1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praperadilan dalam sistem hukum di Indonesia dimulai sejak tahun 1981, dahulu Indonesia masih menggunakan sistem hukum warisan kolonial Belanda yaitu Herziene Indische Reglement (HIR), boleh dikatakan bahwa Herziene Indische Reglement sendiri tidak mengatur ketentuan mengenai praperadilan sedangkan upaya paksa sebagai wewenang dari aparat penegak hukum merupakan pengurangan hak asasi manusia bagi seseorang dan tidak jarang wewenang dalam upaya paksa tersebut menimbulkan kerugian bagi seseorang yang berimbas pada perampasan hak asasi manusia, hal ini tidak sejalan dengan cita-cita pancasila dan UUD 1945 yang menjamin tegaknya hukum dan hak asasi manusia, sehingga pemberlakuan Herziene Indische Reglement tidak sesuai lagi dengan perkembangan Negara Indonesia, oleh sebab itu munculah gagasan pembaharuan (legal reform) dalam hukum acara pidana nasional sehingga lahirlah UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai karya agung bangsa Indonesia yang menjamin tegaknya hukum dan Hak Asasi Manusia termasuk yang utama adalah adanya pengaturan mengenai Praperadilan sebagai mekanisme kontrol terhadap wewenang aparat penegak hukum.
51
Embed
BAB I PENDAHULUAN - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Praperadilan dalam sistem hukum di Indonesia dimulai sejak tahun 1981,
dahulu Indonesia masih menggunakan sistem hukum warisan kolonial Belanda
yaitu Herziene Indische Reglement (HIR), boleh dikatakan bahwa Herziene
Indische Reglement sendiri tidak mengatur ketentuan mengenai praperadilan
sedangkan upaya paksa sebagai wewenang dari aparat penegak hukum
merupakan pengurangan hak asasi manusia bagi seseorang dan tidak jarang
wewenang dalam upaya paksa tersebut menimbulkan kerugian bagi seseorang
yang berimbas pada perampasan hak asasi manusia, hal ini tidak sejalan dengan
cita-cita pancasila dan UUD 1945 yang menjamin tegaknya hukum dan hak asasi
manusia, sehingga pemberlakuan Herziene Indische Reglement tidak sesuai lagi
dengan perkembangan Negara Indonesia, oleh sebab itu munculah gagasan
pembaharuan (legal reform) dalam hukum acara pidana nasional sehingga
lahirlah UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) sebagai karya agung bangsa Indonesia yang menjamin
tegaknya hukum dan Hak Asasi Manusia termasuk yang utama adalah adanya
pengaturan mengenai Praperadilan sebagai mekanisme kontrol terhadap
wewenang aparat penegak hukum.
2
Sebelumnya dalam Kitab Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa
penetapan tersangka tidak termasuk ke dalam ranah praperadilan, maka hal ini
telah diubah oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan permohonan
perkara tersangka korupsi bioremediasi PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah1. MK
memutuskan bahwa Pasal 77 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk
penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Jika di dalam Pasal 77 huruf (a) KUHAP mengatur kewenangan
praperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penuntutan, maka melalui putusan ini MK
memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka,
penggeledahan dan penyitaan.
Selama ini penetapan status tersangka yang diberikan oleh penyidik
kepada seseorang dilekatkan tanpa batas waktu yang jelas. Akibatnya, orang
tersebut secara terpaksa menerima statusnya tanpa memiliki kesempatan untuk
menguji keabsahan penetapan itu. Pengajuan praperadilan dalam praktik banyak
di ajukan tersangka/terdakwa guna melindungi haknya dari kesewenangan
1 Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, dikutip dari situs mahkamahkonstitusi.go.id. MK
memiliki dua pertimbangan Pertama, MK mempertimbangkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hokum. Kedua, mengacu pada KUHAP, Mahkcamah
Konstitusi berpandangan prinsip due process of law belum diterapkan secara utuh lantaran
KUHAP tidak mengakomodir pengujian terhadap alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai
tersangka apakah diperoleh dengan cara yang sah atau tidak.
