Top Banner
1 Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Studi ini ingin mengungkap adanya upaya kontrol terhadap eksistensi politik perempuan dalam setting drama politik. Fenomena pengontrolan terhadap politik perempuan berimplikasi pada pergeseran eksistensi dan peran politik perempuan dari masa konflik ke pasca konflik. Tujuan penelitian ini ingin menelusuri strategi dramaturgi yang dilakukan oleh politik maskulin dalam mempengaruhi eksistensi gerakan politik perempuan di Aceh. Sebuah gerakan yang dapat dianggap sebagai ikon pergerakan perempuan di masa konflik Aceh, menghilang eksistensi mereka dalam praktik politik lokal Aceh pasca Mou Helsinki. Politik di Aceh saat ini dikuasai oleh mayoritas eks-kombatan GAM. Eksistensi gerakan politik perempuan tidak hanya sebatas pada tujuan jangka pendek. Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran bentuk gerakan feminis melibatkan diri dalam politik dengan arti konvensional dan memperluas wilayah aksi politik dengan cara yang signifikan (Elizabeth Frezer 2009: 85). Menurut Flonence Butegawa (dalam Nur Iman Subono 2010; 78), seorang pengacara perempuan dari Uganda mengatakan bahwa “partisipasi perempuan dalam politik bukanlah sebuah kemewahan, tapi sebuah kebutuhan (woman’s participation in politics is not luxury, but a necessity). Kebutuhan bagi perempuan untuk memaknai pendefinisian dirinya dalam masyarakat. Di samping itu
39

Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

Apr 21, 2019

Download

Documents

nguyennguyet
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

1

Bab I:

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Studi ini ingin mengungkap adanya upaya kontrol terhadap eksistensi politik

perempuan dalam setting drama politik. Fenomena pengontrolan terhadap politik

perempuan berimplikasi pada pergeseran eksistensi dan peran politik perempuan dari

masa konflik ke pasca konflik. Tujuan penelitian ini ingin menelusuri strategi

dramaturgi yang dilakukan oleh politik maskulin dalam mempengaruhi eksistensi

gerakan politik perempuan di Aceh. Sebuah gerakan yang dapat dianggap sebagai

ikon pergerakan perempuan di masa konflik Aceh, menghilang eksistensi mereka

dalam praktik politik lokal Aceh pasca Mou Helsinki. Politik di Aceh saat ini

dikuasai oleh mayoritas eks-kombatan GAM.

Eksistensi gerakan politik perempuan tidak hanya sebatas pada tujuan jangka

pendek. Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan.

Penggambaran bentuk gerakan feminis melibatkan diri dalam politik dengan arti

konvensional dan memperluas wilayah aksi politik dengan cara yang signifikan

(Elizabeth Frezer 2009: 85). Menurut Flonence Butegawa (dalam Nur Iman Subono

2010; 78), seorang pengacara perempuan dari Uganda mengatakan bahwa “partisipasi

perempuan dalam politik bukanlah sebuah kemewahan, tapi sebuah kebutuhan

(woman’s participation in politics is not luxury, but a necessity). Kebutuhan bagi

perempuan untuk memaknai pendefinisian dirinya dalam masyarakat. Di samping itu

Page 2: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

2

juga menjadi penyeimbang bentuk representasi power dalam balancing distribution

of power.

Pada faktanya semangat tersebut kerap kali terbentur oleh budaya partiarkhi.

Budaya partiarkhi dalam konsep feminis bisa dikatakan penindasan terhadap

perempuan. Budaya partiarkhi memperbesar dominasi laki-laki terhadap ranah

publik. Menurut Ramazonoglu, secara implisit ataupun eksplisit berbagai teori

partiarki merupakan teori-teori yang menjelaskan pembentukan dan pemeliharaan

dominasi laki-laki dalam aspek sosial, ideologi, seksual, politik dan ekonomi (1989:

33, dalam Hollows 2010: 8). Budaya yang membuat politik dominasi dilakukan

berlangsung tanpa disadari. Pada akhirnya melemahkan gerakan politik perempuan

dengan budaya partiarki yang lebih kuat.

Menghilangnya eksistensi politik perempuan merupakan konstruksi sosial

yang terciptakan. Adanya dominasi politik laki-laki terhadap eksistensi perempuan

dalam ruang politik terbentuk secara tidak sadar. Dari hasil konstruksi sosial tersebut,

perempuan kerap kali hanya dijadikan lakon sandiwara dalam suatu kondisi politik.

Secara politis, keberadaan perempuan dalam kondisi politik tertentu memberi

keuntungan bagi pihak maskulin. Pihak maskulin dapat mengoperasikan pencapaian

tujuan politiknya. Seperti yang dikemukakan oleh Sara Mills, sosok simbolis

perempuan Inggris yang murni secara seksual memainkan peran penting dalam

konteks kolonial dan tampaknya dituntut untuk berperan dalam membenarkan

berbagai tindakan pemerintah imperial (2009: 169). Mereka memainkan peran

penting dalam melestarikan pemerintah kolonial.

Page 3: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

3

Politik maskulin layaknya budaya yang mengakar dan melembaga. Politik

maskulin melakukan dominasi yang telah memposisikan perempuan hanya sebagai

alat bagi strategi politik yang dimainkan oleh pihak laki-laki. Strategi politik yang

mempergunakan perempuan layaknya alat dalam pementasan drama politik. Posisi

perempuan sebagai alat dapat dikontrol dan dipergunakan sebatas fungsinya sebagai

instrumen keberlangsungan drama politik. Dominasi politik melegitimasi monopoli

kuasa terhadap posisi politik perempuan.

Penelitian ini akan melihat strategi dramaturi memainkan peran dalam

mengontrol eksistensi dan peran pasukan inong balee. Hal ini didasarkan pada adanua

pergeseran peran yang cukup siknifikan atas pasukan inong balee sebagai salah satu

bentuk representasi perempuan. Pasukan inong balee telah melibatkan diri dalam

berbagai peran dalam konflik seperti mengangkat senjata, sebagai kurir, penyuplai

logistik, penyebar informasi, propaganda dan intelijen serta tim medis dalam struktur

GAM. Pasukan inong balee merupakan warna baru pergerakan perempuan dalam

politik modern.

Dengan segala problematikanya, Aceh memperlihatkan fenomena menarik

khususnya dalam hal politik perempuan. Pergerakan perempuan biasanya bertujuan

bagi kepentingan perempuan. Namun perempuan Aceh dalam kelompok pasukan

inong balee memperlihatkan gerakan dalam memobilisasi tujuan politik untuk meraih

kemerdekaan. Kemerdekaan dari penindasan atas ketidakadilan yang ditunjukkan

oleh Pemerintah Indonesia. Upaya meraih kemerdekaan membawa kepentingan laki-

laki dan perempuan atas nama masyarakat Aceh. Pembuktian eksistensinya juga

Page 4: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

4

ditunjukkan secara nyata dalam konflik. Pasukan inong balee menunjukkan

kemampuannya bekerja sama dengan laki-laki dalam domain yang dikatakan hanya

milik kaum laki-laki.

Di ranah politik lokal Aceh, telaah politik perempuan dapat ditinjau lebih

dalam secara praktik. Suasana konflik selama puluhan tahun telah menciptakan

politik perempuan secara nyata dengan kehadiran gerakan pasukan inong balee.

Sebutan pasukan inong balee merupakan sebuah pasukan angkatan laut perempuan

yang dikomandoi oleh Laksamana Malahayati untuk melawan Belanda. Berbekal

semangat historis tersebut, GAM ingin menyambung kembali historis masa lalu yang

terputus. Historis masa kerajaan pasca terputusnya tahta kerajaan Aceh tahun 1873.

GAM menghidupkan kembali struktur-struktur politik di masa Kerajaan Aceh. Salah

satunya adalah pasukan inong balee. Pasukan inong balee dilahirkan kembali dalam

versi modern bergabung dalam struktur GAM.

Eksistensi dan peran pasukan inong balee terlihat jelas saat konflik.

Eksistensi pasukan inong balee mulai memudar ketika berlangsungnya proses

perundingan GAM-RI di Helsinki. Pasukan inong balee sebagai representasi gerakan

politik perempuan dalam struktur GAM tidak dilibatkan dalam perundingan tersebut.

Padahal proses negosiasi sebagai langkah awal agar mereka berperan dalam politik

pasca Mou Helsinki. Padahal proses negosiasi dapat menjadi wadah legitimasi bagi

eksistensi pasukan inong balee.

