1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh di saluran pernafasan dan merupakan gejala suatu penyakit atau reaksi tubuh terhadap iritasi di tenggorokan karena adanya lendir atau mukus, makanan, debu, asap dan sebagainya. Batuk juga merupakan salah satu gejala paling umum yang menyertai penyakit pernafasan seperti asma, bronkitis, dan COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease). Ketiadaaan batuk dapat berbahaya dan fatal untuk kesehatan, karena bisa jadi batuk merupakan gejala awal dari penyakit pernafasan dan memudahkan dokter untuk mendiagnosis suatu penyakit (Chung, 2003). Timbulnya respon batuk bisa dikarenakan beragam hal salah satunya adalah keberadaan mukus pada saluran pernafasan. Normalnya, mukus membantu melindungi paru-paru dengan menjebak partikel asing yang masuk. Namun apabila jumlah mukus meningkat, maka mukus tidak lagi membantu malahan mengganggu pernafasan (Koffuor dkk., 2014). Oleh karena itu, tubuh memiliki respon batuk untuk mengurangi mukus yang berlebihan tersebut. Selain oleh mukus, batuk dapat disebabkan oleh faktor luar seperti debu maupun zat asing yang dapat mengganggu pernafasan. Semakin banyak partikel asing yang harus dikeluarkan, semakin banyak pula frekuensi batuk seseorang. Frekuensi batuk yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.
28
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94326/potongan/S1...2 Obat batuk yang dapat menekan batuk disebut juga antitusif. Antitusif adalah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh di saluran pernafasan dan
merupakan gejala suatu penyakit atau reaksi tubuh terhadap iritasi di tenggorokan
karena adanya lendir atau mukus, makanan, debu, asap dan sebagainya. Batuk
juga merupakan salah satu gejala paling umum yang menyertai penyakit
pernafasan seperti asma, bronkitis, dan COPD (Chronic Obstructive Pulmonary
Disease). Ketiadaaan batuk dapat berbahaya dan fatal untuk kesehatan, karena
bisa jadi batuk merupakan gejala awal dari penyakit pernafasan dan memudahkan
dokter untuk mendiagnosis suatu penyakit (Chung, 2003).
Timbulnya respon batuk bisa dikarenakan beragam hal salah satunya adalah
keberadaan mukus pada saluran pernafasan. Normalnya, mukus membantu
melindungi paru-paru dengan menjebak partikel asing yang masuk. Namun
apabila jumlah mukus meningkat, maka mukus tidak lagi membantu malahan
mengganggu pernafasan (Koffuor dkk., 2014). Oleh karena itu, tubuh memiliki
respon batuk untuk mengurangi mukus yang berlebihan tersebut.
Selain oleh mukus, batuk dapat disebabkan oleh faktor luar seperti debu
maupun zat asing yang dapat mengganggu pernafasan. Semakin banyak partikel
asing yang harus dikeluarkan, semakin banyak pula frekuensi batuk seseorang.
Frekuensi batuk yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.
2
Obat batuk yang dapat menekan batuk disebut juga antitusif. Antitusif adalah
obat-obatan penekan batuk yang kerjanya dibagi menjadi dua yaitu perifer dan
sentral (Sartono, 1993). Antitusif yang bekerja di sentral dibagi lagi menjadi non
narkotik dan narkotik. Banyak antitusif yang telah dikembangkan dan digunakan
di klinik sebagai obat-obat over the counter (OTC). Namun obat-obatan antitusif
non narkotik yang sekarang ini kerjanya kurang efektif dan antitusif narkotik
memiliki efek samping yang tidak diinginkan, misalnya kodein memberikan efek
samping kecanduan (Reynolds dkk., 2003).
Obat-obatan antitusif baru yang bebas efek samping diperlukan untuk
mengatasi masalah yang timbul oleh efek samping obat antitusif yang sudah ada.
Salah satu cara untuk menemukan obat tersebut adalah dari alam atau
menggunakan obat-obatan herbal. Sudah sejak lama Indonesia terkenal akan
keanekaragaman tumbuhan, tak terkecuali tumbuhan obat. Penduduk setempat
biasanya menggunakan tumbuhan tersebut untuk kebutuhan kesehatan misalnya
obat batuk. Seiring perkembangan waktu, pemanfaatan tumbuhan obat makin luas
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan. Banyak industri di Indonesia
memanfaatkan tumbuhan obat tersebut untuk kemudian diformulasikan dan
dijadikan suatu produk. Salah satu industri telah berhasil memformulasikan
produk obat batuk yang berasal dari herbal-herbal alam yang telah terbukti
memiliki khasiat untuk mengatasi batuk. Produk itu adalah “Sirup OB poliherbal”.
