Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dalam bahasa sehari-hari catastrophe dapat diartikan
sebagai malapetaka yang tidak disangka-sangka
sebelumnya atau bencana alam, contohnya gempa bumi,
kejatuhan harga saham mendadak, atau serangan jantung.
Bencana tersebut tidak disangka-sangka karena semua
perubahan yang mempengaruhi kejadian berubah secara
perlahan-lahan. Akan tetapi sebuah diskontinuitas,
suatu lompatan radikal, hadir dan menghancurkan segala
keteraturan. Hal inilah yang dipelajari dalam catastrophe
theory, yaitu dampak dari perubahan yang nyaris tidak
dapat dirasakan menghasilkan akibat yang dapat
melemparkan suatu sistem yang berperilaku baik menjadi
liar.
Catastrophe Theory adalah salah satu cabang yang
cukup baru dalam ilmu matematika. Teori tersebut
biasanya dibahas sebagai pengenalan terhadap teori
bifurkasi dan sistem dinamik, dua bidang penelitian
Catastrophe Theory Page 1
Page 2
yang sangat aktif dalam matematika. Dunia Matematika
sendiri baru berkenalan dengan teori ini sekitar tahun
1960 dan teori ini baru dikenal luas para matematikawan
sekitar tahun 1970. Teori ini diperkenalkan oleh Rene
Thom, seorang matematikawan Prancis, pada Konferensi
Matematika Internasional ICM pada tahun 1958. Pada saat
itu Thom menerima medali Fields (penghargaan tertinggi
dalam bidang matematika yang mungkin dapat dianggap
seperti nobel untuk matematika) atas karyanya
klasifikasi dari tujuh buah catastrophe dasar.
Salah satu jantung catastrophe theory adalah tujuh
catastrophe dasar Thom. Klasifikasi tujuh catastrophe
dasar ini disusun oleh Rene Thom berdasarkan persamaan
matematika yang terlibat dan struktur umum yang dapat
diamati. Tujuh catastrophe dasar tersebut berturut-
turut dari yang paling sederhana adalah fold, cusp,
swallowtail, butterfly, hyperbolic umbilic, elliptic
umbilic dan parabolic umbilic. Alasan ketujuh
catastrophe dasar ini sangat penting adalah karena saat
parameter yang digunakan lebih dari lima, akan muncul
tak hingga banyaknya jenis catastrophe, sedangkan untuk
Catastrophe Theory Page 2
Page 3
banyaknya parameter kurang dari lima hanya terdapat
tujuh catastrophe tersebut.
Penerapan dari catastrophe theory tidak hanya pada
bidang sains, dan teknik tetapi juga pada bidang
kemanusiaan. Dalam bidang fisika, penerapan dari teori
cantik ini dapat ditemukan pada mekanika klasik,
mekanika struktural, dinamika fluida, optik,
termodinamika, dan meteorologi. Selain itu dapat pula
ditemukan penerapan dari catastrophe theory dalam
biologi, ekologi dan kedokteran. Penerapan dalam
bidang kemanusiaan mencakup sosiologi, ekonomi dan
linguistik.
I.2 Tujuan
1. Toba Katastrope
2. Tambora Katastrope
3. Krakatau Katastrope
Catastrophe Theory Page 3
Page 4
BAB II
ISI
II.1 Toba Catastrophe
Dalam tiga sampai lima juta tahun, setelah garis
keturunan kera manusia dan lainnya menyimpang dari
hominid batang-line, garis manusia menghasilkan
berbagai spesies.
Menurut teori bencana Toba letusan gunung berapi
yang besar sangat mengurangi populasi manusia. Hal ini
mungkin terjadi sekitar 70-75,000 tahun yang lalu
ketika kaldera Toba di Indonesia mengalami letusan
kategori 8 (atau "mega-kolosal") pada Volcanic
Explosivity Index. Ini dirilis energi setara dengan
sekitar satu gigaton TNT, yang tiga ribu kali lebih
besar dari tahun 1980 letusan Gunung St Helens. Menurut
Ambrose, ini mengurangi temperatur global rata-rata
sebesar 5 derajat Celcius selama beberapa tahun dan
mungkin telah memicu zaman es.
The Toba supereruption adalah letusan
supervolcanic yang terjadi beberapa waktu yang lalu di
Catastrophe Theory Page 4
Page 5
lokasi kini Danau Toba (Sumatera, Indonesia). Ini
adalah salah satu letusan terbesar yang diketahui bumi.
Bencana Toba hipotesis menyatakan bahwa bencana ini
menyebabkan musim dingin vulkanik global 6-10 tahun dan
mungkin episode pendinginan 1.000 tahun panjang.
Ambrose mendalilkan bahwa perubahan lingkungan ini
besar menciptakan hambatan populasi di berbagai spesies
yang ada pada saat itu; ini pada gilirannya mempercepat
diferensiasi populasi manusia yang terisolasi, akhirnya
mengarah pada kepunahan semua spesies manusia lainnya
kecuali untuk dua cabang yang menjadi Neanderthal dan
manusia modern.
Beberapa bukti geologi dan model dihitung
mendukung masuk akal dari teori bencana Toba. The
Greenland Data inti es menampilkan perubahan mendadak
sekitar waktu ini, tetapi dalam data Antartika sesuai
perubahan itu tidak mudah dilihat. Abu dari letusan ini
Danau Toba, terletak di dekat khatulistiwa, harus mudah
menyebar di seluruh dunia.
Pada tahun 1993, wartawan ilmu Ann Gibbons
menyatakan adanya hubungan antara letusan dan hambatan
Catastrophe Theory Page 5
Page 6
dalam evolusi manusia, dan Michael R. Rampino dari New
York University dan Stephen Diri dari University of
Hawaii di Manoa memberikan dukungan kepada gagasan itu.
Pada tahun 1998, teori bottleneck dikembangkan lebih
lanjut oleh Stanley H. Ambrose dari University of
Illinois di Urbana-Champaign.
Bukti genetik menunjukkan bahwa semua manusia
hidup hari ini, meskipun berbagai jelas mereka, adalah
keturunan dari populasi yang sangat kecil, mungkin
antara 1.000 dan 10.000 pasangan pemuliaan.
Menggunakan kurs rata-rata mutasi genetik,
beberapa ahli genetika telah memperkirakan bahwa
populasi ini hidup pada masa bertepatan dengan acara
Toba. Perkiraan ini tidak bertentangan dengan perkiraan
konsensus bahwa Y-kromosom Adam hidup sekitar 60.000
tahun yang lalu, dan bahwa Siti Hawa Mitokondria
diperkirakan hidup 140.000 tahun yang lalu, karena Toba
tidak menduga menjadi acara bottleneck ekstrim, di mana
penduduk dikurangi menjadi satu pasang.
