Top Banner
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang telah dilakukan di Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1998 telah banyak mempengaruhi dan membawa perubahan yang mendasar dalam segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu perubahan mendasar yang terjadi dalam ketatanegaraan adalah perubahan konstitusi dengan dilakukannya amandemen terhadap Undang- Undang Dasar Tahun 1945 dengan tahapan sampai empat kali mulai tahun 1999 sampai tahun 2002. 1 Amandemen UUD NRI 1945 merupakan salah satu tuntutan publik yang disuarakan dalam gerakan reformasi. Reformasi yang menginginkan adanya perubahan dalam tatanan kehidupan politik dan sistem kenegaraan sudah selayaknya diatur dalam format yuridis dalam konstitusi. Untuk itu, pada saat MPR mulai melakukan pembahasan perubahan UUD 1945 pada 1999, salah satu kesepakatan dasar tentang arah perubahan adalah mempertegas sistem presidensial dan mewujudkan kerangka mekanisme check and balances, khususnya diantara lembaga legislatif dan eksekutif. Mempertegas dalam hal ini yaitu, meliputi penyempurnaan sistem penyelenggaraan pemerintahan agar benar-benar memenuhi prinsip dasar sistem presidensial. 2 1 Slamet Riyanto, “Perwujudan Prinsip Checks And Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD Tahun 1945”, Jurnal Legalita, Vol.VIII No. 1 (Mei, 2010), 74-75. 2 Lihat Janedjri M. gaffar “Mempertegas Sistem Presidensial” Jurnal Konstitusi dalam Harian Seputar Indonesia (Juli, 2009), 97.
37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

Apr 05, 2018

Download

Documents

doantuong
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Reformasi yang telah dilakukan di Negara Kesatuan Republik

Indonesia pada tahun 1998 telah banyak mempengaruhi dan membawa

perubahan yang mendasar dalam segi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salah satu perubahan mendasar yang terjadi dalam ketatanegaraan adalah

perubahan konstitusi dengan dilakukannya amandemen terhadap Undang-

Undang Dasar Tahun 1945 dengan tahapan sampai empat kali mulai tahun

1999 sampai tahun 2002.1

Amandemen UUD NRI 1945 merupakan salah satu tuntutan publik

yang disuarakan dalam gerakan reformasi. Reformasi yang menginginkan

adanya perubahan dalam tatanan kehidupan politik dan sistem kenegaraan

sudah selayaknya diatur dalam format yuridis dalam konstitusi.

Untuk itu, pada saat MPR mulai melakukan pembahasan perubahan

UUD 1945 pada 1999, salah satu kesepakatan dasar tentang arah perubahan

adalah mempertegas sistem presidensial dan mewujudkan kerangka mekanisme

check and balances, khususnya diantara lembaga legislatif dan eksekutif.

Mempertegas dalam hal ini yaitu, meliputi penyempurnaan sistem

penyelenggaraan pemerintahan agar benar-benar memenuhi prinsip dasar

sistem presidensial.2

1 Slamet Riyanto, “Perwujudan Prinsip Checks And Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan

Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD Tahun 1945”, Jurnal Legalita, Vol.VIII No. 1

(Mei, 2010), 74-75. 2 Lihat Janedjri M. gaffar “Mempertegas Sistem Presidensial” Jurnal Konstitusi dalam Harian

Seputar Indonesia (Juli, 2009), 97.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

Secara substantif di lakukannya amandemen UUD 1945 tersebut karena

banyak sekali hal yang mengandung kelemahan. Hal itu dapat diketahui antara

lain: Pertama, kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip

check and balances yang memadai, demikian itu menguntungkan bagisiapa

saja yang menduduki jabatan presiden. Kedua, rumusan ketentuan UUD 1945

sebagian besar bersifat sangat sederhana, umum, bahkan tidak jelas (vague),

sehingga banyak pasal yang menimbulkan multi tafsir. Ketiga, UUD 1945

memberikan atribusi kewenangan yang terlalu besar kepada presiden untuk

mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. Presiden juga memegang

kekuasaan legislatif. Akibatnya, presiden dapat merumuskan hal-hal penting

sesuai kehendaknya dalam undang-undang.3

Hasil amandemen UUD NRI 1945 dapat memperbaiki UUD 1945 yang

asli dan tidak dapat dibantah oleh siapa pun bahwa setelah amandehen UUD

1945 tampak jelas kehidupan demokrasi tumbuh berkembang semakin baik.

Pada masa sebelumnya setiap gagasan untuk mengubah UUD 1945 dianggap

subversif, juga memunculkan ketentuan cheks and balances secara lebih

proporsional di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.4

Hasil amandemen UUD NRI 1945 juga menghasilkan pengujian

peraturan perundang-undangan sesuai dengan penjenjangnya sekarang sudah

berjalan dengan baik. Sebelum amandemen, banyak produk peraturan

perundang-undangan yang bertentangan denagan peraturan perundang-

3Lihat Ni‟matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia (Kajian terhadap Dinamika

Perubahan UUD 1945), (Yogyakarta: UUI Press, 2001), 11. 4 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta:

PT RajaGrafindo Persada, 2011), XV.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

undangan yang lebih tinggi, tetapi tidak ada lembaga pengujian yang dapat

dioprasionalkan. Padahal pada saat itu banyak sekali undang-undang yang

dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan banyak peraturan perundang-

undangan dibawah undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang.

Dulu memang ada ketentuan pengujian peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangn yang lebih

tinggi (seperti UU No. 14 Tahun 1970, Tap MPR No. III/MPR/1978, dan UU

No. 14 Tahun 1985), namun hal ini tidak pernah dapat dioprasionalkan karena

memang sengaja dibuat adanya kekacauan teoritis agar ia tidak dapat

dilaksanakan.5

Amandemen UUD NRI 1945 ternyata menimbulkan implikasi yang

cukup mendasar terhadap ketatanegaraan Indonesia, tidak hanya terhadap

pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat, struktur, kedudukan dan hubungan antar

lembaga-lembaga atau organ-organ negara, tetapi juga terhadap sistem

pemerintahannya. Hasil amandemen UUD NRI 1945 merubah kelembagaan

dan kewenangan MPR yaitu, merubah sistem vertikal hierarkis dengan prinsip

supremasi MPR, menjadi sistem horizontal fungsional dengan prinsip

supremasi hukum, konstitusional dan saling mengimbangi serta saling

mengawasi antar lembaga negara (checks and balances) sebagaimana tertuang

dalam Pasal 1 ayat (2-3)6. Sebelum amandemen UUD 1945 prinsip kedaulatan

yang berasal dari rakyat dan diwujudkan oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan rakyat. Sebagai pelaksana kedaulatan

5 Ibid., 96

6 Pasal 1 Ayat (1) menegaskan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar.” Ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

rakyat, MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang kekuasaannya tidak

terbatas. Melalui MPR, kemudian kekuasaan seolah dibagi-bagi secara vertikal

kepada lembaga-lembaga tinggi Negara yang berada di bawahnya. Karena itu,

prinsip yang dianut disebut dengan prinsip pembagian kekuasaan (distribution

of power).7

Perubahan juga terjadi kepada kekuasaan dan kewenangan serta pola

hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif, khususnya yang berkaitan

dengan kekuasaan membuat undang-undang. Perubahan UUD 1945 pada Pasal

5 dan Pasal 20 dipandang sebagai permulaan terjadinya pergeseran dari

executive heavy8 kearah legislatif heavy.

