1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Libya merupakan wilayah di Afrika Utara berbatasan dengan Laut Tengah di sebelah Utara, Mesir di sebelah Timur, Sudan di sebelah Tenggara, Chad dan Niger di sebelah selatan, serta Aljazair dan Tunisia di sebelah barat (Agastya, 2013:87). Negara Libya berasal dari bahasa Mesir lubu, yakni sebutan bagi orang Berber yang tinggal di sebelah barat sungai Nil, yang diadopsi oleh bahasa yunani sebagai “Libya”. Pada zaman Yunani kuno, istilah ini memiliki arti yang lebih luas, yang berbatasan oleh afrika utara di sebelah barat Mesir, dan kadang ditujukan untuk seluruh Benua Afrika.Adapun bahasa resmi adalah Arab (2013:88). Secara historis, Libya adalah sebuah kerajaan yang didirikan pada 24 Desember 1951. Raja Idris I bertindak sebagai kepala pemerintahan. Kemudian dikuasai oleh Italia sampai Perang Dunia II. Pada 1969, setelah memimpin kudeta militer, Khadafi menjalankan sistem politik yang mengkombinasikan sosialisme dengan Islam, yang dilakukan melalui demokrasi langsung (Soyomukti, 2011:143). Libya sejatinya tidak begitu terkenal di mata dunia. Ketenarannya dimulai sejak krisis berdarah di ibu kota Libya, Tripoli, sehingga negara ini menjadi terkenal seantero dunia. Sosok Khadafi selalu memandang dirinya sebagai revolusioner pada masa kejayaannya. Gamal Abdel Nasser adalah inspirasinya, karena kagum pada kepemerintahannya dan jiwa nasionalismenya di Mesir (Tamburaka, 2011:219). Khadafi terlibat aktif dalam gerakan protes untuk membela dalam Perang Suez pada
40
Embed
BAB I PENDAHULUAN - Portal Wisudaabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C1010028_bab1.pdf · Kemiskinan, pengangguran, korupsi yang merajalela, pemrintahan yang ... pemerintahan anti-Barat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Libya merupakan wilayah di Afrika Utara berbatasan dengan Laut Tengah
di sebelah Utara, Mesir di sebelah Timur, Sudan di sebelah Tenggara, Chad dan
Niger di sebelah selatan, serta Aljazair dan Tunisia di sebelah barat (Agastya,
2013:87). Negara Libya berasal dari bahasa Mesir lubu, yakni sebutan bagi orang
Berber yang tinggal di sebelah barat sungai Nil, yang diadopsi oleh bahasa yunani
sebagai “Libya”. Pada zaman Yunani kuno, istilah ini memiliki arti yang lebih luas,
yang berbatasan oleh afrika utara di sebelah barat Mesir, dan kadang ditujukan
untuk seluruh Benua Afrika.Adapun bahasa resmi adalah Arab (2013:88).
Secara historis, Libya adalah sebuah kerajaan yang didirikan pada 24
Desember 1951. Raja Idris I bertindak sebagai kepala pemerintahan. Kemudian
dikuasai oleh Italia sampai Perang Dunia II. Pada 1969, setelah memimpin kudeta
militer, Khadafi menjalankan sistem politik yang mengkombinasikan sosialisme
dengan Islam, yang dilakukan melalui demokrasi langsung (Soyomukti, 2011:143).
Libya sejatinya tidak begitu terkenal di mata dunia. Ketenarannya dimulai sejak
krisis berdarah di ibu kota Libya, Tripoli, sehingga negara ini menjadi terkenal
seantero dunia.
Sosok Khadafi selalu memandang dirinya sebagai revolusioner pada masa
kejayaannya. Gamal Abdel Nasser adalah inspirasinya, karena kagum pada
kepemerintahannya dan jiwa nasionalismenya di Mesir (Tamburaka, 2011:219).
Khadafi terlibat aktif dalam gerakan protes untuk membela dalam Perang Suez pada
2
pertengahan 1950-an. Dia masuk dalam pendidikan tentara dan merencanakan
untuk melakukan kudeta pada Raja Idris.