3
penegak hukum. Praperadilan ini juga memiliki kepastian hukum yang di atur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 1 butir
10 dan Bab X, bagian kesatu dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.2
Menurut Pasal 1 butir 10 menyatakan “praperadilan adalah wewenang
pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini, tentang :
a. Sah atau tidaknya penangkapan dan penahan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan atas permintaan
dan tegaknya keadilan
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak dilanjutkan ke
pengadilan,”
Praperadilan telah memiliki kepastian hukum dalam melindungi hak-hak
tersangka/terdakwa dalam upaya paksa, seperti yang dinyatakan dalam pasal 77
KUHAP bahwa:
“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai
dengan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:
a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan.
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
2 R. Soeparmono, Praperadilan Dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian Dalam
KUHAP, Mandar Maju, Bandung , 2003, hlm. 16
4
Menurut R. Soeparmono, tujuan diadakannya lembaga praperadilan
adalah demi tegaknya hukum, kepastian hukum dan perlindungan hak asasi
tersangka3. M. Yahya Harahap, bahwa tujuan praperadilan ini adalah untuk
melakukan pengawasan horizantal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan
terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau
penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan
hukum dan undang-undang4. Pada hakikatnya praperadilan berfungsi untuk
kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak asasi
tersangka/terdakwa.
Mengacu pada Pasal 1 angka 14 KUHAP, “Tersangka adalah seorang
yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Kapan seseorang dapat ditetapkan menjadi
tersangka? Karena ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP di atas menyaratkan
adanya “bukti permulaan”, maka kita harus melihat apa yang dimaksud dengan
bukti permulaan itu.
Bahwa KUHAP tidak menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang
sebenarnrya dimaksud dengan “bukti permulaan”, khususnya definisi “bukti
permulaan” yang dapat digunakan sebagai dasar penetapan tersangka. Penjelasan
3 Ibid
4 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika, Jakarta, 2006,
hlm.4
5
mengenai apa yang dimaksud dengan “bukti permulaan” hanya disinggung secara
tanggung dan tidak menyelesaikan masalah oleh KUHAP dalam penjelasan Pasal
17 KUHAP, yang berbunyi "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan
untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.”
Karena KUHAP tidak mendefinisikan lebih lanjut mengenai apa itu “bukti
permulaan yang cukup”, khususnya yang dapat digunakan sebagai dasar
menetapkan seseorang menjadi tersangka, maka kita harus mencari definisi
tersebut dari sumber yang lain. Pada faktanya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan dalam Pasal 44
Ayat (2) bahwa “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila
ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas
pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik
secara biasa maupun elektronik atau optik”
Pembahasan mengenai “bukti permulaan” pernah dilakukan oleh Chandra
M. Hamzah5, dalam bukunya “Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan
Yang Cukup”. Menurutnya bahwa “bukti permulaan yang cukup” berfungsi
sebagai prasyarat dilakukannya penyidikan dan penetapan tersangka dan “bukti
permulaan yang cukup” dapat terdiri atas Keterangan (dalam proses
penyelidikan), keterangan saksi (dalam proses penyidikan), keterangan ahli
5 Chandra M. Hamzah, Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan Yang Cukup, Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta, 2014, hlm. 23
6
(dalam proses penyidikan), dan barang bukti, bukan alat bukti (dalam proses
penyelidikan dan penyidikan).
Pemilihan terminologi “barang bukti” mengacu kepada hal dimana “bukti
permulaan yang cukup” hanya dikenal dalam proses penyelidikan atau
penyidikan, dan mengacu kepada Pasal 8 Ayat (3) huruf b KUHAP, dimana
dinyatakan bahwa “dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik
menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut
umum.”
