1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta merupakan wilayah perkotaan yang memiliki kedudukan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dan merupakan daerah otonom tingkat provinsi. Peran ganda ini menjadikan Jakarta sebagai kota tersibuk di Indonesia menurut Inacraft (2014). Jakarta memiliki permasalahan yang sangat kompleks dan membutuhkan penyelesaian masalah yang melibatkan berbagai instrumen, salah satunya adalah kemacetan lalu lintas. Kemacetan lalu lintas merupakan sebuah dampak dari penataan ruang yang kurang memperhatikan berbagai aspek, salah satunya adalah aspek geografis yang menekankan pada faktor keterjangkauan antarlokasi (Susantono, 2009). Ketidakcocokkan geografis antara lokasi permukiman dan lokasi kerja, yang tercermin dari keberadaan lokasi permukiman yang semakin jauh dari pusat- pusat kegiatan, berdampak pada perjalanan yang cukup panjang dan pola perjalanan yang cenderung konsentrik radial (Susantono, 2009). Efek langsung yang dapat dirasakan adalah pemadatan kendaraan di berbagai ruas jalan di kawasan yang memiliki aktivitas yang tinggi, seperti Central Business District (CBD) yang merupakan kawasan pusat dari segala kegiatan kota meliputi politik, sosial budaya, ekonomi dan teknologi (Herbert, 1973 dalam Yunus, 1994). Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman merupakan poros utama Jakarta yang dikembangkan sebagai kawasan pusat kegiatan (CBD) sejak tahun 1950an. Poros ini merupakan bagian dari segitiga emas Kota Jakarta, dimana terdapat bangunan-bangunan vital negara. Gedung perkantoran, pemerintahan pusat, kedutaan besar dari berbagai negara, pusat perdagangan, kuliner, hiburan, pendidikan dan lain-lain dijumpai di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman. Menurut beberapa studi, kemacetan diakibatkan oleh beberapa faktor, seperti jumlah perjalanan dan jumlah kendaraan pribadi yang tinggi, terutama di Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman Jakarta CITRA RIDHANI Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
Embed
BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85217/potongan/S1-2015-301039...seperti jumlah perjalanan dan jumlah kendaraan pribadi yang tinggi,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jakarta merupakan wilayah perkotaan yang memiliki kedudukan sebagai
Ibukota Negara Republik Indonesia dan merupakan daerah otonom tingkat
provinsi. Peran ganda ini menjadikan Jakarta sebagai kota tersibuk di Indonesia
menurut Inacraft (2014). Jakarta memiliki permasalahan yang sangat kompleks dan
membutuhkan penyelesaian masalah yang melibatkan berbagai instrumen, salah
satunya adalah kemacetan lalu lintas. Kemacetan lalu lintas merupakan sebuah
dampak dari penataan ruang yang kurang memperhatikan berbagai aspek, salah
satunya adalah aspek geografis yang menekankan pada faktor keterjangkauan
antarlokasi (Susantono, 2009).
Ketidakcocokkan geografis antara lokasi permukiman dan lokasi kerja,
yang tercermin dari keberadaan lokasi permukiman yang semakin jauh dari pusat-
pusat kegiatan, berdampak pada perjalanan yang cukup panjang dan pola perjalanan
yang cenderung konsentrik radial (Susantono, 2009). Efek langsung yang dapat
dirasakan adalah pemadatan kendaraan di berbagai ruas jalan di kawasan yang
memiliki aktivitas yang tinggi, seperti Central Business District (CBD) yang
merupakan kawasan pusat dari segala kegiatan kota meliputi politik, sosial budaya,
ekonomi dan teknologi (Herbert, 1973 dalam Yunus, 1994).
Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman merupakan poros utama Jakarta
yang dikembangkan sebagai kawasan pusat kegiatan (CBD) sejak tahun 1950an.
Poros ini merupakan bagian dari segitiga emas Kota Jakarta, dimana terdapat
bangunan-bangunan vital negara. Gedung perkantoran, pemerintahan pusat,
kedutaan besar dari berbagai negara, pusat perdagangan, kuliner, hiburan,
pendidikan dan lain-lain dijumpai di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman.