Pasca Mou Helsinki disepakati, semua gerilyawan termasuk pasukan inong

balee sebagai elemen dari sayap militer GAM tidak terlepas dari struktur Komite

Page 5: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

5

Peralihan Aceh (KPA). KPA merupakan sebuah wadah pembinaan bagi mantan

kombatan GAM yang aktif dalam perang gerilya. Mantan kombatan (GAM dan

pasukan inong balee) bertransformasi mensipilkan diri dalam lembaga KPA. KPA

adalah organisasi yang dibentuk dari turunan poin (3) MoU Helsinki tentang Amnesti

dan Reintegrasi dalam masyarakat, sebagai berikut:

“3.2.1. Sebagai warga negara Republik Indonesia, semua orang yang telah diberikan amnesti atau dibebaskan dari Lembaga Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua hak-hak politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional”. Kekuatan politik GAM berpindah pada KPA pasca konflik. Di sisi lain

GAM juga membentuk partai politik lokal sebagai gerakan politik formal, yaitu Partai

Aceh. Partai Aceh dibentuk oleh KPA sebagai kendaraan politik untuk maju dalam

pemilu. Keberadaan pasukan inong balee dalam struktural KPA sangat

menguntungkan partai Aceh. Keberadaan mereka secara otomatis memberi

keuntungan bagi Partai Aceh terkait terakomodasi 30% keterwakilan perempuan

dengan kehadiran pasukan inong balee. Terlepas dari eksistensi atau tidaknya

pasukan inong balee di wilayah publik.

Keberadaan pasukan inong balee dalam KPA dapat dianggap sebatas

keanggotaan. Tanpa berorientasi pada eksistensi nyata pasukan inong balee dalam

politik Aceh. Dominasi laki-laki telah mengembalikan eksistensi pasukan inong balee

ke ranah domestik. Pada kenyataannya, ada individu-individu dalam pasukan inong

balee yang dapat eksis dalam ranah politik GAM pasca Mou Helsinki. Namun tidak

dapat menjadi representasi pasukan inong balee secara keseluruhan. Terdapat

Page 6: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

6

perbandingan jumlah yang tidak signifikan. Setelah perjuangan dan pengorbanan

yang ditunjukkan, pasukan inong balee berada pada posisi tidak mendapat pengakuan

untuk memperjelas posisi politiknya. Terjadi the lost politic of generation terhadap

eksistensi pasukan inong balee. Walaupun tidak menutup kemungkinan adanya

pemahaman ganda atas pudarnya eksistensi pasukan inong balee. Maksudnya di sini,

eksistensi pasukan inong balee menghilang pasca Mou Helsinki bisa saja menjadi

pilihan politik pasukan inong balee terkait arah perjuangan yang dianggap telah

berbeda.

Eksistensi pasukan inong balee yang menghilang tak pelak hanya dinilai

sebatas masuk atau tidaknya mereka dalam lembaga KPA. Namun sebuah eksistensi

harus dapat dibuktikan lewat publisitas dan kehidupan publik. Publisitas dan

kehidupan publik merupakan hal yang bernilai dalam eksistensi politik perempuan

(Elizabeth Frezer 2009: 85). Publisitas di sini yaitu berbicara dan bertindak di

wilayah publik. Tujuannya agar suara mereka didengar dan tindakan mereka dilihat

oleh publik. Publikasi menjadi landasan agenda kelompok feminis bagi kekuasaan

politik.

Hal publisitas di ranah publik mengidentifikasi hilangnya eksistensi pasukan

inong balee dalam ranah politik lokal di Aceh. Budaya partiarki dalam lembaga KPA

hanya menampung mereka secara keanggotaan. Hal itu membuat posisi pasukan

inong balee “mengambang”. Mengambang di sini, secara keanggotaan struktural

mereka ada dalam lembaga KPA. Sebaliknya secara publisitas dan kehidupan politik,

eksistensi mereka tidak tercapai.

Page 7: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

7

Uraian di atas memperlihatkan sebuah skema dominasi yang memposisikan

pasukan inong balee sebagai objek dalam realisasi politik maskulin. Strategi dominasi

akan dijelaskan dengan mengibaratkan perpolitikan selayaknya panggung kesan

dramaturgi yang dimainkan oleh pihak maskulin untuk memonopoli kuasa terhadap

gerakan politik perempuan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini ditunjukkan untuk

menjawab pertanyaan: “Bagaimana strategi dramaturgi memainkan peran untuk

mengontrol eksistensi pasukan inong balee dalam dinamika politik Aceh?”. Adapun

pertanyaan turunannya adalah:

1. Bagaimana kuasa maskulin bekerja dalam interaksi antara laki-laki dan

perempuan dalam upaya dominasi?

2. Bagaimana strategi dramaturgi bekerja untuk mengontrol eksistensi pasukan

inong balee di masa konflik?

3. Bagaimana kontinuitas kuasa atas pasukan inong balee melalui strategi

dramaturgi di pasca konflik?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mengemban dua misi utama. Pertama, menjelaskan kuasa

politik maskulin merupakan usaha pengontrolan eksistensi perempuan di wilayah

publik. Kedua, memahami bahwa keterlibatan perempuan dalam politik kerap

Page 8: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

8

dijadikan sebagai alat politik bagi laki-laki. Simbol perempuan punya andil sebagai

tujuan politik laki-laki dalam kondisi politik tertentu.

D. Literatur Review: Eksistensi Perempuan dalam Dinamika Politik

Perempuan dan Perempuan dalam Politik Lokal Pasca Konflik

Dalam mengkaji politik perempuan tidak terlepas dari pengaruh dominasi

budaya partiarkhi baik disengaja maupun tidak disengaja. Budaya partiakhi

merupakan hasil konstruksi sosial yang menempatkan perempuan cenderung berada

pada posisi warga kelas dua. Beavoir dalam buku feminis thought (Tong, 2010)

menyebutnya dengan istilah the second sex, khususnya dalam dunia politik. Menurut

Elizabeth Frazer (2009: 85), politik adalah praktik dan studi tentang kekuasaan untuk

memerintah. Praktik dimaknai mencakup: penggunaan, pengaturan, pengaruh atau

tekanan terhadap pemerintah, tentu saja perlawanan terhadap pemerintahan dan

kekuasaannya. Selayaknya perempuan dapat memposisikan diri dalam praktik politik.

Praktik dominasi politik dilakukan terhadap perempuan punya aplikasi yang

berbeda-beda di ranah publik. Baik perempuan telah dapat masuk ke dalam politik

lalu termarginalisasi, atau perempuan tidak dibuka kesempatan untuk memasuki

arena politik. Wilayah politik dianggap sebagai wilayah yang tidak aman bagi

perempuan. Implikasinya terjadi pengembalian bahkan konsistensi perempuan untuk

berada di ranah domestik. Konsistensi posisi perempuan menjadi pilihan politik

terbaik dalam dominasi maskulin.

Page 9: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

9

Perempuan sama dengan laki-laki dalam konteks politik. Perempuan juga

memiliki kesadaran politik yang menumbuhkan gagasan-gagasan dalam upaya

perubahan kondisi politik di wilayahnya. Seperti di negara Arab, penguasa politik di

wilayah tersebut menyadari kesadaran politik perempuan. Penguasa politik sangat

peka untuk meminimalisir keterlibatan perempuan. Nawal El Saadawi (2007)

menguraikan bagaimana kesadaran politik perempuan Arab tidak memiliki kekuatan

politik apapun dalam kancah perseteruan politik. Penguasa mengancam hak-hak

perempuan lewat krisis ekonomi dan politik internasional. Upaya menekan kontribusi

perempuan dalam politik digunakan lewat kedok agama. Menurut mereka agama

hanya melegalkan perempuan tetap berada dalam porsi utama dalam ranah domestik.

Terkait dengan keterlibatan perempuan dalam politik, Nikki Craske (1999)

mengakui perempuan memiliki hambatan cukup besar dalam politik. Namun ia

menyatakan bahwa sudah ada pergeseran penting yang baru dalam hubungan gender

dan sifat politik bahkan praktek politik. Penelitiannya di Amerika Latin menyebutkan

perempuan telah dilibatkan dalam proses politik dan membuat kontribusi berharga

bagi perdebatan politik gender. Seperti keterlibatan perempuan dalam institusi politik,

tempat kerja, gerakan sosial, gerakan revolusioner bahkan gerakan feminis sendiri.

