1 Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Studi ini ingin mengungkap adanya upaya kontrol terhadap eksistensi politik perempuan dalam setting drama politik. Fenomena pengontrolan terhadap politik perempuan berimplikasi pada pergeseran eksistensi dan peran politik perempuan dari masa konflik ke pasca konflik. Tujuan penelitian ini ingin menelusuri strategi dramaturgi yang dilakukan oleh politik maskulin dalam mempengaruhi eksistensi gerakan politik perempuan di Aceh. Sebuah gerakan yang dapat dianggap sebagai ikon pergerakan perempuan di masa konflik Aceh, menghilang eksistensi mereka dalam praktik politik lokal Aceh pasca Mou Helsinki. Politik di Aceh saat ini dikuasai oleh mayoritas eks-kombatan GAM. Eksistensi gerakan politik perempuan tidak hanya sebatas pada tujuan jangka pendek. Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran bentuk gerakan feminis melibatkan diri dalam politik dengan arti konvensional dan memperluas wilayah aksi politik dengan cara yang signifikan (Elizabeth Frezer 2009: 85). Menurut Flonence Butegawa (dalam Nur Iman Subono 2010; 78), seorang pengacara perempuan dari Uganda mengatakan bahwa “partisipasi perempuan dalam politik bukanlah sebuah kemewahan, tapi sebuah kebutuhan (woman’s participation in politics is not luxury, but a necessity). Kebutuhan bagi perempuan untuk memaknai pendefinisian dirinya dalam masyarakat. Di samping itu
39
Embed
Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Bab I:
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Studi ini ingin mengungkap adanya upaya kontrol terhadap eksistensi politik
perempuan dalam setting drama politik. Fenomena pengontrolan terhadap politik
perempuan berimplikasi pada pergeseran eksistensi dan peran politik perempuan dari
masa konflik ke pasca konflik. Tujuan penelitian ini ingin menelusuri strategi
dramaturgi yang dilakukan oleh politik maskulin dalam mempengaruhi eksistensi
gerakan politik perempuan di Aceh. Sebuah gerakan yang dapat dianggap sebagai
ikon pergerakan perempuan di masa konflik Aceh, menghilang eksistensi mereka
dalam praktik politik lokal Aceh pasca Mou Helsinki. Politik di Aceh saat ini
dikuasai oleh mayoritas eks-kombatan GAM.
Eksistensi gerakan politik perempuan tidak hanya sebatas pada tujuan jangka
pendek. Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan.
Penggambaran bentuk gerakan feminis melibatkan diri dalam politik dengan arti
konvensional dan memperluas wilayah aksi politik dengan cara yang signifikan
(Elizabeth Frezer 2009: 85). Menurut Flonence Butegawa (dalam Nur Iman Subono
2010; 78), seorang pengacara perempuan dari Uganda mengatakan bahwa “partisipasi
perempuan dalam politik bukanlah sebuah kemewahan, tapi sebuah kebutuhan
(woman’s participation in politics is not luxury, but a necessity). Kebutuhan bagi
perempuan untuk memaknai pendefinisian dirinya dalam masyarakat. Di samping itu
2
juga menjadi penyeimbang bentuk representasi power dalam balancing distribution
of power.
Pada faktanya semangat tersebut kerap kali terbentur oleh budaya partiarkhi.
Budaya partiarkhi dalam konsep feminis bisa dikatakan penindasan terhadap
perempuan. Budaya partiarkhi memperbesar dominasi laki-laki terhadap ranah
publik. Menurut Ramazonoglu, secara implisit ataupun eksplisit berbagai teori
partiarki merupakan teori-teori yang menjelaskan pembentukan dan pemeliharaan
dominasi laki-laki dalam aspek sosial, ideologi, seksual, politik dan ekonomi (1989:
33, dalam Hollows 2010: 8). Budaya yang membuat politik dominasi dilakukan
berlangsung tanpa disadari. Pada akhirnya melemahkan gerakan politik perempuan
dengan budaya partiarki yang lebih kuat.
