Top Banner
1 BAB I PENDAHULUANi I.1. Latar Belakang Kesehatan adalah aspek yang penting dan harus diperhatikan didalam kehidupan, kesehatan juga merupakan salah satu indikator dalam pembangunan yang perlu diperhatikan untuk mencapai kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat. Kesehatan menjadi sebuah kebutuan primer untuk masyarakat, tinggi nya angka tingkat kesehatan yang positif maka akan menghadirkan sebuah manfaat atau dampak yang positif bagi aktivitas kehidupan sosial masyarakat. Namun sebaliknya, jika kesehatan ada pada tingkatan yang rendah maka dapat menimbulkan gangguan bagi proses kehidupan sosial masyarakat. Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, memiliki tingkat indeks kesehatan masyarakat yang rendah, tingkatan indeks kesehatan ini dijelaskan dalam sebuah situs yang dipaparkan oleh laporan The Legatum Prosperity Index pada tahun 2017 bahwa Indonesia berapa pada urutan 101 dalam indeks kesehatan dengan urutan terakhir yaitu pada angka 149 negara, indeks ini dilihat melalui berbagai sisi penilaian dari kesehatan fisik masyarakat, kesehatan jiwa, ketersediaan dan akses fasilitas kesehatan serta upaya pencegahan dalam penanganan suatu gangguan kesehatan 1 . 1 tirto.id. “Indeks Kesehatan Indonesia Masih Sangat Rendah”, diakses dari https://tirto.id/indeks- kesehatan-indonesia-masih-sangat-rendah-cBRn, pada tanggal 20 Februari 2020 pukul 20.13 WIB.
74

BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

Jan 21, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

1

BAB I

PENDAHULUANi

I.1. Latar Belakang

Kesehatan adalah aspek yang penting dan harus diperhatikan didalam kehidupan,

kesehatan juga merupakan salah satu indikator dalam pembangunan yang perlu

diperhatikan untuk mencapai kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat.

Kesehatan menjadi sebuah kebutuan primer untuk masyarakat, tinggi nya angka tingkat

kesehatan yang positif maka akan menghadirkan sebuah manfaat atau dampak yang

positif bagi aktivitas kehidupan sosial masyarakat. Namun sebaliknya, jika kesehatan

ada pada tingkatan yang rendah maka dapat menimbulkan gangguan bagi proses

kehidupan sosial masyarakat.

Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, memiliki tingkat indeks kesehatan

masyarakat yang rendah, tingkatan indeks kesehatan ini dijelaskan dalam sebuah situs

yang dipaparkan oleh laporan The Legatum Prosperity Index pada tahun 2017 bahwa

Indonesia berapa pada urutan 101 dalam indeks kesehatan dengan urutan terakhir yaitu

pada angka 149 negara, indeks ini dilihat melalui berbagai sisi penilaian dari kesehatan

fisik masyarakat, kesehatan jiwa, ketersediaan dan akses fasilitas kesehatan serta upaya

pencegahan dalam penanganan suatu gangguan kesehatan1.

1 tirto.id. “Indeks Kesehatan Indonesia Masih Sangat Rendah”, diakses dari https://tirto.id/indeks-

kesehatan-indonesia-masih-sangat-rendah-cBRn, pada tanggal 20 Februari 2020 pukul 20.13 WIB.

Page 2: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

2

Berdasarkan aspek – aspek penilaian tersebut dalam menentukan tingkatan angka

kesehatan, pada kondisi realita nya terdapat faktor – faktor dari sisi masyarakat yang

dimana pada kondisi nyata yang ada bahwa akses kesehatan di Indonesia itu sendiri

masih kurang baik seperti akses fasilitas kesehatan untuk memperoleh kesembuhan

yang cukup sulit bagi sebagian masyarakat, dan kurangnya sumber daya manusia

dalam bidang kesehatan, membuat akses kesehatan cukup sulit sehingga belum dapat

mencangkup tiap – tiap lapisan masyarakat ketika mereka membutuhkan perawatan

kesehatan. Selanjutnya indikator yang dapat mempengaruhi rendahnya kesehatan

masyarakat ialah dari dalam diri individu sendiri dimana masyarakat masih memiliki

pengetahuan kesehatan yang terbatas dan kurang, serta sosialisasi yang diberikan

belum dapat merangkul masyarakat secara keseluruhan. Namun, tidak bisa dipungkiri

terdapat faktor lain yang membuat minimnya pengetahuan kesehatan yang dimiliki

masyarakat yaitu karena adanya sikap kurang peduli pada masyarakat itu sendiri.

Kedua faktor tersebut memliki pengaruh yang cukup berarti jika mencoba ditelaah

megenai alasan dibalik rendahnya angka kesehatan masyarakat Indonesia. Kesulitan

masyarakat dalam menjangkau dan mengakses fasilitas kesehatan, khususnya

masyarakat yang hidup dalam kondisi geografi yang sulit dijangkau membuat

hambatan tersendiri bagi masyarakat untuk mendapatkan perawatan dan kesehatan

yang baik.

Page 3: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

3

Rendahnya angka indeks kesehatan Indonesia juga dibuktikan dari sebuah grafik

histogram mengenai bagaimana gambaran dari kesehatan Indonesia yang telah di

publikasikan oleh CNN berdasarkan hasil penelitian mengenai kesehatan di Indonesia

yang diteliti oleh badan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018. Pada

infografis tersebut, terlihat bahwa beberapa kategori kesehatan seperti status gizi,

penyakit menular, penyakit tidak menular dan penyakit mental secara garis besar

mengalami kenaikan angka yang cukup perlu di perhatikan pada masyarakat.

Khususnya pada penyakit tidak menular dan penyakit mental yang memiliki kenaikan

yang cukup di signifikan di masyarakat. Penurunan yang terjadi pada kategori status

gizi dan penyakit menular dapat menjadi prestasi bagi pemerintah dalam melakukan

penanganan terhadap masalah kesehatan tersebut, walaupun masih terjadi kenaikan

pada kasus obesitas yang terjadi pada masyarakat2.

2 CNN Indonesia. “Catatan Kesehatan Indonesia Sepanjang 2018”, diakses dari

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20181217130400-255-354250/catatan-kesehatan-

indonesia-sepanjang-2018, pada tanggal 31 Maret 2020 pukul 16.00 WIB

Page 4: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

4

Gambar I.1

Infografis Potret Kesehatan Indonesia

Sumber: CNNIndonesia.com, Riset Kesehatan Dasar 2020

Dapat dilihat bahwa dari setiap kategori yang mengalami penurunan maupun

kenaikan angka pada masyarakat, penyakit mental memiliki kenaikan angka yang

cukup signifikan dan sangat perlu diperhatikan. Kenaikan angka yang terjadi pada

penyakit mental di masyarakat melonjak cukup tinggi dari 1,7% menjadi 7% sesuai

dengan data yang di dapatkan dari infografis tersebut. Kenaikan ini mungkin dapat

menjadi suatu hal yang cukup serius bagi kesejahteraan masyarakat, dengan pertanyaan

mendasar bagaimana penyakit mental dapat menjadi penyakit yang mengalami

kenaikan yang cukup signifikan. Upaya pemerintah dalam mengatasi penyakit mental

yang ada di masyarakat harus dievaluasi dan di tingkatkan.

Selain Infrastruktur kesehatan dan pengetahuan kesehatan, faktor selanjutnya yang

dapat mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat Indonesia ialah persepsi penyakit

yang dimiliki oleh seseorang. Persepsi penyakit yang dimiliki oleh seseorang juga bisa

Page 5: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

5

menjadi pengaruh terhadap kesadaran mereka untuk menjaga kesehatan maupun

memperoleh kesembuhan dari penyakitnya, persepsi ini memiliki pengaruh terhadap

tindakan bagi seseorang ketika akan melakukan pengobatan yang akan mereka lakukan

guna memperoleh kesembuhan dari gangguan kesehatan yang mereka derita.

Pengobatan modern dan pengobatan tradisional menjadi pilihan masyarakat dalam

melakukan pengobatan terhadap gejala penyakit yang mereka rasakan, namun juga

tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat individu di masyarakat yang lebih memilih untuk

menlakukan pengobatan mandiri atau swamedikasi dan juga ada individu yang acuh

atau tidak peduli terhadap gejala penyakit yang mereka rasakan sehingga mereka tidak

melakukan apa – apa untuk mengatasi masalah kesehatan atau penyakit yang mereka

alami.

Setiap individu dalam masyarakat pasti memiliki persepsi mengenai suatu penyakit

yang berbeda – beda, persepsi tersebut membuati masyarakat berasumsi terhadap

penyakitnya dan menghasilkan pemikiran atau perasaan subjektif terhadap suatu

gangguan kesehatan yang mereka rasakan. Berdasarkan pemahaman serta pengetahuan

yang mereka miliki mengenai penyakit atau gangguan kesehatan, mereka melakukan

diagnosa dengan berasumsi berdasarkan kondisi mereka dengan melihat apa yang

mereka rasakan dari tanda – tanda gangguan kesehatan yang muncul pada tubuhnya

serta ditambah dengan informasi pengetahuan yang mereka dapat dari sumber

informasi lainnya. Hasil dari asumsi sehingga membentuk fikiran yang subjektif

terhadap suatu penyakti inilah yang dikenal sebagai self diagnosis atau diagnosa

Page 6: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

6

mandiri, yakni kondisi dimana seseorang melakukan diagnosa terhadap penyakit atau

gejala penyakit yang muncul pada tubuhnya tanpa adanya bantuan dari seseorang yang

kompeten pada bidangnya seperti tenaga ahli medis atau dokter. Diagnosa mandiri

yang dilakukan oleh seseorang ialah berdasarkan penglihatan dan efek yang mereka

rasakan dari gejala atau tanda – tanda gangguan kesehatan yang muncul pada tubuhnya,

lalu mereka mencocokkan dengan pengetahuan dan informasi tentang gangguan

kesehatan yang mereka rasakan dari berbagai sumber informasi yang mereka temui.

Dilansir pada situs di internet yang memberikan informasi kesehatan, Self diagnosis

atau diagnosa mandiri merupakan usaha atau upaya yang seseorang lakukan untuk

membuat diagnosa suatu penyakit atau gejala penyakit yang diderita oleh individu

tersebut tanpa bantuan tenaga medis atau dilakukan sendiri, dengan dibantu oleh

pengetahuan atau informasi tentang penyakit yang didapatkan melalui kerabat,

keluarga, internet dan bahkan pengalaman penyakit individu tersebut di masa lalu3.

Ketidakmampuan seseorang dalam mengakses layanan kesehatan serta adanya rasa

kekhawatiran akan suatu penyakit yang berlebih yang disertai dengan terbatasnya

pengetahuan kesehatan yang dimiliki oleh seseorang, dapat menjadi salah satu faktor

yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan diagnosa mandiri. Fakta tersebut

dapat dibuktikan dengan melihat studi penelitian yang ditulis oleh peneliti dalam

sebuah penelitian tentang bagaimana perbedaan sosio ekonomi pada masyarakat

3 helloSEHAT. “Self Diagnosis, Kebiasaan Mendiagnosis Diri Sendiri yang Bisa Berbahaya”, diakses

dari https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/self-diagnosis-diri-sendiri/, pada tanggal 18 Januari

2019 pukul 19.00 WIB

Page 7: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

7

tenggara Nigeria memliki pengaruh dalam mencari layanan kesehatan untuk

melakukan diagnosa dan pengobatan terhadap wabah penyakit malaria yang terjadi di

masyarakat, dijelaskan secara garis besar bahwa aktifitas atau perilaku self diagnosis

lebih banyak di lakukan oleh keluarga yang termasuk ke dalam kategori keluarga

miskin, perilaku self diagnosis tersebut muncul diduga karena disebabkan oleh

kebiasaan dan merupakan perilaku yang telah menjadi budaya di masyarakat. Dimana

masyarakat masih lebih mempercayai perasaan serta dugaan yang mereka buat sendiri

dalam melakukan diagnosa diri dibandingkan mereka harus berusaha dan bersusah -

susah untuk mencari atau melakukan diagnosa yang tepat terhadap penyakit yang

mereka derita4.

Self-diagnosis atau diagnosa mandiri yang dilakukan ini cukup berbahaya, karena

tingkat keakuratan dari diagnosa yang dilakukan tidak cukup tepat dalam mendiagnosa

penyakit yang dirasakan oleh seseorang, serta dapat menghadirkan kekeliruan yang

cukup fatal dalam pengambilan tindakan pengobatan yang seseorang lakukan untuk

menyebuhkan penyakit yang bahkan mereka keliru dalam mengidentifikasi penyakit

tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Roberta Raffaeta pada sebuah buku, dimana ia

melilhat pada sebuah fenomena yang pernah terjadi di negara Italia. Pada saat itu

terdapat sebuah penyakit alergi yang mewabah, wabah tersebut belum dikonfirmasi

4 Uzochukwo SC, Benjamin., Onwujekwe E, Obinna. 2004. “Socio-Economic differences and Health

seeking behavior for the diagnosis and treatment of malaria: a case study of four local government areas

operating the Bamako initiative programme in south-east Nigeria”. International Journal for Equity in

Health, Vol 3, Article 6, Hlm 7

Page 8: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

8

secara pasti oleh tenaga medis. Namun, masyarakat sudah melaukan self-diagnosis atau

diagnossa diri berdasarkan gejala – gejela penyakit alergi yang mereka rasakan. Self-

diagnosis yang dilakukan oleh masyarakat tersebut didasari oleh asumsi mereka

mengenai gejala penyakit dan gangguan kesehatan yang mereka rasakan dengan

berlandaskan pada pengetahuan mereka tentang ilmu kesehatan dan pengetahuan

mengenai penyakit yang mereka miliki, lalu informasi yang mereka temukan di media

dan melalui interaksi sosial5.

Terdapat beberapa hasil penelitian dengan tema mengenai self-diagnosis atau

diagnosa mandiri yang dilakukan oleh individu maupun masyarakat luas, seperti pada

tulisan – tulisan yang ditulis oleh Ahmed A., dkk: 20176, Lanseng E., dkk: 20077,

Annemarie J., dkk: 20118, Ani C., dkk: 20089, Denise A., dkk: 200910, dan Semigran

L., dkk: 201511. Pada tulisan – tulisan dari penelitian yang bertema mengenai self

diagnosis tersebut secara garis besar membahas mengenai bagaimana masyarakat

5 Fainzang, Sylvie & Haxaire, Claudie. “Of Bodies and Symptoms: Antropological perspectives on their

social and medical treatment”. 2011. Tarragona: Publications URV. Hlm 10 6 Ahmed, Aaiz & Stephen S. 2017. “Self-Diagnosis in Psychology Students”. The International Journal

of Indian Psychology, Volume 4, Issue 2 No 86, Hlm 120 – 139. 7 Lanseng, J Evan & Andreasen, Tor W. 2007. “Electronic healthcare: a study of people’s readiness and

attitude toward performing self-diagnosis”. International Journal of Service Industry Management,

Volume 18, No 4, Hlm 394 – 417. 8 Jutel, Annemarie., Baker G, Micahel., Stanley, James., Huang, Sue Q., Don Bandaranayake. 2015.

