Inilah Pledoi Lengkap Anas UrbaningrumJum'at, 19 September 2014
, 19:58:00 WIBLaporan: Ade Mulyana
RMOL. Sehari setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), tepatnya tanggal 22 Februari 2013,
Anas Urbaningrum mengundurkan diri sebagai Ketua Umum DPP Partai
Demorkat. Anas yang terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat
dalam Kongres II di Bandung, Jawa Barat, pada 20-23 Mei 2010
dituduh KPK menerima gratifikasi terkait proyek Hambalang dan
proyek-proyek lainnya, serta pidana pencucian uang.
Kemarin, Anas membacakan nota pembelaan atau pledoi di
Pengadilan Tipikor Jakarta. Redaksi Rakyat Merdeka Online memandang
penting untuk memuat pledoi Anas tersebut.
Inilah pledoi lengkap Anas Urbaningrum;
NOTA PEMBELAAN(PLEDOI)ANAS URBANINGRUMAtasSurat Tuntutan Jaksa
Penuntut UmumKomisi Pemberantasan KorupsiDi Pengadilan Tindak
Pidana KorupsiPengadilan Negeri Jakarta Pusat18 September 2014
Assalamualaikum Wr. Wr.Salam sejahtera untuk kita sekalianYang
Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim,Yang Terhormat Jaksa Penuntut
Umum,Yang Terhormat Penasihat Hukum,Para hadirin-hadirat dan para
wartawan yang saya hormati.
Hari ini adalah saat bersejarah bagi saya karena akan membacakan
Nota Pembelaan (Pledoi) pribadi selaku Terdakwa dipersidangan ini.
Karena itulah saya mengucapkan terima kasih kepada Ketua Majelis
Hakim yang berkenan memberikan kesempatan kepada saya untuk
menyampaikan Nota Pembelaan pada persidangan yang terhormat ini.
Terima kasih juga saya sampaikan atas jalannya persidangan yang
baik, sungguh-sungguh, terbuka, bebas dan berhasil membuka
fakta-fakta penting terkait dengan kasus yang didakwakan kepada
saya. Tidak keliru kalau saya menyebut persidangan ini sebagai
persidangan yang berkualitas.
Persidangan yang berkualitas tidak akan hadir tanpa kepemimpinan
sidang yang berkualitas pula. Kualitas persidangan sanagat
ditentukan oleh kesungguhan dan kecakapan Ketua Majelis dan dibantu
oleh para Anggota Majelis di dalam memandu dan memimpin jalannya
persidangan. Kami semua bisa menilai dan merasakannya, demikian
pula publik yang mengikuti persidangan ini, baik yang hadir secara
langsung maupun yang mengikuti lewat pemberitaan media massa.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum yang
telah menjalankan tugasnya secara amat sering. Sangat mungkin kasus
yang didakwakan dan proses persidangan ini bagi Jaksa Penuntut Umum
adalah sesuatu yang khas dan tidak akan ditemukan lagi pada
persidangan-persidangan yang lain. Saya juga menghormati kerja
keras Jaksa Penuntut Umum yang menyebut berangkat dari kepentingan
obyektif, meskipun dijalankan dengan metode yang subyektif dan pada
akhirnya tidak menghormati obyektifitas yang terbentang jelas di
dalam persidangan ini.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Penasihat Hukum
yang sabar, telaten dan gigih mendampingi saya, baik dalam proses
penyidikan maupun persidangan. Saya menghargai toleransi dan
pengertian para Penasihat Hukum kepada saya yang berusaha belajar
maksimal di dalam ikhtiar agar terbentang terang fakta-fakta ynag
sesungguhnya terkait dengan kasus yang didakwakan kepada saya.
Terima kasih tidak lupa saya sampaikan kepada para sahabat, baik
yang hadir maupun tidak hadir di persidangan, yang tulus memberikan
doa dan simpati serta merindukan berlakunya keadilan. Ketika Ali
bin Abi Thalib ditanya tentang sahabatnya yang sangat banyak,
beliau menjawab akan menghitung jumlah sahabatnya pada saat terkena
musibah.
Terima kasih juga layak disampaikan kepada rekan-rekan wartawan
yang selalu mengikuti persidangan ini, baik yang berani
memberitakan secara obyektif dan berimbang maupun yang sudah
dibekali dengan framing negatif. Tentu saja obyektifitas sangat
dimuliakan dalam kehidupan pers yang sehat dan bertanggung
jawab.
Yang Mulia Majelis Hakim,Yang Terhormat Jaksa Penuntut Umum dan
Penasihat Hukum,Hadirin yang saya hormati.
Pada bagian Pendahuluan Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
memberikan beberapa catatan, mulai tentang Metode Klarifikasi,
Membangun Persepsi, Kualitas keterangan saksi M. Nazaruddin,
Kepentingan Politik, Keterikatan Psikologis Saksi dan Terdakwa dan
Bukan Mengadili Kongres.
Menghadirkan Fakta Yang Benar
Jaksa Penuntut Umum mempersoalkan cara Terdakwa dan Penasihat
Hukum yang menanyakan kepada saksi atas keterangan saksi di dalam
BAP yang belum dihadirkan di persidangan. Padahal hal tersebut
dilakukan dalam rangka mendapatkan klarifikasi dan penjelasan
terkait dengan tuduhan, fitnah dan cerita bohong yang menyangkut
Terdakwa dan para saksi yang dimintakan klarifikasi dan tanggapan.
Sementara klarifikasi dan tanggapan jelas-jelas dilakukan di dalam
persidangan kepada saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut
Umum dan di bawah sumpah. Padahal pada saat yang sama, Jaksa
Penuntut Umum selalu memulai pertanyaan kepada saksi dengan
pertanyaan apakah pernah diperiksa penyidik dan apakah
menandatangani BAP, serta apakah keterangan yang di dalam BAP itu
benar. Kita semua paham bahwa keterangan yang bernilai secara hukum
adalah keterangan yang diberikan di bawah sumpah di dalam
persidangan. Karena itulah klarifikasi atas fitnah dan kebohongan
di dalam BAP adalah penting di dalam persidangan ini.
Sementara itu klarifikasi untuk semakin mendalami keterangan
saksi agar didapatkan keterangan yang otentik dan sesungguhnya
adalah metode yang sahih di dalam pencarian kebenaran materiil di
dalam persidangan. Mendalami dan mengklarifikasi keterangan saksi
atas materi yang sama dan sudah ditanyakan Jaksa Penuntut Umum
adalah bukan untuk mengulang-ngulang dan bertele-tele. Justru hal
tersebut dilakukan untuk kontestasi yang adil dan berimbang di
dalam mendalami keterangan saksi, sehingga dapat terungkap
keterangan yang lengkap dan benar yang pada akhirnya diserahkan
kepada Majelis Hakim untuk menilainya.
Jika Jaksa Penuntut Umum menilai metode klarifikasi sebagai
sebuah penyesatan fakta, hal itu adalah penilaian yang keliru.
Justru sebaliknya, kalau jawaban-jawaban saksi atas pertanyaan
Jaksa Penuntut Umum yang sudah terarah berdasarkan BAP dan dipilih
khusus untuk menjustifikasi dakwaan tidak di dalami lebih lanjut,
maka malah berpotensi penyesatan fakta. Di dalam persidangan yang
terhormat inilah selayaknya terjadi kontestasi yang adil dan
terbuka, sehingga kebenaran fakta-fakta yang otentik dapat
terungkap secara terang benderang. Keengganan untuk melakukan
kontestasi dalam bertanya kepada para saksi dari berbagai sudut
klarifikasi dan penjelasan justru mengundang oertanyaan tersendiri.
Di dalam keawaman saya di bidang hukum, saya memahami persidangan
adalah arena yang adil dan terbuka untuk kontestasi fakta-fakta
secara lengkap dan gamblang sebagai jalan menemukan kebenaran
materiil.
Korban Opini
Jaksa Penuntut Umum melakukan penilaian subyektif bahwa Terdakwa
dan Penasihat Hukum terjebak dalam upaya membangun persepsi, dimana
penilaian tersebut dikaitkan dengan karakteristik Terdakwa sebagai
seorang politisi.
Adalah rangkaian fakta yang tidak terbantahkan bahwa sejak tahu
2011 Terdakwa menjadi korban opini yang tujuannya adalah membangun
persepsi tentang kejahatan korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa
pada proyek Hambalang. Persepsi ini dibangun secara sistematis,
dalam waktu yang panjang, dilakukan secara bertalu-talu dan
bergelombang. Bahwa seolah-olah benar Terdakwa menerima gratifikasi
mobil Harrier dari Adhi Karya atas proyek Hambalang.
Inilah yang kemudian menjadi dasar penetapan sebagai tersangka,
kemudian dikembangkan ke segala arah pada saat penyidikan dan
kemudian akhirnya dibawa ke persidangan. Dalam proses persidangan
itulah yang juga dipaksakan ke dalam dakwaan dan ujungnya ada di
dalam Surat Tuntutan sesuatu yang bukan gratifikasi dan bukan
pemberian dari Adhi Karya dipaksakan sebagai gratifikasi dan
dimulai dengan cara membangun opini secara sistematis.
Hal yang sama adalah tentang persepsi yang dibangun di dalam
dakwaan bahwa sejak tahun 2005 Terdakwa sudah mempersiapkan diri
untuk menjadi Presiden. Selain tidak masuk akal juga tidak ada
bukti yang berkualitas dan dapat dipercaya, kecuali hanya cerita
karangan M. Nazaruddin dan partner kerjanya yang sengaja memberikan
keterangan sesuai dengan arahan M. Nazaruddin, tetapi ketika
didalami di persidangan justru memberikan keterangan yang
berbeda.
Persepsi tentang persiapan untuk menjadi calon Presiden juga
dibangun Jaksa Penuntut Umum melalui beberapa SMS yang ada di dalam
HP istri saya, Athiyyah Laila, dari beberapa orang yang mengirimkan
pesan SMS. Padahal kalau sedikit cermat dan jernih dalam membaca
pesan SMS tersebut adalah jelas isinya doa dan harapan dari para
pengirim pesan. Bukan doa, harapan dan permintaan dukungan dari
istri saya, apalagi dari Terdakwa. Siapapun dengan mudah bisa
memahami bahwa penerima pesan SMS tidak bisa menolak pesan yang
masuk, termasuk materi pesannya. Materi pesan, apakah doa, harapan,
permintaan, atau bahkan kritik dan cacian adalah urusan dan
terserah kepada pengirim pesan. Akan berbeda kalau materi pesan
dikirim dari dan oleh saya (Terdakwa). Justru dengan fakta-fakta
ini, Jaksa Penuntut Umum, berusaha membangun persepsi seolah-olah
itu alat bukti yang layak diyakini sebagai kebenaran.
Terhadap data dan informasi dan pemberitaan dari media tentang
Adik Nazaruddin yang diduga mengarahkan saksi, hal itu dibawa ke
persidangan untuk mendapatkan kejelasan dan bukan untuk membangun
persepsi dan apalagi intimidasi. Apalagi pada persidangan
sebelumnya yang menghadirkan saksi yang lain (Clara Maeureen)
terungkap bahwa M. Nazaruddin punya kebiasaan mengarahkan,
mengancam dan memaksa para pegawainya untuk memberikan keterangan
yang tidak benar. Demikian juga dengan kesaksian Yulianis dan Mindo
Rosalina Manulang, serta Oktarina Furi.
Selain itu, secara sepihak menilai apa yang sesungguhnya
dilakukan Penasihat Hukum dalam rangka pembelaan yang sah dan dalam
upaya mendapatkan kejelasan di depan persidangan dengan
karakteristik Terdakwa sebagai politisi malah lebih mudah dipandang
sebagai bagian dari kerja Jaksa Penuntut Umum untuk membangun
persepsi tentang Terdakwa. Seolah-olah dunia politik dan politisi
hanya bergelut dengan persepsi. Adalah sebuah kesalahan mendasar
jika ada yang menilai dunia politik dan politisi hanya bekerja pada
wilayah persepsi, hanya mementingkan persepsi. Mendegradasi dunia
politik sebagai persepsi adalah merendahkan dunia politik dan kaum
politisi.
Kualitas Keterangan Saksi Pinokio?