Peningkatan menguatnya politik perempuan mulai diupayakan melalui kosep

pemberdayaan gender. Perempuan terlihat telah diberdayakan dengan institusi

(lembaga) mereka sendiri melalui keputusan dan tindakan. Sumberdaya medium

lewat lembaga dapat digunakan dalam praktek, sehingga prestasi menjadi dampak

dari lembaga (Ismail, Maimunah dkk 2011). Meskipun pemerintah dan lembaga-

Page 10: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

10

lembaga politik tampaknya melibatkan perempuan. Namun secara kuantitas

keterlibatan ini masih minim dan perempuan tetap menghadapi hambatan besar dalam

politik.

Gambaran yang dipaparkan oleh Waylen (1996) tentang perempuan di

negara-negara ketiga. Perempuan mulai bisa masuk dalam jajaran elit politik dan

turut mempengaruhi kebijakan pemerintah. Di pihak lain pemerintah memberikan

dukungan bagi isu-isu perempuan dengan mendirikan komite-komite dan dewan-

dewan perempuan. Di saat bersamaan gerakan politik perempuan popular akan

menjadi marjinal dalam lingkungan politik. Isu-isu yang dibawa hanya akan

terkooptasi dan tersubordinasi dalam kepentingan mayoritas elit laki-laki yang

menguasai arena politik.

Pengalaman yang terjadi di Asia, kehadiran perempuan di arena politik tidak

membawa perubahan terhadap representasi politik perempuan yang cenderung begitu

buruk (Nur Iman Subono, 2010). Kemunculan tokoh perempuan sangat berkaitan

dengan diri mereka yang merupakan bagian dari keluarga atau dinasti politik. Modal

perempuan sebagai bagian dari dinasti orang-orang berpengaruh dalam politik. Modal

tersebut malah mendudukkan perempuan sebagai simbol alternatif non-partisan.

Maksudnya di sini perempuan muncul sebagai sosok yang terlihat tidak terlibat dalam

keburukan politik rezim pada saat itu. Sosok perempuan dianggap dapat dipercaya

untuk memimpin rezim selanjutnya. Pengalaman ini mempertegas bahwa keberadaan

perempuan dalam arena politik di-setting sebagai alat oleh politik maskulin.

Page 11: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

11

Keberadaan perempuan dalam politik sudah mulai dipertanyakan. Ada

indikasi keberadaan perempuan dalam politik hanya sebagai aksesoris politik, tanpa

memiliki motivasi dan kompetensi cukup memadai untuk terjun ke dalam dunia

politik (Asfar, hal 399, 2004). Capaian jenjang posisi perempuan di politik sekedar

mempergunakan modal dinasti politik untuk menempatkan posisi politik. Posisi

tersebut tidak mampu membawa perubahan bagi kondisi perempuan. Padahal

keberadaan perempuan setidaknya dapat membawa perubahan cara pandang khalayak

ramai bahwa keberadaan perempuan dalam politik benar-benar dibutuhkan. Dimana

dapat membawa perubahan bagi kondisi masyarakat secara luas.

Indonesia mengalami kemunduran dalam berdemokrasi, terlihat dari

penerapan hak asasi perempuan. Subversifitas perempuan dalam ranah publik

khususnya politik ditenggelamkan lewat penjualan isu agama. Isu agama tidak hanya

ampuh untuk melemahkan politik perempuan Arab, tetapi berlaku juga di Indonesia.

Penghancuran gerakan perempuan melalui stigmatisasi negatif yang menyentuh

kepekaan religion sehingga ikut menyerang pergerakan tersebut. Seperti

penghancuran Gerwani pasca kejatuhan PKI (Wieringa 2010). Penghancuran

Gerwani sebagai gerakan perempuan pada waktu itu meletakkan pola subordinasi

kaum perempuan. Sebuah rezim berupaya memanipulasi simbol-simbol seksual

secara gamblang lewat dalih pengukuhan ideologi sebuah rezim (Wieringa 2010). Isu

politik seksual turut memancing kemarahan kelompok konservatif terutama

kelompok berbasis agama. Kelompok tersebut ikut menyerang dan mematikan

gerakan politik perempuan (baca: Gerwani). Politik stigmatisasi terhadap perempuan

Page 12: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

12

menyimpulkan bahwa bangsa ini pernah mengalami suatu massa dimana perempuan

dipaksa tidak memasuki wilayah politik (Ratna Mustika Sari 2007). Penghambatan

perempuan menggunakan kedok agama atau perempuan hanya dijadikan simbol non-

partisipan menunjukkan Indonesia mengalami kemampanan demokrasi yang masih

minim. Ketidakmampuan berdemokrasi dalam membuka kesempatan seluas-luasnya

bagi perempuan untuk masuk ke arena politik.

Dari uraian panjang tentang politik perempuan, kita dapat menemukan

beberapa pemahaman. Pertama, fakta yang ditemukan bahwa kajian tentang politik

perempuan tidak selalu fokus pada politik formal, baik itu membicarakan jumlah

perempuan di parlemen, birokrasi dan lain-lain. Politik perempuan juga mengaitkan

eksistensi perempuan dalam ranah politik secara pergerakan nyata. Keterlibatan

perempuan bukan hanya keterlibatan secara keanggotaan di lembaga atau institusi.

Namun wujud eksistensi nyata atas keberadaan mereka dalam lembaga dan institusi.

Keterlibatan perempuan dalam politik masih memiliki hambatan dari segi eksistensi

dan peran secara nyata. Praktek politik nyata yang dapat mempengaruhi dan

melakukan penekanan terhadap kebijakan dalam lembaga.

Dalam kasus pasukan inong balee terlihat adanya tekanan terhadap

eksistensi mereka. Pasukan inong balee menunjukkan eksistensi dan peran nyata saat

konflik, namun mengalami pengkaburan pasca konflik. Keterlibatan pasukan inong

balee dalam politik gerilyawan bukan berdasarkan modal dinasti politik. Akan tetapi

mereka dapat menunjukkan gerakan ekstrim dalam memperjuangkan hak atas

daerahnya yang telah dimonopoli oleh pusat. Mereka menentang aksi kekerasan yang

Page 13: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

13

leluasa dilakukan semasa pemberlakukan daerah operasi militer di Aceh. Pasca

konflik kondisi berubah bagi pasukan inong balee. Keterlibatan mereka tidak

mendapat pengakuan dan dibatasi untuk berperan aktif dalam membentuk masa

depan wilayah mereka (baca: Aceh) (Elsa Clave-Çelik, 2008).

Kedua, selama ini studi tentang politik perempuan lebih mengulas peran

agama menghambat perjalanan politik perempuan. Aceh sebagai daerah dengan

penerapan syariat Islam tidak menutup peluang bagi perempuan untuk terlibat dalam

ruang publik. Argumen Siapno (2002) tentang Aceh, melihat bahwa Islam di Aceh

tidak fokus membatasi peran perempuan di publik dan merekonstruksi praktik

indigenous dalam cara mendomestikkan dan mensubordinasikan perempuan. Dia

menambahkan kelangsungan kehidupan masyarakat Aceh mengikuti sistem

kepercayaan dan praktek indigenous. Praktek yang menimbulkan sebuah level tinggi

dari kekuatan female. Keberadaan perempuan dalam hubungan paralel dengan makna

tradisi Muslim (Siapno, 2002, hal: 199).

Ketiga, sebuah penelitian terdahulu tentang pasukan inong balee berjudul

Female Ex-Combatants Reitegration into Post-Conflict Aceh: Women at the

Periphery yang ditulis oleh Dara Meutia Uning (2008: 43) membuktikan program

reintegrasi berbasis ekonomi tidak membawa perubahan siknifikan terhadap eks-

kombatan perempuan. Namun sebaliknya telah mengasingkan mereka dari

masyarakat dan sebagai gantinya Aceh terjebak ke lingkaran ketergantungan. Ia juga

menambahkan bahwa pasca Mou Helsinki perempuan eks-kombatan (baca: pasukan

inong balee) semakin terpinggirkan dalam mengakses manfaat ekonomi serta posisi

Page 14: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

14

keuntungan di pemerintah daerah. Berbeda halnya dibandingkan dengan mantan

kombatan laki-laki. Implikasinya mereka tidak mampu meningkatkan status sosial

mereka seperti halnya mantan kombatan laki-laki. Padahal pada masa konflik,

pengorbanan yang dilakukan eks-kombatan baik itu perempuan dan laki-laki tidak

berbeda.