“Self-diagnosis of influenza during a pandemic: a cross-sectional survey”. BMJ Open, Vol 1, Issue 2 9 Ani C., Bazargan M., Bazargan-Hejazi S., Andersen RM., Hindman DW., Baker RS. 2008. “Correlates

of self-diagnosis of chronic medical and mental health conditions in under-served African American and

Latino populations”. Ethnicity & Disease, Volume 18, S2, Hlm 105 - 111 10 Copelton, Denise A., Valle, Giuseppina. 2009. “You don’t need a prescription to gluten-free: The

scientific self-diagnosis of celiac disease”. Social Science & Medicine, Volume 69, Issue 4, Hlm 623 -

631 11 Semigran, Hannah L., Linder A, Jeffey., Gidengil, Courtney., Mehrota Ateev. 2015. “Evaluation of

symptoms checkers for self diagnosis and triage: audit study”. British Medical Journal (BMJ), Vol 351,

Issue h3480

Page 9: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

9

dalam mempraktikan self diagnosis dipengaruhi oleh beberapa faktor yang melatar

belakangi serta alasan mereka dalam melakukan self-diagnosis. Tiap – tiap tulisan

tersebut juga memparkan perbedaan dalam aspek – aspek yang mendorong alasan

masyarakat dalam melakukan self diagnosis tersebut, baik dari kondisi sosio ekonomi

masyarakat hingga masyarakat yang diharuskan untuk melakukan self diagnosis atas

perintah tenaga ahli medis dengan alasan untuk meningkatkan perhatian masyarakat

akan kesehatan dan menekan angka penyebaran pada sebuah wabah atau pandemi

penyakit. Meskipun tetap tidak bisa dipungkiri bahwa pada hakikatnya diagnosa diri

merupakan kegiatan yang berbahaya bagi individu untuk akhirnya mereka megambil

keputusan atas gejala penyakit yang mengganggu kesehatan tanpa bantuan tenaga ahli

medis yang kompeten dalam bidangnya dan dapat menkonfirmasi gangguan kesehatan

yang mereka alami secara tepat.

Penelitian – penelitian selanjutnya yang peneliti yakini memiliki persamaan pada

konsep variabel dengan tema pembahasan yang akan peneliti angkat yaitu mengenai

Health seeking behavior juga menjadi perhatian peneliti untuk dijadikan referensi

sebagai penelitian terdahulu yang dapat mendukung penelitian peneliti. Seperti

penelitian yang ditulis oleh Novita Ressa A., dkk: 201812, Larasati Fatati.: 202013, Peng

12 Affandi, Novita Ressa., Alisjahbana, Bachti., Raksanagara, Ardini S. 2018. “Health Seeking Behavior

of Dengue Hemorrhagic Fever Patients in Several Hospitals in Bandung West Java Indonesia”. Althe

Medical Journal, Volume 5, No 3, Hlm 121 – 126 13 Larasati, Fatati. 2020. “Health Seeking Behavior in Bulak Banteng, Surabaya”. International Journal

of Public Health Science (IJPHS), Volume 9, No 1, Hlm 1 – 7

Page 10: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

10

Yingchun., dkk: 201014, dan Uzochukwu Benjamin SC., dkk: 200415. Seperti halnya

self diagnosis yang dilakukan oleh masyarakat dengan faktor latar belakang serta

alasan yang berbeda beda, pada tulisan tulisan tersebut secara garis besar juga melihat

dan membahas mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku mencari

kesehatan atau health seeking behavior masyarakat dalam memperoleh kesehatan bagi

dirinya.

Penelitian – penelitian mengenai self diagnosis dan perilaku mencari kesehatan

atau health seeking behavior, membuat peneliti menjadi sangat tertarik untuk

membahas dan mengkaji perilaku self diagnosis atau diagnosa mandiri. Fenomena

lainnya yang membuat peneliti tertarik dan terdorong untuk membahas topik tersebut

ialah dewasa ini self diagnosis menjadi trend baru di kalangan anak muda, khususnya

untuk melakukan asumsi atau diagnosa diri terhadap gangguan kesehatan mental

mereka. Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah laman web yang membahas mengenai

fenomena tersebut dimana muncul film – film yang mengangkat tentang gangguan

kesehatan mental, contohnya yaitu film yang berjudul Joker. Film tersebut memiliki

manfaat dan dampak tersendiri bagi anak anak muda, kehadiran film – film tersebut

membuat banyak orang semakin peduli akan pentingnya kesehatan mental. Namun,

14 Peng, Yingchun., Chang, Wenhu., Zhou, Haiqing., Hu, Hongpu., Liang, Wannian. 2010. “Factors

associated with health-seeking behavior among migrant workers in Beijing, China”. BMC Health

Services Research, Volume 10, Issue 69. 15 Uzochukwo SC, Benjamin., Onwujekwe E, Obinna. 2004. “Socio-Economic differences and Health

seeking behavior for the diagnosis and treatment of malaria: a case study of four local government areas

operating the Bamako initiative programme in south-east Nigeria”. International Journal for Equity in

Health, Vol 3, Article 6.

Page 11: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

11

disisi lain juga munculnya film tersebut menimbulkan fenomena di masyarakat

khususnya dalam kasus ini ialah anak muda yang memiliki anggapan bahwa gangguan

mental menjadi suatu yang keren dan trend, dengan kemudahan akses informasi di

berbagai media mereka mencoba melakukan self diagnosis terhadap dirinya dan

beranggapan serta dengan percaya diri mengungkapkan bahwa mereka memiliki

gangguan kesehatan mental layaknya di film yang mereka saksikan16.

Melihat fenomena tersebut, lebih mendorong peneliti untuk mengangkat topik

tersebut. Namun dalam hal ini peneliti akan lebih berfokus untuk mengangkat topik

tentang apakah self diagnosis berpengaruh terhadap perilaku seseorang dalam mencari

kesehatan atau health seeking behavior, tidak hanya pada gangguan kesehatan mental

saja. Subjek penelitian dari topik penelitian yang akan di angkat ini ialah para

pemuda/pemudi atau remaja millennial yang pernah melakukan pencarian informasi

terkait gejala penyakit atau penyakit yang sedang mereka derita, dengan menggunakan

media informasi seperti dari internet, atau aplikasi kesehatan serta sumber informasi

lainnya ketika mereka mengalami gangguan kesehatan atau jatuh sakit dalam kurun

waktu 2 bulan terakhir. Karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa self

diagnosis didasari oleh pengetahuan mengenai kesehatan yang dimiliki oleh seseorang

dan didukung oleh informasi – informasi yang mereka dapatkan dari berbagai media

maupun dari interaksi sosial.

16 National Geographic Indonesia. “Bahaya Self Diagnosis Gangguan Mental Pascamenonton Film

Joker”, diakses dari https://nationalgeographic.grid.id/read/131886424/bahaya-self-diagnosis-

gangguan-mental-pascamenonton-film-joker?page=all, pada tanggal 21 Juli 2020 pukul 19.00 WIB

Page 12: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

12

Kemudahan akses informasi dengan adanya internet serta hadirnya aplikasi –

aplikasi kesehatan yang memberikan banyak kemudahan dalam mengakses informasi

kesehatan berkat kecanggihan zaman saat ini juga dapat mendorong praktik self

diagnosis di masyarakat khususnya seseorang dengan lebih mudah. Pemuda yang akan

menjadi subjek penelitian yakni dengan kriteria dan lebih difokuskan kepada remaja

yang bertempat tinggal di DKI Jakarta, yang sudah masuk ke dalam usia produktif

yakni usia 20 sampai 39 tahun.

I.2. PermasalahaniPenelitian

Ketersediaan layanan kesehatan serta kemudahan akses informasi kesehatan yang

dapat dengan mudah diakses melalui berbagai media saat ini oleh masyarakat

perkotaan, peneliti melihat bahwa hal tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap

kesempatan masyarakat untuk melakukan self-diagnosis. Akses informasi yang luas

dan mudah yang ada saat ini bagai pisau bermata dua dimana disatu sisi memiliki

manfaat tersendiri guna meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menjaga

kesehatan tubuhnya, tetapi juga dapat membuat mereka melakukan diagnosa diri yang

bisa menghadirkan kekeliruan terhadap penyakit yang mereka derita

Berdasarkan alasan yang telah peneliti kemukakan, maka studi ini akan berfokus

pada pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh dari self-diagnosis atau diagnosa mandiri yang

dilakukan oleh seorang individu terhadap perilaku mereka dalam mencari

Page 13: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

13

pengobatan guna memperoleh kesembuhan dari penyakit yang diderita

individu?

I.3. TujuaniPenelitian

Adapun melihat dan mempertimbangkan pertanyaan penelitian maka tujuan utama

dari studi yang akan peneliti lakukan ini ialah untuk meneliti dan mengukur pengaruh

dari self diagnosis atau diagnosa mandiri terhadap perilaku masyarkaat dalam mencari

pengobatan guna mempeorleh kesehatan pada masyarakat perkotaan, yang memiliki

akses terhadap pelayanan kesehatan yang cukup mudah khususnya pada penelitian ini

berfokus pada remaja atau pemuda/i yang berusia produktif.

I.4. ManfaatiPenelitian

Peneliti berharap dari penelitian yang dilakukan ini dapat memiliki

kebermanfaatan baik bagi peneliti seorang, maupun bagi orang lain. Untuk itu peneliti

membagi manfaat penelitian yaitu manfaat praktis dan manfaat teoritis dari penelitian

yang akan dilakukan yakni sebagai berikut:

I.4.1. ManfaatiPraktis

a. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat memberikan pengalaman kepada peneliti di

bidang sosiologi kesehatan. Peneliti juga dapat menyadari

pentingnya menjaga kesehatan dan bertindak dalam memperoleh

kesembuhan dengan bijak.

Page 14: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

14

b. Bagi Remaja Usia Produktif

Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai bahaya dari

diagnosa mandiri yang dilakukan serta memberikan gambaran

mengenai bagaimana tindakan atau respon mereka ketika mengalami

gangguan kesehatan atau jatuh sakit, sehingga dapat mengambil

langkah yang bijak untuk memperoleh kesembuhan dari penyakit

yang diderita.

c. Bagi Tenaga Ahli Medis

Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai masih

banyaknya individu dalam masyarakat yang melakukan diagnosa

mandiri terhadap gangguan kesehatan yang mereka derita, sehingga

dapat merugikan bagi individu itu sendiri dan mengabaikan arahan

dari tenaga ahli medis yang kompeten. Dengan demikian, penelitian

ini dapat membantu tenaga ahli medis dalam bertindak ketika

menghadai seorang pasien yang melakukan diagnosa mandiri

terhadap penyakitnya.

I.4.2. ManfaatiTeoritis

Peneliti berharap dapat menghadirkan manfaat keilmuan dari penelitian

yang dilakukan ini bagi para akademisi yakni studi yang dilakukan ini bisa

menjadi bahan kajian untuk pengembangan ilmu, khususnya dalam

pengembangan ilmu sosiologi medis dan kesehatan yang lebih spesifik lagi yaitu

Page 15: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

15

kajian dalam sosiologi diagnosa. Diharapkan juga penelitian ini dapat

memberikan pengetahuan mengenai respon – respon masyarakat ketika mereka

mengalami sakit dan konsep mengenai diagnosa mandiri (self diagnosis) itu

sendiri jika dilihat dari kacamata sosiologi.

I.5. TinjauaniPenelitianiSejenis

Sebagai bahan rujukan dan tinjauan untuk mendorong dan membantu peneliti

dalam kesuksesan melakukan penelitian, langkah pertama yang dilakukan ialah peneliti

mencoba untuk melakukan pencarian kepustakaan berupa literatur – literatur yang

berkaitan dengan tema penelitian yang akan peneliti angkat dari penelitian terdahulu,

sehingga dapat peneliti jadikan bahan acuan dan dasar konsep yang kuat bagi penelitian

yang akan dilakukan peneliti. Berdasarkan penelusuran dan pencarian yang telah

dilakukan, peneliti telah mendapatkan beberapa studi penelitian yang memiliki

kesamaan dan kemiripan dari segi topik atau tema yang dibahas serta memiliki

hubungan konsep yang mirip atau sama dengan penelitian yang akan diteliti dan juga

memliki sudut pandang serta objek penelitian yang berbeda, sehingga dapat menjadi

perbandingan.

Penelitian pertama dengan tema self diagnosis diperoleh dari jurnal yang berjudul

Self-Diagnosis in Psychology Students17. Pembahasan dalam jurnal ini menjelaskan

tentang bagaimana latar belakang seperti pemahaman tentang self diagnosis atau

17 Ahmed, Aaiz & Stephen S. 2017. “Self-Diagnosis in Psychology Students”. The International Journal

of Indian Psychology, Volume 4, Issue 2 No 86, Hlm 120 – 139.

Page 16: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

16

diagnosa mandiri, factor pendorong yang dapat mempengaruhi serta metode atau cara

yang dilakukan seseorang untuk melakukan diagnosa mandiri. Dampak dari self

diagnosis bagi seseorang yang melakukannya juga dijelaskan pada pembahasan jurnal

ini. Hasil dari pembahasan jurnal ini bahwa terdapat empat poin yakni yang pertama

ialah latar belakang penyebab seseorang melakukan self diagnosis yang dipengaruhi

oleh latar belakang klinis atau kesehatan seseorang, pengalaman penyakit sebelumnya,

dan sumber informasi tentang penyakit dan kesehatan.

Poin kedua ialah cara bagaimana seseorang dalam melaukan self diagnosis yakni

dengan diawali dengan pemikiran seseorang yang menduga – duga lalu dilanjutkan

dengan membaca sumber – sumber informasi yang dicari melalui internet ataupun

media lainnya. Poin ketiga ialah dampak yang dirasakan atau didapatkan oleh

seseorang yang melakukan self diagnosis yakni dapat berdampak terhadap dirinya

sendiri maupun orang lain, dimana terdapat dampak kognitif, dampak afektif, dan

dampak perilaku. Poin keempat atau poin terakhir ialah academic maturity atau bisa

dikatakan juga sebagai kemahiran seseorang dalam suatu bidang ilmu pengetahuan,

yang mana dalam jurnal ini penulis jurnal mengambil kasus pada mahasiswa psikologi

yang memiliki pemahaman lebih mengenai self diagnosis. Pengetahuan psikologi yang

mereka miliki bisa menjadi sebuah pembenaran dan memandu mereka dalam

melakukan self diagnosis dan mengurangi dampak yang mereka terima.

Selanjutnya tulisan penelitian kedua yang memiliki kemiripan dengan fokus yang

akan diangkat oleh peneliti yang menjadi penelitian acuan bagi peneliti yaitu penelitian

Page 17: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

17

yang berjudul Electronicihealthcare: aa studya ofa people’sa readinessa anda

attitudeatowarda performinga self-diagnosis18, penelitian ini ditebitkan pada tahun

2007. Tujuan dari tulisan penelitian ialah untuk menguji sebuah teknologi self services

atau SST pada diagnosa kesehatan serta diharapkan dapat membantu untuk mengurangi

biaya dan meningkatkan kualitas pada sektor kesehatan. Penelitian ini juga berfokus

dengan dua studi atau dua penelitian yang dilakukan untuk melihat bagaimana kesiapan

masyarakat dalam penggunaan teknologi self services dalam bidang kesehatan dan

sikap konsumen atau masyarakat dalam penerapan serta penerimaan terhadap teknologi

self-services khususnya dalam bidang pelayanan kesehatan. Menurut peniliti dalam

penelitian ini, topik studi penelitian ini cukup penting untuk diangkat karena terdapat

dua alasan. Pertama yaitu pada sebagian negara, layanan kesehatan merupakan hal

yang cukup mahal, selanjutnya alasan kedua ialah pada sebagian besar negara terdapat

kekhawatiran mengenai sistem pelayanan kesehatan yang ada dan berjalan saat ini

tidak berkelanjutan untuk masa yang akan datang dimana ketika populasi masyarakat

yang menua akan bertambah dan akan terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada

permintaan untuk layanan kesehatan.

Pembagian fokus studi dalam satu penelitian yang ditulis oleh peneliti penelitian

ini, fokus studi pertama yaitu berfokus pada bagaimana kesiapan konsumen atau

masyarakat dalam penggunaan teknologi self services dalam bidang layanan kesehatan.