Setelah menekuni pendidikan militer di Yunani Hellenic Millitery Academy
di Athena, Ia melanjutkan pendidikan militer di Inggris. Rencana kudeta
dimatangkan saat Ia kembali ke Benghazi, Libya. Maka pada 1 September 1969,
kudeta itu dilakukan (Soyomukti, 2011:218). Kekuasaannya didapat dalam
posisinya sebagai pimpinan komite revolusi, yang anggotanya adalah orang orang
yang loyal pada Khadafi. Ia menjadikan komite revolusi sebagai alat untuk
meminimalkan resiko revolusi sekaligus mengontrol kekuasaan.
Khadafi melakukan kudeta pada tanggal 1 September 1969, ketika saat itu
beliau memimpin sekelompok kecil perwira muda, yang kemudian melakukan
kudeta terhadap Raja Idris yang ketika itu sedang berobat ke Turki. Kemudian
Khadafi membentuk dewan revolusi yang terdiri dari perwira muda yang umumnya
mendapatkan pendidikan militer di Barat. Khadafi selanjutnya memimpin dewan
revolusi, dan kemudian kekuasaannya itu disebut sebagai “kekuasaan rakyat”.
Khadafi mengkombinasikan ideologi sosialisme, arabisme, dan Islam (2011:144).
Perjuangan rakyat Libya tidak berhenti sampai di situ. Meraka terus
mengadakan perlawanan perlawanan terhadap Khadafi (Agastya, 2013:91).
Khadafi naik ke pemerintahan dengan mengkudeta kerajaan, maka salah satu pihak
yang gencar memusuhinya adalah sisa-sisa kekuatan monarki yang dulu dikudeta,
yan sebagian besar berada di luar negeri setelah melarikan diri. Kekuatan
menentang Khadafi memang berada di luar negeri, terutama setelah siapa saja yang
berusaha menentangnya didalam negeri langsung ditangkap dan kemudian dibunuh
pada tiang gantungan. Kaum oposisi yang menentangnya kebanyakan justru berasal
3
dari pejabat pemerintahannya yang membangkang karena tidak setuju dengan
model kepemimpinannya yang otoriter.
Beberapa puluh kelompok oposisi ada di luar negeri. Khadafi menjadi
pahlawan revolusi hingga menjadi para internasional, lalu akhirnya menjadi mitra
strategis. Dia mengembangkan falsafah politiknya sendiri yang begitu berpengaruh.
Khadafi hadir dalam pertemuan internasional dan Arab dengan sangat berani,
sampai seorang pengamat Arab menjuluki Khadafi sebagai “Picasso Politik Timur
Tengah”.
Pengikut presiden pertama Mesir Gamal Abdul Nasser ini ikut memakai
pangkat militer yang sama, mempromosikan dirinya dari kapten menjadi kolonel
kudeta. Khadafi pertama-tama menetapkan cara untuk mengatasi keadilan terhadap
ekonomi yang waktu itu sangat dikuasai oleh pihak asing.
Bagi Khadafi ketidakadilan itu adalah minyak, minyak merupakan faktor
penting bagi-bagi negara barat. Cadangan minyak ditemukan di Libya pada akhir
tahun 1953, dan dimulainya ekploitasi pada tahun 1956. Libya pun mulai
melakukan aksi penjualan minyak ke Eropa sejak tahun 1967 (Agastya, 2013:91).
Stabilitas harga minyak dan distribusi yang terus berjalan ini memaksa negara
Eropa dan Amerika turun tangan dalam revolusi yang terjadi. Intervensi asing ini
terlihat melalui hadirnya NATO dengan penyerbuan pertama melalui udara
dilakukan oleh Perancis dibawah perintah Nicolas Sarkozy. Kondisi yang terjadi di
Libya terbelah menjadi dua kubu, yaitu tentara Khadafi dan tentara pemberontak,
kelompok anti-pemerintah dan kelompok pro-Khadafi, juga keberadaan NATO
untuk membantu penggulingan rezim Khadafi. Melihat revolusi yang terus
berlangsung dengan gencatan senjata yang terus dilakukan mendatangkan banyak
4
kecaman dari dunia internasional dan menyebut Khadafi sebagai penjahat perang.
Ia terus melakukan pendudukan ke wilayah kelompok revolusioner. Ini dapat
disaksikan dari keberlangsungan hidup masyarakat yang semakin mapan,
pembangnunan yang terus bergilir di setiap tempat, dan perkembangan lainnya.
Libya sebagai negara produsen sumber mineral perlu memperhatikan
kondisi tersebut untuk keberlanjutannya. Keinginan dominasi dan eksploitasi
sumber mineral merupakan salah satu faktor dominan untuk menimbulkan konflik.
