1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32 persen orang miskin tinggal di wilayah perkotaan (Morrell, dkk. 2008:1). Sebagian penduduk miskin perkotaan bekerja pada sektor informal, yang pertumbuhannya sudah melebihi sektor formal (Manning and Roesad 2006). Sektor informal menjadi pilihan terakhir warga urban (kota) maupun tenaga kerja pedesaan yang tidak berpendidikan dan tidak berketerampilan yang tidak terserap di sektor formal (Bhowmik 2005; Noer Effendi 2005). Para urban yang tidak berpendidikan dan tidak terampil terpaksa masuk ke sektor informal, dilaporkan pula oleh Sethuraman dan Davis dalam penelitiannya di Ghana. Menurut Sethuraman (1976), para urban yang tidak memiliki keterampilan yang memadai terjun ke sektor informal disebabkan oleh ketidakmampuan sektor formal menyerap mereka. Demikian pula, Davis (2008) menyebutkan bahwa pedagang kaki lima merupakan bagian tak terpisahkan dari sektor ekonomi informal. Sektor ekonomi informal ini tumbuh di negara-negara berkembang, termasuk di Ghana, karena pembangunan ekonomi yang direncanakan tidak menciptakan pekerjaan yang mencukupi untuk mengurangi tingkat pengangguran. Sepanjang tahun 1990-an, situasi ketenagakerjaan di Indonesia tidak menguntungkan bagi pekerja. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan sektor formal dalam menyerap tenaga kerja ke dalam pasar nasional (Suharto 2008). Sektor informal menjadi katup pengaman dalam menghadapi masalah angkatan kerja yang tidak terserap dan terlempar dari sektor formal sejak
42
Embed
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat
urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32 persen orang miskin
tinggal di wilayah perkotaan (Morrell, dkk. 2008:1). Sebagian
penduduk miskin perkotaan bekerja pada sektor informal, yang
pertumbuhannya sudah melebihi sektor formal (Manning and
Roesad 2006). Sektor informal menjadi pilihan terakhir warga
urban (kota) maupun tenaga kerja pedesaan yang tidak
berpendidikan dan tidak berketerampilan yang tidak terserap di
sektor formal (Bhowmik 2005; Noer Effendi 2005).
Para urban yang tidak berpendidikan dan tidak terampil
terpaksa masuk ke sektor informal, dilaporkan pula oleh
Sethuraman dan Davis dalam penelitiannya di Ghana. Menurut
Sethuraman (1976), para urban yang tidak memiliki
keterampilan yang memadai terjun ke sektor informal
disebabkan oleh ketidakmampuan sektor formal menyerap
mereka. Demikian pula, Davis (2008) menyebutkan bahwa
pedagang kaki lima merupakan bagian tak terpisahkan dari
sektor ekonomi informal. Sektor ekonomi informal ini tumbuh
di negara-negara berkembang, termasuk di Ghana, karena
pembangunan ekonomi yang direncanakan tidak menciptakan
pekerjaan yang mencukupi untuk mengurangi tingkat
pengangguran.
Sepanjang tahun 1990-an, situasi ketenagakerjaan di
Indonesia tidak menguntungkan bagi pekerja. Hal ini terjadi
karena ketidakmampuan sektor formal dalam menyerap tenaga
kerja ke dalam pasar nasional (Suharto 2008). Sektor informal
menjadi katup pengaman dalam menghadapi masalah angkatan
kerja yang tidak terserap dan terlempar dari sektor formal sejak
2
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
terjadinya krisis ekonomi (Ari 2008:12). Krisis yang
menghantam bangunan ekonomi Indonesia mengakibatkan
jumlah pengangguran mencapai titik kritis. Hal ini terjadi
karena selama krisis berlangsung, para pekerja sektor
konstruksi, perdagangan, industri, dan keuangan, banyak ke
luar atau meninggalkan pekerjaan, karena mereka di-PHK atau
perusahaan tidak beroperasi lagi karena bangkrut atau
dilikuidasi (Noer Effendi 2005).