Studi ini berangkat dari literatur-literatur tentang politik perempuan. Politik

perempuan secara tersirat mengindikasikan bahwa perempuan sulit eksis secara nyata

dalam ranah politik. Keterlibatan perempuan dalam politik sering kali dijadikan

sebatas simbol. Simbol yang dipergunakan sebagai alat politik bagi laki-laki. Dalam

kasus ini, asumsi penggunaan simbol perempuan semakin menguat dengan melihat

hasil kajian Siapno (2002). Menurutnya Aceh tidak mengalami partiarki Islam dalam

peran perempuan di arena publik. Apabila faktanya demikian, bagaimana eksistensi

dari sebuah pergerakan perempuan yang telah nyata dapat menghilang dalam

dinamika politik Aceh? Selanjutnya apabila thesis Uning (2008) tentang pasukan

inong balee lebih memfokuskan pada dampak program reintegrasi berbasis ekonomi

terhadap kehidupan sosial dan ekonomi yang menyebabkan ketergantungan. Namun

studi ini lebih menekankan bagaimana cara bekerjanya kuasa maskulin mengontrol

gerakan politik perempuan.

E. Kerangka Teori

Studi ini dalam upaya mengungkap logika dan cara kerja strategi

pengontrolan terhadap perempuan. Strategi pengontrolan oleh politik maskulin

Page 15: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

15

mempergunakan simbol perempuan sebagai alat politik mereka. Akibatnya posisi

politik perempuan (baca: pasukan inong balee) yang hanya sebatas simbolik sehingga

dengan mudah berlangsung proses penyetiran eksistensi pasukan inong balee pada

masa konflik dan hilangnya eksistensi pasukan inong balee pasca konflik Aceh. Ada

beberapa hal yang perlu dijadikan kerangka teori. Pertama, studi ini ingin

menjelaskan strategi dalam mempengaruhi eksistensi perempuan dengan

menggunakan konsep Goffman tentang strategi dramaturgi. Dimana menggunakan

analisis dramaturgis (permainan panggung) yang mengibaratkan perpolitikan pasukan

inong balee sebagai drama sehingga tidak terlepas dari proses institusionalisasi dan

labeling, manajemen kesan, jarak peran dan stigma serta analisis kerangka (dalam

Ritzer, 2012). Proses-proses tersebut telah di-setting oleh sebuah tim di back stage,

dimana menjelaskan ada upaya pengontrolan oleh tim di back stage terhadap objek

(pelaku drama) yang berada di front state (baca: pasukan inong balee).

Kedua, studi ini ingin menelaah politik dalam analisis mikro dengan

pendekatan aktor untuk mengungkap makna kuasa dalam interaksi yang menempel

pada struktur atau lembaga. Dimana dapat mengkaji perubahan eksistensi politik

perempuan dalam tubuh gerilyawan perempuan (baca: pasukan inong balee) sangat

terlihat saat konflik dalam struktur GAM, lalu kemudian eksistensinya menghilang

pasca Mou Helsinki walaupun secara keanggotaan mereka tergabung dalam struktur

KPA (Komite Peralihan Aceh). Konsep Goffman sangat berkontribusi menjelaskan

bekerjanya strategi permainan panggung (dramaturgi) yang menggambarkan proses

Page 16: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

16

pergeseran gerakan politik perempuan sebagai simbol di masa konflik hingga tergeser

eksistensinya pasca konflik.

1. Politik Dominasi Diri dan Dramaturgi: melalui Proses Institusionalisasi

dan Labeling

Dalam sebuah kehidupan sosial, manusia tidak terhindar dari interaksi sosial.

Interaksi sosial yang melukiskan sebuah permainan panggung. Permainan panggung

yang tidak hanya menggambarkan interaksi sosial antara pemeran dan audiens,

namun juga interaksi pemain dengan tim yang menyusun skenario. Menurut

Goffman, manusia cenderung terlibat dalam pelaksanaan permainan panggung,

berfokus pada dramaturgi. Pandangan mengenai kehidupan sosial sebagai

serangkaian sandiwara dramatik mirip dengan yang ditampilkan di panggung.

Goffman menyimpulkan mengenai diri yang dibentuk oleh pendekatan

dramaturgisnya (Alieva 2008; dalam Ritzer, 2012: 637). Kehidupan sosial sebagai

suatu panggung yang di atasnya manusia memerankan diri mereka. Mereka

menjelaskan dukungan sosial yang ditekan menjadi kehadiran untuk melayani orang

lain (PIP JONES 2010:144).

Permainan panggung menjadi pola interaksionisme simbolik dalam

menggunakan simbol-simbol seperti yang dikonsepkan oleh Goffman.

Interaksionisme simbolik melihat bagaimana kehidupan sosial secara harfiah adalah

“interaksi manusia melalui penggunaan simbol-simbol” (Goffman dalam PIP JONES

2010:142). Interaksionisme simbolik menelusuri cara manusia menggunakan simbol

untuk mengungkapkan apa yang mereka maksud dan berkomunikasi satu sama lain.

Page 17: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

17

Interpretasi atas simbol-simbol tercipta terhadap kelakuan pihak-pihak yang terlibat

selama interaksi sosial. Dampak yang terlihat dari interpretasi ditimbulkan oleh

interaksionisme simbolik bagi teori tindakan sosial adalah elaborasi dan menjelaskan

berbagai interpretasi terhadap orang lain. Interpretasi terhadap identitas sosial

individu yang menjadi objek dari hasil interpretasi.

Dalam hal ini Goffman (Goffman dalam PIP JONES 2010:146)

menggambarkan permainan panggung dengan menunjukkan penggunaan simbol-

simbol sebagai wujud simbolisasi dalam interaksi. Wujud simbolisasi tidak terlepas

dari dampaknya yang melahirkan teori labeling. Teori labeling sebagai wujud

penggunaan simbol-simbol yang lahir dari interaksionisme simbolik. Di sini ia

menjelaskan bahwa manusia kadang-kadang menjadi korban interpretasi atau label

orang lain. Selama identitas sosial mereka dapat dipengaruhi atau bahkan menentang

kehendak mereka dalam sebuah permainan panggung. Teori labeling memperlihatkan

dalam proses labeling tidak dapat melawan dampak yang diberikan terhadap dirinya.

Ketepatan dan kebenaran suatu label tidak menjadi berarti apa-apa bila dibandingkan

dengan kekuasaan dari dampaknya. Dapat dikatakan, bahwa teori labeling

memainkan relasi kuasa sebagai dampak dari hasil intepretasi.

Hasil intepretasi dari objek yang dilabel biasanya mengalami proses

institusionalisasi yang kemudian menggambarkan aktor di panggung depan. Goffman

menganalogikan pertunjukkan dramaturgi sebagai sebuah analogi teatrikal, yang

mana berbicara tentang adanya panggung belakang (back stage) dan panggung depan

(front stage).

Page 18: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

18

Proses institusioalisasi berlangsung di panggung belakang. Panggung

belakang (back stage) didiskusikan oleh Goffman ialah tempat fakta-fakta yang

ditindas di panggung bagian depan atau berbagai jenis tindakan-tindakan informal

bisa kelihatan. Panggung belakang dijaga sedemikian rupa agar audiens tidak dapat

memasukinya. Di panggung belakang (back stage) merupakan ruang dimana

berjalannya skenario pertunjukan oleh “tim”. Suatu tim adalah setiap sekumpulan

individu bekerja sama dalam mementaskan rutinitas tunggal (Goffman dalam Ritzer,

2012: 614). Tim ini mengatur pementasan masing-masing aktor, dimana aktor-aktor

memerankan perannya masing-masing sesuai dengan skenario yang ditetapkan. Tim

berupa sejenis agen serikat rahasia yang tidak terlihat secara langsung oleh audiens.

Ia sebagai agen yang melakukan dominasi diri sehingga setiap peran telah terstruktur

baku sesuai kesepakatan skenario.

Dramaturgi hanya dapat berlaku di institusi total. Institusi total dimaksud

ialah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau

keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut. Ciri-ciri

institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasaan (hegemoni) dan hierarki yang

jelas. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut

pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Di dalam

institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang

akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan.

