1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Revolusi Mental berasal dari dua kata yaitu “revolusi” dan “mental”. Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang cukup mendasar yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok pokok kehidupan masyarakat, sedangkan mental memiliki arti yang berhubungan dengan watak dan batin manusia. Revolusi Mental sama halnya mengubah sikap hidup yang mau mengalah untuk menang. Biasanya masih banyak mentalitas yang tidak mau mengalah untuk menang. Kemenangan apapun selalu disikapi arogan karena yang diburu bukan mengalah untuk menang (Endraswara, 2015). Revolusi mental mengubah cara pandang, pikiran, sikap dan perilaku masyarakat yang berorientasi pada kemajuan dan kemodernan dengan mengangkat kembali nilai-nilai luhur bagi pembangunan sosial masyarakat. Gagasan revolusi mental di Indonesia pernah disampaikan oleh Presiden Soekarno dan digaungkan kembali oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya pada tanggal 14 Agustus 2014 dengan membuat Gerakan Nasional Revolusi Mental yang mempunyai tujuan untuk membangun jiwa bangsa yang berkarakter dan berkepribadian. Kepemimpinan merupakan titik sentral dan penentu kebijakan dari kegiatan yang akan dilaksanakan dalam organisasi. Slamet (2002, 29) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan,
22
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang cukup mendasar yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok pokok
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Revolusi Mental berasal dari dua kata yaitu “revolusi” dan “mental”.
Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang cukup mendasar yang
berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok pokok kehidupan
masyarakat, sedangkan mental memiliki arti yang berhubungan dengan watak dan
batin manusia. Revolusi Mental sama halnya mengubah sikap hidup yang mau
mengalah untuk menang. Biasanya masih banyak mentalitas yang tidak mau
mengalah untuk menang. Kemenangan apapun selalu disikapi arogan karena yang
diburu bukan mengalah untuk menang (Endraswara, 2015).
Revolusi mental mengubah cara pandang, pikiran, sikap dan perilaku
masyarakat yang berorientasi pada kemajuan dan kemodernan dengan
mengangkat kembali nilai-nilai luhur bagi pembangunan sosial masyarakat.
Gagasan revolusi mental di Indonesia pernah disampaikan oleh Presiden Soekarno
dan digaungkan kembali oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya
pada tanggal 14 Agustus 2014 dengan membuat Gerakan Nasional Revolusi
Mental yang mempunyai tujuan untuk membangun jiwa bangsa yang berkarakter
dan berkepribadian.
Kepemimpinan merupakan titik sentral dan penentu kebijakan dari kegiatan
yang akan dilaksanakan dalam organisasi. Slamet (2002, 29) mengemukakan
bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu
kelompok untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan,
2
proses, fungsi, pada umumnya untuk memengaruhi orang-orang agar berbuat
sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Pakeliran atau Wayangan adalah suatu kegiatan yang mempertunjukkan
atau mementaskan suatu sajian cerita dengan menggunakan materi utama wayang
yang dilakukan oleh dalang. Kegiatan ini melibatkan berbagai unsur yaitu unsur
peraga, unsur materi, unsur alat dan unsur pendukung (Soetarno, 2005:214-215).
Garap sedalu natas merupakan sebuah pertunjukan wayang yang dilakukan
dalam waktu semalam suntuk atau sepadan dengan waktu 9 jam. pertunjukan
dimulai dari pukul 21.00 sampai 06.00 pagi. Waktu tersebut apabila tidak ditepati,
maka pertunjukan wayang menjadi cacat yakni kebogelan (tidak sampai
waktunya) dan karahinan atau kawanan (melebihi batas waktu yang ditentukan)
(Nojowirongko, 1960: 57).
Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” Karya Ki
Purbo Asmoro merupakan hasil transkripsi Kathryn Emerson dari rekaman
pementasan wayang oleh Ki Purbo Asmoro yang di gelar pada tanggal 27 Oktober
2007 di Halaman Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Teks ini memiliki 180 halaman
dari ketiga garapannya yang diterbitkan oleh Yayasan Lontar pada tahun 2013
dengan nomor ISBN: 978-602-9144-02-4.