ILO (1998) memperkirakan bahwa sekitar 5,4 juta pekerja
formal yang bergerak di bidang jasa, manufaktur, dan
konstruksi diberhentikan dari pekerjaannya sebagai akibat krisis
ekonomi pada tahun 1997-1998. Kondisi serupa juga terjadi di
Thailand. Krisis ekonomi yang melanda Thailand dan tingginya
biaya hidup, menyebabkan pedagang kaki lima menjadi solusi
bagi mereka yang menganggur yang terkena dampak krisis
(Nirathron 2006).
Kenaikan harga barang dan jasa membuat para penganggur
dan mereka yang miskin sulit melakukan penyesuaian diri,
apalagi untuk bertahan hidup tanpa penghasilan yang pasti.
Solusinya adalah mereka masuk ke sektor informal agar dapat
bertahan hidup (Bhowmik 2005).
Selama krisis ekonomi tersebut, terbukti bahwa sektor
informal tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga dapat
berkembang pesat sebagai sektor ekonomi selain sektor formal.
Hal ini disebabkan oleh adanya faktor permintaan dan faktor
penawaran. Dari sisi permintaan, krisis ekonomi mengakibatkan
pendapatan riil masyarakat turun, sehingga terjadi pergeseran
permintaan masyarakat dari barang-barang sektor formal atau
impor ke barang-barang sederhana buatan sektor informal. Dari
aspek penawaran, akibat banyak orang dikeluarkan (dipecat)
dari pekerjaan di sektor formal selama masa krisis, ditambah
lagi dengan sulitnya angkatan kerja baru mendapatkan
3
BAB I
Pendahuluan
pekerjaan tersebut, maka suplai tenaga kerja dan pengusaha ke
sektor informal meningkat.
Relatif kuatnya daya tahan sektor informal selama krisis,
disebabkan pula oleh tingginya motivasi pengusaha kecil sektor
tersebut mempertahankan kelangsungan usahanya. Hal ini
dapat dipahami, sebab bagi banyak pelaku ekonomi dari
kalangan masyarakat golongan ekonomi lemah, sektor informal
merupakan satu-satunya sumber penghasilan dan penghidupan
mereka.
Berbeda dengan mereka yang bekerja pada sektor formal,
para pengusaha kecil sektor informal sangat adaptif menghadapi
perubahan situasi dalam lingkungan usaha mereka. Sementara
itu, banyak pengusaha menengah ke atas yang bangkrut tidak
mampu beradaptasi dengan kondisi ekonomi yang tidak
menguntungkan. Rumah makan Bakul Deso dan bengkel mobil
Suzuki “Pulung Abadi” di Semarang pada tahun 2011 gulung
tikar.
Jauh sebelum ini, beberapa pasar Swalayan juga bangkrut,
seperti Golden Swalayan yang gulung tikar, karena kalah
bersaing dengan Pasaraya Sri Ratu, demikian pula Mickey
Mouse Swalayan di Depok Semarang, dan Matahari Swalayan di
depan pasar Johar Semarang. Ada juga beberapa hotel yang
bangkrut, yaitu hotel Siranda, yang tempatnya berada di pusat
kota Semarang dan hotel Rama yang berada di belakang pasar
Johar. Hotel Dibya Puri, hotel Jelita, dan hotel Patimura di
dekat pasar Johar juga diragukan apakah dapat bertahan di
tengah persaingan bisnis perhotelan di Semarang.
Para pedagang kecil, karena keuletan dan kemandiriannya
masih dapat melanjutkan usahanya meskipun krisis ekonomi
melanda Indonesia. Tukang sol sepatu di sekitar pasar Johar
merupakan pekerja sektor informal, yang sudah puluhan tahun
masih eksis. Pedagang barang-barang klitikan di beberapa
tempat di Semarang juga dapat bertahan dari krisis. Banyak di
4
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
antara mereka yang eksis hingga kini dengan menempati lokasi
PKL barang klitikan di jalan Barito dan Kokrosono.