Adalah kewenangan KPK untuk memberikan gelar justice
collabolator kepada M. Nazaruddin, meskipun LPSK pernah menolak
permohonan yang sama. Adalah hak Jaksa Penuntut Umum untuk percaya
kepada kesaksian M. Nazaruddin atau percaya terpaksa karena menjadi
satu-satunya cara untuk berusaha membuktikan dakwaan kepada
Terdakwa. Adalah hak Nazaruddin untuk membuat keterangan-keterangan
yang berisi fitnah, fiksi dan serangan-serangan tidak berdasar.
Adalah hak M. Nazaruddin untuk memberikan keterangan di BAP dan di
persidangan yang tidak mengandung nilai kebenaran. Juga adalah hak
M. Nazaruddin untuk membuat skenario dan mengarahkan, memaksa dan
bahkan mengancam staf-stafnya untuk memberikan keterangan bohong
tentang Terdakwa. Adalah hak M. Nazaruddin untuk membuat skenario
dan menjalankan persekongkolan jahat untuk membuat Terdakwa dipaksa
bersalah secara hukum. Tidak ada yang perlu dipersoalkan.
Yang menjadi masalah adalah ketika keterangan dan kesaksian M.
Nazaruddin otomatis dianggap sebagai kebenaran dan dianggap
berkualitas karena pernah bersaksi untuk perkara Angelina Sondakh,
Mindo Rosalina Manulang, Wafid Muharam, Teuku Bagus M. Noor dan
Andi Mallarangeng. Memandang seluruh kesaksian M. Nazaruddin
sebagai kebenaran adalah tindakah gebyah-uyah atau penyamarataan
yang tidak bisa dibenarkan. Amat jelas bahwa setiap perkara
mempunyai situasi dan kondisi yang khas. Karena itu materi
kesaksian dan keterangan juga pasti sesuai dengan perkara
masing-masing.
Dalam perkara yang didakwakan kepada saya (Terdakwa) jelas sejak
awal M. Nazaruddin berniat dan secara sadar menyusun serta
menjalankan skenario agar saya masuk dalam pusaran kasus hukum,
sejak kasus Wisma Atlet dan kasus PLTS yang melibatkan Neneng Sri
Wahyuni. Beberapa keterangan saksi yang dihadirkan JPU di
persidangan ini juga terungkap dengan jelas agar saya bisa ditarik
pada kasus Hambalang, dengan cara meminta, mengarahkan dan menekan
para stafnya untuk memberikan keterangan yang tidak benar. Niat
jahat yang kemudian dijalankan inilah yang seharusnya
dipertimbangkan di dalam menilai keterangan dan kesaksian M.
Nazaruddin, baik yang dituangkan di dalam BAP maupun yang
disampaikan di depan persidangan.
Apakah keterangan saksi yang sejak awal punya rencana untuk
mencelakakan secara hukum dan kemudian rela untuk menjadi Pinokio
demi memenuhi kemarahan dan dendamnya, atau demi melayani
kepentingan tertentu, dapat dijadikan setara dengan sabda Nabi atau
keterangan saksi-saksi yang jujur dan tanpa agenda tersembunyi?
Akal sehat kita dan nalar keadilan hukum mestinya menolak.
Setidaknya bisa bersikap kritis dan sangat selektif dengan
keterangan-keterangannya.
Menelan mentah-mentah keterangan darinya dan staf-staf yang
bekerja untuk kepentingannya hanya bisa dilakukan oleh pihak yang
kepentingannya sama atau pihak yang tidak peduli dengan pentingnya
kebenaran dan keadilan di dalam proses hukum.
Ketentuan di dalam KUHP menyatakan bahwa dalam menilai kebenaran
keterangan saksi haarus sungguh-sungguh mempertimbangkan
persesuaian dengan saksi-saksi lain, persesuaian dengan bukti lain,
alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu dan cara hidup serat kesusilaan saksi,
serat segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat
tidaknya keterangan itu untuk dipercaya.
Di dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud disebutkan tidak
boleh menjadi saksi laki-laki dan perempuan yang khianat. Juga
tidak boleh menjadi saksi orang yang menaruh dendam terhadap
saudaranya.
Di dalam tradisi Fikih Islam, bahkan untuk menjadi saksi
pernikahan pun, bukan urusan pidana, harus memenuhi syarat baligh,
berakal, merdeka, Islam dan adil. Kemampuan untuk adil atau
setidaknya dinilai adil adalah syarat yang penting.
Pada tradisi Jawa yang dipraktekkan sejak jaman Raja Airlangga
disebutkan bahwa salah satu syarat untuk dapat menjadi saksi adalah
tidak berkepentingan di dalam perkaranya, selain syarat sudah
berkeluarga dan penduduk asli.
Sedangkan pada Tambo Alam Minangkabau disebutkan bahwa syarat
menjadi saksi adalah bersifat arif, baligh-berakal, melihat,
mendengar, berkata, terang hati dan adil, serta mempunyai alasan
untuk menjadi saksi.
Kita masih bisa melanjutkan pelacakan tentang syarat-syarat
menjadi saksi pada berbagai ajaran agama, adat dan kebudayaan yang
berkembang di Indonesia untuk semakin melengkapinya.
Atas dasar itu semua kiranya bisa memperjelas bahwa menjadikan
keterangan M. Nazaruddin sebagai dasar atau bahkan dasar utama
untuk pembuktian dalam perkara saya (Terdakwa) kesalahan serius
dalam perspektif obyektifitas, kebenaran dan keadilan. Lain halnya
jika perspektifnya untuk mencari dasar justifikasi untuk sekedar
menghukum.
Adalah berlebihan, tidak berdasarkan data yang bisa
dipertanggungjawabkan dan bahkan terlalu mewah untuk mengatakan
yang bersangkutan cepat bangkit dari keterpurukan dengan mengingat
apa yang harus dipertanggungjawabkannya di Padang Mahsyar. Terlalu
banyak data dan informasi yang justru menunjukkan sebaliknya. Yang
bersangkutan malah masih terus menjalankan dan mengendalikan
praktek bisnis yang tidak wajar dari dalam penjara dengan bantuan
saudara-saudaranya dan staf-stafnya yang setia, termasuk informasi
dan keterangan yang dikemukakan oleh para saksi di depan
persidangan.
Karena itulah keterangan M. Nazaruddin dan staf-stafnya yang
diarahkan untuk membuat keterangan tidak benar tidaklah mempunyai
nilai pembuktian yang layak. Justru jika keterangannya dijadikan
dasar atau bahkan dasar utama dalam pembuktian perkara ini,
peradilan bisa tersesat dan membelakangi spirit penegakan hukum dan
keadilan. Keterangan sesat M. Nazaruddin biarlah menjadi sesat
sendiri. Jangan sampai membuat kita semua tersesatkan.
Mengapa JPU Mempersoalkan Saksi Memberatkan?
Selama persidangan telah dihadirkan 104 orang saksi, yang
terdiri dari saksi memberatkan, saksi meringankan, saksi ahli yang
dihadirkan JPU dan saksi ahli yang dihadirkan oleh Terdakwa dan
Penasihat Hukum. Secara rinci adalah sebagai berikut: 91 saksi
memberatkan yang dihadirkan JPU, 3 saksi ahli yang dihadirkan JPU,
6 saksi meringankan yang dihadirkan Terdakwa dan Penasihat Hukum,
serta 4 saksi ahli yang dihadirkan Terdakwa dan Penasihat Hukum.
Dari 91 saksi yang dihadirkan JPU, ada 9 saksi yang diusulkan oleh
Terdakwa dan Penasihat Hukum melalui Majelis Hakim dengan
pertimbangan sudah diminta keterangan oleh penyidik (ada BAP-nya)
dan terkait secara langsung atau disebut secara eksplisit di dalam
Surat Dakwaan. Mengapa Terdakwa dan Penasihat Hukum hanya
menghadirkan 6 orang saksi meringankan, padahal rencana awal ada 30
orang, semata-mata karena menghormati komitmen atas waktu
persidangan dengan Majelis Hakim dan JPU. Padahal 6 orang saksi
meringankan tidaklah imbang dengan jumlah saksi yang dihadirkan
oleh JPU.
Dengan komposisi saksi yang dihadirkan tersebut, dan itu hanya
sebagaian dari total saksi yang diperiksa pada saat penyidikan,
maka menjadi aneh kalau JPU mengeluh dan mempersoalkan saksi-saksi
dan keterangannya di depan persidangan. Adalah penyidik KPK yang
menentukan siapa-siapa saksi memberatkan yang dihadirkan di
persidangan. Terdakwa dan Penasihat Hukum baru mengetahui nama-nama
saksi yang dihadirkan JPU 2-3 hari sebelum persidangan pemeriksaan
saksi.
Karena itulah menjadi terkesan mengada-ada kalau JPU mengatakan
bahwa tidak sedikit saksi yang memiliki keterikatan psikologis
dengan Terdakwa sehingga validitasnya diragukan. Alasan JPU
tersebut bisa diterima jika yang menentukan nama-nama yang
diperiksa penyidik dan yang dihadirkan di persidangan adalah
Terdakwa atau Penasihat Hukum. Faktanya adalah bahwa Terdakwa dan
Penasihat Hukum tidak mempunyai kewenangan apapun untuk
menentukan.
Adalah wajar semata jika para saksi yang dihadirkan JPU malah
membantah dakwaan. Bukan karena saksinya dan bukan karena JPU,
melainkan karena dakwaan disusun berdasarkan -terutama- BAP M.
Nazaruddin yang tidak mengandung nilai kebenaran. Keterangan para
saksi di depan persidangan yang membantah dakwaan karena apa yang
diketahui, didengar, dirasakan dan dilakukan para saksi berbeda dan
bertentangan dengan dakwaan yang berasal dari imajinasi dan cerita
fiksi M. Nazaruddin. Sehebat-hebatnya cerita fiksi dan
secanggih-canggihnya imajinasi akan kalah dengan realitas yang
senyatanya.
Alasan JPU bahwa para saksi yang dihadirkan mempunyai
keterikatan psikologis dengan Terdakwa karena latar belakang
historis kepartaian, latar belakang tim sukses pemenangan, latar
belakang organisasi kemahasiswaan dan latar belakang pekerjaan
adalah dalih yang dipaksakan setelah para saksi yang dihadirkan
sendiri oleh JPU justru memberikan keterangfan yang membantah
dakwaan. Inilah keterangan di bawah sumpah yang disebut JPU
menguntungkan Terdakwa.
Pada saat yang sama JPU tidak mempersoalkan keterangan Neneng
Sri Wahyuni, Aan Ikhyaudin dan Heri Sunandar yang mempunyai
keterikatan psikologis lebih kental dengan M. Nazaruddin. Bukan
saja keterangan-keterangan mereka sudah direncanakan sejak awal
untuk mencelakakan Terdakwa, tetapi juga proses pemberian
keterangan (pemeriksaan) diatur sedemikian rupa. Misalnya
pemeriksaan terhadap saksi Neneng Sri Wahyuni di KPK selalu bersama
dengan M. Nazaruddin. Pemeriksaan saksi Aan Ikhyauddin dan Heri
Sunandar yang keterangannya sama persis kalimatnya, bahkan sampai
titik dan komanya. Ada pula saksi yang diperiksa jam 21 malam
sampai jam 2 dini hari dan dipersidangan tidak paham dan bingung
dengan isi BAP-nya sendiri. Hal-hal ganjil seperti ini malah tidak
dipersoalkan oleh JPU, semata-mata karena keterangannya dinilai
telah merugikan dan memberatkan Terdakwa.
Mendakwa Sepertiga Kongres
JPU menjelaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan Terdakwa
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi politik, yaitu
korupsi yang terjadi dalam lingkup kegiatan politik, dilakukan oleh
aktor politik dan dibungkus dengan instrumen politik, serta terjadi
dalam momen politik. Tentu saja definisi ini bisa diperdebatkan.
Definisi dari Universitas Princeton menyebut political corruption
is the use of legislated powers by government official for
illegitimate private gain. Di dalam penjelasan disebutkan bahwa
kegiatan ilegal baru dapat disebut korupsi politik jika terkait
langsung dengan tugas-tugas resmi yang diemban (if the act is
directly related to their official duties). Sedangkan korupsi
politik menurut Arnold J Heidenheimer dari Washington University
adalah setiap transaksi antara kelangan swasta dengan kalangan
sektor publik, dimana hal-hal yang seharusnya menjadi barang milik
publik secara ilegal diubah menjadi pembayaran atau hadiah.