9 Perubahan pasal-pasal tersebut

memindahkan titik berat kekuasaan membentuk undang-undang yang semula

berada pada Presiden beralih kepada DPR.10

Dalam sistem checks and

balances, Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai kedudukan yang

sederajat, tetapi saling mengendalikan dengan lembaga parlemen sebagai

pemegang kekuasaan legislatif. Sesuai prinsip presidensial, presiden tidak

dapat membubarkan parlemen, begitu sebaliknya parlemen juga tidak dapat

menjatuhkan presiden. Parlemen hanya dapat menuntut penghentian presiden

jika presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, itupun biasa dibatasi

7 Lihat Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2005), 98. 8 Executive heavy adalah kekuasaan yang besar atau dominan pada lembaga eksekutif

(Presiden) yakni, kekuasaan eksekutif yang dipegang Presiden lebih tinggi kedudukannya

dibanding cabang kekuasaan negara lainnya, sehingga cenderung terjadi dominasi Presiden

terhadap pejabat tinggi negara lainnya. 9 Setelah amaneden UUD 1945 kekuasaan legislatif lebih domenan dari pada kekuasaan

eksekutif dalam hal kekuasaan pembuatan undang-undang. 10

Slamet Riyanto, “Perwujudan Prinsip Cheks And Balances dalam Sistem Ketatanegaraan

Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945” Jurnal Legalita, Vol. VIII No.1, (Mei

2010), 76-77

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

oleh konstitusi hanya untuk jenis-jenis tindak pidana tertentu saja,11

sebagaimana tertuang dalam Pasal 7A Pasal 7B 7C UUD 1945 1945 Jo. Pasal 4

huruf c UU. No.17 /2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Dengan perkataan lain, checks and balances antara eksekutif dan legislatif

dalam sistem presidensial untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan

negara hukum dan berdasarkan konstitusionalisme.

Perubahan UUD NRI 1945 tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk

menghindari manipulasi kekuasaan seperti yang pernah terjadi pada masa

pemerintahan sebelum amandemen UUD 1945 dan untuk menyeimbangkan

kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang dianggap executive

heavy, sehingga tercipta checks and balances system.12

Sistem checks and

balances, yaitu sebuah sistem aturan yang menegaskan adanya mekanisme

saling mengontrol dan saling mengimbangi diantara lembaga-lembaga negara

yang didesain untuk mencegah terkonsentrasinya kekuasaan dalam satu cabang

sehingga tidak ada lembaga yang lebih power full dari lembaga yang lain.

Sitem ini erat kaitannya dengan teori pemisahan kekuasaan. 13

.

Dengan adanya prinsip check and balances ini, maka kekuasaan negara

dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga

penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-

pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga

11

Ibrahim R., Sistem Pengawasan Konstitusional Antara Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif

Dalam Pembaharuan UUD 1945, Disertasi Pascasarjana UNPAD Bandung, 2003, 47. 12

M. Arsyad Mawardi, “Pengawasan dan Keseimbangan antara DPR dan Presiden dalam

sistem Ketatanegaraan RI”, Jurnal Hukum No.1 Vol. 15 (Januari 2008), 65. 13

Lihat Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, cet. 1,

(Bandung: PT. Mizan Pustaka Anggota IKAPI, 2007), 77.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-

baiknya.14

Tetapi dengan adanya sistem checks and balances tidak serta merta

menjadikan penyelenggaraan pemerintahan disebuah negara berjalan optimal

dan efektif, justru dengan adanya sistem checks and balances ini adakalanya

mempersempit ruang gerak lembaga-lembaga dalam melaksanakan tugas,

fungsi, hak dan kekuasaan atau wewenang untuk masuk dalam praktik

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan penyalahgunaan wewenang

(detournement de pouvoir).15

Sebagaimana terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY) periode pertama, partai yang mendukung adalah partai

kecil, sehingga yang masuk di lembaga legislatif hanya sebagian kecil, dan

sebagian besar ditempati oleh partai lain. Akbitnay ketika presiden mengajukan

suatu kebijakan, DPR sering kali menolak kebijakan tersebut, hal itu

disebabkan karena pihak DPR banyak yang tidak berpihak pada presiden

karena lebih mengutamakan kepentingan partainya dari pada profesionalisme

dalam kewenangannya sebagai DPR.16

Kemudian kasus perseteruan UU Pilkada antara DPR dan Presiden.

Pada tanggal 26 September 2014, DPR mengesahkan Undang Undang Pilkada

yang baru. Dalam putusan yang diambil melalui voting atau pemunggutan

14

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),

61. 15

Janedjri M. Gaffar, “Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia

Setelah Perubahan UUD 1945”, (Jakarta, Konstitusi Press, 2012), 109. 16

Hezky Fernando, “Mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR dalam sistem

Pemerintahan Presidensial di Indonesia Lex et Societatis, Vol. II/No. 5 (Juni, 2014), 35-36.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

suara, fraksi pendukung Pilkada lewat DPRD, yakni fraksi PAN, PPP,

Gerindra, PKS dan Golkar unggul dengan 256 suara. Fraksi lain pendukung

Pilkada Lansung kalah dengan 135 suara. Pada akhirnya Presiden Susilo

Bambang Yudoyono (SBY), menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang untuk membatalkan Undang-Undang Pilkada yang baru dan

mempertahankan Pilkada Langsung dengan perbaikan.17

Dan masih banyak

kasus lainnya yang terjadi sampai saat ini.

Degan demikian Negara Kesatuan Republik Indonesia masih belum

sepenuhnya menjalankan sistem yang dianut dan tidak mencerminkan kaidah-

kaidah dalam sistem pemerintahan presidensial banyak kerancauan yang terjadi

dalam pengimplementasiannya yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran

yang berbeda. Gesekan-gesekan ini seharusnya tidak terjadi jika prinsip checks

and balances dimaknai dan dilaksanakan dengan benar. Ketegangan antar

lembaga negara tersebut tidak pelak ujungnya akan merugikan masyarakat.

Dalam konteks hukum Islam salah satu doktrin Islam adalah bahwa

Islam yang diturunkan Allah Swt, kepada Nabi Muhammad Saw, telah

menegaskan dirinya sebagai agama sempurna18

dan sebagai rahmat bagi alam

semesta.19

Dalam hal berbangsa dan bernegara jika merujuk pada sumber

utamanya yaitu, al-Quran dan al-Hadits tidak satupun yang menentukan suatu

sistem atau bentuk pemerintahan tertentu bagi kaum muslim. Al-Quran dan

Hadits Nabi hanya memberikan panduan nilai-nilai, prinsip-prinsip dan

17

Indra Rahmatullah, “Rejuvenasi Sistem Checks And Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan

Di Indonesia” Jurnal Cita Hukum. Vol. I/No. 2 (Desember 2013), 3. 18

“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu”. (QS Al_Ma‟idah: 5/3) 19

“Tidak kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS

Al Anbiya‟: 21/107)

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

kerangka aplikasi setiap permasalahan baik yang telah terjadi, sedang maupun

yang akan terjadi.20

Sebagaimana firman Allah, Q.S. al-An‟am, 6:38)21

dan

Q.S. al-Nahl, 16:89.22

Imam al-Sha‟fi'i, juga mengatakan, “tidak ada sesuatu

yang terjadi kepada pemeluk agama Allah melainkan pada Kitabullah telah ada

dalilnya melalui jalan petunjuk padanya”.23

Dengan kerangka berfikir di atas, setiap muslim berkeyakinan bahwa

setiap permasalah dalam hidupnya adalah bagian dari ajaran Islam. Salah satu

aktifitas kehidupan manusia dalam bermasyarakat adalah berpolitik atau

siyasah. Karena Islam itu mengatur setiap kehidupan termasuk berpolitik, maka

berpolitik pun ada batasan-batasan shari‟atnya sehingga melahirkan istilah

Siyasah Sha‟iyah atau politik syariat.

Dari beberapa uraian yang sudah dipaparkan di atas, implementasi

checks and balances antara presiden dan DPR dalam sistem pemerintahan

presidensial di NKRI pasca reformasi adalah penting untuk di kaji baik dalam

hukum normatifnya atau dalam hukum Islam, yaitu siyāsah shar’iyyah (fikih

siyasah).