Sejak kebijakan desentralisasi yang memberi kewenangan
kepada daerah untuk meningkatkan penghasilannya melalui
pendapatan asli daerah (PAD), sektor ekonomi informal dalam
posisi yang tidak menguntungkan, karena kebijakan pemerintah
daerah lebih berpihak kepada para investor yang mengelola
kegiatan ekonomi formal (Morrell 2008). Pemerintah kota
Semarang merupakan salah satu contoh daerah yang lebih
memusatkan perhatian pada kepentingan investor. Tumbuh
pesatnya bisnis hotel, ritel, properti, kuliner, dan pusat-pusat
hiburan merupakan indikasi dari hal ini.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) kota Semarang Tahun 2005-2025, pemerintah kota
Semarang mendukung penciptaan kebijakan pemerintah yang
pro-investasi, yakni dengan menciptakan iklim yang kondusif
bagi investor dalam negeri dan luar negeri dalam segala hal
(Perda Nomor 6 Tahun 2010). Sesuai dengan kebijakan
SETARA dari walikota Semarang, pemerintah pada tahun 2010
mentargetkan kerjasama pengelolaan aset dengan investor
&task=view&id=34&Itemid=53). Pemihakan kepada investor
tidak terelakkan, karena pemerintah daerah menggunakan
paradigma neoliberalisme dalam melaksanakan aktivitas
pembangunan (Mulyaningsih, dkk. 2009).
Saad-Filho and Johnston (2005) meyakini bahwa manusia
dan masyarakat dunia saat ini hidup dalam abad neoliberalisme.
Sistem neoliberal dipahami sebagai a modified or revived form of traditional liberalism, especially one based on belief in free market capitalism and the rights ofthe individual (Thorsen
2009:3). Pendek kata, sistem neoliberal merupakan sort of
pun kecilnya, sektor informal, khususnya pedagang kaki lima
memiliki kontribusi dalam aspek ekonomi.
“Kita memang pedagang kecil pak…keberadaan kita tidak dianggap oleh pemerintah, padahal meskipun kecil, selama ini kita juga membayar iuran secara rutin…berarti ada uang yang masuk ke kas pemerintah..., meskipun sedikit uang kita kan dapat dimanfaatkan oleh pemerintah”, demikian ungkap pak Achmad (wawancara dengan pak Achmad, Minggu, 13 Juni 2010).
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu pelaku
sektor informal yang diperlakukan pemerintah secara tidak
seimbang. Cukup banyak pemerintah daerah yang tidak
mengakui PKL sebagai salah satu pelaku sektor ekonomi yang
mendukung kinerja ekonomi daerah. Hal ini dibuktikan dari
masih banyaknya PKL liar yang tidak didaftar atau dilegalisasi
oleh pemerintah. PKL dipandang bagian dari problem
perkotaan, sehingga kebijakan pemerintah daerah tidak
berpihak kepadanya. Hal ini didukung oleh penelitian Kadir
(2010) yang menunjukkan bahwa PKL dianggap sebagai
penyebab permasalahan kota, sehingga harus disingkirkan dari
atau tidak diperbolehkan menjalankan aktivitas ekonomi di
ruang publik yang dipandang akan mengganggu kenyamanan
masyarakat.
Anggapan bahwa PKL sebagai pengganggu ketertiban,
keindahan, dan kebersihan kota, menyebabkan perilaku aparat
pemerintah tidak ramah, memusuhi PKL, bahkan tidak jarang
melakukan tindakan represif, brutal, dan mengorbankan PKL
(Ramli 1992; Bromley 2000; Roever 2005). Umumnya pemegang
otoritas dan elit kota di negara-negara Afrika, Asia, dan
Amerika Latin mengeluhkan keberadaan PKL sebagai masalah
utama di kota-kota mereka (Bromley 2000). Itulah sebabnya,
banyak elit kota yang berkeinginan agar PKL dibersihkan dari
ruang publik, karena dianggap sebagai pengganggu keindahan
7
BAB I
Pendahuluan
dan ketertiban kota (Mulyaningsih, dkk. 2009). Namun
demikian, PKL yang lebih banyak menjajakan barang murah (di
antaranya barang-barang bekas) dan jasa yang terjangkau
biayanya, sangat dibutuhkan oleh warga kota yang memiliki
penghasilan pas-pasan (Destombes 2010:23). PKL dibenci oleh
penguasa, tetapi di lain pihak mereka dirindukan oleh warga
kota yang memiliki pendapatan rendah.
