1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Media teknologi saat ini kian berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat, seperti semakin meluasnya penggunaan internet dan telepon pintar (smartphone). Perkembangan teknologi komunikasi yang kian maju mempermudah kegiatan manusia dalam berbagai hal. Dalam perkembangannya, manusia menandakan penggunaan media komunikasi untuk mengatasi jarak yang lebih jauh antara satu dengan lainnya. Menurut O’Brien (dalam Bungin 2009) perilaku manusia dan teknologi memiliki interaksi dalam lingkungan sosioteknologi. Ada lima komponen perilaku manusia dan teknologi dalam berinteraksi, yakni; (1) struktur masyarakat, (2) sistem dan teknologi informasi, (3) masyarakat dan budaya, (4) strategi komunikasi, (5) proses sosial. Perkembangan teknologi komunikasi selain mampu menciptakan masyarakat dunia gobal, juga dapat mengembangkan ruang gerak kehidupan baru bagi masyarakat. Tanpa disadari, komunitas manusia telah hidup dalam dua dunia kehidupan, yakni masyarakat nyata, sebuah kehidupan masyarakat yang secara indrawi dapat dirasakan sebagai sebuah kehidupan nyata dan dapat disaksikan sebagaimana apa adanya. Sedangkan masyarakat maya, merupakan kehidupan manusia yang tidak dapat secara langsung diindera, namun mampu dirasakan serta disaksikan sebagai sebuah realitas. Salah satu fasilitas bagi individu ataupun masyarakat maya dalam bersosialisasi secara daring dapat dilakukan melalui media baru, media sosial daring. Media sosial daring merupakan media yang didesain untuk memudahkan interaksi sosial bersifat interaktif dengan berbasis teknologi internet yang
33
Embed
BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129251/po... · perilaku manusia dan teknologi memiliki interaksi dalam lingkungan sosioteknologi.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Media teknologi saat ini kian berkembang dalam kehidupan sosial
masyarakat, seperti semakin meluasnya penggunaan internet dan telepon pintar
(smartphone). Perkembangan teknologi komunikasi yang kian maju
mempermudah kegiatan manusia dalam berbagai hal. Dalam perkembangannya,
manusia menandakan penggunaan media komunikasi untuk mengatasi jarak yang
lebih jauh antara satu dengan lainnya. Menurut O’Brien (dalam Bungin 2009)
perilaku manusia dan teknologi memiliki interaksi dalam lingkungan
sosioteknologi. Ada lima komponen perilaku manusia dan teknologi dalam
berinteraksi, yakni; (1) struktur masyarakat, (2) sistem dan teknologi informasi,
(3) masyarakat dan budaya, (4) strategi komunikasi, (5) proses sosial.
Perkembangan teknologi komunikasi selain mampu menciptakan
masyarakat dunia gobal, juga dapat mengembangkan ruang gerak kehidupan baru
bagi masyarakat. Tanpa disadari, komunitas manusia telah hidup dalam dua dunia
kehidupan, yakni masyarakat nyata, sebuah kehidupan masyarakat yang secara
indrawi dapat dirasakan sebagai sebuah kehidupan nyata dan dapat disaksikan
sebagaimana apa adanya. Sedangkan masyarakat maya, merupakan kehidupan
manusia yang tidak dapat secara langsung diindera, namun mampu dirasakan serta
disaksikan sebagai sebuah realitas.
Salah satu fasilitas bagi individu ataupun masyarakat maya dalam
bersosialisasi secara daring dapat dilakukan melalui media baru, media sosial
daring. Media sosial daring merupakan media yang didesain untuk memudahkan
interaksi sosial bersifat interaktif dengan berbasis teknologi internet yang
2
mengubah pola penyebaran informasi dari sebelumnya bersifat broadcast media
monologue (satu ke banyak audiens) ke social media dialogue (banyak audiens ke
banyak audiens).
Media sosial daring turut mendukung terciptanya demokratisasi informasi
dan ilmu pengetahuan yang mengubah perilaku audiens dari yang sebelumnya
pasif menjadi aktif. Budaya popular muncul dan bertahan atas kehendak media
dan perilaku konsumsi masyarakat. Dalam hal mempopulerkan suatu produk
budaya, media berperan sebagai penyebar informasi sesuai fungsinya serta
pembentuk opini publik yang kemudian berkembang menjadi penyeragaman opini
dan selera.
Media dalam menjalankan fungsinya, selain sebagai penyebar informasi
dan hiburan, juga sebagai institusi pencipta dan pengendali pasar produk
komoditas dalam suatu lingkungan masyarakat. Dalam operasionalisasinya, media
selalu menanamkan ideologinya pada setiap produk hingga obyek sasaran
terprovokasi dengan propaganda yang tersembunyi di balik kontennya itu. Akibatnya, konten media yang diproduksi dan disebarluaskan akan diserap oleh
publik sebagai suatu produk kebudayaan, dan berimplikasi pada proses terjadinya
interaksi antara media dan masyarakat. Kejadian ini berlangsung secara terus
menerus hingga melahirkan suatu kebudayaan baru.
Di era internet ini, media baru menghasilkan beragam jenis media sosial
daring. Salah satunya yang paling popular adalah YouTube. YouTube adalah
sebuah situs web video sharing (berbagi video) popular di mana para pengguna
dapat memuat, menonton dan berbagi klip video secara gratis. Umumnya video-
video di YouTube adalah klip musik, film, televisi, serta video buatan para
penggunanya sendiri.
3
Menurut Google Indonesia dalam keterangannya yang dikutip Antara,
pada 2015 pertumbuhan jumlah video yang diunggah pengguna YouTube dari
Indonesia paling besar dibandingkan negara lain di kawasan Asia Pasifik. Peningkatan di Indonesia dari tahun ke tahun mencapai 600 persen berdasarkan
kuartal ketiga 2015 dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih
besar tiga kali lipat dari negara lain di Asia Pasifik.
Selain jumlah video, durasi menonton video di YouTube Indonesa pun
bertambah panjang. Dibandingkan kuartal ketiga 2014, durasi menonton
meningkat 130 persen pada 2015. Untuk konten sendiri, penonton YouTube
Indonesia paling banyak mengakses musik, tutorial, komedi, trailer film, film
asing, user generated content, pendidikan, hiburan, sepak bola dan gaya hidup.
Salah satu pengguna YouTube yang kian diminati oleh khayalak muda
Indonesia dan telah peneliti putuskan untuk menjadi objek penelitian, ialah Males
Banget Dot Com (MBDC). Media yang terbentuk pada 1 April 2002 tersebut,
sempat vakum selama beberapa waktu karena dunia maya dirasa belum siap
menerima mereka. Akhirnya, MBDC kembali eksis pada 1 April 2011. Dengan
tujuan memberi informasi mengenai baik, buruk, dan hal-hal yang terjadi di
sekitar yang sering dilewati banyak orang.
Meski demikian, MBDC menulis bahwa pihaknya tidak selalu
menyarankan khalayak untuk setuju atau mengikuti apa yang terdapat di situsnya. MBDC juga menambahkan, seluruh informasi pada situsnya adalah hasil
penelitian dan observasi sehari-hari yang dilakukan oleh redaksi MBDC dan para
kontributornya.