Sementara Terdakwa mendefinisikan korupsi politik sebagai perbuatan
yang secara sengaja membuat kebijakan untuk publik menjadi
kebijakan untuk keuntungan pihak tertentu. Kebijakan yang
seharusnya untuk kepentingan masyarakat dibelokkan untuk
kepentingan pihak tertentu.
Tetapi persidangan ini bukanlah forum untuk memperdebatkan apa
definisi korupsi politik. Juga bukan untuk memperdebatkan apakah
ada korupsi politik atau tidak. Ada ahli hukum yang berpendapat
bahwa ada korupsi politik. Ada pula yang berpendapat bahwa korupsi
politik tidak ada dalam konteks hukum. Jika konteksnya adalah debat
khasanah istilah, korupsi politik bisa menjadi salah satu kekayaan
khasanah untuk memberikan perspektif. Tetapi jika hendak diterapkan
dalam penegakkan hukum pidana korupsi, istilah tindak pidana
korupsi politik harus dikembalikan pada aturan hukum yang sudah
tersedia. Adalah tidak pada tempatnya membuat istilah sendiri di
dalam penegakan hukum terkait dengan tindak pidana.
Menurut penilaian Terdakwa, kategori tindak pidana korupsi
politik yang diterapkan pada perkara yang didakwakan oleh JPU
adalah pengakuan secara terbuka bahwa dakwaan dan tuntutan kepada
Terdakwa bersifat politik dan penuh dengan nuansa politik, hal yang
sejak awal dinyatakan sangat dihindari oleh JPU.
Awalnya perkara ini adalah dinamika internal Partai Demokrat
sejak penyelenggaraan Kongres ke-2 di Bandung yang berlanjut pada
proses-proses konsolidasi dan kontestasi politik internal, termasuk
ditingkat lokal. Inilah yang ujungnya melahirkan desakan terbuka
dari Jeddah kepada KPK untuk segera memperjelas status hukum saya.
Desekan Presiden Republik Indonesia yang juga Ketua Dewan Pembina,
Ketua Dewan Kehormatan dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu
segera ditindaklanjuti secara internal dengan pengambilalihan
wewenang Ketua Umum oleh Majelis Tinggi. Pada saat yang bersamaan
beredar Sprindik atas nama Anas Urbaningrum ke publik dan menjadi
pemberitaan yang luas, sebelum akhirnya terbit Sprindik KPK 22
Februari 2013. Ketidakwajaran dan ketidakpatutan proses sampai
dibocorkannya Sprindik telah melahirkan Komite Etik dan kemudian
memberikan sanksi kepada beberapa orang yang dinilai bersalah.
Peristiwa ini dan seluruh rangkaiannya tidak pernah bisa dihapus
oleh ribuan pergantian musim hujan dan kemarau, juga oleh
pergantian musim politik dan kepemimpinan.
Amat jelas bahwa penetapan tersangka tidak bisa dilepaskan dari
dinamika dan faksionalisme internal di Partai Demokrat, termasuk
bagaimana tangan-tangan kekuasaan bekerja. Artidjo Alkotsar pada
tulisannya Mengkritisi Fenomena Korupsi di Parlemen yang dimuat
pada Jurnal Hukum, 15 Januari 2008, menyatakan bahwa pemegang
kekuasaan politik biasanya ketagihan untuk tetap berkuasa dan tidak
mau melepaskan kekuatan yang telah dipegangnya. Untuk
mempertahankan kekuasannya penguasa biasanya memperkuat basis
pendukung yang diukur dengan kadar loyalitas para kroni. Bentuk
dukungan bisa massa berkekuatan fisik, dukungan ekonomis atau money
politics, dukungan pemikiran strategi dan teknik mempertahankan
kekuasaan, dukungan spiritual, atau dukungan hukum. Bagi yang tidak
loyal kepada penguasa korup, baik itu individu atau kelompok, si
penguasa akan membuat batas pembeda dengan cara membuat stigma
politik, menjatuhkan persona non grata, atau menjebloskan ke
penjara dengan menggunakan rekayasa peradilan sesat. Dalam arti
pula penguasa yang korup biasanya mempermainkan kuasa dengan cara
membuat orang atau kelompok yang tidak disenangi karena bersikap
kritis, berbeda pendapat atau dianggap menentang, dibuat dalam
posisi merasa bersalah, merasa malu, terkucil, terintimidasi,
terteror atau terbujuk (terangkul). Kekuasaan politik yang korup
berimplikasi pada timbulnya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan
munculnya sikap Asal Bapak Senang (ABS) serta tingkah laku
hipokrit.
Oleh karena itulah yang sesungguhnya didakwa dan dituntut oleh
JPU dalam perkara ini adalah peristiwa politik demokrasi bernama
Kongres Partai Demokrat yang di dalamnya ada kompetisi dan
kontestasi politik antar Calon Ketua Umum dengan segala
dinamikanya. Kompetisi dan kontestasi politik internal inilah, yang
dijalankan menurut AD-ART dan Tata Tertib Kongres, ada
Penanggungjawab, ada Panitia Pengarah (SC), ada panitia pelaksana
(SC), ada Peserta Kongres, ada pembiayaan Kepanitiaan dan
Pemenangan dari setiap kelompok kontestan, serta ada hasil Kongres
sebagai bagian dari sistem dan kelembagaan Partai Demokrat secara
utuh, yang berusaha didekati dan dipaksakan menjadi peristiwa
korupsi politik.
Meskipun JPU menyatakan di dalam Surat Tuntutan bukan Mengadili
Kongres, amat jelas ini adalah mengadili Kongres atau tepatnya
Mengadili Sepertiga Kongres. Mengapa? Karena yang diadili adalah
salah satu saja dari kontestan Kongres Partai Demokrat di Bandung.
Jika dilihat bahwa Terdakwa pada saat itu adalah penyelenggara
negara, karena juga masih menjadi Anggota DPR, pada saat yang sama
kontestan yang lain adalah Ketua DPR dan Menteri yang juga dalam
kategori penyelenggara negara. Semua tahun dan sudah menjadi
rahasia umum bahwa proses konsolidasi da penggalangan dalam
pemenangan menggunakan cara dan pendekatan yang sama. Tidak ada
perbedaan yang substansial dan signifikan dengan yang dilakukan
oleh Tim Relawan Terdakwa. Bahkan internal Partai Demokrat saat itu
bisa melihat ada Calon Ketua Umum (kontestan) yang jauh lebih
gebyar proses penggalangan dan metode pemenangannya.
Menurut komitmen Tim Relawan, pemahaman Terdakwa dan Tim Relawan
dan pendapat Ahli, biaya yang dikeluarkan dan jika disebut sebagai
peneriamaan tidak langsung, hal itu terkait dengan status sebagai
kader partai yang menjadi kontestan Kongres atau Calon Ketua Umum.
Bukan dalam posisi sebagai penyelenggara negara. Karena semua hal
tersebut tidak ada kaitannya dengan posisi, kekuasaan dan
kewenangan sebagai penyelenggara negara, tetapi sebagai kader
partai yang dipandang layak untuk dimajukan dalam kompetisi dan
kontestasi kepemimpinan puncak Partai Demokrat. Adalah jelas
berbeda posisi sebagai penyelenggara negara dengan posisai sebagai
kontestan politik.
Jikapun memaksakan perspektif sebagai penyelenggara negara,
meskipun hal itu jelas tidak relevan, jika neraca keadilan dan
penegakan hukum yang jujur dan obyektif dipegang, serta bukan untuk
tujuan mengkoruptorkan proses politik dan aktor politik tertentu,
maka bukan sepertiga Kongres yang diselidiki, disidik, didakwa dan
dituntut. Bahkan bukan hanya 3 kontestan Ketua Umum, melainkan
siapa saja yang pada saat itu kebetulan juga dalam status
penyelenggara negara, bisa Presiden, Menteri, Anggota DPR,
Gubernur, Bupati, Walikota, dan Anggota DPRD yang menerima
fasilitas, manfaat dan hasil langsung dari penyelenggaraan dan
kompetisi Kongres, terutama adalah Ketua Majelis Tinggi dan
fungsionarisnya, Ketua Dewan Pembina dan fungsionarisnya, Ketua
Dewan Kehormatan dan fungsionarisnya, Ketua Umum dan jajaran
fungsionaris inti, termasuk Dewan Pengawas yang dibentuk oleh Dewan
Pembina. Semuanya yang saat itu menyandang status sebagai
penyelenggara negara jelas-jelas mendapatkan penerimaan fasilitas
dan manfaat dari kompetisi, kontestasi dan pemilihan pada Kongres
Partai Demokrat ke-2 di Bandung.
Kalau yang disasar hanya satu orang kontestan, apalagi secara
khusus dicari-cari dan dipaksakan kesalahan secara hukum pidana
korupsi politik, tentu hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah
politik.
Di dalam Surat Tuntutan secara khusus juga disebut bahwa karena
bukan Kongres yang diajukan ke persidangan, sehingga bukan Panitia
Kongres yang harus dihadirkan, tetapi adalah tim pemenangan Anas
Urbaningrum dalam pencalonan sebagai Ketua Umum. Sehingga jelas
kiranya pihak-pihak mana yang harus dimintai keterangan dan
dihadirkan di persidangan. Kalimat ini adalah penegasan bahwa
saejak awal telah terjadi pengkhususan kepada Anas Urbaningrum dan
sekaligus memagari atau membentengi agar tidak masuk dan menyentuh
pihak-pihak yang sesungguhnya secara obyektif hukum menjadi pihak
yang sama dan serata dengan Terdakwa, tetapi secara politik tidak
boleh tersentuh oleh proses hukum yang terkait dengan Kongres. Pada
saat disebut bahwa bukan Panitia Kongres yang dihadirkan tentu yang
dimaksudkan adalah Panitia Pengarah yang Ketuanya adalah Edhie
Baskoro Yudhoyono, karena faktanya telah dihadirkan Didik
Mukriyanto, Ketua Panitia Pelaksana Kongres yang juga telah
diperiksa sebagai saksi pada saat proses penyidikan. Padahal
siapapun yang mengerti tentang penyelenggaraan Kongres pasti
melihat Panitia Pengarah sebagai pihak yang paling paham tentang
seluruh rangkaian acara dan bagaimana penyelenggaraannya.
Persidangan ini semakin berwarna politik ketika sejak awal Surat
Dakwaan dibuka dengan kalimat imajiner bahwa sejak tahun 2005
Terdakwa sudah berniat dan mempersiapkan diri untuk menjadi Calon
Presiden. Sungguh tidak rasional, absurd, mengada-ada dan hanya
berdasarkan cerita kosong seorang saksi istimewa M. Nazaruddin yang
baru belajar politik dari Terdakwa pada tahun 2007.
Bagaimana nalarnya ada seseorang yang baru saja diminta untuk
menjadi pengurus baru dari sebuah partai baru, tidak punya
political capital kecuali hanya kesiapan untuk membantu dengan
komitmen kerja keras, sudah disebut berniat dan mempersiapkan diri
menjadi Calon Presiden? Bagaimana mungkin seseorang yang telah
bekerja keras untuk menjadi lulusan terbaik dan kemudian 2 kali
gagal untuk menjadi staf pengajar di almamaternya, tiba-tiba tahun
2005 berani berniat dan mempersiapkan diri untuk menjadi Calon
Presiden? Bagaimana logikanya Terdakwa yang sedikit banyak belajar
ilmu politik, pernah praktek melayani proses demokrasi sebagai
Anggota KPU, cukup mengerti tentang dinamika politik Indonesia,
cukup paham tentang demokrasi modern dan pemilihan langsung, tahun
tentang jaringan dan para aktor politik, punya banyak sahabat yang
paham betul dan terampil dalam dunia politik praktis, lalu disebut
berbicara khusus tentang persiapan pencapresan sejak tahun 2005
dengan M. Nazaruddin, orang yang sangat baru mengenal dunia politik
dan bahkan juga menyebut dirinya baru merintis usaha bisnis di
Jakarta. Logika macam apa yang bisa dan layak dipaksa untuk
menerima spekulasi seperti ini?