Menurut beberapa studi, kemacetan diakibatkan oleh beberapa faktor,
seperti jumlah perjalanan dan jumlah kendaraan pribadi yang tinggi, terutama di
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
jam-jam puncak, yakni terjadi sekitar pukul 06.30-9.00 WIB dan sekitar pukul
16.30-19.30 WIB (Susantono, 2009; Tim Redaksi Butaru, 2009). Poros Medan
Merdeka-Thamrin-Sudirman yang dikatakan sebagai pusat kota merupakan poros
dengan aktivitas yang tinggi, dimana dijumpai sekitar enam ratus ribu jumlah
kendaraan dan tujuh juta perjalanan atau 32% dari total 21,9 juta perjalanan di
Jakarta setiap harinya (Susantono, 2009; Jica Sitramp, 2010).
Pemerintah DKI Jakarta bersama Dinas Pekerjaan Umum sejak awal tahun
1990-an menerapkan berbagai solusi untuk meminimalisir kemacetan lalu lintas di
sepuluh jalan arteri di Jakarta. Tiga dari sepuluh jalan arteri tersebut berada di Poros
Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman, yakni Jalan Medan Merdeka, Jalan MH.
Thamrin, dan Jalan Jend. Sudirman. Program-program yang diterapkan oleh
pemerintah diantaranya pemberlakuan jalur 3-in-1, jalur khusus bus, perbaikan
jalan, pengembangan angkutan umum, dan pembangunan jalan tol. Kemudian sejak
tahun 2003, pemerintah membangun jalur khusus bus (busway).
Berbagai solusi yang ditawarkan tersebut dirasakan tidak menghasilkan
dampak yang signifikan terhadap pengurangan kemacetan lalu lintas di jalan raya.
Upaya peningkatan kapasitas jalan (pembangunan jalan raya termasuk jalan tol) dan
perbaikan jalan membutuhkan dana yang tinggi dan ketersediaan lahan 1% setiap
tahun, dimana hanya sekitar 0,01% yang dapat terealisasi (Dinas PU, 2009; Dinas
PU 2010). Dampak yang ditimbulkan dari upaya tersebut justru mendorong
peningkatan jumlah kendaraan bermotor pribadi, dimana mencapai ± 8% per tahun
dalam kurun waktu 2006-2010 (Dinas Perhubungan, 2010).
Moda transportasi kendaraan bermotor menjadi pilihan yang umum untuk
dilakukan pada setiap perjalanan, tidak terkecuali pada perjalanan jarak pendek.
Kondisi tersebut akan menyebabkan jalan raya mendekati kapasitas maksimal
untuk mengakomodasi kendaraan bermotor. Dengan kata lain, ketika kebutuhan
perjalanan oleh kendaraan bermotor tidak lagi mampu dilayani oleh luas jalan raya
yang tersedia, maka aliran pergerakan akan terhambat. Menurut data dari Dinas
Perhubungan tahun 2010, jumlah kendaraan bermotor yang dapat tertampung hanya
sekitar 68% dari total kendaraan bermotor yang terdaftar. Oleh sebab itu,
dibutuhkan alternatif moda transportasi lain untuk mengubah preferensi kebutuhan
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
perjalanan dengan moda kendaraan bermotor yang berkisar 70% menjadi moda
non-kendaraan bermotor, yakni moda jalan kaki, khususnya untuk tipe perjalanan
jarak pendek.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 93/PRT/M/2014,
salah sau tujuan perencanaan trotoar adalah untuk mengurangi kemacetan lalu
lintas. Trotoar merupakan salah satu prasarana untuk pejalan kaki yang bermanfaat
untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki ketika melakukan
aktvitas jalan kaki. Menurut Krambeck (2006), ada tiga aspek yang harus dimiliki
dari trotoar agar moda jalan kaki diminati sebagai moda transportasi yang
diprioritaskan pada tipe perjalanan jarak pendek, yakni keamanan (safety),
keselamatan (security), dan kenyamanan (convenience). Ketiga aspek tersebut pada
trotoar dapat diketahui melalui sebuah rangkaian penilaian, yakni walkability index.
Walkability index adalah satu metode yang digunakan untuk menilai tingkat
kemudahan (walkability) trotoar yang menitikberatkan pada eksplorasi desain
trotoar dari perspektif pedestrian (pedestrian friendly design of sidewalk) (Owen et
al, 2004).