Situs MBDC (malesbanget.com) menempati posisi ke 1.014 di Indonesia
menurut situs trafik media Alexa. Data tersebut dihitung menggunakan kombinasi
4
rata-rata jumlah pengunjung situs MBDC dan tampilan halaman yang dilihat oleh
pengunjung. Persentase pengunjung yang meninggalkan situs MBDC setelah
hanya membuka satu tampilan halaman saja mencapai 64,20%, yang mana naik
sebesar 30% dalam tiga bulan terakhir.
Setiap harinya, situs MBDC dikunjungi oleh 384 orang, yang mana jumlah
tersebut naik sebesar 5% dalam tiga bulan terakhir. Namun, situs MBDC
mengalami penurunan rata-rata waktu yang dihabiskan pengunjung situs, yakni
sebesar 19% dalam tiga bulan terakhir, atau menjadi 3 menit 56 detik.
Selain memiliki situs resmi, MBDC juga memiliki akun YouTube dan
secara rutin mengunggah videonya yang mencapai 818 video dengan konten yang
bervariasi. Berdasarkan data statistik dari Social Bakers, MBDC menduduki
peringkat keempat dalam kategori Komunitas di YouTube dengan jumlah
pelanggan (subscriber) mencapai 460.776 terhitung 5 Desember 2016. Dalam
kurun enam bulan terakhir, yakni dari 19 Juni hingga 5 Desember 2016, jumlah
tersebut mengalami peningkatan jumlah pelanggan (subscriber) sebesar 100.000
pengguna (user) dari 366.462 mencapai 460.776.
Hal yang sama terjadi pada jumlah penonton (views) video-video yang
diunggah di akun YouTube MBDC. Kenaikan jumlah views dalam kurun waktu
yang sama yakni sekitar 25.000.000, dari 51.458.424 views pada 19 Juni hingga
76.797.042 views pada 5 Desember 2016.
Dalam situs Alexa, demografi pengunjung situs MBDC dibagi dalam tiga
kategori, yakni lokasi, edukasi dan gender. Berdasarkan lokasi, situs MBDC
paling banyak dikunjungi dari tempat kerja, disusul oleh rumah, kemudian
sekolah. Sementara itu, berdasarkan latar belakang edukasi, pengunjung yang
telah menempuh perguruan tinggi paling direpresentasikan dalam situs MBDC,
5
dibandingkan khalayak yang hanya lulusan sekolah. Lebih lanjut, berdasarkan
gender, pengunjung situs MBDC dengan gender maskulin lebih terwakili atau
paling banyak, daripada gender feminin.
Terpilihnya MBDC sebagai objek penelitian juga berangkat dari asumsi
peneliti akan konten video di akun YouTube MBDC yang tidak adil gender, yakni
merugikan gender feminin dengan feminitasnya yang sering diasosiasikan dengan
perempuan, sebagai produk dari budaya hegemoni patriarki. Peneliti melihat hal
ini sebagai masalah yang disayangkan terjadi di sebuah media popular.
Dalam jurnal Kristin Wilde (2007) berjudul Women in Sport: Gender
Stereotypes in the Past and Present, ia menulis bahwa masyarakat menuntut agar
laki-laki dan perempuan berlaku sesuai gendernya. Laki-laki harus maskulin dan
perempuan harus feminin. Akan tetapi, ketika norma gender dicederai,
masyarakat memberi label negatif.
When these gender norms are violated, it is common for labels to be given (i.e. lesbian), questions to be asked (“Are you sure that is not a boy in the net?”), and people to be ridiculed (“A girl playing football – what a butch”).
Peneliti beranggapan, untuk mengatakan bahwa perempuan harus menjadi
feminin merupakan sebuah diskriminasi. Hal ini menjadi salah satu isu
perempuan yang menarik untuk diangkat, terutama representasinya dalam media
sekarang ini. Dilansir dari situs resmi Remotivi, media sendiri merupakan salah
satu klausul dalam pembahasan 12 isi deklarasi Beijing Platform for Action,
sebuah deklarasi internasional yang dimotori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Dalam konferensi regional perempuan Beijing+20 di Bangkok pada 2014,
serta konferensi dunia yang sama di tingkat internasional di New York pada 2015,
memuat stereotipe perempuan di media yang menjadi salah satu pembahasan
6
utama. Dalam konferensi yang diadakan PBB tersebut, Indonesia menjadi salah
satu negara peserta.
Dalam putusannya, konferensi di tingkat regional Asia Pasifik kemudian
mengeluarkan putusan untuk klausul perempuan dan media. Putusan tersebut
berbunyi: “Pemerintah akan menjamin tidak adanya stereotipe di media yang
mengakibatkan pada diskriminasi terhadap perempuan di media, dan Pemerintah
akan membuka partisipasi terhadap perempuan di media dan dalam menggunakan
teknologi. Pemerintah juga memastikan tidak terjadi kesenjangan dalam
penggunaan teknologi dan adanya kebebasan bereskpresi.”
Namun kenyataannya, kini media kerap menggambarkan perempuan
sebagai sosok yang lemah secara fisik, submisif, tentatif, dan emosional. Seperti
dalam tayangan infotainment, jika seorang artis perempuan tidak berpasangan,
maka ia terus dikejar dengan pertanyaan kapan menikah dari wartawan. Dalam
industri periklanan, perempuan harus terlihat selalu cantik. Jika tidak, maka akan
dapat ejekan kurang cantik, kurang putih, kurang menjual, dan lain sebagainya.
Padahal, konstruksi gender dan stereotipe feminitas dalam konteks
patriarki membuat perempuan sulit untuk mengubah takdirnya. Misalnya,
perempuan mengalami berbagai hambatan karena nilai-nilai yang melekat dalam
masyarakat membatasi akses dan kesempatannya. Stereotipe ini melestarikan
kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, dan media menjadi propagandis
terdepan dalam mengkampanyekan stereotipe tersebut.
Penggambaran perempuan yang kerap tidak seimbang melahirkan gerakan
feminisme dalam media. Feminisme kerap dianggap sebagai rasa benci
perempuan terhadap laki-laki, yang mana salah besar. Hooks (2000) memberi
pengertian feminisme yakni “a movement to end sexism, sexist exploitation, and
7
oppression.” Pengertian tersebut tidak hanya untuk melenyapkan kekuasaan
semena-mena laki-laki, tapi lebih jauh, seksisme.
Semakin merasuknya media dalam keseharian, representasi simbolik,
terutama yang ditampilkan secara tegas dan berkesinambungan, punya kekuatan
yang besar bagi kehidupan orang banyak. Media daring dengan kuasa
simboliknya bisa mereproduksi nilai budaya dominan, hal itu bukan lah satu-
satunya yang bisa ia lakukan. Media, sebagai generator budaya yang kuat,
memiliki kemampuan untuk memperkenalkan wacana-wacana baru dan bingkai-
bingkai tindakan baru (Abercrombie & Longhurst, 1998).
Dengan demikian dapat kita tahu bahwa, representasi perempuan di media
kerap kali dibelokkan, hingga merugikan perempuan itu sendiri di mata
masyarakat luas. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui apakah MBDC juga
melakukan hal yang sama melalui konten video di akun YouTubenya dengan
melihat bagaimana MBDC merepresentasi feminitas yang sering diasosiasikan
dengan perempuan. Hal itu lah yang mendasari peneliti melakukan penelitian
berjudul Representasi Feminitas dalam Video di Akun YouTube Males Banget
Dot Com 2016: Analisis Semiotik Roland Barthes.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah peneliti paparkan
diatas maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam skripsi ini adalah:
Bagaimana representasi feminitas dalam video di akun YouTube Males
Banget Dot Com selama 2016?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
8
Memahami bagaimana Males Banget Dot Com merepresentasi feminitas
melalui video-video yang diunggah di akun YouTubenya selama 2016
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Untuk menerapkan ilmu yang diterima peneliti selama menjadi mahasiswi
Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, memperkaya kajian ilmu
komunikasi, serta menambah wawasan dan pengetahuan peneliti mengenai
representasi feminitas di media baru, khususnya media sosial YouTube. 2. Manfaat Praktis
Data yang diperoleh dari penelitian ini dapat menjadi referensi bagi
khalayak media baru, khususnya media sosial YouTube, baik yang hanya
mengonsumsi maupun membuat konten media sendiri, agar tidak turut
melanggengkan representasi feminitas yang sering kali menyudutkan.