18 Lanseng, J Evan & Andreasen, Tor W. 2007. “Electronic healthcare: a study of people’s readiness

and attitude toward performing self-diagnosis”. International Journal of Service Industry Management,

Volume 18, No 4, Hlm 394 – 417.

Page 18: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

18

Populasi dari kesiapan teknologi masyarakat nantinya akan membentuk fondasi yang

digunakan untuk melihat bagaimana pengadopsian teknologi tersebut dengan melihat

dari bagaimana masyarakat menerima aplikasi self diagnosis berbasis laman web.

Fokus studi kedua dalam penelitian ini ialah untuk melihat bagaimana sikap pengguna

atau masyarakat dalam menggunakan layanan jasa kesehatan atau e-health, untuk fokus

ini peneliti menggunakan model penelitian yang disebut TAM atau Technology

Acceptence Model untuk analisa dan melihat hasil dari fokus studi yang kedua, namun

model TAM yang digunakan pada penelitian ini dikembangkan dengam

menambahkkan variabel kepercayaan sebagai penentu dari penerimaan pengguna dan

disesuaikan dengan mengganti variabel kegunaan menjadi variabel kenyamanan.

Peneliti dalam penelitian tersebut mendapati kesimpulan dari dua studi yang

berfokus pada kesiapan masyarakat dalam penggunaan teknologi dan sikap masyarakat

pada penggunaan layanan jasa berbasis teknologi tersebut ialah aplikasi layanan self

diagnosis yang merupakan aplikasi teknologi self service akan menyebar dan diadopsi

dalam kehidupan masyarakat, dan juga diperkirakan bahwa unsur kenyamanan dan

kemudahaan dalam menggunakan aplikasi layanan self diagnosis menjadi variabel

yang berperan penting dalam penyebaran tersebut.

Penelitian ketiga dengan tema self diagnosis ialah studi yang berjudul Selfi

diagnosisi ofi influenzai duringi a pandemici: a cross-sectional survey19 yang

19 Jutel, Annemarie., Baker G, Micahel., Stanley, James., Huang, Sue Q., Don Bandaranayake. 2015.

“Self-diagnosis of influenza during a pandemic: a cross-sectional survey”. BMJ Open, Vol 1, Issue 2

Page 19: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

19

diterbitkan pada tahun 2015. Jurnal ini secara garis besar menjelaskan tentang sebuah

wabah penyakit influenza yang terjadi di masyarakat Selandia Baru, dimana petugas

medis menyarankan masyarakat untuk melakukan self diagnosis atau diagnosa diri

terhadap kondisi gejala penyakit influenza yang mereka rasakan.

Diagnosa diri yang disarankan oleh tenaga medis ini dianggap penting bagi

masyarakat dan bertujuan untuk membantu mengendalikan wabah penyakit yang

sedang terjadi. Dengan diagnosa diri yang dilakukan oleh masyarakat, petugas medis

berharap masyarakat dapat lebih bijaksana untuk melakukan pencegahan serta menjaga

kesehatan mereka secara mandiri dan juga bisa mengurangi masyarakat untuk

mendatangi fasilitas kesehatan sehingga petugas medis tidak mengalami kesusahan

dalam mengendalikan pasien dari wabah influenza yang terjadi. Namun, sangat

disayangkan yang terjadi tidak sesuai dengan harapan dan spekuasi para petugas medis,

dimana diagnosa diri atau self-diagnosis yang dilakukan oleh masyarakat dalam

melakukan diagnosa dari gejala penyakit yang dirasakan dianggap kurang akurat dan

tidak tepat. Kurang tepatnya hasil diagnosa mandiri yang didapat tersebut disebabkan

karena masyarakat memliki pengetahuan yang kurang terhadap penyakit influenza

tersebut.

Penelitian keempat yang menjadi rujukan peneliti ialah penelitian yang berjudul

Correlates of Self-diagnosis of Chronic Medical and Mental Health Conditions in

Page 20: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

20

Under-Served African American and Latino Populations20. Penelitian ini bertujuan

untuk menguji korelasi dari self diagnosis penyakit medis kronis dan gangguan

kesehatan mental pada warga masyarakat minoritas yang terlantar atau tidak

mendapatkan pelayanan, studi ini juga bermaksud untuk menunjukkan bahwa terdapat

kebutuhan yang penting dan mendesak untuk memahami sistem kesehatan dan faktor

yang menentukan penyebab dari diagnosa penyakit serta pengobatan dini yang tertunda

pada populasi yang spesifik seperti pada masyarakat yang mengalami kondisi yang

difokuskan pada penelitian ini.

Penelitian ini menggunakan Behavioral Model, model ini dapat

mengkonseptualisasikan pemanfaatan layanan kesehatan sebagai sebuah produk akhir

dari pola interaksi yang kompleks diantara kecenderungan, kemungkinan, dan

karakterisik kebutuhan perawatan. Pada faktor kecendrungan, mewakili indikator

seperti halnya karakteristik demografi, karakteristik struktur sosial, karakteristik masa

kecil, kondisi kehidupan, sumber daya psikologis dan variabel yang mempengaruhi

health belief. Selanjutnya untuk faktor kemungkinan, mewakili indikator – indikator

seperti sumber daya keluarga dan pribadi, status asuransi, keterjangkauan dalam

mendapatkan perawatan medis, pendapatan, penerimaan manfaat publik, kebuuhan

bersaing di masyarakat, dan ketersediaan serta pengguaan sumber daya informasi.

20 Ani C., Bazargan M., Bazargan-Hejazi S., Andersen RM., Hindman DW., Baker RS. 2008.

“Correlates of self-diagnosis of chronic medical and mental health conditions in under-served African

American and Latino populations”. Ethnicity & Disease, Volume 18, S2, Hlm 105 - 111

Page 21: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

21

Faktor ketiga ialah kebutuhan perawatan, yang mewakili indikator seperti kondisi

kesehatan yang di persepsikan dan dievaluasi.

Hasil yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan dapat terlihat bahwa 43%

sampel partisipan pada penelitian ini yang dimana mereka menderita berbagai penyakit

atau gangguan kondisi medis mengungkapkan bahwa setidaknya untuk satu penyakit

yang pernah mereka derita mereka mengklaim belum pernah secara formal atau resmi

didiagnosa oleh penyedia layanan medis perawatan. Selanjutnya sebesar 16 % dari

keseluruhan pastisipan yang percaya bahwa mereka menderita gangguan kesehatan

mental yaitu depresi juga mengklaim bahwa mereka tidak pernah di diagnosa oleh

seorang psikiater.

Penelitian sejenis selanjutnya datang dari jurnal yang berjudul Evaluation of

symptom checkers for self diagnosis and triage: audit study21. Penelitian ini di

publikasikan pada tanggal 15 Juni 2015, fokus pembahasan pada penelitian ini ialah

mengevaluasi fungsi dan manfaat dari sebuah aplikasi yang berfungsi untuk melakukan

pengecekan terhadap gejala penyakit. Aplikasi - aplikasi yang menjadi fokus evaluasi

ini diambil dari aplikasi aplikasi yang tersedia secara gratis di layanan smartphone

seperti Google Play untuk android dan Apple App untuk pengguna iphone. Alasan

peneliti dalam jurnal ini mengangkat judul penelitian serta melakukan evaluasi

21 Semigran, Hannah L., Linder A, Jeffey., Gidengil, Courtney., Mehrota Ateev. 2015. “Evaluation of

symptoms checkers for self diagnosis and triage: audit study. British Medical Journal (BMJ), Vol 351,

Issue h3480.

Page 22: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

22

terhadap aplikasi aplikasi tersebut ialah karena saat ini terdapat sebuah keresahan

bahwa di masyarakat semakin marak penggunaan internet untuk melakukan diagnosa

diri atau self-diagnosis. Hal tersebut dijelaskan pada jurnal ini bahwa dengan melihat

hasil penelitian seelumnya dimana terdapat lebih dari tiga orang dewasa di Amerika

Serikat, menggunakan internet dan mencari informasi kesehatan untuk melakukan

diagnosa diri atau self diagnosis seperti halnya untuk mencari informasi gejala penyakit

yang sangat parah hingga penyakit yang ringan.

Untuk mendapatkan evaluasi yang tepat bagi tiap tiap aplikasi tersebut, peneliti

mengukur seberapa tepat dan akurat dari diagnosa dan saran tingkat keparahan sebuah

penyakit yang ditampilkan atau hasil yang ditunjukkan dari aplikasi symptoms checker

tersebut dengan menggunakan sebuah sketsa yang menempakan 45 orang pasien untuk

menggunakan dan melakukan evaluasi 23 aplikasi symptoms checker yang telah

tersedia dan dipilih sebagai sampel evaluasi. Sketsa – sketsa yang diperagakan oleh 45

orang pasien yang terpilih mencerminkan berbagai kondisi kesehatan seseorang dari

yang penyakit biasa hingga penyakit yang tidak umum atau parah sampai bisa

mengakibatkan kematian. Analisa yang digunakan peneliti pada saat data - data yang

telah berhasilkan dikumpulkan ialah dengan analisa interval kepercayaan 95%

berdasarkan distribusi binomial menggunakan Stata / MP 13.0.

Peneliti mendapatkan hasil bahwa dari 23 aplikasi symptoms checker yang dipilih

untuk di evaluasi secara garis besar atau secara umum berdasarkan hasil dari ketiga

kategori pasien yang telah di gabungkan nilainya memiliki tingkat diagnosa yang

Page 23: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

23

akurat dan tepat hanya sebesar 34% jika dihitung dengan interval kepercayaan sebesar

95 % yang digunakan peneliti untuk menganalisa data tersebut. Namun, aplikasi

tersebut juga menampilkan diagnosa yang cukup tepat pada 20 diagnosa gejala

penyakit pasien dengan hasil yaitu sejumlah 58%.

Untuk evaluasi triase atau seberapa tepat aplikasi tersebut mengukur tinggi tingkat

urgensi atau kedaruratan kondisi pasien, yakni didapati hasil bahwa apliasi tersebut

memberikan saran triase yang cukup bervariasi tergantung urgensi atau ke daruratan

kondisi pasien yakni dengan memiliki saran triase yang cukup tepat yang berjumlah

sebesar 80% pada pasien yang memiliki kondisi yang cukup darurat atau membutuhkan

penanganan penyakit yang segera mungkin, dan 55% saran triase yang tepat pada

pasien yang dianggap kondisi penyakit nya tidak terlalu urgen atau darurat.

Studi dengan tema self diagnosis selanjutnya dengan judul penelitian yaitu You

don’t need a prescription to go gluten-free: The scientific self-diganosis of celiac

disease22, penempatakan konsep self diagnosis pada penelitian ini dijadikan

perbandingan dengan medical diagnosis dan juga dalam studi ini melihat bagaimana

proses sosial dari kedua metode diagnosis tersebut untuk mendiagnosa penyakit Celiac

atau autoimun. Medical diagnosis dijelaskan pada jurnal ini merupakan sebuah sosisal

proses yang menentukan kehidupan dan legitimasi dari sebuah kondisi fisik. Sebuah

22 Copelton, Denise A., Valle, Giuseppina. 2009. “You don’t need a prescription to gluten-free: The

scientific self-diagnosis of celiac disease”. Social Science & Medicine, Volume 69, Issue 4, Hlm 623 -

631

Page 24: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

24

diagnosa memerlukan negosiasi antara sudut pandang medis dan sudut pandang awam

dengan sebelumnya berfokus pada data klinis, laboratorium, epidemiologis dan yang

terakhir tentang persepsi dan pengalaman dari penyakit serta perawatan penyakit

tersebut. Namun, ketika sebuah diagnosa sulit untuk ditentukan maka terjadi

penyimpangan dari sudutu pandang orang awam dengan sudut pandang medis yang

sering kali menimbulkan konflik.

Untuk seorang pasien, medical diagnosis dilihat sebagai sebuah pintu untuk

mendapatkan peran sakit yang melegitimasi penderitaan dan penyimpangan dari norma

sosial yang berlaku di masyarakat. Seorang pasien juga tidak selamanya bisa

mendapatkan diagnosa yang tepat mengenai kondisi mereka, dan mereka yang

memiliki gejala penyakit yang tidak sesuai dengan standar diagnosa yang ada, mereka

akan kesulitan untuk menerima diagnosa tersebut. Namun, ketika seorang pasien tidak

berhasil mendapatkan diagnosa yang tepat atau tidak setuju dengan diagnosa yang ada,

mereka mungkin akan mencari beberapa pilihan dari tenaga ahli medis lainnya atau

menggunakan sumber informasi alternative seperti melalui media internet, buku, dan

sebagainya. Menariknya adalah ketika seseorang melakukan self diagnosis mereka

tetap melanjutkan untuk mencari medial diagnosis dari tenaga ahli medis atau mencari

alternative diagnosis lainnya. Baik melakukan diagnosa secara mandiri atau self

diagnosis dengan sudut pandang awam maupun melakukan medical diagnosis yang

dilakukan dengan dan dari sudut pandang tenaga ahli, sebuah diagnosa dapat membuat

individu merasa lega.

Page 25: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

25

Untuk memperkuat fokus serta konsep yang akan diteliti oleh peneliti, maka

selanjutnya peneliti menelusuri dan menggunakan beberpaa jurnal penelitian yang

bertema sejenis dengan variabel dependen yang menjadi fokus penelitian peneliti, yaitu

tema mengenai health-seeking behavior atau perilaku mencari kesehatan. Jurnal

penelitian yang pertama mengenai health-seeking behavior ialah penelitian yang

berjudul Health-Seeking Behavior of Dengue Hemorrhagic Fever Patients in

Several Hospitals in Bandung, West Java, Indonesia23. Secara garis besar, studi

penelitian ini membahas tentang bagaimana perilaku mencari kesehatan dari para

pasien pendertia demam berdarah di beberapa rumah sakit yang berada di Bandung,

Jawa Barat. Studi pada jurnal ini menggunakan teori mengenai faktor – faktor yang

mempengaruhi perilaku dari Lawrence W. Green sebagai dimensi yang akan digunakan

untuk meneliti perilaku pasien dalam mencari kesehatan. Lawrence mengungkapkan

bahwa terdapat 3 faktor yang mempengaruhi perilaku, faktor pertama ialah faktor

predisposisi (predisposing factor) yang terdiri dari pengetahuan dan sikap. Faktor

kedua ialah faktor kemungkinan (enabling faktor) yang terdiri dari akses, yang faktor

yang terakhir ialah faktor yang memperkuat (reinforcing factors) yaitu terdiri dari

ekonomi dan pendidikan.

23 Affandi, Novita Ressa., Alisjahbana, Bachti., Raksanagara, Ardini S. 2018. “Health Seeking Behavior

of Dengue Hemorrhagic Fever Patients in Several Hospitals in Bandung West Java Indonesia”. Althe

Medical Journal, Volume 5, No 3, Hlm 121 – 126

Page 26: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

26

Penelitian dengan topik health seeking behavior selanjutnya berjudul Health

seeking behavior in Bulak Banteng, Surabaya24. Studi ini meneliti tentang bagaimana

perilaku mencari kesehatan sebagai sebuah respon bagi seorang ibu ketika anak mereka

menderita sakit atau mengalami gangguan kesehatan, berbeda dengan penelitian

sejenis yang pertama. Penelitian ini menggunakan teori health seeking behavior yang

dikemukakan oleh Andersen, dimana pada teori tersebut Andersen menunjukkan

bahwa terdapat 6 respon dari seseorang ketika mengetahui bahwa mereka mengalami

gangguan kesehatan atau sakit. Respon yang pertama ialah dengan tidak melakukan

apa – apa, respon kedua ialah dengan melakukan pengobatan mandiri, mencari

pengobatan tradisional adalah respon ketiga, keempat ialah dengan membeli

pengobatan dari sebuah toko ataupun apotik, respon kelima ialah dengan pergi ke

fasilitas layanan kesehatan seperti halnya rumah sakit dan pusat kesehatan lainnya, dan

respon keenam ialah pergi ke fasilitas layanan kesehatan yang lebih modern seperti

menemui dokter praktik khusus.

