1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki peranan penting dalam masyarakat yakni sebagai sarana komunikasi. Bisa dikatakan bahwa tanpa adanya bahasa, suatu komunikasi itu tidak dapat terjadi. Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1984 : 1). Masyarakat erat kaitannya dengan bahasa, begitupun sebaliknya bahasa melekat pada masyarakat. Interaksi sosial dalam masyarakat terjadi dapat berupa lisan maupun tulis. Bahasa yang alami adalah bahasa yang merupakan akibat dari suatu proses yang terjadi di dalam bahasa itu sendiri, tanpa pengarahan apapun yang sifatnya disengaja(Suwito, 1983: 137). Bahasa itu sendiri juga memiliki fungsi untuk berinteraksi atau komunikasi, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan dan juga perasaan. Setiap orang memiliki ciri khas tersendiri dalam berbahasa (berbicara atau menulis). Kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, dan penggunaan unsur-unsur bahasa lainnya (Chaer dan Agustina, 2004: 34). Berbicara lebih sering digunakan orang dibandingkan dengan cara berbahasa yang lain. Kepandaian dalam berbicara merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan seseorang disukai bahkan disegani oleh orang lain. Berbicara kepada orang lain merupakan peristiwa yang wajar dilakukan orang setiap harinya. Namun tingkat kepandaian berbicara seorang dengan orang lain tentulah berbeda. Kemampuan bicara bisa merupakan bakat, tetapi
28
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileselalu menggunakan bahasa yang baik dan benar. ... dan khotbah tidak dapat dibedakan, ... pengkhotbah untuk menyampaikan gagasannya
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa memiliki peranan penting dalam masyarakat yakni sebagai sarana
komunikasi. Bisa dikatakan bahwa tanpa adanya bahasa, suatu komunikasi itu
tidak dapat terjadi. Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat
berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1984 : 1).
Masyarakat erat kaitannya dengan bahasa, begitupun sebaliknya bahasa melekat
pada masyarakat. Interaksi sosial dalam masyarakat terjadi dapat berupa lisan
maupun tulis. Bahasa yang alami adalah bahasa yang merupakan akibat dari
suatu proses yang terjadi di dalam bahasa itu sendiri, tanpa pengarahan apapun
yang sifatnya disengaja(Suwito, 1983: 137). Bahasa itu sendiri juga memiliki
fungsi untuk berinteraksi atau komunikasi, alat untuk menyampaikan pikiran,
gagasan dan juga perasaan.
Setiap orang memiliki ciri khas tersendiri dalam berbahasa (berbicara atau
menulis). Kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan
sintaksis, dan penggunaan unsur-unsur bahasa lainnya (Chaer dan Agustina, 2004:
34). Berbicara lebih sering digunakan orang dibandingkan dengan cara berbahasa
yang lain. Kepandaian dalam berbicara merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan seseorang disukai bahkan disegani oleh orang lain.
Berbicara kepada orang lain merupakan peristiwa yang wajar dilakukan
orang setiap harinya. Namun tingkat kepandaian berbicara seorang dengan orang
lain tentulah berbeda. Kemampuan bicara bisa merupakan bakat, tetapi
2
kepandaian bicara yang baik memerlukan pengetahuan dan latihan (Sutardjo,
2013: 7). Berbicara dengan orang lain tentu menggunakan cara yang berbeda-
beda, hal ini tergantung pada sudut pembicara, tempat berbicara, pokok
pembicaraan, dan situasi pembicaraannya. Cara lain juga yang sering digunakan
orang lain untuk mengidentifikasi sejauh mana seorang penutur menguasai bahasa
yang sedang dipergunakannya malalui pemilihan variasi dalam tuturannya.