Analisis gen dari beberapa gen menunjukkan
perbedaan mana saja dari 2 juta sampai 60.000 tahun
Catastrophe Theory Page 6
Page 7
yang lalu, tapi ini tidak bertentangan dengan teori
Toba, Toba lagi karena tidak menduga menjadi acara
bottleneck tunggal pasangan. Gambaran lengkap garis
keturunan gen (termasuk tingkat masa kini variasi
genetik manusia) memungkinkan teori bottleneck populasi
manusia Toba diinduksi.
Menurut teori ini, manusia sekali lagi menyebar
dari Afrika setelah Toba ketika iklim dan faktor-faktor
lain yang diizinkan. Mereka bermigrasi pertama ke Arab
dan India dan seterusnya ke Indochina dan Australia
(Ambrose, 1998, hal. 631), dan kemudian ke Timur Tengah
dan apa yang akan menjadi Fertile Crescent setelah
akhir periode glaciation Wurm (70,000-10,000 tahun bp).
Catastrophe Theory Page 7
Page 8
Landsat foto satelit dari Danau Toba, Sumatera,Indonesia.
Kredit: Gambar milik NASA / via Wikimedia Commons
A.Supereruption
Letusan Toba atau peristiwa Toba terjadi di lokasi
ini Danau Toba sekitar 73.000 ± 4.000 tahun Sebelum
Present (BP). Letusan ini adalah yang terakhir dan
terbesar dari empat letusan Toba selama zaman Kuarter,
dan juga diakui dari cakrawala diagnostik atas ashfall,
si Bungsu Toba Tuff (YTT) itu diperkirakan Volcanic
Explosivity Index of 8 (digambarkan sebagai
Catastrophe Theory Page 8
Page 9
"apokaliptik"), atau besarnya ≥ M8.; itu membuat
kontribusi yang cukup besar untuk kaldera kompleks 100
× 30 km setara padat-rock (DRE) memperkirakan volume
letusan untuk letusan bervariasi antara 2.000 km3 dan
3000 km3 -. perkiraan DRE paling umum adalah 2.800 km3
(sekitar 7 × 1015 kg) dari magma meletus, dimana 800
km3 diendapkan sebagai abu jatuh. Itu meletus massa
adalah 100 kali lebih besar dari letusan gunung berapi
terbesar dalam sejarah, tahun 1815 letusan Gunung
Tambora di Indonesia, yang menyebabkan 1816 "Tahun
tanpa musim panas" di belahan bumi utara.
Letusan Toba terjadi di Indonesia dan diendapkan
lapisan abu sekitar 15 cm tebal atas seluruh Asia
Selatan. Selimut abu vulkanik juga disimpan di atas
Samudera Hindia, dan Arab dan Laut Cina Selatan core
laut dalam. Diambil dari Laut Cina Selatan telah
memperpanjang dikenal jangkauan letusan, menunjukkan
bahwa perhitungan 2800 km3 massa meletus adalah nilai
minimum atau bahkan meremehkan.
B.Musim dingin vulkanik dan pendinginan
Catastrophe Theory Page 9
Page 10
Letusan Toba rupanya bertepatan dengan terjadinya
periode glasial terakhir. Michael L. Rampino dan
Stephen sendiri berpendapat bahwa letusan menyebabkan
"singkat, pendinginan dramatis atau 'musim dingin
vulkanik'", yang mengakibatkan penurunan suhu permukaan
rata-rata global sebesar 3-5 ° C dan mempercepat
transisi dari hangat ke dingin suhu siklus glasial
terakhir. Bukti dari Greenland inti es menunjukkan
periode 1.000 tahun 18O rendah dan peningkatan deposisi
debu segera setelah letusan.. Letusan mungkin telah
menyebabkan periode ini 1.000 tahun suhu dingin
(stadial), dua abad yang dapat dipertanggungjawabkan
oleh masih adanya Toba stratosfer pemuatan. Rampino dan
Self percaya bahwa pendinginan global sudah berlangsung
pada saat itu letusan, tetapi proses ini lambat; YTT
"mungkin telah memberikan tambahan 'tendangan' yang
menyebabkan sistem iklim untuk beralih dari hangat ke
negara dingin". Meskipun Clive Oppenheimer menolak
hipotesis bahwa letusan memicu glaciation terakhir, ia
setuju bahwa hal itu mungkin karena bertanggung jawab
Catastrophe Theory Page 10
Page 11
untuk milenium iklim yang sejuk sebelum acara
Dansgaard-Oeschger 19.
Menurut Alan Robock, yang juga telah menerbitkan
makalah musim dingin nuklir, letusan Toba tidak memicu
periode glasial terakhir. Namun dengan asumsi emisi
enam miliar ton sulfur dioksida, simulasi komputer
menyimpulkan bahwa pendinginan global maksimum sekitar
15 ° C terjadi selama tiga tahun setelah letusan, dan
bahwa pendinginan ini akan berlangsung selama beberapa
dekade, menghancurkan kehidupan. Sebagai lapse rate
adiabatik jenuh adalah 4,9 ° C / 1.000 m untuk suhu di
atas titik beku, garis pohon dan garis salju adalah
sekitar 3.000 m (9,900 ft) lebih rendah pada saat ini.
Iklim pulih selama beberapa dekade, dan Robock tidak
menemukan bukti bahwa periode 1.000 tahun dingin
terlihat di Greenland catatan inti es yang dihasilkan
dari letusan Toba. Sebaliknya, Oppenheimer yakin bahwa
perkiraan penurunan suhu permukaan 3-5 ° C mungkin
terlalu tinggi, dan ia menunjukkan bahwa suhu turun
hanya 1 ° C. Robock mengkritik analisis Oppenheimer,
Catastrophe Theory Page 11
Page 12
dengan alasan bahwa itu didasarkan pada hubungan T-
memaksa sederhana.
Meskipun ini perkiraan yang berbeda, para ilmuwan
setuju bahwa supereruption dari skala di Toba harus
telah menyebabkan lapisan abu-jatuh ke sangat luas dan
injeksi gas beracun ke atmosfer, dengan efek di seluruh
dunia pada iklim dan cuaca. Selain itu, Greenland Data
inti es menampilkan perubahan iklim tiba-tiba sekitar
waktu ini, tetapi tidak ada konsensus bahwa letusan
langsung dihasilkan periode 1.000 tahun dingin terlihat
di Greenland atau memicu glaciation terakhir.