Jika mau memaksa dakwaan politik tentang niat dan persiapan
Terdakwa untuk menjadi Calon Presiden, meskipun tidak berbasis data
dan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, sebaiknya dimulai dari
selesainya Kongres Partai Demokrat akhir Mei 2010, sehingga bisa
agak rasional. Sekali lagi, itupun tidak berdasarkan data,
informasi dan bukti yang sahih dan bisa dipertanggungjawabkan.
Faktanya belum ada pula Ketua Umum Partai Demokrat yang menjadi
Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Bahkan belum pernah ada
Ketua Umum PD yang menjadi Menteri atau Pimpinan Lembaga
Negara.
Dakwaan dan Tuntutan makin beraroma politik ketika Surat
Tuntutan ditutup dengan nasihat politik agar Terdakwa rela
berkorban seperti Wisanggeni dalam konteks kontestasi Bharatayuda
Pilpres 2014. Meskipun Terdakwa tidak bisa ikut dalam kontestasi
Bharatayuda Pilpres 2014, tetapi pengorbanannya menjadikan
keunggulan Pandawa dalam perang Bharatayuda.
Sayang sekali tidak dijelaskan apa yang dimaksaud sebagai perang
Bharatayuda Pilpres 2014 dan siapa yang dimaksud dengen kemenangan
Pandawa dalam konteks tersebut. Tidak dijelaskan pula tentang
Kurawa pada perang Bharatayuda Pilpres 2014, termasuk bagaimana
proses perangnya dan bagaimana Pandawa bisa mendapatkan kemenangan.
Yang teramat jelas adalah nasihat politik ini sangat bermakna dan
menjadi panutup dakwaan politik yang sempurna.
Apalagi ketika salah satu materi tuntutan adalah agar
menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih
dalam jabatan publik, dengan alasan untuk menghindarai Negara
Indonesia dari kemungkinan dipimpin oleh orang yang pernah dijatuhi
hukuman akibat melakukan tindak pidana korupsi. Hemat Terdakwa
inilah sesungguhnya puncak dan sekaligus mahkota dari dakwaan dan
tuntutan politik JPU, dengan tujuan agar Terdakwa kehilangan hak
politik untuk dipilih dalam jabatan publik. Inilah muara yang
hendak dituju oleh dakwaan dan tuntutan politik.
Berpaling dari Kebenaran
Majelis Hakim Yang Mulia,Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,Yang
saya hormati Tim Penasihat Hukum dan Hadirin sekalian.
Saya mendengarkan dan membaca dengan seksama Surat Tuntutan yang
disampaikan oleh JPU pada persidangan yang lalu. Sungguh Surat
Tuntutan dengan sungguh-sungguh disiapkan dan disusun dengan sangat
lengkap. Pastilah hal tersebut adalah hasil dari kerja keras dari
Tim yang hebat dan kompak. Sebagai Terdakwa saya sangat menghargai
dan menghormatinya.
Tanpa mengurangi apresiasi dan rasa hormat tersebut, izinkan
saya sebagai Terdakwa untuk menyatakan bahwa Surat Tuntutan yang
lengkap tersebut tidak memasukkan unsur keadilan, obyektifitas dan
fakta-fakta persidangan yang tergelar secara terbuka sepanjang
persidangan ini berlangsung. Saya tidak tahu mengapa hal demikian
bisa terjadi. Apakah karena kealpaan, kesengajaan atau lantaran
keterpaksaan.
Apapun sebab dan alasannya, apakah karena sengaja, apla semata
atau karena terpaksa, mengabaikan fakta-fakta persidangan adalah
pilihan yang tidak obyektif dan tidak menghormati persidangan.
Karena itulah ketika di dalam Surat Tuntutan ada pujian yang
bertubi-tubi kepada Majelis Hakim, sungguh pujian tersebut tidak
mempunyai sambungan batin dengan diabaikannya fakta-fakta
persidangan yang terungkap di persidangan ini adalah bagian penting
dari keberhasilan kepemimpinan Ketua Majelis Hakim yang dibantu
oleh para Anggota Majelis Hakim? Jika salah satu hasil kepemimpinan
Majelis Hakim, yakni fakta-fakta persidangan tidak dihargai dan
malah disepelekan, maka pujian di dalam Surat Tuntutan tersebut
adalah pujian formal-prosedural semata dan bukan pujian yang
otentik-substansial.
Salah satu cara terbaik untuk menghormati persidangan, termasuk
atas kepemimpinan Majelis Hakim adalah dengan menghormati dan
memuliakan fakta-fakta persidangan. Disitulah juga bersemayam
obyektifitas, fairness dan keadilan, nilai-nilai yang sangat
penting dalam proses penegakan hukum yang benar-benar
diorientasikan untuk menemukan kebenaran dan keadilan yang
sejati.
Ketika JPU di dalam menyusun Surat Tuntutan memalingkan muka
dari fakta-fakta persidangan, hal itu tidak bisa dibedakan dengan
berpaling dari kebenaran. Karena kebenaran yang hendak dicari dan
ditemukan di persidangan berada pada fakta-fakta persidangan dari
para saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah. Tentu saja
saksi-saksi yang benar-benar mengetahui dan mengalami peristiwa
yang terkait dengan perkara, serta mempunyai rekam jejak pribadi
yang berkelayakan secara hukum, moral dan sosial. Bukan saksi yang
untuk dikesankan punya kesaksian berkualitas lalu diberi gelar
penyucian berupa justice collabolator, padahal kelayakannya sangat
diragukan, khususnya yang terkait dengan perkara ini.
Surat Tuntutan yang disusun dengan meremehkan fakta-fakta
persidangan sulit dibedakan dari ekspresi kemarahan dan kebencian
melalui sarana penegakan hukum. Demikian halnya menjadi dipisahkan
dari pemaksaan dan kekerasan hukum kepada warga negara. Jika dalam
konteks sistem politik yang otoritarian dan absolut berpotensi
untuk terjadinya kekerasan politik, dalam konteks sistem penegakan
hukum yang hegemonik dan absolut juga mudah tergelincir pada
kecenderungan dan praktek kekerasan hukum. Sesuatu yang seharusnya
dihindari oleh aparat penegak hukum yang diberi amanah untuk
menegakkan hukum dan keadilan. JPU sebagai aparat penegak hukum
yang bertugas atas nama kepentingan publik berkewajiban untuk
menegakkan keadilan dengan cara menjadikan fakta-fakta persidangan
sebagai bahan untuk menyusun Surat Tuntutan.
Jika fakta-fakta persidangan sebagai salah satu dari hasil
persidangan yang dipimpin oleh Majelis Hakim tidak digunakan
sebagai dasar, disepelekan dan diabaikan, pertanyaannya adalah
apakah persidangan ini hanya seremonial belaka dan sekedar sebagai
alat untuk menjustifikasi adanya tuntutan yang berat? Saya lalu
ingat kembali bagian dari Nota Keberatan (Eksepsi) yang saya
sampaikan pasca pembacaan Surat Dakwaan oleh JPU. Waktu itu saya
sebutkan pertanyaan apakah persidangan ini hanya dijadikan
justifikasi untuk tuntutan yang berat, karena pada proses
penyidikan sudah ada pernyataan dari Jubir KPK bahwa Anas
Urbaningrum akan dituntut berat. Juga saya sebutkan adanya saran
agar tidak usah melakukan Eksepsi karena kalau ada Eksepsi JPU bisa
marah dan melakukan tuntutan berat. Eksepsi tetap saya sampaikan
sebagai bagian dari hak untuk mendaptkan keadilan, disertai dengan
keyakinan bahwa JPU adalah para agen keadilan yang bersiap untuk
berdialektika dan kontestasi fakta-fakta kebenaran pada persidangan
yang adil dan terbuka.
Jika kembali ke belakang, sesungguhnya tuntutan yang berat dan
abai terhadap keadilan, obyektifitas dan fakta-fakta persidangan,
bukanlah hal yang mengejutkan karena sudah dinyatakan oleh Jubir
KPK pada saat proses penyidikan dan belum dimulai proses
persidangan. Tetapi bukan mengejutkan atau tidak mengejutkan. Yang
penting untuk ditakar dan ditimbang adalah apakah tanpa keadilan,
obyektifitas dan fakta-fakta persidangan sebuah Surat Tuntutan bisa
dianggap mewakili kepentingan publik dan nalar penegakan hukum dan
keadilan yang sehat? Akal waras dan nalar keadilan pasti akan
menolak hal-hal yang demikian.
Tuntutan yang adil adalah yang obyektif dan berdasarkan
kebenaran fakta-fakta persidangan. Sebaliknya tuntutan bisa disebut
dalam kategori dzalim jika tidak obyektif dan berpaling dari
fakta-fakta persidangan bisa menjadi sebab sikap dan tindakan yang
tidak adil dan dzalim.
Firman Tuhan di dalam Al-Quran, Surat Al-Maidah ayat 8
menyebutkan : dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum
mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena
adil itu dekat dengan takwa.
Dalam Al-Kitab, Roma 1:18 disebutkan : sebab murka Allah nyata
dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang
menindas kebenaran dengan kelaliman.
Majelis Hakim Yang Mulia,Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,Tim
Penasihat Hukum Yang Terhormat,Sidang Pengadilan yang saya
hormati,
Di dalam Surat Dakwaan dan Tuntutan juga dipaksakan istilah
kantong-kantong untuk menghimpun dana-dana atau disebut sebagai
kantong-kantong dana. Disebutkan bahwa Terdakwa tergabung di dalam
Anugrah Group yang kemudian disebut berubah menjadi Permai Group.
Padahal yang benar adalah bahwa Terdakwa pernah menjadi Komisaris
PT. Panahatan, sebelum mundur pada tahun 2009 sebelum menjadi
Anggota DPR RI.
Terdakwa tergabung di dalam PT. Panahatan setelah tidak jadi
bergabung di dalam PT. Anugrah Nusantara, perusahaan milik keluarga
M. Nazaruddin. Proses jual beli saham 30 persen milik M. Nzaaruddin
yang tidak wajar dibatalkan dan sebagai ganti dengan proses yang
wajar dan benar adalah bergabung secara resmi di PT. Panahatan yang
bergerak di bidang perkebunan Kepala Sawit.
Hal tersebut sudah dijelaskan oleh Terdakwa, baik di dalam BAP
maupun di dalam persidangan, termasuk dokumen yang dimaksudkan
sebagai tanda jual beli saham yang kemudian disepakati untuk
dibatalkan dan dimusnahkan. Jika kemudian dokumen tersebut masih
ada dan dengaja disimpan oleh M. Nazaruddin, nampaklah niat tidak
baik yang telah dilakukannya. Salah satunya adalah ditandai dengan
disebarkannya fotokopi dokumen tersebut dikalangan internal PD pada
saat acara Rakornas Tahun 2011 di Sentul, termasuk kepada kalangan
media massa.
Bukti otentik bahwa perjanjian itu tidak jadi atau sudah
dibatalkan adalah dokumen-dokumen perubahan kepengurusan PT.
Anugrah Nusantara sejak tahun 1999 sampai tahun 2011. Jika benar
bahwa dokumen perjanjian itu berlaku 1 Maret 2007 Terdakwa berhak
hadir di dalam RUPS sebagaimana termaktub sebagai hak di dalam
dokumen tersebut. Faktanya adalah bahwa Terdakwa tidak pernah tahu
dan hadir atau terlibat pada RUPS ketika terjadi perubahan
kepengurusan dan kepemilikan sejak awal berdirinya PT. Anugrah
Nusantara sampai sekarang ini. Dokumen-dokumen RUPS tersebut
menjelaskan dengan terang benderang bahwa Terdakwa bukanlah bagian
dari PT. Anugrah Nusantara.
Jika benar Terdakwa adalah pemilik dari 30 persen saham PT.
Anugrah Nusantara, maka ketika terjadi RUPS pergantian kepemilikan
saham dari M. Nazaruddin kepada adiknya Mujahidin Nurhasim pada 28
Februari 2009 haruslah dihadiri oleh Terdakwa dan ada perjanjian
baru antara Terdakwa dengan M. Nazaruddin atau dengan Mujahidin
Nurhasim. Faktanya adalah bahwa Terdakwa tidak tahu, tidak hadir,
tidak terlibat dan tidak mempunyai saham apapun. Terdakwa juga
tidak mempunyai perjanjian dengan Mujahidin Nurhasim yang di dalam
perubahan data perseroan dicatat sebagai pemegang saham yang baru,
dimana M. Nazaruddin sama sekali tidak tercantum namanya sebagai
pemilik atau pengurus.