E. Kerangka Pemikiran
1.Gender dan Seks
Gender dan seks (jenis kelamin) menjadi dua konsep yang sering disama
artikan. Konstruksi yang berjalan dalam waktu lama dan perlahan-lahan membuat
keduanya tidak jarang dipertukarkan. Perbedaan penggunaan kata gender dan seks
menekankan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan muncul lebih luas
dari kultur daripada sumber biologis. Kata-kata seperti keperempuan-
perempuanan atau kelaki-lakian maupun maskulin atau feminin tidak dirujuk pada
seseorang secara seks. Istilah-istilah tersebut mendeskripsikan karakteristik secara
kultural. Untuk memahami apakah gender itu, perlu dipahami terlebih dahulu
perbedaan antara seks dan gender.
9
Seks (jenis kelamin) merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis
kelamin manusia yang ditentukan secara biologis dan melekat pada salah satu
jenis kelamin tertentu (Fakih, 2008) Pearson dkk (1995:6) mengatakan bahwa;
“Sex refers to biological categories, male and female, determined by the presence of XX chromosomes for females and an XY chromosomes patterns for males. The chromosomes provide genetic information that produces sex characteristics, such as the penis and the scrotum in the male and the clitoris and vagina in the female.”
Konsep seks merujuk pada sifat laki-laki maupun perempuan secara
biologis. Laki-laki memiliki penis, jakun, dan memproduksi sperma. Sedangkan
perempuan memiliki rahim, saluran melahirkan dan menyusui serta memproduksi
sel telur. Alat-alat tersebut melekat secara permanen pada kedua seks. Secara
biologis, alat-alat tersebut tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. Seks dilihat
sebagai sebuah ketentuan biologis atau sering disebut ketetapan Tuhan atau
kodrat. P.M Smith (1985) menyebutnya sebagai sifat pemberian Tuhan yang tidak
dapat dipertukarkan dan tidak dapat dibantah sebagai sebuah keberadaan manusia.
Sedangkan, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
maupun perempuan dan dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2008). Misalnya, perempuan dikenal sebagai makhluk yang emosional, sensitif, dan
penakut. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sifat-
sifat tersebut sebenarnya merupakan sifat yang dapat dipertukarkan.
Merujuk pada Pearson dkk (1995), semua sifat yang dapat dipertukarkan
antara laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu, dari
tempat satu ke tempat yang lain, serta dari satu kelas ke kelas lain, dinamakan
sebagai konsep gender. Pearson menuliskan juga bahwa maskulinitas maupun
feminitas ideal diperkenalkan pada laki-laki maupun perempuan melalui budaya.
10
Kata gender sendiri pertama kali digunakan pada 5 abad SM oleh orang
Yunani untuk mendeskripsikan tiga klarifikasi nama seperti maskulin, feminin,
dan di antara keduanya (Archer and Lloyd, 2002). Sejarah perbedaan gender
antara perempuan dan laki-laki terjadi melalui proses panjang. Beberapa peneliti
melihat perbedaan gender sebagai sebuah refleksi dari perbedaan biologis antara
laki-laki dan perempuan (Brym dan Lie:2006). Konsep ini dinamakan
essentialism, yang menyebutkan bahwa secara naluriah manusia mencoba untuk
menjamin keberlangsungan generasinya di masa depan. Essentialism mengatakan
bahwa peran gender tradisional membantu mengintegrasikan masyarakat.
Selain melihat bahwa perbedaan gender muncul karena adanya perbedaan
biologis, peneliti lain melihat perbedaan gender sebagai refleksi dari adanya posisi
sosial berbeda yang ditempati laki-laki dan perempuan. Para ahli sosiologi
menyebutnya sebagai social constructionism yang beranggapan bahwa gender
ditopang oleh proses sosial yang berubah-ubah dalam sejarah dan budayanya. Teori ini diperkuat dengan symbolic interactionist theory yang menekankan pada
bagaimana seseorang mengambil makna tentang sesuatu dari pengalaman
komunikasinya sehari-hari, termasuk bagaimana seseorang memaknai arti dari
menjadi seorang laki-laki maupun perempuan.
Terakhir, perbedaan gender terbentuk karena adanya proses sosialisasi
yang diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial dan kultural melalui ajaran
agama maupun negara (Fakih, 2008:9). Berkaitan dengan hal ini, Pearson
menuliskan bahwa laki-laki dan perempuan belajar tentang sifat-sifat maskulin
dan feminin dari orang tua di dalam aktivitas mereka sehari-hari. Melalui
dialektika, konstruksi sosial gender perlahan-lahan memengaruhi masing-masing
jenis kelamin secara biologis. Misalnya, karena konstruksi sosial gender, kaum
11
laki-laki harus bersifat kuat dan agresif. Oleh karena itu, kaum laki-laki harus
terlatih untuk mendekati sifat yang ditentukan oleh masyarakat tersebut.
Proses sosialisasi dan rekonstruksi berlangsung demikian lama dan mapan. Akhirnya sulit dibedakan apakah sifat-sifat gender antara laki-laki dan perempuan
merupakan kodrat manusia atau hasil konstruksi masyarakat. Konsep kodrat
sendiri tidak lebih dari sosialisasi secara turun temurun dari nenek moyang sampai
ke anak cucunya. Konsep yang menurut Fakih (2008) setelah proses panjang dari
sari pemahaman agama, atau pun kultur tak terbantah dari leluhur, khususnya
bangsa-bangsa yang menganut paham patriarki. Namun, selama sifat tersebut
dapat dipertukarkan satu sama lain, maka hal itu adalah hasil konstruksi
masyarakat, bukan kodrat.
2.Feminitas dan Perempuan
Feminitas secara umum memiliki definisi sebagai hal yang memiliki sifat
feminin yaitu ciri-ciri yang diidentikkan dengan sifat keperempuanan. Feminitas
merujuk pada kualitas keperempuanan menurut konstruksi sosial walaupun
perbedaan fisik yang membedakan perempuan dengan laki-laki menjadi satu
alasan di sisi lain.