Apalagi dalam kondisi negara yang tengah memulai dari awal pasca revolusi.
Kemungkinan munculnya bibit-bibit konflik sangat besar. Ketidak mampuan dalam
memobilisasi masyarakat serta mengkonsolidasikan persatuan dalam pembangunan
negara, sehingga menimbulkan ketegangan antar elemen-elemen dalam
masyarakat. Terlebih lagi sebagai negara dengan kondisi demografis yang sangat
beragam, di mana didalamnya sangat kental oleh persaingan antar suku, etnis,
kelompok kepentingan, dan lainnya. Tidak semua daerah di Libya merupakan
penghasil minyak, dan hal ini bisa saja menjadi “potential conflict” bagi Libya di
masa depan (Hatimah, 2012:16).
Masyarakat yang tergabung dalam People Power untuk menjatuhkan
penguasa, mencari kebebasan dalam nama demokrasi dan mengharapkan kondisi
pemerintahan yang lebih baik setelahnya. Akan tetapi, demokrasi seperti apa yang
akan cocok bagi negaranya, dalam hal ini Libya, harus dipikirkan dengan seksama
berdasarkan pada kondisi negara ini secara keseluruhan yang meliputi, sejarah,
budaya, potensi, kondisi kontemporer, demografis, geografis, dan lain sebagainya
(2012:17).
5
Secara lebih mendasar, ekonomi Libya lebih bersandar pada hasil minyak
bumi daripada sumber lain, seperti pertanian, hasil laut, pertambangan selain
minyak, dan perdagangan. Melalui hasil minyak inilah, perkambangan Libya
tampak begitu pesat. Ini dapat disaksikan dalam keberlangsungan hidup masyarakat
yang semakin mapan, pembangunan yang terus bergilir di setiap tempat, dan
perkembangan lainnya (Agastya, 2013:91). Selain minyak, Khadafi juga
melakukan nasionalisasi seluruh industri yang ada di Libya untuk mencegah
dalamnya intervensi asing dalam pemerintahannya. Militer yang merupakan
pertahanan negara berada pada pihak Khadafi sehingga penggulingan rezim
Khadafi akan lebih sulit, karena Khadafi banyak mempunyai ‘kartu-kartu penting’
untuk mempertahankan kekuasaannya.
Awal tahun 70-an dia membuktikan diri sebagai filusuf politik terkenal,
mengembangkan satu teori yang bernama teori universal ketiga yang
dipaparkannya secara mendalam dalam buku terkenalnya Green Book (Layuk,
2013:57). Teori beliau menyelesaikan kontradiksi yang ada secara melekat dalam
kapitalisme dan komunisme, guna mengantarkan dunia ke revolusi politik,
ekonomi, sosial dan membebaskan kalangan tertindas dimanapun. Atas nihilnya
tantangan terhadap pemerintahannya di dalam negeri, Khadafi berhasil membawa
kampanye menentang Imperialisme ke seluruh dunia.
Bisa dilihat tiga kelompok yang mempunyai peranan penting dalam krisis
tersebut. Pertama, kelompok Khadafi yang berusaha untuk mempertahankan
kekuasaanya. Kedua, kelompok oposisi yang menginginkan Khadafi turun dari
tahta kekuasaannya. Mereka menilai bahwa pemerintahannya otoriter dan koruptif.
Ketiga, dunia internasional yang hadir dan melakukan intervensi dengan alasan
6
kemanusiaan dan perdamaian (Kompasiana, 19 Juli 2011). Meskipun kehadirannya
masih dihantui oleh kepentingan nasional masing-masing. Terlepas dari itu, saya
menilai terdapat dua kepentingan yang sangat kontrakdiktif, yakni kepentingan
kelompok Khadafi yang berusaha mempertahankan kekuasaan dan kelompok
oposisi (dan juga dunia internasional) yang menginginkan Khadafi turun dari
kekuasaannya. Mereka menginginkan kebebasan, kesetaraan dan kesejahteraan.