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat diidentifikasi

beberapa masalah yang timbul diantaranya adalah sistem pemerintahan yang

20

Bandingkan dengan Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan

Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2008), V. 21

“Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab (al-Qur‟an)”. 22

“Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) al-Kitab (al-Qur‟an) untuk menjelaskan segala

sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. 23

Muhanmmad bin Idris Asy Syafi'i, Ar Risâlah, Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut:

Dar el Fikr, tt), hal 20. no 48

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

dianut oleh Indonesia masih banyak pihak beranggapan terdapat ketidak

jelasan tidak mencerminkan kaidah-kaidah dalam sistem pemerintahan

presidensial banyak kerancauan yang terjadi dalam pengimplementasiannya

yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda.

Di satu sisi, sistem yang dikembangkan memenuhi ciri-ciri umum

sistem presidensial, tetapi di sisi lain jika dilihat dari hubungan presiden dan

DPR terlebih lagi dengan sistem kepartaian yang multipartai ditambah lagi

DPR mempunyai kekuasaan membuat undang-undang. Hal itu dianggap lebih

dekat kepada sistem parlementer. DPR dipandang memiliki kekuasaan yang

lebih

Dengan demikian, masalah pokok yang akan dikaji adalah bagaimana

sesungguhnya implementasi UUD 1945 dan Undang-Undang yang mengatur

tentang checks and balances antara presiden dan DPR dalam sistem

pemerintahan presidensial di NKRI pasca reformasi dan Bagaimana hal

tersebut jika dikaji dengan fikih siyāsah.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, penulis

merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi checks and balances antara presiden dan DPR

dalam sistem pemerintahan presidensial di NKRI pasca reformasi?

2. Bagaimana sistem checks and balances antara presiden dan DPR dalam

sistem pemerintahan presidensial perspektif fikih siyāsah?

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian tesis ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk memahami implementasi “checks and balances” antara presiden dan

DPR dalam sistem pemerintahan presidensial di NKRI pasca reformasi.

2. Untuk memahami sistem checks and balances antara presiden dan DPR

dalam sistem pemerintahan presidensial perspektif fikih siyāsah

E. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfat dan

memberi kontribusi bagi perkembangan hukum tata negara terutama

tentang:

a. Implementasi “checks and balances” antara Presiden dan DPR dalam

sistem Pemerintahan Presidensial di NKRI Pasca Reformasi.

b. Sistem checks and balances antara Presiden dan DPR dalam sistem

pemerintahan presidensial perspektif fikh siyāsah.

2. Kegunaan Praktis:

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan

atau sumbangan pemikiran terkait upaya mengoptimalkan sistem checks and

balances antara Presiden dan DPR dalam sistem presidensial untuk

menjamin kelangsungan penyelenggaraan negara hukum dan berdasarkan

konstitusionalisme, serta masukan kepada seluruh lembaga negara agar

selalu memperhatikan aspek kepentingan umum dalam menjalankan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

kewengan yang diamanatkan oleh UUD NRI 1945 yang nantinya akan

membawa kemaslahatan bagi Bangsa dan Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga menjadi bahan masukan bagi

lembaga-lembaga negara untuk menjalankan kewengan yang diamanatkan

oleh UUD NRI 1945 mengingat Negara Repulik Indonesia adalah negara

hukum dan sistem konstitualisme.

F. Kerangka Teoretik

1. Teori Kekuasaan

Kekuasaan (power) selalu menjadi subtansi pokok pembahasan

dalam ilmu politik, baik secara teoretis ataupun perspektif praktis dalam

semua sisinya tetap menjadi wacana aktual yang tak berkesudahan. Hal ini

disebabkan, karena keberadaannya secara fungsional identik dengan

keberadaan masyarakat itu sendiri. Kekuasaan diartikan sebagai suatu

kapasitas, kapabilitas atau kemampuan untuk mempengaruhi, meyakinkan,

mengendalikan, menguasai, dan memerintah orang lain.24

Menurut Robert M. Mac Iver, kekuasaan adalah kemampuan untuk

mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan

memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan

segala alat dan cara yang tersedia.25

Max Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai kemungkinan bagi

seseorang untuk memaksakan orang-orang lain berperilaku sesuai dengan

24

Lihat Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar, (Bandung:

Sinar Baru, 1983), 45. 25

Robert M. Mac Iver, The Web of Government, (New York: The MacMillan Company,

1961), 87.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

kehendaknya.26

Politik demikian dapat kita simpulkan pada instansi

pertama berkenaan dengan pertarungan untuk kekuasaan.27

Max Weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang manusia

yang menyangkut juga kepada hubungan kekuasaan. Yang dimaksudkannya

dengan wewenang (authority) adalah kemampuan untuk mencapai tujuan-

tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota-anggota

masyarakat.28

Jenis authority yang disebutnya dengan rational legal

authority sebagai bentuk hierarki wewenang yang berkembang didalam

kehidupan masyarakat modern. Wewenang sedemikianini dibangun atas

dasar legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan

haknya.29

Pada dasarnya kekuasaan politik adalah kemampuan individu atau

kelompok untuk memanfaatkan sumber-sumber kekuatan yang bisa

menunjang sektor kekuasaannya dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Sumber-sumber tersebut bisa berupa media massa, media umum,

mahasiswa, elit politik, tokoh masyarakat ataupun militer.30

Kekuasaan (power) digambarkan dengan berbagai cara adakalanya

kekuasaan diartikan sebagai kemungkinan mempengaruhi tingkah laku

orang-orang lain sesuai dengan tujuan-tujuan sang actor.31

Politik tanpa

26

Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, (jakarta : Rieneka Cipta, 2001), 190 27

A. Hoogerwerf, Politikologi, (Jakarta: Penerbit Erlangga,1985), 44 28

Hotman Siahaan, Pengantar kearah sejarah dan teori sosiologi, (Jakarta: Penerbit Erlangga,

1986), 201. 29

George Ritzer & Douglad J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta : Kencana, 2007),

37. 30

Imam Hidayat, Teori-Teori Politik, (Malang: SETARA press, 2009), 31. 31

A. Hoogerwerf, Politikolog…,144

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

kegunaan kekuasaan tidak masuk akal, yaitu selama manusia menganut

pendirian politik yang berbeda-beda, apabila hendak diwujudkan dan

dilaksanakan suatu kebijakan pemerintah, maka usaha mempengaruhi

tingkah laku orang lain dengan pertimbangan yang baik.32

Kekuasaan

senantiasa ada didalam setiap masyarakat baik masih bersahaja maupun

yang sudah besar dan rumit susunannya. Akan tetapi selalu ada kekuasaan

tidak dapat dibagi rata kepada semua anggota masyarakat.33

Dari uruian di atas menurut hemat penulis dapat dikatakan bahwa

kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk

mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa,

sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari

orang yang mempunyai kekuasaan itu.

2. Teori Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan

Salah satu praktik demokrasi yang paling kongkrit dalam

penyelenggaraan pemerintahan di suatu negara hukum adalah adanya

pemisahan atau pembagian kekuasaan .34

Lord Acton mengatakan, “powers

tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”. Miriam

Budiardjo menerjemahkan dalil tersebut: “manusia yang mempunyai

kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia

yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya.35

32

Ibid., 145-146. 33

Soerjono soekanto, sosiologi suatu pengantar, (Jakarta : Rajawali pers, 1994), 265. 34

Lihat Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, (Jakarta:

Universitas Pancasila, 2009), 118 35

Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, (Jakarta: Sinar Harapan,

1991), 52

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

Pemisahan atau pembagian kekuasaan diselenggarakan agar kekuasaan tidak

terletak di tangan satu orang atau satu badan saja.

