1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia Melayu seperti yang dipahami saat ini terdiri dari semenanjung Malaysia, pantai timur Sumatera, barat dan barat daya pantai Kalimantan dan Riau kepulauan (Lian, 2001: 862). Dikatakan pula oleh Milner bahwa dunia Melayu meliputi setidaknya Thailand Selatan, semenanjung Malaysia, Singapura, Sumatera, Brunei, bagian dari Sarawak Malaysia, dan sebagian Kalimantan Indonesia (Milner, 2008: 5). Daerah-daerah tersebut, telah sejak abad ke-13 M mendapat pengaruh unsur-unsur tasawuf (Abdul Hadi, 2004: 117). Tasawuf merupakan salah satu saluran Islamisasi yang penting di Nusantara. Tasawuf termasuk kategori yang berfungsi membentuk kehidupan sosial suatu bangsa. Kemungkinan besar yang pertama kali mengenal paham tasawuf adalah daerah Sumatra Utara yaitu tempat datangnya agama Islam yang pertama (Istanti, 1997: 57). Pendapat lain mengenai kedatangan tasawuf juga dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo yakni bahwa Kedatangan ahli-ahli tasawuf ke Melayu diperkirakan sejak abad ke-13 M yaitu pada masa perkembangan dan penyebaran ahli-ahli tasawuf dari Persia dan India (Kartodirdjo, 1975: 138). Istilah tasawuf sendiri berasal dari bahasa Arab tas}awwuf yang artinya memanfaatkan faedah s{awf. S{awf artinya bulu domba atau wol. Kata tas}awwuf sebagai sebutan suatu paham berkaitan dengan sejarah paham tasawuf yang terjadi
25
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79905/potongan/S2-2015...S{awf artinya bulu domba atau wol. Kata tas}awwuf sebagai sebutan suatu paham berkaitan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia Melayu seperti yang dipahami saat ini terdiri dari semenanjung
Malaysia, pantai timur Sumatera, barat dan barat daya pantai Kalimantan dan Riau
kepulauan (Lian, 2001: 862). Dikatakan pula oleh Milner bahwa dunia Melayu
meliputi setidaknya Thailand Selatan, semenanjung Malaysia, Singapura, Sumatera,
Brunei, bagian dari Sarawak Malaysia, dan sebagian Kalimantan Indonesia (Milner,
2008: 5). Daerah-daerah tersebut, telah sejak abad ke-13 M mendapat pengaruh
unsur-unsur tasawuf (Abdul Hadi, 2004: 117). Tasawuf merupakan salah satu saluran
Islamisasi yang penting di Nusantara. Tasawuf termasuk kategori yang berfungsi
membentuk kehidupan sosial suatu bangsa. Kemungkinan besar yang pertama kali
mengenal paham tasawuf adalah daerah Sumatra Utara yaitu tempat datangnya agama
Islam yang pertama (Istanti, 1997: 57). Pendapat lain mengenai kedatangan tasawuf
juga dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo yakni bahwa Kedatangan ahli-ahli
tasawuf ke Melayu diperkirakan sejak abad ke-13 M yaitu pada masa perkembangan
dan penyebaran ahli-ahli tasawuf dari Persia dan India (Kartodirdjo, 1975: 138).
Istilah tasawuf sendiri berasal dari bahasa Arab tas}awwuf yang artinya
memanfaatkan faedah s{awf. S{awf artinya bulu domba atau wol. Kata tas}awwuf
sebagai sebutan suatu paham berkaitan dengan sejarah paham tasawuf yang terjadi
2
pada abad ke-8 M di daerah Irak dan Iran (Persia). Para penganut yang ingin
bersungguh-ungguh mengamalkan paham tasawuf ini, dalam hidupnya sangat
berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka adalah orang
Islam baru dari bangsa dan suku setempat yang sebelumnya memeluk agama non-
Islam atau menganut bermacam-macam paham. Hidupnya sangat sederhana dan
berusaha menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Banyak dari
mereka itu yang selalu mengenakan pakaian dari kulit domba yang masih berbulu,
sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut paham tersebut. Itulah
sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham “sufi”, “sufisme” atau paham
“tasawwuf”, dan orangnya disebut orang “sufi” (Jaiz, 1980: 14).