Arkeolog yang pada tahun 2013 menemukan lapisan
mikroskopis abu vulkanik kaca dalam sedimen dari Danau
Malawi, dan definitif terkait abu dengan 75.000 tahun
Toba super letusan, melanjutkan untuk dicatat tidak
lengkap untuk menemukan perubahan jenis fosil dekat ke
lapisan abu yang akan diharapkan setelah musim dingin
vulkanik yang parah. Hasil ini menyebabkan para
arkeolog menyimpulkan bahwa terbesar yang diketahui
letusan gunung berapi dalam sejarah spesies manusia
Catastrophe Theory Page 12
Page 13
tidak secara signifikan mengubah iklim Afrika Timur.
Kesimpulan ini telah dikritik oleh Richard Roberts.
C.Teori bottleneck Genetik
Letusan Toba telah dikaitkan dengan hambatan
genetik dalam evolusi manusia sekitar 50.000 tahun yang
lalu, yang mungkin dihasilkan dari pengurangan berat
pada ukuran total populasi manusia karena efek letusan
pada global iklim.
Menurut teori bottleneck genetik, antara 50.000
dan 100.000 tahun yang lalu, populasi manusia menurun
tajam ke 3,000-10,000 orang yang masih hidup. Hal ini
didukung oleh bukti genetik menunjukkan bahwa manusia
saat ini adalah keturunan dari populasi yang sangat
kecil antara 1.000 hingga 10.000 pasangan pemuliaan
yang ada sekitar 70.000 tahun yang lalu.
Para pendukung teori bottleneck genetik
menunjukkan bahwa letusan Toba mengakibatkan bencana
ekologis global, termasuk perusakan vegetasi bersama
dengan kekeringan parah di daerah hutan hujan tropis
dan di daerah musiman. Sebagai contoh, 10 tahun musim
Catastrophe Theory Page 13
Page 14
dingin vulkanik dipicu oleh letusan bisa sebagian besar
telah menghancurkan sumber makanan manusia dan
menyebabkan penurunan berat pada ukuran populasi
perubahan lingkungan Τhese mungkin telah menghasilkan
kemacetan populasi di banyak spesies, termasuk hominid.
ini pada gilirannya mungkin telah dipercepat
diferensiasi dari dalam populasi manusia yang lebih
kecil. Oleh karena itu, perbedaan genetik antara
manusia modern mungkin mencerminkan perubahan dalam
70.000 tahun terakhir, daripada diferensiasi bertahap
selama jutaan tahun.
Penelitian lain telah meragukan teori bottleneck
genetik. Misalnya, alat-alat batu kuno di India selatan
yang ditemukan di atas dan di bawah lapisan tebal abu
dari letusan Toba dan sangat mirip di seluruh lapisan
ini, menunjukkan bahwa awan debu dari letusan tidak
menghapus penduduk setempat ini. Bukti arkeologis lain
dari India selatan dan utara juga menunjukkan kurangnya
bukti untuk efek dari letusan pada penduduk lokal,
memimpin penulis studi menyimpulkan, "banyak bentuk
kehidupan selamat supereruption, bertentangan dengan
Catastrophe Theory Page 14
Page 15
lainnya penelitian yang telah menyarankan kepunahan
hewan yang signifikan dan hambatan genetik ". Namun,
bukti dari analisis serbuk sari telah menyarankan
berkepanjangan di Asia Selatan, dan beberapa peneliti
telah menyarankan bahwa letusan Toba mungkin telah
memaksa manusia untuk mengadopsi strategi adaptif baru,
yang mungkin telah mengizinkan mereka untuk
menggantikan Neanderthal dan "lainnya spesies manusia
kuno". Hal ini telah ditentang oleh bukti keberadaan
Neanderthal di Eropa dan Homo floresiensis di Asia
Tenggara yang selamat letusan 50.000 dan 60.000 tahun,
masing-masing.
Peringatan tambahan untuk teori bottleneck Toba-
induced termasuk kesulitan dalam memperkirakan dampak
iklim global dan regional letusan dan kurangnya bukti
konklusif untuk letusan sebelumnya kemacetan. Selain
itu, analisis genetik dari urutan Alu di seluruh genom
manusia memiliki menunjukkan bahwa ukuran populasi
efektif manusia kurang dari 26.000 pada 1,2 juta tahun
yang lalu; penjelasan yang mungkin untuk ukuran
populasi rendah nenek moyang manusia mungkin termasuk
Catastrophe Theory Page 15
Page 16
kemacetan populasi berulang atau peristiwa penggantian
periodik dari subspesies Homo bersaing.
D.Kemacetan genetik pada manusia
The Toba teori bencana menunjukkan bahwa hambatan
dari populasi manusia terjadi sekitar 70.000 tahun yang
lalu, mengurangi jumlah populasi manusia menjadi
sekitar 15.000 orang saat Toba meletus dan memicu
perubahan lingkungan utama, termasuk musim dingin
vulkanik. Teori ini didasarkan pada bukti geologi untuk
perubahan iklim mendadak pada saat itu dan untuk
perpaduan dari beberapa gen (termasuk DNA mitokondria,
kromosom Y dan beberapa gen nuklir) serta tingkat
relatif rendah variasi genetik antara manusia masa
kini. misalnya, menurut salah satu hipotesis, DNA
manusia mitokondria (yang diwariskan dari garis ibu)
dan Y kromosom DNA (dari ayah diwariskan) menyatu di
sekitar 140.000 dan 60.000 tahun yang lalu, masing-
masing. Hal ini menunjukkan bahwa garis keturunan
perempuan dari semua manusia masa kini jejak kembali ke
satu perempuan (Siti Hawa Mitokondria) sekitar 140.000
Catastrophe Theory Page 16
Page 17
tahun yang lalu, dan garis laki-laki untuk satu laki-
laki (Y-kromosom Adam) di 60.000 sampai 90.000 tahun
yang lalu.
Namun, perpaduan tersebut diharapkan genetik dan
tidak selalu menunjukkan hambatan populasi karena DNA
mitokondria dan DNA kromosom Y hanya sebagian kecil
dari genom manusia, dan atipikal dalam bahwa mereka
mewarisi secara eksklusif melalui ibu atau melalui
ayah, masing-masing. Kebanyakan gen diwariskan secara
acak baik dari ayah atau ibu, sehingga tidak dapat
ditelusuri ke salah satu keturunan matrilineal atau
patrilineal. gen lain menampilkan poin perpaduan dari 2
juta sampai 60.000 tahun yang lalu, sehingga keraguan
tentang keberadaan kemacetan baru dan kuat .
Penjelasan lain yang mungkin untuk variasi genetik
yang terbatas di antara manusia saat ini termasuk model
tanam atau "bottleneck panjang", bukan perubahan
lingkungan bencana. Ini akan konsisten dengan saran
bahwa sementara manusia modern masih terbatas pada sub-
Sahara Afrika, populasi mungkin telah jatuh ke level
Catastrophe Theory Page 17
Page 18
2.000 orang; akhirnya, populasi perpecahan bersatu
kembali di Zaman Batu Akhir.