Sirup OB poliherbal diproduksi oleh PT. Deltomed Laboratories. Produk ini
terbuat dari kombinasi 7 ekstrak tumbuhan yang masing-masing telah terbukti
secara empiris maupun ilmiah memiliki khasiat meredakan batuk. Komposisi
tersebut adalah ekstrak rimpang jahe (zingiberis rhizoma), rimpang kencur
3
(kaempferiae rhizoma), buah jeruk nipis (citrus aurantifolii fructus), herba timi
(thymi herba), daun mint (menthae folia), biji pala (myristicae semen), akar manis
(liquorice), dan madu. Sirup OB poliherbal diklaim berkhasiat meredakan batuk
yang disebabkan alergi debu, perubahan cuaca atau batuk karena masuk angin
dengan aksi mengencerkan dahak dan membantu mengeluarkan dahak sehingga
dapat melegakan nafas.
Herbal-herbal yang terkandung dalam Sirup OB poliherbal diketahui
memiliki khasiat sebagai antitusif berdasarkan penelitian yang sudah ada.
Berdasarkan penelitian bahwa rimpang jahe (Suekawa, 1984), rimpang kencur
(Sellappan, 2015) dan herba thymi (Basch dkk., 2004) dilaporkan memiliki
aktivitas antitusif. Sejauh ini, belum pernah dilakukan penelitian mengenai efek
sirup OB poliherbal mengenai aktivitas antitusif. Oleh karena itu, pada penelitian
ini akan diuji aktivitas antitusif sirup OB poliherbal pada hewan uji marmut yang
diinduksi dengan asam sitrat.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah sirup OB poliherbal memiliki aktivitas antitusif terhadap marmut yang
diinduksi dengan asam sitrat?
2. Pada dosis berapakah sirup OB poliherbal yang memberikan efek antitusif
terhadap marmut uji paling optimal?
4
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antitusif dan
dosis optimal dari suatu produk yang disebut sirup OB poliherbal terhadap
marmut yang diinduksi dengan asam sitrat.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat dalam memberikan informasi baru kepada
masyarakat pada umumnya dan PT. Deltomed Laboratories pada khususnya
terkait pengembangan obat baru lewat informasi khasiat/efek antitusif sirup OB
poliherbal.
E. Tinjauan Pustaka
1. Batuk
a. Definisi
Batuk merupakan mekanisme pertahanan diri paling efisien dalam
membersihkan saluran nafas yang bertujuan untuk menghilangkan mukus, zat
beracun dan infeksi dari laring, trakhea, serta bronkus. Batuk juga bisa menjadi
pertanda utama terhadap penyakit perafasan sehingga dapat menjadi petunjuk
bagi tenaga kesehatan yang berwenang untuk membantu penegakan
diagnosisnya (Chung, 2003).
b. Patofisiologi
Batuk adalah bentuk refleks pertahanan tubuh yang penting untuk
meningkatkan pengeluaran sekresi mukus dan partikel lain dari jalan
pernafasan serta melindungi terjadinya aspirasi terhadap masuknya benda
5
asing. Setiap batuk terjadi melalui stimulasi refleks arkus yang kompleks. Hal
ini diprakarsai oleh reseptor batuk yang berada pada trakea, carina, titik
percabangan saluran udara besar, dan saluran udara yang lebih kecil di bagian
distal, serta dalam faring. Laring dan reseptor tracheobronchial memiliki
respon yang baik terhadap rangsangan mekanis dan kimia. Reseptor kimia
yang peka terhadap panas, asam dan senyawa capsaicin akan memicu refleks
batuk melalui aktivasi reseptor tipe 1 vanilloid (capsaicin). Impuls dari
reseptor batuk yang telah dirangsang akan melintasi jalur aferen melalui saraf
vagus ke „pusat batuk‟ di medula. Pusat batuk akan menghasilkan sinyal eferen
yang bergerak menuruni vugus, saraf frenikus dan saraf motorik tulang
belakang untuk mengaktifkan otot-otot ekspirasi yang berguna membantu
batuk.
Mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu:
1. Fase inspirasi: fase inhalasi yang menghasilkan volume yang
diperlukan untuk batuk efektif
2. Fase kompresi: penutupan laring dikombinasikan dengan kontraksi
otot-otot dinding dada, diagframa sehingga menghasilkan dinding perut
menegang akibat tekanan intratoraks.
3. Fase ekspirasi: glotis akan terbuka, mengakibatkan aliran udara
ekspirasi yang tinggi dan mengeluarkan suara batuk (Yahya, 2007).
c. Klasifikasi
Berdasarkan durasinya, batuk dibedakan menjadi batuk akut, subakut, dan
batuk kronis. Batuk akut yaitu batuk yang terjadi kurang dari 3 minggu. Batuk
6
subakut yaitu batuk yang terjadi selama 3-8 minggu, sedangkan batuk kronis
yaitu batuk yang terjadi lebih dari 8 minggu. Dari durasi batuk maka dapat
diprediksi penyakitnya. Misalnya batuk akut yang biasanya disebabkan oleh
infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) atau bisa juga karena pnemonia dan
gagal jantung kongestif. Batuk subakut bisa disebabkan oleh batuk pasca
infeksi, bakteri sinusitis maupun batuk karena asma. Sedangkan batuk kronis
bila terjadi pada perokok biasanya merupakan penyakit chronic obstructive
pulmonary disease (COPD) dan pada non perokok kemungkinan adalah post-
nasal drip, asma dan gastroesophageal reflux disease (GERD).
Bila berdasarkan tanda klinisnya, batuk dibedakan menjadi batuk kering
dan batuk berdahak. Batuk kering merupakan batuk yang tidak dimaksudkan
untuk membersihkan saluran nafas, biasanya karena rangsangan dari luar.
Sedangkan batuk berdahak merupakan batuk yang timbul karena mekanisme
pengeluaran mukus atau benda asing di saluran nafas (Ikawati, 2009).
d. Terapi
Obat-obatan yang digunakan untuk batuk bermacam-macam tergantung
dari jenis batuknya. Terdapat beberapa jenis obat batuk yaitu antitusif,
ekspektoran dan mukolitik. Obat antitusif merupakan obat yang ditujukan
untuk menekan batuk. Obat-obatan ini kurang memberi manfaat klinis kecuali
bila memang batuk tersebut sangat mengganggu. Contoh obat-obatannya
adalah kodein, noskapin dan dekstrometorfan. Ketiganya merupakan obat
golongan narkotik
7
Obat ekspektoran digunakan untuk mengencerkan dahak sehingga batuk
dapat lebih produktif dan memudahkan ekspektorasi. Contoh obat-obatan ini
adalah gliseril guaiakolat, succus liquiriteae dan ammonium chloride.
Obat mukolitik merupakan obat yang berfungsi mempercepat ekspektorasi
dan mengurangi viskositas sputum. Contoh obatnya adalah asetilsistein,
karbosistein, ambroxol dan bromhexin (Ikawati, 2009).
e. Mekanisme Batuk
Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini
berupa serabut saraf non myelin halus yang terletak baik di dalam maupun di
luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat
pada laring, trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin
berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar 6
reseptor di dapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus.
Serabut aferen terpenting terdapat pada cabang nervus vagus yang mengalirkan
rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga rangsangan
dari telinga melalui cabang Arnold dari nervus vagus. Nervus trigeminus
menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus
menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang
dari perikardium dan diafragma. Rangsangan ini oleh serabut afferen dibawa
ke pusat batuk yang terletak di medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat
muntah. Kemudian dari sini oleh serabut-serabut aferen nervus vagus, nervus
frenikus, nervus interkostalis dan lumbar, nervus trigeminus, nervus fasialis,
nervus hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari
otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma, otot-otot interkostal, dan lain-lain.
8
Di daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi. Pada dasarnya
mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :
1. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensorik nervus vagus di laring, trakea, bronkus
besar, atau serat aferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat
menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan
esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.
2. Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot
abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat,
sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru.
Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan
diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan
peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah
banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi
sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara yang tertutup
sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang potensial.
3. Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor
kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan
intratoraks meningkat hingga 300 cm H2O agar terjadi batuk yang efektif.
9
Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka . Batuk
dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu
meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
4. Fase ekspirasi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot
ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan
kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan
bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang
bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan
disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi
akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara
(Putri, 2012).
Dalam terjadinya mekanisme batuk, reseptor rangsangan batuk sangat
berperan dalam menginisiasi timbulnya refleks batuk. Rangsangan atau
stimulus yang dapat menimbulkan batuk secara garis besar terbagi menjadi 3,
yaitu: Serabut Aδ atau rapidly adapting receptors (RARs), serabut C, dan
slowly adapting stretch receptor (SARs). Mereka dibedakan berdasarkan
neurochemistry, letaknya, kecepatan konduksi, sensitivitas fisika-kimia, dan
kemampuan adaptasi terhadap lung inflation.
10
Gambar 1. Refleks Batuk dan Sites of Action dari Beberapa Agen Antitusif (Reynolds, 2004).
Rapidly adapting receptors (RARs) merupakan serabut Aδ
termyelinasi yang diduga berada didalam atau selapis dibawah sel epitel di
sepanjang saluran pernafasan bertanggung jawab dalam mekanisme
pertukaran udara dalam saluran pernafasan (Widdicombe, 2001). RARs
merupakan reseptor yang aktivitasnya meningkat apabila dirangsang oleh
stimulus mekanis seperti sekresi mukus atau oedema, namun tidak sensitif
terhadap banyak stimulus kimia penginduksi batuk seperti bradikinin dan
capsaicin. (Lee dan Pisarri, 2001).
11
Reseptor serabut C memiliki peranan penting dalam refleks pertahanan
diri saluran pernafasan. Serabut C merespon terhadap baik mekanis
(walaupun memerlukan stimulus yang lebih besar dari RARs) maupun
kimia, seperti sulfur dioxide, bradikinin dan capsaicin (Lee dan Pisarri,
2001).
Walaupun SARs juga termasuk dalam lingkup keluarga „A‟, tidak
seperti RARs, aktivitas SAR tidak tergantung pada stimulus yang
menginduksi batuk. SAR juga diduga tidak terlibat secara langsung dalam
refleks batuk. Namun, SAR mungkin ikut memfasilitasi refleks batuk
seperti yang ditunjukkan pada kucing dan kelinci, melalui interneuron
yang disebut „pump cells’ yang diduga meningkatkan refleks batuk yang
berasal dari aktivitas RARs (Shannon, 2000).
2. Mekanisme Obat-obat Antitusif
Obat-obatan antitusif bekerja menekan batuk dengan 2 mekanisme. Yang
pertama adalah bekerja pada sistem saraf pusat (SSP) dan yang kedua bekerja
pada saraf perifer.
a. Obat-obatan antitusif yang bekerja pada SSP
Batuk dapat terjadi karena aktivasi refleks batuk terdiri atas adanya
saraf aferen, saraf-saraf pusat batuk dan saraf eferen, yang diregulasi oleh
aktivitas otak yang lebih tinggi. Karena itulah saraf-saraf yang berperan
dan sistem regulasi dapat menjadi target antitusif. Contoh obat-obatan
antitusif yang bekerja pada SSP ialah kodein dan dekstrometorfan
(Takahama, 2003).
12
1. Kodein
Kodein merupakan obat antitusif golongan narkotik yang
bekerja pada SSP. Kodein sejak lama digunakan sebagai „gold
standard‟ pembanding obat-obatan antitusif baru yang bekerja pada
SSP. Kodein kemungkinan merupakan obat yang paling sering
diresepkan sebagai antitusif karena dapat memberikan efek analgesik
dan antitusif yang baik pada pemberian secara peroral (Chung, 2003).