Apabila kita mengacu pendapat Chandra Hamzah tersebut, maka jelas
bahwa terdapat ukuran yang objektif untuk menentukan bahwa telah terdapat
“bukti permulaan yang cukup”, yang mana ukuran tersebut dapat kita gunakan
sebagai ukuran telah terdapatnya “bukti permulaan yang cukup” untuk
menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Masuknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan pada dasarnya
mengundang banyak perdebatan, tidak hanya dikalangan pemerhati hukum, tapi
juga terjadi dilingkungan kehakiman seperti yang terjadi sebelum adanya putusan
Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Saat itu hakim Suko Harsono
(Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) mengabulkan gugatan praperadilan terhadap
status penetapan tersangka dalam kasus korupsi Remediasi PT. Chevron Pasific
Indonesia, namun Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut dan hakim
Suko Harsono dikenai sanksi administratif karena dianggap unprofessional
7
conduct.6 Selain itu dalam perkara yang berbeda, hakim M. Razzad (Hakim
Pengadilan Jakarta Selatan) juga mengabulkan gugatan praperadilan terhadap
penetapan status tersangka oleh Ditjen Pajak dengan tersangka Toto Chandra
(Pimpinan Permata Hijau Group). Putusan tersebut bernasib sama, Mahkamah
Agung membatalkan dan hakim M. Razzad diproses oleh Komisis Yudisial (KY)
karena dianggap unprofessional conduct.7 Belakangan ini mencuak kasus
penetapan tersangka yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terhadap Calon Kapolri Budi Gunawan, dan dijukan pra peradilan di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Hasilnya Hakim Sarpin (Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan) mengabulkan permohonan praperadilan penetapan status tersangka atas
nama Budi Gunawan. 3 (tiga) putusan tersebut menimbulkan polemik, antara
pihak yang mendukung putusan dengan landasan argument putusan agresif dan
contra legem dan pihak yang tidak mendukung dengan landasan argument
pelanggaran terhadap undang-undang.
Dalam kasus Budi Gunawan, mekanisme hukum yang ditempuh adalah
mekanisme praperadilan, dengan mengacu pada Pasal 77 KUHAP yang berbunyi
“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
6 Menggugat Praperadilan Penetapan Status Tersangka,
http://blogperadilan.blogspot.co.id/2015/ diangkses tanggal 27 Mei 2017. 7 ibid
Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang
seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah
tidaknya suatu penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga sah atau
tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa.
Selain itu kalau Hakim Komisaris di negeri Belanda melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal
yang sama terhadap pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di Indonesia
melakukan pengawasan terhadap kedua instansi tersebut. Begitu juga judge d’
Instruction di Prancis mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan
pendahuluan. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat bukti yang lain. Ia
dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah, dan tempat-tempat tertentu,
melakukan penahanan, penyitaan, dan menutup tempat-tempat tertentu. Setelah
pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu
perkara cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau
cukup alasan ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman
yang disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alasan ia akan
membebaskan tersangka dengan ordonace de non lieu. Namun demikian menurut
Lintong Oloan Siahaan, tidak semua perkara harus melalui Judge d’ Instruction,
19
Oemar Seno Adji, Hukum, Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 88.
20
hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani
olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan
pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-
petunjuk jaksa.20
Menurut KUHAP tidak ada ketentuan dimana hakim praperadilan
melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim praperadilan
tidak melakukan penggeledahan, penyitaan dan seterusnya yang bersifat
pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup
alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.
Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa
penuntut umum.
Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan
sejak adanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di tengah-
tengah kehidupan penegakan hukum. Praperadilan dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ditempatkan dalam Bab X, Bagian
Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi
Pengadilan Negeri.
Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan
lembaga pengadilan yang berdiri sendiri, bukan pula sebagai instansi tingkat
20
Lintong Oloan Siahaan, Jalanya Peradilan Prancis Lebih Cepat Dari Peradilan Kita,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 92 - 94.
21
peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus
peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan
eksistensinya :
a) Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri,
dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat
Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari
Pengadilan Negeri;
b) Dengan demikian, Praperadilan bukan berada di luar atau disamping
maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan
divisi dari Pengadilan Negeri;
c) Administratif yustisial, personil, peralatan dan finansial bersatu dengan
Pengadilan Negeri dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan
dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri;
d) Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial
Pengadilan Negeri itu sendiri.21
Dari gambaran diatas, eksistensi dan kehadiran Praperadilan bukan
merupakan lembaga tersendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang
dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri,
sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada
selama ini.
Selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri mengadili dan
memutus perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas pokok, maka terhadap
tugas pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum yang wewenang
21
M. Yahya Harahap, Op.,cit, hlm. 1
22
pemeriksaannya diberikan kepada Praperadilan. Hal tersebut terlihat dalam Pasal
1 butir 10 KUHAP yang menegaskan Praperadilan adalah wewenang Pengadilan
Negeri untuk memeriksa dan memutus :
a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;
b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
c) Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Kehadiran praperadilan dalam melindungi hak-hak tersangka/terdakwa
dalam upaya paksa juga dipertegas ditegaskan dalam pasal 77 KUHAP bahwa:
“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:
a) Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan.
b) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya berada
dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai
lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai
satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri, dengan demikian,
Praperadilan bukan berada di luar atau disamping maupun sejajar dengan
Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri,
23
administratif yustisial, personil, peralatan dan finansial bersatu dengan
Pengadilan Negeri dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan
pembinaan Ketua Pengadilan Negeri, tata laksana fungsi yustisialnya merupakan
bagian dari fungsi yustisial.22
Lebih lanjut Ratna Nurul Alfiah mengatakan bahwa praperadilan
merupakan bagian dari pengadilan negeri yang melakukan fungsi pengawasan
terutama dalam hal dilakukan upaya paksa terhadap tersangka oleh penyidik atau
penuntut umum. Pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan bagaimana
seorang aparat penegak hukum melaksan akan wewenang yang ada padanya
sesui dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga aparat
penegak hukum tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya.
Sementara itu, bagi tersangka, atau keluarganya sebagai akibat dari tindakan
menyimpang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan
tugasnya, ia berhak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi.23
Menurut Wahyu Efendi, yang dikutip oleh S.Tanusubroto, kehadiran
Praperadilan ini memberikan peringatan:24
a) Agar penegak hukum hati-hati dalam melakukan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta mejauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang
22
S. Tanusubroto, Peranan Prapeeradilan Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung.
1982, hlm. 10 23
Ratna Nurul Alfiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, CV. Akademika Presindo,
Jakarta, 1986, hlm . 75 24
S. Tanusubroto, Op.,cit, hlm. 2
24
b) Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga Negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan dari pengak hukum yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
c) Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah, dalam memenuhi dan melaksanakan keputusan itu
d) Dengan rehabilitasi, maka orang tersebut telah dipulihkan haknnya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahaatan.
e) Kejujuran yang telah dijiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi oleh aparat penegak hukum karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.
Titik berat perhatian pemeriksaan Praperadilan dimulai untuk menentukan
apakah petugas telah melaksanakan atau tidak melaksanakan pemeriksaan apakah
petugas telah melaksanakan atau tidak melaksanaan pemeriksaan terhadap
tersangka sesuai dengan undang-undang atau apakah petugas telah melaksanakan
perintah jabatan yang diwenangkan atau tidak. Selain itu, tindakan sewenang-
wenang yang menyebabkan kekeliruan dalam penerapan hukum yang
mengakibatkan kerugian dan hak asasi tersangka menjadi kurang terlindungi.
Bila memperhatikan objek praperadilan yang diatur dalam KUHAP,
sebelumnya penetapan tersangka tidak termasuk ke dalam ranah praperadilan,
akan tetapi pada perkembangannya hal ini telah diubah oleh Mahkamah
Konstitusi melalui putusan permohonan perkara tersangka korupsi bioremediasi
PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah (Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014), dimana
MK memutuskan Pasal 77 huruf (a) UU Nomor 8 tahun 1981 bertentangan
25
dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan
tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Jika di dalam Pasal 77 huruf (a)
KUHAP mengatur kewenangan praperadilan hanya sebatas pada sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,
maka melalui putusan ini MK memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau
tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Perubahan objek praperadilan yang saat ini semakin luas yakni dengan
memasukkan penetapan tersangka untuk pertama kalinya setelah keluarnya
putusan Mahkamah Konstitusi terjadi saat Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan
atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam putusannya hakim Sarpin menegaskan penetapan tersangka sebagai objek
praperadilan. Secara eksplisit Penetapan tersangka tak disebut sama sekali baik
dalam Pasal 77 KUHAP maupun dalam Pasal 1 angka 10, dan 95 KUHAP,
sehingga putusan Sarpin memantik perdebatan dikalangan pakar ilmu hukum.
2. Sistem Peradilan Pidana
Pengertian sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro
adalah adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga
kepolisian. kejaksaan, pengadilan dan permasyarakatan terpidana.25
25
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan
Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Fakultas Hukum Unversitas Indonesia,