Ketika angin revolusi berhembus ke dunia Arab dari Tunisia, Libya bukan
berada dalam negara urutan teratas daftar negara berikutnya (Soyomukti,
2011:143). Gerakan pemberontakan di Tunisia mulai pada Desember 2010 ini
dimaksudkan untuk menurunkan Ben Ali yang telah menjabat sebagai presiden
selama 24 tahun. Selama kepemimpinannya yang berlangsung sejak 1987 berbagai
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi. Selain banyaknya pelanggaran
HAM, Tunisia menjadi negara yang di landa krisis pangan dan lapangan pekerjaan
yang sulit (Syukur, 2011:93). Tunisia menjadi negara yang mempunyai kebebaan
berserikat. Organisasi masyarakat Tunisia, media cetak maupun elektronik tidak
punya wewenangan untuk menyampaikan pendapat atau kritik kepada pemerintah
(Paciello, 2011:1). Berbagai permasalahan yang melanda Tunisia menjadi salah
satu faktor utama terjadinya pemberontakan Tunisia, yang berujung mundurnya
Ben Ali dari kursi pemerintahan.
Sedangkan pemberontakan rakyat Mesir dimulai Januari 2011. Selama
kepemimpinannya, Husni Mubarak menemukan kekayaan di tengah krisis yang
melanda di Mesir. Berdasarkan catatan situs Daily Telegraph, kekayaan husni
Mubarak ditaksir mencapai 20 miliar pounsterling atau sekitar 287 miliar rupiah,
yang disimpan sejumlah bank di Swiss, Amerika Serikat, dan Inggris (Syukur,
7
2011:98). Kemiskinan, pengangguran, korupsi yang merajalela, pemrintahan yang
ottoriter dan masa kepemimpinan Husni Mubarak yang terlalu lama membuat
rakyat Mesir melakukan pemberontakan untuk mendapatkan perubahan. Selain
faktor-faktor tersebut, pemberontakan rakyat mesir juga dipicu oleh gerakan pro
demokrasi pada tahun 2005 yang di pimpin oleh Kefeya (Balata, 2011:61). Setelah
hampir 18 hari Mesir mengalami pergejolakan, akhirnya Husni Mubarak memeilih
untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Keberhasilan Tunisia dan Mesir untuk menurunkan Ben Ali dan Husni
Mobarak dari jabatannya sebagai presiden memotivasi rakyat Libya untuk bangkit
melawan rezim Khadafi. Selain hal itu, keberadaan Tunisia dan Mesir yang
berbatasan langsung dengan Libya langsung mendorong Libya untuk melakukan
pemberontakan. Hal ini dikenal sebagai teori domino, yaitu fenomena perubahan
berantai berdasarkan prinsip geo-politik dan geo-strategis (Tamburaka, 2011:271).
Khadafi termasuk penguasa yang otoriter karena berkuasa selama 42 tahun, yaitu
sejak tahun 1969-2011. Tetapi dia tidak dipandang sebagai boneka barat seperti
layaknya pemimpin negara-negara Arab lain yang cenderung untuk tunduk pada
Barat dan mementingkan kepentingan Barat daripada kepentingan rakyatnya
sendiri. Khadafi membagi-bagikan kekayaan untuk rakyat, namun sulit dibantah
bahwa Khadafi selalu membagi-bagikan kekayaan yang lebih besar demi untuk
membeli kesetiaan rakyatnya daripada untuk mendorong persamaan. Beliau
mensponsori pekerjaan umum yang besar seperti proyek pengadaan air buatan
manusia yang terkenal bernama Klik Great Man-Made River yang memasok air
segar ke negara gurun Libya (Hartanto, 2013:13).
8
Selain itu kebijakan otoriter yang ia keluarkan dinilai melecehkan
demokrasi dan kebebasan. Ketika seruan aksi demonstrasi beredar pertamakali,
Khadafi berjanji untuk ikut berdemonstrasi dengan rakyat, sesuai dengan mitos
yang dikembangkan bahwa dia adalah saudara para pemimpin dalam revolusi yang
sudah lama memeberikan kekuasaan kepada rakyat (Syukur, 2011:106-107).
Namun pada akhirnya bau kebebasan serta kemungkinan menggulingkan Khadafi,
seperti halnya menjatuhkan Hosni Mubarak di Mesir dan Ben Ali di Tunisia,
merupakan godaan yang terlalu kuat untuk ditentang diantara rakyat Libya.
Akibat perang saudara yang berlangsung sejak Februari hingga Oktober
2011, pemerintah Libya, yang saat itu berkuasa selama lebih dari 40 tahun, tumbang
(Agastya, 2013:92). Libya pun memasuki periode pemerintahan oleh suatu
pemerintahan sementara yang disebut Dewan Transisi Nasional (NTC). NTC akan
mengawasi tahap pertama suatu trasisi menuju demokrasi. Setelah itu, lembaga
tersebut akan bubar dan di ganti oleh suatu dewan perwakilan.