1.2. Perumusan Masalah
Jakarta, sebagai kota tersibuk di Indonesia menurut Inacraft (2014),
memiliki sekitar 21,9 juta kebutuhan perjalanan setiap harinya, dimana tujuh juta
perjalanan diduga berada di pusat kota dan sekitar enamratus ribu jumlah kendaraan
yang menuju pusat kota (Susantono, 2009; Jica Sitramp, 2010). Upaya Pemerintah
DKI Jakarta kurang memberikan dampak yang signifikan terhadap pengurangan
kemacetan di beberapa titik keramaian di Jakarta seperti kawasan pusat kegiatan
(CBD) Jakarta, yakni Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman. Upaya-upaya
tersebut membutuhkan anggaran dan ketersediaan lahan yang tidak sedikit.
Trotoar sebagai prasarana untuk pejalan kaki perlu dikembangkan untuk
menjamin keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki serta mengurangi kemacetan
lalu lintas di Jakarta. Jalan kaki dinilai sebagai moda alternatif untuk mengalihkan
kebutuhan perjalanan dengan moda kendaraan bermotor, khususnya pada
perjalanan jarak pendek. Oleh sebab itu, perancangan trotoar perlu disesuaikan
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
dengan kebutuhan penggunanya dan dirancang untuk dapat menarik pelaku
perjalanan jarak pendek yang menggunakan moda transportasi kendaraan bermotor.
Menurut Krambeck (2006), perancangan trotoar perlu memperhatikan aspek
keamanan, keselamatan, dan kenyamanan. Untuk dapat mengetahui hal tersebut,
berikut pertanyaan penelitian yang dapat disimpulkan:
1. Bagaimana tingkat kemudahan (walkability) trotoar di jalan utama Poros
Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman?
2. Bagaimana persepsi pedestrian terkait kondisi trotoar yang tersedia dan kondisi
trotoar yang diharapkan di wilayah penelitian?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dari penelitian mengenai tingkat walkability jalur pedestrian
(trotoar) di wilayah penelitian meliputi: (i) mengidentifikasi tingkat walkability
trotoar di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman, (ii) mengeksplorasi persepsi
pedestrian terkait moda jalan kaki dan kondisi trotoar secara umum di wilayah
penelitian.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. membangun argumen mengenai pentingnya moda jalan kaki dalam upaya
pengurangan kemacetan di jalan arteri utama Poros Medan Merdeka-Thamrin-
Sudirman,
2. merangkum persepsi pedestrian terkait moda jalan kaki dan kondisi trotoar
secara umum dengan tujuan dapat menjadi masukan atau rujukan dalam
perancangan trotoar di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman ke
depannya.
1.4. Tinjauan Pustaka
1.4.1. Keaslian Penelitian
Sub bab keaslian penelitian membahas mengenai komparasi
penelitian dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah
dipublikasikan. Dalam sub bab ini, akan dikomparasikan penelitian-
penelitian yang menggunakan metode walkability index yang sama, yakni The
Global Walkability Index dari World Bank yang dibuat oleh Krambeck pada
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
tahun 2006.
Clean Air Initiative for Asian Cities (CAI-Asia) pada tahun 2012
melakukan penilaian walkability yang membandingkan Hong Kong dan India
terhadap 19 negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Tiga hal yang
ditekankan dalam penelitian ini antara lain menilai walkability dengan
sembilan indeks dari Global Walkability Index, memberikan deskripsi dan
statistik persepsi pedestrian terkait hal-hal yang perlu dikembangkan di
trotoar dan tipe perjalanan pedestrian, serta mengkaji kebijakan pemerintah
(government policies) terkait perencanaan dan pemeliharaan trotoar.
CAI-Asia membagi area studi menjadi tiga kawasan, yakni kawasan
permukiman, pendidikan, dan transportasi publik. Metode yang digunakan
ada dua, yaitu survei lapangan dan wawancara. Menurut pedestrian, terdapat
empat hal yang perlu ditingkatkan untuk dapat menarik minat pedestrian di
wilayah penelitian, yakni peningkatan tempat penyeberangan, peniadaan
gangguan dan parkir jalan, pelebaran dan peningkatan kebersihan,
penambahan lampu jalan, penurunan kecepatan kendaraan, dan kemudahan
akses bagi disabilitas.