Menghilangnya eksistensi politik perempuan merupakan konstruksi sosial
yang terciptakan. Adanya dominasi politik laki-laki terhadap eksistensi perempuan
dalam ruang politik terbentuk secara tidak sadar. Dari hasil konstruksi sosial tersebut,
perempuan kerap kali hanya dijadikan lakon sandiwara dalam suatu kondisi politik.
Secara politis, keberadaan perempuan dalam kondisi politik tertentu memberi
keuntungan bagi pihak maskulin. Pihak maskulin dapat mengoperasikan pencapaian
tujuan politiknya. Seperti yang dikemukakan oleh Sara Mills, sosok simbolis
perempuan Inggris yang murni secara seksual memainkan peran penting dalam
konteks kolonial dan tampaknya dituntut untuk berperan dalam membenarkan
berbagai tindakan pemerintah imperial (2009: 169). Mereka memainkan peran
penting dalam melestarikan pemerintah kolonial.
3
Politik maskulin layaknya budaya yang mengakar dan melembaga. Politik
maskulin melakukan dominasi yang telah memposisikan perempuan hanya sebagai
alat bagi strategi politik yang dimainkan oleh pihak laki-laki. Strategi politik yang
mempergunakan perempuan layaknya alat dalam pementasan drama politik. Posisi
perempuan sebagai alat dapat dikontrol dan dipergunakan sebatas fungsinya sebagai
instrumen keberlangsungan drama politik. Dominasi politik melegitimasi monopoli
kuasa terhadap posisi politik perempuan.
Penelitian ini akan melihat strategi dramaturi memainkan peran dalam
mengontrol eksistensi dan peran pasukan inong balee. Hal ini didasarkan pada adanua
pergeseran peran yang cukup siknifikan atas pasukan inong balee sebagai salah satu
bentuk representasi perempuan. Pasukan inong balee telah melibatkan diri dalam
berbagai peran dalam konflik seperti mengangkat senjata, sebagai kurir, penyuplai
logistik, penyebar informasi, propaganda dan intelijen serta tim medis dalam struktur
GAM. Pasukan inong balee merupakan warna baru pergerakan perempuan dalam
politik modern.
Dengan segala problematikanya, Aceh memperlihatkan fenomena menarik
khususnya dalam hal politik perempuan. Pergerakan perempuan biasanya bertujuan
bagi kepentingan perempuan. Namun perempuan Aceh dalam kelompok pasukan
inong balee memperlihatkan gerakan dalam memobilisasi tujuan politik untuk meraih
kemerdekaan. Kemerdekaan dari penindasan atas ketidakadilan yang ditunjukkan
oleh Pemerintah Indonesia. Upaya meraih kemerdekaan membawa kepentingan laki-
laki dan perempuan atas nama masyarakat Aceh. Pembuktian eksistensinya juga
4
ditunjukkan secara nyata dalam konflik. Pasukan inong balee menunjukkan
kemampuannya bekerja sama dengan laki-laki dalam domain yang dikatakan hanya
milik kaum laki-laki.
Di ranah politik lokal Aceh, telaah politik perempuan dapat ditinjau lebih
dalam secara praktik. Suasana konflik selama puluhan tahun telah menciptakan
politik perempuan secara nyata dengan kehadiran gerakan pasukan inong balee.
Sebutan pasukan inong balee merupakan sebuah pasukan angkatan laut perempuan
yang dikomandoi oleh Laksamana Malahayati untuk melawan Belanda. Berbekal
semangat historis tersebut, GAM ingin menyambung kembali historis masa lalu yang
terputus. Historis masa kerajaan pasca terputusnya tahta kerajaan Aceh tahun 1873.
GAM menghidupkan kembali struktur-struktur politik di masa Kerajaan Aceh. Salah
satunya adalah pasukan inong balee. Pasukan inong balee dilahirkan kembali dalam
versi modern bergabung dalam struktur GAM.
Eksistensi dan peran pasukan inong balee terlihat jelas saat konflik.
Eksistensi pasukan inong balee mulai memudar ketika berlangsungnya proses
perundingan GAM-RI di Helsinki. Pasukan inong balee sebagai representasi gerakan
politik perempuan dalam struktur GAM tidak dilibatkan dalam perundingan tersebut.
Padahal proses negosiasi sebagai langkah awal agar mereka berperan dalam politik
pasca Mou Helsinki. Padahal proses negosiasi dapat menjadi wadah legitimasi bagi
eksistensi pasukan inong balee.
Pasca Mou Helsinki disepakati, semua gerilyawan termasuk pasukan inong
balee sebagai elemen dari sayap militer GAM tidak terlepas dari struktur Komite
5
Peralihan Aceh (KPA). KPA merupakan sebuah wadah pembinaan bagi mantan
kombatan GAM yang aktif dalam perang gerilya. Mantan kombatan (GAM dan
pasukan inong balee) bertransformasi mensipilkan diri dalam lembaga KPA. KPA
adalah organisasi yang dibentuk dari turunan poin (3) MoU Helsinki tentang Amnesti
dan Reintegrasi dalam masyarakat, sebagai berikut:
“3.2.1. Sebagai warga negara Republik Indonesia, semua orang yang telah diberikan amnesti atau dibebaskan dari Lembaga Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua hak-hak politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional”. Kekuatan politik GAM berpindah pada KPA pasca konflik. Di sisi lain
GAM juga membentuk partai politik lokal sebagai gerakan politik formal, yaitu Partai
Aceh. Partai Aceh dibentuk oleh KPA sebagai kendaraan politik untuk maju dalam
pemilu. Keberadaan pasukan inong balee dalam struktural KPA sangat
menguntungkan partai Aceh. Keberadaan mereka secara otomatis memberi
keuntungan bagi Partai Aceh terkait terakomodasi 30% keterwakilan perempuan
dengan kehadiran pasukan inong balee. Terlepas dari eksistensi atau tidaknya
pasukan inong balee di wilayah publik.
Keberadaan pasukan inong balee dalam KPA dapat dianggap sebatas
keanggotaan. Tanpa berorientasi pada eksistensi nyata pasukan inong balee dalam
politik Aceh. Dominasi laki-laki telah mengembalikan eksistensi pasukan inong balee
ke ranah domestik. Pada kenyataannya, ada individu-individu dalam pasukan inong
balee yang dapat eksis dalam ranah politik GAM pasca Mou Helsinki. Namun tidak
dapat menjadi representasi pasukan inong balee secara keseluruhan. Terdapat
6
perbandingan jumlah yang tidak signifikan. Setelah perjuangan dan pengorbanan
yang ditunjukkan, pasukan inong balee berada pada posisi tidak mendapat pengakuan
untuk memperjelas posisi politiknya. Terjadi the lost politic of generation terhadap
eksistensi pasukan inong balee. Walaupun tidak menutup kemungkinan adanya
pemahaman ganda atas pudarnya eksistensi pasukan inong balee. Maksudnya di sini,
eksistensi pasukan inong balee menghilang pasca Mou Helsinki bisa saja menjadi
pilihan politik pasukan inong balee terkait arah perjuangan yang dianggap telah
berbeda.
Eksistensi pasukan inong balee yang menghilang tak pelak hanya dinilai
sebatas masuk atau tidaknya mereka dalam lembaga KPA. Namun sebuah eksistensi
harus dapat dibuktikan lewat publisitas dan kehidupan publik. Publisitas dan
kehidupan publik merupakan hal yang bernilai dalam eksistensi politik perempuan
(Elizabeth Frezer 2009: 85). Publisitas di sini yaitu berbicara dan bertindak di
wilayah publik. Tujuannya agar suara mereka didengar dan tindakan mereka dilihat
oleh publik. Publikasi menjadi landasan agenda kelompok feminis bagi kekuasaan
politik.
Hal publisitas di ranah publik mengidentifikasi hilangnya eksistensi pasukan
inong balee dalam ranah politik lokal di Aceh. Budaya partiarki dalam lembaga KPA
hanya menampung mereka secara keanggotaan. Hal itu membuat posisi pasukan
inong balee “mengambang”. Mengambang di sini, secara keanggotaan struktural
mereka ada dalam lembaga KPA. Sebaliknya secara publisitas dan kehidupan politik,
eksistensi mereka tidak tercapai.
