Page 1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Prinsip hukum secara universal mengakui bahwa semua orang mempunyai
hak yang sama di depan hukum (Equality Before The Law), serta berhak atas
perlindungan hukum tanpa diskriminasi apapun. Setiap orang berhak atas Peradilan
yang efektif dari Pengadilan Nasional jika ada pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan1. Sejalan dengan asas
tersebut. Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa:
Tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan, atau diperlakukan
secara sewenang-wenang karna setiap orang berhak untuk
didengar pendapatnya dimuka umum, diadili secara adil oleh
Pengadilan yang bebas dan tidak memihak, baik mengenai hak
dan kewajibanya, maupun dalam tuntutan pidana yang
ditujukan2.
Dilihat dari tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan,
kedamaiaan, serta keadilan dapat dirumuskan dengan istilah yakni perlindungan.
Jadi secara singkat tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, tetapi
mengayomi manusia itu tidaklah hanya melindungi manusia dalam arti pasif yakni
hanya mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak saja. Melainkan
meliputi pengertian melindungi secara aktif, artinya meliputi upaya untuk
1 H. Parman Soeparman. Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam
Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan. Reflika Aditama.2009.,h. 1.
2 Pasal 8-10 Deklarasi Universal Tentang Hak-Hak Asasi Manusia..
Page 2
2
menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk selalu memanusiakan
manusia3.
Peninjauan Kembali merupakan tugas Mahkamah Agung yang terdapat
dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2009 Perubahan Kedua Atas undang-undang No. 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung yang berbunyi:
Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus
permohonan Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sehingga Peninjauan Kembali hanya bisa dilakukan satu kali sebagai unsur untuk
melahirkan hukum yang bersifat final.
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi “menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, yang pada intinya menyebutkan secara
hierarkis kedudukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 adalah lebih tinggi dari Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan
Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (constitutie is de hoogste wet). Jika terdapat
ketentuan dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang
3 Ibid., h. 8
Page 3
3
Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945, maka ketentuan tersebut dapat
dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian Undang-Undang.
Ada dua alasan penting sacara doktriner yang tidak dapat ditinggalkan dalam
pembahasan mengenai Peninjauan Kembali, hal demikian telah dimuat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP)4, yakni
conflict van rechtspraak dan novum. Hal yang pertama ialah terdapanya putusan-
putusan yang berlainan dengan keadaan yang dinyatakan terbukti. Hal yang kedua
ialah adanya suatu keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika
diketahui keadaan itu, pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupah
putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima, dan juga terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana
yang lebih ringan5.
Kasus Antasari bermula ketika ia diajukan dimuka persidangan Pengadilan
Negeri Jakarta. Oleh Majelis Hakim PN Jakarta yang di Ketuai oleh Hakim Herry
Swantoro. Dalam persidangan tersebut Antasari dianggap terbukti oleh Majelis
Hakim, bekerja sama dengan pengusaha Sigit Haryo Wibisono untuk membunuh
Nasrudin Zulkarnaen, direktur PT Rajawali Putra Banjaran. Namun Antasari
menolak semua tuduhan termasuk perselingkuhan yang menjadi motif utama
pembunuhan tersebut dan mengaku tetap setia kepada Ida Laksmiwati yang telah
menjadi istrinya selama lebih dari 26 tahun. Antasaripun didakwa dengan hukuman
mati dan akhirnya oleh PN Jakarta Selatan ia divonis penjara selama 18 tahun.
4 Lihat masing-masing Pasal 263 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
5 Oemar Seno Adji, Herziening Gantirung Suap Perkembangan Delik. Erlangga Jakarta, 1981., h.
38-39
Page 4
4
Statusnya sebagai tersangka membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
tanggal 4 Mei 2009 memberhentikan dari jabatannya sebagai ketua KPK6.
Pada sidangnya yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 11
Februari 2010. Dalam persidangan Ketua Majelis Hakim Herry Swantoro
menyatakan, semua unsur sudah terpenuhi antara lain, unsur barang siapa, turut
melakukan, dengan sengaja, direncanakan, dan hilangnya nyawa orang lain. Majelis
hakim menyatakan perbuatan terdakwa sudah memenuhi unsur Pasal 55 KUHP,
sehinga majelis hakim tidak sependapat dengan pledoi terdakwa dan kuasa
hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari merencanakan akan mengajukan banding
tetapi tidak jadi. Dalam persidangan di PN Jakarta Selatan. Antasari dijatuhi pidana
penjara 18 tahun. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperkuat
hukuman yang dijatuhkan PN Jakarta Selatan7.
Mahkamah Agung juga menolak permohonan kasasi yang diajukan. Antasari
kemudian mengajukan Peninjaun Kembali dan membawa tiga bukti baru dan 48
kekhilafan hakim yang menjadi dasar buat dirinya mengajukan Peninjaun Kembali.
Namun Peninjauan Kembali tersebut juga ditolak Mahkamah Agung. Tak puas
dengan hal itu, Antasari menggugat KUHAP melalui uji judicial review ke
Mahkamah Konstitusi.