Demikian pula dengan RUPS-RUPS selanjutnya yang diikuti dengan
perubahan kepemilikan dan kepengurusan, Terdakwa sama sekali tidak
tahu, tidak terlibat dan tidak mempunyai saham, serta tidak
mempunyai perjanjian jual beli saham dengan siapapun pemilik atau
pengurus PT. Anugrah Nusantara.
Hal yang sama bisa dikonfirmasi dengan data-data keuangan
perusahaan, termasuk aliran dana yang tercatat di dalam catatan
saksi Yulianis. Amat jelas bahwa tidak ada yang terkait PT. Anugrah
Nusantara dengan Terdakwa. Data-data yang tercatat jelas adalah
uang yang dikeluarkan untuk kepentingan Pemilu atau disebut sebagai
biaya Pemilu pada awal tahun 2009. Dana-dana tersebut dipergunakan
untuk biaya kampanye, seperti untuk pencetakan kaos, spanduk,
baliho dan alat-alat peraga lainnya, sebagai bagian dari kompensasi
peran dan kerja Terdakwa sebagai pembimbing atau konsultan
pencalegan M. Nazaruddin dan keluarganya di DPR dan DPRD. Tercatat
bahwa M. Nazaruddin, M. Nasir, Rita Zahara dan Ayub Khan, semuanya
terpilih pada Pileg tahun 2009.
Jadi jelas bahwa mengkaitkan Terdakwa dengan Anugrah Group atau
Permai Group, apalagi menyebut sebagai pemilik atau pemilik
bersama-sama M. Nazaruddin adalah usaha untuk membangun kesan,
citra dan persepsi bahwa Terdakwa sengaja sejak awal mengatur jarak
yang aman dengan bisnis M. Nazaruddin. Faktanya jelas bahwa Anugrah
Group atau Permai Group, jika itu memang istilah yang benar, adalah
milik dan dikendalikan oleh keluarga M. Nazaruddin, yakni M.
Nazaruddin, istrinya, adiknya, kakaknya dan orang-orang
kepercayaannya. Bahkan bisnis tersebut tetap berjalan sampai
sekarang ini, berdasarkan keterangan beberapa saksi di
persidangan.
Tantang M. Nazaruddin sebagai pemilik dan pengendali Anugrah
Group atau Permai Group juga sudah menjadi bagian dari putusan
Pengadilan Tipikor yang berkekuatan tetap, baik pada kasus Wisma
Atlet yang melibatkan M. Nazaruddin dan Mindo Rosalina Manulang dan
kasus PLTS yang melibatkan Neneng Sri Wahyuni.
Upaya membangun persepsi tersebut adalah untuk mencari alasan
dan argumentasi bahwa sejak awal Terdakwa memang berniat dan
mempersiapkan diri untuk menjadi Calon Presiden, sejak tahun 2005,
sehingga membuat kantong dana dengan M. Nazaruddin. Persepsi ini
dianggap penting agar Terdakwa seolah-olah benar mengatur semuanya
sehingga sulit dijerat oleh proses hukum. Inilah argumentasi yang
hendak dipaksakan oleh JPU terkait dengan konsepsi korupsi
politik.
Persepsi yang sama hendak dibangun terhadap saksi Machfud
Suroso, Munadi Herlambang, Mindo Rosalina Manulang dan Angelina
Sondakh. Padahal fakta-fakta persidangan semua membantah dengan
tegas bahwa para saksi tersebut dicap sebagai kantong-kantong dana.
Apalagi istilah kantong dana adalah istilah imajiner yang sengaja
disampaikan oleh M. Nazaruddin untuk tujuan mencelakakan Terdakwa
secara hukum. Bahkan di dalam BAP M. Nazaruddin disebutkan banyak
nama lain yang dituduh sebagai kantong dana atau kamar bisnis.
Yang Mulia Majelis Hakim,Yang Terhormat Jaksa Penuntut Umum,Para
Penasihat Hukum dan Sidang Pengadilan yang saya hormati,
Adalah jelas dan terang benderang dari keterangan para saksi
yang dihadirkan pada persidangan ini bahwa Terdakwa selaku Anggota
DPR dan Ketua Fraksi Partai Demokrat tidak pernah mengurus
proyek-proyek yang dibiayai oleh APBN/APBNP dan tidak pernah
berkoordinasi dengan M. Nazaruddin, Mahyudin dan Angelina Sondakh.
Keterangan para saksi di persidangan denga jelas membantah dakwaan
JPU yang diulangi lagi di dalam Surat Tuntutan, seolah-olah
keterangan para saksi dianggap tidak ada. Hanya keterangan saksi M.
Nazaruddin yang dianggap ada dan benar, padahal justru
sebaliknya.
Kerena itulah, mengkaitkan Terdakwa selaku Anggota DPR RI,
proyek-proyek mitra kerja dan tuduhan menerima hadiah berupa uang,
barang dan fasilitas sebesar Rp. 118.704.782.230,- dan sebesar USD
5.261.070 adalah pemaksaan dakwaan dan tuntutan, tidak berdasar,
tidak berbasis logika, tidak berdasarkan bukti, irasional dan hanya
berdasarkan keterangan sepihak di dalam BAP saksi M. Nazaruddin,
serta telah terbantah secara telak oleh para saksi yang dihadirkan
oleh JPU di dalam persidangan yang terhormat ini.
A. Penerimaan uang sebesar Rp. 2.305.500.000,- dari PT. Adhi
Karya untuk membantu pencalonan Terdakwa sebagai Calon Ketua Umum
Partai Demokrat pada Kongres di Bandung jelas-jelas tidak terbukti
dipersidangan. Saksi Munadi Herlambang dan Indrajaya Manopol yang
dihadirkan di persidangan telah membantah menerima uang dari Teuku
Bagus M. Noor untuk kepentingan Terdakwa. Ketut Darmawan yang
disebut di dalam surat dakwaan tidak bisa dihadirkan dipersidangan,
tetapi faktanya tidak kenal dan tidak pernah menerima uang untuk
Terdakwa. Apalagi disebutkan bahwa yang meminta uang tersebut
bukanlah Terdakwa, melainkan disebutkan oleh JPU atas permintaan
Muchayat.
Adalah tidak logis Muchayat meminta uang untuk kepentingan
Terdakwa, sementara fakta persidangan menunjukkan bahwa Muchayat
justru meminta Terdakwa mundur dari pencalonan atas pesan Sudi
Silalahi dan Muchayat meminta agar memberian dukungan kepada Andi
Mallarangeng.
Sementara saksi Teuku Bagus M. Noor yang dihadirkan di
persidangan dengan jelas menyatakan tidak kenal dengan Terdakwa dan
tidak bisa memastikan uang-uang yang dicatat di dalam kas bon PT.
Adhi Karya benar untuk kepentingan Terdakwa atau sampai pada
Terdakwa. Belum lagi dengan kas bon yang dalam bentuk fotokopian
dan dicoret-coret, sehingga sangat diragukan validitasnya sebagai
alat bukti. Bagaimana ada bon untuk Terdakwa, ditulis untuk
Terdakwa, padahal yang mengeluarkan tidak kenal, tidak pernah
bertemu dan tidak menyerahkan kepada Terdakwa. Jika bon
diperlakukan sebagai kwitansi sementara, maka yang ditulis adalah
yang menerima uang dari yang mengeluarkan. Inilah keganjilan lain
yang membuat bon-bon penuh coretan layak dikesampingkan sebagai
bukti.
Saksi Munadi Herlambang menyebutkan bahwa uang untuk membayar
hotel berasal dari titipan Pasha Sukardi dan dikirim ke rekening
PT. Bandung Excellent Tour and Travel sebesar Rp. 1.007.400.000,-
secara bertahap pada 21 April dan 26 April 2010. Sedangkan pada bon
Adhi Karya tertulis bon tanggal 19 Mei 2010, 1 Juni 2010, 18 juni
2010. Adalah mustahil ada dana yang diklaim keluar pada 19 Mei,
1Juni dan 18 Juli 2010 digunakan untuk melakukan pembayaran pada 21
dan 26 April 2010. Belum lagi dengan bon tertanggal 1 Juni dan 18
Juni yang diklaim untuk kepentingan dukungan suara di Kongres yang
sudah berakhir pada tanggal 23 Mei 2010.
Keanehan dan keganjilan tersebut makin memperkuat bahwa dakwaan
JPU tidak bisa dibuktikan. Apalagi jelas bahwa saksi Munadi
Herlambang menyatakan tidak pernah meminta dana kepada Teuku Bagus
M. Noor dan tidak pernah diminta Terdakwa untuk mencari dana.
Justru saksi Munadi Herlambang mengaku berusaha terlibat di tim
relawan semua kandidat, termasuk atas perintah bapaknya, Muchayat,
untuk mendukung Andi Mallarangeng dan lewat pamannya mendukung
Marzuki Alie.
B. Penerimaan dari M. Nazaruddin (Permai Group) sebesar Rp.
84.515.650.000,- dan USD 36.070,- untuk keperluan persiapan
pencalonan Ketua Umum Partai Demokrat adalah data fiksi yang tidak
logis dan tidak bisa dibuktikan di persidangan.
Saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan menyebut tidak ada
posko pemenangan, kecuali hanya M. Nazaruddin dan sopirnya Aan
Ikhyaudin. Bukan hanya para relawan, Munadi Herlambang, pengelola
Apartemen Senayan City dan Apartemen Ritz Carlton, bahwa staf M.
Nazaruddin, Nuril Anwar dan Eva Ompita Soraya, serta mantan
ajudannya Wahyudi Utomo membantah tentang posko tersebut. Yang
benar adalah apartemen M. Nazaruddin yang beberapa kali digunakan
untuk pertemuan. Sedangkan mayoritas pertemuan dilakukan di tempat
lain dan berpindah-pindah. Apalagi di Apartemen Ritz Carlton, sama
sekali tidak ada pertemuan terkait dengan persiapan Kongres, karena
apartemen tersebut disewa pribadi oleh saksi Munadi Herlambang
untuk urusan bisnisnya, dimana saksi Munadi Herlambang adalah
member di tempat tersebut dan sering menyewa untuk kepentingan
bisnisnya.
Pertemuan dengan DPC-DPC pada bulan Januari dan Februari 2010
adalah tidak pernah terjadi, karena pembicaraan awal tentang
dorongan untuk maju menjadi Calon Ketua Umum baru pada akhir
Februari 2010. Pertemuan-pertemuan baru dimulai pada akhir Maret
2010 setelah selesai selesainya Pansus Bank Century di DPR. Semua
saksi para relawan dan DPC-DPC yang dihadirkan di persidangan
membantah adanya pertemuan di Apartemen Senayan City pada bulan
Januari (disebut dengan 513 DPC dan DPD) dan Februari (disebut
dengan 400 Ketua DPC). Yang makin tidak logis adalah karena
kapasitas tempat, fasilitas dan prosedurnya tidak memungkinkan
terjadinya pertemuan seperti tergambar dalam dakwaan dan tuntutan.
Cerita ini makin fiktif karna disebut biaya pertemuan dengan 513
DPC dan 430 DPC adalah sama jumlahnya, RP 7.000.000.000,-
Apa yang disebut roadshow ke daerah-daerah adalah tidak
sebagaimana disebutkan di dalam dakwaan dan tuntutan, roadshow atau
silaturrahim hanya terjadi di Aceh pada acara resmi Rakorda, di
Medan dengan sebagian DPC di Sumut, sepulang dari Aceh, di
Yogyakarta dengan sebagian DPC Jawa Tengah, di Kalsel bersamaan
dengan acara KAHMI dan di Makassar dengan sebagian DPC di wilayah
Sulawesi. Roadshow yang disebutkan ke seluruh Indonesia dengan
biaya 15 milyar rupiah adalah tidak benar dan telah dibantah oleh
para saksi. Hanya saksi M. Nazaruddin yang dijadikan dasar
dakwaan.