Bukti-bukti awal pemikiran tasawuf tampak pada tulisan-tulisan yang tertera
pada batu nisan makam raja-raja Pasai dan Malaka, serta pada kuburan muslim lain
pada abad ke 13-15 M. (Abdul Hadi, 2004: 117). Namun demikian, karangan-
karangan yang benar-benar bersifat keilmuan baru mulai tampak pada abad ke-16 M,
dan mencapai puncak perkembangannya pada abad ke-17 M. Masa-masa akhir abad
ke-16 dan abad ke-17 juga merupakan masa dimana pandangan hidup aliran sufi
sangat kuat mempengaruhi kebudayaan Melayu (Braginsky, 1993: 2). Pada abad-abad
itu di Aceh hiduplah beberapa ahli tasawuf seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-
Sumatrani, ar-Raniri, dan Abdurrauf dari Singkel (Kartodirdjo, 1975: 138). Peristiwa
abad ke-16/17 tersebut juga turut mewarnai kesusastraan sufi Melayu yang amat kaya
dengan berbagai karya, yang meliputi kitab-kitab doktrin dalam prosa dan puisi,
3
karangan-karangan agiografi (kisah riwayat hidup tokoh suci), dan juga alegori-
alegori yang mengisahkan tentang perjalanan sufi untuk mencapai makrifat
(Braginsky, 1993: 77). Adapun karya-karya tersebut diantaranya adalah risalah-
risalah tasawuf Hamzah Fansuri di Sumatra, Busta<n as-Salat{i>n karya Nuruddin
ar-Raniri, Ta>j as-Sa>lat}in karya Bukhari al-Jauhari (Abdul Hadi, 2004: 101-133),
Syair Bah{r an-Nisa>’, Sajak Perkataan Alif, Hikayat si Burung Pingai, Hikayat
Indra Putra, dan Hikayat Syah Mardan (Braginsky, 1998: 1-233).
Banyaknya karya berwarna sufi yang bermunculan tersebut tidak lepas dari
pengaruh kekuasaan pada masa itu. Di Sumatra, masa-masa abad ke-16/17 adalah
masa bangkitnya kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M) dengan raja yang
terkenal adalah Sultan Iskandar Muda yang memerintah dari tahun 1607-1636 M
(Said, 1961: 142-182). Dalam masa Iskandar Muda, seluruh pantai barat Sumatra
hingga Bengkulen telah berada dalam kekuasaan Aceh. Pada masa itu, Susunan
tatanegara dibagi menjadi empat: 1. Adat diserahkan dalam kebijaksanaan sultan dan
penasehatnya, 2. Hukum, diserahkan kepada Syaikh Nu>ruddi>n ar-Rani<ri dan
Syaikh „Abdur-Rauf al-Fanzu>ri sebagai Syaikhul-Islam atau Qa>d}i Malikul-„A>dil
serta ulama-ulama, 3. Urusan kanun dalam kebijaksanaan maharani, 4. Urusan resam
diserahkan kepada panglima di masing-masing tempat (Zainuddin, 1957: 89).
Salah satu karya satra Melayu abad ke-16/17 yang terkenal di atas yakni
Hikayat Seh} Mardan, akan menjadi pokok pembahasan dalam tesis ini. Hikayat Seh}
Mardan (selanjutnya disingkat HSM) adalah sebuah cerita yang populer. Sekurang-
4
kurangnya ada 23 naskah HSM yang dapat dijumpai. Naskah tersebut tersebar di
berbagai perpustakaan di seluruh dunia, diantaranya yaitu di Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia yang ada di Jakarta sebanyak tujuh naskah, di Inggris sebanyak
sembilan naskah dan di Leiden sebanyak tujuh naskah.
HSM memiliki fungsi ganda yakni menghibur dan memberi pengajaran.
Fungsi ganda HSM tersebut, tercantum dalam kata pengantar salah satu versi naskah
HSM yakni MS Leiden. Klinkert No 28, suntingan Braginsky, sebagai berikut:
“Maka barang siapa mendengarkan dia atau membaca dia mengambil
faedah di dalamnya surat nasihat. Adalah perkataan ini empat perkara dari
pada hadis dan dalil, dan adalah empat perkara di dalamnya. Jikalau diambil
pada jalan ilmu Allah Taala, kamal namanya; jikalau diambil kepada istiadat
raja-raja sempurna kerajaan namanya; jikalau diambil kepada hukum
penghulu kita nabi Muhammad, s{allal-la>hu ‘alayhi wa sallam, syariat
namanya, jikalau diambil kepada permainan orang muda-muda itu sempurna
laki-laki namanya. Maka genaplah empat perkara di dalamnya itu”
(Braginsky, 1993: 147-148).