Penggunaan bahasa dalam berbicara pada kehidupan sehari-hari tidak
selalu menggunakan bahasa yang baik dan benar. Seringkali dalam berbicara
muncul adanya percampuran bahasa entah dari penutur maupun dari mitra tutur
dalam kegiatan komunikasi sehari-hari. Dalam kedwibahasaan ini muncullah
istilah Alih Kode dan Campur Kode. Pada keadaan seperti ini maka terjadilah
peristiwa saling kontak antara bahasa satu dengan bahasa lainnya dalam suatu
komunikasi. Alih kode dan campur kode selalu melekat pada kehidupan sehari-
hari terutama percakapan dengan orang lain. Kehidupan manusia sehari-hari tidak
lepas dari berbagai macam kegiatan keagamaan, maka dari itu alih kode dan
campur kode juga terjadi pada khotbah dalam acara-acara agama.
Melalui khotbah seseorang dapat menyampaikan gagasan, pikiran atau
informasi kepada orang banyak secara lisan. Dalam pelaksanaanya antara pidato
dan khotbah tidak dapat dibedakan, keduanya sama-sama menyampaikan suatu
gagasan atau pesan kepada khalayak. Hanya saja yang membedakan keduanya
adalah situasi, tempat, waktu (kesempatan), tema dan sumbernya. Khotbah lebih
bersifat khusus untuk masalah keagamaan.
3
Khotbah memiliki peranan yang sangat penting dalam kegiatan
masyarakat beragama khususnya, baik itu pada waktu sekarang maupun pada
waktu-waktu yang akan datang. Mereka yang mahir berbicara dengan mudah
dapat menguasai massa dan berhasil memasarkan gagasan mereka dengan baik
sehingga mudah diterima oleh orang lain. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh
pengkhotbah untuk menyampaikan gagasannya kepada pendengar. Salah satunya
adalah penggunaan aspek kebahasaan berupa alih kode dan campur kode
mengenai materi yang disampaikan. Oleh karena itu, sering kita temukan dalam
kehidupan sehari-hari banyak pengkhotbah yang menggunakan dua bahasa atau
lebih dalam ceramahnya, termasuk di gereja dan lebih khusus lagi di Gereja
Kristen Jawa.
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Ampel sebagai gereja induk yang memiliki dua
Pepanthan di bawahnya yaitu GKJ Berdug dan GKJ Kentheng, yang masih satu
klasis dengan GKJ Boyolali. Pendeta dari gereja induk juga bertugas untuk
melayani di gereja-gereja Pepanthan dengan jadwal pelayanan dan khotbah yang
sudah ditentukan oleh gereja induk. Dalam GKJ yang bisa melayani khotbah
haruslah yang diberi gelar Pendeta, Penatua, ataupun Diaken (Surachman, 2013:
23). Dalam pelayanan khotbah setiap minggunya pendeta dibantu oleh majelis
gereja induk dan pepanthan yang jumlahnya ada 16 majelis. Gereja ini sendiri
memiliki jumlah jemaat sebanyak 281 orang yang tersebar di tiga gereja induk
dan pepanthan (Jaryono, 2010: 30-31).
GKJ Ampel ini sendiri terbentuk dari berkumpulnya beberapa orang
kristen di Ampel yang kemudian dilayani oleh GKJ Boyolali pada tahun 1966.
4
Pada tahun 1969, persekutuan orang-orang ini yang berjumlah sekitar 20 orang
ditempatkan di rumah salah seorang jemaat. Kemudian pada tahun 1977 ada
seseorang yang memberikan sebidang tanah, yang pada saat itu sudah
berkembang menjadi sekitar 70 orang. Baru pada tahun 1979 mulai dibangun
gedung gereja di atas sebidang tanah tadi yang dananya berasal dari usaha warga
jemaat, simpatisan dan juga donatur.
GKJ Ampel memiliki seorang pendeta yang yang ditugaskan dan telah
ditahbiskan di gereja ini pada tanggal 24 Juli 2010 bernama Pdt. Jaryono, S.Si.
Sebagai seorang pendeta beliau memiliki tugas untuk menggembalakan jemaat-
jemaatnya dan lebih seringnya lagi adalah memberikan khotbah dalam kebaktian
setiap hari minggu dan persekutuan selain hari minggu. Dalam kebaktian minggu
maupun persekutuan, bahasa yang digunakan tidak selalu menggunakan bahasa
Jawa, itu tergantung pada jadwal yang telah ditentukan oleh gereja induk itu
sendiri.