TMRCAs lokus, kromosom Y, dan mitogenomes
dibandingkan dengan distribusi probabilitas mereka,
dengan asumsi bahwa populasi manusia memperluas 75kya
dari populasi 11.000 orang
Keterbatasan studi lokus tunggal mencakup keacakan
besar proses fiksasi, dan studi yang mengambil keacakan
ini memperhitungkan telah memperkirakan ukuran populasi
efektif manusia di 11.000-12.000 individu.
TMRCAs lokus, kromosom Y, dan mitogenomes dibandingkan dengan
distribusi probabilitas mereka, dengan asumsi bahwa populasi
manusia memperluas 75kya dari populasi 11.000 orang . Keterbatasan
Catastrophe Theory Page 18
Page 19
studi lokus tunggal mencakup keacakan besar proses fiksasi, dan
studi yang mengambil keacakan ini.
E.Kemacetan genetik pada mamalia lain
Beberapa bukti mengarah ke kemacetan genetik pada
hewan lain menyusul letusan Toba: populasi simpanse
Afrika Timur, Borneo orangutan, kera di India tengah,
cheetah, harimau, dan pemisahan kolam gen nuklir gorila
dataran rendah timur dan barat, semua pulih dari jumlah
yang sangat rendah sekitar 70,000-55,000 tahun yang
lalu.
F.Migrasi setelah Toba
Distribusi geografis yang tepat dari populasi
manusia pada saat letusan tidak diketahui, dan populasi
yang masih hidup mungkin telah tinggal di Afrika dan
kemudian bermigrasi ke bagian lain dari dunia. Analisis
DNA mitokondria telah memperkirakan bahwa migrasi besar
dari Afrika terjadi 60.000-70.000 tahun yang lalu,
sesuai dengan penanggalan letusan Toba menjadi sekitar
66,000-76,000 tahun yang lalu.
Catastrophe Theory Page 19
Page 20
Namun, penemuan arkeologi terbaru menunjukkan
bahwa populasi manusia dapat bertahan di Jwalapuram,
India Selatan. Selain itu, juga telah menyarankan bahwa
populasi hominid di dekatnya, seperti Homo floresiensis
di Flores, selamat karena mereka hidup melawan angin
Toba.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa saya benar-benar
tidak suka hipotesis bahwa letusan besar kuno Gunung
Toba, Sumatera, menyapu bersih sebagian besar populasi
manusia di seluruh dunia 74.000 tahun yang lalu,
mungkin memungkinkan manusia modern menyebar di
belakangnya.
Tentu, letusan ini adalah yang terbesar yang
diketahui dalam tahun setengah juta lalu. Jika ada
Catastrophe Theory Page 20
Page 21
kejadian letusan gunung api kuno akan memiliki efek
pada populasi manusia dan iklim dunia, itu akan menjadi
satu ini. Dan tetap sangat mungkin bahwa ada efek iklim
yang parah yang berlangsung milenium atau lebih.
Tapi tidak pernah ada tanda-tanda anatomis atau
arkeologi diskontinuitas luar Afrika saat ini. Selain
itu, tidak ada bukti genetik menunjukkan hambatan yang
keras mendadak pada 74.000 tahun yang lalu - sebagian
besar gen konsisten dengan hambatan seperti ini hanya
karena hambatan baru-baru ini, tiba-tiba, dan pendek
akan hampir tidak berpengaruh pada keragaman gen.
Menimbang bahwa Neanderthal di Eropa glasial terus
tepat setelah letusan Toba tanpa tersendat apapun,
selalu tampak seperti ide yang sangat gemetar.
Tapi tetap saja, tampaknya ada yang mustahil
tentang efek yang lebih lokal letusan. Maksudku, jika
megavolcano raksasa spouts off di sebelah kanan pintu,
itu harus buruk, kan? Nah, mungkin di Sumatera itu
sendiri, tetapi tampaknya tidak di beberapa tempat
cukup dekat lainnya. Minggu ini kertas dengan Petraglia
dan rekan (2007) tampaknya telah tenggelam bottleneck
Catastrophe Theory Page 21
Page 22
Toba seluruhnya. Sangat sederhana, mereka menemukan abu
cakrawala Toba di India, dan menemukan arkeologi sangat
mirip baik di bawah dan di atas letusan.
Berdasarkan beberapa fitur alat, Petraglia dan
rekan berspekulasi bahwa pembuat mungkin sampel yang
relatif awal manusia modern: Analisis industri
arkeologi pulih dari situs menunjukkan elemen kuat dari
kelanjutan teknologi antara sebelum dan sesudah Toba
kumpulan. Bersama dengan kehadiran teknologi bladelike
inti searah dan dua arah faceted, industri pra-dan
pasca-Toba ini menunjukkan kedekatan lebih dekat dengan
tradisi Afrika Tengah Batu Umur (seperti Howieson ini
Poort) daripada kontemporer yang Eurasian Paleolitik
Tengah yang biasanya didasarkan pada discoidal dan
teknik Levallois. Kebetulan (i) bukti hominin cukup
fleksibel untuk menunjukkan kontinuitas melalui acara
letusan besar, (ii) teknologi yang lebih mirip dengan
Zaman Batu Tengah dari Paleolitik Tengah, dan (iii)
tumpang tindih artefak usia Jwalapuram dengan akhir
sebelumnya dari tanggal perpaduan paling sering dikutip
genetik (21-23) dapat menunjukkan adanya manusia modern
Catastrophe Theory Page 22
Page 23
di India pada saat acara YTT. Interpretasi ini akan
konsisten dengan rute selatan penyebaran manusia modern
dari Tanduk Afrika (24); yang terakhir, bagaimanapun,
akan tetap spekulatif sampai situs Paleolitik Tengah
lainnya di anak benua India dan Semenanjung Arab (25)
yang digali dan tanggal.
Saya cenderung untuk diskon butir (i) tentang
fleksibilitas, karena Eropa Neandertal itu tampaknya
cukup fleksibel untuk bertahan hidup zaman es dengan
ayunan dekade skala besar dari hangat ke dingin. Tetapi
sulit untuk membuat orang ke Australia dengan 50.000
tahun yang lalu kecuali mereka berada di India sebelum
itu.