Pada 8 Maret 2013 Antasari Azhar menggugat ke Mahkamah Konstitusi
untuk melakukan judicial review atas Pasal 268 ayat (3) undang-undang No. 8
Tahun 1981 Tentang KUHAP yang memperbolehkan pengajuan Peninjauan
6 Lihat http://www.kompasiana.com/andiansyori/tangisan-antasari-azhar-keadilan-tidak-dapat-
dibatasi-dengan-waktu_54f82c8ca33311a3738b53d1. 12:14 WIB tgl 27 Oktober 2015.
7 ibid
Page 5
5
Kembali hanya bisa diajukan satu kali. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa Pasal
268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, melanggar Pasal
28J ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Pasal tersebut menurut Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterapkan untuk
membatasi Peninjaun Kembali hanya satu kali karena sangat terkait dengan Hak
Asasi Manusia yang paling mendasar yaitu menyangkut kehidupan manusia.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa asas yuridis overted memang harus ada
karena berkaitan dengan kepastian hukum. Namun untuk keadilan yang berkaitan
dengan perkara pidana asas tersebut tidak dapat diterapkan karena hanya dengan
Peninjaun Kembali satu kali, terlebih lagi ditemukanya bukti baru (novum) hal ini
bertentangan dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi.
Dalam isi permohonan yang diajukan oleh Antasari Azhar ke Mahkamah
Konstitusi, bahwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel, telah diputus pada tanggal 11 Februari 2010, putusan
mana telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan putusan
Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 2010; Bahwa
terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 September
2010, Pemohon I mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali
dan diputus oleh Mahkamah Agung Nomor. 117/PK/Pid/2011 tanggal 13 Februari
2012 yang memutuskan menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan.
Bahwa karena telah mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, maka
berdasarkan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
KUHAP, Pemohon 1 tidak memiliki upaya hukum lain untuk membersihkan
namanya, jika suatu saat terdapat bukti baru, yang memberikan putusan yang
Page 6
6
berbeda dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel tanggal 11 Februari 2010 juncto putusan Mahkamah
Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 20108.
Pemohon Antasari Azhar, Perseorangan warga negara Indonesia selaku
terpidana pada perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel yang telah diputus pada tanggal 11 Februari 2010.
Terhadap putusan tersebut Pemohon Antasari Azhar, mengajukan upaya hukum
biasa yaitu permohonan kasasi yang diputus oleh Mahkamah Agung dengan
Putusan Nomor 1429K/Pid/2010, tanggal 21 September 2010 dan terhadap putusan
tersebut, Pemohon Antasari Azhar, mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan
Kembali dan telah diputus oleh Mahkamah Agung Nomor 117/PK/Pid/2011,
tanggal 13 Pebruari 2012, yang amarnya menyatakan menolak permohonan
Peninjauan Kembali yang diajukan Pemohon Antasari Azhar. Pemohon bermaksud
mengajukan Peninjauan Kembali terhadap perkara tersebut, namun karena
berlakunya Pasal 268 ayat (3) KUHAP, Pemohon Antasari Azhar, tidak dapat
mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali lagi untuk membersihkan namanya,
jika suatu saat terdapat keadaan baru yang dapat memberikan putusan berbeda
dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel, tanggal 11 Februari 2010 juncto putusan Mahkamah
Agung Nomor 1429K/Pid/2010, tanggal 21 September 2010. Atas dasar dalil
tersebut yang dihubungkan dengan hak konstitusional yang ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1),
8 Lihat putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali
Berulang Kali.
Page 7
7
menurut Mahkamah Konstitusi, Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional
yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi serta terdapat hubungan sebab
akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian yang
apabila dikabulkan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti
yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi9.
Berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan
permohonan Peninjauan Kembali bekali-kali. Sebelumnya Mahkamah Agung
sudah lebih dulu megabulkan Peninjaun Kembali lebih dari sekali. Setidaknya ada
sekitar tujuh kali Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali yang
diajukan kedua kali. Hal ini berkaitan dengan Surat Edaran Mahkamah No. 10
Tahun 2009 yang isinya menghimbau agar Peninjaun Kembali itu tertib dan
mengaitkan dengan Pasal 268 ayat (3) KUHAP, tetapi di dalamnya juga mengatur
bahwa;
Apabila ada bukti yang saling bertentangan antara satu dengan
lainya maka Peninjauan Kembali tersebut dapat diperiksa.