Perlakuan pemerintah kota Semarang terhadap PKL tidak
jauh berbeda dengan sikap dan perlakuan pemerintah kota
terhadap PKL di negara berkembang lainnya di Afrika, Asia,
dan Amerika Latin. Di Semarang, problematika PKL ini menjadi
pekerjaan rumah dan dilema bagi pemerintah kota. Di satu sisi,
pemerintah kota menginginkan kota harus bersih, indah, dan
nyaman, sehingga dapat menjadi ruang publik yang sehat bagi
seluruh warga kota. Pada sisi lain, PKL butuh hidup dan
menghidupi keluarganya, oleh karenanya mereka tidak dengan
mudah dipindahkan dari tempatnya mencari rezeki.
Seperti halnya kota-kota besar lainnya, PKL di Semarang
menempati lokasi di daerah pusat perkantoran, pusat bisnis,
pusat perbankan, pendidikan, pariwisata, rumah sakit, serta
pasar (tradisional dan modern). Konsentrasi PKL berada di
Barito, Kalisari, Jalan Batan Selatan, kampus Universitas
Diponegoro (kampus atas dan bawah), kampus Universitas
Negeri Semarang, rumah sakit dr. Kariyadi, rumah sakit Panti
Wiloso, rumah sakit Telogorejo, rumah sakit Roemani, rumah
sakit Elisabeth, dan rumah sakit Tugu, Stasiun Kereta Api
Poncol dan Tawang, Kantor Bank Indonesia, bundaran Simpang
Lima dan sekitarnya, jalan Ahmad Yani, jalan Menteri Soepeno
(dahulu berada di jalan Pahlawan), jalan Pandanaran, jalan
Pemuda, jalan Sampangan, jalan Basudewo, jalan Kokrosono,
jalan Kartini, sekitar pasar tradisional (Johar, Bulu, Peterongan),
di sekitar stadion Diponegoro, dan pusat-pusat keramaian
lainnya.
8
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Seiring dengan perkembangan pesat kota Semarang dalam
15 tahun terakhir, PKL dengan mudah dapat dijumpai, mulai
dari tengah kota hingga pinggiran kota. Keberadaan PKL bagai
jamur di musim penghujan. Mereka tersebar di seluruh
kecamatan yang ada di kota Semarang. PKL yang menempati
ruang-ruang publik di kota Semarang meliputi PKL yang
terorganisasi (sesuai Perda) maupun PKL yang tidak
terorganisasi (tidak sesuai Perda). Menurut data Dinas Pasar
kota Semarang, jumlah pedagang kaki lima pada tahun 2009
mencapai 11.414 dengan rincian 7.419 sesuai Perda No. 11
Tahun 2000, SK Walikota Semarang Nomor 130.2/339 Tahun
2000 dan SK Walikota Nomor 511.3/16 Tahun 2001 dan 3.995
PKL tidak sesuai Perda dan SK Walikota tersebut. Rincian
selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Jumlah Pedagang Kaki Lima di Semarang Tahun 2009
No. Kecamatan Jumlah PKL sesuai Perda
Jumlah PKL tidak sesuai
Perda
Jumlah Total PKL
1. Semarang Selatan 593 413 1.006 2. Semarang Utara 856 199 1.055 3. Semarang Tengah 1.742 797 2.539 4. Semarang Barat 635 792 1.427 5. Semarang Timur 1.477 505 1.982 6. Banyumanik 285 199 484 7. Tembalang 189 27 216 8. Candisari 250 63 313 9. Gajahmungkur 181 96 277
Sumber : Dokumen Dinas Pasar kota Semarang dan Wawancara dengan Pak Azis, Rabu, 29 Februari 2012
Pada tahun 2012, jumlah pedagang kaki lima (PKL) di kota
Semarang meningkat menjadi 11.981, yang berarti terjadi
kenaikan sebanyak 567 PKL dari tahun 2009 (wawancara
9
BAB I
Pendahuluan
dengan pak Azis, Rabu, 29 Februari 2012). Kenaikan tersebut
tidak diketahui berapa peningkatan PKL yang sesuai dengan
Perda dan berapa pula peningkatan jumlah PKL yang tidak
sesuai dengan Perda. Tingkat mobilitas yang tinggi dari PKL liar
atau tidak sesuai dengan Perda, tidak diperhitungkan oleh Dinas
Pasar dalam menghitung kenaikan jumlah PKL, sehingga
jumlah PKL pada tahun 2012 bisa saja melebihi angka statistik
PKL yang disusun oleh Dinas Pasar kota Semarang.