Lakon Makutharama ini merupakan lakon carangan Mahabarata yang
mengisahkan tentang pencarian wahyu Makutharama yang diajarkan oleh
Begawan Kesawasidhi (jelmaan Prabu Kresna) kepada Raden Arjuna di pertapaan
Kutharungu melalui ajaran Hasthabrata. Bermula dari Resi Bisma yang meminta
Prabu Duryudana untuk berbuat kebaikan agar mendapakan anugerah Pepakem
Makutharama untuk mengakhiri kenistaan pada Negeri Astina. Kenyataanya
3
permintaan kakeknya tersebut ditolak oleh Duryudana dan memberikan
kesempatan kepada Adipati Karna. Merasa mendapatkan kesempatan yang
berharga, Adipati Karna pun segera berangkat ke Gunung Swelagiri. Pertengahan
jalan memasuki hutan, ia bertemu dengan Anoman yang memang ditugaskan oleh
Begawan Kesawasidi. Adipati Karna mengungkapkan kedatangannya dan terjadi
kesalahpahaman dengan Anoman. Ia merasa terdesak dan melepaskan panah
Kunthawijayadanu merasa gagal menjalankan tugasnya dan malu untuk kembali
ke Astina. Sementara di pihak Pandhawa, Arjuna juga mencari Makutharama
ditemani oleh Punakawan. Perjalanannya ke Kutharungu, ia dihadang oleh para
raksasa dan ia pun dapat mengalahkannya. Arjuna kemudian bertemu dengan
Begawan Kesawasidhi. Arjuna dianggap sebagai orang yang pantas menerima
ajaran Hasthabrata, maka keturunan Arjunalah yang akan menurunkan raja-raja di
Tanah Jawa. Ajaran Asthabrata merupakan sebuah ajaran untuk pedoman
pemimpin melalui gambaran alam semesta.
Ki Purbo Asmoro adalah seorang dalang yang dikenal sejak tahun 1990-an.
Ia dikenal sebagai seorang dalang yang mempunyai prinsip harus berpijak di atas
semua kelompok dan golongan. Ki Purbo Asmoro juga dikenal sebagai dalang
yang aktif dalam kepengurusan GANASIDI (Lembaga Seni Pedalangan
Indonesia) dan Yayasan Sesaji Dalang. Beliau juga sering mendalang dan
memberikan workshop keberbagai negara antara lain Inggris, Austria, Yunani,
Amerika, dan sebagainya.
Penelitian terdahulu yang dapat dijadikan sebagai referensi dalam
penelelitian ini, sebagai berikut:
4
1. Emmy Nur Issae Fitri, Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya UNS (2015),
dengan judul “Ajaran Kepemimpinan Asthabrata dalam Serat Rama karya R.Ng.
Yasadipura (Kajian Estetika Resepsi Berdasarkan Horison Harapan Robert Jauss).
2. Cahyo Utomo, FKIP Pendidikan Bahasa dan Seni UNS (2011) dengan judul
“Naskah Drama Barabah Karya Motinggo Busye (Tinjauan Sosiologi Sastra dan
Nilai Pendidikan)”.
3. Astiana Ajeng Rahadini, FKIP Bahasa Jawa UNS dengan judul “Revolusi
Mental melalui Piwulang Luhur dalam Naskah Wayang Kulit Purwa Lakon
“Bawor dadi Ratu” sebagai Pemateri Pembelajaran Bahasa Jawa.
Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya Ki Purbo
Asmoro ini menarik untuk diteliti karena kisahnya mampu memberikan acuan
masyarakat dalam memahami tema revolusi mental kepemimpinan yang yang
berkarakter dan berkepribadian demi kejayaan bangsa.
Pendekatan yang akan digunakan dalam melakukan penelitian ini yaitu
pendekatan Sosiologi Sastra. Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah
tentang manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga struktur sosial dan
unsur-unsur sosial. Melalui sosiologi, pembaca mendapat gambaran tentang cara-
cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme
sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di
tempatnya masing-masing (Damono, 1978: 6)
Penelitian terfokus kepada kajian isi, tujuan serta beberapa hal lain yang
tersirat di dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama”
karya ki Purbo Asmoro berkaitan langsung dengan tema revolusi mental
kepemimpinan dan perubahan sosial masyarakat yang tercermin melalui nilai-nilai
5
dan hal tersebut juga akan menjadi sumbangsih terhadap gagasan revolusi mental
yang gencar dibicarakan pemerintahan sekarang. Hal ini membuktikan bahwa
tema revolusi mental kepemimpinan yang terkandung dalam naskah-naskah
pewayangan masih menarik dan masih mempunyai relevansi yang erat dengan
kehidupan sekarang.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis mengambil judul “Tema Revolusi
Mental Kepemimpinan dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon
“Makutharama” karya Ki Purbo Asmoro (Sebuah Tinjauan Sosiologi
Sastra)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
a. Bagaimanakah struktur Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon
“Makutharama” karya ki Purbo Asmoro menurut Robert Stanton?
b. Bagaimanakah tema revolusi mental kepemimpinan yang terkandung dalam
Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya ki Purbo
Asmoro?
c. Bagaimanakah relevansi tema revolusi mental kepemimpinan dalam Teks
Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya ki Purbo Asmoro
dengan kehidupan sekarang?