Goffman juga menambahkan, objek yang dilabelisasi akan benar-benar

“dikoloni” atau “diinstusionalisasi”. Pada proses institusionalisasi terdapat realisasi

Page 19: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

19

kuasa yang tidak seimbang, membuat objek tidak mampu menolak dominasi yang

terjadi pada dirinya. Pelaksanaan kekuasaan dalam interaksi tersebut bekerja melalui

normalisasi “kebencian” dan “ketakutan” menjadi sebuah kebenaran ( Goffman

dalam Gardner 1989). Pembenaran atas wacana tersebut merupakan bentuk

penindasan terhadap perempuan (Goffman dalam West 1996). Pada akhirnya

pembenaran akan mempermudah proses labeling terhadap perempuan.

Proses institusionalisasi memainkan pola politik dominasi diri terhadap

orang yang diinterpretasikan dengan labeling. Goffman (1968, dalam PIP JONES

2010:150) mendefinisikan institusi total sebagai tempat-tempat tinggal dan bekerja

dimana sejumlah orang yang dikondisikan sama dipisahkan dari masyarakat yang

lebih luas untuk waktu yang cukup lama. Mereka bersama-sama menjalani kehidupan

yang diatur secara formal berdasarkan jadwal-jadwal yang ketat. Pengaturan

kehidupan benar-benar dirancang untuk mengganti citra-diri yang ada dengan yang

baru. Citra diri yang lebih dapat diterima oleh institusi.

Prosedur yang digunakan dalam proses institusionalisasi dirancang dengan

membuang semua simbol kasat mata orang yang dilabel. Menggantikannya dengan

indikasi-indikasi seseorang yang baru sesuai kehendak institusi, seperti pakaian, gaya

rambut, dan lain-lain. Setelah itu objek akan lebih menyukai kehidupan di dalam

institusi dari pada di luar institusi. Orang-orang tersebut akan “benar-benar berubah”

citra diri mereka. Bukan hanya mematuhi tetapi juga meniru model peran petugas.

Institusionalisasi menampakkan adanya kuasa. Penggunaan label-label

menunjukkan tentang penggunaan kekuasaan. Penggunaan kekuasaan ini biasanya

Page 20: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

20

diletakkan pada orang-orang yang paling tidak berdaya dan paling tidak memiliki

kekuasaan dalam masyarakat, yakni orang-orang yang paling tidak mampu melawan

proses itu (Goffman dalam PIP JONES 2010:152). Dengan demikian, teori labeling

memandang hubungan antara orang yang membuat label dan yang dilabel di daerah

kehidupan sosial ini secara esensial adalah kekuasaan.

Setelah proses institusionalisasi di panggung belakang, maka panggung

depan menjadi panggung yang dapat terlihat jelas oleh para audiens. Panggung

bagian depan adalah bagian dari sandiwara yang secara umum berfungsi dengan cara-

cara yang agak baku. Pada umumnya untuk mendefinisikan situasi bagi orang-orang

yang mengamati sandiwara agar dapat menikmati sandiwara dengan jelas.

Di panggung depan terdapat bagian depan-latar (setting front) dan bagian

depan-pribadi (front personal). Depan-pribadi (front personal) menampilkan

penampilan dan gaya. Penampilan menunjukkan barang yang mengenalkan status

aktor, sedangkan gaya menunjukkan peran yang dimainkan oleh aktor. Aktor terlihat

menggunakan identitas baru yang lebih sesuai untuk memenuhi kebutuhan institusi.

Objek yang institusionalisasi akan menghindari kekacauan dengan memainkan peran

apapun yang diinginkan oleh institusi.

Dampak labeling oleh organisasi terhadap konstruksi kepribadian sosial dan

khususnya terhadap terciptanya citra diri yang baru. Bekerjanya tim di belakang

pementasan dramaturgis dengan proses institusionalisasi dan labeling yang mengarah

pada berlangsungnya pengontrolan gerakan perempuan sebagai aktor. Gerakan

dimana aktor akan memerankan diri dalam permainan panggung. Diri atau pribadi

Page 21: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

21

sebagai alat politik. Pengontrolan terhadap diri mengarah pada wujud monopoli

terhadap aktor. Mengatur dan mengontrol diri (baca: perempuan) secara sistemik

(West 1996). Dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan terjadi hubungan

penganiayaan sistemik atas perempuan dalam politik dan penyalahgunaan sistemik

perempuan di ranah publik (West 1996).

2. Manajemen Kesan: Konsistensi Dominasi Diri

Manajemen kesan menjadi sesi khusus yang dilancarkan oleh tim dramaturgi

agar kesan tertentu yang ditangkap oleh audiens terhadap para aktor tidak berubah.

Para aktor berharap bahwa pengertian diri yang mereka sajikan kepada audiens. Akan

cukup kuat bagi audiens untuk mendefinisikan para aktor seperti yang diinginkan

aktor itu (Ritzer 2010 642). Aktor-aktor telah di-setting oleh timnya terkait teknik-

teknik yang digunakan para aktor. Tujuannya untuk memelihara kesan-kesan tertentu

dalam menghadapi masalah-masalah yang mungkin mereka jumpai. Serta metode-

metode yang mereka gunakan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.

Secara umum, manajemen kesan (P.Manning, 2005c, dalam Ritzer 2012:

642) diorientasikan untuk menjaga serangkaian tindakan yang tidak diharapkan.

Seperti halnya gerak isyarat yang tidak diinginkan, gangguan yang tidak

menguntungkan, kecerobohan, dan juga tindakan-tindakan yang tidak diinginkan

seperti membuat onar. Ganguan-gangguan itu diperkirakan akan mengganggu peran

yang sedang dimainkan para aktor dan terganggunya keberlangsungan jalannya

panggung sandiwara tersebut.

Page 22: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

22

Goffman memaparkan berbagai metode menangani masalah-masalah itu

(dalam Ritzer 2010, 642). Pertama, metode yang digunakan ialah dengan tindakan-

tindakan yang bertujuan menghasilkan kesetiaan dramaturgis. Misalnya

menumbuhkembangkan kesetiaan yang tinggi dalam kelompok, mencegah anggota

tim mengindentifikasi sang audiens, dan mengubah para audiens secara periodik

sehingga mereka tidak dapat terlalu kenal dengan para pemain sandiwara. Kesetiaan

terhadap dramaturgis menjadi penting mengingat pentingnya konsistensi

keberlangsungan dramaturgis. Kesetiaan tersebut juga mengukuhkan konsistensi

terhadap dominasi diri yang sedang berlangsung pada aktor. Audiens yang tidak

terlalu mengenal diri aktor diharapkan bahwa aktor tidak terlalu terkontaminasi

dengan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para audiensnya.

Kedua, Goffman menyarankan berbagai bentuk disiplin dramaturgis. Seperti

memusatkan pikiran untuk menghindari salah ucap, menjaga pengendalian diri, dan

mengatur ungkapan raut wajah dan nada verbal sandiwara seseorang. Dalam tubuh

gerakan gerilyawan, disiplin dramaturgis menjadi syarat utama untuk menjaga

konsistensi gerakan. Setiap anggota telah didoktrin sedemikian rupa agar tetap

berpegang teguh dengan peran-peran yang telah dipilihkan oleh tim. Hal itu sangat

bermanfaat untuk keberlangsungan permainan panggung yang telah disepakati.

Ketiga, dia mengenali berbagai tipe sifat hati-hati dramaturgis. Seperti

menentukan terlebih dahulu bagaimana suatu pementasan harus berjalan,

merencanakan keadaan darurat, menyeleksi kawan seregu yang setia, menyeleksi para

pendengar yang baik, melibatkan diri di dalam tim-tim kecil yang kurang mungkin

Page 23: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

23

dirundung perselisihan, hanya membuat penampilan-penampilan singkat, mencegah

audiens mengakses informasi pribadi, dan memutuskan berdasarkan agenda yang

komplet untuk mencegah kejadian-kejadian yang tidak teramalkan. Proses

institusionalisasi bagi para objek merupakan usaha untuk mengenali sifat hati-hati

dramaturgis.

Ketiga metode manajemen kesan yang dipaparkan oleh Goffman

memperlihatkan bahwa strategi manajemen kesan diperuntukkan agar konsistensi

dominasi diri bersifat permanen. Upaya menghindari gangguan terhadap

berlangsungnya permainan panggung yang sedang berlangsung.

3. Jarak Peran dan Stigma: Strategi Pergeseran Peran dan Eksistensi

Konsep yang selanjutnya diperlihatkan oleh Goffman ialah jarak peran dan

stigma. Jarak peran membahas derajat ketika para individu memisahkan diri dari

peran-peran mereka (Butera 2008, dalam Ritzer 2012: 643). Penarikan peran pada

diri individu dikondisikan pada pergantian permainan panggung yang akan

dilaksanakan. Hal ini yang kemudian menjadi strategi pengkaburan eksistensi diri

terhadap peran yang mereka dilakonkan oleh seorang individu. Salah satu wawasan

kunci Goffman ialah bahwa jarak peran adalah suatu fungsi dari status sosial

seseorang.