Dari kasus posisi yang disebutkan di atas maka pertimbangan hakim dalam
kasus Antasari Azhar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013
Tentang Peninjauan Kembali Berulang Kali. Bahwa para Pemohon mendalilkan
Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat
(1), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun1945, penjelasanya sebagai berikut; Pasal 1 ayat (3) yang
9 Ibid
Page 8
8
menyatakan Negara Indonesia adalah Negara Hukum Pasal 24 ayat (1) yang
menyatakan :
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
Pasal 28C ayat (1) menyatakan :
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia,
Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
Mahkamah Konstitusi mengadili mengabulkan permohonan para Pemohon
Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Pasal 268 Ayat (3) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat10.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014. Berdasarkan amar
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014
butir 1.2 dinyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang - Undang Nomor 8 Tahun
10 Ibid
Page 9
9
1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk terwujudnya kepastian hukum permohonan Peninjauan Kembali,
SEMA perlu memberikan petunjuk sebagai berikut:
1. Bahwa pengaturan upaya hukum Peninjauan Kembali, selain diatur dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yang normanya telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas,
juga diatur dalam beberapa Undang-Undang, yaitu: a). Undang - Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Pasal 24 Ayat (2), berbunyi:
“Terhadap putusan Peninjauan Kembali tidak dapat dilakukan Peninjauan
Kembali” b). Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang -
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang -
Undang Nomor 3 Tahun 2009 Pasal 66 ayat (1), berbunyi: “Permohonan
Peninjauan Kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”
2. Bahwa dengan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
Pasal 268 ayat (3) Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI/2013
tanggal 6 Maret 2014, tidak serta merta menghapus norma hukum yang
mengatur permohonan Peninjauan Kembali yang diatur dalam Pasal 24 ayat
(2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
Page 10
10
1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 tersebut;
3. Berdasarkan hal tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa
permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1
(satu) kali;
4. Permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali
terbatas pada alasan yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 10 Tahun 2009 tentang pengajuan Peninjauan Kembali yaitu
apabilah ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan
Peninjauan Kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam
perkara perdata maupun perkara pidana;
5. Permohonan Peninjauan Kembali yang tidak sesuai dengan ketentuan
tersebut di atas agar dengan penetapan Ketua Pengadilan tingkat pertama
permohonan tersebut tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu
dikirim ke Mahkamah Agung sebagaimana telah diatur dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 200911.
Berkaitan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 yang
memeperkuat Peninjaun Kembali hanya satu kali. Dalam hal ini bahwa keadilan
merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang tidak hanya keadilan,
tetapi juga kepastian hukum, dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus
mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim misalnya sedapat mungkin
11 Surat Edara Mahakamah Agung No. 7 Tahun 2014 Tentang Peninjauan Kembali.
Page 11
11
merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang
berpendapat, diantara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang
paling penting, bahkan ada yang berpendapat bahwa keadilan merupakan tujuan
hukum satu-satunya. Contohnya ditunjukan oleh seorang hakim Indonesia, Bismar
Siregar mengatakan;
Bila untuk menegakan keadilan saya korbankan kepastian hukum,
akan saya korbankan hukum itu, hukum hanya sarana, sedangkan
tujuanya adalah keadilan12.
Dalam perkembangannya falsafah keadilan sering dikaitkan dengan salah
satu bidang pranata kehidupan yaitu hukum karena keadilan merupakan tujuan yang
paling utama dari hukum. Permasalahnya bila hukum ternyata tidak mampu
mewujudkan nilai keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
Keadilan adalah tolak ukur baik buruknya suatu hukum. Hal ini diperkuat
dengan teori-teori keadilan salah satunya ide dasar aliran Stoa didasarkan atas dua
prinsip yaitu jangan merugikan seseorang dan berikanlah kepada tiap-tiap manusia
apa yang menjadi haknya. Jika prinsip ini ditaati barulah hal itu disebut adil13.
Pendapat aliran hukum alam menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan
dengan prinsip keadilan, sehingga pada norma hukum alam primer yang terdapat
Stoisme menyatakan bahwa “berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi
haknya (unicuique suumtribuere) dan jangan merugikan seseorang (neminem
laedere). Cicero mengatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentukan oleh
pendapat manusia tetapi oleh alam14.
12 Muhamad Erwin, Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajawali Pers,2012.. h.218
13 ibid.,228
14 Ibid.
Page 12
12
Sementara menurut pandangan kaum utilitarianisme, ukuran satu-satunya
untuk mengukur sesuatu adil atau tidak adalah seberapa besar dampaknya bagi
kesejateraan manusia (human wefare). Menurut aliran Realisme Hukum yang salah
satu tokohnya John Rawls (A Theory of Justice 1971) berpendapat perlu ada
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Ukuranya
keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut keadilan. Memperlakukan
keadilan sebagai kebijakan utama, berarti memberikan kesempatan secara adil dan
sama bagi setiap orang untuk mengembangkan serta menikmati harga diri dan
martabatnya sebagai manusia15.
Falsafah keadilan adalah untuk mencari jalan keluar dari belenggu kehidupan
secara rasional dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan
dalam hidupnya. Peranan filsafat keadilan tak pernah selesai terkait dengan
persoalan hukum yang selalu mencari keadilan, hukum dan keadilan adalah dua hal
yang berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan. Hukum dibuat dan ditetapkan
agar orang yang berada dibawah naungan hukum menikmati dan merasakan
keadilan. Akan tetapi kenyataannya hukum sering kali bertentangan dengan nilai
keadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana kaitan antara keduanya, serta
dalam kondisi mana hukum sebagai perangkat paling khas dalam masyarakat untuk
menciptakan tata kehidupan masyarakat dan melaksanakan kebijakan dapat dipakai
untuk tujuan keadilan sosial.