Demikian pula dengan kegiatan silaturrahmi dengan DPC-DPC di
Hotel Sultan 28 Maret 2010 dan Deklarasi tanggal 15 April 2010
adalah kegiatan yang disiapkan oleh para relawan, tidak dengan
biaya 11 milyar dan 20 milyar sebagaimana disebut di dalam dakwaan
dan tuntutan JPU. Tidak ada biaya-biaya yang disebutkan di dalam
dakwaan dan tuntutan, seperti uang saku, uang entertainment, biaya
siaran langsung, biaya koordinator dan sebagainya. Juga jelas bahwa
tidak ada pembiayaan dari Permai Group. Jumlah DPC yang hadir juga
tidak seperti di dalam dakwaan dan tuntutan. Misalnya disebutkan
446 ditambah 138 DPC untuk acara 28 Maret dan 460 DPC untuk
deklarasi 15 April 2010. Bagaimana bisa hadir 584 DPC kalau jumlah
keseluruhan DPC saat itu adalah 494 DPC? Lalu sisa DPC dari negara
mana? Apalagi tidak mngkin semua DPC hadir, karena dukungan kepada
para kandidat pada saat itu sudah terbelah dan terbagi dengan cukup
jelas. Paling banyak yang hadir adalah separuh dari keseluruhan
jumlah DPC. Selebihnya adalah para kader fungsionaris DPP PD, para
anggota DPR, para senior dan undangan eksternal.
Inti dari semua itu adalah bahwa para saksi mempunyai keterangan
yang berbeda dengan M. Nazaruddin. Jika keterangan banyak saksi
yang mengalami peristiwa secara langsung yang berbeda dan
bertentangan dengan M. Nazaruddin, adalah naif jika yang dipercaya
oleh JPU adalah keterangan M. Nazaruddin. Saksi-saksi lain bisa
dipercaya karena tidak mempunyai kepentingan, tidak mempunyai
agenda tersembunyi untuk mencelakakan pihak lain.
C. Penerimaan dari M. Nazaruddin (Permai Group) sebesar 30
milyar rupiah dan USD 5. 225.000, untuk keperluan pelaksanaan
pemilihan Ketua Umum adalah tidak bisa dibuktikan dan dibantah
dengan telak oleh para saksi yang dihadirkan di persidangan.
Inti-inti dari keterangan yang membantah dakwaan dan tuntutan
tersebut adalah :
- Bahwa uang 30 milyar dari kantong M. Nazaruddin kembali dibawa
ke Jakarta dan disetor kembali ke rekening-rekening perusahaan. Ini
dijelaskan oleh saksi Yulianis. Yang terpakai hanya 700 juta rupiah
untuk keperluan kepanitiaan Kongres, sesuai keterangan saksi
Yulianis dan Nuril Anwar.
- Dari USD 5.225.000,- yang berasal dari Permai Group adalah USD
2 juta, sisanya adalah berasal dari sumbangan-sumbangan. Uang USD 2
juta dari Permai Group kembali utuh dan dibawa ke Jakarta oleh
Neneng Sri Wahyuni. Jadi jelas tidak ada dana dari Permai Group
untuk kepentingan tim relawan pemenangan Terdakwa. Yang digunakan
adalah USD 1,8 juta dari sumbangan-sumbangan dan kemudian ditukar
dalam mata uang USD. Uang sebesar USD 1,8 juta tersebut
dipergunakan atas perintah M. Nazaruddin kepada Nuril Anwar, Eva
Ompita Soraya dan Wahyudi Utomo untuk bermain 3 kaki dalam Kongres,
yakni diberikan kepada DPC-DPC dari semua kandidat. Hal ini
dilakukan karena M. Nazaruddin berambisi untuk menjadi Bendahara
Umum, siapapun yang terpilih menjadi Ketua Umum. Ada pula dana yang
dipergunakan untuk membayar Hotel Masion Pine yang digunakan
sebagai tempat penyelenggaran Kongres, karena pada saat itu M.
Nazaruddin adalah Wakil Bendahara Umum DPP PD yang menjadi
Bendahara Umum defacto karna Bandahara Umum Zainal Abidin meninggal
dunia pada saat proses Pilpres 2009. Sisa dana dari
sumbangan-sumbangan tersebut juga dibawa kembali ke kantor M.
Nazaruddin. Hal demikian terungkap dengan jelas dalam kesaksian
Yulianis, Oktarina Furi, Nuril Awar, Wahyudi Utomo, Eva Ompita
Soraya dan para relawan, seperti Saan Mustopa, Sudewo, Umar Arsal,
Mirwan Amir dan M. Rahmad. Sedangkan apa yang ditulis di dalam
dakwaan dan tuntutan hanya berasal dari keterangan M. Nazaruddin
dan sopirnya Aan Ikhyaudin.
Dari data, keterangan dan kesaksian para saksi tersebut jelas
bahwa bukan ada penerimaan untuk Terdakwa sebagaimana didakwakan
oleh JPU, melainkan justru ada sisa dana dari sumbangan-sumbangan
USD 3,2 juta yang hanya terpakai USD 1,8 juta, untuk hajat dan
kepentingan main tiga kaki oleh M. Nazaruddin, yang dibawa kembali
ke kantor dan dikuasai oleh M. Nazaruddin. Teranglah bahwa yang
terjadi adalah adanya penerimaan sekitar USD 1,4 juta sisa dana
sumbangan oleh M. Nazaruddin dan digunakan untuk kepentingannya
sendiri dan baru diketahui dari proses persidangan ini. Artinya
yang justru untung dari peristiwa Kongres secara finansial adalah
M.Nazaruddin, selain tercapai ambisinya untuk menjadi Bendahara
Umum.
D. Perimaan mobil Toyota Harrier B 15 AUD seharga Rp.
670.000.000,- terbukti bukan dari Adhi Karya sebagai tanda jadi
proyek Hambalang, sebagaimana kesaksian Teuku Bagus M. Noor,
Machfud Suroso, Munadi Herlambang, Yulianis, Clara Maureen dan para
pegawai Adhi Karya. Tuduhan gratifikasi mobil Harrier dari Adhi
Karya sebagai tanda jadi proyek Hambalang inilah yang menjadi awal
mula penetapan Anas Urbaningrum menjadi tersangka proyek Hambalang.
Padahal amatlah jelas bahwa mobil Harrier tersebut tidak ada
kaitannya dengan Adhi Karya dan proyek Hambalang. Gegap gempita
pemberitaan dan opini gratifikasi mobil Harrier dari proyek
Hambalang sudah diangkat sejak akhir 2011, sesuatu yang tidak
logis, tidak berdasar dan tidak ada bukti apapun. Di persidangan
ini semakin terbukti bahwa tidak ada kaitan mobil Harrier dengan
Adhi Karya dan apalagi proyek Hambalang.
Mobil Harrier dibeli pada 12 September 2009 dan sejak hari itu
saya pergunakan, yakni saat saya belum menjadi Anggota DPR, belum
mendapatkan SK sebagai Anggota DPR dan apalagi diambil sumpah/janji
sebagai Anggota DPR. Mobil tersebut juga bukan pemberian, melainkan
saya beli dengan dana talangan awal dari M. Nazaruddin, setelah
saya menyerahkan uang muka 200 juta rupiah dengan disaksikan oleh
Saan Mustopa dan Pasha Sukardi di Restoran Chatter Box Plaza
Senayan.
Belakangan ketika mobil ini dianggap berkasus karena dituduh
berasal dari Adhi Karya, atas skenario cerita dari M. Nazaruddin
dan Marisi Matondang, saya baru tahu bahwa uang 200 juta rupiah
yang saya berikan sebagai uang muka hanya digunakan Rp.
150.000.000,- dan sisanya memakai cek PT. Pasific Putra
Metropolitan sebesar Rp. 520.000.000,-
Pada bulan Februari 2010 saya memberikan cicilan pembayaran
sebesar Rp. 75.000.000,- di ruangan kerja saya, dimana uang diambil
dari lemari kerja oleh M. Rahmad dan diserahkan kepada M.
Nazaruddin. Setelah selesai Kongres, karena ada informasi yang
tidak benar oleh pembicaraan M. Nazaruddin, Juli 2010 mobil Harrier
di jual dan uang hasil penjualan, sebesar Rp. 500.000.000
diserahkan kepada M. Nazaruddin melalui ajudannya Wahyudi Utomo.
Jadi M. Nazaruddin menerima uang muka 200 juta, cicilan 75 juta dan
hasil penjualan 500 juta sehingga total adalah Rp. 775.000.000,
cukup untuk ganti plus keuntungan dari dana yang telah
dikeluarkannya (670 juta rupiah).
Amatlah jelas bahwa mobil Harrier yang bersejarah tersebut bukan
pemberian, bukan pemberian dari Adhi Karya, tidak terkait dengan
proyek Hambalang, dibeli sebelum Terdakwa menjadi Anggota DPR
dengan cara yang halal dan proses jual beli yang lazim. Jadi,
dimanakah letak gratifikasinya? Apa pula kaitannya dengan proyek
Hambalang dan Adhi Karya?
E. Penerimaan lain berupa fasilitas mobil Toyota Vellfire dan
fasilitas survei dari LSI jelaslah bukan penerimaan sebagai
penyelenggara negara. Mobil toyota Vellfire adalah pinjaman dari
seorang sahabat, Wasith Suady, yang merasa ada simpati dan hubungan
batin dan sebagai pinjaman mulai digunakan mulai bulan September
2010, pada saat sudah bukan Anggota DPR. Meskipun mobil tersebut
hendak dipinjamkan bukan kepada Anggota DPR, tetapi kepada
sahabatnya yang menjadi Ketua Umum PD, dan tidak ada udang di balik
batu, tetap saya secara sengaja baru mau menerima dan menggunakan
setelah tidak menjadi Anggota DPR. Oleh karena itulah tidak ada
dasarnya didakwa sebagai penerimaan fasilitas sebagai penyelenggara
negara. Memaksakan mobil pinjaman yang diterima seseorang dan
digunakan setelah tidak lagi sebagai Anggota DPR menjadi penerimaan
fasilitas bagi penyelenggara negara adalah tindakan hukum yang
tidak berdasar dan dapat disebut sebagai aniaya. Apakah dalam
relasi pada kehidupan modern seperti sekarang ini tidak boleh ada
tempat bagi ekspresi simpati dan persahabatan? Apalagi tidak ada
lagi status sebagai penyelenggara negara.
Demikian halnya dengan apa yang dilakukan oleh Denny JA dari LSI
yang ingin merawat dan mengembangkan reputasi lembaganya, termasuk
untuk melakukan investasi, mengapa dipaksakan sebagai penerimaan
fasilitas? Dengan jelas dan tegas saksi Denny JA menyampaikan bahwa
yang dilakukannya bukanlah pemberian kepada Anggota DPR, melainkan
investasi lembaganya untuk terus bisa menjaga reputasi lewat proses
Kongres Partai Demokrat yang saat itu dianggap sebagai peristiwa
politik penting dan bernilai reputasi yang tinggi. Keterangan saksi
Denny JA sejalan dengan kesaksian Saan Mustopa dan Nirwan Amir.
Bahwa peristiwa ini adalah peristiwa investasi dan kerjasama
politik yang tidak ada relevansinya dengan status Anggota DPR,
melainkan sebagai kader partai yang sedang dalam proses kompetisi
demokratik secara internal. Bahwa yang dilakukan Denny JA bukanlah
survei yang dilakukan sebagaimana secara umum dipahami oleh
masyarakat politik, melainkan kampanye tentang pentingnya demokrasi
di dalam Kongres PD dan pentingnya Ketua Dewan Pembina PD mengambil
jarak yang sama dengan semua calon. Jadi kalau didakwa menerima
fasilitas survei sebesar Rp. 478.632.230 adalah tidak benar karena
survei yang dilakukan hanya menelan biaya 20 juta rupiah saja.
Biaya yang besar adalah untuk iklan demokratisasi Kongres Partai
Demokrat dan sekali lagi hal itu dilakukan Denny JA-LSI sebagai
investasi dan sekaligus usaha menjaga dan menaikan reputasi
lembaganya.
Dengan demikian jelas bahwa tidak bisa dibuktikan adanya
penerimaan langsung berupa mobil, karena pada saat itu Terdakwa
bukan penyelenggara negara. Kategori penyelenggara negara dari
Anggota DPR adalah sejak pengambilan sumpah/janji sampai adanya
pengambilan sumpah/janji pada periode berikutnya, kecuali
menyatakan mengundurkan diri, yakni pada saat terbitnya SK
Pemberhentian dari Presiden.