Berkaitan dengan stigma, Goffman (1963, dalam Ritzer 2010: 644) tertarik

pada jurang antara seperti apa seseorang seharusnya, “identitas sosial virtual”, dan

seperti apa seseorang secara aktual, “identitas sosial aktual”. Setiap orang yang

Page 24: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

24

mempunyai celah di antara dua identitas tersebut distigmatisasi. Stigma berfokus

pada interaksi dramaturgis antara orang yang terstigmatisasi dan orang-orang normal.

Maksudnya di sini, proses stigmatisasi yang mengarah pada aktor memerankan

interaksi dramaturgis mesti dikelola sehingga tidak merusak penilaian audiens

terhadap aktor bahkan tidak mengganggu berjalannya proses politik yang sudah di

setting oleh tim.

Dapat dilihat bahwa seseorang dengan stigma yang didiskredit. Masalah

dramaturgis mendasar ialah mengelola ketegangan yang dihasilkan oleh fakta bahwa

orang-orang mengetahui masalah itu. Untuk seseorang dengan stigma yang dapat

didiskredit, masalah dramaturgis ialah mengelola informasi sehingga masalah itu

tetap tidak diketahui oleh para audiens. Stigma buruk yang tersebar dan diketahui

oleh audiens akan menganggu keberlangsungan interaksi dramaturgis. Tindakan

kepatuhan itu termasuk sebuah proses untuk menghilangkan stigmatisasi yang

melekat pada diri aktor. Dengan demikian, pengelolaan jarak peran dan stigma

menjadi strategi mengarah pada pergeseran peran dan eksistensi diri yang disetir oleh

subjek.

4. Analisis Kerangka (Frame Analysis) sebagai Kristalisasi Politik

Hierarki

Analisis kerangka yang dikonsepkan oleh Goffman menyiratkan bahwa

tindakan lebih banyak didefinisikan melalui ketaatan mekanis kepada aturan-aturan

daripada melalui suatu proses aktif, kreatif, dan dinegosiasikan (dalam Ritzer 2010,

Page 25: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

25

645). Goffman menyatakan tujuannya dengan jelas: “berusaha untuk memisahkan

beberapa dari kerangka kerja dasar pengertian yang tersedia di masyarakat kita untuk

mengerti peristiwa-peristiwa dan menganalisis kerentanan khusus yang melanda

kerangka acuan (1974:10, dalam Ritzer 2010: 645). Aturan-aturan sebagai alat

legitimasi agar kerangka acuan tetap berada pada kesepakatan awal.

Kerangka acuan sebagai sejumlah komponen esensial yang mempunyai

susunan yang jelas. Selain itu hubungan-hubungan yang stabil selalu ditemukan

bersama sebagai suatu sistem. Oleh karena itu, kerangka sangat dekat dengan

penggambaran akan “struktur-struktur” (Gonos, 1977:860, dalam Ritzer 2010:646).

Dalam mencari struktur-struktur yang mengatur secara tidak kasat mata, Goffman

melihat keluar dan dibalik situasi-situasi sehari-hari. Dengan membuat peristiwa-

peristiwa atau kejadian-kejadian penuh arti, kerangka-kerangka berfungsi untuk

mengorganisasi pengalaman dan memandu tindakan, entah itu individu ataupun

kolektif” (Snow, 1986: 446, dalam Ritzer 2010: 646). Kerangka adalah prinsip-

prinsip pengaturan yang mendefinisikan pengalaman-pengalaman kita.

Ditambahkan lagi oleh Gonos, kerangka sebagian besar adalah aturan-aturan

atau hukum-hukum yang memperbaiki interaksi. Aturan-aturan biasanya tidak sadar

dan biasanya tidak dapat dinegosiasi. Goffman melihat bahwa dalam sebuah interaksi

terdapat struktur dan ideologi yang abadi. Bukan mengenai situasi-situasi, tetapi

mengenai kerangka-kerangkanya (1980:160, dalam Ritzer 2010: 646). Kerangka-

kerangka yang secara tidak sadar memaksa aktor tersebut untuk tetap berada dalam

Page 26: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

26

lingkaran kerangka acuan. Kesepakatan politik yang telah dibuat tetap terjaga.

Walaupun kondisi atau situasi maupun cara aplikasi tujuan politik yang telah berbeda.

Snow (2007, dalam Ritzer 2010: 647) memaparkan kerangka-kerangka

melaksanakan tiga fungsi di dalam karya intepretatif. Pertama, mereka memfokuskan

perhatian pada sekitar kita dengan menyoroti apa yang relevan atau tidak relevan

mengacu pada yang ada di dalam kerangka. Kedua, mereka bertindak sebagai

mekanisme-mekanisme artikulasi dengan menghubungkan berbagai unsur yang

disoroti, sehingga suatu “cerita” diceritakan tentang mereka. Sekumpulan arti yang

satu disampaikan ketimbang kumpulan arti yang lain. Ketiga, mereka melayani fungsi

transformatif melalui pembentukan kembali cara melihat sesuatu dan sehubungan

dengan hal-hal lain atau sang aktor.

Pada akhirnya Goffman berfokus pada aturan-aturan dan melihatnya sebagai

pembatas eksternal terhadap perilaku sosial. Bagi Goffman aturan-aturan dapat

menjadi pembatas dan sumber daya untuk digunakan oleh orang-orang di dalam

interaksi sosial. Di sisi lain, kerangka yang diaplikasikan lewat aturan-aturan sebagai

pembatas dapat mengkristalkan politik hierarki. Politik hierarki disesuaikan dengan

kondisi medan dan cara menguasai medan. Dengan demikian jalur gerakan aktor

tetap di bawah garis komando.

Konsep yang kemukakan oleh Goffman memiliki kontribusi besar dalam

menjelaskan menghilangnya eksistensi gerakan politik perempuan (baca: pasukan

inong balee) dalam dinamika politik Aceh kontemporer. Kuasa maskulin atas simbol

perempuan yang dilibatkan dalam interaksi di arena sosial. Kemudian ada kuasa yang

Page 27: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

27

menempel pada struktur sehingga melanggengkan kuasa tersebut. Konsep Goffman

tentang strategi dramaturgi cukup memperjelas bahwa dalam arena pertarungan sosial

diibaratkan seperti permainan panggung (dramaturgis) memiliki metode-metode

tertentu agar proses politik dapat sampai pada tujuannya. Permainan panggung

tersebut coba diskenariokan oleh tim sebagai bentuk legitimasi keberlangsungan

permainan panggung. Diantaranya membutuhkan beberapa metode seperti

manajemen kesan, jarak peran dan stigma, serta analisis kerangka. Sebelum masuk

pada permainan panggung yang sudah di-setting, aktor melewati proses

institusionalisasi dan labeling sebagai proses penanaman ideologi, etika, sikap serta

strategi tindakan.

F. Alur Pemikiran

Alur pemikiran dalam penelitian ini ingin menggambarkan terjadinya pola

kuasa politik maskulin dalam upaya mengontrol eksistensi perempuan (baca: pasukan

inong balee). Pengontrolan eksistensi perempuan dalam relasi kuasa tersebut

menggunakan strategi dramaturgi dimana layaknya pementasan permainan panggung.

Proses berlangsungnya drama terjadi dalam beberapa proses. Pertama, dominasi diri

dilakukan dengan melewati dua proses, yaitu proses institusionalisasi dan proses

labeling. Kedua, terbentuknya image melalui proses manajemen kesan. Ketiga, jarak

pesan dan stigma yang diperuntukkan untuk penggeseran eksistensi diri di arena

politik. Keempat, kristalisasi politik hirarki dengan kepatuhan pasukan inong balee

Page 28: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

28

terhadap analisis kerangka yang telah ditetapkan oleh tim di back stage (baca:

maskulin).