Dijelaskan juga dari tiap – tiap respon yang dikemukakan oleh Andersen bahwa

respon pertama ialah bentuk respon dari seseorang yang memilih untuk menunda –

nunda mencari layanana kesehatan dan lebih memilih untuk mengabaikan penyakit

tersebut. Selanjutnya pada respon kedua, ketiga dan keempat ialah bentuk respon dari

seseorang ketika mereka memilih untuk melakukan pengobatan tanpa mencari refrensi

24 Larasati, Fatati. 2020. “Health Seeking Behavior in Bulak Banteng, Surabaya”. International Journal

of Public Health Science (IJPHS), Volume 9, No 1, Hlm 1 – 7

Page 27: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

27

atau konsultasi dengan pihak lain, respon ini termasuk kedalam konsep self-care.

Sementara untuk respon kelima dan keenam, ialah bentuk respon dari seseorang yang

memilih untuk mendapatkan refrensi dan konsultasi dari pihak lain, seperti pekerja

kesehatan yang bekerja pada layanan jasa kesehatan formal maupun tidak formal. Pada

tulisan studi selanjutnya yang berjudul Factors associated with health-seeking

behavior among migrant workers in Beijing, China25, dimana studi ini secara garis

besar membahas tentang faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku mencari

kesehatan diantara para pekerja migran di Beijing, China. Tidak jauh berbeda dengan

penelitian sejenis yang sebelumnya, pada jurnal ini faktor perilaku seseorang diukur

dengan menggunakan dan melihat dari karakteristik demografi sosial para pekerja

migran.

Hasil yang ditemukan oleh penulis penelitian ini ialah, layanan medis yang akan

mereka kunjungi ketika mereka menderita sakit ialah layanan kesehatan di desa atau

layanan kesehatan yang ada di komunitas masyarakat. Selanjutnya, beberapa sampel

yang selama dua minggu sebelumnya menderita sakit mereka 36,4% mereka memilih

untuk menemui dokter dan sisa nya memilih untuk melakukan pengobatan mandiri

ataupun tidak melakukan apa – apa untuk menyembuhkan penyakit mereka. Biaya

yang mahal bagi para pekerja sehingga tidak dapat membayar biaya pengobatan

25 Yingchun Peng, Wenhu Chang, Haiqing Zhou, Hongpu Hu dan Wannian Liang. 2010. “Factors

associated with health-seeking behavior among migrant workers in Beijing, China”. BMC Health

Services Research, Vol 10, Issue 69

Page 28: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

28

menjadi alasan utama pekerja migran memilih untuk melakukan pengobatan mandiri

maupun tidak melakukan apa – apa terhadap penyakitnya.

Pekerjaan para migran yang berbasis kontrak jangka pendek, para pekerja migran

mengalami penderitaan dari kehidupan yang tidak stabil. Sehingga membuat mereka

sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, baik untuk tempat tinggal maupun

melakukan investasi pada asuransi kesehatan. Bahkan sebanyak 3% pekerja yang

memiliki asuransi kesehatan, mereka masih memiliki akses yang sangat terbatas

terhadap layanan kesehatan karena tingkat keuangan mereka yang rendah. Studi ini

menunjukkan bahwa asuaransi memegang peran penting dalam perilaku mencari

kesehatan atau Health seeking behavior, hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian

besar populasi pekerja migran tidak memiliki asuransi dan harus membayar biaya

kesehatan mereka sendiri dengan biaya pengobatan yang meningkat sebesar 20,3%

dalam beberpa tahun terakhir. Mahalnya biaya pengobatan, menempatkan posisi

pekerja imigran menjadi tidak diuntungkan yang membuat mereka kesulitan untuk

mendapatkan akses layananan kesehatan ketika mereka tinggal dan bekerja di area

pinggiran kota.

Peneltian selanjutnya yang digunakan peneliti untuk penelitian sejenis ialah sebuah

penelitian yang memiliki judul Socio-Economic i differencesi andi Healthi seekingi

behaviori for the diagnosisi and treatmenti of malaria: a case studyi of four local

governmenti areas operating i the Bamako i initiative programme i in south-east

Page 29: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

29

Nigeria26. Penelitian pada jurnal ini berfokus melihat tentang apakah terdapat sebuah

perbedaan pada masyarakat ketika ingin melakukan diagnosa dan mengobati penyakit

malaria jika dilihat melalui keadaan sosial ekonomi masyarat dan perilaku masyarakat

dalam mencari kesehatan, dengan studi kasus penelitian pada empat area operasi

pemerintah lokal di wilayah Tenggara Nigeria dalam menjalankan program Bamako.

Untuk menentukan indeks atau tingkatan status sosial ekonomi masyarakat, peneliti

pada jurnal ini menggunakan tinkat aset kepemilikan dan pendapatan pada keluarga.

Analisis PCA (Primary Component Asset) atau analisis komponen utama dengan

berbagai input seperti kepemilikan alat elektronik, dan kendaraan pada rumah tangga

digunakan oleh peneliti jurnal ini untuk mendapatkan data mengenai status sosial

ekonomi yang tepat. Selanjutnya juga peneliti membagi klasifikasi status sosial

ekonomi masyarakt menjadi empat kategori dengan urutan terbawah yaitu rumah

tangga paling miskin yakni rumah tangga yang sama sekali tidak memiliki kendaraan

maupun alat elektronik, selanjutnya yaitu rumah tangga yang miskin, ketiga ada rumah

tangga yang cukup, dan yang terakhir ialah rumah tangga yang cukup dan

berkecukupan atau rumah tangga yang sejahtera.

Secara garis besar kesmipulan dari hasil yang dilihat dari analisa yang telah

dilakukan oleh peneliti melalui data – data yang telah dikumpulkan menunjukkan

26 Uzochukwo SC, Benjamin., Onwujekwe E, Obinna. 2004. “Socio-Economic differences and Health

seeking behavior for the diagnosis and treatment of malaria: a case study of four local government

areas operating the Bamako initiative programme in south-east Nigeria”. International Journal for

Equity in Health, Vol 3, Article 6.

Page 30: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

30

bahwa masyarakat secara umum melakukan diagnosa diri atau self diagnosis untuk

melakukan diagnosa dan perawatan terhadap penyakit malaria yang mewabah, diikuti

dengan diagnosis yang dihasilkan dari tes di laboratorium, petugas kesehatan yang ada

di masyarakat, dan tabib dari pengobatan tradisional. Self diagnosis atau diagnosa diri

paling umum dilakukan pada masyarakat yang rumah tangga nya memiliki status sosial

ekonomi di kategori miskin dan rumah tangga paling miskin.

Untuk melakukan pengobatan jika mereka terjangkit malaria, pilihan pertama

masyarakat ialah tidak langsung menuju ke pusat layanan kesehatan atau rumah sakit

melainkan mereka akan menggunakan obat – obatan yang dijual di toko. Terlihat dari

respon pada kuesioner juga bahwa mayoritas masyarakat lebih memilih fasilitas

kesehatan swasta sebagai fasilitas kesehatan yang akan mereka kunjungi pertama kali

jika obat – obatan yang dijual di toko dianggap tidak efektif, lalu baru diikuti menuju

ke fasilitas kesehatan pemerintah dan pengobatan tradisional. Hal tersebut

menunjukkan bahwa terdapat ketidakpercayaan masyarakat kepada fasilitas pusat

layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah, yang menjadi evaluasi

sebagai peningkatakan mutu dari program layanan kesehatan Bamako.

Page 31: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

31

Tabel I.1

Tabel Penelitian Sejenis NOi Nama

Penelitii

Jenis Pustaka/

Tahuni

Temuan pembahasani Metodologi

i

Juduli Analisisi

Persamaani Perbedaani

1 Aaiz Ahmed.,

dkk

Jurnali

Internasionali/

2017

Self diagnosis yang dilakukan oleh

mahasiswa Psikologi ini dengan didasari

oleh pengetahuan mereka serta informasi –

informasi yang mereka dapatkan dari

berbagai macam sumber informasi seperti

buku, internet, dan sebagainya. Sehingga

mereka melakukan diagnosa mandiri

terhadap gangguan kesehatan mental yang

mereka yakini bahwa mereka mendertia

penyakit tersebut

Metode

Kualitatif,

dengan

teknik

pengumpul

an data

melalui

wawancara

Self-diagnosisi

ini Psychologyi

Studenti

Studi ini memiliki

konsep dan tema

penelitian yang cukup

mirip dengan penelitian

yang akan diangkat,

seperti konsep

mengenai self diagnosis

(diagnosa mandiri)

yang digunakan.

Studi ini berbeda dengan

penelitian yang akan

dilakukan peneliti, dimana

pada studi ini

menggunakan metode

penelitian kualitatif dalam

mengkaji tema penelitian.

2 Even J.

Lanseng., dkk

Jurnal

Internasional/

2007

Studi ini membahas tentang bagaimana

kesiapan dan sikap masyarakat terhdap

penggunaan layanan jasa yang

menggunakan teknologi dalam bidang

kesehatan yaitu pada layanan aplikasi self-

diagnosis. Pengguna atau masyarakat

sudah memiliki kesiapan dan sikap yang

baik untuk menggunakan dan mengadopsi

layanan jasa berbasis teknologi dalam

bidang kesehatan sehingga layanan tersebut

bisa menyatu di masyarakat.

Kuantitaif,

kuesioner

dan

menggunak

an skenario

Electronic

healthcare: a

study of

people’s

readiness and

attitude toward

performing self-

diagnosis

Studi ini memiliki

fokus yang cukup sama,

yaitu dimana self

diagnosis dilakukan

menggunanan layanan

jasa berbasis teknologi

yang dapat

mempermudah

seseorang dalam

melakukan self

diagnosis di era saat ini.

Penelitian ini lebih menitik

beratkan pada kesiapan dan

sikap masyarakat dalam

proses pengenalan layanan

jasa di bidang kesehatan

yang berbasis teknologi

serta penggunaan teknik

pengumpulan data yang

menggunakan scenario

untuk melihat evaluasi dari sikap masyarakat terhadap

layanan jasa tersebut

3 Annemarie

Jutel., dkk

Jurnal

Internasional/

2015

Pada studi ini, self diagnosis atau diagnosa mandiri digunakan dan disarankan oleh

petugas ahli medis guna mencegah dan

mengendalikan sebuah wabah penyakit

yang terjadi. Namun, keakuratan diagnosa

Metode Kuantitatif,

dengan

survei

Self-diagnosis of influenza during

a pandemic: a

Fokus pada penelitian yaitu diagnosa mandiri

yang dilakukan

masyarakat untuk

Studi ini berusaha untuk memaparkan bagaimana

tingkat keakuratan dari

mandiri yang dilakukan

oleh masyarakat sebagai

Page 32: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

32

mandiri yang dialkukan oleh masyarakat

sangatlah rendah karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai gejala

dan penyakit influenza yang menyerang

dan mewabah di masyarakat.

cross-sectional

survey

mendeteksi kondisi

penyakit

bentuk untuk menekan

angka persebaran pandemi dan dalam mendeteksi

penyakit

3 Chizobam

Ani, MD dkk

Jurnal

Internasional/

2008

Studi ini berfokus pada apakah terdapat

korelasi pada self diagnosis terhadap

penyakit medis dan gangguan kesehatan

mental pada masyarakat minoritass yang

terlatar dan tidak mendapatkan layanan

kesehatan yang memadai. Hasil yang

ditemukan membuktikan bahwa, terdapat

korelasi namun tidak begitu kuat dengan

bukti bahwa masih ada masyarakat yang

memiliki penyakit medis maupun

gangguan kesehatan mental yang tidak

pernah sekalipun diperiksa secara formal

oleh tenaga ahli kesehatan maupun

psikiater. Hal tersebut yang membuat

mereka melakukan self diagnosis, faktor

lainnya ialah gejala penyakit yang sulit

untuk dideteksi dan asympomatis atau

bahkan tidak memiliki gejala

Kuantitatif,

Cross

Sectional

Correlates of

Self-diagnosis

of Chronic

Medical and

Mental Health

Conditions in

Under-Served

African

American and

Latino

Populations

Penelitian ini

memaparkan faktor

lainnya yang dapat

mempengaruhi

seseorang dalam

melakukan self

diagnosis, yakni akses

terhadap layanan

kesehatan yang sulit.

Membuat masyarakat

lebih memilih untuk

melakukan self

diagnosis.

Posisi konsep diagnosa

mandiri, menjadi variabel

atau fokus yang akan

dipengaruhi, berbeda

dengan penelitian yang

akan dilakukan peneliti

dimana self diagnosis

menjadi variabel yang

mempengaruhi.

4 Hannah L

Semigran.,

dkk

Jurnal

Internasional /

2015

Keakuratan diagnosa mandiri yang

dihasilkan dengan menggunakan aplikasi pada internet maupun layanan aplikasi

lainnya sangat rendah, namun dapat

memberikan saran triasse yang cukup baik

bagi pengguna aplikasi tersebut

Kuantitatif,

dengan

audit study

Evaluation of

symptom checkers for self

diagnosis and

triage: audit

study

Studi ini memaparkan

tentang keakuratan yang dihasilkan dari

sebuah aplikasi

diagnosa mandiri

sangat rendah sehingga

menunjukkan bahw

diagnosa mandiri dapat

berbahaya dan

menghadirkan

Studi ini berfokus untuk

melakukan evaluasi pada aplikasi layanan diagnosa

mandiri, berbeda dengan

penelitian yang akan

peneliti angkat dimana

akan befokus pada

seseorang yang melalukan

diagnosa mandiri

berdasarkan faktor lainnya.

Page 33: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

33

kekeliruan bagi

seseorang.

5 Denise A.

Copelton,.

dkk

Jurnal

Internasional/

2009

Studi ini berfokus pada bagaimana

perbandingan medical diagnosis dan self

diagnosis yang dilakukan oleh masyarakat dalam melihat gejala – gejala serta mencari

pengobatan terhadap penyakit autoimun.

Studi ini juga mampersembahkan

bagaimana proses sosial dari sebauh

diagnosis yang merupakan sebuah proses

negosiasi antara sudut pandang orang

awam dengan sudut pandang tenaga ahli

medis sehingga dapat menimbulkan konflik

Ketika seseorang tidak merasa puas dengan

diagnosa gejala penyakit yang mereka

dapatkan baik itu dari medical diagnosis

dan self diagnosis yang mereka lakukan,

meraka akan tetap mencari diagnosa yang menurut mereka dapat diterima sesuai

dengan standar yang mereka inginkan

Kualitatif,

wawancara

‘‘You don’t

need a

prescription to go gluten-free’’:

The scientific

self-diagnosis of

celiac disease

Studi ini menjelaskan

bagaimana self

diagnosis merupakan sebuah metode

diagnosa yang dapat

muncul karena ketidak

puasan pasien terhadap

diagnosa yang

diberikan oleh medical

diagnosis tidak sesuai

dengan harapan pasien

tersebut.

Penelitian ini

menggunakan metode

penelitian kualitatif dan juga bertujuan unutk

membandingkan diagnosa

medis dengan self

diagnosis yang pada

akhirnya muncul scientific

self diagnosis sebagai

metode diagnosa yang

posisi nya berda ditengah

antara self diagnosis

dengan medical diagnosis

6 Ressa Novita

Afandi,. dkk

Jurnal

Nasional/

2018

Studi pada jurnal ini menggunakan teori mengenai faktor – faktor yang

mempengaruhi perilaku dari Lawrence W.