Sebelum amandemen UUD 1945 tidak mengatur teori pemisahan

(separation of pawer), melainkan pembagian kekuasaan (divistion of

power). Kedudukan dipandang berada di tangan rakyat dan dilakukan

sepunuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan

seluruh yang berdaulat. Dari MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat

yang tertinggi inilah mengalir kekuasaan lembaga-lembaga negara lainnya

seperti Presiden dan DPR. bahkan dikonstruksikan pula bahwa Mahkamah

Agung seolah juga mendapatkan kekuasaannya dari aliran kekuasaan rakyat

yang berdaulat yang terjelma dalam MPR. Namun, setelah perubahan

pertama 1999, terjadi pergeseran dalam kekuasaan legislatif. Sebagaimana

tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen, “Presiden

berhak mengajukan rancangan undang-undangkepada DPR”. Sedangkan

dalam Pasal 20 ayat (1) ditegaskan, “DPR memegang kekuasaan

membentuk undang-undang”. Dengan demikian, UUD 1945 pasca

reformasi dapat dikatakan menganut doktrin pemisahan kekuasaan

(separation of power) berdasarkan prinsip cheks and balances yang berbeda

dari pandangan Montesquieu.36

Sesuai dengan karakternya, di dalam sistem pemerintahan

presidensial terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas antara

cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Di dalam sistem ini hubungan

36

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia…, 166-167.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

antara Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) dengan Presiden

(eksekutif) tidak diatur dengan pola koalisi melainkan kedua lembaga

negara ini ditempatkan secara terpisah dan mempunyai kedudukan yang

sejajar didalam konstitusi. Pola hubungan itu sudah bisa dilacak dengan

adanya pemilihan umum yang terpisah untuk memilih presiden dan

memilih lembaga legislatif.37

Menurut Stefan dan Skach sebagaimana

dikutip oleh Saldi Isra, bahwa sistem presidensial murni (pure

presidentialism) merupakan sistem yang mutual independence karena

pemegang kekuasaan legislatif dan pemegang kekuasaan eksekutif

mendapat mandat langsung dari pemilih.38

Dengan pemisahan secara jelas

antara pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif,

dalam sistem pemerintahan presidensial, pembentukan kabinet pemerintah

tidak tergantung pada proses politik di lembaga legislatif.

Teori pemisahan kekuasaan pada mulanya lahir akibat adanya

kekuasaan raja yang absolut di Eropa Barat. Pemisahan kekuasaan adalah

untuk mencegah tumbuhnya kekuasaan di tangan satu orang yaitu raja,

aspek lainnya agar adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia.39

Pemikir-pemikir yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan negara

pada mulanya dikemukakan oleh dua orang ahli tata negara yakni John

37

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam

Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), 41. 38

Ibid., 41. 39

Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, cet. 1. (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2012), 28.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

Locke dan Monstesquieu.40

John Locke seorang ahli tata negara Ingris

adalah orang yang pertama dianggap membicarakan teori ini dalam bukunya

Two Treatieses on Civil Government (1690)41

memisahkan kekuasaan

negara menjadi 3 (tiga) fungsi kekuasaan dari tiap-tiap negara dan ketiga

kekuasaan tersebut harus dipisahkan satu dari yang lainnya yakni:

a. Kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan untuk membuat undang-undang;

b. Kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan untuk melaksanakan undang-

undang; dan

c. Kekuasaan federatif sebagai kekuasaan mengadakan perserikatan dan

aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di

luar negeri. Menurut John Locke, ketiga kekuasaan tersebut harus

dipisahkan satu dari yang lainnya.42

Selanjutnya, Montesquie ahli politik dan filsafat Prancis dengan teori

trias politica-nya dalam bukunya “l’esprit des lois” (jiwa undang-undang)

yang di Jenewa pada tahun 1748 yaitu, mengikuti jalan pikiran dari John

Locke, ia membagi atau memisahkan kekuasaan negara dalam tiga cabang

meliputi: 43

a. Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang;

b. Kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang-undang; dan

c. Kekuasaan menghakimi atau kekuasaan yudikatif.

40

Nama lengkap Monstesquieu yang sebenarnya adalah Charles de Secondat Baron de

Labriede et Monstesquieu. 41

Harold H. Titus, Living Issues In Philosophy, alih bahasa oleh H. M. Rasjid, Persoalan-

Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 174 42

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, “Latihan Ujian Hukum Tata Negara di Indonesia”,

(Jakarta, Sinar Grafika, 2009), 109. 43

jimly Asshidddiqie, “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara...., 13.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

Ajaran Montesquieu ini kemudian oleh Immanuel Kant dipopulerkan

dengan istilah “trias politica”44

yang dikenal dengan sebutan “Pemisahan

Kekuasaan Negara” 45

(the separation of power). Montesquieu berpendapat

bahwa dalam sistem suatu pemerintahan negara, ketiga jenis kekuasaan

tersebut harus terpisah, baik mengenai fungsi (tugas) maupun mengenai alat

perlengkapan (organ) yang melaksanakan.46

Hal tersebut sebagai

konsekuensi negara hukum yang demokratis menjadi keharusan untuk

diterapkan dan dilaksanakan, walaupun dalam pelaksanaannya sangat

tergantung dengan situasi sosial, budaya dan politik, serta kepribadian

negara pada saat ini.47

Meskipun ajaran trias politica yang dikenalkan oleh Montesquieu

sangat populer dan bisa diterima sebagai ide rasional, namun faktanya tidak

dapat dipraktikkan secara murni, hal ini disebabkan seringkali tidak sesuai

dengan kondisi atau kenyataan pada setiap negara. Geoffrey Marshall dalam

44

Istilah trias politica berasal dari bahasa yunani yang artinya “politik tiga serangkai.”

Menurut jajaran terias politica dalam tiap pemerintahan negara harus ada tiga jenis kekuasaan

yang tidak dapat dipegang oleh satu kekuasaan saja, melainkan harus masing-masing

kekuasaan terpisah. Ajaran trias politica nyata-nyata bertentangan dengan kekuasaan yang

masih merajalela di tangan seorang raja pada zaman feodalisme dalam abad pertengahan. Pada

zaman ini yang memegang kekukuasaan di tiga cabang kekuasaan tersebut adalah seorang raja,

yang membuat undang-undang sendiri,menjalankan undang-undang, dan menghukum segala

pelanggaran atas undang-undang yang dibuat dan dijalankan oleh raja tersebut. Monopoli atas

ketiga kekuasaan tersebut dapat dapat dibuktikan dengan semboyan Raja Louis XIV “L, Etat

Cest Moi.” Kekuasaannya berlangsung sampai abad XVII. Setelah pecah Revolusi Prancis

pada tahun 1789, barulah paham tentang kekuasaan yang tertumpuk di tangan raja menjadi

lenyap. Setelah itu timbul gagasan baru mengenai pemisahan kekuasaan yang diplopori oleh

Montesquieu. Lihat CST. Kansil, Hukum tata Negara Republik Indonesia,..., 110 45

Dalam perkembangan pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam negara telah banyak

dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi sosial, politik dan hukum suatu negara,

sehingga Hans Kelsen mencetuskan ajaran atau teori Dwipraja yakni pembentuk dan dan

penerapan hukum. 46

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Latihan Ujian Hukum Tata Negara di

Indonesia....,110. 47

Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi..., 12.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

bukunya Constitutional Theory mengatakan, sebagaiman dikutip Edie Toet

Hendratno bahwa pemisahan kekuasan tersebut mengandung pengertian

yang ambigu, yaitu tidak membedakan antara pemisahan secara fisik atau

hukum dari orang-orang dan pemisahan atau kemerdekaan dari fungsi-

fungsi.48

Untuk itu, E.Utrecht mengajukan dua keberatan terhadap teori

Montesquieu untuk dipraktikkan seluruhnya dalam negara modern, yaitu:

a. Pemisahan mutlak seperti yang dikemukakan Montesquieu,

mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak (dapat) ditempatkan

di bawah pengawasan suatu badan kenegaraan lain. Tidak ada

pengawasan itu berarti kemungkinan bagi suatu badan kenegaraan untuk

melampaui batas kekuasaannya dan oleh sebab itu kerjasama antara

masing-masing badan kenegaraan dipersulit. Oleh karena itu, tiap-tiap

badan kenegaraan yang diberikan fungsi yang berlainan dalam negara

perlu diberikan kesempatan untuk saling mengawasi.

b. Dalam negara hukum modern dan negara kesejahteraan atau weifare

state, atau welvaarstaat, atau wehlfahrstaat, tugas pemerintah bertambah

luas untuk mewujudkan berbagai kepentingan masyarakat. Dalam hal

demikian, tidak mungkin diterima bahwa tiga fungsi tersebut masing-

masing hanya boleh diserahkan kepada suatu badan kenegaraan tertentu.