Luadsakul-Ratanvaraha (2013) melakukan penilaian walkability di
Provinsi Nakhon Ratchasima Thailand dengan parameter Global Walkability
Index, namun dengan menambahkan klasifikasi bobot yang dikembangkan
oleh CAI-Asia. Area studi terdiri dari dua, yakni Monumen Thao Suranaree
(area studi 1) dan Universitas Ratchasima Rajabhat (area studi 2).
Berdasarkan hasil, area studi 1 memiliki tingkat walkability yang lebih tinggi
dibandingkan area studi 2. Kesimpulan yang didapatkan adalah walkability
index memiliki hubungan positif dengan pemanfaatan bangunan/lahan dan
infrastruktur fisik, dimana penempatan trotoar yang baik akan menarik
masyarakat untuk menggunakan jalur pedestrian.
Penelitian “Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros
Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman Jakarta” menggunakan Global
Walkability Index dengan sembilan parameter yang sama. Penelitian ini
bertujuan untuk menilai tingkat kemudahan trotoar di jalan besar utama, tanpa
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
melibatkan jalan lokal dan lingkungan. Penelitian ini tidak melibatkan kajian
mengenai kebijakan dan menempatkan kajian mengenai persepsi pedestrian
sebagai komponen penilaian yang tidak terukur. Analisis penelitian yang
dilakukan adalah deskriptif dan komparatif, dimana dijabarkan kondisi
trotoar berdasarkan skor indeks pada setiap parameter, dan mengaitkan
tingkat walkability dengan kawasan fungsional (pemanfaatan bangunan/lahan
yang dominan).
1.4.2. Landasan Teori
1.4.2.1. Perencanaan Ruang Publik Kota
Perencana tata ruang perlu menyadari bahwa setiap
perjalanan dimulai dan diakhiri dengan berjalan kaki. Berdasarkan
studi empiris yang dilakukan oleh Alexander (1965) dan Gehl (1987)
dalam Idelina-Hitoshi (2005), kota yang nyaman sangat berkaitan
dengan daya tarik trotoar di wilayah tersebut. Trotoar merupakan
salah satu elemen ruang publik yang dibangun dengan tujuan untuk
memfasilitasi pedestrian dan memberikan akses pada masyarakat
untuk berinteraksi (Litman, 2003 dalam Iderlina-Hitoshi, 2005).
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
03/PRT/M/2014, trotoar adalah jalur pedestrian yang terletak di
daerah manfaat jalan, diberi lapis permukaan, diberi elevasi lebih
tinggi dari perkerasan jalan, dan pada umumnya sejajar dengan jalur
lalu lintas kendaraan. Tujuan dari penyediaan dan pemanfaatan trotoar
adalah untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki
saat berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya dengan mudah,
lancar, aman, nyaman, dan mandiri. Selain itu, trotoar juga memiliki
peran penting dalam sistem transportasi perkotaan, yakni bagian yang
terpisahkan dalam sistem pergantian moda pergerakan lainnya dan
mengurangi kemacetan lalu lintas.
Keberadaan manusia beserta dengan kegiatannya di
permukaan bumi banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan.
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
Begitupun dalam praktik perencanaan kota, unsur manusia dalam hal
ini perilaku manusia dipandang memiliki kekuatan untuk
memengaruhi lingkungan, dan sebaliknya (Yunus, 2010). Saat ini,
perencanaan kota di kebanyakan negara Asia dipengaruhi oleh ide dan
konsep dari negara Barat, akan tetapi strategi tersebut sering gagal
diterapkan karena perbedaan kultur sosial (Edensor 1999). Kultur
sosial merujuk pada tata kelakuan yang merupakan hasil hubungan
antarmanusia di dalam suatu kelompok masyarakat yang ditaati
bersama, kemudian menjadi sebuah kebiasaan dalam berperilaku
(Wibowo, 2014).
Seperti di negara Barat, desain ruang dibuat secara
horizontal, dimana ruang memiliki fungsi terpisah satu sama lain,
sedangkan di negara-negara Asia, desain ruang bersifat vertikal atau
multi-dimensi, dimana ruang memiliki fungsi yang tidak hanya satu
(Thiis-Evensen, 1992; Hall, 1968, dalam Iderlina-Hitoshi, 2005). Hal
ini selain disebabkan oleh ketersediaan lahan yang minim, juga
disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang memanfaatkan ruang
untuk fungsi yang tidak semestinya.