7
Uraian di atas memperlihatkan sebuah skema dominasi yang memposisikan
pasukan inong balee sebagai objek dalam realisasi politik maskulin. Strategi dominasi
akan dijelaskan dengan mengibaratkan perpolitikan selayaknya panggung kesan
dramaturgi yang dimainkan oleh pihak maskulin untuk memonopoli kuasa terhadap
gerakan politik perempuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini ditunjukkan untuk
menjawab pertanyaan: “Bagaimana strategi dramaturgi memainkan peran untuk
mengontrol eksistensi pasukan inong balee dalam dinamika politik Aceh?”. Adapun
pertanyaan turunannya adalah:
1. Bagaimana kuasa maskulin bekerja dalam interaksi antara laki-laki dan
perempuan dalam upaya dominasi?
2. Bagaimana strategi dramaturgi bekerja untuk mengontrol eksistensi pasukan
inong balee di masa konflik?
3. Bagaimana kontinuitas kuasa atas pasukan inong balee melalui strategi
dramaturgi di pasca konflik?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mengemban dua misi utama. Pertama, menjelaskan kuasa
politik maskulin merupakan usaha pengontrolan eksistensi perempuan di wilayah
publik. Kedua, memahami bahwa keterlibatan perempuan dalam politik kerap
8
dijadikan sebagai alat politik bagi laki-laki. Simbol perempuan punya andil sebagai
tujuan politik laki-laki dalam kondisi politik tertentu.
D. Literatur Review: Eksistensi Perempuan dalam Dinamika Politik
Perempuan dan Perempuan dalam Politik Lokal Pasca Konflik
Dalam mengkaji politik perempuan tidak terlepas dari pengaruh dominasi
budaya partiarkhi baik disengaja maupun tidak disengaja. Budaya partiakhi
merupakan hasil konstruksi sosial yang menempatkan perempuan cenderung berada
pada posisi warga kelas dua. Beavoir dalam buku feminis thought (Tong, 2010)
menyebutnya dengan istilah the second sex, khususnya dalam dunia politik. Menurut
Elizabeth Frazer (2009: 85), politik adalah praktik dan studi tentang kekuasaan untuk
memerintah. Praktik dimaknai mencakup: penggunaan, pengaturan, pengaruh atau
tekanan terhadap pemerintah, tentu saja perlawanan terhadap pemerintahan dan
kekuasaannya. Selayaknya perempuan dapat memposisikan diri dalam praktik politik.
Praktik dominasi politik dilakukan terhadap perempuan punya aplikasi yang
berbeda-beda di ranah publik. Baik perempuan telah dapat masuk ke dalam politik
lalu termarginalisasi, atau perempuan tidak dibuka kesempatan untuk memasuki
arena politik. Wilayah politik dianggap sebagai wilayah yang tidak aman bagi
perempuan. Implikasinya terjadi pengembalian bahkan konsistensi perempuan untuk
berada di ranah domestik. Konsistensi posisi perempuan menjadi pilihan politik
terbaik dalam dominasi maskulin.
9
Perempuan sama dengan laki-laki dalam konteks politik. Perempuan juga
memiliki kesadaran politik yang menumbuhkan gagasan-gagasan dalam upaya
perubahan kondisi politik di wilayahnya. Seperti di negara Arab, penguasa politik di
wilayah tersebut menyadari kesadaran politik perempuan. Penguasa politik sangat
peka untuk meminimalisir keterlibatan perempuan. Nawal El Saadawi (2007)
menguraikan bagaimana kesadaran politik perempuan Arab tidak memiliki kekuatan
politik apapun dalam kancah perseteruan politik. Penguasa mengancam hak-hak
perempuan lewat krisis ekonomi dan politik internasional. Upaya menekan kontribusi
perempuan dalam politik digunakan lewat kedok agama. Menurut mereka agama
hanya melegalkan perempuan tetap berada dalam porsi utama dalam ranah domestik.