Juga jelas tidak ada penerimaan secara tidak langsung dalam
kaitan dengan Kongres, karena pada saat Kongres yang berlaku adalah
status sebagai kader partai yang dimajukan sebagai Calon Ketua Umum
dan tidak terkait dengan kekuasaan atau kewenangan sebagai anggota
DPR (penyelenggara negara), sebagaimana juga kontestan yang lain
yang Ketua DPR dan Menteri serta Presiden yang juga dipilih Kongres
sebagai Ketua Dewan Pembina. Semua kader PD saat Kongres adalah
dalam status sebagai kader partai, bukan Presiden, Menteri, Ketua
DPR, Ketua Fraksi, Anggota DPR, Gubernur, Bupati, Walikota dan
Anggota DPRD.
Yang Mulia Majelis Hakim,Yang Terhormat Jaksa Penuntut Umum,Tim
Penasihat Hukum dan Sidang Pengadilan yang saya hormati,
Menurut ahli Prof. Edward Omar Syarif Hiarej, ahli Dr. Yunus
Husin, ahli Dr. Khairul Huda bahwa tidak ada tindak pidana
pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asal (predicate
crime). Karena itulah Jaksa Penuntut Umum wajib membuktikan adanya
prediate crime di dalam persidangan sebagai dasar bagi pembuktian
TPPU.
Bahwa dalil JPU menyebutkan bahwa terdapat sisa dana pemenangan
Kongres PD di Bandung tahun 2010 sebesar USD 1,3 juta dan Rp.
700.000.000 dan disimpan di Permai Group, dimasukkan brangkas
operasional dan dijadikan satu dengan dana fee proyek-proyek yang
dibiayai oleh APBN. Bahwa dana sisa tersebut didalilkan digunakan
Terdakwa untuk membayar atau membeli tanah dan bangunan seluruhnya
sebesar Rp. 20.880.100.000,- di Durensawit dan di Jogjakarta, atas
nama Terdakwa, Attabik Ali dan Dinazad.
Bahwa dalil tersebut tidak benar dan tidak bisa dibuktikan di
persidangan. Tidak ada bukti yang bisa dipercaya dan bisa
dipertanggungjawabkan bahwa telah ada aliran uang sisa dana
pemenangan Kongres dan fee proyek-proyek Permai Group kepada
Terdakwa.
Tidak ada pemberian atau penyerahan uang USD 1 juta dari M.
Nazaruddin (Permai Group) kepada Terdakwa. Bahwa cerita tentang
penyerahan uang USD 1 juta oleh supir M. Nazaruddin, Heri Sunandar
kepada Riyadi (sopir Terdakwa) adalah cerita yang dibantah oleh
Wahyudi Utomo yang disebut oleh Heri Sunandar bertemu Riyadi di
Soto Pak Sadi Jalan Walter Monginsidi. Kesaksian Wahyudi Utomo
membantah keterangan Heri Sunandar. Justru keterangan Wahyudi Utomo
dan Nuril Anwar, uang USD 1 juta dibawa ke rumah Marzuki Alie.
Keterangan Heri Sunandar bahwa dia yang mengambil uang dari
Permai Group tidak sama dengan keterangan Makmur, OB Permai Group.
Keterangan Makmur menyebutkan bahwa yang mengambil uang adalah
Wahyudi Utomo, dimana keterangan Makmur sejalan dengan keterangan
Yulianis, Wahyudi Utomo dan Nuril Anwar.
keterangan Heri Sunandar juga berbeda dengan keterangan M.
Nazaruddin yang menyebut penyerahan 10 hari setelah Kongres.
Sedangkan menurut Heri Sunandar adalah Januari 2011.
Keterangan Yulianis menyebutkan di dalam catatan uang USD 1 juta
tersebut adalah untuk Mr. Marisi, kode untuk M. Nazaruddin. Bukan
untuk Terdakwa. Keterangan Riyadi dan Fajar Firmansyah juga berbeda
dengan keterangan Heri Sunandar. Apalagi ada keterangan yang tidak
logis dari Heri Sunandar bahwa uang sebesar USD 1 juta ditaruh di
mobil Kijang dan ditinggalkan di seberang jalan Soto Pak Sadi.
Bagaimana ada sopir yang mengaku tahu isi kotak bungkusan berupa
uang USD 1 juta ditinggal di mobil yang di parkir di seberang jalan
dan tidak terlihat dari tempat makan Soto Pak Sadi .
Jadi dalil tentang aliran dana penyerahan uang USD 1 juta dari
M. NAzaruddin (Permai Group) tidak terbukti, sehingga predicate
crime-nya tidak bisa dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam
persidangan. Karena itulah tidak ada TPPU, baik dalam pembelian
tanah dan bangunan atas nama Terdakwa, 16 November 2010, di
Durensawit, pembelian tanah oleh Attabik Ali di jalan Selat
Makassar Durensawit 28 Juni 2011, pembelian tanah oleh Attabik Ali
di Mantrijeron Jogjakarta tanggal 20 Juli 2011, pembelian tanah
oleh Attabik Ali atas nama Dinazad di Panggungharjo Sewon Bantul 29
Februari 2012, dan pembelian tanah oleh Attabik Ali atas nama
Dinazad di Panggungharjo Sewon Bantul 30 Maret 2013.
Tanah yang Terdakwa beli dari Reny Sari Kurniasih di Jl. Teluk
Semangka C9 No.1 Durensawit Jakarta Timur sebesar 3,3 milyar rupiah
adalah atas bantuan Sdr. Ayung pemilik Sanex Steel, sesuai dengan
keterangan Carel Ticualu, Nurrachmad Rusdam dan Hutomo Agus Subekti
di depan pengadilan. Bukan dibeli dari dana M. Nazaruddin atau
Permai Group atau dari dana sisa Kongres Partai Demokrat di
Bandung.
Sedangkan tanah-tanah yang dibeli Attabik Ali : di Jl. Selat
Makassar Durensawit yang kemudian dibangun untuk markas alumni
Ponpes Krapyak di Jakarta, di Matrijeron Yogyakarta dan di
Panggungharjo Sewon Bantul untuk kepentingan pengembangan pesantren
adalah dibeli dari hasil penjualan kamus dan bantuan-bantuan para
tokoh yang sejak lama dikumpulkan dalam bentuk USD, uang rupiah
simpanan, emas batangan dan tanah yang lokasinya agak jauh dari
kompleks pesantren sehingga lebih baik untuk dilepas sebagai bagian
dari pembayaran tanah yang berbatasan langsung dengan tanah dan
bangunan pesantren.
Amat jelas bahwa dana untuk membeli tanah-tanah tersebut bukan
berasal dari Permai Grup atau M. Nazaruddin. Memang sebagaimana
tradisi kehidupan pesantren pada umumnya, ada kelemahan dari sisi
administras. Tetapi kelemahan administrasi bukanlah alasan untuk
menyebut sebagai tindak pidana pencucian uang. Kalau kelemahan
administrasi dikaitkan dengan tindak pidana, padahal tidak terbukti
ada predicate crime, hal itu akan membahayakan hak-hak warga
negara, khususnya di kalangan pesantren yang belum terbiasa dengan
sistem administrasi yang rapi. Apalagi manajemen pesantren
cenderung bersifat ikhlas dan tidak secara ketat memisahkana aset
pribadi dan pesantren. Malah biasanya aset-aset pribadi diabaikan
untuk kepentingan kemajuan pesantren.
Penegakan hukum seharusnya memperhatikan situasi-situasi khusus
kearifan lokal yang hidup di tengah-tengah masyarakat kita. Cara
pandang sistem keuangan modern tidak bisa serta merta digunakan
untuk menilai peristiwa transaksi yang terkait dengan tradisi
pesantren.
Apalagi jelas bahwa aset-aset yang dibeli tersebut adalah untuk
kepentingan umum dan kemaslahatan orang banyak. Bukan untuk
kepentingan pribadi. Perjuangan mengumpulkan dana dalam waktu yang
cukup lama, baik dari usaha bisnis maupun dari bantuan pihak lain
adalah bagian dari komitmen sosial dan kesukarelawanan. Hal yang
menjadi salah satu sikap dasar dari kalangan pesantren.
Majelis Hakim Yang Saya Muliakan,Jaksa Penuntut Umun, danTim
Penasihat Hukum yang terhormat,
Sesungguhnya di dalam persidangan sudah jelas dan terang
benderang bahwa IUP PT.Arina Kotajaya di Kutai Timur bukan punya
Terdakwa dan bahkan tidak ada kaitannya dengan Terdakwa. tidak ada
saksi satupun yang menyebut dan mengaitkan IUP PT. Arina Kutajaya
itu dengan Terdakwa, kecuali hanya dalam BAP M. Nazaruddin.
Apa yang disebut pertemuan di Hotel Sultan pada awal tahun 2010
yang dihadiri oleh Terdakwa , Isran Noor, M. Nazaruddin,
Khalilurrahman Syahlawi dan Toto Gunawan untuk membicarakan tambang
batubara adalah tidak pernah terjadi dan hanya ada dalam BAP M.
Nazaruddin. Saksi-saksi yang lain menyebut tidak ada pertemuan
dimaksud.
Di dalam proses pengurusan IUP tersebut, mulai dari pembelian
PT. Arina Kotajaya oleh notaris Bertha Herawati, penggantian
pengurusan oleh staf M. Nazaruddin, Syarifah dan Nur Fauziyah,
pembicaraan kerjasama antara M. Nazaruddin, saudara-saudaranya (M.
Nasir dan Mujahidin Nurhasim) dan stafnya dengan Khalilurrahman
Syahlawi, termasuk terbitnya cek oleh Yulianis atas perintah M.
Nazaruddin, proses pengurusan di Kutai Timur dan kemudian terbit
IUP, serta bagaimana setelah IUP itu terbit, semuanya itu Terdakwa
tidak tahu, tidak mengerti dan apalagi terlibat.
Oleh karena itu adalah aneh dan ganjil ketika didakwakan bahwa
IUP PT. Arina Kotajaya adalah milik Terdakwa dan termasuk ke dalam
tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dengan jelas saksi Yulianis,
Bertha Herawati, Syarifah dan Khalilurrahman Syahlawi menyebutkan
IUP PT. Arina Kotajaya adalah milik M. Nazaruddin. Saksi Isran Noor
dan Wijaya Rahman juga menjelaskan bahwa IUP tersebut tidak ada
kaitan dengan Terdakwa. Jika terbitnya IUP tersebut terkait dengan
TPPU, maka fakta-fakta persidangan menunjukkan bahwa semuanya
terkait dan atas perintah M. Nazaruddin.
Mengapa IUP yang terang benderang milik M. Nazaruddin malah
dibalik sebagai milik Terdakwa dan dimaksudkan ke dalam dakwaan dan
tuntutan TPPU. Sungguh hal ini adalah bagian dari usaha yang tidak
baik dan tidak adil, semata-mata untuk menyeret Terdakwa masuk ke
dalam perkara yang tidak pernah diketahuinya.
Mengapa Terdakwa hendak ditarik-tarik hanya karena pernah
bersama-sama di PT. Parama Nusantara dengan Khalilurrahman Syahlawi
dan sudah berhenti sebelum menjadi Anggota DPR. Padahal tidak ada
kaitan apapun PT. Arina Kotajaya dengan PT. Parama Nusantara.
Kalaupun ada, tentu tidak ada kaitannya dengan Terdakwa. Apalagi
faktanya tidak ada hubungan dan kaitan antara PT. Parama Nusantara
dengan PT. Arina Kotajaya.
Mengapa yang tidak ada kaitan dengan Terdakwa dipaksakan sebagai
TPPU? Mengapa bukan TPPU untuk yang jelas-jelas sebagai pemiliknya?
Kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang.
Yang Mulia Majelis Hakim,Yang Terhormat Jaksa Penuntut Umum,Tim
Penasehat Hukum dan Sidang Pengadilan yang saya hormati,
Mencermati tuntutan yang diajukan JPU, sungguh itu adalah
tuntutan yang sangat lengkap, berat dan di luar akal sehat. Lengkap
karena merupakan gabungan dari hukuman badan, uang pengganti,
perampasan aset, denda dan pencabutan hak sipil. Berat karena tidak
sejalan dengan fakta-fakta persidangan yang sudah tergelar secara
terbuka di depan publik. Di luar akal sehat karena tidak bisa
dibedakan dari ekspresi kemarahan, kebencian dan kedzaliman.