Rapoport (1990) dalam Bararatin (2011) mengatakan bahwa
perancangan lingkungan perlu menekankan pada aspek pengalaman
yang mampu menarik minat penggunanya sehingga orang bisa merasa
nyaman, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan
tersebut. Jika kondisi lingkungan tersebut dianggap baik dan mampu
mengakomodasi kebutuhan penggunanya, maka seseorang akan
tertarik untuk melibatkan diri di dalamnya (Steele, 1981 dalam
Bararatin, 2011).
1.4.2.2. Transportasi dalam Ranah Keilmuan Geografi
Geografi transportasi merupakan cabang ilmu dari geografi
yang mempelajari tentang pergerakan manusia, barang, dan informasi
antardaerah serta moda transportasi dan hubungannya dengan
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
manusia, lingkungan, dan wilayah perkotaan (Briney, 2012). Menurut
Rodrigue (2013), terdapat tiga konsep yang dikaji dalam geografi
transportasi yakni noda, jaringan, dan permintaan. Noda merupakan
lokasi awal dan akhir dari pergerakkan pada suatu wilayah geografis.
Jaringan berkaitan dengan struktur dan organisasi dari infrastruktur
seperti jaringan jalan raya yang melewati suatu wilayah. Permintaan
berbasis pada kebutuhan masyarakat akan moda transportasi yang
berbeda.
Sejak 1990, geografi transportasi menerima perhatian baru
terkait dengan isu mobilitas, produksi, dan distribusi. Peran penting
geografi transportasi adalah untuk memahami hubungan spasial yang
diciptakan dari sistem transportasi. Geografi transportasi menjawab
hubungan keruangan yang mampu membantu pemerintah dan swasta
untuk menyelesaikan permasalahan transportasi, seperti kapasitas,
pemindahan, reliabilitas, dan integrasi dari sistem transportasi
(Rodrigue, 2013).
Di era perkembangan teknologi, kendaraan bermotor
merupakan satu moda yang menjadi pilihan mutlak dalam perjalanan
(Anthapur, 2012). Investasi yang besar pada infrastruktur yang
mendukung moda kendaraan bermotor berdampak pada tidak adanya
perencanaan untuk moda non-kendaraan bermotor, yakni moda jalan
kaki dan sepeda. Menurut Fang (2005) dalam Krambeck (2006),
walaupun negara berkembang memiliki jumlah perjalanan dengan
berjalan kaki yang signifikan, penyediaan infrastruktur dan pelayanan
sering terabaikan sebab alokasi anggaran lebih difokuskan untuk
pengembangan jalan raya.
Kemacetan lalu lintas adalah salah satu isu utama yang
diakibatkan oleh perluasan kota, pertumbuhan ekonomi, rendahnya
kualitas fasilitas pedestrian, dan peningkatan jumlah kendaraan
(Anthapur, 2012; Luadsakul-Ratanvaraha, 2013). Kondisi ini
berdampak pada preferensi moda kendaraan bermotor sebagai
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
keputusan moda transportasi yang mutlak. Selain akan menyebabkan
kemacetan, keputusan tersebut akan menimbulkan berbagai
permasalahan yang sangat menghantui masyarakat perkotaan seperti
polusi udara, kesenjangan sosial, mobilitas yang rendah, dan
penurunan kualitas hidup (Anthapur, 2012).
Banyak negara berkembang merespon persoalan kemacetan
dengan meningkatan investasi pada pengembangan jalan raya, dimana
investasi ditujukan hanya untuk mengakomodasi kebutuhan pengguna
kendaraan bermotor (Peñalosa, 2005). Pembuat kebijakan perlu
memperhatikan kebutuhan semua pelaku perjalanan yang
menggunakan berbagai moda transportasi, baik pengguna moda
kendaraan bermotor maupun pengguna moda non-kendaraan
bermotor seperti pejalan kaki dan pesepeda. Hal ini akan meningkatan
efisiensi perjalanan dan kapasitas jalan yang ada dengan
menggerakkan besaran permintaan perjalanan dengan moda
transportasi yang beragam. Jalan akan lebih mampu untuk
mengakomodasi moda kendaraan bermotor sehingga kemacetan lalu
lintas akan berkurang (Smart Growth America, 2010).