Khadafi selain menjadikan Libya sebagai negara pemrakarsa agenda
bersatunya negara-negara Arab, tetapi juga mengantarkan Libya sebagai suatu
negara yang berpengaruh dalam konstalasi politik melawan dominasi Amerika
Serikat, khususnya di wilayah Timur Tengah dan Afrika (Hatimah, 2012:4).
“Aku Siap Mati Syahid” itulah sepenggal kalimat yang di ucapkan oleh
Khadafi karena telah menyatakan dua ratus mil dari Teluk Sidra harus dibatasi dari
setiap penggunaan internasioanal ditambah sikap angkatan udara Amerika Serikat
(Hartanto, 2013:239). Kadhafi pun berhasil menanamkan pemikiran politik dan
pemerintahan anti-Barat di dalam negaranya dengan menempuh kebijakan sebagai
negara tertutup diawali dengan keputusan menutup pangkalan militer Amerika
9
Serikat di Libya (Kompas, 2011:1). Amerika Serikat kemudian memasukkan Libya
dalam daftar negara yang mendukung terorisme internasional. Libya juga dikaitkan
dengan beberapa aksi terorisme internasional di antaranya, pemboman sebuah
diskotik pada tahun 1986 di Berlin, pemboman pesawat Prancis (French Airliner)
pada tahun 1989, dan yang paling fenomenal adalah pemboman pesawat Pan Am
Flight 103 di Lockerbie, Skotlandia.
Hasilnya, Libya menjadi negara yang disegani dan berulang kali menjadi
sasaran embargo Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa (Al Jazeera, 30 Januari
2012).Bukan hanya itu, selain itu Khadafi masih dalam upayanya memaksakan
pemikirannya pribadinya tentang sosialisme Libya, serta-merta menasionalisasi
semua aset pihak asing di Libya, ketika ia memutuskan menjadikannya sebagai
negara tertutup, termasuk industri perminyakan.
Khadafi bahkan berada pada garis depan menjadi pendukung perlawanan
Palestina terhadap. Khadafi yang seringkali bertolak belakang dengan keinginan
Amerika Serikat dan Sekutunya, menyebabkan hubungan yang sangat buruk antara
Libya dengan Negara Barat. Khadafi mulai goyang dalam panggung politik Libya
ketika pada tahun 2010, dunia internasional diwarnai dengan munculnya gejolak
demokrasi di Timur Tengah. Negara-negara dengan cap otoriter di Timur Tengah,
mulai mendapatkan tekanan dari rakyatnya, yang menginginkan sistem
pemerintahan yang demokratis, termasuk di antaranya yaitu Libya dan Israel
(Hatimah, 2012:5). Berbagai sanksi internasional terutama sanksi ekonomi dari
Amerika Serikat yang dibebankan kepada Libya, mempengaruhi tidak hanya
kondisi ekonomi tetapi juga politik Libya.
10
Manfaat penelitian dengan judul “Faktor Penyebab Revolusi di Libya pada
Masa Pemerintahan Khadafi” adalah secara praktis penelitian ini dapat dijadikan
rujukan untuk sumber referensi penelitian, Penelitian ini dapat dijadikan bacaan
atau literature sumber rujukan terkait penyebab lahirnya revolusi Libya pada masa
pemerintahan Khadafi, Sebagai rujukan intelektual bagi peneliti yang ingin
melakukan kajian yang lebih mendalam dan menambah wawasan akan sejarah
revolusi Libya pada masa Khadafi.
B. Rumusan Masalah
Penulis menitik beratkan pada dua pertanyaan pokok sebagai rumusan
masalah, yaitu:
1. Apa Faktor Penyebab Revolusi di Libya pada Masa Runtuhnya Pemerintahan
Khadafi?
2. Bagaimana bentukIntervensi NATO diLibya?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengkaji faktor-faktor internal yang menyebabkan adanya revolusi yang
terjadi di Libya saat runtuhnya pemerintahan Khadafi.
2. Memberikan gambaran dari analisa penulis bentuk intervensi NATO yang
terjadi di Libya.