Kodein merupakan golongan opiat yang selektif pada reseptor µ
opioid, seperti pada analognya morfin, namun dengan afinitas yang
jauh lebih kecil. Kemampuan analgesiknya diduga berasal dari
konversi dari kodein ke morfin. Reseptor µ opioid merupakan
reseptor yang berpasangan dengan G-protein yang berfungsi sebagai
regulator transmisi sinaps melalui G-protein yang mengaktifkan
protein efektor. Terikatnya opiat menstimulasi pertukaran dari GTP
(Guanosin Trifosfat) menjadi GDP (Guanosin Difosfat) di G-protein
kompleks. Sebagai sistem efektor adalah adenylate cyclase dan cylcic
adenosin monophospate (cAMP) yang terletak di bagian dalam
permukaan membran plasma. Opioid mengurangi cAMP intraselular
dengan cara menghambat adenylate cyclase. Akibatnya, pelepasan
nociceptive neurotransmitter seperti substansi P, GABA (Gamma
Amino Butyric Acid), dopamine, asetilkolin dan noradrenaline ikut
terhambat. Opioid juga menghambat pelepasan vasopressin,
somastotatin, insulin dan glukagon. Opioid menutup N-type voltage-
operated calcium channels (OP2-receptor agonist) dan membuka
13
calcium-dependant inwardly rectifying potassium channels (OP3 dan
OP1 receptor agonist). Hal ini mengakibatkan hiperpolarisasi dan
mengurangi sensitivitas neuron (Schroeder dan Fahey, 2004).
Kodein merupakan sebuah prodrug. Dia akan aktif setelah
melewati metabolisme menjadi morfin melalui hepar. Kodein
mengalami demetilasi menjadi morfin oleh enzim hepar CYP2D6
(Cytochrome P450 family 2 subfamily D member 6). Sekitar 70-80%
dosis yang diberikan mengalami glukoronidasi membentuk codeine-
6-glucoronide. Proses ini dimediasi oleh UDP-glukoronosiltranferase
UGT2B7 (UDP-Glucoronyltransferase 2B7) dan UGT2B4 (UDP-
Glucoronyltransferase 2B4). Lima hingga sepuluh persen dari dosis
mengalami O-demetilasi menjadi morfin dan 10% lainnya mengalami
N-demetilasi membentuk norcodeine. CYP2D6 memfasilitasi
biotransformasi menjadi morfin. CYP3A4 (Cytochrome P450 family
3 subfamily A member 4) adalah enzim yang memfasilitasi konversi
menjadi norcodeine. Baik morfin maupun norcodeine dimetabolisme
lebih lanjut dan mengalami glukoronidasi. Metabolit glukoronid dari
morfin adalah morphine-3-glucoronide (M3G) dan morphine-6-
glucoronide (M6G). Baik morfin maupun M6G merupakan senyawa
aktif dan memiliki aktivitas analgesik. Sedangkan norcodeine dan
M3G tidak memiliki aktivitas analgesik (Vree dkk., 2000).
Efek samping yang ditimbulkan kodein antara lain mengantuk,
mual dan muntah, serta konstipasi. Selain itu, kodein dapat
14
mengakibatkan ketergantungan seperti layaknya pada obat-obatan
morfin, namun dengan skala yang lebih kecil (Chung, 2003).
2. Dekstrometorfan
Dekstrometorfan merupakan obat antitusif non narkotik yang
bekerja pada SSP. Dekstrometorfan yang disintesis dari derivat
morfin tidak memiliki efek analgesik maupun sedatif sehingga obat
ini diperjual belikan secara luas. Efek antitusif dari deksrometrofan
sama besar dengan efek antitusif dari kodein (Reynolds dkk., 2003).
Dekstrometorfan merupakan obat batuk antitusif yang ditujukan
untuk batuk kering. Dekstrometorfan menekan refleks batuk dengan
cara langsung bertindak pada pusat batuk di dalam medulla pada
otak. Dekstrometorfan menunjukkan afinitas ikatan yang tinggi pada
beberapa region di otak, termasuk pusat batuk medulla. Senyawa
aktif dekstrometorfan merupakan antagonis reseptor NMDA (N-
Methyl D-Aspartate) dan bertindak sebagai non-competitive channel
blocker. (Hargreaves dkk., 1994).
Dekstrometorfan merupakan opioid-like drug yang berikatan
dan sekaligus bertindak sebagai antagonis pada reseptor NMDA
glutamatergic. Dekstrometorfan juga merupakan agonis pada
reseptor opioid σ1 dan σ2, sekaligus juga merupakan antagonis
reseptor α3/β4 nikotinik dan bertarget pada serotonin reuptake pump
(Hernandez dkk., 2000). Dekstrometorfan diabsorpsi secara cepat
dari saluran pencernaan, dimana dia akan masuk ke aliran darah dan