Sebuah penyebaran orang MSA dari Afrika akan
menjadi twist yang menarik pada "asal-usul manusia
modern yang" masalah. Jika yang pertama "modern"
manusia di luar Afrika yang pengguna MSA, tidak ada
alasan khusus untuk menegaskan bahwa mereka berbeda
dari populasi diwakili Skhul dan Qafzeh. Kurangnya kit
teknis Paleolitik penuh di mana saja di Afrika sebelum
50.000 tahun yang lalu membuat disperal MSA terkait
Catastrophe Theory Page 23
Page 24
tampak lebih kredibel. Perakitan Paleolitik di Eurasia
karena itu akan menjadi perkembangan budaya lokal,
mungkin terkait dengan perubahan biologis lebih lanjut.
II.2 Tambora Catastrophe
Gunung Tambora (atau Tomboro)
adalah sebuah stratovolcano aktif
yang terletak di pulau Sumbawa, Indonesia. Gunung ini
terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu
(sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut, dan
Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat
laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara),
Provinsi Nusa Tenggara Barat, tepatnya pada 8°15' LS
dan 118° BT. Gunung ini terletak baik di sisi utara dan
selatan kerak oseanik. Tambora terbentuk oleh zona
subduksi di bawahnya. Hal ini meningkatkan ketinggian
Tambora sampai 4.300 m yang membuat gunung ini pernah
menjadi salah satu puncak tertinggi di Nusantara dan
mengeringkan dapur magma besar di dalam gunung ini.
Perlu waktu seabad untuk mengisi kembali dapur magma
tersebut.
Catastrophe Theory Page 24
Page 25
Aktivitas vulkanik gunung berapi ini mencapai
puncaknya pada bulan April tahun 1815 ketika meletus
dalam skala tujuh pada Volcanic Explosivity Index.
Letusan tersebut menjadi letusan tebesar sejak letusan
danau Taupo pada tahun 181. Letusan gunung ini
terdengar hingga pulau Sumatra (lebih dari 2.000 km).
Abu vulkanik jatuh di Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan
Maluku. Letusan gunung ini menyebabkan kematian hingga
tidak kurang dari 71.000 orang dengan 11.000—12.000 di
antaranya terbunuh secara langsung akibat dari letusan
tersebut. Bahkan beberapa peneliti memperkirakan sampai
92.000 orang terbunuh, tetapi angka ini diragukan
karena berdasarkan atas perkiraan yang terlalu tinggi.
Lebih dari itu, letusan gunung ini menyebabkan
perubahan iklim dunia. Satu tahun berikutnya (1816)
sering disebut sebagai Tahun tanpa musim panas karena
perubahan drastis dari cuaca Amerika Utara dan Eropa
karena debu yang dihasilkan dari letusan Tambora ini.
Akibat perubahan iklim yang drastis ini banyak panen
yang gagal dan kematian ternak di Belahan Utara yang
Catastrophe Theory Page 25
Page 26
menyebabkan terjadinya kelaparan terburuk pada abad ke-
19.
Selama penggalian arkeologi tahun 2004, tim
arkeolog menemukan sisa kebudayaan yang terkubur oleh
letusan tahun 1815 di kedalaman 3 meter pada endapan
piroklastik. Artifak-artifak tersebut ditemukan pada
posisi yang sama ketika terjadi letusan pada tahun
1815. Karena ciri-ciri yang serupa inilah, temuan
tersebut sering disebut sebagai Pompeii dari timur.
A. Geografi
Gunung Tambora terletak di pulau Sumbawa yang
merupakan bagian dari kepulauan Nusa Tenggara. Gunung
ini adalah bagian dari busur Sunda, tali dari kepulauan
vulkanik yang membentuk rantai selatan kepulauan
Indonesia. Tambora membentuk semenanjungnya sendiri di
pulau Sumbawa yang disebut semenanjung Sanggar. Di sisi
utara semenanjung tersebut, terdapat laut Flores, dan
di sebelah selatan terdapat teluk Saleh dengan panjang
86 km dan lebar 36 km. Pada mulut teluk Saleh, terdapat
pulau kecil yang disebut Mojo.
Catastrophe Theory Page 26
Page 27
Topografi Sumbawa. KalderaTambora dapat dilihat pada
Selain seismologis dan vulkanologis yang mengamati
aktivitas gunung tersebut, gunung Tambora adalah daerah
untuk riset ilmiah arkeolog dan biologi. Gunung ini
juga menarik turis untuk mendaki gunung dan aktivitas
margasatwa. Dompu dan Bima adalah kota yang letaknya
paling dekat dengan gunung ini. Di lereng gunung
Tambora, terdapat beberapa desa. Di sebelah timur
terdapat desa Sanggar. Di sebelah barat laut, terdapat
desa Doro Peti dan desa Pesanggrahan. Di sebelah barat,
terdapat desa Calabai.
Terdapat dua jalur pendakian untuk mencapai
kaldera gunung Tambora. Rute pertama dimulai dari desa
Doro Mboha yang terletak di sisi tenggara gunung
Tambora. Rute ini mengikuti jalan beraspal melalui
perkebunan kacang mede sampai akhirnya mencapai
ketinggian 1.150 m di atas permukaan laut. Rute ini
Catastrophe Theory Page 27
Page 28
berakhir di bagian selatan kaldera dengan ketinggian
1.950 m yang dapat dicapai oleh titik pertengahan jalur
pendakian. Lokasi ini biasanya digunakan sebagai kemah
untuk mengamati aktivitas vulkanik karena hanya
memerlukan waktu satu jam untuk mencapai kaldera. Rute
kedua dimulai dari desa Pancasila di sisi barat laut
gunung Tambora. Jika menggunakan rute kedua, maka
kaldera hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki.
B. Sejarah Geologis
1) Pembentukan
Tambora terbentang 340 km di sebelah utara sistem
palung Jawa dan 180-190 km di atas zona subduksi.
Gunung ini terletak baik di sisi utara dan selatan
kerak oseanik. Gunung ini memiliki laju konvergensi
sebesar 7.8 cm per tahun. Tambora diperkirakan telah
berada di bumi sejak 57.000 BP (penanggalan radiokarbon
standar). Ketika gunung ini meninggi akibat proses
geologi di bawahnya, dapur magma yang besar ikut
terbentuk dan sekaligus mengosongkan isi magma. Pulau
Mojo pun ikut terbentuk sebagai bagian dari proses
Catastrophe Theory Page 28
Page 29
geologi ini di mana teluk Saleh pada awalnya merupakan
cekungan samudera (sekitar 25.000 BP).
Menurut penyelidikan geologi, kerucut vulkanik
yang tinggi sudah terbentuk sebelum letusan tahun 1815
dengan karakteristik yang sama dengan bentuk
stratovolcano. Diameter lubang tersebut mencapai 60 km.
Lubang utama sering kali memancarkan lava yang mengalir
turun secara teratur dengan deras ke lereng yang curam.