Green sebagai dimensi yang akan

digunakan untuk meneliti perilaku pasien

dalam mencari kesehatan. Lawrence

mengungkapkan bahwa terdapat 3 faktor

yang mempengaruhi perilaku, faktor

pertama ialah faktor predisposisi

(predisposing factor) yang terdiri dari

pengetahuan dan sikap. Faktor kedua ialah

faktor kemungkinan (enabling faktor) yang

terdiri dari akses, yang faktor yang terakhir

Kuantitatif,

deksriptif

Health-Seeking Behavior of

Dengue

Hemorrhagic

Fever Patients

in

Several

Hospitals in

Bandung West

Java Indonesia

Penelitian ini terdapat fokus teori mengenai

health seeking behavior

yang sasama dengan

penelitian yang akan

diangkat oleh peneliti

dan bisa menjadi acuan

teori bagi peneliti

Studi ini menggunakan beberapa faktor yang

diagbungkan dengan

demografi sosial

masyarakat untuk

mengukur perilaku mencari

kesehatan masyarakat,

posisi health seeking

behavior pada penelitian ini

merupakan variabel yang

dipengaruhi

Page 34: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

34

ialah faktor yang memperkuat (reinforcing

factors) yaitu terdiri dari ekonomi dan

pendidikan.

7 Fatati Larasati Jurnal

Internasional/

2020

Penelitian ini menggunakan teori health

seeking behavior yang dikemukakan oleh Andersen, dimana pada teori tersebut

Andersen menunjukkan bahwa terdapat 6

respon dari seseorang ketika mengetahui

bahwa mereka mengalami gangguan

kesehatan atau sakit. Respon yang pertama

ialah dengan tidak melakukan apa – apa,

respon kedua ialah dengan melakukan

pengobatan mandiri, mencari pengobatan

tradisional adalah respon ketiga, keempat

ialah dengan membeli pengobatan dari

sebuah toko ataupun apotik, respon kelima

ialah dengan pergi ke fasilitas layanan

kesehatan seperti halnya rumah sakit dan

pusat kesehatan lainnya, dan respon

keenam ialah pergi ke fasilitas layanan

kesehatan yang lebih modern seperti

menemui dokter praktik khusus.

Kuantitatif,

deskriptif

Health seeking

behavior in Bulak Banteng,

Surabaya

Penelitian ini

memaparkan teori mengenai health

seeking behavior yang

sama dengan fokus

penelitian peneliti

sehingga dapat menjadi

acuan tambahan bagi

peneliti

Studi ini dilakukan pada

daerah Surabaya, yang mana berbeda dengan

penelitian yang akan

dilakukan peneliti yakni di

Jakarta. Serta studi ini

menggunakan demografi

sosial seperti umur, tingkat

pendidikan, pekerjaan dan

pemasukan keluarga untuk

mengukur perilaku.

8 Yingchun

Peng., dkk

Jurnal

Internasional/

2010

Studi ini secara garis besar membahas

tentang faktor – faktor yang mempengaruhi

perilaku mencari kesehatan diantara para pekerja migran di Beijing, China. Tidak

jauh berbeda dengan penelitian sejenis

yang sebelumnya, pada jurnal ini faktor

perilaku seseorang diukur dengan

menggunakan dan melihat dari

karakteristik demografi sosial para pekerja

migran.

Kuantitatif,

menyebar

angket

Factors

associated with

health-seeking behavior among

migrant workers

in Beijing,

China

Studi ini membahas

mengenai health

seeking behavior dan menujukkan faktor

lainnya dari hasil

penelitian yang dapat

digunakan sebagai

peneliti sebagai acuan

untuk menodorong

penelitian

Sama seperti sebelumnya,

penelitian ini menggunakan

demografis sosial masyarakat sebagai

variabel yang

mempengaruhi dari

perilaku mencari kesehatan

masyarakat.

Page 35: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

35

Hasil yang didpatkan dari studi ini

menunjukkan bahwa asuaransi memegang peran penting dalam perilaku mencari

kesehatan atau Health seeking behavior, hal

tersebut menunjukkan bahwa sebagian

besar populasi pekerja migran tidak

memiliki asuransi dan harus membayar

biaya kesehatan mereka sendiri dengan

biaya pengobatan yang meningkat sebesar

20,3% dalam beberpa tahun terakhir.

Mahalnya biaya pengobatan, menempatkan

posisi pekerja imigran menjadi tidak

diuntungkan yang membuat mereka

kesulitan untuk mendapatkan akses

layananan kesehatan ketika mereka tinggal

dan bekerja di area pinggiran kota.

9 Benjamini SC

Uzochukwo.,

dkk

Jurnal

iInternasional/

2004

Perbedaan tingkat sosial ekonomi pada

masyarakat tenggara Nigeria

mempengaruhi perilaku masyarakatnya

dalam mencari sebuah pengobatan dan

diagnosa terhadpa penyakit Malaria yang

mewabah di masyarakat. Serta perlu adanya peningkatan dalam layanan

kesehatan yang disediakan oleh pemerintah

agar masyarakat bisa dan lebih memilih

untuk menggunakan layanan yang

disediakan dibandingkan pergi ke rumah

sakit swasta

Kuantitatif,

kuesioner.

Socio-Economic

differences and

Health seeking

behavior for the

diagnosis and

treatment of malaria: a case

study of four

local

government

areas operating

the Bamako

initiative

programme in

south-east

Nigeria

Studi ini membahas

tentang perilaku

mencari pengobatan

pada masyarakat,

sehingga dapat menjadi

tinjauan sejenis dan

acuan bagi peneliti.

Penelitian ini

menggunakan status sosial

ekonomi sebagai variabel

independent yang

mempengaruhi seseorang

atau masyarakat dalam

melakukan self diagnosis.

Sumber: Hasil Olah Data Peneliti, 2020

Page 36: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

36

I.6. KerangkaiTeoritik

I.6.1. Konsep Self Diagnosisi (Diagnosa Mandiri)

Diagnosis dalam sebuah kesehatan merupakan hal yang umum dan sudah

sepaharusnya dilakukan oleh seorang dokter atau tenaga ahli medis untuk

menentukan kondisi kesehatan pasien dan melakukan pengobatan agar pasien

tersebut mendapatkan perawatan kesehatan yang seuai dan tepat. Annmarie Jutel

dalam Sociology of Diagnosis menjelaskan bahwa diagnosis merupakan salah satu

alat yang sangat penting dalam pengobatan dan juga menunjukkan bagaimana

kedokteran berperan dalam sebuah masyarakat. Pembahasan sosilogis melihat

bahwa diagnosis merupakan alat sosial yang kuat dengan keunikan fitur dan

dampak yang memiliki analisis spesifik nya tersendiri27.

Denise A Copelton dan Giuseppina Valle menjelaskan bahwa, seorang

pasien tidak selamanya akan menemukan diagnosa yang tepat yang berbanding

lurus dengan apa yang mereka inginkan dan jika seseorang yang memiliki gejala

penyakit yang tidak sesuai dengan standar diagnosa yang akan mereka mungkin

akan berusaha untuk mendapatkan diagnosa yang lainnya dengan menggunakan

informasi alternative seperti halnya melalui internet, dan sebagainya28.

Ketidakyakinan dan kurang percaya nya seseorang dengan diagnosa yang

27 McGann, PJ & Hutson, J David. “Sociology of Diagnosis (Advances in Medical Sociology) Volume

12. 2011. Howard House UK: Emerald Group Publishing Limited. Hlmn 4 28 Copelton, Denise A., dkk, .2009, Op.cit., Hlm 625

Page 37: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

37

diberikan oleh tenaga ahli medis dapat memicu seseorang dalam melakukan self

diagnosis dengan melihat dari gejala penyakit yang mereka rasakan lalu ditambah

dengan informasi alternatif yang mereka dapatkan atau miliki, fakta tersebut juga

dikemukakan oleh Robert Raffaeta dalam sebuah buku dengan melilhat sebuah

fenomena yang pernah terjadi pada masyarakat Italia, dimana masyarakat tersebut

melakukan diagnosa mandiri terhadap suatu penyakit alergi yang belum

terkonfirmasi kebenarannya oleh diagnosa medis. Diagnosis mandiri yang

dilakukan oleh masyarakat tersebut berdasarkan pengetahuan mereka tentang

patologi atau penyakit, dan informasi yang mereka dapatkan melalui media

ataupun melalui interaksi sosial29.

Self-diagnosis dijelaskan dalam sebuah model terapetik S-DTM pada

psikoparmakologi yang dikemukakan oleh Charlton B dimana self-diagnosis

digambarkan menjadi sebuah kesadaran dan kepedulian seorang individu terhadap

suatu penyakit atau gejala kesehatan lainnya yang membuat seseorang tersebut

merasa gelisah dan muncul perasaan tidak menyenangkan bagi dirinya, sehingga

membuat individu menjadi tergerak untuk melakukan identifikasi terhadap gejala

– gejala penyakit yang muncul pada dirinya secara spesifik sebagai dasar dari

identifikasi akan penyakit yang diderita30.

29 Fainzang, Sylvie., dkk. 2011, Op.Cit., Hlmn 10 30 Cahrlton, Bruce G. 2005. "Self-management of psychiatric symptoms using over-the-counter (OTC)

psychopharmacology: the S-DTM therapeutic model--Self-diagnosis, self-treatment, self-monitoring”.

Medical Hypotheses, Volume 65, Issue 5, Hlm 824.

Page 38: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

38

Aaiz Ahmed dan Stephen S juga menambahkan penjelasan definisi

mengenai konsep tersebut bahwa, diagnosa diri atau self diagnosis merupakan

sebuah tindakan pengamatan seseorang terhadap gejala – gejala penyakit atau

gangguan kesehatan yang mereka rasakan secara mandiri serta melakukan

identifikasi terhadap penyakit yang mereka rasakan hanya berdasarkan gejala –

gejala penyakit yang dirasakan tanpa bantuan tenaga medis maupun konsultasi

medis31. Annemarie Jutel dalam studi nya melihat fenomena self diagnosis yang

dilakukan oleh orang awam sebagai penentangan otoritas kedokteran, yang mana

otoritas yang dimiliki oleh seorang dokter menjadi menurun. Diagnosis merupakan

pusat dari praktik kedokteran itu sendiri, serta untuk menentukan peran dan

batasan antara pasien dan seorang dokter professional. Namun, self diagnosis

muncul dan mengaburkan perbedaan antara seorang pasien dan dokter tersebut32.

Setelah peneliti menelusuri beberapa jurnal dan literatur tentang self

diagnosis, peneliti melihat pada satu literatur buku yang membahas mengenai

Teori – teori perilaku, dengan melihat dan memahami hal – hal yang dapat

mempengaruhi seseorang dalam melakukan self diagnosis berdasarkan beberapa

jurnal literatur yang telah peneliti telusuri serta simpulkan. Teori Precede –

Proceed yang dikembangkan Lawrence Green, sesuai dengan indikator yang dapat

mempengaruhi self diagnosis. Lawrence Green membagi tiga faktor utama dalam

31 Ahmed, Aaiz., dkk. 2017, Op.cit., Hlmn 121 32 Jutel, Annemarie., dkk. 2015. Op.cit., Hlmn 1

Page 39: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

39

teori nya Precede yaitu predisposing, enabling, dan reinforcing33. Dijelaskan lebih

lanjut mengenai ketiga faktor tersebut dalam sebuah jurnal penelitian, dimana

faktor pertama yaitu faktor predisposisi adalah faktor yang terbentuk pada

pengetahuan dan sikap. Lalu faktor kedua atau faktor pemungkin adalah faktor

yang terbentuk dari sebuah akses terhadap informasi maupun layanan – layanan di

bidang kesehatan. Terakhir adalah faktor penguat yang terbentuk dalam hal yang

menjadi panutan refrensi dari perilaku masyarakat34.

Sehingga faktor – faktor yang mempengarui self diagnosis berdasarkan

teori perilaku Lawrence Green dan penelitian – penelitian yang telah peneliti

telusuri yakni sebagai berikut:

A. Predisposisi (Predisposing factors)

Berdasarkan jurnal – jurnal dan literature lainnya dengan tema

pembahasan self diagnosis, terdapat faktor predisposing yang

mempengaruhi dan mendorong seorang individu melakukan self

diagnosis. Indikator pertama pada faktor ini ialah pengetahuan

(knowledge) mengenai kesehatan dan penyakit yang dimiliki oleh seorang

individu. Sebelumnya telah dijelaskan tentang bagaimana Robert

Raffaeta melihat sebuah penyakit alergi yang muncul di masyarakat dan

33 Notoatmodjo, Soekidjo. “Ilmu Perilaku Kesehatan Cetakan Kedua”. 2014. Jakarta: PT RINEKA

CIPTA. Hlm 75 34 Affandi, Novita Ressa., dkk. 2018, Op.cit., Hlmn 122

Page 40: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

40

orang – orang tersebut melakukan self diagnosis. Robert Raffaeta

mengatakan bahwa self diagnosis yang dilakukan oleh orang – orang

tersebut didasarkan atas pengetahuan patologi yang mereka miliki35.

Charlton B juga menegaskan hal tersebut bahwasanya untuk

mendapatkan diagnosa yang berguna unutk nantinya melakukan

pengobatan mandiri, maka seseorang perlu memiliki pengetahuan tentang

kemungkinan munculnya gejala agar sehingga bisa menemukan

pengobatan yang potensial36. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang

dilakukan oleh Annemarie Jutel, dkk dimana kurangnya tingkat

keakuratan self diagnosis yang dilakukan oleh masyarakat pada situasi

pandemi dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang

penyakit yang mewabah sehingga keakuratan self diagnosis yang

dilakukan tidak akurat37.

Persepsi penyakit seseorang menjadi indikator kedua pada faktor

Predisposing sebagai suatu sikap (attitude) yang dapat mempengaruhi

seseorang individu dalam melakukan self diagnosis, seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya bahwa ketika seorang pasien tidak setuju dan tidak

bisa menerima diagnosa yang didapatkan dari tenaga ahli medis karena

35 Fainzang, Sylvie, loc.cit 36 Cahrlton, Bruce G. 2005, Op.cit., Hlmn 825 37 Jutel, Annemarie., dkk. 2015,Op.cit., Hlmn 5

Page 41: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

41

tidak sesuai dengan apa yang mereka rasakan, maka mereka akan

mencoba untuk mencari diagnosa lainnya melalui cara alternative dengan

menggunakan informasi yang mereka dapatkan. Hal ini juga

membuktikan bahwa terdapat ketidak puasan pada diri seorang pasien

ketika menerima diagnosa dari seorang tenaga ahli medis dalam

menentukan diagnosis terhdap kondisi serta gejala penyakit yang

dirasakan.

Persepsi penyakit seseeorang dapat diukur dengan beberapa aspek

atau unsur pada cognitive representation of illness yang dipaparkan pada

sebuah jurnal, yakni terdapat beberapa unsur untukmelihat bagaimana

persepsi penyakit pada seseorang yaitu38; 1) Identifikasi atau

pengenalan, yaitu labelisasi seseorang untuk dapat membentuk

gambaran penyakit dan gejala – gejala penyakit yang dirasakan.