48

Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme...,84.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

Ada banyak badan kenegaraan diserahi lebih dari satu fungsi

(kemumkinan untuk mengkoordinasi beberapa fungsi).49

Menurut Jimly Asshiddiqie, konsepsi trias politica tersebut tidak

relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan

bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara ekslusif dengan

salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Menurutnya, kenyataan

dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak

mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat

dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and

balances.50

Bahkan menurut Jimly Asshiddiqie, Soepomo dalam sidang

BPUPKI menyatakan bahwa prinsip yang dianut dalam undang-undang

dasar yang sedang disusun tidak didasarkan atas “trias politica”

Montesqueiu yang memisahkan secara tegas antara cabang-cabang

kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial.51

Berdasarkan pandangan tersebut, maka pemisahan kekuasaan dapat

dilihat dari segi materiil dan formil. pemisahan kekuasaan dalam arti materil

berarti bahwa pemisahan kukuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam

tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan

pemisahan kekuasaan dalam tiga fungsi kenegaraan tersebut, atau disebut

pemisahan kekuasaan. Sebaliknya jika pemisahan kekuasaan tidak

49

E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Surabaya: Pustaka Tinta

Mas, 1986), 20-30. 50

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), V. 51

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi...., 167.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

dipertahankan secara tegas, maka disebut pemisahan kekuasaan dalam arti

formil.

Bahkan Amerika Serikat yang oleh banyak sarjana disebut sebagai

satu-satunya negara yang menjalankan ajaran trias politica, dalam

kenyataannya mempraktikan sistem saling mengawasi dan saling

mengadakan perimbangan antara kekuasaan-kekuasaan negara yang dikenal

dengan check and balances syistem, sehingga akibatnya ajaran “trias

politica” tidak dilaksanakan secara murni.52

Sebagaimana juga terjadi di

Negara Indonesia, UUD NRI 1945 hasil amandemen berupaya untuk

menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan (separated of powers) yang lebih

jelas, fungsi, hak dan kekuasaan atau wewenang masing-masing lembaga

negara dalam hal ini eksekutif dan legislatif,53

dalam penyelenggaraanya

mengimplementasikan mekanisme checks and balances, artinya eksekutif

dan legislatif saling berkaitan, saling mengontrol dan saling mengawasi.

3. Teori Check and Balances

Kata “checks” dalam checks and balances berarti suatu pengontrolan

antara satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat

sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan.

Sedangkan “balances” merupakan suatu keseimbangan kekuasaan agar

masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat

(kosentrasi kekuasaan) sehingga menimbulkan tirani.

52

Moh. Kusnardi dan Ibrahimi Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:

CV. Sinar Bhakti, 1983), 141-142. 53

UUD 1945 Pasca amandemen.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

Kamus hukum mendefinisikan prinsip check and balances sebagai

sebuah sistem aturan yang menegaskan adanya mekanisme saling kontrol

diantara cabang kekuasaan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang

didesain untuk mencegah terkonsentrasinya kekuasaan dalam satu cabang

sehingga mendominasi cabang kekuasaan yang lain.54

Menurut Miriam Budiardjo, ajaran mengenai checks and balances

system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga

negara mengandaikan adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu sama

lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih power ful dari yang lain.55

Menurut Jimly Asshiddiqie, mekanisme check and balances

bertujuan untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan pada salah satu

cabang kekuasaan. Dengan adanya prinsip check and balances ini maka

kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-

baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara

negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan

dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan

ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.56

Dengan demikian menurut hemat penulis dapat dipahami bahwa

checks and balances adalah sebuah sistem aturan yang menegaskan adanya

54

Fathir Rizkia Latif, “Lembaga-Lembaga Negra “Check And Blances System”, dalam

http://www.academia.edu/9639370/Prinsip_Cheks_and_Balaces_pada_Lembaga_Negara_at_B

ULLET_Esensi_Checks_and_Balances (28 Desember 2015), 4. 55

Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi

Pancasila: Kumpulan Karangan Prof. Miriam Budiardjo, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 1994), 227. 56

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),

61.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

mekanisme saling kontrol dan saling mengimbangi, artinya antara lembaga

negara harus saling mengontrol kekuasaan satu dengan kekuasaan yang

lainnya agar tidak melampaui batas kekuasaan yang ditetapkan dan saling

menjatuhkan. Hal ini sangat penting agar dapat terciptanya kestabilan

pemerintahan didalam negara atau tidak terjadi percampuradukan antar

kekuasaan dan kesewenang-wenangan terhadap kekuasaan dengan tujuan

untuk menghindari adanya konsentrasi kekuasaan pada satu cabang

kekuasaan tertentu.

Ada dua konsep pokok dalam mekanisme kawal dan imbang yaitu:

Pertama, konsep pengawalan atau pengendalian (checks) berasal dari teori

klasik tentang pemisahan kekuasaan, dimana unsur legislatif, eksekutif, dan

yudikatif hendaknya dipegang oleh lembaga yang terpisah satu sama lain.

Kedua, konsep penyeimbangan kekuasaan (balances) dimaksudkan agar

masing-masing lembaga penguasa tersebut dalam proses perumusan

kebijakan sehari-hari punya proporsi kewenangan yang seimbang sehingga

tidak ada yang memiliki kekuasaan mutlak.57

Prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (check and balance)

disini memiliki fungsi mencegah cabang-cabang kekuasaan dari

penyalahgunaan kekuasaan, seperti penyalahgunaan untuk tujuan-tujuan

tertentu dan kompromi politik. Checks and balances antara eksekutif dan

legislatif merupakan instrumen menjaga atau mencegah tindakan sewenang-

wenang, tindakan melampaui wewenang, atau tidak tanpa wewenang dalam

57

Lihat Zahra Amelia Riadini, “Model Kawal Imbang (Check And Balances)” (UIN

Semarang, 2013), 29.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

sistem presidensial. Dengan perkataan lain, checks and balances antara

eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensial untuk menjamin

kelangsungan penyelenggaraan negara hukum dan berdasarkan

konstitusionalisme.58

4. Teori Fikih Siyāsah

Siyāsah secara etimologi adalah mengatur, mengurus memerintah

atau membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk

mencapai suatu tujuan.59

Sedangkan secara termenologi sebagaimna dikatakan oleh Abdul

wahhab Khalaf, bahwa, siyāsah shar’iyyah sebagai pengelolaan maslah-

masalah umum60

bagi pemerintahan Islam yang menjamin terciptanya

kemaslahatan dan terhindarnya kemudaratan dari masyarakat Islam, dengan

tidak bertentangan dengan ketentuan shari‟at Islam dan prinsip-prinsip

umumnya, meskipun tidak sejalan dengan pendapat ulama mujtahid.61

Abdurrahman Taj lebih mempertegas lagi bahwa siyāsah shar’iyyah

sebagai hukum yang mengatur kepentingan negara, mengorganisasi

permasalahan umat sesuai dengan jiwa (semangat) shari‟at dan dasar-

dasarnya yang universal demi terciptanya tujuan kemasyarakatan, walaupun

pengaturan tersebut tidak ditegaskan baik oleh Al-Qur‟an maupun al-

58

Lihat Bagir Manan, Membedah UUD 1945, cet. Pertama, (Malang: Tim UB Press, 2012), 88. 59

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi DoktrinPolitik Islam, cet. Ke-1 (Jakarta:

Radar Jaya Pratama, 2001), 3. Lihat juga j. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, cet. Ke-3 (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 1997), 23. 60

Yang dimaksud dengan masalah umum umat Islam adalah segala hal yang membutuhkan

peraturan dalam kehidupan mereka, baik di bidang perundang-undangan, keuangan dan

moneter, peradilan, eksekutif, masalah dalam negeri ataupun hubungan internasional. Abdul

Wahab Khalaf, Al-Siyasah al-Syar’ah,…., 15. 61

Ibid.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

Sunnah.62

Sedangkan menurut para fuqaha‟, sebagaimana dikutip oleh

Abdul Wahhab Khalaf, mendefinisikan siyāsah shar’iyyah sebagai

kewenangan penguasa atau pemerintah untuk melakukan kebijakan-

kebijakan politik yang mengacu kepada kemaslahatan melalui peraturan

yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama, walaupun tidak terdapat

dalil yang khusus tentang hal tersebut.63

Dengan beberapa definisi yang telah diuraikan di atas menurut hemat

penulis dapat disimpulkan, bahwa fikih siyāsah (siyāsah shar’iyyah) adalah

pengurusan dan peraturan kehidupan manusia dalam berbangsa dan

bernegara yang dibuat oleh penguasa atau pemerintah yang berwenang

untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudaratan (jalb al-

masha@lih wa daf’u al-mafa@sid) yang tidak bertentangan dengan ruh atau

semangat shari‟at Islam yang universal.