Atas nama pembangunan dan dalam rangka mengejar
pertumbuhan investasi, Pemkot Semarang melakukan penataan
kota dengan fasilitas yang memadai untuk menarik investor.
Untuk memberi rasa aman dan nyaman kepada investor,
Pemkot melakukan penataan PKL dengan mengeluarkan Perda
nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan
Pedagang Kaki Lima. Perda PKL tersebut lebih banyak
berfungsi mengatur dan membina PKL daripada
memberdayakan PKL. Hak-hak PKL tidak banyak diatur dalam
Perda tersebut. Dari 15 pasal, sebanyak 11 pasal, yaitu pasal 2, 3,
4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, dan 13 memberikan kewenangan kepada
walikota untuk mengatur, membina, mewajibkan, melarang,
dan menjatuhkan sanksi hukum (pidana) dan administrasi
kepada PKL yang dinilai melanggar ketentuan Perda. Sementara
itu, hak PKL hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 6. Dalam
pasal tersebut, setiap PKL mempunyai hak untuk (1)
mendapatkan pelayanan perizinan, (2) penyediaan lahan lokasi
PKL, (3) mendapatkan pengaturan dan pembinaan.
Ayat (3) dari pasal 6 tersebut sejatinya bukan hak yang
diberikan kepada PKL. Ayat (3) tersebut merupakan bentuk
kewenangan Pemkot untuk menata PKL agar tertib dalam
menggunakan ruang publik dan menjalankan kegiatan ekonomi
yang tidak mengganggu keamanan, ketertiban, dan
kenyamanan masyarakat.
10
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Anatomi Perda nomor 11 tahun 2000 yang lebih banyak
mengedepankan kewajiban, larangan, dan sanksi, menunjukkan
betapa Pemkot kurang berpihak kepada kepentingan ekonomi
masyarakat golongan ekonomi lemah. Seiring dengan kebijakan
menjadikan kota Semarang sebagai pintu gerbang Jawa Tengah,
Pemkot melakukan penataan fisik kota, sehingga ruang publik
di berbagai pojok kota ditata, dirapikan, dan diperindah. PKL
yang menempati ruang publik yang dipandang merusak wajah
kota, ditertibkan. Sebaliknya, pengusaha yang memberi
kontribusi bagi pengembangan kota Semarang sebagai pusat
perdagangan dan jasa, diberi fasilitas untuk mengembangkan
bisnis di kota Semarang.
Perda nomor 11 tahun 2000 menjadi payung hukum bagi
Pemkot Semarang untuk melakukan penertiban terhadap PKL.
Hal ini dilakukan agar keberadaan PKL tidak mengganggu
kebutuhan warga masyarakat lainnya dan kepentingan investor.
Penegakan peraturan yang dilakukan oleh Pemkot dengan
melakukan penertiban terhadap PKL tidak salah, karena
memang sudah sepatutnya pemerintah menertibkan pedagang
yang menempati ruang publik yang dirasa dapat mengganggu
ketertiban dan keamanan. Tindakan penertiban yang disertai
dengan penggusuran dan kekerasan terhadap PKL, merupakan
implementasi Perda yang tidak dapat dibenarkan baik dilihat
dari aspek hukum, hak asasi manusia, maupun rasa keadilan.
Sejak kepemimpinan walikota Sukawi Sutarip hingga
Soemarmo HS, tindakan penertiban disertai penggusuran
terhadap PKL berlangsung secara massif. Beberapa lokasi PKL
pernah mengalami penertiban dan penggusuran yang
dilakukan oleh Pemkot. Hampir semua tempat yang digunakan
PKL pernah mengalami penertiban dan penggusuran, tetapi dari
sekian tempat yang paling parah dan menimbulkan perlawanan
dari pihak pedagang adalah Kokrosono, Sampangan, dan
Basudewo. Dari tiga wilayah ini, perlawanan yang paling seru
ditunjukkan oleh PKL Basudewo.
11
BAB I
Pendahuluan
PKL Kokrosono, yang lokasinya dekat dengan bantaran kali
Banjir Kanal Barat, pertama kali digusur serta dibongkar
bangunan dan lapaknya pada tahun 2000. Meskipun demikian,
banyak di antara mereka kembali ke tempat usaha semula.