Pandangan Aristoteles tentang tujuan hukum bahwa suatu negara didasarkan
atas hukum sebagai satu-satunya sarana yang tepat dan dapat digunakan untuk
15 Ibid.. h.230
Page 13
13
mencapai kehidupan lebih baik yang merupakan tujuan utama organisasi politik16.
Akan tetapi Aristoteles menyadari bahwa dalam pelaksanaan hukum bukan tidak
mungkin untuk kasus-kasus konkrit akan terjadi kesulitan akibat penerapan hukum
yang kaku. Untuk mengatasi masalah tersebut, Aristoteles menguslkan adanya
equality sebagai koreksi terhadap hukum apabilah hukum itu kurang tepat karena
bersifat umum17 .
Sedangkan Teorinya Gustav Radbruch mengajarkan adanya skala prioritas
yang harus dijalankan, dimana perioritas pertama selalu keadilan, kemudian
kemanfaatan, dan terakhir barulah kepastian hukum. Hukum menjalankan
fungsinya sebagai sarana konservasi kepentingan manusia dalam masyarakat.
Tujuan hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai yang membagi hak dan
kewajiban antara setiap individu didalam masyarakat. Hukum juga memberikan
wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara
kepastian hukum18.
Berbicara mengenai tujuan hukum pada menurut Gustav Radbruch memakai
asas prioritas. Asas prioritas tersebut dijadikan sebagai sebagai tiga nilai dasar
tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Setiap hukum
yang diterapkan memiliki tujuan spesifik. Tujuan hukum adalah sekaligus keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum maka faktanya hal tersebut akan menimbulkan
masalah. Tidak jarang antara kepastian hukum berbenturan dengan kemanfaatan,
16 Peter.Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana Pernada Media Group 2008.,h.107
17 Ibid.
18 Dilihat https://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-tujuan-hukum-
menurut-gustav-radbruch/, 21 Oktober 2015, jam 14:15 WIB.
Page 14
14
antara keadilan dengan kepastian hukum, dan antara keadilan terjadi benturan
dengan kemanfaatan. Contoh yang mudah untuk dipahami adalah jika hakim
dihadapkan dalam sebuah kasus untuk mengambil sebuah keputusannya adil19.
Pembaruan oleh hakim melalui putusannya juga tidak bisa dilakukan secara
maksimal, selain pengaruh civil law system yang menghendaki hakim mendasarkan
diri secara ketat pada bunyi Undang-Undang meski Undang-Undang tersebut telah
ketinggalan zaman. Maka penerapan keadilan dalam pembuatan putusan bukanlah
hal mudah untuk dilakukan. Paradigma berpikir hakim juga lebih condong
mendasarkan diri pada filsafat positivisme hukum. Melihat dari sudut pandang ini
tujuan utama hukum menjadi bukan keadilan melainkan kepastian. Hanya hal yang
bersifat pasti saja yang dapat dijadikan ukuran kebenaran. Ukuran adil cenderung
disesuaikan dengan rasa keadilan pribadi masing-masing. Masyarakat pada
umumnya masih beranggapan putusan hakim yang ada masih kaku dengan dengan
bunyi aturan dalam Undang-Undang. Keadilan adalah hak asasi yang harus
dinikmati oleh setiap manusia yang mampu mengaktualisasikan segala potensi
manusia.
Hukum memiliki fungsi tidak hanya menegakkan keadilan tetapi juga
menegakan kepastian dan kemanfaatan. Berkaitan dengan hal tersebut asas prioritas
yang telah ditelurkan Gustav Radbruch menjadi titik terang dalam masalah ini.
Prioritas keadilan dari segala aspek lain adalah hal penting. Kemanfaatan dan
kepastian hukum menduduki strata dibawah keadilan. Faktanya sampai saat ini
19 Ibid.
Page 15
15
diterapkannya asas prioritas ini membuat proses penegakan dan pemberlakuan
hukum positif di Indonesia masih dapat berjalan.
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 268 ayat
(3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Mendapatkan banyak
pendapat yang melahirkan pro dan kontra. Kepala Biro Hukum dan Humas
Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur berpendapat bahwa;
Ketentuan Peninjauan Kembali yang membatasi sebenarnya
menyangkut kepastian hukum dan keadilan. Pembatasan itu
masuk ruang lingkup hukum acara yang menjadi pedoman court
of justice peradilan. Peninjauan Kembali boleh berkali-kali,
sampai kapan batas akhirnya, akan lebih banyak perkara narkoba
dan korupsi mengajukan Peninjauan Kembali. Putusan
Mahkamah Konstitusi yang memboleh Peninjauan Kembali lebih
dari sekali juga bisa berimplikasi menghambat pelaksanaan
putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Ketika perkara
sudah dieksekusi, beberapa tahun kemudian seseorang
mengajukan Peninjauan Kembali lagi, sepertinya perkara
tersebut tidak ada akhirnya.20
Sedangkan pendapat yang berbeda disampaikan oleh Hakim Agung Gayus
Lumbuun mengatakan:
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan berlakunya
Pasal 268 ayat (3) KUHAP merupakan putusan yang arif dan
bijaksana dalam memahami tujuan hukum yang harus memberi
kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Gayus Lumbuun
mengatakan semangat putusan Mahkamah Konstitusi itu bukan
hal baru sebagai terobosan hukum untuk memberi jaminan
kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan kepada masyarakat.