D. Batasan Masalah
Berdasarkan paparan pada latar belakang mengenai pentingnya serta alasan
pemilihan judul “Faktor Penyebab Revolusi Libya pada Masa Runtuhnya
Pemerintahan Khadafi”, maka penulis menetapkan batasan masalah dimulai sejak
runtuhnya Khadafi pada tahun 2011. Tahun 2011 merupakan akhir dari semuanya
pemerintahan Khadafi dan masuknya intervensi NATO di Libya.
11
E. Landasan Teori
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keadaan Libya masa
kepemimpinan Khadafi. Untuk membuat sebuah tulisan ilmiah, diperlukan
landasan teori dan konsep yang jelas. Teori maupun konsep ini akan menjadi
pijakan dasar bagi penulis untuk memaparkan bahkan menganalisa fakta yang
terjadi. Sangat diperhatikan agar teori maupun konsep yang digunakan, relevan
dengan penelitian yang dilakukan. Teori yang di gunakan dalam penelitian ini
adalah
1. Pengertian revolusi
Revolusi merupakan puncak dari perubahan sosial. Revolusi merupakan
sebuah proses pembentukan ulang masyarakat sehingga menyerupai proses
kelahiran kembali. Perubahan yang terjadi melalui revolusi mempunyai cakupan
yang luas dan menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat. Perubahan
akibat revolusi bersifat radikal, fundamental dan menyentuh langsung pada inti
dan fungsi dari struktur sosial. Proses perubahan tersebut hanya memerlukan
waktu yang cepat, sesuatu yang bertolak belakang dengan konsep evolusi pada
perubahan sosial (Sztompka, 2007:357).
Berbanding terbalik dengan bentuk perubahan sosial lain, revolusi
berbeda dalam 5 hal. 1). Menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas,
menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat: ekonomi, politik, kultur,
organisasi sosial, kehidupan sehari-hari dan kepribadian manusia. 2).
Perubahannya radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan fungsi sosial.
3). Perubahan yang terjadi sangat cepat dan tiba-tiba. 4). Revolusi adalah
pertunjukkan perubahan paling menonjol, waktunya luar biasa cepat dan karena
12
itu sangat mudah diingat. 5). Revolusi membangkitkan emosional. Khusus dan
reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi masa,
antusiasme, kegemparan, kegembiraan, optimisme dan harapan (Sztompka,
2007:357).
Konsep revolusi modern berasal dari dua tradisi intelektual yaitu filsafat
sejarah dan sosiologi. Konsep filsafat sejarah tentang revolusi berarti terobosan
radikal terhadap kontinuitas jalannya sejarah (Brinton, 2965:237). Perhatian
ditujukan pada pola umum proses sejarah dan revolusi menandai terobosan
kualitatif pola umum ini. Contoh khususnya pandangan Marx tentang rentetan
formasi sosio ekonomi di mana revolusi sosial menandai lompatan kualitatif ke
fase perkembangan lebih tinggi (Sztompka, 2007:360).
Menurut pengertian ini revolusi adalah lawan kata Evolusi. Sebagaimana
beberapa pakar mendefenisikan revolusi sebagai berikut: Definisi revolusi dapat
digolongkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, definisi yang
menekankan pada transformasi fundamental masyarakat. Perhatian ditekankan
pada cakupan dan kedalaman perubahan.Menurut pengertian ini revolusi adalah
lawan kata pembaruan (reform). Dengan demikian ada pengertian revolusi
sebagai perubahan tiba-tiba dan radikal dalam struktur politik, sosial, dan
ekonomi masyarakat atau perubahan mendadak, yang luas dalam struktur sosial
atau dalam unsur utamanya. Kelompok kedua mencakup definisi yang
menekankan kekerasan, perjuangan, dan kecepatan perubahan. Perhatiannya
ditujukan pada teknik perubahan. Menurut pengertian ini revolusi adalah lawan
kata Evolusi.
13
Sebagaimana beberapa pakar ilmu yang mendefenisikan beberpa
pengertian revolusi sebagai berikut:
a. C. Jhonson, revolusi adalah upaya mewujutkan perubahan dalam
masyarakat dengan paksa.
b. Gurr, revolusi adalah perubahan sosial politik mendasar yang dilaksanakan
dengan kekerasan.
c. Brinton, revolusi adalah pergantian drastis dan tiba-tiba dari suatu kelompok
yang berkuasa dalam kesatuan politik teritorial oleh kelompok lain yang
tidak menjalankan pemerintahan.
d. Giddens, revolusi adalah perampasan kekuasaan negara dengan kekerasan
yang dilakukan pimpinan gerakan masa dan karena itu kemudian digunakan
untuk memprkarsai proses reformasi sosial besar-besaran.