Setiap pengkhotbah yang bertugas di GKJ Ampel memiliki kekhasan
masing-masing dalam berkhotbah, baik itu dari gaya berkhotbah, emosi atau
penghayatan mengenai materi yang disampaikan, sedangkan volume dan tekanan
suara yang digunakan pengkhotbah tergantung pada jemaat yang mendengarkan
khotbah. Setiap pengkhotbah memiliki tingkat pendidikan dan kemampuan
berbahasa Jawa yang berbeda maka hal ini mempengaruhi dalam penyampaian
khotbah berbahasa Jawa secara baik dan benar. Meskipun secara retorika mereka
memiliki kemampuan yang sangat baik, namun dari segi kebahasaan mereka
masih sering menggunakan lebih dari satu bahasa, sehingga akan muncul alih
5
kode dan campur kode. Peralihan bahasa juga dapat disebabkan oleh karena
materi khotbah yang diberikan kepada pengkhotbah, jemaat yang bervariasi baik
dari segi umur, pekerjaan, dan tingkat pendidikan.
Berikut ini adalah contoh “Alih Kode dan Campur Kode dalam Khotbah
Berbahasa Jawa di Gereja Kristen Jawa Ampel Kabupaten Boyolali”:
Data 1
Awit ugi namung dhateng panganthinipun Gusti menika dados jaminan. Jaminan
dan kepastian hidup orang percaya itu hanya di dalam penyertaan Tuhan.
‟karena juga hanya kepada penyertaan Tuhan itulah yang menjadi jaminan.
Jaminan dan kepastian hidup orang percaya itu hanya di dalam penyertaan Tuhan‟
(BK/08/11/15)
Data tuturan di atas merupkan tuturan yang terjadi di GKJ Ampel
kabupaten Boyolali. Waktu terjadinya tuturan adalah hari minggu 8 November
2015 pada pukul 08.20 WIB. Penuturnya adalah majelis GKJ Ampel yang
bertugas menyampaikan materi khotbah pada hari itu kepada pendengar.
Pendengar tuturan tersebut adalah warga jemaat GKJ Ampel yang datang
beribadah hari itu. Situasi saat terjadinya tuturan adalah tenang, semua yang ada
di tempat itu fokus mendengarkan penutur yang sedang berkhotbah dalam
kegiatan keagamaan. Tujuan dari tuturan itu adalah penutur ingin
memberitahukan kepada pendengar bahwa penyertaan Tuhan yang menjadi
jaminan dan kepastian orang percaya.
Alih kode pada tuturan di atas dilakukan penutur dari bahasa Jawa „awit
ugi namung dhateng panganthinipun Gusti menika dados jaminan‟ yang
kemudian beralih ke bahasa Indonesia „jaminan dan kepastian hidup orang
6
percaya itu hanya di dalam penyertaan Tuhan‟ sehingga fungsinya berbeda.
Alih kode ini disebut alih kode ekstern.
Fungsi dilakukannya alih kode oleh penutur pada data tuturan tersebut
adalah lebih argumentatif. Penutur ingin lebih meyakinkan pendengar ketika
mulai beralih ke bahasa Indonesia. Sebelumnya penutur mencoba memberikan
argumen, namun kemudian lebih ditekankan lagi lewat pernyataan berikutnya.
Faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode oleh penutur adalah pokok
pembicaraan. Ketika penutur masih berbicara dengan bahasa Jawa, belum
melakukan alih kode sudah jelas di sana bahwa pokok pembicaraanya penyertaan
Tuhan yang menjadi jaminan. Setelah penutur beralih kode ke bahasa Indonesia
penutur lebih jelas membahas tentang penyertaan Tuhan yang bukan hanya
menjadi jaminan, namun juga sebagai kepastian hidup orang percaya seperti yang
dimaksudkan penutur.
Data 2
Kula pitados bilih pasamuwan ingkang ing ngriki, ing GKJ Ampel, menawi saking