Sejak letusan tahun 1815, pada bagian paling bawah
terdapat endapan lava dan material piroklastik. Kira-
kira 40% dari lapisan diwakili oleh 1-4 m aliran lava
tipis. Scoria tipis diproduksi oleh fragmentasi aliran
lava. Pada bagian atas, lava ditutup oleh scoria, tuff
dan bebatuan piroklastik yang mengalir ke bawah. Pada
gunung Tambora, terdapat 20 kawah. Beberapa kawah
memiliki nama, misalnya Tahe (877 m), Molo (602 m),
Kadiendinae, Kubah (1648 m) dan Doro Api Toi. Kawah
tersebut juga memproduksi aliran lava basal.
2) Sejarah Letusan
Dengan menggunakan teknik penanggalan radiokarbon,
dinyatakan bahwa gunung Tambora telah meletus tiga kali
Catastrophe Theory Page 29
Page 30
sebelum letusan tahun 1815, tetapi besarnya letusan
tidak diketahui. Perkiraan tanggal letusannya ialah
tahun 3910 SM ± 200 tahun, 3050 SM dan 740 ± 150 tahun.
Ketiga letusan tersebut memiliki karakteristik letusan
yang sama. Masing-masing letusan memiliki letusan di
lubang utama, tetapi terdapat pengecualian untuk
letusan ketiga. Pada letusan ketiga, tidak terdapat
aliran piroklastik.
Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih
aktif, dengan puncak letusannya terjadi pada bulan
April tahun 1815. Besar letusan ini masuk ke dalam
skala tujuh Volcanic Explosivity Index (VEI), dengan
jumlah semburan tefrit sebesar 1.6 × 1011 meter kubik.
Karakteristik letusannya termasuk letusan di lubang
utama, aliran piroklastik, korban jiwa, kerusakan tanah
dan lahan, tsunami dan runtuhnya kaldera. Letusan
ketiga ini memengaruhi iklim global dalam waktu yang
lama. Aktivitas Tambora setelah letusan tersebut baru
berhenti pada tanggal 15 Juli 1815. Aktivitas
selanjutnya kemudian terjadi pada bulan Agustus tahun
1819 dengan adanya letusan-letusan kecil dengan api dan
Catastrophe Theory Page 30
Page 31
bunyi gemuruh disertai gempa susulan yang dianggap
sebagai bagian dari letusan tahun 1815. Letusan ini
masuk dalam skala kedua pada skala VEI. Sekitar tahun
1880 ± 30 tahun, Tambora kembali meletus, tetapi hanya
di dalam kaldera. Letusan ini membuat aliran lava kecil
dan ekstrusi kubah lava, yang kemudian membentuk kawah
baru bernama Doro Api Toi di dalam kaldera.
Gunung Tambora masih berstatus aktif. Kubah lava
kecil dan aliran lava masih terjadi pada lantai kaldera
pada abad ke-19 dan abad ke-20. Letusan terakhir
terjadi pada tahun 1967, yang disertai dengan gempa dan
terukur pada skala 0 VEI, yang berarti letusan terjadi
tanpa disertai dengan ledakan.
C. Letusan Tahun 1815
1) Kronologi Letusan
Gunung Tambora mengalami ketidakaktifan selama
beberapa abad sebelum tahun 1815, dikenal dengan nama
gunung berapi "tidur", yang merupakan hasil dari
pendinginan hydrous magma di dalam dapur magma yang
tertutup. Di dalam dapur magma dalam kedalaman sekitar
1,5-4,5 km, larutan padat dari cairan magma bertekanan
Catastrophe Theory Page 31
Page 32
tinggi terbentuk pada saat pendinginan dan kristalisasi
magma. Tekanan di kamar makma sekitar 4-5 kbar muncul
dan temperatur sebesar 700 °C-850 °C.
Pada tahun 1812, kaldera gunung Tambora mulai
bergemuruh dan menghasilkan awan hitam. Pada tanggal 5
April 1815, letusan terjadi, diikuti dengan suara guruh
yang terdengar di Makassar, Sulawesi (380 km dari
gunung Tambora), Batavia (kini Jakarta) di pulau Jawa
(1.260 km dari gunung Tambora), dan Ternate di Maluku
(1400 km dari gunung Tambora). Suara guruh ini
terdengar sampai ke pulau Sumatera pada tanggal 10-11
April 1815 (lebih dari 2.600 km dari gunung Tambora)
yang awalnya dianggap sebagai suara tembakan senapan.
Pada pagi hari tanggal 6 April 1815, abu vulkanik mulai
jatuh di Jawa Timur dengan suara guruh terdengar sampai
tanggal 10 April 1815.
Pada pukul 7:00 malam tanggal 10 April, letusan
gunung ini semakin kuat. Tiga lajur api terpancar dan
bergabung. Seluruh pegunungan berubah menjadi aliran
besar api. Batuan apung dengan diameter 20 cm mulai
menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti dengan abu
Catastrophe Theory Page 32
Page 33
pada pukul 9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas
mengalir turun menuju laut di seluruh sisi semenanjung,
memusnahkan desa Tambora. Ledakan besar terdengar
sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar sampai Jawa
Barat dan Sulawesi Selatan. Bau "nitrat" tercium di
Batavia dan hujan besar yang disertai dengan abu tefrit
jatuh, akhirnya reda antara tangal 11 dan 17 April
1815.
Daerah yang diperkirakan terkena abu letusanTambora tahun 1815. Daerah merah menunjukanketebalan abu vulkanik. Abu tersebut mencapai
Letusan tersebut masuk dalam skala tujuh pada
skala Volcanic Explosivity Index. Letusan ini empat
kali lebih kuat daripada letusan gunung Krakatau tahun
1883. Diperkirakan 100 km³ piroklastik trakiandesit
dikeluarkan, dengan perkiraan massa 1,4×1014 kg. Hal
ini meninggalkan kaldera dengan ukuran 6–7 km dan
kedalaman 600–700 m. Massa jenis abu yang jatuh di
Catastrophe Theory Page 33
Page 34
Makassar sebesar 636 kg/m². Sebelum letusan, gunung
Tambora memiliki ketinggian kira-kira 4.300 m, salah
satu puncak tertinggi di Indonesia. Setelah letusan,
tinggi gunung ini hanya setinggi 2.851 m.
Letusan Tambora tahun 1815 adalah letusan terbesar
dalam sejarah. Letusan gunung ini terdengar sejauh
2.600 km, dan abu jatuh setidaknya sejauh 1.300 km.
Kegelapan terlihat sejauh 600 km dari puncak gunung
selama lebih dari dua hari. Aliran piroklastik menyebar
setidaknya 20 km dari puncak.