Menurut KBBI edisi keempat (2008:390) feminitas merupakan suatu hal
yang menyangkut perihal perempuan, kefemininan. Feminitas berasal dari kata
bahasa Inggris yaitu femininity yang memiliki signifikasi sebagai kualitas menjadi
perempuan. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengacu pada 14 karakteristik
feminitas yang ada dalam penelitian England, Descartes dan Collier-Meek
berjudul Gender Role Portrayal and the Disney Princesses (2011), sebagai
berikut:
12
Tabel 1.1 Karakteristik feminitas oleh England, Descartes, dan Collier-
Meek (2011)
1 Lemah secara fisik Ketika seseorang gagal menggunakan kekuatan tubuhnya, biasanya
diikuti dengan selalu membutuhkan bantuan dari orang lain
2 Submisif Ketika seseorang patuh terhadap orang lain tanpa syarat, sifat ini
merupakan respon terhadap sifat tegas
3 Emosional Ketika seseorang menunjukkan perasaannya, positif atau negatif
4 Afeksi
Penuh kasih sayang terhadap seseorang atau seekor hewan, kerap
menunjukkan dalam bentuk interaksi fisik, seperti ciuman, pelukan,
dan lainnya
5 Merawat Memberi asuhan dan perhatian dalam waktu yang lama terhadap
binatang atau orang, sering ditunjukkan melalui sifat keibuan
6 Sensitif Berbeda dengan empati, memiliki sifat sensitif berarti sadar akan
masalah orang lain dari jauh tanpa berinteraksi secara langsung
7 Tentatif Ketidakpastian, kehati-hatian, terlihat dalam tingkah laku atau saat
berbicara
8 Suka menolong Memberi bantuan ketika dibutuhkan
9 Menyusahkan Membuat masalah bagi orang lain, mengganggu
10 Penakut Mudah takut pada sesuatu yang akan terjadi
11 Pemalu Emosi yang muncul secara sadar dari rasa bersalah atau aib
12 Ketidakberdayaan Menunjukkan emosi negatif yang meluap dan tidak bisa melakukan
apa-apa secara fisik dan mental
13 Dependen Seseorang yang meminta dan menerima nasehat atau bantuan, baik
fisik, mental atau emosional
14 Korban Seseorang yang teraniaya karena kekerasan verbal atau nonverbal
orang lain terhadap dirinya
13
Atribut feminin tersebut merupakan anggapan yang berkembang dalam
masyarakat tentang figur perempuan ideal. Dengan kata lain, feminitas dibentuk
oleh konstruksi sosial mengenai sifat keperempuanan.
Sementara itu, definisi feminitas menurut feminis gelombang kedua adalah
femininitas dan maskulinitas terbentuk dari reproduksi konsep gender yang
tampak dalam masyarakat. Feminisme gelombang kedua menentang apa yang
mereka anggap sebagai standar kecantikan pada perempuan. Hal tersebut
menghasilkan subordinasi pada perempuan, sehingga perempuan diobjektifikasi
serta berkompetisi mengenai estetika feminin yaitu apa yang dianggap cantik
dalam masyarakat. Moi (dalam Prabasmoro 2006:22) menjelaskan lebih lanjut
mengenai feminitas.
“Feminitas adalah satu rangkaian karakteristik yang didefinisi secara kultural, feminisme adalah posisi politik sementara femaleness (yang paling tepat diterjemahkan sebagai kebetinaan) adalah hal biologis. Jenis kelamin dan dengan demikian juga kebetinaan adalah realitas biologis, dengan demikian segala fakta biologis, mendapat menstruasi, kemampuan untuk melahirkan, menyusui, dapat dianggap sebagai takdir, yang kurang lebih tidak dapat diubah. Sementara, femininitas dan gender adalah konstruksi sosial budaya yang diatribusikan kepada perempuan, dank arena konstruksi sosial diciptakan manusia maka femininitas dan gender tidak lah ajeg dan demikian dapat berubah”
Sama halnya dengan feminitas, bahasa juga merupakan sebuah konstruksi
sosial. Pilihan kata yang sering dipakai untuk laki-laki dan perempuan berbeda. Misalnya, perempuan diasosiasikan dengan kata sifat emosional dan pemalu, yang
jarang disebutkan pada laki-laki. Peran tersebut merupakan konstruksi sosial dan
budaya yang merepresentasi kondisi dan situasi masyarakat pengguna bahasa
tersebut (Udasmoro, 2009:20).
Mengutip jurnal yang ditulis oleh Emy Rahmawati dengan judul Melihat
Representasi Wanita dan Pergerakan Feminisme dalam Media Sampul Album
14
Penyanyi Wanita Indonesia pada Masa ke Masa (dari 3 Generasi) Analisis
Semiotik dalam Jurnal Perempuan, feminitas berkembang dalam masyarakat
sebagai sebuah stereotipe yang melekat pada perempuan, bagaimana seharusnya
perempuan berperilaku dan bertindak. Bagi para perempuan modern menjadi
feminin hanyalah salah satu performa untuk mencapai tujuan tertentu. Namun,
tidak serta merta menghilangkan cara pikir tradisional mengenai perempuan. Karena, ketika perempuan berpakaian atau bertindak melawan persepsi
tradisional, ia akan dikritik sebagai perempuan yang tidak feminin (lack of
femininity) (Gauntlett, 2002:10).
3.YouTube sebagai Media Baru (Media Sosial)
Istilah media baru dapat dikatakan lahir seiring dengan masuknya era
digital pada teknologi informasi dan komunikasi di akhir abad ke-20. Era digital
ditandai juga dengan munculnya teknologi internet. Terry Flew
mengklasifikasikan media digital sebagai media yang kontennya berbentuk
gabungan data, teks, suara, dan berbagai jenis gambar yang disimpan dalam
format digital dan disebarlluaskan melalui jaringan kabel optik broadband, satelit,
dan sistem transmisi gelombang mikro (Flew, 2008:2-3).
Meski demikian, Eugine Siapera (2012) dalam bukunya berjudul
Understanding New Media mengatakan bahwa belum ada elaborasi yang dapat
menunjukkan perbedaan antara konsep media baru dengan media lama terlepas
dari perbedaan umur keduanya. Kegagalan para ilmuwan dalam memberikan
batasan-batasan definitif secara spesifik, membuat kita akhirnya secara sembarang
menyuntikkan atribut-atribut teknologis seperti digital, internet, daring dan lain
sebagainya yang mengakibatkan kurang dalamnya pemahaman konsep tentang
media baru tersebut.
15
Sementara itu, Lev Manovic (2001) dalam bukunya berjudul The
Language of New Media, menjelaskan bahwa atribut internet dan digital porsinya
hanyalah sebagian dan belum dapat menjelaskan secara utuh konsepsi media baru
itu sendiri. Lev Manovic lebih melihat media baru sebagai hasil dari
penggabungan antara logika komputasi dengan logika keilmuan yang mampu
memberikan keunikan dan pada akhirnya membentuk karakter media baru.
Lievrouw dan Livingstone (2006) dalam Handbook of New Media:
Updated Student Edition memberikan pemaparan bahwa sebuah media dapat
disebut sebagai media baru, maka media tersebut harus memiliki karakteristik
sebagai berikut:
• Computing and Information Technology, sebuah media baru harus
memiliki unsur informasi, komunikasi dan teknologi di dalamnya, tidak
bisa hanya salah satu saja. • Communication Network, media baru harus memiliki kemampuan untuk
membentuk sebuah jaringan komunikasi antarpenggunanya. • Digitalized Media and Content, untuk disebut sebagai media baru, maka
sebuah media harus mampu menyajikan sebuah medium dan konten yang
sifatnya digital. • Convergence, media baru harus mampu berintegrasi dengan media-media
lain, baik konvensional maupun modern, karena inti dari konvergensi
adalah integrasi antarmedia.
Manovic turut menjelaskan bahwa batasan spesifik secara definitif yang
mampu membedakan antara media baru dan lama adalah atribut yang digunakan
dalam proses distribusi pesan, bukan pada proses produksi pesan. Menurutnya,
sebuah media dapat dikatakan sebagai media baru apabila pesan yang telah
diproduksi, didistribusikan oleh media tersebut melalui komputasi digital. Sedangkan, produk pesan yang didistribusikan secara analog masuk ke dalam
16
kategori media lama karena dari komunikator ke komunikan tidak dilakukan
secara digital.