C. Tujuan Masalah
Tujuan yang ingin dicapai penulis pada penelitian ini adalah:
a. Mendeskripsikan unsur-unsur struktur dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu
Natas Lakon “Makutharama” karya ki Purbo Asmoro.
6
b. Mendeskripsikan tema revolusi mental kepemimpinan berdasarkan karakter
pemimpin dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama”
karya ki Purbo Asmoro.
c. Meendeskripsikan relevansi tema revolusi mental kepemimpinan dalam Teks
Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya ki Purbo Asmoro
dengan kehidupan sekarang.
D. Batasan Masalah
Pembatasan masalah sangat penting dilakukan dalam sebuah penelitian
karena akan mempengaruhi ketepatan sasaran, sehingga hal-hal yang tidak relevan
dapat dihindarkan. Batasan masalah dalam penelitian ini adalah pada unsur
struktur Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas lakon “Makutharama” karya ki
Purbo Asmoro menurut Robert Stanton. Penulis menjabarkan tema revolusi
mental kepemimpinan berdasarkan karakter pemimpin yang terkandung di
dalamnya dan merelevansikan tema tersebut dengan yang terjadi dengan
kehidupan sekarang.
E. Landasan Teori
1. Teori Struktural Sastra Robert Stanton
Pendekatan Struktur dipandang mampu mewujudkan tujuan dari penelitian
ini yaitu untuk menemukan persamaan sekaligus perbedaan yang terjadi akibat
pengadaptasian.Teori struktur yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori
struktural Robert Stanton. Stanton membagi unsur struktur intrinsik fiksi menjadi
tiga bagian yaitu fakta cerita, sarana cerita dan tema.
7
a. Fakta Cerita
Fakta cerita terdiri dari tiga macam elemen yaitu tokoh, latar dan alur.
Elemen-elemen tersebut berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah
cerita, apabila dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan “unsur
factual” atau “tingkatan faktual cerita”. Struktur faktual merupakan salah satu
aspek cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22). Unsur-unsur
yang berhubungan dengan fakta cerita adalah sebagai berikut.
a) Alur
Alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Alur biasanya
terbatas oleh peristiwa kausal saja. Peristiwa kausal ini merupakan peristiwa
yang menyebabkan atau yang menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain
yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya
(Stanton, 2007:26).
Berbeda denga elemen lain, alur juga dapat diartikan sebagai punggung
cerita. Alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang
lebar dalam sebuah analisis. Dua elemen dasar yang membangun alur adalah
“konflik” dan “klimaks”. Konflik utama selalu bersifat fundamental,
membenturkan “sifat-sifat” dan “kekuatan-kekuatan” tertentu (Stanton,
2007:32).
b) Tokoh atau Karakter
Tokoh atau karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama
ialah karakter yang merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita,
sedangkan konteks kedua ialah karakter yang muncul dari berbagai
percampuran, kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-
8
individu. Sebagian besar cerita dapat ditemukan satu “tokoh utama” yaitu
tokoh yang berkaitan dengan semua peristiwa yang berlangsung, alasan
seorang tokoh untuk bertindak dinamakan “motivasi” (Stanton, 2007: 33).
c) Latar
Latar adalah lingkungan yang meliputi sebuah peristiwa dalam cerita.