Sebab SEMA No. 10 Tahun 2009 tertanggal 12 Juni 2009
membolehkan pengajuan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali
baik terhadap perkara Perdata maupun Pidana. Memberi
kesempatan Peninajaun Kembali lebih dari sekali juga tidak
menjadikan menumpuknya perkara. Soalnya persyaratan
pengajuan Peninjauan Kembali seperti diatur Pasal 268 ayat (2)
KUHAP, seperti adanya keadaan baru (novum) tetap
20 Agus Sahbani, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt531a71cbc4e1c/putusan-mk-tentang-
pk-mengkhawatirkan. Dilihat 14:52 WIB, 21 Oktober 2015.
Page 16
16
berlaku.Menurut Gayus Lambuun, materi putusan Mahkamah
Konstitusi itu harus disikapi dalam revisi KUHAP yang tengah
berjalan. Jika materi revisi KUHAP tidak menyikapi persoalan ini
dengan memberi jalan keluar dalam penerapannya, Mahkamah
Agung bisa membuat peraturan untuk mengisi kekosongan hukum
dalam menjalankan kekuasaan kehakiman demi hukum keadilan
dan Kebenaran21.
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat berpendapat bahwa:
Diperbolehkannya Peninjauan Kembali diajukan berkali- kali
justru mempertimbangkan asas kehati-hatian dalam memutus.
Dengan prinsip, jika ditemukan novum, upaya hukum luar biasa
itu bisa diajukan dan itu bisa berulang kali22.
Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva menegaskan
bahwa:
Ketentuan Peninjauan Kemabali berkali-kali seharusnya tidak
menjadi polemik untuk mempertanyakan di mana letak kepastian
hukumnya. Menurutnya, harusnya mengetahui vonis pada tingkat
kasasi telah memberikan kepastian hukum. Karena itu seharusnya
eksekusi bisa dilaksanakan. Kalau tidak bisa dilaksanakan karena
adanya ketentuan Peninjauan Kembali bisa diajukan berkali-
kali23.
Di sisi lain Hakim Agung Suhadi menyatakan :
Peninjauan Kembali di ajukan berulang kali dalam perkara
pidana hanya dapat diajukan satu (1) kali adalah untuk
memberikan kepastian hukum. Selain itu, lambatnya eksekusi
terhadap gembong narkoba24. Hal senada juga diutarakan oleh
hakim ad-hoc tindak pidana korupsi pada tingkat kasasi, Prof.
Dr. Krisna Harahap. Kalau boleh dua kali, tiga kali, empat kali
dan seterusnya, kapan bisa dieksekusi 25.
21 Ibid.
22 Koran Sindo, http://nasional.sindonews.com/read/946663/149/ma-dinilai-membangkangi-
konstitusi-1420520533. Diliahat 15:25 WIB, 21 Oktober 2015.
23 ibid
24 Andi Saputra, http://news.detik.com/berita/2792201/lambatnya-eksekusi-gembong-narkoba-
jadi-salah-satu-alasan-keluarnya-sema. Dilihat 15:35 WIB, 21 Oktober 2015.
25 Ibid..
Page 17
17
Ketatnya persyaratan untuk permintaan Peninjauan Kembali adalah untuk
menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian hukum, oleh
karena itu Peninjauan Kembali berorientasi pada tuntutan keadilan. Putusan Hakim
adalah karya manusia yang tidak luput dari kekhilafan Hakim secara manusiawi.
Fungsi Mahkamah Agung dalam Peradilan Peninjauan Kembali adalah untuk
mengadakan koreksi terakhir terhadap Putusan Pengadilan yang mengandung
ketidakadilan karena kesalahan dan kekhilafan Hakim. Oleh karena itu walaupun
pranata Peninjauan Kembali semata-mata didasarkan pada syarat dan pertimbangan
hukum tetapi tujuannya adalah demi keadilan bagi terpidana26.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini semula dimuat dalam Penjelasan
yang berbunyi;
Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak
berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).
Materi penjelasan tersebut kemudian diangkat ke dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (perubahan ketiga)
berbunyi:
Negara Indonesia adalah negara hukum.
Demikian pula tentang kekuasaan kehakiman yang mandiri, diangkat dari
Penjelasan menjadi batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Repubik
26 Lihat Makalah Tentang Peninjauan Kembali, oleh H. Abdul Kadir Mappong, S.H., (Wakil
Ketua Mahkamah Agung RI, Bidang Yudisial)
Page 18
18
Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 yat (1). Hal ini akan menguatkan konsep negara
hukum Indonesia27.
Didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 24A ayat (1) (perubahan ketiga), Mahkamah Agung berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-
Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainya yang
diberikan oleh Undang-Undang. Wewenang Mahkamah Agung melakukan
pengujian terhadap peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang
selama ini diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 26 ayat (1) yang berbunyi;
Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua
peraturan Perundang-Undang dari tingkat yang lebih rendah
dari Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan
pertauran Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
Wewenang tersebut dipertegas kembali dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973
dan Ketetapan MPR No. III/ MPR/1973, Pasal 11 Ayat (4) menyatakan:
Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil
peraturan Perundang-Undang dibawah Undang-Undang.
Diatur kembali dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004
Tentang Perubahan Pertama Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung28.
27 Ni’matul Huda. Lembaga Negara Hukum Masa Trnsisi Demokrasi. UII Pres Yogyakarta 2007.,
h.129-130
28 Ni’imatul Huda. dan R. Nazariyah. Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan.
Penerbit Nusantara Media 2011.,h.134-135
Page 19
19
Dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Pasal 24C ayat (1), Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kewenangan tersebut adalah dalam tingkat pertama dan terakhir dan Putusan
Mahkamah Konstitusi bersifat final yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum
tetap dan tidak terdapat upaya hukum untuk mengubahanya. Selain wewenang itu,
berdasarkan Pasal 24C ayat (2) jo Pasal 7B, Mahkamah Konstitusi juga
berkewajiban untuk memeriksa, mengadili dan memutus mengenai pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat
lainya atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden29.
Berdasarkan wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan
pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) terkait dengan empat
wewenang dan satu kewajiban yang dimilikinya. Hal itu membawa konsekuensi
Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of
the constitution). Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan
negara berdasarkan hukum tertinggi mengatur penyelenggaaraan negara
berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi sehingga menjadi
29 Ibid., h. 144
Page 20
20
hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi juga
berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardion of the democrazy), pelindung
hak konstitusi warga negara (the protector of the citizen’s constitusional rights)
serta perlindungan hak asasi manusia (the protector of human rights)30.
Sebagai lembaga negara produk reformasi, Mahkamah Konstitusi menjadi
tumpuan ekspektasi masyarakat yang menginginkan terjadinya perbaikan dalam
bidang penegakan hukum. Terkait dengan penegakan prinsip keadilan, Mahkamah
Konstitusi mengedepanan keadilan subtantif yaitu keadilan yang lebih disadarkan
pada kebenaran material dari pada kebenaran formal-prosudural. Hal ini secara
formal-prosudural benar bisa saja disalahkan jika secara material dan subtansinya
melanggar keadilan. Inilah yang terjadi pada pembatasan peromohonan Peninjauan
Kembali yang di batasi satu kali hal ini dapat mencederai rasa keadilan untuk setiap
individu dalam mencari keadilan.
Berkaitan dengan penegakan prinsip keadilan oleh Mahkamah Konstitusi
melahirkan tafsir yang ditentukan dalam putasan Mahkamah Konstitusi dipenuhi
maka suatu norma atau Undang-Undang tetap konstitusional sehingga
dipertahankan legalitasnya. Adapun jika tafsir yang ditentukan dalam putusan
Mahkamah Konstitusi tidak dipenuhi maka suatu norma hukum atau Undang-
Undang menjadi inkonstitusional sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat31.
30 Ibid.,h.145
31 Ibid hlm 148-149
Page 21
21
Dalam praktek dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji
atau yang biasa disebut sebagai norm control mechanism. Ketiganya sama-sama
merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan
hukum, yaitu : (i) keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan
(regeling), (ii) keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif
(beschekking) yang biasa disebut vonis32. Ketiga bentuk norma hukum tersebut ada
yang merupakan individual and concrete norms,dan ada pula yang merupakan
general and abstract norm, vonnis dan beschikking selalu bersifat individual and
concrete, sedangkan regeling selalu bersifat general and abstract33.
Seringkali bentuk-bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga
yang bersifat khusus atau independen tersebut dapat dikatagorikan sebagai
peraturan umum yang tunduk kepada prinsip hirarki hukum berdasarkan tata urutan
peraturan Perundang-Undangan yang lazim. Produk hukum pengaturan yang
ditetapkan oleh pejabat tertentu yang secara protokoler sederajat tidak dapat
dikatakan selalu mengikuti tingkatan pejabat yang menetapkan. Misalnya Gubernur
Bank Indonesia memang secara portokoler sederajat dengan Menteri. Akan tetapi
produk peraturan yang ditetapkanya sama seperti Peraturan Pemerintah, yaitu
menjalankan Undang-Undang. Karena itu, kedudukan peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh lembaga-lembaga khusus itu lebih tepat disebut juga sebagai
peraturan yang bersifat khusus (Lex Specialis). Semua peraturan yang ditetapkan
oleh lembaga khusus dan independen itu dapat diperlukan sebagai bentuk peraturan
32 Jimly A Pengujian Undang-Undang, Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.
Cetakan Kedua, Sekertariatan Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h
1.