5. Teori Kekuasaan dalam Fikih Siyāsah

Sejak dahulu kala perebutan kekuasaan dalam kehidupan manusia

merupakan dinamika umum dalam “drama” penciptaan dunia ini. Yang

terekam sejarah seolah-olah hanya satu hal, yaitu siapa yang berkuasa di

suatu tempat dan waktu tertentu. Mengejar dan mempergunakan kekuasaan

dengan sendirinya menjadi ajang persaingan umat manusia yang

berlangsung pada setiap generasi. Kecenderungan terhadap kekuasaan

menjadi tak terhindarkan lagi, bahkan menjadi salah satu tabiat manusia

62

Abdurrahman Taj, Al-Siyasah al-Syari’ah wa al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Mathaba‟ah Dar al-

Ta‟lif, 1993), 10. 63

Abdul Wahab Khalaf, Al-Siyasah al-Syar’ah,…, 4

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

yang secara otomatis berimplikasi kepada persoalan kehidupan secara

substansi.64

Hubungan agama dan kekuasaan (politik) selalu menjadi topik

pembicaraan menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada ajaran

agam maupun oleh golongan yang berpandangan sekuler. Bagi umat Islam,

munculnya topik pembicaraan tersebut berpangkal dari permasalahn; apakah

kerasulan Nabi Muhammad Saw, menpunyai kaitan dengan masalah politik;

atau apakah Islam merupakan agama yang terkait erat dengan urusan politik,

kenegaraan dan pemerintahan; dan apakah sistem dan bentuk pemerintahan,

sekaligus prinsip-prinsipnya terdapat dalam Islam?.65

Dalam diskursus dan perdebatan tentang terma pemerintahan,

meniscayakan kita untuk berbicara tentang negara, kekuasaan, dan politik

serta hal-hal yang terkait dengannya. Sebab, ketiga terma ini, bersifat

integral dalam sebuah sistem politik pemerintahan. Berdasarkan urgensi

keniscayaan adanya sebuah organisasi sistem pemerintahan ini, maka dalam

Islam dikenal term al-Siyāsah al-Shar’iyyah atau yang populer dengan

sebutan fikih siyāsah66

(politik keagamaan) dan kepemimpinan formal yang

disebut Khalīfah, Sulṭān, Imāmat, dan uli al-Amr.

Term-term tersebut direkam oleh beberapa ayat al-Qur‟an seperti:

Q.S. al-Nisā‟, 4:58-59, Q.S. al-Hūd, 11:61, Q.S. al-Baqarah, 2:30, Q.S. Ṣād,

64

Meriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1977), 35. 65

J Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah…, xi 66

Fiqh siyasah (siyasah syariyah) adalah pengurusan dan peraturan kehidepan manusia dalam

berbangsa dan bernegara yang dibuat oleh penguasa atau pemerintah yang berwenang untuk

menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudaratan (jalb al-mashalih wa dafu al-mafasid)

yang tidak bertentangan dengan ruh atau semangat syariat Islam yang universa

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

38:26, dan Q.S. Āli Imrān, 3:26. Sementara para pakar tata Negara Islam

yang mendukung adanya “konsep Negara Islam” menyebutkan komponen

ayat-ayat ini sebagai konsep dasar politik dalam Islam (al-Siyāsah al-

Shar’iyyah). Namun demikian pesan moralitas politik beberapa ayat

tersebut, meniscayakan kepada pemerintah sebagai pelaku kekuasaan

politik, untuk melaksanakan pembangunan yang berwawasan keadilan dan

atau yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Maka “pembangunan

yang dilaksanakan oleh pemerintah harus mengacu dan berorientasi kepada

kemaslahatan umum” (al-Taṣarruf al-Imām alā al-Rā’iyyati manut}un bi al-

Maṣlahah).67

Sejarah mencatat bahwa permasalahan pertama yang dipersoalkan

oleh generasi pertama umat Islam sesudah Nabi Muhammad Saw wafat

adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau yang akan

memimpin umat atau juga lazim disebut persoalan imāmah. Meskipun

masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar (w.23

H/634 M) sebagai Khalifah, namun dalam waktu tidak lebih dari tiga

dekade masalah serupa muncul kembali dalam lingkungan umat Islam.68

Masalah pokok yang dihadapi dunia Islam dewasa ini adalah bagaimana

caranya menegakkan kembali ideologi Islam di dunia pada pertengahan

abad keduapuluh ini. Masalah ini memunculkan tantangan besar, karena

Islam tidak hanya sekedar kumpulan dogma, dan ritual saja. Islam adalah

67

Lihat Abul A`la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerin-

tahan Islam, alih bahasa Muhammad Al-Baqir, cet. ke-4 (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 115. 68

Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 1.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

jalan hidup paripurna. Ia merupakan penjelmaan tuntutan Ilahi untuk semua

bidang kehidupan manusia yang mencakup baik urusan pribadi maupun

kelompok. Politik maupun ekonomi, sosial maupun kultural, moral maupun

hukum dan keadilan.69

Fakta-fakta historis menunjukkan adanya aneka ragam bentuk dan

sistem pemerintahan dalam dunia Islam pada masa silam. Tidak adanya satu

konsep Negara Islam yang disepakati sepanjang sejarah membawa kepada

timbulnya berbagai interpretasi tentang apa yang disebut dengan Negara

Islam itu. Al-Qur‟an maupun Al-Hadits tidak ditemukan secara eksplisit

aturan yang menjelasakan tentang penggantian Nabi dan tentang sitem

maupun bentuk pemerintahan yang harus dianut dan diaplikasikan disuatu

negara, al-Qur‟an maupun al-Hadits hanya mengajarkan sejumlah aturan

yang memberikan seperangkat tata nilai, asas-asas, petunjuk dan pedoman,

bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara yang tata

pengelolaannya diserahkan kepada manusia itu sendiri sesuai dengan

kondisi dan tempat dimana ia berada.70

Hal demikian membawa kepada timbulnya berbagai interpretasi dan

teori yang berbeda-beda tentang bentuk dan sistem pemerintahan Islam.