Latar dapat berwujud dekor, waktu, berpengaruh dengan karakter dan
terkadang merupakan representasi dari tema. Latar memiliki daya yang untuk
memunculkan tone (atmosfer) yang merefleksikan suasana jiwa pada karakter
dan mode emosional yang melengkapi karakter (Stanton, 2007:46-47).
b. Sarana Cerita
Sarana sastra adalah metode (pengarang) dan penyususan detail cerita agar
tercapai pola-pola yang bermakna. Metode ini dianggap perlu karena dengannya
pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang (Stanton,
2007:46-47). Sarana cerita dalam teori Robert Stanton adalah sebagai berikut.
a) Judul
Judul merupakan kunci dari pada makna dalam sebuah cerita. Judul
berhubungan langsung dengan keseluruhan isi cerita karena menunjukkan
tema, latar dan karakter. Judul dalam karya sastra mempunyai tingkatan-
tingkatan makna yang terkandung dalam cerita, bisa juga dapat berisi sindiran
terhadap kondisi yang ingin dikritisi oleh pengarang satu atau merupakan
kesimpulan terhadap keadaan yang sebenarnya dalam cerita.
b) Sudut Pandang
Sudut pandang menurut Stanton dalam bukunya membagi sudut pandang
menjadi empat tipe diantaranya:
9
Orang pertama pelaku utama, pada tipe ini karakter menceritakan dengan
kata-katanya sendiri;
Orang pertama pelaku sampingan, satu karakter bukan karakter utama
yang dituturkan dalam cerita;
Orang ketiga terbatas, pengarang mengacu kepada semua karakter dan
emosinya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang
dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu karakter saja.
Orang ketiga tidak terbatas, pengarang mengacu pada setiap karakter
melihat, mendengar, atau berpikir atau saat tidak ada satu karakter pun
hadir.
c) Gaya dan Tone
Gaya ialah cara pengarang dalam menggunakan bahasa, meskipun dua
orang pengarang memakai alur, karakter dan latar yang sama, tetapi hasil
tulisan keduanya bisa berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada bahan dan
penyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang pendek
kalimat, humor, detail, kekonkretan dan banyak imajinasi serta metafora.
Campuran dari perbedaan tersebut akan menghasilkan gaya (Stanton, 2007:61).
d) Simbolisme
Simbolisme di dalam fiksi dapat memunculkan tiga efek yang masing-
masing bergantung pada bagaiman simbol bersangkutan dalam
penggunaannya. Ketiga efek tersebut di antaranya: Pertama, sebuah simbol
yang muncul pada suatu kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna
peristiwa; kedua, simbol yang ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita
akan beberapa elemen konstan dalam semesta cerita; ketiga, sebuah simbol
10
muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menentukan
tema (Stanton, 2007:65).
Salah satu bentuk simbol yang khas adalah “momen simbolis” atau yang
biasa disebut dengan “momen kunci” atau “momen pencerahan” yang
merupakan tabula tempat seluruh detail yang terlihat dan hubungan fisis
mereka dibebani makna (Stanton, 2007:68).
e) Ironi
Ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu
berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Ironi dapat ditemukan
dalam hamper semua cerita. Menurut Stanton, (2007:71-72) menyebutkan
bahwa ironi dibagi menjadi dua jenis yaitu:
Ironi dramatis, biasanya muncu melalui kontras diametris antara penampilan
dan realitas, antara maksud dan tujuan karakter, atau antara harapan dengan
yang terjadi sebenarnya.
Tone Ironi, digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang
mengungkapkan suatu makna dengan cara kebalikan.
c. Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam
pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat.
Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak.
Bagian awal dan akhir akan menjadi pas, sesuai dan memuaskan berkat
keberadaan tema (Stanton, 2007:36-37).
Tema menurut Stanton (2007: 44-45) mempunyai kriteria-kriteria di
antaranya:
11
Interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai detail
menonjol dalam sebuah cerita. Kriteria ini adalah yang paling penting;
Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita
yang saling berkontradiksi;
Interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-
bukti yang tidak jelas diutarakan (secara implisit).
Interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas oleh cerita
bersangkutan.
2. Definisi Revolusi Mental
Revolusi secara sederhana dapat dimaknai dengan perubahan yang
mendasar (Steven, 2000:1367). Brinton (1958:3) dalam tulisannya yang berjudul
“The Anatomy of Revolution” mengemukakan bahwa penggunaan nomina
revolusi dan adjektiva revolusioner mengindikasikan beragam jenis perubahan.
Makna perubahan ini berkembang pada beragam bidang di antaranya ekonomi,
sosial, budaya, agama atau pun politik dapat dipastikan bahwa makna revolusi
akan mengalami perluasan cakupan pada bidang-bidang tersebut.