Terkait dengan keterlibatan perempuan dalam politik, Nikki Craske (1999)
mengakui perempuan memiliki hambatan cukup besar dalam politik. Namun ia
menyatakan bahwa sudah ada pergeseran penting yang baru dalam hubungan gender
dan sifat politik bahkan praktek politik. Penelitiannya di Amerika Latin menyebutkan
perempuan telah dilibatkan dalam proses politik dan membuat kontribusi berharga
bagi perdebatan politik gender. Seperti keterlibatan perempuan dalam institusi politik,
tempat kerja, gerakan sosial, gerakan revolusioner bahkan gerakan feminis sendiri.
Peningkatan menguatnya politik perempuan mulai diupayakan melalui kosep
pemberdayaan gender. Perempuan terlihat telah diberdayakan dengan institusi
(lembaga) mereka sendiri melalui keputusan dan tindakan. Sumberdaya medium
lewat lembaga dapat digunakan dalam praktek, sehingga prestasi menjadi dampak
dari lembaga (Ismail, Maimunah dkk 2011). Meskipun pemerintah dan lembaga-
10
lembaga politik tampaknya melibatkan perempuan. Namun secara kuantitas
keterlibatan ini masih minim dan perempuan tetap menghadapi hambatan besar dalam
politik.
Gambaran yang dipaparkan oleh Waylen (1996) tentang perempuan di
negara-negara ketiga. Perempuan mulai bisa masuk dalam jajaran elit politik dan
turut mempengaruhi kebijakan pemerintah. Di pihak lain pemerintah memberikan
dukungan bagi isu-isu perempuan dengan mendirikan komite-komite dan dewan-
dewan perempuan. Di saat bersamaan gerakan politik perempuan popular akan
menjadi marjinal dalam lingkungan politik. Isu-isu yang dibawa hanya akan
terkooptasi dan tersubordinasi dalam kepentingan mayoritas elit laki-laki yang
menguasai arena politik.
Pengalaman yang terjadi di Asia, kehadiran perempuan di arena politik tidak
membawa perubahan terhadap representasi politik perempuan yang cenderung begitu
buruk (Nur Iman Subono, 2010). Kemunculan tokoh perempuan sangat berkaitan
dengan diri mereka yang merupakan bagian dari keluarga atau dinasti politik. Modal
perempuan sebagai bagian dari dinasti orang-orang berpengaruh dalam politik. Modal
tersebut malah mendudukkan perempuan sebagai simbol alternatif non-partisan.
Maksudnya di sini perempuan muncul sebagai sosok yang terlihat tidak terlibat dalam
keburukan politik rezim pada saat itu. Sosok perempuan dianggap dapat dipercaya
untuk memimpin rezim selanjutnya. Pengalaman ini mempertegas bahwa keberadaan
perempuan dalam arena politik di-setting sebagai alat oleh politik maskulin.
11
Keberadaan perempuan dalam politik sudah mulai dipertanyakan. Ada
indikasi keberadaan perempuan dalam politik hanya sebagai aksesoris politik, tanpa
memiliki motivasi dan kompetensi cukup memadai untuk terjun ke dalam dunia
politik (Asfar, hal 399, 2004). Capaian jenjang posisi perempuan di politik sekedar
mempergunakan modal dinasti politik untuk menempatkan posisi politik. Posisi
tersebut tidak mampu membawa perubahan bagi kondisi perempuan. Padahal
keberadaan perempuan setidaknya dapat membawa perubahan cara pandang khalayak
ramai bahwa keberadaan perempuan dalam politik benar-benar dibutuhkan. Dimana
dapat membawa perubahan bagi kondisi masyarakat secara luas.
Indonesia mengalami kemunduran dalam berdemokrasi, terlihat dari
penerapan hak asasi perempuan. Subversifitas perempuan dalam ranah publik
khususnya politik ditenggelamkan lewat penjualan isu agama. Isu agama tidak hanya
ampuh untuk melemahkan politik perempuan Arab, tetapi berlaku juga di Indonesia.
Penghancuran gerakan perempuan melalui stigmatisasi negatif yang menyentuh
kepekaan religion sehingga ikut menyerang pergerakan tersebut. Seperti