Warna sufi sebagimana yang nampak dalam HSM tersebut sedang marak
terjadi pada karya-karya sastra yang ada di Melayu pada masa sekitar abad ke-16/17.
Warna sufi di Melayu yang menjadi bentuk gejala sosial Melayu tersebut ternyata
tidak lepas dari gejala sosial dunia. Para ahli mengatakan bahwa masuknya sufi di
Melayu tidak lepas dari interaksi Melayu dengan negara-negara Islam di luar Melayu
seperti Persia dan India. Namun demikian pendapat paling banyak mengatakan bahwa
sufi di Melayu mendapat pengaruh dari India. Adapun penyokong teori India, antara
lain adalah Pijnnapel, Hurgronje, Moquette, Kern, Winstedt, Fatimi, Vlekke, Mukti
5
Ali, dan Schrieke (Karim, 2007: 326). Pada masa abad ke-16/17, India dan Persia
sebagai negara yang banyak mempengaruhi warna sufi Melayu, juga sedang
mengalami masa keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan tasawuf.
Pemahaman terhadap gejala sosial di India dan Persia perlu dipahami dalam
mengkaji HSM. Hal itu karena sebagai cerita hikayat Melayu yang bercorak sufi
alegori, HSM memiliki hubungan dengan sastra sufi yang ada di India dan Persia.
Agaknya pengaruh sufisme terhadap satra Melayu kira-kira sama, sepeti yang terlihat
di dalam satra-sastra Timur Tengah atau sastera muslim India, dengan contoh-contoh
alegori yang menggambarkan perjalanan-perjalanan kerohanian yang tak terbilang
banyaknya. Alegori-alegori sufi sama sekali tidak asing dalam karya-karya sastera
Melayu gubahan abad ke-16 dan ke-17 (Braginsky, 1993: 148).
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah-masalah dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Seharusnya dengan adanya naskah-naskah yang telah disunting, maka tidak
perlu ada penyuntingan ulang. Akan tetapi, pada kenyataannya suntingan-
suntingan yang ada tersebut berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Dari situ maka muncullah pertanyaan, mengapa dalam penelitian ini,
penerbitan edisi teks perlu dilakukan?
6
2. Hal-hal familiar yang ada dalam teks HSM digunakan sebagai pijakan dalam
menghubungkan antara teks dan realita. Pembaca, melalui proses pembacaan
mewujudkan hubungan antara teks dengan realita. Hubungan antara teks
dengan realita akan menghasilkan efek. Dengan demikian, maka pertanyaan
yang muncul adalah bagaimana perwujudan karya terdahulu, norma sosial,
budaya dan historis dalam HSM sebagai repertoire?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, meliputi tujuan umum dan
tujuan khusus. Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
menyajikan dan menafsirkan teks HSM. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk menerbitkan edisi teks kritis yang dapat dinikmati oleh pembaca masa
kini.
2. Untuk mengungkap perwujudan repertoire dan menemukan skema hubungan
antara teks, pembaca dan realita.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini, meliputi manfaat praktis dan
manfaat teoretis.
7
1. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk menyajikan teks agar dapat dibaca
dan dipahami oleh masyarakat luas dan memperluas ruang pemahaman dan
penghayatan terhadap karya-karya sastra Melayu.
2. Manfaat Teoretis
Melalui analisis yang dipandu oleh metode landasan dan konsep repertoire
Iser, akan dapat dibuktikan bahwa penelitian ini mampu mengungkap HSM sebagai
satu hasil kegiatan bersastra dalam sistem sastra Melayu. Lain daripada itu, penelitian
ini juga mampu mengungkap permasalahan-permasalahan sosial, budaya dan
kepercayaan yang mempengaruhi karya sastra pada masa itu.
E. Tinjauan Pustaka
Pembahasan mengenai HSM pernah dilakukan oleh Braginsky (1990) dengan
judul Hikayat Syah Mardan as a Sufi Allegory yang dipublikasikan oleh jurnal
Archipel 40 (Braginsky, 1990: 107-130). Braginsky (1993) dengan judul Hikayat
Syah Mardan Sebagai Alegori Sufi (Braginsky, 1993: 147-179). Braginsky (1994)
dengan judul Orang yang Diselitkan di Pucuk Kayu atau Keindahan Teka-teki yang