Menurut Mao (1967) revolusi merupakan suatu perubahan sosial yang
bersifat kontinyu. Terjadinya revolusi tergantung pada kehendak revolusioner
masing-masing. Revolusi Mao merupakan salah satu dari sekian tahap perubahan
masyarakat yang dilaksanakan sehingga akan mencapai sosialisme sebagai cita-
cita akhir masyarakat.
Pengertian mental secara definitif belum ada kepastian yang jelas dari para
ahli kejiwaan. Secara etimologi kata “mental” berasal dari bahasa Yunani yang
mempunyai arti kesamaan pengertian dengan psyche, yang artinya kejiwaan
12
(Moeljono, 2001:21). Mental dapat dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan
dengan batin dan watak atau karakter, tidak bersifat jasmani. Demikian mental
merupakan hal-hal yang berada dalam diri manusia yang terkait dengan psikis
atau kejiwaan yang dapat mendorong terjadinya tingkah laku dan membentuk
kepribadian. Mental yang sehat akan melahirkan tingkah laku maupun
kepribadian yang sehat pula. Sigmund Freud memberikan definisi bahwa
kepribadian yang sehat adalah adanya keseimbangan antara dorongan-dorongan
dan motif-motif tiap bagian jiwa dalam pemuasannya.
Berdasarkan kedua pengertian di atas, revolusi mental merupakan sebuah
perubahan yang mendasar yang berkaitan dengan kejiwaan masyarakat untuk
mendorong terjadinya tingkah laku dan membentuk kepribadian masyarakat yang
berkarakter dan berkepribadian. Munculnya gagasan revolusi mental
memperlihatkan bahwa mentalitas masyarakat belum kuat atau semakin akut.
Revolusi mental dilihat dari strategi budaya dapat dilakukan dengan membangun
dan menanamkan pandangan serta keyakinan keagamaan, nilai-nilai, norma-
norma, dan aturan-aturan yang sejalan dengan mentalitiet anti seperti: anti
kebodohan, anti kesenjangan, anti rendah diri dan merendahkan, dan anti
kerusuhan (Ahimsa, 2015: 13).
Revolusi Mental berdasarkan nilai-nilai merupakan patokan atau kriteria
untuk menentukan baik-buruknya sesuatu sebagai contohnya adalah nilai akan
kemandirian. Kemandirian tidak dipandang sesuatu yang ideal karena seseorang
yang mandiri tidak akan meminta bantuan orang lain. Perubahan nilai
kemandirian merupakan perubahan yang mendasar karena akan sangat mengubah
hubungan seseorang dengan lingkungan sosialnya (Ahimsa, 2015: 14).
13
Menurut Supriyanto (2015: 181) cara mewujudkan revolusi mental ada
dua yaitu melalui pendidikan karakter dan rekontruksi sosial. Pertama, pendidikan
karakter dianggap penting karena dapat dipertanggungjawabkan secara moral,
etika, religious, ilmiah dan jujur. Karakter dapat dibentuk melalui beberapa hal di
antaranya kejujuran, keterbukaan, keberanian mengambil resiko, bertanggung
jawab, komitmen, dan kemampuan berbagi (sharing).
Kedua, rekonstruksi sosial dapat diartikan sebagai pemahaman untuk
memusatkan perhatian pada masalah-masalah sosial dalam masyarakat.
Rekontruksi sosial dapat mewujudkan sebuah pembaharuan akan cermin
keteladanan dari masyarakat. Melalui rekonstruksi sosial, masyarakat dapat
menyelesaikan masalah-masalah sosialnya dan membentuk masyarakat yang baru
dan lebih baik tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur suatu kebudayaan
(Supriyanto, 2015: 182).
3. Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan komponen fundamental di dalam menganalisis
proses dan dinamika di dalam organisasi. Menurut Katz dan Khan (dalam Watkin,
20: 1992) mengemukakan bahwa kepemimpinan diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok besar di antaranya “sebagai atribut atau pelengkap suatu kedudukan,
sebagai karakteristik seseorang, dan sebagai kategori perilaku”. Kepemimpinan
berkaitan dengan anggota yang memiliki kekhasan dari suatu kelompok yang
dapat dibedakan positif dari anggota lainnya baik dalam perilaku, karakteristik,
kepribadian, pemikiran atau struktur kelompok.