Sangat mungkin tuntutan yang sangat berat dan sulit dicerna oleh
akal waras ini adalah karena Terdakwa dituduh melakukan obstruction
of justice. Bagaimana seorang Terdakwa yang ditahan, dicabut
kebebasannya, tidak mempunyai kewenangan dan kekuasaan, disebut
melakukan obstruction of justice atau menghalang-halangi
keadilan?
Apa yang dilakukan Terdakwa di persidangan adalah berusaha
menggali fakta-fakta selengkap mungkin agar bisa dinilai dengan
tepat, adil dan proporsional tentang perkara yang sedang di
dakwakan. Semuanya juga atas izin dari Majelis Hakim yang tentu
mempunyai takaran tentang kepantasan dan kepatutan dalam
persidangan. Bahkan terhadap fasilitas hak ingkar sekalipun,
terdakwa tidak mengambilnya. Terdakwa memilih untuk menggunakan hak
menjelaskan konteks dan memberikan klarifikasi agar persidangan
mendapatkan perspektif yang benar dan sesuai dengan kenyataan.
Semestinya yang dinilai sebagai obstruction of justice adalah
perencanaan dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh M. Nazaruddin
dan para anak buahnya dan pihak lain yang bertujuan mencelakakan
Terdakwa secara hukum, termasuk dengan memberikan
keterangan-keterangan yang tidak benar secara sistematis.
Jika apa yang dilakukan Terdakwa di persidangan untuk secara
sungguh-sungguh menghasilkan fata-fakta yang otentik dan lengkap
dianggap sebagai obstruction of justice, apakah artinya Terdakwa
yang diam dan pasrah, menyerah pada dakwaan meskipun dakwaan
tersebut tidak benar, dianggap sebagai mendukung keadilan? Jika itu
yang dianggap benar dan dinilai sejalan dengan tujuan penegakan
hukum, maka perlu ditegaskan sejak awal bahwa Terdakwa yang baik
dan teladan adalah yang pasrah dengan dakwaan dan menerima begitu
saja di dalam proses persidangan. Tapi saya yakin kita semua yang
cinta dan berkomitmen menegakkan keadilan akan setuju dan mendukung
kontestasi yang adil antara JPU dan Terdakwa, semata-mata untuk
menemukan kebenaran materiil yang akan dinilai oleh Majelis Hakim
berdasarkan aturan hukum dan keyakinannya.
Terhadap tuntutan hukuman badan selama 15 tahun bukan saja
menjadi angka yang berjalan sendirian dan terlepas dari konteks
fakta-fakta persidangan, tapi juga terasa dimotivasi oleh sesuatu
yang tersembunyi dan penuh misteri.
Terhadap tuntutan perampasan aset jelaslah telah kehilangan
argumentasi ketika tidak bisa dibuktikan adanya tindak pidana asal
(predicate crime). Merampas aset warna negara secara tidak sah
adalah tindakan yang batil dan jauh dari keadilan.
Terhadap tuntutan uang pengganti juga amat jelas juga
data-datanya sudah batal dan terbantahkan oleh para saksi di
persidangan. Sebagian amat kecil yang benar juga bukan penerimaan
kepada penyelenggara negara, melaikan kebutuhan pembiayaan politik
yang wajar di dalam forum Kongres dan berkonteks sebagai kebutuhan
dan perjuangan kolektif untuk kepentingan kemajuan partai. Bukan
untuk kepentingan pribadi dan bukan fasilitas pribadi.
Terhadap tuntutan pencabutan hak politik atau hak untuk dipilih
pada jabatan publik adalah tidak berdasar. Bukan saja hal tersebut
berselisih dengan hak sipil warga negara, tetapi juga karena
perkara yang didakwakan sesungguhnya bukan termasuk kategori
korupsi politik, jika kategori tersebut dipandang ada, melainkan
peristiwa politik kompetisi demokratik internal partai yang
dikoruptorkan secara terpilih -terseleksi, yakni hanya pada salah
satu kontestan saja. Memaksakan pencabutan hak politik secara tidak
patut bukanlah tindakan hukum dan keadilan, melaikan tindakan
politik yang diberikan sampul hukum yang bisa disebut sebagai
kekerasan politik dan hukum sekaligus.
Atas dasar itu semua, dengan bertawakal kepada Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Adil dan Bijaksana, saya (Terdakwa) memohon perlindungan
hukum dan keadilan kepada yang Mulia Majelis Hakim. Di dalam palu
Majelis Hakimlah keadilan dalam perkara ini bisa didirikan dan di
tegakkan.
Sebagai anak kampung, anak rakyat, anak orang biasa yang sedang
belajar politik atas dorongan teman-teman dan para sahabat, salah
satunya pernah mempunyai pengalaman pahit tentang cita-cita pribadi
gagal untuk menjadi dosen, sungguh di dakwa korupsi untuk peristiwa
politik adalah pukulan yang sangat berat. Apalagi kemudian diikuti
dengan dakwaan TPPU yang tanpa predicate crime, hanya karena
kekurangan dari segi administrasi, sungguh merupakan ujian yang
luar biasa.
Karena itulah, atas dasar fakta-fakta persidangan, kearifan,
kebenaran dan keadilan, mohon kiranya Majelis Hakim berkenan
memberikan keputusan bahwa Terdakwa tidak terbukti bersalah,
membebaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum dan mengembalikan
harkat dan martabat hidup Terdakwa. Atas perkenan Majelis Hakim
saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih.
Majelis Hakim Yang Saya Muliakan,Jaksa Penuntut Umum Yang
Terhormat,Penasihat Hukum dan Sidang Pengadilan yang saya
hormati,
Sebelum mengakhiri Nota Pembelaan (Pledoi) ini izinkanlah saya
menyampaikan hal-hal yang semoga bisa melengkapi makna, substansi,
spirit dan pesan dasar dari Pledoi ini.
Bahwa sejak awal perkara yang didakwakan kepada saya tidak
terlepas dari dinamika dan kepentingan politik, setidak-tidaknya di
internal PD, tangan kekuasaan dan digiring sedemikian rupa oleh
orkestra opini, karena sebagian kekuatan opini sulit dipisahkan
dari kekuatan dan kepentingan politik. Bahkan hari-hari belakangan
ini orkestrasi opini untuk membangun persepsi, termasuk untuk
mempengaruhi persepsi, perspektif dan keyakinan Hakim. Namun
demikian saya yakin fakta-fakta hukum di persidangan lebih kuat
dibandingkan dengan opini dan persepsi yang secara sistematis
dibangun oleh media-media tertentu.
Saya hanya ingin mengangkat sedikit mutiara nilai kearifan Jawa,
yakni Ojo Dumeh dan Ojo Adigang, Adigung, Adiguna. Secara sederhana
Ojo Dumeh bermakna pesan jangan sombong dan jangan mentang-mentang.
Sedangkan Ojo Adigang, Adigung, Adiguna juga bermakna pesan dan
peringatan kepada siapapun yang memiliki kelebihan (kekuatan,
kedudukan, kekuasaan dan kewenangan) untuk tidak bersikap
sewenang-wenang. Agar siapa yang mempunyai kekuatan, kedudukan,
kekuasaan dan kewenangan tidak terjebak pada sikap Sapa Sira, Sapa
Ingsun, Siapa Kamu, Siapa Aku.
Karena segala sesuatu ada batasnya ada pula masanya. Ada
akhirnya dan ada pula akhirnya. Hal-hal ini amat relevan dengan
ajaran, komitmen dan spirit keadilan di dalam proses penegakan
hukum. Karena diatas segalanya ada kekuasaan Tuhan dan Gusti Ora
Sare, Tuhan tidak tidur. Tuhan menuntun karma mencari alamatnya
sendiri-sendiri sesuai dengan logika alam dan ketentuan Tuhan.
Kepada Jaksa Penuntut Umum sekali lagi saya mengucapkan selamat,
hormat dan terima kasih atas proses dinamis dan bermutu dalam
persidangan ini. Meskipun tuntutan JPU sangat berat dan diluar
nalar keadilan, hal itu tidak mengurangi rasa hormat dan terima
kasih saya, karena boleh jadi Surat Tuntutan itu bukanlah murni
dari kristalisasi pemikiran JPU atas fakta-fakta hukum di
persidangan. Hubungan sebagai sesama manusia tidak seharusnya rusak
hanya karena kontestasi keadilan di persidangan. Esok hari adalah
bagian dari misteri dalam Kuasa Gusti Allah.
Kepada Majelis Hakim, saya menutup Pledoi ini dengan rasa takzim
dan terima kasih yang tulus, karena secara adil telah memimpin dan
memandu persidangan, termasuk memberikan kesempatan yang adil pula
kepada Terdakwa untuk menggali fakta-fakta hukum dan kebenaran.
Tentu disertai permohonan dan harapan untuk memutuskan perkara ini
dengan seadil-adilnya.
Khusus kepada Ketua Majelis Hakim saya menyampaikan selamat
menunaikan ibadah haji. Semoga senantiasa sehat, lancar dan kembali
ke Indonesia sebagai haji mabrur dan dapat melaksanakan tugas
kembali untuk melayani pencari keadilan di negeri ini.
Kepada semua pihak, Pimpinan KPK, penyidik JPU, Majelis Hakim,
hadirin, rekan-rekan wartawan dan siapa saja yang merasa kurang
berkenan atas perkataan, sikap dan tindak tanduk saya dalam proses
penyidikan dan persidangan. semuanya saya lakukan semata-mata untuk
mendapatkan keadilan sebagai warna negara. Karena saya yakin kita
semua tertuju untuk tegaknya keadilan.
Terimakasih atas segala perhatian,Mohon maaf atas segala
kekurangan,Wassalammualaikum Wr. Wb.Jakarta, 18 September 2014
Anas Urbaningrum. [dem]
Baca juga:
Kepastian Hukum dan Keadilan Untuk Membebaskan Anas
Relawan Jokowi Dukung Anas Urbaningrum Perjuangkan Keadilan
Ketua PMHI: Tuntutan JPU Berpotensi Bebaskan Anas
Anas: Di Ujung Palu Hakim Ada Keadilan Tegas Berdiri
Kasus Anas Manipulasi Hukum Jaksa KPK
Top of Form
Also post on Facebook
Posting as Fadjar Riawan (Not you?) Bottom of Form
Chamad Hojin London School of Public RelationSemoga dewi
keadilan masih ada dengan bebaskan AU. Saya menyaksikan persidangan
langsung dari bukti dan saksi yang ada tak ada satupun yang terkait
langsung AU. Semua hanya katanya-katanya. Dalam bahasa hukum :
Terkait perkara pidana, bukti-bukti yang diajukan oleh JPU
semestinya harus lebih terang dari sinar matahari. Faktanya dalam
persidangan tak ada satupun yang terkait langsung dengan AU. Semoga
keadilan masih ada di bumi pertiwi
Reply Like 1 Follow Post September 20 at 11:36am
Akbar Hanubun Works at HMIPutusan atas pencarian kebenaran dan
keadilan yang sedang digeluti oleh Anas Urbaningrum pekan depan
akan menjadi potret penegakan hukum di indonesia. Sebagai kaum yang
bergelut dalam dunia hukum yang juga tertarik untuk terjun dan
bergabung dengan aktor politk lainya dalam dunia politik dengan
kesadaran penuh bahwa pintu politik adalah ruang untuk menciptakan
masyarakat adil makmur yang di ridhoi oleh Allah SWT selaras dengan
pancasila dan UUD 1945. oleh karenanya, dengan kolom ini saya
dengan penuh keyakinan hoqul yakin dengan pertimbangan akal sehat
dan paling rasional saya doakan semoga Kakanda Anas Urbaningrum
divonis tidak bersalah dan bebas serta kembali dalam aktifitas
untuk membangun bangsa dan negara.
Salam hormat saya Akbar Hanubun
#SaveAnasUrbaningrum
Reply Like Follow Post September 19 at 11:53pm
Fx Hananto Follow Top Commenter Universitas Katolik
ParahyanganMau pembelaan seperti apa juga percuma "KASUS ANAS =
ASUS ANTASARI" pasti dihukum seberat2 nya karena kental nuasa
POLITIK dimana Anas dan Antasari ditetapkan jadi sasaran tembak
_1473138273.unknown
_1473138272.unknown