Contohnya seperti tanda – tanda yang menggambarkan gejala penyakit

yang muncul pada seseorang terkena flu seperti batuk – batuk; 2)

konsekuensi, efek serta dampak dari penyakit yang dirasakan. Contohnya

ialah seseorang merasa letih dan tidak bergairah pada saat beraktivitas

sehingga penyakit tersebut dapat mengganggu aktivitas seseorang; 3)

penyebab, yaitu sebuah asumsi seseorang tentang apa yang menjadi sebab

38 Broadbent, Elizabeth., Petrie J, Keith., Main, Jodie., Weinman, John. 2006. “The Brief Illness

Perception Questionnaire”. Journal of Psychosomatic Research, Volume 60, Issue 6, Hlmn 631

Page 42: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

42

dari gangguan kesehatan tersebut. Seperti munculnya rasa cemas terhadap

penyakit yang diderita dan pengaruh dari sebuah penyakit terhadap emosi

penderita; 4) jangka waktu, yaitu mengenai berapa lama seseorang

percaya penyakitnya muncul dalam kondisi tubuhnya; 5) Pemulihan dan

Pengendailan, kepercayaan seseorang dan bagaimana seseorang itu

memperoleh kesembuhan dari gangguan kesehatannya itu.

B. Pemungkin (Enabling Factors)

Selain predisposisi, self diagnosis juga dipengaruhi oleh faktor

pemungkin yang mendukung seorang individu dalam melakukan

diagnosa mandiri tersebut. Indikator pertama pada faktor eksternal yang

mempengaruhi seseorang dalam melakukan self diagnosis ialah akses

individu kepada sumber informasi, dimana seseorang akan mencoba

mencari informasi mengenai suatu penyakit atau kondisi kesehatan

mereka. Copelton dan Valle mengemukakan bahwasanya ketika seorang

pasien untuk menolak dan tidak setuju untuk menerima diagnosa yang

diberikan oleh tenaga ahli medis mereka mungkin akan mencari opsi

diagnosa lainnya dari tenaga ahli medis yang lain atau berbelok untuk

Page 43: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

43

menggunakan informasi alternatif seperti internet, books, dan yang

lainnya39.

Hannah L Semigran, dkk juga menjelaskan dalam penelitiannya

bahwa beberapa pasien meneliti tentang kondisi kesehatan nya secara

online yang dimotivasi oleh rasa takut40. Lebih jelas lagi, Copelton dan

Valle mengemukakan bahwa gejala yang tidak dapat dijelaskan, diagnosa

medis yang tidak memuaskan bagi pasien, akes terhadap informasi medis,

dan sebuah komunitas yang mendukung self help dapat mendorong

individu untuk membentuk praktik epistimologi dan self diagnosis41.

C. Penguat (Reinforcing Factors)

Faktor selanjutnya ialah faktor penguat atau faktor pendorong, faktor

penguat yang menjadi refrensi dari self diagnosis yang dilakukan oleh

seorang individu ialah medical diagnosis, terkait apakah seorang pasien

menolak dan merasa tidak puas atas diagnosa yang mereka dapatkan dari

diagnosa yang dilakukan oleh tenaga ahli medis sehingga mereka mencari

berbagai pilihan lain untuk memperoleh diagnosa yang dapat memuaskan

mereka baik melalui tenaga ahli medis lainnya ataupun melalui cara

39 Copelton, Denise A., Valle, Giuseppina. 2009. “You don’t need a prescription to gluten-free: The

scientific self-diagnosis of celiac disease”. Social Science & Medicine, Volume 69, Issue 4, Hlmn 625 40 Semigran, Hannah L., dkk. 2015, Op.cit., Hlmn 8 41 Copelton, Denise A., Valle, Giuseppina, Op.cit., 2009, Hlmn 626

Page 44: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

44

alternatif yaitu self diagnosis dengan menggunakan informasi – informasi

yang mereka dapatkan. Dalam penjelasannya juga dijelaskan bahwa

faktor penguat terbentuk dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan42.

Copelton dan Valle juga mengemukakan bahwa seseorang yang

melakukan self diagnosis tetap melanjutkan untuk mencari medical

diagnosis dari seorang dokter atau petugas kesehatan atau mencari

metode diagnosis alternatif yang masih memiliki cap sains, sehingga

dengan begitu dapat pasien tersebut dapat merasakan legitimasi dari

diagnosis tersebut43.

I.6.2. Konsep Perilaku iPencarian iKesehatan (Healthi Seekingi Behaviori)

Perilaku secara umum memiliki pengertian yaitu tindakan yang dilakukan

oleh seseorang dan memiliki hubungan dengan lingkungan nya maupun dirinya

sendiri. Skinner dalam buku Ilmu Perilaku Kesehatan mengemukakan tentang

perilaku yang merupakan sebuah respons atau reaksi dari seseorang terhadap suatu

stimulus (rangsangan dari luar)44. Notoadmodjo dalam bukunya menjelaskan

mengenai Health seeking behavior atau perilaku mencari pengobatan adalah

perilaku atau tindakan seseorang yang mengalami masalah dalam kesehatan nya

atau mendirita suatu penyakit, dimana seseorang tersebut berusaha untuk

42 Notoatmodjo, Soekidjo. 2014, Op.cit., Hlmn 76 43 Copelton, Denise A., Valle, Giuseppina, loc.cit 44 Notoatmodjo, Soekidjo. 2014. Op.cit., Hlmn 20

Page 45: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

45

memperoleh kesembuhan terhadap penyakitnya dan memecahkan masalah

kesehatan pada tubuhnya45.

Ketika seseorang tidak merasakan sakit tetapi sebenernya mereka

menderita gangguan kesehatan (disease but no illness) mereka akan cenderung

untuk tidak melakukan tindakan apa - apa terhadap penyaktinya atau menunda

pencarian pengobatan. Namun ketika mereka diserang atau menderita suatu

penyakit dan merasakan gejala dari penyakit tersebut, maka mereka baru akan

sadar dan timbul berbagai macam perilaku dan berusaha untuk menyembuhkan

penyakit tersebut. Teori Anderson dalam buku ilmu perilaku kesehatan

menjelaskan respon – respon masyarakat apabila terjangkit penyakit untuk

mencari kesehatan yakni sebagai berikut46:

a. Tidaki bertindaki ataui melakukani apa – apai terhadap

pernyakit yang dirasakan (noiaction).

Respon pertama ini ialah respon dimana seseorang lebih memilih

untuk melupakan penyakit yang mereka derita dengan alasan seseorang

ialah bahwa kondisi penyakit yang mereka rasakan tidak menganggu

kegiatan rutinitas mereka sehari – hari. Mereka lebih memilih untuk

melakukan dan memprioritaskan pekerjaan dan kegiatan rutinitasnya,

karena mereka mungkin sudah memiliki anggapan mengenai penyakit

45 Ibid, Hlmn 24 46 Ibid, Hlmn 107 – 108

Page 46: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

46

yang mereka derita akan menghilang dengan sendirinya tanpa perlu

diobati. Namun, terdapat alasan lain yang biasa kita sering dengar ketika

seseorang menunda mencari pengobatan untuk penyakitnya dan lebih

memilih untuk tidak melakukan apa – apa, seperti letak fasilitas kesehatan

yang jauh, petugas kesehatan yang kurang berkesan baik, takut biaya

mahal atau bahkan takut untuk mengunjungi rumah sakit.

b. Melakukan Pengobatan Secara Mandiri atau Swamedikasi (self-

treatment)

Alasan seseorang mengapa ia melakukan pengobatan secara mandiri

ialah mereka memiliki kepercayaan diri yang didasari dari pengalaman

mereka dalam melakukan pengobatan pada penyakit yang pernah mereka

derita, dan pengobatan yang mereka berhasil. Pengalaman swamedikasi

yang berhasil tersebut membuat mereka beranggapan bahwa mereka tidak

perlu pergi untuk mencari pengobatan ke fasiltias atau layanan kesehatan

hanya untuk memperoleh kesembuhan bagi penyakit yang di derita nya.

Bentuk – bentuk swamedikasi atau pengobatan mandiri yang sudah cukup

umum dilakukan dan dipraktikan oleh masyarakat antara lain dibagi

menjadi tiga pola yaitu47:

47 Notoatmodjo, Soekidjo. 2014. Op.cit., Hlm 107 – 108

Page 47: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

47

A. Menggunakan obat – obatan modern yang biasa dan bisa mereka

dapatkan dengan mudah di warung – warung terdekat atau di apotik.

B. Menggunakan obat – obatan tradisional yang biasanya mereka

ramu atau buat sendiri dengan berbagai macam rempah ataupun yang

bisa mereka dapatkan juga di warung – warung seperti jamu racikan.

C. Terakhir yaitu menggunakan obat – obatan lainnya, obat – obatan

ini berbeda dari kedua obat yang telah dijelaskan sebelumnya. Obat

– obatan lainnya yang dimaksud adalah obat – obatan yang

didapatkan dari dukun, paranormal dan sebagainya yang berupa air

dan benda – benda lain yang diberi mantra.

c. Melakukan Pengobatan Untuk Memperoleh Kesembuhan

dengan Pergi ke Fasilitas atau Layanan Pengobatan Tradisional

(traditionaliremedy)

Pemilihan pengobatan tradisional masih cukup tinggi peminatnya

bagi masyarakat pedesaan yang dimana ditempat tinggal nya belum

terjangkau fasilitas kesehatan pemerintah atau sudah ada fasilitas layanan

kesehatan yang formal namun masyarakat desa yang masih percaya pada

pengobatan tradisional karena sudah menjadi tradisi turun – temurun.

Bagi masyarakat pedesaan yang notabane masih sederhana, masalah

kondisi tubuh sehat atau sakit masih dianggap dan bersifat budaya

dibanding gangguan – gangguan fisik.

Page 48: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

48

Seiring berjalannya waktu, pengobatan tradisional mengalami

kemajuan dan beberapa pengobatan tradisional telah mendapatkan

sertifikasi yang diuji oleh pengobatan konvensional, pengobatan tersebuti

yaitu bernama CAM atau Complementary Alternative Medicine. Pada

sebuah jurnal, mengutip deifnisi yang dikemukakan oleh national center

of complementary and alternative medicine bahwa CAM merupakan

suatu pengobatan yang terdiri dari berbagai macam pengobatan, produk

dan praktik pengobatan CAM bukan bagian dari pengobatan

konvensional48.

Penjelasan tenang CAM ini juga dipaparkan oleh WHO yang dikutip

dalam sebuah jurnal, dimana praktik pengobatan CAM ini melihat pada

sebuah rangkaian praktik pengobatan yang luas namun praktik tersebut

bukan bagian dari sebuah praktik pengobatan yang ada secara luas seperti

hanya praktik pengobatan konvensional. Contoh bentuk - bentuk dari

CAM ini sendiri meliputi pengobatan tradisional china dan sebagainya

seperti halnya yaitu praktik akupuntur, produk - produk pengobatan yang

alami, perawatan dan pengobatan herbal dan sebagainya49. Alasan

seseorang memilih pengobatan CAM ini dikarenakan mereka merasa

48 Satria, Darma. 2013. “Complementary and Alternative Medicine (CAM): Fakta atau Janji?”. Idea

Nursing Journal, Vol. IV, No. 3, Hlm 83. 49 Tavares, Isabel Aida. 2015. “Subtitutes or complements? Diagnosis and Treatment with Non-

conventional and Conventional Medicine”. International Journal of Health Policy and Management,

Vol. 4, Issue 4, Hlm 235.

Page 49: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

49

tidak puas dan kurang percaya dengan pengobatan modern serta ada nilai

– nilai dan keyakninan yang dimiliki oleh masyarakat50.

d. Melakukan Tindakan Pengobatani kei Fasilitasi Pengobatani

Moderni (Conventional)

Sarana pengobatan konvensional atau pengobatan modern dan

pengobatan barat (western medicine) ini secara umum memiliki definisi

yaitu merupakan pengobatan dengan menggunakan alat - alat modern

yang telah modern dan terus mengalami pembaruan serta diagnosa

penyakit berdasarkan tes ilmiah yang dilakukan. Pada sebuah jurnal

dijelaskan bahwa pengobatan modern atau pengobatan yang dilakukan

oleh profesional merupkan metode pengobatan untuk menghasilkan

kesembuhan bagi tubuh seseorang yang dilakukan berdasarkan dengan

bukti dari penelitian ilmiah yang telah dilakuan serta berdasarkan

pengetahuan dari berbagai aspek klinis dan medis. Obat – obatan yang

digunakan pada pengobatan professional ini semuanya berdasarkan hasil

uji klinis yang dilakukan untuk akhirnya bisa memproduksi obat yang

cukup akurat dalam melakukan penyembuhan penyakit dan juga memiliki

fungsi yang dapat dibuktikan secara ilmiah dan secara medis. Pengobatan

modern ini juga memiliki prosedur dengan langkah – langkah yang sesuai

50 Ibid, Hlm 235 – 236.

Page 50: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

50

dan konkrit dan terus ditingkatkan sesuai dan seiring dengan kemajuan

zaman dan teknologi51.

I.6.3. Teori The Sick Role, Talcott Parsons

Parson dalam kontribusi nya pada sosilogi kesehatan,

mengkonseptualisasikan the sick role dengan didasari atas dua pengembanagn

yaitu bagi American Medicine dan pengembangan bagi sosiologi. Parson

mengembangkan teori yaitu teori tindakan voluntarisik atau teori tindakan

sukarela, dimana ia mengajukan argument bahwa individu memiliki pilihan untuk

membuat pengalaman dan relasi sosial. Parsons berpendapat bahwa, bisa saja

seseorang dapat secara sukarela memutuskan untuk sakit dengan maksud dan

tujuan aktor tersebut yaitu agar mengadopsi sick role atau peran sakit dengan cara

menyimpang untuk menghindari segala persyaratan kehidupan sosial mereka.

Seseorang mungkin memilih untuk sakit karena itu bisa membebaskan mereka dari

beban kehidupan sosial52.

Hal tersebut sesuai dengan elemen dasar dari teori voluntaristik dimana

seorang aktor berusaha memilih atau berperilaku yang mereka inginkan untuk

memaksimalkan keuntungan transaksi mereka dengan aktor lainnya. Lebih

jelasnya, Parson mengemukakan bahwa the sick role atau peran sakit dilihat bukan

51 Yulianti., Moita, Sulsalman., Upe, Ambo. 2018. “Konstruksi Sosial Dalam Praktik Pengobatan Oleh

Dukun dan Medis”. Neo Societal, Vol. 3, No. 2, Hlm 375 52 White, Kevin. “An Introduction to the Sociology of Health and Illness”. 2002. London: Sage

Publications Ltd, Hlm 111 – 112

Page 51: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

51

melalui perasaan subjektif, melainkan oleh reaksi dari orang lain dan dari pola

tindakan yang ditunjukkan oleh aktor yang memang sedang sakit53.

Parsons juga mengungkapkan bahwa terdapat hak dan kewajiban dari

seorang aktor yang sedang memegang peran sakit atau sick role. Pada sisi hak,

individu tidak disalahkan dan dibebaskan dari tanggung jawab peran baik itu

tanggung jawab domestik hingga tanggung jawab seperti mengahruskan seorang

aktor mengambil cuti sakit dari dari pekerjaannya. Namun kewajiban tersebut

hanya dapat disahkan seusai dengan syarat. Lalu pada sisi kewajiban ialah seorang

aktor harus mencari bantuan yang kompeten secara teknis untuk mengobati

penyakitnya serta mematuhi rekomendasi dari para ahli yang mereka temui54.

53 Ibid, 54 Collyer, Fran. “The Palgrave Handbook of Social Theory in Health, Illness and Medicine”. 2015.

London: Palgrave Macmillan, Hlmn 213.

Page 52: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

52

I.6.4. Kerangka Berpikir

Skema I.1

Alur Pemikiran Peneliti

Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2020

Page 53: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

53

I.7. Hipotesis Penelitian

Lawrence Neumann dalam buku nya menjelaskan bahwa hipotesis adalah sebuah

proposisi teori yang belum diuji atau diverivikasi kebeneraan nya dengan bukti empiris,

sehingga hipotesis banyak digunakan dalam teori deduktif dan dapat dinyatakan

sebagai sebuah prediksi55. Hipotesis dalam sebuah penelitian kuantitatif sangat

diperlukan untuk menjadi prediksi – prediksi atau dugaan yang dibuat peneliti untuk

hasil keseluruhan dari kedua variabel yang akan diuji, seperti yang telah dijelaskan oleh

Neumann tersebut.