Media baru juga melahirkan media sosial, seperti Facebook, Twitter dan
YouTube. Terdapat beberapa karakteristik dari media baru yang menjadikannya
terklarifikasi ke dalam terminologi media sosial, seperti karakteristik media baru
berupa communication network. Karakteristik tersebut menjadikan media baru
dapat menjadi sarana sebagai media sosial karena media baru harus memiliki
kemampuan untuk membentuk sebuah jaringan komunikasi antarpenggunanya. Jaringan komunikasi di sini mendukung adanya interaksi sosial antara pengguna
media baru.
Selain itu, media baru memiliki ciri berupa komunikasi timbal balik
(interactivity). Komunikan dapat memilih, menjawab kembali, menukar informasi
dan dihubungkan dengan komunikan lainnya secara langsung. Interactivity dapat
memperluas dan meningkatkan kualitas dan kuantitas komunikasi itu sendiri. Ciri
media baru ini juga mendukung interaksi sosial di antara penggunanya dan
mendukung media baru cocok dengan terminologi media sosial.
Dalam penelitian ini, peneliti fokus kepada YouTube sebagai media sosial
yang semakin membuka partisipasi publik untuk berkomunikasi secara aktif,
menyampaikan opini dan gagasan ke khalayak ramai. Lebih lanjut, YouTube
memiliki konsep berbagi video (Broadcast Yourself) yang menjadikannya sarana
dinamis untuk menyampaikan pesan dan informasi. Maka YouTube sebagai media
sosial menjadikan penggunanya memiliki otoritas untuk menentukan konten,
trend, dan lain-lain. Jean Burgess dan Joshua Green (2009) dalam bukunya
berjudul YouTube: Digital Media and Society Series mendefinisikan YouTube
17
sebagai site of participatory culture. Mereka memaparkan definisi participatory
culture menurut Henry Jenkins, yakni;
“Participatory culture is one in which fans and other consumers are invited to actively participate in the creation and circulation of new content.”
Participatory culture di sini menjelaskan karakteristik YouTube sebagai
media baru yang secara aktif mendorong partisipasi penggunanya untuk
menentukan konten dan sirkulasinya. Tidak seperti media konvensional yang
minim partisipasi publik. Oleh karena itu, otoritas publik, dalam hal ini pengguna
dan pengakses YouTube menjadikan media YouTube memiliki karakteristik unik
di mana pengguna berkesempatan secara aktif berpartisipasi sekaligus memiliki
otoritas untuk menentukan konten dan sirkulasinya.
4.Representasi dalam YouTube
Stuart Hall (1997:16) sebagai salah satu tokoh yang menjelaskan tentang
teori representasi, mendefinisikan representasi sebagai hasil dari arti/makna di
dalam konsep yang ada di dalam pemikiran kita. Representasi terletak di antara
konsep dan bahasa. Singkatnya, representasi adalah proses pemaknaan melalui
bahasa.
“so the representation is the way in which meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stand for what we’re talking about”
Dari kutipan tersebut, Hall menunjukkan bahwa gambar atau objek
mempunyai makna yang berbeda dan tidak menjamin bahwa sebuah
penggambaran akan berfungsi atau menghasilkan makna sesuai dengan makna
saat diciptakan. Budaya yang ada di sekeliling orang yang melakukan representasi
menjadi salah satu faktor yang membuat makna yang dihasilkan berbeda. Oleh
sebabnya, objek dapat memiliki representasi yang tidak terhingga. Teori
18
representasi Hall ini dapat dijadikan acuan untuk memahami bagaimana media
menyajikan gambaran tentang realitas sosial ke hadapan khalayak. Representasi
di sini khususnya merujuk pada hubungan antara dua pembentuk wacana, yakni
bahasa dan makna.
Hall menjelaskan adanya dua proses representasi, yakni mental
representations dan language (bahasa). Apa yang disebutnya dengan mental
representations adalah di mana semua objek, orang, dan kejadian dikorelasikan
dengan seperangkat konsep yang ada dalam pikiran manusia. Proses interpretasi
seseorang terhadap suatu objek tergantung pada sistem konseptual yang ada dalam
pikirannya. Kedua, bahasa menjadi komponen penting dalam pembentukan
makna. Konsep-konsep yang tertanam dalam pikiran seseorang harus
diterjemahkan melalui bahasa yang umum (common language) sehingga konsep
dan ide dapat dikorelasikan dengan kata, suara, dan gambaran visual tertentu yang
menjadi sistem tanda.
Teori representasi dapat menjelaskan bagaimana pemaknaan melalui
bahasa bekerja, yang dibagi dalam tiga pendekatan (Hall, 1997:24-25), yakni;
1. Reflective approach
Menjelaskan bahwa bahasa berfungsi seperti cermin yang
merefleksikan arti sebenarnya. Teori ini mengungkapkan keja
bahasa sebagai refleksi sederhana atau sering dikatakan sebagai
imitasi kebenaran yang sudah ada dan diperbaiki di dunia, hal ini
kadang disebut sebagai mimetic. 2. Intentional approach
Menjelaskan bahwa bahasa digunakan untuk mengekspresikan arti
personal dari seseorang. Pendekatan ini memiliki kelemahan,
karena menganggap bahasa sebagai permainan privat. Sementara
19
di sisi lain, menyebutkan bahwa esensi bahasa adalah
berkomunikasi yang didasarkan pada kode-kode yang telah
menjadi konvensi di masyarakat bukan kode pribadi. 3. Constructionist approach
Menjelaskan bahwa pendekatan yang menggunakan sistem bahasa
atau sistem apapun untuk merepresentasikan suatu konsep. Pendekatan ini tidak berarti bahwa kita mengkonstruksi arti dengan
menggunakan sistem representasi (concept and signs), namun lebih
pada pendekatan yang bertujuan mengartikan suatu bahasa. Constructivist tidak memungkiri adanya material world, namun
beranggapan bukan material world yang menyampaikan makna,
melainkan sistem bahasa atau apapun namanya yang kita gunakan
untuk merepresentasikan makna.
Hubungan di antara objek, konsep dan seperangkat tanda menjadi aspek
terpenting dalam pembentukan makna dalam bahasa. Sedangkan proses yang
menghubungkan objek, konsep dan seperangkat tanda disebut sebagai representasi
(Hall, 1997:19). Dengan demikian, representasi objek melalui media membuat
masyarakat hidup dalam persepsi yang diarahkan pada representasi, seolah-olah
seperti realitas. Representasi-representasi ini membentuk sebagian besar realitas
yang diserap, maka realitas semakin banyak yang terbentuk menggunakan
representasi.
Croteau dan Hoynes (2014) menjelaskan bahwa representasi melalui
media merupakan hasil seleksi dari realitas di mana beberapa realitas diangkat dan
dibesar-besarkan sedangkan beberapa yang lain tertutupi bahkan dihilangkan. Sebagaimana film, video-video di YouTube juga memiliki elemen-elemen dalam
kontennya yang berupa audio visual sebagai aspek penting dalam sistem proses
representasi sekaligus konstruksi makna. Aspek audio maupun video dalam
20
YouTube merupakan sistem bahasa tersendiri yang menentukan makna apa yang
sebenarnya direpresentasikan sekaligus dikonstruksikan. Aspek audio yang
dimaksud seperti dialog, gaya bicara tokoh/sosok yang ada dalam video, musik
pengiring, dan lainnya. Sedangkan aspek video yang dimaksud di antaranya yaitu
pencahayaan dan teknik pengambilan gambar.
