasil keseluruhan yang didapat pada penelitian ini dan saran untuk
penelitian selanjutnya.