2) Akibat
Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang
tumbang bercampur dengan abu batu apung masuk ke laut
dan membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km.
Rakit batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia,
di dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3 Oktober 1815.
Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada
tanggal 23 April. Ledakan berhenti pada tanggal 15
Juli, walaupun emisi asap masih terlihat pada tanggal
23 Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi
Catastrophe Theory Page 34
Page 35
pada bulan Agustus tahun 1819, empat tahun setelah
letusan.
Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di
Indonesia pada tanggal 10 April, dengan ketinggian di
atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam. Tsunami
setinggi 1–2 m dilaporkan terjadi di Besuki, Jawa Timur
sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi
di Maluku.
Tinggi asap letusan mencapai stratosfer, dengan
ketinggian lebih dari 43 km. Partikel abu jatuh 1
sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat
partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama
beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian
10–30 km. Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di
sekeliling dunia, membuat terjadinya fenomena. Matahari
terbenam yang berwarna dan senja terlihat di London,
Inggris antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 dan 3
September dan 7 Oktober 1815. Pancaran cahaya langit
senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk
langit dan ungu atau merah muda di atas.
Catastrophe Theory Page 35
Page 36
Perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari
sumber yang ada. Zollinger (1855) memperkirakan 10.000
orang meninggal karena aliran piroklastik. Di pulau
Sumbawa, terdapat 38.000 kematian karena kelaparan, dan
10.000 lainnya karena penyakit dan kelaparan di pulau
Lombok. Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar
48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok.
Beberapa pengarang menggunakan figur Petroeschevsky,
seperti Stothers (1984), yang menyatakan jumlah
kematian sebesar 88.000 jiwa. Tanguy (1998) mengklaim
figur Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan
berdasarkan referensi yang tidak dapat dilacak. Tanguy
merevisi jumlah kematian berdasarkan dua sumber, sumber
dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di
Sumbawa setelah letusan dan catatan Raffles. Tanguy
menunjukan bahwa terdapat banyak korban di Bali dan
Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan
11.000 meninggal karena pengaruh gunung berapi langsung
dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan kelaparan setelah
letusan. Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian
lebih dari 71.000 jiwa seperti yang terlihat di tabel.
Catastrophe Theory Page 36
Page 37
Perbandingan letusan gunung Tambora dan letusan gunung
lainnya
Letusan Tahun
Tinggiasap(km)
VEI
Perubahan musimpanas Belahan
bumi utara (°C)
Kematian
Taupo 181 51 7 ? tidak diketahui
Baekdu 969 25 6–7 ? ?Kuwae 1452 ? 6 −0,5 ?Huaynaputina
1600 46 6 −0,8 ≈1400
Tambora 1815 43 7 −0,5 > 71.000Krakatau 1883 25 6 −0,3 36.600Santamaría 1902 34 6 tidak terdapat
perubahan7.000-13.000
Katmai 1912 32 6 −0,4 2Gunung St. Helens
1980 19 5 tidak terdapatperubahan
57
El Chichón 1982 32 4–5 ? > 2.000Nevado del Ruiz
1985 27 3 tidak terdapatperubahan
23.000
Pinatubo 1991 34 6 −0,5 1202Sumber: Oppenheimer (2003), dan Smithsonian Global Volcanism
Program untuk VEI.
3) Pengaruh Global
Letusan gunung Tambora tahun
1815 mengeluarkan sulfur ke
stratosfer, menyebabkan
penyimpangan iklim global. Metode
berbeda telah memperkirakan
banyaknya sulfur yang dikeluarkan
Catastrophe Theory Page 37
nsentrasi sulfat di inti es dari Tanah Hijau tengah, tarikh tahun dihitung dengan variasi isotop oksigen musiman.
Page 38
selama letusan: metode petrologi, sebuah pengukuran
berdasarkan pengamatan anatomi, dan metode konsentrasi
sulfat inti es, menggunakan es dari Tanah Hijau dan
Antartika. Perkiraan beragam tergantung dari metode,
antara 10 Tg S hingga 120 Tg S.
Pada musim semi dan musim panas tahun 1816, sebuah
kabut kering terlihat di timur laut Amerika Serikat.
Kabut tersebut memerahkan dan mengurangi cahaya
matahari, seperti bintik pada matahari yang terlihat
dengan mata telanjang. Baik angin atau hujan tidak
dapat menghilangkan "kabut" tersebut. "Kabut" tersebut
diidentifikasikan sebagai kabut aerosol sulfat
stratosfer. Pada musim panas tahun 1816, negara di
Belahan Utara menderita karena kondisi cuaca yang
berubah, disebut sebagai Tahun tanpa musim panas.
Temperatur normal dunia berkurang sekitar 0,4-0,7 °C,
cukup untuk menyebabkan permasalahan pertanian di
dunia. Pada tanggal 4 Juni 1816, cuaca penuh es
dilaporkan di Connecticut, dan dan pada hari
berikutnya, hampir seluruh New England digenggam oleh
dingin. Pada tanggal 6 Juni 1816, salju turun di
Catastrophe Theory Page 38
Page 39
Albany, New York, dan Dennysville, Maine. Kondisi
serupa muncul untuk setidaknya tiga bulan dan
menyebabkan gagal panen di Amerika Utara. Kanada
mengalami musim panas yang sangat dingin. Salju setebal
30 cm terhimpun didekat Kota Quebec dari tanggal 6
sampai 10 Juni 1816.
1816 adalah tahun terdingin kedua di Belahan Bumi
Utara sejak tahun 1400 Masehi, setelah letusan gunung
Huaynaputina di Peru tahun 1600. Tahun 1810-an adalah
dekade terdingin dalam rekor sebagai hasil dari letusan
Tambora tahun 1815 dan lainnya menduga letusan terjadi
antara tahun 1809 dan tahun 1810. Perubahan temperatur
permukaan selama musim panas tahun 1816, 1817 dan tahun
1818 sebesar -0,51, -0,44 dan -0,29 °C, dan juga musim
panas yang lebih dingin, bagian dari Eropa mengalami
badai salju yang lebih deras.
Dampak terparah dialami Irlandia. Di sana curah
hujan dingin terjadi hampir sepanjang musim panas.
Sekitar 65.000 orang mati kelaparan dan terkena wabah
tipus. Wabah ini lalu menyebar ke Eropa dan menewaskan
200.000 orang.
Catastrophe Theory Page 39
Page 40
Letusan Gunung Tambora memang tragis. Letusan itu
melenyapkan ratusan ribu manusia, baik mereka yang
terkena dampak langsung maupun tak langsung. Kisah
memilukan ini sesuai dengan nama Tambora yang berasal
dari dua kata; ta dan mbora yang berarti ajakan
menghilang.