Ringkasnya dari kedua kelompok revolusi diatas terliihat adanya
consensus mengenai basis atau komponen utamanya sebagai berikut:
a. Revolusi mengacu kepada perubahan fundamental, menyeluruh dan multi
dimensional, menyentuh inti tatanan sosial. Menurut pengertian ini,
perombakan sebagian dari hukum dan administrasi, pergantian
pemerintahan dan sebagainya tak terhitung sebagai revolusi.
b. Revolusi melibatkan rakyat masa yang besar jumlahnya yang dimobilisasi
dan bertindak dalam satu gerakan revolusioner. Dalam kasus ini banyak
melibatkan pemberontakan kaum petani dan urban.
c. Kebanyakan pakar yakin bahwa revolusi memerlukan keterlibatan
kekerasan dan pengunaan kekerasan.
14
Sztompka memberikan gambaran bahwa “revolusi merupakan puncak
dari perubahan sosial”. Revolusi merupakan sebuah proses pembentukan ulang
masyarakat sehingga menyerupai proses kelahiran kembali. Perubahan yang
terjadi melalui revolusi mempunyai cakupan yang luas dan menyentuh semua
tingkat dan dimensi masyarakat. Perubahan akibat revolusi bersifat radikal,
fundamental dan menyentuh langsung pada inti dan fungsi dari struktur sosial.
Proses perubahan tersebut hanya memerlukan waktu yang cepat, sesuatu yang
bertolak belakang dengan konsep evolusi pada perubahan sosial.
Revolusi mempunyai dua wajah yang saling bertolak belakang. Wajah
pertama menggambarkan revolusi sebagai sebuah mitos, sedangkan wajah kedua
memberikan gambaran revolusi sebagai sebuah konsep dan bahkan teori dalam
ilmu sosiologi. Kedua wajah ini mempunyai keterkaitan bahkan dialektika
diantara keduanya menjadi suatu bentuk kewajaran.
a. Asal mula Munculnya Revolusi
Konsep revolusi pada awalnya merujuk pada pengertian gerakan
melingkar pada benda langit. Tidak mengherankan apabila kita mengenal
istilah revolusi bumi terhadap matahari. Namun kemudian penggunaan
konsep revolusi juga menyentuh pada bidang sosial politik. Perkembangan
selanjutnya memberikan gagasan tentang pentingnya revolusi dalam
mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih “sempurna”. Marx
menggunakan konsep revolusi sebagai alat untuk menumbangkan dominasi
kapitalis dan sebagai landasan untuk membangun masyarakat komunis.
Secara berangsur-angsur, mitos revolusi mengalami kemunduran. Ini
terjadi tidak lepas dari “kegagalan” revolusi itu sendiri. Revolusi dipandang
15
sebagai suatu proses yang tidak pernah berakhir. Tatanan kehidupan yang
lebih baik seperti yang dijanjikan tidak dapat terwujud. Sejarah telah
membuktikan bahwa sebagian besar revolusi menghasilkan bentuk
ketidakadilan, ketimpangan, eksploitasi dan penindasan yang lebih parah.
Selain itu revolusi seringkali harus diiringi dengan tindak kekerasan,
peperangan dan kerusuhan yang menimbulkan korban jiwa tidak sedikit.
Revolusi dianggap sebagai sebuah bencana dibandingkan sebagai sebuah
usaha penyelamatan kehidupan manusia.
Konsep revolusi dapat dibahas dalam dua perspektif, yaitu filsafat
sejarah dan sosiologi. Konsep revolusi berdasarkan filsafat sejarah
mempunyai arti sebagai bentuk terobosan radikal terhadap kesinambungan
jalannya sejarah. Perspektif sosiologi memandang revolusi sebagai bentuk
penggunaan kekuatan massa terhadap penguasa untuk melakukan perubahan
mendasar dan terus-menerus. Revolusi dapat dianggap sebagai upaya
membentuk ulang sejarah dengan menggunakan kekuatan krativitas manusia.