1.4.2.3. Walking Approach
Solusi untuk meminimalisir penumpukkan kendaraan
bermotor di jalan raya telah dilakukan melalui berbagai pendekatan.
Pendekatan moda transportasi yang fokus pada upaya pengembangan
jalan raya ternyata memperburuk kondisi transportasi, dimana justru
mendorong peningkatan kebutuhan perjalanan degan moda kendaraan
bermotor.
Berjalan kini menjadi topik yang hangat dalam kajian
perencanaan kota dalam beberapa dekade terakhir. Perencana dan
pembuat kebijakan berupaya untuk mendorong pengguna moda jalan
kaki sebagai alat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan sosial,
dari pemanasan global, polusi udara, kemacetan lalu lintas, hingga
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
masalah kesehatan seperti obesitas dll. (Sungjin, 2008). Berbagai
negara di Amerika, Eropa, dan Asia saat ini mulai tertarik untuk
mengkaji dan menggunakan moda jalan kaki sebagai salah satu solusi
dalam mengatasi kemacetan lalu lintas yang serius di perkotaan.
Pendekatan moda jalan kaki (walking approach) merupakan
pendekatan yang menekankan peran penting moda jalan kaki sebagai
moda transportasi alternatif di perkotaan. Sejak 1992, Departemen
Transportasi Amerika telah menyadari bahwa moda jalan kaki
merupakan salah satu moda transportasi yang perlu diperhitungkan,
khususnya untuk mengurangi konsekuensi negatif dalam sistem
transportasi, yakni kemacetan lalu lintas. Sejak saat itu, pedestrian dan
pesepeda ditetapkan sebagai salah satu pelaku perjalanan dalam
sistem transportasi dan mulai melibatkan persepsi pedestrian dalam
perancangan trotoar.
1.4.2.4. Penggunaan Lahan (Land Use) dan Walkability
Menurut Frumkin et al (2004) dalam Brown et al (2009),
menggabungkan fasilitas-fasilitas komersil dengan perumahan dapat
mendorong masyarakat untuk melakukan perjalanan dengan berjalan
kaki. Hal ini tidak lagi dapat dijumpai di berbagai kota besar, sebab
fokus perencanaan tata ruang perkotaan sekarang difokuskan untuk
meminimalisir terjadinya dampak-dampak buruk yang potensial.
Pemisahan lokasi antara penggunaan lahan tertentu, seperti
industri, diupayakan untuk meminimalisir dampak buruk dari industri
terhadap kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Pemisahan
lokasi perumahan dengan fasilitas-fasilitas komersial ternyata
memberikan dampak buruk yang lain, yakni menyebabkan
masyarakat enggan untuk berjalan sehingga angka penggunaan
kendaraan bermotor meningkat (Johnson, 2001 dalam Brown et al,
2009).
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
Beberapa studi menyatakan bahwa variasi penggunaan lahan
adalah faktor kunci yang dapat mendorong masyarakat untuk berjalan
kaki. Kajian penggunaan lahan sangat berkaitan dengan isu
transportasi untuk mengenal lingkungan mana yang dapat mengubah
perilaku atau untuk mengetahui tipe lingkungan yang mendukung
preferensi moda jalan kaki sebagai pilihan moda dalam transportasi
(Cao et al, 2009 dalam Brown et al, 2009).
Dalam kajian walkability, variasi penggunaan lahan di suatu
area berkenaan dengan pemanfaatan bangunan/lahan. Menurut
Shirvani (1985) dalam Perencanaan Kota (2014), pemanfaatan
bangunan/lahan mempertimbangkan segi umum dan aktivitas pejalan
kaki yang akan menciptakan suatu lingkungan yang lebih manusiawi.
Istilah pemanfaatan bangunan/lahan atau tata guna lahan digunakan
sebagai dasar dalam urban design process, dimana pemanfaatan
bangunan/lahan digunakan untuk mengetahui kondisi aksesibilitas di
suatu daerah yang disesuaikan langsung dengan potensi yang perlu
dikembangkan.
Pemanfaatan bangunan/lahan dikuantifikasikan ke dalam
sebuah formula sebagai Shanon Index/Entropy Index (Indeks Entropi).