Jika representasi dimaknai sebagai proses penyampaian kembali gambaran
atau konsep mengenai sesuatu untuk menghasilkan makna tertentu dalam sebuah
proses komunikasi, maka, representasi dalam media seperti YouTube pun bisa saja
terjadi. Makna yang ingin disampaikan dalam representasi di media baru yakni
sesuai dengan latar belakang kultur, ideologi, serta tujuan dari individu-individu
maupun kelompok-kelompok yang mengakses media sosial dan mentransmisikan
pesan kepada khalayak ramai (pengguna media sosial).
Pada dasarnya sama saja representasi pesan sekaligus konstruksi makna
yang terjadi di YouTube dengan media massa, otoritasnya juga terletak pada
individu di dalamnya seperti pemilik modal maupun pemimpin redaksi. Selain itu
juga pada kesepakatan komunal (redaksional) yang terdiri dari pemikiran-
pemikiran tiap individu di dalam suatu institusi media massa. Namun terkait
transimisi pesan dan kebijakan penentuan konten di YouTube tergantung dari
keinginan masing-masing kelompok bahkan individu yang memiliki akses ke
media sosial. Dalam YouTube, setiap pemilik akun memiliki kesempatan yang
sama untuk mengunggah video dengan konten/pesan sesuai kehendaknya.
F. Kerangka Konsep
Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini ialah representasi,
yakni seperti apakah representasi feminitas yang terdapat dalam video di akun
YouTube Males Banget Dot Com selama 2016. Representasi yang digunakan
adalah teori representasi dari Stuart Hall (1997).
21
Representasi dijadikan alat atau sarana untuk melihat ada atau tidaknya
bentuk stereotipe yang berulang, yang merupakan suatu hal merugikan bagi kaum
perempuan yang diidentikkan dengan feminitas. Representasi pada video tersebut
akan memperlihatkan apakah konten video diskriminatif dan subordinatif terhadap
satu kelompok tertentu, yaitu salah satu kelompok gender.
Representasi dihasilkan dari arti/makna di dalam konsep yang ada di
dalam pemikiran manusia. Representasi terletak di antara konsep dan bahasa. Bahasa dapat digunakan sebagai tanda atau simbol, dasar atau referensi
pemahaman sebuah objek (Hall: 1997). Kata-kata ucapan, teks dan simbol yang
terdapat dalam tiap adegan dan rentetan adegan keenam video YouTube MBDC
selama 2016 merupakan tanda dalam bahasa yang akan dijadikan sumber analisis
objek sistem representasi feminitas.
Lebih lanjut, penelitian ini akan menggunakan pendekatan konstruksionis
yang bertujuan mengartikan suatu bahasa. Dengan kata lain, bahasa dalam video
di akun YouTube MBDC selama 2016 dijadikan objek untuk melihat makna pada
tanda dalam bahasa melaluui sistem representasi.
Namun di sisi lain, penelitian ini juga mengadopsi paradigma pasca-
strukturalis yang melihat representasi sebagai konstruksi kultural, yaitu bahwa
media adalah struktur yang paling berperan dalam mereproduksi cara masyarakat
menempatkan dan memandang perempuan. Paradigma ini diadopsi untuk
memperlihatkan kekuatan media dalam membentuk opini yang mendukung
pandangan dominan tentang perempuan.
Pada pendekatan konstruksionis Stuart Hall (1997) terdapat satu pemikiran
yang menganalisis suatu bahasa menggunakan sistem representasi secara khusus
yaitu Roland Barthes. Barthes menjadi salah satu tokoh yang cemerlang sebagai
teoritikus strukturalis dan post-strukturalis yang mempengaruhi kritikus budaya
22
feminis. Barthes berupaya mengeksplorasi bagaimana bahasa berfungsi dan
keterkaitannya dengan ideologi. Barthes juga berupaya untuk membongkar
perbedaan-perbedaan antarteks literal yang beroperasi dengan dasar hubungan
stabil antara penanda dan petanda. Selain memberikan analisis tentang teks literal,
Barthes juga memfokuskan dirinya pada analisis struktural pada seluruh
representasi budaya, mencakup periklanan, film, teks, fotografis, dan musik
(Gamble, 2004:246).
Hasil proses pemaknaan melalui sistem representasi Roland Barthes, akan
menunjukkan makna dari tanda-tanda yang digunakan oleh media massa pada isi
beritanya. Representasi makna yang diberikan oleh media dimanfaatkan untuk
menilai tingkat sensitivitas gender dari media terhadap konten yang diberikan,
bagaimana perempuan dan laki-laki digambarkan dalam media massa.
Salah satu hal yang dikritisi pada analisis semiotika terhadap gender
adalah masalah objektifikasi media terhadap perempuan (Gill, 2007). Di
Indonesia, masyarakat kurang kritis terhadap fakta maupun opini yang
disampaikan media. Wacana media mengenai perempuan lebih menunjukkan
intervensi ideologi patriarki, sehingga masyarakat pun ditambahi dengan media
yang sebenarnya hanya mengangkat tentang dapur dan kamar. Ann Ferguson
dalam karyanya berjudul Sexual Democracy (dalam Subandi, 1998) mengatakan
hal serupa, yakni media hanya memindahkan family based patriarchy ke public
based patriarchy.
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang diberikan bagi
paradigma penelitian yang terutama berkepentingan dengan makna dan penafsiran
(Jane Stokes, 2006). Kualitatif lebih banyak digunakan untuk mengemukakan
23
gambaran atau pemahaman mengenai bagaimana suatu gejala atau realitas
komunikasi terjadi. Menurut Fraenkel dan Wallen (1993) metode penelitian
kualitatif menekankan hipotesis yang berkembang dalam pelaksanaan penelitian
juga menekankan deskripsi naratif.
Sedangkan, paradigma yang digunakan yaitu paradigma kritis. Paradigma
ini beranggapan bahwa realitas yang kita lihat adalah realitas semu, realitas yang
telah terbentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial, politik, budaya, ekonomi,
etnik, nilai gender dan sebagainya, serta telah terkristalisasi dalam waktu yang
panjang (Hamad, 2004:43).
Dalam paradigma kritis, individu tidak dianggap sebagai subjek yang
netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pemikirannya, karena
sangat dipengaruhi dan berhubungan dengan kekuatan sosial yang ada di
masyarakat. Bahasa juga di sini dipahami sebagai representasi yang membentuk
subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya.
Lebih lanjut, penelitian ini menggunakan semiotik yang merupakan ilmu
mengenai tanda. Kata semiotik berasal dari bahasa Yunani, semeion berarti tanda
atau seme berarti penafsir tanda. Semiotik dikatakan kajian yang berkara dari
studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetrika. Seperti yang
diungkapkan Saussure (dalam Sobur, 2004) yakni semiotika ilmu yang mengkaji
tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Begitu pula dalam
penjelasan Littlejohn (dalam Sobur, 2004) bahwa tanda-tanda adalah basis dari
seluruh komunikasi. Dengan memahami tanda membuat komunikasi lebih mudah
dipahami maksud dan tujuan serta kandungan makna di dalamnya.