Pemahaman akan kepemimpinan harus berdasarkan keyakinan bahwa
pemimpin yang baik harus memiliki karakteristik bawaan dari lahir yang baik juga
14
menyangkut ciri fisik maupun kepribadian, motivasi dan ketrampilan. Menurut
Koentjaraningrat, kepribadian merupakan ciri dari watak seseorang yang
terbentuk sejak lahir dan menjadi latar belakang terbentuknya tingkah laku.
kepribadian terdiri dari lima hal yaitu:
1) Tingkat semangat (energi),
2) Percaya diri,
3) Tahan stress,
4) Kedewasaan emosi, dan
5) Integritas
Motivasi merupakan kondisi internal dan eksternal dalam diri seseorang
yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi juga dapat
diartikan sebagai hasrat dan minat seseorang untuk bertindak dalam menghadapi
dampak dari interaksi seseorang. Motivasi terdiri dari:
1) Orientasi kekuasaan terisolasi,
2) Kebutuhan berprestasi kuat,
3) Kurang memerlukan afiliasi, dan
4) Kebanggaan diri
Karakteristik selanjutnya ialah Keterampilan. Menurut Dunnette (1976:33)
mengemukakan bahwa keterampilan merupakan sebuah kapasitas yang
dibutuhkan dalam melaksanakan beberapa tugas dari pengembangan hasil
percobaan dan pengalaman yang didapat. Keterampilan terdiri dari empat kategori
di antarannya:
1) Keahlian dasar, keahlian yang wajib dimiliki seseorang,
15
2) Keahlian teknik, keahlian seseorang dalam pengembangan teknik yang
dimiliki,
3) Keahlian interpersonal, kemampuan seseorang untuk berinteraksi, dan,
4) Penyelesaian masalah, proses aktifitas untuk beragumentasi, menajamkan
logika.
4. Teori Sosiologi Sastra
Sastra merupakan karya seni yang mencerminkan ekspresi kehidupan
manusia. Antara karya sastra dengan sosiologi sebenarnya merupakan dua bidang
yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Sosiologi tidak hanya
menghubungkan manusia dengan lingkungan sosial budayanya, tetapi dengan
alam (Fananie, 2000:132).
Sosiologi sastra adalah penelitian terhadap karya sastra dengan
mempertimbangkan keterlibatan struktur sosialnya. Penelitian sosiologi sastra,
baik dalam bentuk penelitian ilmiah maupun aplikasi praktis, dilakukan dengan
cara mendeskripsikan, memahami, dan menjelaskan unsur-unsur karya sastra
dalam kaitannya dengan perubahan. Perubahan struktur sosial yang terjadi di
sekitarnya (Ratna, 2003:26).
Sosiologi sastra memahami karya seni sebagai kesatuan yang utuh.
Artinya, sebagai gejala alamiah yang secara totalitas, pertama, ditopang oleh
pengarang, semestaan yang diacu, dan masyarakat pembaca. Kedua, yang lebih
utama, karya seni tersebut, secara hakiki adalah totalitas yang otonom (Ratna,
2003:292-293).
Sosiologi mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya, bukan sesuatu
segi khusus masyarakat yang berhubungan dengan studi tentang interaksi antara
16
manusia, syarat-syarat dan akibat-akibatnya. Sosiologi sebagai suatu pendekatan
terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi
sosial dibagi sebagai berikut.
1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang dan institusi sastra, masalah yang
berkaitan disini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial
status pengarang, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat.
2. Sosiologi karya sastra, mempermasalahkan karya sastra itu sendiri yang
menjadi pokok penelaaahan atau apa yang tersirat dan memiliki tujuan.
3. Sosiologi sastra mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra,
pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat. Sehingga banyak orang
meniru-niru tokoh dan diterapkan dalam kehidupannya (Wellek & Warren,
1990:111).
Sosiologi dapat dipakai sebagai ilmu bantu dalam pendekatan karya sastra.
Sosiologi maupun sastra mempunyai bidang yang sama yaitu kehidupan manusia
dengan masyarakat. Pendekatan yang umum terhadap hubungan karya dengan
masyarakat adalah mempelajari karya sastra sebagai dokumen sosial, sebagai
potret kenyataan sosial. Ada semacam potret sosial yang bisa ditarik dari karya
sastra karena sedikit banyak dalam karya sastra tercermin kehidupan manusia
dalam masyarakat pada suatu zaman (Wellek & Warren, 1995:122).
F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam
melaksanakan sebuah penelitian. Metode menurut Kridalaksana (201:136) adalah
cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena
(Subroto. 1992:3132). Metode mencakup kesatuan dari serangkaian proses