Dari perbedaan itulah lahirlah seorang ulama‟ dan itelektual al-Azhar

permulaan abad ke-20 (kedua puluh) Ali Abdu al-Raziq walaupun

pendapatnya mendapatkan kecaman keras dari kalangan intelektual muslim

69

Abul A‟la Al Maududi, Hukum dan konstitusi: Sistem Politik Islam, alih bahasa, Asep

Hikmat (Bandung: Mizan, 1994), 1. 70

Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran. cet. Ke-5

(Jakarta: UI-Press, 1993), 1.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

lainnya ia berpendapat bahwa, pembentukan pemerintahan tidak masuk

dalam tugas yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad Saw, Nabi

Muhammad Saw, tidak mempunya pemerintahan dan tidak pula membentuk

kerajaan. Beliau hanyalah rasul sebagaimana rasul-rasul lainnya, dia

bukanlah raja atau pembentuk negara. Menurunya dalam Islam (al-Qur‟an)

dengan jelas tidak menentukan suatu bentuk maupun sistem pemerintahan

tertentu bagi kaum Muslim, Islam hanya memberikan landasan nilai-nilai

yang harus dipedomani.71

Kemudian seorng intelektual muslim dari Mesir Husein Haikal yang

menawarkan sebuah konsep kenegaraan yang menurut penulis sangat bijak

dan relevan untuk diaplikasikan pada kondisi saat ini khususnya dalam

konteks Negra Indonesia yang berpandangan bahwa pemerintahan Islam

boleh berbentuk apa saja. Apakah pemerintahan itu berbentuk otoriter,

kerajaan, atau republik, demokrasi atau despotis, yang terpenting

pemerintahan itu harus mencakup semua aspek baik aspek ekonomi,

pertahanan, maupun aspek yang mendukung pemerintahan. Menurutnya,

dalam Islam tidak terdapat sistem pemerintahan yang baku, umat Islam

bebas menganut sistem pemerintahan apapun, asal sistem tersebut menjamin

persamaan antara warganya termasuk persamaan di muka hukum.72

Hal tersebut sejalan degan apa yang dikatakan oleh Moh. Mahfud

MD bahwa, dalam hal bernegara, Islam hanya mengatur asas-asas atau

prinsip-prinsip saja, sedangkan pelembagaan atau sistemnya diserahkan

71

Lihat, Ali Abd al-Raziq, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, (Kairo: Mathba‟ah Mishra, 1925), 16. 72

Lihat Muhammad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, alih bahasa. Ali Audah

(Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa, 1990), 196-197.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

kepada manusia untuk menentukannya sesuai dengan tuntutan tempat,

waktu, dan tradisinya masing-masing. Menurutnya Islam menerima sistem

atau bentuk apa pun yang dibuat oleh manusia sesuai dengan kebutuhan dan

pemrintahan masing-masing.73

Dalam fikih siyāsah (siyāsah shar’iyyah) pengurusan dan peraturan

kehidupan manusia dalam berbangsa dan bernegara yang dibuat oleh

penguasa atau pemerintah yang berwenang untuk menciptakan

kemaslahatan dan menolak kemudaratan (jalb al-mas}alih wa daf’u al-

mafa@sid) yang tidak bertentangan dengan ruh atau semangat shari‟at Islam

yang universal.

Abdul Wahhab Khallaf merumuskan siyāsah shar’iyyah sebaga

kewenagan penguasa atau pemerintahan untuk melakukan kebijakan-

kebijakan politik yang mengacu kepada kemaslahatan dan terhindarnya

kemudharatan dari masyarakat dengan tidak bertentangan dengan ketentuan

syariat Islam dan prinsip-prinsip umumnya, meskipun hal itu tidak terdapat

dalil yang khusus.74

Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah juga memberikan makna

mengenai tugas yang harus diemban oleh pemerintah dalam negara, di

antaranya adalah: Pertam, menciptakan kemaslahatan bersama; Kedua,

mewujudkan amanah sebaik-baiknya; dan Ketiga, menciptakan keadilan

semaksimal mungkin.75

73

Moh. Mahfud MD, dalam sebuah pengantar bukau dari Ahmad Sukardja, Hukum Tata

Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2014), viii. 74

Abdul Wahhab Khallaf, Al-Siyasah al-Syari’ah…, 4. 75

Jeje Abdul Rojak, Politik Kenegaraan, (Jakarta: Bina Ilmu, 1999), 164.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

30

Ali „Abdu al-Raziq mengutip pendapat Ibnu Khaldun yang

mengatakan, pemimpin adalah muatan seluruh komunitas manusia yang

sesuai dengan pandangan syariat guna mencapai kemaslahatan mereka baik

di dunia maupun di akhirat. Hal ini dikarenakan seluruh sistem kehidupan

manusia dikembalikan pada pertimbangan dunia demi mendapatkan

kemaslahatan akhirat.76 Hal ini juga tercamtum dalam kaidah fikih yaitu;

لحة ط بالأمصأ وأ ن مام على الراعية م تصرف الأ“Kebijakan seorang penguasa atau pemerintah terhadap rakyatnya

harus sesuai dengan kemaslahatan”.77

المصلحة العامة مقدمة على المصلحة الخاصة“Kemaslahatan umum yang lebih luas harus diutamakan atas

kemaslahatan yang khusus (golongan atau kelompok tertentu)”.78

Kaidah ini mengisyratkan bahwa apa pun kebijakan pemerintah

harus mempertimbangkan aspirasi rakyatnya. Sebab, kalau aspirasi rakyat

tersebut tidak diperhatikan, maka keputusan pemerintah tidak akan efektif

berlaku. Dalam hal ini, pemerintah tidak boleh menciptakan suatu keputusan

yang merugikan rakyat. karena itu kebijaksanaan pemerintah harus sejalan

dengan kepentingan umum, bukan untuk kepentingan golongan atau diri

sendiri.79

76

Ali „Abdu al-Raziq, Islam Dasar-Dasar Pemerintahan Kajian Khalifah dan Pemerintahan

Dalam Islam, (Yogyakarta: Jendela, 2002), 4 77

„Ali Ahmad al-Nadwi, Al-Qawa;id al-Fiqhiyah, (Danaskus: Dar al-Qalam, 1994), 65. 78

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah “Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, cet. Ke-2,

(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 18. 79

Ibid., 16.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

31

G. PenelitianTerdahulu

Checks and balances antara Presiden dan DPR dalam sistem

pemerintahan presidensial di Indonesia khususnya pasca reformasi sering

diperbincangkan, didikusikan bahkan diperdebatkan baik di media, forum

ilmiyah dan di kalangan masyarakat khususnya bagi civitas akademika. Hal

tersebut, sangatlah wajar jika banyak tulisan dalam bentuk ilmiah maupun non

ilmiah yang membahas hal tersebut.

Untuk menghindari asumsi plagiasi serta untuk menunjukkan

orisinalitas dari penelitian ini, maka peulis melakukan penelusuran terhadap

tulisan atau penelitian sebelumnya yang memiliki objek kajian yang sama.

Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan, terdapat beberapa

penelitian yang mirip dengan tema penelitian yang diangkat oleh penyusun,

antara lain:

Skripsi yang ditulis oleh Syarief Guska Laksana sebagai tugas akhir

untuk memperoleh gelar sarjana strata satu dalam ilmu hukum di Universitas

Islam Indonesia Yogyakarta dengan judul “Prinsip Check And Balances dalam

Sistem Pemerintahan Menurut UUD Negara RI 1945”. Fokus kajian dari

penelitian ini adalah untuk melihat dan menguraikan hubungan antara sistem

presidensial dengan prinsip check and balance menurut Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945.80

80

Syarief Guska Laksana, Prinsip Check And Balances dalam Sistem Pemerintahan Menurut

UUD Negara RI 1945, (Skiripsi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2012)

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

32

Karya ilmiyah yang ditulis Hezky Fernando Pitoy81

dalam jurnal media

Universitas Sam Ratulangi Manado dengan judul “Mekanisme Checks And

Balances Antara Presiden dan DPR dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di

Indonesia”. Fokus kajian dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

bagaimana pengaturan mekanisme checks and balances antara Presiden dan

DPR dalam sistem pemerintahan Presidensial berdasarkan UUD 1945 dan

UU No. 27 Tahun 2009 dan bagaimana efektifitas penerapan mekanisme

checks and balances antara Presiden dan DPR dalam sistem pemerintahan

presidensial di Indonesia.

Karya ilmiyah yang ditulis Slamet Riyanto dalam jurnal Legalita

dengan judul “Perwujudan Prinsip Checks And Balances dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD Tahun 1945”.

Fokus kajian dari penelitian ini adalah untuk mengkaji lebih lanjut mengenai

ide pokok yang terkandung dalam prinsip checks and balances,

pengaturan prinsip checks and balances dalam Amandemen UUD Tahun

1945 dan perwujudan checks and balances dalam sistem ketatanegaraan

Republik Indonesia pasca amandemen UUD Tahun 1945.