Semiotik menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam
teori komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang
dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri (Littlejohn, 2009: 53).
Semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung
dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui
bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak
terlepas dari perspektif atau nilai-nilai ideologis tertentu serta konsep kultural
yang menjadi ranah pemikiran masyarakat di mana simbol tersebut diciptakan.
Konsep kultural tersebut menjadi salah satu faktor konstruksi makna
dalam sebuah simbol menjadi aspek penting untuk mengetahui konstruksi pesan
dalam tanda tersebut. Konstruksi makna yang terbentuk kemudian menjadi dasar
ideologi dalam sebuah tanda. Sebagai salah satu kajian pemikiran dalam cultural
studies, semiotik tentunya melihat bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran
dari pembentukan makna dalam suatu tanda. Semiotik mempelajari sistem-sitem,
aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti (Kriyantono, 2007: 261).
Metode penelitian semiotik yang digunakan ialah analisis semiotika
Roland Barthes yang membagi tanda menjadi penanda dan petanda yang saling
berkaitan. Penanda ialah elemen bentuk sedangkan petanda ialah konsepnya,
sehingga penggabungan penanda dan petanda akan menjadi tanda.
Namun, metode Barthes tidak berhenti dalam mengamati makna tanda
dengan membedah penanda dan petanda saja. Barthes menggunakan tiga hal yang
menjadi inti dalam penelitiannya, yakni makna denotatif, konotatif, dan mitos. Denotatif mengungkapkan makna yang terpampang secara nyata dan kasat mata,
contohnya bahwa bentuk balon itu bulat. Sedangkan konotatif mengungkap
makna yang tersembunyi di balik tanda-tanda yang tersirat. Misalnya,
25
penggunaan warna sebagai identitas. Terakhir, mitos merupakan bentuk dari
perkembangan benak masyarakat atas penginterpretasian akan sesuatu, dengan
memaknai korelasi denotasi dan konotasi.
Dengan penjelasan semiotika yang mempelajari tentang tanda untuk
membongkar makna dan tafsiran dalam tanda tersebut, maka peneliti akan
membedah setiap tanda perepresentasian feminitas dalam pesan di video-video
akun Youtube Males Banget Dot Com baik berupa gambar maupun narasi.
Objek dalam penelitian ini ialah Males Banget Dot Com secara umum, dan
video-video di akun YouTube Males Banget Dot Com selama 2016 secara lebih
spesifik. MBDC dipilih karena menjadi media yang kian diminati khalayak luas,
begitu juga dengan akun YouTubenya. Video-video yang dipilih dari akun
YouTube MBDC ialah video yang bercerita tentang relasi antara laki-laki dan
perempuan. Dari cerita hubungan tersebut, peneliti akan melihat karakteristik
feminitas yang bisa dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan, serta bagaimana
feminitas tersebut direpresentasikan oleh video MBDC.
Peneliti telah memilih enam dari kurang lebih 230 video yang diunggah
pada 2016. Keenam video ini dianggap dapat membantu peneliti melihat
representasi feminitas melalui tokoh perempuan dan laki-laki, karena bercerita
tentang kehidupan sehari-hari dari laki-laki dan perempuan. Berikut video-video
tersebut:
1. Instagram Boyfriend. Durasi 2:49. Diunggah pada 14 Januari 2016.
2. 5 Tipe Cewek dan Cara Mendekatinya. Durasi 5:04. Diunggah pada 3
Februari 2016.
3. Kenapa Cewek Matre? Durasi 2:32. Diunggah pada 2 September 2016.
26
4. Arti di Balik Kalimat Cewek “Aku Gak Punya Baju”. Durasi 2:56.
Diunggah pada 22 September 2016.
5. Kamus Cewek (Wajib Tau). Durasi 3:09. Diunggah pada 6 Oktober 2016.
6. Fase Cewek dan Cowok Kalo Abis Putus. Durasi 4:06. Diunggah pada 16
November 2016.
Keenam objek tersebut akan peneliti bedah dengan membagi ke dalam
beberapa skena, tergantung dari tiap video. Kemudian, tiap skena akan diteliti
tataran denotatif, konotatif, hingga yang terdalam yaitu mitos. Terakhir, peneliti
akan melihat dan menganalisis rangkaian skena tersebut sebagai sebuah video
yang utuh.
H. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan secara cermat terhadap
objek penelitian, yakni video di akun YouTube Males Banget Dot Com selama
2016. Selain itu, peneliti juga melakukan studi pustaka untuk menambah
informasi dan pemahaman mengenai media baru, representasi gender dan
feminisme. Referensi peneliti didapat dari buku, penelitian terdahulu, jurnal, web,
serta artikel yang sudah ada baik dalam bentuk fisik maupun daring.
I. Teknik Analisis Data
Untuk menafsirkan tanda-tanda feminitas yang direpresentasikan oleh
MBDC di video dalam akun YouTubenya, penelitian ini menggunakan teknik
analisis data yaitu semiotik Barthes. Analisis semiotik Roland Barthes dipilih
karena dalam konsepnya, ada dua konsep, konotasi yang menjadi kunci penting
dalam menganalisis budaya dan konsep mitos yang merupakan hasil penerapan
konsep konotasi di dalam kehidupan sehari-hari.
27
Barthes adalah pengikut Saussure yang membuat model sistematis dalam
menganalisa makna-makna tanda (Sobur, 2001). Dengan mengacu pada linguistik
Saussurean (Kurniawan, 2001), Barthes mengembangkan gagasan tentang
signifikasi dua tahap (two order of signification) (Sobur, 2001).
Signifikasi dua tahap tersebut mengacu pada sistem denotasi dan konotasi
(Sobur, 2001). Tanda denotatif merupakan makna paling nyata dari tanda dan
juga sistem penandaan tingkat pertama, yang terdiri dari hubungan antara penanda
dan petanda. Tanda denotatif merupakan penandaan primer (sistem penandaan
tingkat pertama) yang merupakan penunjukan arti literatur atau yang eksplisit dari
gambar, kata-kata dan femonena yang lain.
Namun, tanda denotatif tersebut juga merupakan tanda konotatif. Konotatif digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua, di mana
tanda denotatif menjadi penanda yang dikaitkan dengan nilai budaya dan bertemu
dengan perasaan dan emosi. Tanda konotatif melibatkan simbol-simbol, sejarah
dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional serta mempunyai makna yang
subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dapat disimpulkan secara sederhana
bahwa, tanda denotatif adalah apa yang telah digambarkan tanda terhadap sebuah
objek, sedangkan tanda konotatif adalah bagaimana menggambarkannya.
Kembali mengutip Sobur (2001), pada signifikasi tahap kedua, tanda juga
bekerja melalui mitos. Penanda-penanda pada sistem ini tersusun dari tanda-tanda
tahap pertama. Sementara, petanda-petandanya disebut fragmen ideologi, yang
menjalin komunikasi dengan kebudayaan, pengetahuan, atau sejarah (Budiman,
1999). Mitos ini dikonstruksikan oleh masyarakat dominan dan dikendalikan
secara sosial. Mengutip Barthes dalam Chandler (2001), mitos merupakan
cerminan terbalik, mitos membalik sesuatu yang kultural menjadi tampak
28
alamiah. Dengan demikian, kultur (nilai, sikap, dan keyakinan) yang dominan
menjadi sesuatu yang memang sudah semestinya.
Lebih jelasnya dapat dijelaskan oleh Tabel 1.2 berikut (Cobley & Jansz,
1997).