Indeks entropi merepresentasikan variasi penggunaan lahan di suatu
area. Apabila suatu wilayah memiliki nilai entropi yang tinggi, maka
dapat diasumsikan bahwa satu penghuni melakukan berbagai aktivitas
seperti bekerja, belanja, rekreasi dll. dengan berjalan kaki (Dobesova,
2012).
1.4.2.5. Walkability Index
Ketika perencana dan pembuat kebijakan dihadapkan pada
upaya mendorong masyarakat untuk berjalan kaki, para perencana dan
pembuat kebijakan sebenarnya tidak terlalu memperhatikan tentang
aspek kualitas dari lingkungan pejalan kaki (Peñalosa, 2005). Aspek
kualitas trotoar yang dimaksud adalah tingkat kemudahan berjalan
kaki atau yang disebut dengan walkability. Walkability atau walk
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
ability merupakan sebuah konsep dalam perencanaan ruang publik
perkotaan yang menekankan pada rancangan trotoar yang dapat
memberikan kemudahan bagi penggunanya, yakni pedestrian (Leslie
et al, 2006). Tingkat walkability trotoar dapat diukur melalui sebuah
metode yang dikenal dengan walkability index. Berikut beberapa
metode walkability index yang digunakan pada berbagai negara Asia:
Global Walkability Index (GWI)
Metode GWI merupakan metode walkability yang paling
sering diterapkan di negara-negara Asia. Dalam menilai tingkat
walkability, walkability index memiliki beberapa parameter yang
dapat dikuantifikasikan. Walkability index yang digunakan adalah
Global Walkability Index dari World Bank yang disusun oleh
Krambeck pada tahun 2006. Dalam indeks ini, daya tarik trotoar
dinilai berdasarkan tiga aspek, yakni keselamatan (security),
keamanan (safety), dan kenyamanan (convenience). Berikut
parameter-parameter dalam metode Global Walkability Index yang
digunakan untuk menilai tingkat walkability trotoar:
Tabel 1.1. Parameter Global Walkability Index (Krambeck, 2006)
Variabel Parameter Kode
Keselamatan dan
Keamanan
Walking Path Modal Conflict A
Security from Crime B
Crossing Safety C
Motorist Behavior D
Kenyamanan
Amenities E
Maintenance and Cleanliness F
Disability Infrastructure G
Obstructions H
Availability of Crossing I
Sumber: The Global Walkability: Talk the Walk and Walk the Talk
oleh Krambeck (2006)
Ada tiga komponen penilaian yang digunakan dalam Global
Walkability Index untuk menilai tingkat kemudahan berjalan kaki di
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
trotoar. Tiga komponen tersebut, antara lain 1) komponen fisik, 2)
komponen humanis, dan 3) komponen kebijakan.
Komponen fisik berisikan sembilan parameter terukur yang
digunakan untuk menilai kondisi operasional trotoar yang meliputi
sembilan aspek penilaian. Komponen humanis menekankan pada
persepsi pedestrian terkait kondisi trotoar yang tersedia dan yang
diharapkan (pedestrian wish-list) yang sangat diperlukan agar
lingkungan pedestrian mampu menarik minat pelaku perjalanan jarak
pemerintah dalam pengadaan infrastruktur trotoar, dalam hal ini
gambaran secara umum menganai kebijakan dan perundang-
undangan terkait dengan penyediaan dan pemanfaatan trotoar di
lapangan.
IPEN Walkability Index
Kajian walkability dalam proyek IPEN (International
Physical Activity and the Environment Network) bertujuan untuk
memaparkan hubungan antara aktivitas fisik manusia dengan
lingkungan perkotaan dimana mereka tinggal. Ada beberapa faktor
yang menentukan aktivitas fisik manusia menurut IPEN, antara lain
jarak dari tempat tinggal ke kawasan lain, kerapatan bangunan, variasi
penggunaan lahan, dan rasio bangunan terhadap jalan .
Indeks IPEN terdiri dari empat indeks, Connectivity Index,
Entropy Index, FAR (Floor Area Ratio) Index, dan Household Density
Index. Metode walkability index dari IPEN merupakan gabungan dari
keempat indeks terebut dimana bobot dari connectivity index lebih
besar dua kali lipat dibandingkan indeks yang lain.