Sesungguhnya mereka sudah dibuatkan tempat usaha baru,
yaitu sentra PKL Kokrosono, yang berada di wilayah utara
Kokrosono (sebelah utara rel kereta api), tetapi karena usahanya
sepi semenjak menempati kios baru, mereka kembali turun ke
jalanan menjajakan barang dagangan atau menjual jasanya.
“Kalau sepi begini…mana bisa hidup…uang dari mana untuk makan, terpaksa kita jualan di tepi jalan”, demikian ungkap pak haji Mustaqim (wawancara dengan haji Mustaqim, 17 Juli 2010).
Pak Achmad, ketua paguyuban PKL Basudewo juga
membenarkan apa yang disampaikan oleh pak haji Mustaqim.
“Lokasi PKL Kokrosono yang berada di sebelah utara rel kereta api memiliki 8 bangunan berlantai dua. Memang kelihatannya enak pak, tetapi di sana banyak bermain para preman, sehingga para pedagang takut pindah ke sana”, timpal pak Achmad (wawancara dengan Achmad, 20 Juli 2010).
Sebagai bagian dari penertiban PKL yang menempati
Daerah Aliran Sungai (DAS) Kaligarang, pemerintah kota
Semarang juga membongkar bangunan atau kios permanen
yang ada di sepanjang sungai Kaligarang. Pada bulan Maret
2010, bangunan atau kios PKL di pinggiran sungai Kaligarang,
tepatnya di sebelah utara pasar Sampangan lama, juga
dibongkar. Para pedagang dipaksa untuk keluar dari lokasi.
Sebagian PKL pindah ke tempat lain. Namun demikian,
sebagian lainnya kembali menempati tempat usaha mereka
meskipun harus menggunakan lapak atau kios tidak permanen
yang mudah dipasang dan dibongkar. Di tengah-tengah
aktivitas proyek dengan lalu lalang truk-truk pengangkut tanah
galian sungai, mereka tetap melakukan aktivitas ekonomi, baik
pada waktu siang maupun malam hari.
12
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Wilayah Sampangan merupakan tempat favorit para PKL,
karena letaknya strategis, yakni di sekitarnya terdapat Pom
Bensin, Akademi Komputer GEGA, Akademi Sekretaris Santa
Maria, pasar tradisional Sampangan, toko Swalayan Super, serta
beberapa toko lainnya, yang pada waktu siang maupun malam
ramai lalu lintasnya. Daerah periferi atau pinggiran, baik yang
membentang ke arah utara maupun selatan juga sudah
berkembang pesat menjadi daerah pertokoan. Perempatan
Sampangan, yang di dekatnya terdapat pasar Sampangan (lama),
merupakan lokasi yang tidak pernah sepi dari aktivitas ekonomi
sejak pagi hingga malam hari.
Basudewo sebagai sentra PKL mebel digusur Pemkot
Semarang pada bulan Juni dan Desember 2010. Namun
demikian, para PKL tetap nekat menjajakan barang dagangan di
bekas reruntuhan bangunan yang dihancurkan Pemkot.
Meskipun akhirnya mereka harus angkat kaki dari lokasi
berdagang, tetapi di sana sini masih terdapat beberapa pedagang
yang menjajakan dagangannya di tengah lalu lalang kendaraan
proyek normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat.
Akibat penataan tanah di sebelah kanan dan kiri sungai,
sebagian pengrajin mebel pindah ke sentra PKL Kokrosono,
sebagian lagi tidak diketahui lagi kemana mereka harus
menjalankan usahanya, dan sebagian kecil, yaitu pedagang
bensin, penjual minuman, penjual rokok dan makanan kecil,
pengrajin mebel, serta penjual jasa bengkel motor, yang
jumlahnya 5 orang masih nekat berdagang di antara gundukan
tanah, timbunan batu, cetakan beton, dan begu dan alat-alat
berat proyek. Inilah yang disebut dengan tipikal perlawanan
atau resistensi orang-orang pinggiran atau rakyat kecil.
Perlawanan mereka tidak dengan melakukan aksi fisik dengan
membawa senjata tajam atau batu seperti halnya para preman
yang sedang tawuran, tetapi lebih pada sikap membangkang
untuk tetap berjualan di lokasi yang dilarang oleh pemerintah
kota Semarang.