33 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Pjjress, Jakarta, 2006, h 6.
Page 22
22
khusus yang tunduk pada prinsip Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Termasuk
dalam katagori ini misalnya Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah
Konstitusi, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Komisi Pemilihan Umum,
Peraturan Komisi Hak Asasi Manusia, Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia,
Peraturan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan, dan sebagainya34.
Berkaitan dengan permasalahan hukum secara hirarki antara Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali
Berulang Kali dengan SEMA No. 7 Tahun 2014 Tentang Peninjauan Kembali
bahwa SEMA No. 7 Tahun 2014 Tentang Peninjauan Kembali ini bertentangan
Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sejumlah
Undang-Undang seperti Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1), Undang-undang No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 48 Tahun 1999 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, dan putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013
.Mahkamah Agung keliru memahami putusan Mahkamah Konstitusi, seharusnya
putusan itu tidak semata-mata sebagai dasar terpidana mengajukan Peninjauan
Kembali lebih dari satu kali, tetapi jaminan negara bagi setiap orang untuk
mengakses keadilan dengan menemukan bukti baru (novum) yang belum pernah
ditemukan dalam sidang sebelumnya. Secara hirarki Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 34/PUU-XI/2013 setara dengan Undang-Undang sebagai penganti kekosongan
hukum dalam Peninjauan Kembali lebih dari satu kali (regeling). Sedangkan SEMA
sendiri secara hirarki tidak setara dengan Undang-Undang, SEMA hanya berlaku
34 ibid.h.80.
Page 23
23
ditataran internal Mahkamah Agung sebagai himbauan kepada para hakim-hakim
dibawah peradilan Mahkamah Agung (beschikking).
Mahkamah Agung tidak berwenang membuat Peraturan yang materi muatan
seharusnya dituangkan dalam norma Undang-Undang. Sebab Pasal 8 Ayat (1) dan
Ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, telah menggariskan dimungkinkannya penerbitan SEMA
yakni hanya dalam keadaan mendesak, terdapat peraturan terkait tidak jelas yang
butuh penafsiran, substansinya tidak bertentangan dengan peraturan Perudang-
Undangan. SEMA yang dikeluarkan bukanlah peraturan, tetapi dilihat dalam
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, dimungkinkan SEMA berisi materi peraturan, seperti yang dikeluarkan
Mahkamah Agung. Tetapi SEMA No. 7 Tahun 2014 Tentang Peninjauan Kembali,
seharusnya diatur dalam bentuk Undang-Undang sebagai tindak lanjut dari Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali lebih
dari satu kali.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Peninjauan Kembali, Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut
dengan KUHAP, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena
membatasi Peninjauan Kembali oleh terdakwa lebih dari satu kali. Dengan alasan
keadilan, Mahkamah Konstitusi menyatakan tak memberlaku pasal tersebut, yang
merugikan kedudukan Pemohon yang dalam hal ini ialah Antasari Azhar. Putusan
Mahkamah Konstitusi ini membuka jalan bagi Antasari Azhar untuk melakukan
Page 24
24
Peninjauan Kembali atas putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung yang
tetap memberikan hukuman bagi dirinya.
Pengajuan uji materil ke Mahkamah Konstitusi oleh Antasari Azhar telah
dilakukan pada tanggal 25 April 2013. Dengan hanya diijinkan sekali mengajukan
Peninjauan Kembali, maka menjadi rintangan bagi Antasari Azhar untuk
mengajukan lagi Peninjauan Kembali terkait kasus yang menimpanya. Menurut
Antasari Azhar pada waktu itu, ia sudah mempunyai bukti baru dan kuat. Putusan
ini menyiratkan bahwa Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih dari sekali
sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 268 ayat (2) KUHAP. Kutipan
Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 34/PUU-XI/2013:
Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Pasal 268
ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa upaya hukum luar biasa
Peninjauan Kembali secara historis dan filosofis merupakan upaya hukum yang
lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Hal itu berbeda dengan upaya hukum
biasa yang berupa banding atau kasasi yang harus dikaitkan dengan prinsip
kepastian hukum. Sebab, jika tidak adanya limitasi waktu pengajuan upaya hukum
biasa itu, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang melahirkan
ketidakadilan karena proses hukum tidak selesai. Selain itu, alasan lain Mahkamah
Konstitusi ialah upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan
kebenaran materil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan
formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali, yang di
dalam KUHAP, hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin saja setelah diajukannya
Page 25
25
Peninjauan Kembali dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial, yang
baru ditemukan saat Peninjauan Kembali sebelumnya belum ditemukan.
Sementara KUHAP sendiri bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia
dari kesewenang-wenangan negara terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai
hak fundamental. Hak tersebut dijamin dalam konstitusi sebagaimana tersebut di
dalam Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karenanya, Peninjauan Kembali sebagai
upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP harus lah dalam kerangka yang
demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi
menegaskan bahwa upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi.