Tabel 1.2 Peta Tanda Roland Barthes
Dalam
Chandler (2001), Fiske & Hartley mengemukakan bahwa konsep Barthes tentang
keberadaan mitos ini memunculkan adanya konsep tentang signifikansi tahap
ketiga. Jika tahap pertama adalah representasi di permukaan, tahap kedua adalah
representasi nilai ekspresif yang dilekatkan pada tanda tersebut, maka dalam tahap
ketiga merefleksikan tanda melalui sudut pandang kultural tertentu. Sebagai
contoh ialah kebebasan, individualitas, maskulinitas dan femininitas.
Susan Hayward (dalam Chandler, 2001) mencontohkan hubungan ketiga
tahap tersebut melalui foto Marlyn Monroe. Tanda denotatif menunjukkan bahwa
foto ini adalah foto Marlyn Monroe. Selanjutnya, tanda konotatif foto tersebut
dihubungkan dengan kualitas diri Marlyn Monroe, yakni sensual, glamor, dan
1.Signifier
(Penanda)
2. Signified
(Petanda)
3.Denotative Sign (Tanda Denotatif)
4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif)
5. Connotative Signified (Petanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)
29
cantik (jika ini adalah foto di awal kariernya), atau depresi, kecanduan obat, dan
putus asa (jika ini adalah foto di akhir kariernya). Pada tahapan mitos, foto
tersebut menunjukkan mitos berkenaan dengan Hollywood, yakni sebuah
perusahaan impian yang memproduksi kemewahan melalui artis-artis ciptaannya,
tapi juga menjadi mesin penghancur mimpi.
Semiotika dipakai untuk menganalisis media dengan asumsi bahwa media
dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Teks media selalu membawa
kepentingan-kepentingan tertentu sehingga teks media memiliki ideologi dominan
yang terbentuk melalui tanda. Pengungkapan ideologi dari suatu sistem ini yang
merupakan tujuan utama semiotika Roland Barthes (Sobur, 2001).
Selanjutnya dalam penelitian ini perlu adanya tabel yang dipergunakan
untuk penelitian audiovisual video Males Banget Dot Com. Berikut tabel unit
penelitian oleh FX Darwanto yang telah disesuaikan (dalam Ika Septia, 2016:27-
28).
Tabel 1.3 Unit Penelitian FX Darwanto (dalam Ika Septia, 2016:27-28)
No Unit Terteliti Unsur Sub Unsur
1 Bahasa Verbal Dialog Gaya Bahasa, voice quality
2
Bahasa
Nonverbal/Visual Warna Jenis warna
Subjek/Objek
video
Aktor (penampilan dan identitas yang
dibawa) benda
Ekspresi subjek
dan objek video Facial Expression
Setting Tempat, waktu dan suasana
Action
Posture, gesture, the eye, touch,
personal space
30
Teknik
pengambilan
gambar Camera shot dan gerakan kamera
3 Audio Jenis musik Irama musik dan sound effect
Peneliti juga akan melihat apakah representasi feminitas dalam video
Males Banget Dot Com, terutama yang ditunjukkan dari ekspresi dan action,
sesuai dengan karakteristik feminitas yang ditemukan oleh England, Descartes
dan Collier-Meek dari karakter putri-putri Disney dalam penelitiannya berjudul
Gender Role Portrayal and the Disney Princesses (2011), yang telah peneliti
terjemahkan dan sesuaikan dengan penelitian, ke dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1.4 Karakteristik feminitas oleh England, Descartes, dan Collier-
Meek (2011)
1 Lemah secara fisik
Ketika seseorang gagal menggunakan kekuatan
tubuhnya, biasanya diikuti dengan selalu membutuhkan
bantuan dari orang lain
2 Submisif Ketika seseorang patuh terhadap orang lain tanpa
syarat, sifat ini merupakan respon terhadap sifat tegas
3 Emosional Ketika seseorang menunjukkan perasaannya, positif
atau negatif
4 Afeksi
Penuh kasih sayang terhadap seseorang atau seekor
hewan, kerap menunjukkan dalam bentuk interaksi
fisik, seperti ciuman, pelukan, dan lainnya
5 Merawat
Memberi asuhan dan perhatian dalam waktu yang lama
terhadap binatang atau orang, sering ditunjukkan
melalui sifat keibuan
6 Sensitif Berbeda dengan empati, memiliki sifat sensitif berarti
31
Kemudian peneliti menggabungkan tabel 1.3 dan 1.4 menjadi berikut:
Tabel 1.5 Penggabungan
sadar akan masalah orang lain dari jauh tanpa
berinteraksi secara langsung
7 Tentatif Ketidakpastian, kehati-hatian, terlihat dalam tingkah
laku atau saat berbicara
8 Suka menolong Memberi bantuan ketika dibutuhkan
9 Menyusahkan Membuat masalah bagi orang lain, mengganggu
10 Penakut Mudah takut pada sesuatu yang akan terjadi
11 Pemalu Emosi yang muncul secara sadar dari rasa bersalah atau
aib
12 Ketidakberdayaan Menunjukkan emosi negatif yang meluap dan tidak bisa
melakukan apa-apa secara fisik dan mental
13 Dependen Seseorang yang meminta dan menerima nasehat atau
bantuan, baik fisik, mental atau emosional
14 Korban Seseorang yang teraniaya karena kekerasan verbal atau
nonverbal orang lain terhadap dirinya
No Unit Terteliti Unsur Sub Unsur
Sifat-sifat gender
feminin
1 Bahasa Verbal Dialog
Gaya Bahasa,
voice quality
2
Bahasa
Nonverbal/Visual Warna Jenis warna
Subjek/Objek
video
Aktor
(penampilan
32
Selain audio dan visual, analisis semiotik juga menganalisis latar belakang
dari bahasa, bagaimana penggunaan bahasa, serta usaha untuk memaknai teks
yang dihubungkan dengan aspek di luar bahasa yang disebut konteks. Teks dan
konteks akan membentuk makna yang memiliki intratekstualitas dan
intertekstualitas di dalamnya. Intratekstualitas berfokus pada tanda dalam teks,
sedangkan intertekstualitas berfokus pada hubungan antar teks. Bagi Barthes, teks
merupakan konstruksi lambang-lambang atau pesan yang pemaknaannya tidak
cukup dengan mengaitkan signifier dan signified. Tetapi juga harus dilakukan
dengan memperhatikan konstruksi dan konten dari lambang (Pembayun, 2013).
dan identitas
yang dibawa)
benda
Ekspresi subjek
dan objek video
Facial
Expression
Emosional, sensitif,
penakut, pemalu
Setting
Tempat, waktu
dan suasana
Action
Posture,
gesture, the eye,
touch, personal
space
Lemah secara fisik,
submisif, afeksi,
merawat, tentatif,
suka menolong,
menyusahkan,
ketidakberdayaan,
dependen, korban
Teknik
pengambilan
gambar
Camera shot
dan gerakan
kamera
3 Audio Jenis musik
Irama musik dan
sound effect
33
Penelitian ini akan meneliti tentang tanda-tanda atau atribut yang
merepresentasikan feminitas sesuai dengan tabel 1.1 dengan menggunakan
metode semiotik Roland Barthes. Dalam penelitian ini, peneliti akan memaknai
tanda-tanda tersebut di level pemaknaan denotatif dan selanjutnya memaknai ke
tingkatan lebih dalam yaitu konotatif. Pada akhirnya akan menghasilkan sebuah