Penelitian ini memiliki dua variabel yang akan diteliti yaitu meliputu: satu

variabel bebas (X) dan satu variabel terikat (Y). Variabel self diagnosis atau diagnosa

mandiri menjadi variabel X, sedangkan variabel perilaku mencari pengobatan menjadi

variabel Y.

Sumber: Analisis Peneliti, 2020

Untuk menguji dan mengukur kebenaran dari penelitian yang akan dilakukan ini,

maka hipotesa yang dibuat oleh peneliti ialah sebagai berikut:

H0 : Self diagnosis tidak memiliki pengaruh terhadap perilaku pencarian

pengobatan

55 Neumann, Lawrence. W. 2014, op.cit., Hlm 68

Skema 1.2 Model Analisis

Self diagnosis (X1) Perilaku Mencari

Pengobatan (Y1)

H1

Page 54: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

54

H1 : Self diagnosis memiliki pengaruh terhadap perilaku pencarian

pengobatan

I.8. Metodologi Penelitian

I.8.1. Pendekatan dan Metode Penelitian

Untuk membahas penelitian ini, metode pendekatan penelitian yang

digunakan ialah metode penelitian kuantitatif. Creswell menjelaskan mengenai

penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk melakukan

pegujian terhadap sebuah teori tertentu dengan cara melakukan penelitian pada

hubungan antar variabel dengan menggunakan instrumen – instrumen penelitian

yang akan menghasilkan data berupa angka – angka dan selanjutnya akan

dianalisis menggunakan statistik56. Adapun metode penelitian yang akan

digunakan oleh peneliti untuk melakukan penelitian ini ialah dengan metode

survey, dimana data – data dikumpulkan secara sistematis dari sampel – sampel

untuk mewakili hasil dari keseluruhan populasi. Data dikumpulkan dari responden

dengan menggunakan kuesioner atau angket, tujuan dari penelitian ini yaitu

eksplanatif yakni bertujuan untuk menguji hubungan antara variabel bebas dengan

variabel terikat. Pada penlitian ini, variabel (X) atau variabel bebas adalah self

diagnosis dan variabel (Y) atau variabel terikat adalah perilaku mencari

pengobatan (health seeking behavior).

56 John. W, Creswell. 2014. “Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Method Approaches

4th Edition”. United States Of America: SAGE Publications. Hlmn 4

Page 55: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

55

I.8.2. Lokasii dani Waktui Penelitiani

Lokasi dan waktu penelitian menjadi unsur penting dalam menentukan

pengambilan populasi dan sampel yang akan dijadikan responden untuk akhirnya

menjadi data bagi peneliti serta disiplin terhadap target waktu penelitian yang

peneliti perkirakan dan gunakan. Sesuai dengan fokus peneliti pada penelitian ini,

dimana penelitian ini akan berlokasi di DKI Jakarta. Sesuai dengan unit analisis

yang akan peneliti teliti yaitu para pemuda produktif. Waktu penelitian pada

penelitian ini kurang lebih dilaksanakan selama 3 bulan terhitung dari bulan Mei

2020 hingga bulan Juli 2020.

I.8.3. Populasii dani Sampeli Penelitiani

Lawrence Neuman menjelaskan mengenai populasi dan sampel, dijelaskan

bahwa sebuah populasi merupakan kumpulan gagasan abstrak dari kelompok -

kelompok besar yang peneliti akan mengambil sebuah sampel dan akan

digeneralisasi57. Neuman juga menjelaskan mengenai sampel yang didefinisikan

sebagai perangkat dalam sebuah kasus kecil yang akan diambil oleh peneliti dari

sekelompok besar yang telah ditentukan dan akan nantinya akan di generalisasi ke

dalam sebuah populasi58. Pengambilan sampel dalam sebuah penelitian merupakan

hal yang paling penting dalam sebuah penelitian dengan pengambilan sampel yang

paling utama ialah mengambil sampel yang representatif, yakni sampel yang dapat

57 Neumann, Lawrence. W. “Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches

Seventh Edition”. 2014. Harlow: Pearson Education Limited. Hlmn 247 58 Ibid, Hlmn 246

Page 56: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

56

menggambarkan secara jelas tema penelitian yang ada bagi populasi serta sampel

yang mereproduksi atau mewakili temuan – temuan menarik dalam sekelompok

besar populasi.

Populasi yang digunakan dalam penelitian peneliti berdasarkan subjek

penelitian yang akan diteliti, dalam hal hini peneliti mengambil subjek penelitan

pada pemuda produktif. Subjek penelitian adalah masyarakat yang bertempat

tinggal di DKI Jakarta, agar data yang didapatkan peneliti menjadi lebih

proporsional. Langkah pertama yang peneliti lakukan ialah dengan melihat data

yang dipublikasi oleh BPS mengenai jumlah penduduk DKI Jakarta yang berusia

20 – 39 tahun berdasarkan kabupaten/kota tahun 2019 sebagai berikut:

Tabel I.2

Penduduk DKI Jakarta Usia 20 – 39 Tahun Menurut Kelompok Kota Pada

Tahun 2019

Kabupaten/Kota Jumlah Masyarakat Usia 20 – 39 Tahun

Kepulauan Seribu 7.032

Jakarta Utara 658.552

Jakarta Pusat 305.800

Jakarta Timur 1.000.128

Jakarta Barat 942.706

Jakarta Selatan 777.904

Jumlah 3.692.122

Sumber: Jakarta.bps.go.id, 2020

Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa Kota Administrasi Jakarta Timur memiliki

jumlah masyarakat Usia 20 – 39 tahun lebih besar dibandingkan dengan Kota

Administrasi lainnya di Provinsi DKI Jakarta. Maka dengan begitu, peneliti

Page 57: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

57

menetapkan jumlah masyarakat usia 20 – 39 tahun sebagai populasi penelitian. Kota

Administrasi Jakarta Timur terdiri dari 10 kecamatan yaitu Cakung, Cipayung, Ciracas,

Duren Sawit, Jatinegara, Kramat Jati, Makasar, Matraman, Pasar Rebo dan Pulo

Gadung.

Selanjutnya, berdasarkan data yang didapatkan peneliti melalui situs web Jakarta

Open Data, mengenai data jumlah penduduk usia kerja berdasarkan jenis kelamin dan

kelompok umur per kelurahan untuk tahun 2018 yang telah diperbarui atau di update

terakhir tanggal 17 Maret 2020. Maka didapati jumlah pemuda & pemudi usia produkif

20 – 39 tahun untuk setiap kecamatan Kota Administrasi Jakarta Timur ialah sebagai

berikut:

Tabel I.3

Penduduk Kota Administrasi Jakarta Timur Menurut Kelompok Usia &

Kecamatan

Kecamatan Jumlah Penduduk Usia 20 – 39 Tahun

Cipayung 93.275

Ciracas 102.848

Makasar 72.404

Duren Sawit 140.555

Cakung 191.328

Pasar Rebo 76.881

Kramat Jati 101.782

Jatinegara 104.840

Pulo Gadung 96.737

Matraman 58.752

Jumlah 1.039.402

Sumber: Data.Jakarta.go.id, 2020

Page 58: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

58

Berdasarkan tabel I.3, jumlah keseluruhan penduduk yang berusia 20 tahun hingga

39 tahun pada Kota Administrasi Jakarta Timur ialah 1.039.402 jiwa. Maka dengan

jumlah tersebut, untuk menentukan jumlah sampel minimum dalam penelitian ini.

Peneliti menggunakan perhitungan rumus Slovin dengan tingkat kepercayaan sebesar

85% dan margin error sebesar 15%, sehingga perhitungan untuk menentukan jumlah

sampel minimal pada penelitian ini ialah sebagai berikut:

Keterangan:

n= ukuran sampel

N= ukuran populasi

e= Error (% yang ditoleransi dengan ketidaktepatan penggunaan sampel)

𝑛 = 1.039.402

1 + 1.039.402(0,15)2

𝑛 = 1.039.402

23.387,545

𝑛 = 44,443

Hasil perhitungan didapatkan bahwa minimal jumlah responden yaitu berjumlah

44 orang, namun peneliti bulatkan menjadi berjumlah 45 responden yang sesuai dengan

karakteristik dan kriteria yang ditetapkan. Berdasarkan data pada tabel I.3, maka

Page 59: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

59

perhitungan sampel yang akan diambil peneliti agar lebih proporsional, ialah dengan

perhitungan rumus Slovin sebagai berikut:

Jumlah sampel tiap kecmatan = jumlah sampel/jumlah populasi x jumlah

masyarakat berusia 20 – 39 tahun.

Tabel I.4

Perhitungan Jumlah Sampel Proporsi Tiap Kecamatan Kecamatan Perhitungan Jumlah Sampel

Cipayung 45/1.039.402 x 93.275= 4,0 4

Ciracas 45/1.039.402 x 102.848= 4,4 4

Makasar 45/1.039.402 x 72.404= 3,1 3

Duren Sawit 45/1.039.402 x 140.555= 6,0 6

Cakung 45/1.039.402 x 191.328= 8,2 8

Pasar Rebo 45/1.039.402 x 76.881= 3,3 3

Kramat Jati 45/1.039.402 x 101.782= 4,4 5

Jatinegara 45/1.039.402 x 104.840= 4,5 5

Pulo Gadung 45/1.039.402 x 96.737= 4,1 4

Matraman 45/1.039.402 x 58.752= 2,5 3

Jumlah 45

Sumber: Hasil Olah Data Peneliti, 2020

Alasan peneliti mengambil subjek penelitian dengan rentang usia 20 – 39 tahu ini

ialah karena peneliti melihat dari statistik data penggunaan internet yang menunjukkan

usia produktif sebagai usia yang paling banyak dalam penggunaan akses internet untuk

mencari informasi serta memiliki smartphone. Dengan begitu, dapat menujukkan

bahwa mereka dapat akses terhadap informasi mengenai kesehatan dari penggunaan

internet yang mereka lakukan, sehingga hal tersebut dapat sesuai dengan kriteria yang

ditetapkan peneliti.

Page 60: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

60

Peneliti lebih mengutamakan subjek penelitian dengan kriteria tertentu sesuai

dengan teknik sampling yang peneliti gunakan yaitu nonprobability sampling, lebih

spesifik yaitu Snowball Sampling, Lawrence Neumann menjelaskan bahwa

pengambilan sampel bola salju disebut juga sampel jaringan adalah metode

pengambilan sampel atau pemilihan kasus dalam sebuah jaringan. Sampel nonramdom

ini menggunakan analogi bola salju, yang awalnya kecil semakin lama menjadi lebih

besar, pengambilan sampel bola salju ini merupakan pengambilan sampel multi stage,

dimulai dengan beberapa orang atau kasus dan menyebar berdasarkan tautan ke kasus

awal59. Sehingga, peneliti memutuskan melakukan penjaringan subjek penelitian yang

memiliki karakteristik tertentu, dimana penjaringan subjek penelitian berdasarkan

karakteristik dan kriteria sebagai berikut:

1. Pemuda & pemudi yang memiliki atau berusia produktif dari 20 – 39

tahun

2. Mengalami gejala penyakit atau menderita sakit dalam dua bulan

terakhir

3. Melakukan diagnosa mandiri berdasarkan informasi yang didapatkan

melalui pencarian mengenai gejala penyakit dan gangguan kesehatan

yang diderita menggunakan berbagai media informasi tentang

59 Neumann, Lawrence. W. 2014, op.cit., Hlm 275

Page 61: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

61

kesehatan khususnya dari penggunaan mesin pencarian yang tersedia

di internet atau aplikasi pada smartphone.

I.8.4. Operasionalisasii Konsepi

Sub bab sebelumnya telah dijelaskan dan dipaparkan mengenai konsep –

konsep yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini, kosep tersebut akan

digunakan peneliti tersebut akan peneliti gabungkan dan membentuk sebuah tabel

operasionalisasi konsep. Konsep – konsep yang digunakan peneliti antara lain

adalah konsep diagnosa mandiri (self diagnosis), dimana menurut teori pengaruh

perilaku Precede yang dikemukakan oleh Lawrence Green, terdapat tiga faktor

yang memepengaruhi yaitu, Faktor predisposisi, faktor kemungkinan, dan faktor

penguat60. Konsep kedua adalah konsep perilaku seseorang dalam mencari

pengobatan (health seeking behavior), yakni menurut Teori Andersen terdapat

empat respon masyarakat untuk menyembuhkan suatu penyakit yang diderita yaitu

dengan tidak melakukan pengobatan apa – apa, melakukan swamedikasi,

menggunakan pengobatan tradisional dan pengobatan modern61.

60 Notoatmodjo, Soekidjo. 2014, op.cit., Hlm 75 61 Larasati, Fatati. 2020, op.cit., Hlm 2

Page 62: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

62

Tabel I.5

TabeliOperasionalisasii Konsepi Konsep Variabel Dimensi Indikator Kategori Pengukuran

Variabel Independen

Konsep Self diagnosis

Tingkat Self-diagnosis

Faktor Predisposisi I. Pengetahuan II. Sikap

Baik

Buruk

Ordinal

Faktor Kemungkinan

I. Akses terhadap informasi kesehatan Baik

Buruk

Ordinal

Faktor Penguat I. Medical Diagnosis Baik

Buruk

Ordinal

Variabel Dependen

Konsep Perilaku

Mencari Pengobatan

(health seeking

behavior)

Tingkat Perilaku

Mencari Pengobatan

Tidak melakukan pengobatan apa apa

(No action)

I. Alasan dalam memilih untuk tidak melakukan pengobatan apa – apa

Tinggi

Rendah

Ordinal

Swamedikasi (self treatment atau self

treatment)

I. Alasan dalam memilih untuk melakukan swamedikasi

Tinggi

Rendah

Ordinal

Menggunakan pengobatan tradisional (tradisional

remedy)

I. Alasan dalam melakukan pengobatan tradisional

Tinggi

Rendah

Ordinal

Menggunakan pengobatan modern

I. Alasan dalam memilih pengobatan modern

Tinggi

Rendah

Ordinal

Sumber: Hasil Olah Data Peneliti, 2020

Page 63: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

63

I.8.5. Teknik Pengumpulan Data

Sebuah penelitian, terdapat teknik – teknik pengumpulan data dan analisis

data yang diperlukan untuk memperoleh temuan penelitian. Untuk mendapatkan

hasil dan temuan penelitian yang baik, maka teknik pengumpulan dan analisis data

dilakukan secara teratur dan disiplin sehingga mengurangi kesalahan yang akan

dibuat dalam penelitian Penelitian ini akan menggunakan data primer yang

didapatkan dari menyerbakan angket kuesioner yang disebarkan akan

menggunakan kuesioner online yakni dengan menggunakan Google Forms, agar

pengumpulan data lebih efektif dan efisioen. Studi literatur atau kajian Pustaka

dari studi – studi terdahili juga digunakan sebagai data sekunder dalam penelitian

yang akan dilakukan ini untuk menunjang analisa dari data – data yang telah

berhasil didapatkan oleh peneliti dari lapangan.