Namun tidak demikian dengan upaya pencapaian keadilan. Sebab keadilan
merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar dan lebih mendasar daripada
kepastian hukum. “Kebenaran materil mengandung semangat keadilan, tetapi
norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang
mengabaikan asas keadilan.” Karenanya, upaya hukum menemukan kebenaran
materil demi memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dan menempatkan
terdakwa menjadi terpidana. Hal ini dipertegas dengan Pasal 268 ayat (1) KUHAP
yang menyebut, “Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan tidak
menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.”
Menurut Mahkamah Konstitusi, ada pembatasan hak dan kebebasan yang diatur di
dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, namun demikian, hal itu tidak dapat disalahartikan untuk membatasi
pengajuan Peninjauan Kembali hanya satu kali. Sebab, pengajuan Peninjauan
Page 26
26
Kembali perkara pidana sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling
mendasar yang menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia. Lagi pula,
pengajuan Peninjauan Kembali tidak terkait dengan jaminan pengakuan,
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Menurut Mahkamah Konstitusi, dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri
oportet, yang berarti bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. Namun asas itu
terkait dengan kepastian hukum, sedangkan dalam hal keadilan dalam perkara
pidana, asas itu tidak dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan
Peninjauan Kembali hanya satu kali, terlebih, manakala ditemukan adanya keadaan
baru (novum), maka hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu
dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia. Hal ini sebagaimana
terdapat dalam konstitusi, yaitu untuk menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesa Tahun 1945). Hal ini
juga sebagai konsekuensi dari asas negara hukum.
Maksud baik dari Mahkamah Konstitusi tersebut memunculkan kekhawatiran
yang lain, yaitu peluang untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali
putusan kasus pidana secara berkali-kali tanpa memperhatikan atau menyadari
bahwa “novum” yang diajukan, sesungguhnya bukanlah bukti baru. Tentunya
Mahkamah Agung harus memperketat syarat permohonan Peninjauan Kembali,
dengan dapat mengatur lebih lanjut substansi yang terdapat dalam putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, misalnya dalam bentuk Peraturan Mahkamah
Agung. Hal ini merupakan peraturan yang lebih memperjelas substansi putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, dalam ranah hukum acara di Mahkamah Agung dan
badan peradilan di bawahnya. Hal ini juga untuk menghindari salah tafsir adanya
Page 27
27
pertentangan asas kepastian hukum dan asas keadilan di dalam putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, dan salah tafsir dengan mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali berkali-kali.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah sampaikan di atas maka rumusan dari
penulisan ini sebagai berikut:
- Bagaimana analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
No.34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali Berulang Kali,
untuk melahirkan keadilan yang substantif.
C. Tujuan
Untuk mengetahui bahwa putusan yang di sahkan oleh Mahkamah
Konsstitusi dapat melahirkan kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan sebagai
pertimbangan Hakim pada Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013
Tentang Peninjauan Kembali lebih dari satu kali.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan melalui penilitian ini dari segi teoritis :
- Pengembangan ilmu pengetahuan dalam memutus perkara Peninjauan
Kembali yang dapat melahirkan, keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan.
Page 28
28
Sedangkan pada tataran praktis:
- Memberikan masukan kepada lembaga hukum dalam hal ini Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Agung dan para penegak hukum yaitu para hakim
yang memeriksa permohonan Peninjauan Kembali yang kedua kali,
semata untuk melahirkan keadilan bukan saja melihat pada tataran
kepastian hukum semata.
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan
Yuridis Normatif yakni pendekatan terhadap masalah dengan melihat norma-
norma/ ketentuan hukum yang berlaku.
a. Jenis Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan adalah Yuridis Normatif. Dikatakan
demikian karena sasaran penelitian Normatif diarahkan untuk pengkajian
Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang
Peninjauan Kembali lebih dari satu kali dengan mengaitkan pada ketentuan
yang berlaku.
b. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi :
Studi kepustakaan meliputi bahan-bahan :
- Bahan Hukum Primer
Yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Page 29
29
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-
XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali lebih dari satu kali dan Deklarasi
Universal Tentang Hak-Hak Asasi Manusia.
- Bahan Hukum Sekunder
Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum;
Keadilan Kepastian Dan Kemanfaatan (Prespektif Filsafat Hukum);
- Bahan hukum tersier
Kamus Aneka Filsafat Hukum
F. Sistimatika Penulisan
a. BAB I : Pada Bab ini berisikan uraian orientasi tentang penelitian yang akan
dilakukan. Meliputi :
- Latar Belakang Masalah
- Rumusan Masalah
- Tujuan
- Manfaat Penelitian
- Metode Penelitian
BAB II : Bab ini berisikan uraian kerangka teori, hasil penelitian dan analisis
permasalahan penelitian. Penulis akan menguraikan hasil dari analisa
Page 30
30
tentang kasus yang dipelajari, yaitu tentang Dissenting Opinion dalam
kasus putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tentang
pembataan peninjauan kembali lebih dari satu kali
BAB III : Bab ini berisikan penutup yaitu kesimpulan dan saran penulis.