Karya ilmiyah M. Arsyad Mawardi dalam Jurnal hukum dengan judul

“Pengawasan dan Keseimbangan Antara DPR dan Presiden dalam Sistem

Ketatanegaraan RI”. Fokus kajian dari penelitian ini adalah pertama, untuk

mengetahui apakah terdapat sistem pengawasan dan keseimbangan antara DPR

dan Presiden sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945. Kedua, untuk

81

Hezky Fernando, “Mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR dalam sistem

Pemerintahan Presidensial di Indonesia Lex et Societatis, Vol. II/No. 5 (Juni, 2014)

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

33

mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang menjadi kendala dalam sistem

pengawasan dan keseimbangan antara DPR. Ketiga, untuk mengetahui sistem

dan mekanisme check and balances seperti apa yang dikandung di dalam

UUD 1945 hasil perubahan dan bagaimanakah seharusnya hal tersebut

dikonsepkan atau diatur. 82

Karya ilmiyah Dinoroy Marganda Aritonang dalam Jurnal mimbar

hukum dengan judul “Penerapan Sistem Presidensil di Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945”. Fokus kajian dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui bagaimana penerapan konsep dan model sistem presedensil di

dalam UUD 1945 pasca amandemen.83

Adapun penelitian yang penulis lakukan ini berbeda dengan penelitian

diatas penulis mengangkat judul “Implementasi Checks And Balances Antara

Presiden dan DPR dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di NKRI Pasca

Reformasi Prespektif Fikih Siyāsah”. Fokus kajian penulis adalah pertama,

untuk memahami implementasi “checks and balances” antara Presiden dan

DPR dalam sistem Pemerintahan Presidensial di NKRI Pasca Reformasi.

Kedua, untuk memahami sistem checks and balances antara Presiden dan DPR

dalam sistem pemerintahan presidensial perspektif fikih siyāsah Sehingga

menurut hemat penulis, penelitian ini mampu mengisi celah yang belum diisi

dalam penelitian sebelumnya.

82

M. Arsyad Mawardi, Pengawasan dan Keseimbangan Antara DPR dan Presiden Dalam

Sistem Ketatanegaraan RI, Jurnal Hukum No.1 Vol. 15 (Januari 2008) 83

Dinoroy Marganda Aritonang, “Penerapan Sistem Presidensildi Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945”. Jurnal mimbar hukum Vol. 22. No. 2 (Juni, 2010)

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

34

H. Metode Penelitian

Untuk menjawab permasalahan dan mencapai tujuan penelitian

sebagaimana dijabarkan di muka, penulis menggunakan metode penelitian

hukum normatif. Peter Muhammad marzuki mendefinisikan bahwasanya

penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu

peraturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi sehinga memperoleh suatu argumentasi,

teori atau konsep baru sebagai deskripsi dalam penyelesaian masalah.84

Ada dua alasan peneliti menggunakan penelitian hukum normatif yaitu;

Pertama, penelitian yang ditujukan untuk menndapatkan hukum obyektif

(norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum.

Kedua, penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif,

sehingga dapat menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai

preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hal ini tentang

impelementasi checks and balances antara eksekutif dan legislatif dalam sistem

pemerintahan presidensial di NKRI pasca reformasi.

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, penulis menggunakan

beberapa pendekatan untuk menjawab permasalahan yang diteliti, yaitu:

pendekatan perundang-undangan (statute approach),85

pendekatan konseptual

(conceptual approach),86

dan pendekatan historis (historical approach).87

84

Piter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet. Ke-2 (Jakarta: Kencana, 2006), 35. 85

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-

undang atau regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang ditangani. Ibid, 93. 86

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam

ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,

konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

35

Pendekatan perundang-undangan dilakukan terhadap berbagai

peraturan mengenai yang berkaitan dengar impelemintasi chaks and balances

anatar eksekutif dan legislatif dalam sistem pemerintahan presidensial di NKRI

pasca Reformasi diantaranya adalah: Undang-Undang Dasar Republik

Indinesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan, Dewan Perwakilan Rakyat Repulik Indonesia, Dewan

Perwakilan Rakyat Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota atau

yang di singkat MD3

Pendekatan konseptual digunakan untuk dapat memahami pandangan

para ahli hukum atau konsep mengenai sistem chaks and balances dalam

sistem pemerintahan setelah reformasi, dan juga untuk memahami perinsip-

prinsip kekuasaan (politik) dalam fikih siyāsah sebagai aturan tentang

kehidupan manusia dalam berbangsa dan bernegara untuk menciptakan

kemaslahatan dan menolak kemudaratan (jalb al-mas}a@lih wa daf’u al-mafa@sid)

yang tidak bertentangan dengan ruh atau semangat shari‟at Islam yang

universal.

Pendekatan historis digunakan dalam rangka memahami sejarah

lahirnya hubungan eksekutif dan legislatif sejak awal reformasi yang

mengimplemtasikan sistem chaks and balances antar eksekutif dan legislatif.

Dari ketiga pendekatan tersebut akan dapat dipahami beberapa hal yang

melatarbelakangi perumusan yang menjadi tuntutan reformasi yang

Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi

peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.

Ibid, 95. 87

Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan

perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. Ibid, 94.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

36

mempertegas sistem pemerintahan presidensiil di dalam UUD 1945 dan

mewujudkan kerangka mekanisme check and balances, khususnya diantara

lembaga legislatif dan eksekutif dalam perspektif fikih siyāsah

Adapun jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

hukum primer, bahan sekunder dan bahan tersier. Bahan hukum primer yaitu

bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat baik bagi setiap individu

atau masyarakat, baik yang berupa perundang-undangan, catatan-catatan resmi

atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim.88

Adapun bahan hukum primer yang digunakan adalah, Undang-

Undang Dasar Republik Indinesia Tahun 1945. Undang-Undang. Nomor. 17

Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan, Dewan Perwakilan Rakyat

Repulik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, Dewan Perwakilan

Rakyat Kabupaten/Kota atau yang di singkat MD3

Bahan hukum sekunder, yaitu; bahan hukum yang digunakan untuk

menjelaskan dan mendukung bahan hukum primer yang berupa semua

publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.

Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal

hukum, dan komentar atas putusan pengadilan.89

Bahan hukum tersier, yaitu; bahan hukum yang memberi petunjuk dan

penjelasan kepada bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang

berupa kamus hukum, kamus umum yang ada hubunganya dengan pokok-

pokok permasalahan atau isu hukum yang akan dibahas dalam penulisan ini.

88

Piter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum…, 141. 89

Ibid.,

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsby.ac.id/14441/2/Bab 1.pdf · Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

37

I. Sistematika Pembahasan

Peneliti mengunakan sistematika penulisan tesis disusun dalam V(lima)

bab, dan dibagi dalam sub-sub yang dirinci sebagai berikut:

Bab pertama, berisi pendahuluan pendahuluan yang menguraikan

tentang latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoretik, kajian pustaka,

metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua merupakan tinjauan umum yang meliputi sistem

pemerintahan secara umum, sistem pemerintahan di Indonesia, lembaga

eksekutif dan lembaga legislatif pasca amandemen dan sistem pemerintahan

dalam ketatanegaraan Islam.

Bab ketiga memuat tentang pengaturan implementasi sistem

presidensial pasca amandemen UUD 1945, implementasi kekuasaan lembaga

eksekutif dan legislatif pasca amandemen UUD 1945 dan implemntasi checks

and balances antara presiden dan DPR pasca amandeman UUD 1945.

Kemudian bab keempat, brisi analisis sistem presidensial pasca

amandemen UUD 1945 perspektif fikih siyāsah, kekuasaan Presiden dan DPR

pasca amandemen UUD 1945 perspektif fikih siyāsah dan mekanisme checks

and balances antara Presiden dan DPR pasca amandemen UUD 1945

presipektif fikih Siyāsah.

Terakhir merupakan penutup, pada bab terakhir ini akan menyajikan

simpulan dan saran.