Metodologi IPEN membagi area perkotaan yang dikaji
menjadi beberapa sub-area. Hasil akhir walkability index merupakan
gabungan dari penilaian empat indeks pada tiap sub area. Connectivity
index merupakan indeks yang berisikan perhitungan jumlah
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
persimpangan jalan per sub-area. Entropy index merepresentasikan
keragaman pemanfaatan bangunan/lahan seperti komersial,
permukiman dsb (tabel 1.2). FAR index adalah indeks yang digunakan
untuk mengukur rasio dari jumlah bangunan atau titik komersial per
zona dari lahan komersial. Household density index
merepresentasikan jumlah rumah tangga per area yang digunakan
sebagai tempat tinggal.
Tabel 1.2. Kategori Pemanfaatan Bangunan/lahan Menurut Shanon dalam
IPEN
Sumber: Walkability Index in the Urban Planning: A Case Study in
Olomouc City (Dobesova, 2012)
Walkability Analysis Tool (WAT)
Walkability Analysis Tool (WAT) merupakan salah satu
metode yang dirancang oleh seorang pelajar dari Worcester
Polytechnic Institute di Amerika Serikat. Metode ini dibuat khusus
untuk menilai walkability dan pengalaman berjalan pedestrian di
wilayah pedalaman di Hong Kong hingga wilayah pelabuhan serta
sebaliknya (Harbour Business Forum, 2010)
WAT memiliki empat parameter, yakni number of
connection, number of choke points, number of breakdowns, dan
number of directional signs/maps. Penilaian walkability dilakukan
dengan menjumlah nilai bobot keseluruhan parameter. Bobot masing-
Kategori Pemanfaatan Bangunan/lahan Kode
Living (tempat tinggal) L
Commercial (perdagangan) C
Service (pelayanan) S
Industrial (industri) I
Institutional (institusi) T
Recreational (rekreasi) R
Other (lain-lain) O
Water (tubuh air) W
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
masing parameter didapatkan dengan mengkali jumlah tiap parameter
dengan rasio luas area terbesar.
Langkah penelitian yang dilakukan ada dua, pertama adalah
membagi wilayah penelitian menjadi beberapa sub-area dan langkah
kedua adalah melakukan survei pada pedestrian untuk mengetahui
persepsinya mengenai pengalaman berjalan di Hong Kong.
Dalam penelitian pertamanya di Hong Kong, Audi et al
(2010) membagi pelabuhan menjadi enambelas area. Masing-masing
area dibagi ke dalam empat rute. Setelah mengetahui hasil skor
walkability, peneliti menetapkan empat rute untuk dilakukan survei
persepsi pedestrian. Empat rute yang terpilih didasarkan pada
pertimbangan skor walkability, kepadatan pedestrian, nilai strategis
rute terhadap wilayah, dan wilayah dengan potensi yang tinggi untuk
dikembangkan.
1.5. Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian terdiri dari lima bagian, yakni latar belakang
permasalahan, solusi yang ditawarkan, komponen penelitian, cara penelitian, dan
hasil penelitian. Berikut ilustrasi kerangka penelitian yang dituangkan ke dalam
diagram alir (diagram 1.1):
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
Kemacetan Lalu Lintas di Poros Medan Merdeka-Thamrin-
Sudirman
Diagram 1.1. Kerangka penelitian
Solusi yang Ditawarkan:
Mendukung Moda Jalan Kaki
Aspek Fisik:
Penilaian Walkability
Trotoar
Aspek Humanis:
Persepsi Pedestrian
terkait KondisiTrotoar
The Global
Walkability Index
walking path modal conflict
security from crime
crossing safety
disability infrastructure
maintenance and cleanliness
obstruction
Survei Jumlah
Pedestrian
Kategori
Pemanfaatan
Bangunan/lahan
Pengukuran
Panjang Trotoar
Penyediaan Jalur Pedestrian
(Trotoar) yang Tepat
Survei Indeks
Parameter
Wawancara Kondisi
Trotoar yang Tersedia
dan Kondisi Trotoar
yang Diharapkan
availability of crossing
motorist behavior
amenities
Tingkat Walkability
Trotoar per Ruas Jalan
Persepsi (Pendapat)
Pedestrian terkait
Kondisi Trotoar
Kondisi Trotoar yang
Diharapkan
Walkability Index Jalur Pedestrian (Trotoar) di Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman JakartaCITRA RIDHANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/