Kedua perspektif tersebut turut mempengaruhi pendefinisian konsep
revolusi hingga pada akhirnya mengerucut pada tiga kelompok. Revolusi
dapat diartikan sebagai lawan dari pembaruan. Perhatian utamanya adalah
pada proses transformasi fundamental masyarakat. Selain itu, revolusi dapat
dimaknai sebagai lawan dari evolusi. Tekanan yang diberikan adalah pada
penggunaan kekerasan, perjuangan dan kecepatan perubahan yang terjadi.
b. Aliran-aliran teori Revolusi
Terdapat empat aliran dalam teori revolusi, yaitu tindakan, psikologi,
struktural dan politik.
16
1) Teori revolusi modern pertama diajukan oleh Sorokin tahun 1925 (1967).
Kesimpulannya terutama didasarkan pada pengalaman revolusi Rusia
1917, tempat ia berpartisipasi dan memerakan peran politik tertentu.
Teorinya dapat dianggap sebagai contoh pendekatan tindakan karena ia
memusatkan perhatian pada tindakan individu yang menandai revolusi
(Sorokin, 1967:367). Penyebab tindakan menyeleweng itu dicarinya dalam
bidang kebutuhan dasar (naluri) individu. Pertunjukan tragedi besar,
drama dan tragedi revolusi di panggung sejarah, terutama dibawa oleh
naluri menindas bawaan (1967:372). Revolusi ditandai oleh perubahan
mendasar ciri perilaku manusia. Perilaku beradab cepat dibuang dan
digantikan oleh perilaku seperti binatang buas yang hendak saling
memangsa (1967:372). Sorokin meneliti dan mencatat perubahan seperti
itu di enam bidang: (1) transformasi reaksi terhadap ucapan, (2)
penyelewengan reaksi terhadap pemilikan, (3) penyelewengan reaksi
seksual, (4) penyelewengan reaksi terhadap tugas, (5) penyelewengan
reaksi terhadap kekuasaan dan bawahan, (6) reaksi terhadap agama, moral,
estetika dan berbagai bentuk perilaku yang dipelajari lainnya (1967:41-
169). Berbagai bentuk penyelewengan ini menghancurkan kepekaan
naluriah. Orang bertindak tanpa menghiraukan kepatuhan, disiplin, aturan,
dan berbagai kriteria perilaku beradap lainnya. Manusia berubah menjadi
gerombolan buas manusia gila (1967:367)
2) Teori revolusi psikologi. Aliran psikologi mengabaikan bidang tindakan
reflek atau nalurian dasar dan beralih ke bidang orientasi sikap dan
motivasi. Teori ini paling erat kaitannya dengan pemikiran akal sehat
17
(common sense). Karena itu tak heran, teori itu paling populer dan paling
rinci dari semua pendekatan yang ada. Teori paling berpengaruh diajukan
oleh James Davis (1962) dan Ted Gurr (1970) dengan teori kerugian
relatif. Revolusi disebabkan sindrom mental yang menyakitkan yang
tersebar di kalangan rakyat, diperburuk karena menjangkiti banyak orang.
3) Teori revolusi struktural. Teori struktural memusatkan perhatian pada
tingkat struktur makro dengan mengabaikan faktor psikologi. Menurut
teori ini revolusi adalah hambatan dan ketegangan struktural dan terutama
bentuk hubungan khusus tertentu antara rakyat dan pemerintah. Penyebab
revolusi lebih dicari ditingkat hubungan sosial khusus, yakni dalam
kondisi hubungan antar kelas dan antar kelompok (nasioal dan
internasional) ketimbang di kepala rakyat, dalam arti mentalitas atau sikap
mereka. Tokoh terkenal teori ini, Theda Skocpol, menyebutknya
“perspektif struktural” dengan maksud untuk lebih menekankan pada
hubungan dan konflik obyektif yang terjadi antar kelompok dan antar
bangsa dalam revolusi tertentu (Skocpol, 1979:291). Mengutip Eric
Hibsbawm, ia menyatakan: Pentingnya bukti peran aktor dalam revolusi
tak berarti bahwa mereka juga adalah pelaku, pencipta dan
perencananya. (1979:18).
Membandingkan bukti historis revolusi Perancis, Rusia dan Cina,
Skockpol mengahasilkan analisis struktural umum tentang penyebab,
proses dan hasil ketiga revolusi itu. Revolusi itu ternyata mengikuti pola
tiga tahap: (1) terjadi kehancuran struktural dan krisis politik dan ekonomi
dalam rezim lama. Mereka terjepit dalam tekanan bersilang antara struktur