Bagan Alur Pemikiran

G. Definisi Konseptual

Untuk dapat lebih memberikan arahan pada fokus studi ini perlu dilakukan

generalisasi dari sekelompok fenomena yang abstrak secara empirik. Hal ini

bertujuan agar dapat lebih mudah untuk dipahami dengan membuat pembatasan dan

penegasan definisi konsep sebagai berikut:

1. Dilematisasi disini lebih kepada membaca posisi politik perempuan dalam

realisasi keberlangsungan politik yang diibaratkan sebagai panggung. Posisi

Dominasi Maskulin Strategi Dramaturgi Sebagai

Upaya Pengontrolan Terhadap Eksistensi Perempuan

Dominasi Diri: 1. Proses Institusionalisasi

2. Proses labeling

Manajemen Kesan: Membentuk Image Pasukan

Inong Balee

Pergeseran Eksistensi Pasukan Inong Balee Melalui:

1. Jarak Peran Stigma

Kepatuhan pada Analisis Kerangka: dalam Bingkai

Politik Hirarki

Page 29: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

29

perempuan sebagai objek dalam drama membuat laki-laki dapat dengan

mudah melakukan pengontrolan atas perempuan dan berimplikasi pada

eksistensi dan peran perempuan (pasukan inong balee) di ranah politik.

2. Strategi dramatugi dilakukan oleh politik maskulin yang bekerja dengan

menggunakan perpolitikan diibaratkan seperti sebuah permainan panggung.

Pementasan panggung ini tidak terlepas dari kontrol satu pihak kepada pihak

lain, dimana terdapat pembagian panggung depan dan panggung belakang.

Panggung depan diisi oleh pasukan inong balee sebagai objek yang

memerankan drama. Sedangkan terdapat tim dipanggung belakang yang diisi

oleh pihak laki-laki sebagai pembuat skenario dalam mengontrol eksistensi

dan peran objek (pasukan inong balee). Penulis mengambarkan pementasan

permainan panggung berlangsung dalam beberapa proses, diantaranya proses

institusionalisasi dan labeling, manajemen kesan, proses jarak peran dan

stigma serta analisis kerangka. Berikut definisi konsepsi tersebut:

1) Dominasi diri melalui proses institusionalisasi dan labeling. Proses

institusionalisasi akan membentuk objek (pasukan inong balee)

melewati perubahan intepretasi atas dirinya yang dibentuk dalam

sebuah institusi total. Institusi total menjadi sebuah institusi yang

dikendalikan oleh laki-laki. Proses institusionalisasi diintepretasikan

dengan labeling, sehingga akan membedakan intrepretasi terhadap

seorang eks-kombatan perempuan dengan perempuan lain.

Page 30: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

30

2) Manajemen kesan menjadi salah satu strategi laki-laki dalam men-

setting perempuan untuk memelihara kesan-kesan tertentu. Strategi

ini menjadikan pasukan inong balee sebagai salah satu alat politik

yang dapat mendukung tujuan politik laki-laki dalam membentuk

image pergerakan pada masa konflik maupun pasca konflik.

3) Jarak peran dan stigma menjadi salah upaya praktek kuasa dalam

melakukan pergeseran eksistensi perempuan. Jarak peran menjadi

konsep yang penulis pilih untuk menggambarkan perempuan digiring

untuk memberi jarak dari eksistensi dan peran mereka dalam kondisi

politik tertentu. Di sisi lain stigma merupakan bentuk virtual yang

akan mengganggu berlangsungnya permainan panggung yang sedang

dilaksanakan oleh laki-laki. Permainan panggung pada masa konflik

dan pasca konflik akan membutuhkan strategi yang berbeda. Dengan

demikian pelepasan eksistensi dan peran dianggap sebuah trik untuk

menjaga kelangsungan tujuan politik maskulin.

4) Analisis kerangka merupakan bentuk aturan yang tidak bisa

dinegosiasikan. Politik hirarki menerapkan analisis kerangka untuk

menjaga kepatuhan dari hubungan yang stabil dalam sebuah sistem.

Page 31: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

31

H. Definisi Operasional

Setelah penulis memposisikan definisi konsep sebelumnya, penulis juga

memberikan kerangka operasional sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam

memaknai penelitian ini, perlu dikemukakan definisi operasional sebagai berikut.

• Dilematisasi eksistensi politik perempuan melalui politik dramaturgi

dimaknai penulis seperti bentuk praktek kuasa laki-laki dalam mengontrol

eksistensi perempuan melalui permainan panggung politik. Kemenangan

dalam mendominasi interaksi laki-laki terhadap perempuan yang

digunakan sebagai modal untuk mengontrol eksistensi politik pasukan

inong balee selayaknya pementasan permainan panggung. Adapun

indikator dalam proses pencapaian tersebut yakni:

Strategi dramaturgi: strategi permainan panggung yang dipraktekkan oleh

politik maskulin dalam mengontrol eksistensi dan peran pasukan inong

balee dalam ranah politik. Penulis menggunakan strategi dramaturgi yang

berlangsung dalam beberapa aspek.

a. Institusionalisasi dan labeling

- Terbentuknya identitas baru sesuai kebutuhan institusi

- Ketertarikan terhadap kehidupan dalam institusi

- Memainkan peranan yang diinginkan institusi

- Penyeragaman interpretasi diri

- Perubahan citra diri

Page 32: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

32

b. Manajemen kesan

- Gerakan mengikuti garis komando

- Menumbuhkan kesetiaan pada tim atau institusi

- Pengendalian diri dan disiplin dengan aturan dalam komando

- Kehati-hatian dalam gerakan

c. Jarak peran dan stigma

- Pemisahan diri dari peran

- Pergantian peran gerakan kelompok perempuan

- Pencegahan stigmatisasi terhadap agenda politik eks-kombatan

d. Analisis kerangka

- Aturan baku tanpa negosiasi dalam institusi

- Hirarkisasi garis komando

- Pengorganisasian tindakan dan memandu tindakan

- Terdapat struktur dan ideologi yang abadi

- Pembatas eksternal perilaku pasukan inong balee

I. Metode Penelitian

Studi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang sifatnya menjelaskan

tentang kuasa politik maskulin dalam menyetir eksistensi gerakan politik. Kuasa

maskulin dapat dijelaskan dengan dengan pendekatan studi kasus. Pendekatan ini

memerlukan cara sistematis dalam menggali informasi tentang kelompok pasukan

inong balee yang memungkinkan peneliti untuk mengerti bagaimana proses

Page 33: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

33

pergeseran eksistensinya berlangsung (Berg, 2001). Di samping itu penulis memiliki

sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan fokus

penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer dalam konteks eksistensi

perempuan secara nyata yang mengalami pergeseran (Yin, 2006).

Beberapa rasionalitas penulis menggunakan studi kasus. Pertama, penulis

menganggap fenomena memudarnya eksistensi pasukan inong balee dalam politik

lokal Aceh pasca konflik perlu kecermatan dalam mengungkap hal spesifik yang

tidak terungkap dan dapat menangkap makna dibalik kasus. Kedua, kuasa politik

maskulin bisa saja merambah pada berbagai sendi gerakan politik perempuan. Namun

kasus pasukan inong balee ini merupakan suatu hal yang spesifik dan memiliki

batasan. Hal itu disebabkan gerakan pasukan inong balee merupakan gerakan

perempuan yang memiliki kekhususan dalam bentuk gerilyawan di Aceh pada masa

konflik. Studi kasus dirasa relevan dalam mengkaji kuasa politik maskulin yang

mempengaruhi eksistensi pasukan inong balee dalam dinamika politik Aceh.

Penelitian kualitatif di sini lebih bersifat intrinsic case study dalam

pemilihan kasus sebagai objek penelitian yaitu peneliti ingin mengetahui secara

instrinsik atau mendalam fenomena dan kekhususan kasus (Salim dan Formen, 2006).

Peneliti ingin memahami lebih mendalam instrinsik fenomena praktek kuasa yang

dimainkan oleh politik maskulin dalam menyetir gerakan pasukan inong balee.

Gerakan pasukan inong balee sebagai sebuah gerakan militan yang jarang sekali

ditunjukkan oleh gerakan perempuan pada umumnya. Namun politik maskulin

berhasil menggeser gerakan pasukan inong balee. Dari sebuah gerakan politik

Page 34: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

34

perempuan yang eksis bersama kombatan laki-laki dalam konflik Aceh. Memudarnya

eksistensi mereka dalam politik Aceh yang dikuasai oleh mayoritas eks-kombatan

GAM pasca Mou Helsinki.

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan Provinsi Aceh, namun hanya memilih lokasi di

pantai timur Aceh. Dari segi letak, wilayah-wilayah tersebut terletak di bagian pesisir

pantai timur Aceh. Wilayah pantai timur Aceh merupakan regional yang menjadi

basis utama GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Walaupun GAM juga memiliki basis

massa di Aceh bagian tengah dan wilayah pantai barat selatan. Namun basis massa

GAM pada pantai timur Aceh lebih mengakar.