Perubahan iklim disalahkan sebagai penyebab wabah
tifus di Eropa Tenggara dan Laut Tengah bagian timur di
antara tahun 1816 dan tahun 1819. Banyak ternak
meninggal di New England selama musim dingin tahun
1816-1817. Suhu udara yang dingin dan hujan besar
menyebabkan gagal panen di Kepulauan Britania.
Keluarga-keluarga di Wales mengungsi dan mengemis untuk
makanan. Kelaparan merata di Irlandia utara dan barat
daya karena gandum, haver dan kentang mengalami gagal
panen. Krisis terjadi di Jerman, harga makanan naik
dengan tajam. Akibat kenaikan harga yang tidak
diketahui menyebabkan terjadinya demonstrasi di depan
pasar dan toko roti yang diikuti dengan kerusuhan,
pembakaran rumah dan perampokan yang terjadi di banyak
Catastrophe Theory Page 40
Page 41
kota-kota di Eropa. Ini adalah kelaparan terburuk yang
terjadi pada abad ke-19.
D. Ekosistem
Tim penelitian yang dipimpin oleh ahli botani
Swiss, Heinrich Zollinger, tiba di pulau Sumbawa tahun
1847. Misi Zollinger adalah untuk mempelajari letusan
dan pengaruhnya terhadap ekosistem lokal. Ia adalah
orang pertama yang memanjat ke puncak gunung Tambora
setelah letusan gunung tersebut. Gunung tersebut masih
tertutup oleh asap. Ketika Zollinger memanjat, kakinya
tenggelam beberapa kali melalui kerak permukaan tipis
menuju lapisan hangat yang seperti sulfur. Beberapa
tumbuh-tumbuhan kembali tumbuh dan beberapa pohon
diamati di lereng yang lebih rendah. Hutan Casuarina
dicatat pada 2.200-2.550 m. Beberapa Imperata
cylindrica juga dapat ditemukan.
Penduduk mulai tinggal di gunung Tambora pada
tahun 1907. Penanaman kopi dimulai pada tahun 1930-an
di lereng bagian barat laut gunung Tambora, di desa
Pekat. Hutan hujan yang disebut Duabangga moluccana
telah tumbuh dengan ketinggian 1.000-2.800 m. Penanaman
Catastrophe Theory Page 41
Page 42
tersebut mencakupi daerah seluas 80.000 hektare
(800 km²). Hutan hujan ditemukan oleh tim Belanda,
dipimpin oleh Koster dan De Voogd tahun 1933. Mereka
memulai perjalanan di "daerah hampir tandus, kering dan
panas" dan mereka memasuki "hutam hebat" dengan
"raksasa hutan yang besar dan megah". Pada ketinggian
1.100 m, mereka memasuki hutan montane. Pada ketinggian
1.800 m , mereka menemukan Dodonaea viscosa yang
didominasi oleh pohon Casuarina. Di puncak, mereka
menemukan sedikit Anaphalis viscida dan Wahlenbergia.
56 spesies burung ditemukan tahun 1896, termasuk
Crested White-eye. 12 spesies lainnya ditemukan pada
tahun 1981. Beberapa penelitian ahli ilmu hewan
menemukan spesies burung lainnya di gunung,
menghasilkan ditemukannya lebih dari 90 spesies burung.
Kakatua-kecil Jambul-kuning, Murai Asia, Tiong Emas,
Ayam hutan Hijau dan Perkici Pelangi diburu untuk
dijual dan dipelihara oleh penduduk setempat. Gosong
berkaki-jingga diburu untuk dimakan. Eksploitasi burung
menyebabkan berkurangnya populasi burung. Yellow-
crested Cockatoo hampir punah di pulau Sumbawa.
Catastrophe Theory Page 42
Page 43
Sejak tahun 1972, perusahaan penebangan komersial
telah beroperasi di daerah ini, yang menyebabkan
ancaman terhadap hutan hujan. Perusahaan penebangan
memegang izin untuk menebang kayu di daerah seluas
20.000 hektare (200 km²), atau 25% dari jumlah luas
daerah. Bagian hutan hujan lainnya digunakan untuk
berburu. Di antara tanah berburu dan tanah penebangan,
terdapat cagar alam, temat rusa, kerbau, babi hutan,
kelelawar, rubah terbang, dan berbagai spesies reptil
dan burung dapat ditemukan.
E. Pasca Letusan
Populasi Indonesia meningkat dengan cepat sejak
letusan tahun 1815. Pada tahun 2006, populasi Indonesia
telah mencapai 222 juta jiwa, dan 130 juta penduduk
berada di pulau Jawa dan Bali. Sebuah letusan gunung
berapi sebesar letusan Tambora tahun 1815 akan
menyebabkan kematian yang lebih besar, sehingga
aktivitas vulkanik di Indonesia terus diamati, termasuk
gunung Tambora.
Aktivitas seismologi di Indonesia diamati oleh
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
Catastrophe Theory Page 43
Page 44
Indonesia. Pos pengamatan untuk gunung Tambora terletak
di desa Doro Peti. Mereka memfokuskan aktivitas seismik
dan tektonik dengan menggunakan seismometer. Sejak
letusan tahun 1880, tidak terdapat peningkatan
aktivitas seismik. Pengamatan terus dilakukan di dalam
kaldera, terutama di kawah Doro Api Toi.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
telah menegaskan peta mitigasi bahaya gunung Tambora.
Dua zona yang dinyatakan adalah zona bahaya dan zona
waspada. Zona bahaya adalah daerah yang secara langsung
terpengaruh oleh letusan: aliran piroklastik, aliran
lava dan jatuhnya piroklastik lainnya. Daerah ini,
termasuk kaldera dan sekelilingnya, meliputi daerah
seluas 58,7 km². Orang dilarang tinggal di zona
berbahaya. Zona waspada termasuk daerah yang mungkin
dapat secara langsung terpengaruh oleh letusan: aliran
lahar dan batuan apung lainnya. Luas dari daerah
waspada sebesar 185 km², termasuk desa Pasanggrahan,
Doro Peti, Rao, Labuan Kenanga, Gubu Ponda, Kawindana
Toi dan Hoddo. Sungai yang disebut sungai Guwu yang
Catastrophe Theory Page 44
Page 45
terletak di bagian selatan dan barat laut gunung
Tambora juga dimasukan kedalam zona waspada.
II.3 Krakatau Catastrophe
Catastrophe Theory Page 45
Page 46
Catastrophe Theory Page 46
Page 47
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
III.2 Saran
Catastrophe Theory Page 47
Page 48
DAFTAR PUSTAKA
Catastrophe Theory Page 48