13
BAB I
Pendahuluan
Pedagang Kaki Lima (PKL) yang oleh Dinas Pasar disebut
“PKL tidak sesuai Perda dan SK Walikota” ini (PKL liar)
memiliki karakteristik yang berbeda dengan “PKL yang sesuai Perda dan SK Walikota” atau PKL terorganisasi, tertata, atau
tertib. PKL liar tidak hanya terdapat di sepanjang sungai
Kaligarang, tetapi juga terdapat di ruas-ruas jalan di kota
Semarang. Kepatuhan mereka terhadap kebijakan pemerintah
oleh pihak Pemkot dinilai lebih rendah ketimbang PKL yang
terorganisasi. Mereka ini tidak disiplin, bandel, dan sulit
diatur”, kata pak Azis, Ka.Sub. PKL Dinas Pasar Semarang.
Pada saat terjadi penertiban dan penggusuran, para PKL
biasanya bermain kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP.
Ketika tergusur, mereka menepi. Ada beberapa yang melakukan
perlawanan terhadap upaya penggusuran yang dilakukan oleh
petugas Satpol PP. Setelah keadaan reda (aman), mereka
kembali lagi ke tempat berdagang semula, seperti yang
diperlihatkan PKL Kokrosono, Basudewo, dan Sampangan.
Praktik kucing-kucingan ini merupakan taktik yang banyak
digunakan PKL menghadapi tindakan penggusuran dari petugas
Satpol PP. Taktik ini diperlihatkan pula oleh PKL yang
berdagang di jalan Margonda Depok, sebagaimana diteliti oleh
Siswono (2009). Ketika petugas keamanan datang, PKL tidak
berdagang, tetapi begitu mereka pergi, PKL mulai membuka
lapaknya.
Perlawanan PKL memiliki tipikal yang tidak jauh berbeda
dengan kelompok masyarakat kecil lainnya. Motif perlawanan
tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok. PKL melawan
kebijakan pemerintah karena mereka merasa kebijakan
tersebut tidak menguntungkan mereka. Tanpa ruang hidup,
mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sikap membangkang, tidak mau dipindah, dan terkadang
melawan dengan kekerasan mereka lakukan, karena hanya
dengan perlawanan ini mereka dapat bertahan hidup di lokasi
yang selama ini memberi penghidupan kepada mereka.
14
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Perlawanan rakyat kecil, dalam berbagai literatur, banyak
dilakukan oleh kaum buruh dan petani. Gerakan perlawanan
mereka bersifat masif dan banyak juga yang beralih menjadi
gerakan politik.
Dalam penelitian ini dikemukakan gerakan perlawanan
rakyat kecil di Amerika Latin dan di Indonesia untuk melihat
mengapa rakyat kecil berani melakukan perlawanan dan apa
bentuk-bentuk perlawanan mereka. Di Amerika Latin terdapat
banyak gerakan perlawanan yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat bawah. Gerakan perlawanan di Meksiko, Bolivia,
Argentina, Brazil, dan di tempat lainnya, memberikan
kontribusi positif terhadap kebijakan yang diambil pemerintah,
bahkan beberapa di antaranya berhasil mengantarkan
pemimpin gerakan menjadi pemimpin pemerintahan.
Di Argentina terdapat gerakan buruh yang sangat terkenal,
yaitu Gerakan Buruh Pengangguran Kota Argentina (GPP).
Petras (2005) melaporkan bahwa pada tahun 2001 meledak aksi
nasional buruh pengangguran yang amat terorganisasi. Lebih
dari 100.000 orang menyusuri 300 jalan raya di seluruh
Argentina. Para buruh pengangguran berhasil mengorganisasi
aksi pendudukan atas jalan raya di seluruh kota Buenos Aires.
Aksi ini berhasil, karena adanya dukungan dan kerjasama
dengan berbagai serikat buruh sektoral. Aksi yang dilakukan
buruh pengangguran ini diikuti pula oleh berbagai komunitas
penduduk dan kelas sosial, seperti pedagang lokal, pegawai
pemerintah daerah, pegawai rumah sakit, guru, pensiunan, dan
kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia.
Bentuk perlawanan yang ditunjukkan buruh pengangguran
dalam aksinya menentang pemerintah bervariasi, mulai dari