Tahap pertama ialah tahapipersiapan, pada tahap ini peneliti akan

menentukan populasi dan sampel yang telah ditentukan yang akan menjadi

responden pada penelitian peneliti kali ini, selanjutnya peneliti akan melakukan

pembuatan kuesioner yang berpedoman pada variabel – variabel serta konsep yang

telah peneliti tentukann. Selanjutnya taahapipelaksanaan, pada tahap ini peneliti

akan melakukan pemetaan dan pencarian responden yang sesuai dengan kriteria

yang telah ditetapkan agar data yang didapatkan bisa sesuai menggambarkan

kondisi yang ada, selanjutnya peneliti akan melakukan penyebaran kuesioner

kepada responden yang telah sesuai dengan kriteria dan ditetapkan oleh peneliti

Page 64: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

64

sebagai responden. Kuesioner sendiri terdiri dari pertanyaan penelitian yang sesuai

dengan indikator pada operasionalisasi konsep peneliti dan pernyataan mengenai

identias responden. Studi literatur seperti buku, jurnal dan informasi yang didapat

dari internet digunakan pada penelitian ini sebagai tambahan data dan refrensi

peneliti.

I.8.6. Teknik Analisis Data

Setelah data - data berhasil peneiliti kumpulkan, data tersebut selanjutnya

diolah dan dianalisis dengan uji – uji yang ada. Seperti deskripsi data, tabulasi

silang dan pengujian regresi logistik ordinal dengan menggunakan bantuan

aplikasi SPSS Statistics versi 26.0. Uji yang akan dilakukan pertama, ialah

deskripsi data yang bertujuan dan bermaksud untuk memparkan hasil frekuensi

kategorisasi pada data – data yang telah didapatkan. Selanjutnya yaitu tabulasi

silang, untuk melakukan interpretasi terhadap pengaruh kedua variabel dari

tingkatan yang dihasilkan oleh respon atau jawaban tiap responden. Ketiga ialah

pengujian regresi logistik ordinal yang bertujuan untuk mengukur seberapa besar

hubungan antara variabel self diagnosis yang dilakukan dengan perilaku pencarian

pengobatan seseorang melalui uji Wald, dan melihat kecocokan model penelitian

yang digunakan berdasarkan nilai deviance serta interpretasi dari koefisien regresi

ordinal pada nilai estimasi yang dihasilkan.

Page 65: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

65

I.8.7. Kisii – Kisii Instrumeni Penelitiani

Tabel I.6

Instrumeni Variabeli Independeni (X)

Variabel Self-diagnosis Pernyataan Penelitian

Dimensi Faktor Predisposisi

Pengetahuan 1. Saya mengetahui tentang kode – kode gambar

atausimbol yang ada di fasilitas kesehatan

maupun di kemasan obat – obatan

2. Saya mengetahui tentang istilah – istilah yang

ada di dunia medis

3. Saya mengetahui tentang kategori dan jenis –

jenis sebuah penyakit

4. Saya memiliki pengetahuan tentang prosedur –

prosedur dasar medis seperti pertolongan

pertama, dsb

5. Menurut saya memiliki pengetahuan tentang

prosedur dasar medis seperti pertolongan

pertama, dan sebagainya cukup membantu

Sikap 6. Saya dapat mengidentifikasi penyakit dari

gejala yang saya rasakan dengan pengetahuan

tentang penyakit yang saya miliki

7. Bagi saya sulit untuk menggambarkan gejala

penyakit yang saya derita

8. Penyakit yang saya derita dapat menganggu

aktivitas sehari hari saya

9. Saya memahami tentang penyebab penyakit

yang saya derita

10. Saya dapat memperkirakan berapa lama saya

menderita sakit

Page 66: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

66

11. Saya perlu datang ke fasilitas kesehatan untuk

berobat baru saya bisa memperoleh

kesembuhan

Dimensi Faktor Pemungkin

Akses informasi kesehatan 12. Saya memiliki pengetahuan tentang dunia

medis dan kedokteran karena saya dapat

mengakses informasi kesehatan dengan mudah

13. Menurut saya adanya internet sangat membantu

dalam mencari informasi kesehatan

14. Saya menggunakan aplikasi kesehatan untuk

membantu mencari tahu masalah kesehatan

saya

15. Saya selalu mencari informasi tentang penyakit

saya di internet/google ketika saya sakit

16. Saya mengikuti atau berlangganan di salah satu

aplikasi kesehatan

17. Saya tergabung dalam sebuah komunitas yang

selalu memberikan informasi mengenai

kesehatan

18. Selain dari internet, saya biasa mencari

informasi kesehatan melalui sumber lain seperti

buku atau media lain

19. Saya merasa mendapatkan banyak sekali

informasi kesehatan setelah saya membuka

salah atu aplikasi kesehatan

20. Biasanya saya juga mendapatkan informasi

mengenai kesehatan dari interaksi sosial dengan

orang lain

21. Menurut saya informasi tentang kesehatan

sudah menjadi kebutuhan yang penting bagi

setiap orang

Page 67: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

67

Dimensi Faktor Penguat

Medical diagnosis 22. Terkadang saya masih merasa ragu dengan

diagnosa yang diberikan oleh dokter terhadap

penyakit saya

23. Setelah saya berkonsultasi dengan dokter, saya

masih mencari tahu tentang penyakit saya di

internet atau sumber informasi lainya

24. Menurut saya diagnosa yang diberikan oleh

dokter sudah cukup tepat

25. Menurut saya perbedaan diagnosa yang

diberikan oleh satu doker atau tenaga ahli medis

yang lain, membuat seseorang menjadi ragu

terhadap diagnosa penyakit yang mereka terima

Sumber: Hasil Olah Data Peneliti, 2020

Tabel I.7

Instrumeni Variabeli dependeni (Y) Variable Perilaku mencari Pengobatan

(Health Seeking Behavior)

Pernyataan Penelitian

Dimensi Tidak Melakukan Pengobatan Apa – apa (No action)

Alasan dalam memilih untuk tidak

melakukan pengobatan apa – apa

1. Ketika saya sakit saya lebih

mempriotitaskan aktivitas lainnya

dibandingkan pergi berobat

2. Saya tidak memiliki biaya untuk

melakukan pengobatan ke fasilitas

kesehatan

3. Fasilitas kesehatan jaraknya cukup jauh

dari tempat tinggal saya

4. Pelayanan pada fasilitas kesehatan yang

dekat tempat tinggal saya kurang baik

5. Menurut saya penyakit yang saya derita

dapat sembuh dengan sendirinya.

Page 68: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

68

Dimensi Swamedikasi (Self medication atau self treatment)

Alasan dalam memilih untuk

melakukan swamedikasi

6. Saya sudah mengetahui obat – obatan

yang cocok untuk mengobati penyakit

yang saya rasakan

7. Melakukan pengobatan sendiri lebih

murah dan terjangkau

8. Saya sudah terbiasa dalam melaukan

pengobatan sendiri

9. Melakukan pengobatan mandiri menjadi

pilihan pertama saya ketika saya sakit

10. Informasi yang saya dapatkan dari orang

lain atau media lainnya membuat saya

yakin untuk melakukan pengobatan

mandiri

Dimensi Melakukan Pengobatan Tradisional (traditional remedy)

Alasan dalam memilih untuk

melakukan pengobatan tradisional

11. Terdapat praktik pengobatan tradisional

di dekat tempat tinggal saya

12. Akses fasilitas kesehatan formal yang

cukup jauh

13. Biaya pengobatan tradisional lebih

murah

14. Menurut saya praktik pengobatan

tradisional lebih rendah resiko

15. Tenaga ahli medis atau dokter

menyarankan saya untuk menggunakan

pengobatan tradisional untuk membantu

saya dalam memproleh kesembuhan

penyakit saya

16. Orang terdekat saya yang membawa saya

berobat ke praktik pengobatan

tradisional.

Page 69: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

69

Dimensi Melaukan Pengobatan Modern

Alasan dalam memilih unutk

melakukan pengobatan modern

17. Akses fasilitas kesehatan modern cukup

mudah

18. Pengobatan konvensional atau modern

sudah menggunakan alat – alat canggih

yang dapat mempercepat kesembuhan

19. Pelayanan pada pengobatan modern

sudah sangat baik dan sesuai dengan

prosedur

20. Pengobatan modern lebih tepat dan

akurat dalam melakukan pengobatan

21. Saya memilki asuransi kesehatan yang

dapat di gunakan untuk berobat pada

pengobatan modern

22. Pergi ke praktik pengobatan modern

unutk memperoleh kesembuhan

merupakan keinginan saya sendiri

Sumber: Hasil Olah Data Peneliti, 2020

I.8.8. Uji Validtas dan Reliabilitas Instrumen

A. Uji Validitas Instrumen

Lawrence Neumann menjelaskan bahwa validitas ialah upaya untuk

menunjukkan kebenaran atau ketepatan untuk memberikan jawaban

seberapa baik sebuah ide sesuai dengan realitas aktual atau realitas

nyata62. Rochmat Ady juga menjelaskan mengenai uji validitas bahwa

tujuan dari uji validitas pada sebuah item instrumen penelitian ialah untuk

62 W. Lawrence, Neumann. “Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (Edisi

7). 2015. Jakarta: PT Indeks. Hlmn 236 & 238

Page 70: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

70

mengetahui kecermatan dan ketepatan suatu item pada instrumen dalam

mengukut tema penelitian yakan akan diukur63. Guna peneliti dapat

mengethaui kualitas dari sebuah item instrumen telah dibuat oleh peneliti,

peneiliti menggunakan aplikasi SPSS untuk membantu peneliti dalam

melakukan uji ini. Peneliti menggunakan nilai r dengan signifikansi 0,05

dan signifikansi 0,1 pada tabel r sebagai perbandingan dan menentukan

sebuah item pada instrumen penelitian dinyatakan valid atau tidak, karena

margin error yang digunakan peneliti dalam penelitian ini ialah 15% atau

0,15

Jika nilai r hitung yang pada item instrument lebih besar dari nilai

yang ada pada r tabel, maka item pada instrumen tersebut dinyatakan

valid. Sebaliknya, jika apabila nilai pada r hitung disebuah item

instrument memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai r tabel maka item

tersebut dinyatakan tidak valid. uji validitas pada bab ini akan bermaksud

untuk menguji atau mengukur item – item instrumen penelitian yang telah

diperbaiki ke keseluruhan responden atau sampel yang telah ditetapkan

oleh peneliti yakni sejumlah 45 responden. Seperti sebelumnya, uji

validitas ini dilakukan dengan menggunakan bantuan aplikasi SPSS versi

26.0, dan melihat serta membandingkan nilai r hitung yang didapatkan

63 Purnomo, Rochmat Ady. “Analisis Statistik Ekonomi dan Bisnis dengan SPSS. 2016. Wage Group.

Hlmn 56

Page 71: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

71

dengan nilai r tabel pada signifikansi 0,05. Penentuan nilai r tabel seperti

sebelumnya menggunakan rumus df (degree of freedom) yaitu df = n-2,

dengan total responden berjumlah 45, sehingga df dapat jatuh pada 45-2

= 43.

Nilai r tabel untuk 43 pada signifikansi 0,05 yaitu sebesar 0,294 dan

pada signifikansi 0,01 sebesar 0,2483. Untuk hasil pengujian validitas

pada variabel self diagnosis, dipaparkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel I.8

Rangkuman Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian Variabel

Penelitian

Butir Item yang Valid Butir Item yang

Tidak Valid

Self Diagnosis 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16, 17,18,19,20,21,22,23

24,25

Perilaku Mencari Pengobatan

2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,20 1,4,17,18,19, 21,22

Sumber: Hasil Olah Data Peneliti, 2020

Terlihat dari tabel diatas. hasil rangkuman uji validitas bahwa

setelah peneliti melakukan perbaikan dan penambahan pada item

pertanyaan untuk variabel x atau variabel self diagnosis, didapati hasil

bahwa dari 25 item, 23 item dinyatakan valid dan hanya 2 item yang

dinyatakan tidak valid. Sesuai dengan hasil yang dipaparkan pada hasil

rangkuman uji validitas pada tabel, bahwa dari 22 item pertanyaan, 15

item dinyatakan valid dan 7 item dinyatakan tidak valid. Namun, peneliti

tetap akan menggunakan beberapa item yang tidak valid karena item

Page 72: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

72

tersebut dapat mewakili dari dimensi yang akan peneliti butuhkan data

nya untuk di olah ke uji selanjutnya.

B. Uji Reliabilitas Instrumen

Peneliti selanjtunya melakukan uji reliabilitas dalan uji coba

instrumen kali ini untuk apakah instrumen yang ada konsisten untuk

mengukur indikator - indikator penelitian yang digunakan oleh peneliti

atau tidak. Untuk melakukan uji reliabilitas ini, peneliti menggunakan

bantuan aplikasi SPSS guna mengetahui apakah instrumen penelitian

yang telah disusun konsisten atau tidak. Untuk uji coba instrumen kali ini,

peneliti melihat hasil berdasarkan nilai cronbach’s alpha yang

merupakan output uji reliabilitas dari aplikasi SPSS, dan pengamilan

keputusan sebagai berikut:

Jika Alpha > 0,90 maka reliabilitas sempurnai

Jika Alpha antara 0,70 – 0,90 maka reliabilitas tinggii

Jika Alpha antara 0,50 – 0,70 maka reliabilitas moderati

Jika Alpha < 0,50 maka reliabilitas rendahi

Page 73: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

73

Setelah dilakukan uji reliabilitas pada kedua variabel, maka output

hasil yang didapatkan ialah sebagai berikut:

Tabel I.9

Rangkuman Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian Variabel Penelitian Nilai (Cronbach Alpha) Kategori

Self Diagnosis 0,905 Reliabilitas Tinggi

Perilaku Mencari Pengobatan 0,771 Reliabilitas Tinggi

Sumber: Hasil Olah Data Peneliti, 2020

Berdasarkan tabel I.9 yang memaparkan rangkuman hasil uji

reliabilitas, terlihat hasil reliabilitas dari variabel self diagnosis memiliki

nilai reliabilitas sebesar 0,905 dan dapat diartikan bahwa memiliki nilai

reliabilitas tinggi. Lalu pada perilaku mencari pengobatan memiliki nilai

sebesar 0,771 dan dinyatakan memiliki nilai reliabilitas tinggi.

I.9. Sistematikai Penulisani

Secara garis besar, sistematika penulisan dalam penelitian ini mencakup dan

terdiri dari lima bagian atau bab. Bab pertama, yakni merupakan bagian pendahuluan

yang memaparkan latar belakang penelitian beserta permasalahan penelitian, tujuan

penelitian dan manfaat penelitian. Pemaparan mengenai penelitian sejenis yang

digunakan oleh peneliti sebagai acuan dalam penulisan penelitian ini juga dipaparkan

pada bagian ini beserta tabel perbandingan dari tiap – tiap literatur, dari pemaparan

penelitian sejenis dapat dibentuk kerangka teori dan konsep dari masing – masing

variabel yang menjadi fokur penelitian. Pada bagian ini juga dipaparkan metodologi

penelitian dan hipotesa penelitian yang digagas oleh peneliti.

Page 74: BAB I PENDAHULUANi - Repository UNJ

74

Bab kedua, yakni memaparkan mengenai deskripsi lokasi penelitian dan

karakteristik responden berdasarkan identitas responden yang ada pada kuesioner

penelitian yang disebar oleh peneliti dalam memperoleh data untuk 74ublic74. Bab

ketiga, ialah bab yang memaparkan hasil temuan data yang diperoleh dari penyebaran

kuesioner, dan dilakukan uji uji untuk melihat hasil output dari data yang telah

didapatkan. Bab keempat, adalah pembahasan hasil penelitian dengan menghubungkan

temuan data pada bab sebelumnya dengan teori dan konsep yang digunakan dalam

penelitian ini. Terakhir, bab kelima yaitu bagian penutup dari penelitian ini yang berisi

kesimpulan dari hasil keseluruhan yang didapat pada penelitian ini dan saran untuk

penelitian selanjutnya.