Penentuan wilayah tersebut didasarkan oleh beberapa alasan. Pertama,

menjadi wilayah pertama yang mendeklarasikan bergabungnya pasukan inong balee

dalam struktur gerilyawan GAM. Kemudian gerakan pasukan inong balee meluas

sepanjang wilayah di pantai timur Aceh tersebut. Kedua, wilayah tersebut memiliki

massa riil GAM mencakup pasukan inong balee di dalamnya. Karena wilayah ini

menjadi basis terkena dampak DOM (Darurat Operasi Militer) terparah. Aksen

psikologi historis konflik masih melekat kuat pada benak pasukan inong balee itu

sendiri. Ketiga, wilayah-wilayah yang menjadi lokasi penelitian ini memiliki struktur

komando kepala wilayah (panglima sagoe) mantan gerilyawan yang masih jelas.

Page 35: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

35

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka pengumpulan data peneliti melibatkan diri dan berinteraksi

secara langsung dengan pasukan inong balee. Berikut beberapa teknik pengumpulan

data yang dilakukan, diantaranya:

1. Desk Study

Langkah ini diambil untuk membantu menemukan dinamika realitas sosial

pada tahap awal bagi pasukan inong balee sebagai objek kajian dalam penelitian ini.

Langkah ini juga sangat membantu membentuk kerangka pikir praktek kuasa oleh

politik maskulin melalui pengontrolan eksistensi pasukan inong balee pada massa

konflik maupun pasca konflik. Data dari hasil desk studi merupakan data sekunder

mengenai pasukan inong balee yang didapatkan dari catatan, transkip, catatan

etnografis yang kaitannya dengan konflik maupun pasca konflik, buku, notulensi,

agenda, media massa, laporan penelitian, jurnal, majalah dan sebagainya.

2. Field study

Field study bertujuan untuk mendapatkan data primer yang berhubungan

dengan penelitian ini, baik dilakukan dengan cara observasi (pengamatan) maupun

mewawancarai informan.

a) Pengamatan terlibat/ observasi partisipasi

Pengamat dalam konteks yang diamati, beriteraksi dengan pasukan

inong balee dan orang-orang di sekitar pasukan inong balee. Pengamatan

terhadap lingkungannya menjadi penting untuk menelaah lebih dalam

Page 36: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

36

tentang pasukan inong balee sebagai objek kajian yang diamatinya. Tehnik

ini digunakan untuk mengadakan pengamatan langsung dan membuat

catatan yang sistematis terhadap fenomena dominasi kuasa maskulin dengan

melihat aktivitas politik eks-kombatan dalam KPA. Pencatatan akan

menginput data seberapa besar keterlibatan pasukan inong balee dalam

agenda politik KPA. Pengamatan juga dilakukan untuk mendapatkan data

kegiatan dan eksistensi pasukan inong balee pasca konflik, sehingga dapat

tergambar seberapa besar eksistensi dan peran mereka saat ini dalam politik

Aceh

b) Wawancara mendalam (indepth interview)

Wawancara mendalam penting dilakukan dalam penelitian ini untuk

menyelami lebih jauh perspektif pasukan inong balee tentang eksistensi

dirinya yang mengalami perubahan dari masa konflik sebagai latar hingga

pasca konflik. Wawancara lebih lanjut secara formal pada lembaga yang

mengetahui gerakan gerilyawan eks-kombatan yaitu dengan mewawancarai

KPA (Komite Peralihan Aceh) dan LINA (Liga Inong Aceh).

Adapun informan atau responden yang menjadi target dari studi ini

meliputi:

a. Para mantan pasukan inong balee yaitu eks-kombatan perempuan dalam

tubuh GAM yang ikut bergerilya pada masa konflik Aceh berlangsung,

baik pasukan inong balee yang berada di wilayah pesisir Aceh.

Page 37: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

37

b. KPA (Komite Peralihan Aceh) sebagai wadah tranformasi mensipilkan

gerakan eks-kombatan ke dalam tubuh sipil. Lembaga ini yang kemudian

menampung semua eks-kombatan pasca Mou Helsinki, sekaligus sebagai

motor penggerak kekuatan mantan eks-kombatan di grass root.

c. LINA (Liga Inong Aceh), yaitu sebuah lembaga swadaya masyarakat

yang bergerak dalam pemberdayaan para pasukan inong balee pasca

konflik Aceh.

d. Masyarakat lokal di beberapa wilayah penelitian. Ini menjadi penting

untuk membantu kita dalam melihat pasukan inong balee dalam

perspektif masyarakat setempat pada masa konflik dan pasca konflik

sehingga dapat menggambarkan pasukan inong balee dengan lebih

terperinci.

3. Metode Analisis Data

Penelitian ini akan menggunakan studi kasus jamak dengan single level

analysis (Salim dan Formen, 2006). Maksudnya di sini studi kasus yang menyoroti

perilaku dari kelompok pasukan inong balee sebagai perwujudan hadirnya gerakan

politik perempuan di Aceh dengan satu masalah penting, yaitu perubahan eksistensi

mereka dari satu kondisi ke kondisi lain. Dalam perubahan tersebut tersirat makna

yang akan lahir dari sebuah interpretasi.

Untuk mengungkap makna praktek kuasa sehingga mempengaruhi eksistensi

mereka maka proses analisa data penelitian kualitatif ini mengalami 3 tahap, yaitu

Page 38: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

38

reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan, dan verifikasi (Salim dan

Formen, 2006). Reduksi data dilakukan dengan melewati proses pemilihan,

pemusatan perhatian pada penyederhanaan, abstraksi dan transformasi data kasar

yang diperoleh di lapangan studi. Selanjutnya penyajian data dilakukan dengan

mendeskripsikan kumpulan informasi tersusun yang memungkinkan untuk

melakukan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan dalam bentuk teks

naratif. Tahap penarikan kesimpulan penting dalam mencari makna dari setiap gejala

yang didapat di lapangan. Makna tersebut akan memperlihatkan pola penjelasan dan

alur kausalitas yang dimainkan.

Pada akhirnya dalam penelitian kualitatif memerlukan verifikasi data agar

data yang didapatkan dapat diuji validitasnya. Pengujian dilakukan dengan triangulasi

data. Tujuannya agar data tersebut akan diperkuat dengan mengadakan cross and

check antara sumber data maupun narasumber satu dengan yang lain, sehingga

analisis penelitian dapat diperoleh dengan signifikan. Triangulasi penyelidikan

dilakukan dengan cara membandingkan informasi yang di depan umum dengan apa

yang dikatakan secara pribadi, atau membandingkan informasi dari perspektif lain

mengenai hal yang sama.

4. Sistematika Penulisan

Bab I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, studi

literatur, kerangka teori, kerangka pikir, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Page 39: Bab I: Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68843/potongan/S2-2014...Namun gerakan politik perempuan yang lebih bersifat berkelanjutan. Penggambaran

39

Tujuan Bab ini ingin menggambarkan kosep dasar atas masalah penelitian yang ingin

diteliti.

Bab II akan menjelaskan jejak sejarah keterlibatan pasukan inong balee

dalam dinamika Politik Aceh. Tujuan bab ini untuk menegaskan bahwa pasukan

inong balee pernah dilibatkan dalam politik Aceh.

Bab III akan mendiskusikan kuasa dominasi yang bekerja dalam interaksi

antara laki-laki dan perempuan dalam upaya dominasi. Pada Bab ini akan lebih detil

melihat kuasa dominasi yang dilakukan oleh politik maskulin dalam interaksinya

dengan pasukan inong balee.

Bab IV akan menjelaskan strategi dramaturgi yang dilakukan oleh politik

maskulin dalam mengontrol eksistensi pasukan inong balee pada masa konflik.

Strategi dramaturgi akan digambarkan selayaknya pementasan permainan panggung

yang diwujudkan melalui proses institusionalisasi dan labeling, manajemen kesan,

jarak peran dan stigma serta analisis kerangka yang berlangsung pada masa konflik.

Bab V akan membahas kontinuitas strategi dramaturgi yang dilakukan oleh

politik maskulin dalam mempengaruhi eksistensi pasukan inong balee pada pasca

konflik. Strategi dramaturgi tetap berlangsung pada pasca konflik sehingga

menggambarkan perempuan tetap menjadi alat simbolisasi politik maskulin.

Bab VI berisi kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian