1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi. Kerjasama internasional justru semakin menjadi hal yang umum dan kerap dilakukan. Salah satu alasan yang melatarbelakangi suatu aktor, yaitu negara, melakukan kerjasama adalah adanya upaya pemenuhan kebutuhan. Tidak semua negara dapat memenuhi kebutuhan tersebut baik atas kebutuhan negara itu sendiri maupun kebutuhan rakyatnya. Kekayaan alam dan kemajuan industri yang tidak berimbang pun akan dapat menimbulkan hubungan dan kerjasama antar negara yang kemudian membentuk kerjasama internasional di sektor tersebut. 1 Meskipun demikian, dorongan untuk melakukan kerjasama tidak hanya dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan dari satu dan atau pun antar negara. Sebagaimana tercantum dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982 Bab V ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) pasal 61-67 tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan oleh RFMO (Regional Fisheries Management Organization) dan Bab VII pasal 118 tentang Laut Lepas mengamanatkan bahwa negara-negara harus melakukan kerjasama satu dengan yang lainnya dalam upaya konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di daerah laut lepas. Berkaitan dengan substansi dalam UNCLOS 1982 tersebut, rezim internasional dapat dikatakan sebagai salah satu aspek yang membawa pengaruh besar di dalam kerjasama internasional. Rezim yang dalam hal ini dikembangkan 1 Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Alumni.
20
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.
Kerjasama internasional justru semakin menjadi hal yang umum dan kerap
dilakukan. Salah satu alasan yang melatarbelakangi suatu aktor, yaitu negara,
melakukan kerjasama adalah adanya upaya pemenuhan kebutuhan. Tidak semua
negara dapat memenuhi kebutuhan tersebut baik atas kebutuhan negara itu sendiri
maupun kebutuhan rakyatnya. Kekayaan alam dan kemajuan industri yang tidak
berimbang pun akan dapat menimbulkan hubungan dan kerjasama antar negara
yang kemudian membentuk kerjasama internasional di sektor tersebut.1
Meskipun demikian, dorongan untuk melakukan kerjasama tidak hanya
dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan dari satu dan atau pun antar negara.
Sebagaimana tercantum dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law
of the Sea) tahun 1982 Bab V ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) pasal 61-67 tentang
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan oleh RFMO (Regional Fisheries
Management Organization) dan Bab VII pasal 118 tentang Laut Lepas
mengamanatkan bahwa negara-negara harus melakukan kerjasama satu dengan
yang lainnya dalam upaya konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di
daerah laut lepas.
Berkaitan dengan substansi dalam UNCLOS 1982 tersebut, rezim
internasional dapat dikatakan sebagai salah satu aspek yang membawa pengaruh
besar di dalam kerjasama internasional. Rezim yang dalam hal ini dikembangkan
1 Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta:
Alumni.
2
oleh aktor-aktor internasional dipercaya dapat menciptakan kesepakatan bersama
yang ditentukan dan dalam prakteknya harus ditaati oleh seluruh anggota dalam
rezim tersebut. Rezim tersebut dibentuk untuk memfasilitasi hubungan kerjasama
dalam membahas isu-isu tertentu dengan seperangkat aturan-aturan yang
disepakati bersama-sama.
Salah satu hal terkait pengelolaan sumber kekayaan hayati sebagaimana
diatur dalam UNCLOS 1982 tersebut adalah upaya konservasi dan pemanfaatan
yang tepat dan optimal terhadap spesies atau ikan yang beruaya jauh (highly
migratory fish). Spesies atau ikan yang beruaya jauh mencakup semua jenis
spesies atau ikan yang dalam habitatnya kerap bermigrasi dengan jarak yang
sangat jauh melintasi samudera. Tak jarang, wilayah habitat spesies atau ikan
tersebut kerap melintasi batas wilayah laut suatu negara baik laut teritorial
maupun wilayah zona ekonomi eksklusif. Sehingga upaya konservasi dan
pengelolaannya tidak hanya menjadi kepentingan atau tanggung jawab bagi satu
negara. Akan tetapi diperlukan adanya kerjasama antar negara-negara yang
memiliki kepentingan langsung terhadap tangkapan spesies atau ikan tersebut
maupun negara-negara yang wilayah perairan lautnya menjadi jalur migrasinya.
Ikan tuna merupakan salah satu jenis ikan yang termasuk dalam kategori
spesies atau ikan yang beruaya jauh. Secara biologis, ikan tuna diketahui
melakukan migrasi yang disebabkan oleh kebutuhan ikan tersebut dalam
beradaptasi dengan habitatnya. Mengingat karater ikan tuna sebagai ikan yang
beruaya jauh, tentunya dalam upaya konservasi dan pengelolaannya diperlukan
kerjasama dengan negara lain. Salah satu jenis ikan tuna yang paling potensial
3
adalah ikan tuna sirip biru selatan. Ikan jenis ini dapat mencapai ukuran yang
besar serta kandungan lemak dalam daging yang sangat banyak. Hal tersebut yang
menyebabkan permintaan konsumen akan ikan tuna sirip biru selatan semakin
meningkat terutama untuk konsumen sashimi di Jepang. Akibat permintaan yang
semakin meningkat inilah terjadi penangkapan tuna sirip biru selatan secara besar-
besaran (over exploitation) yang menyebabkan ketersediaan dan kelestarian tuna
tersebut terancam.
Untuk memastikan, melalui pengelolaan yang tepat, upaya konservasi dan
pemanfaatan optimal terhadap sumber daya tuna sirip biru selatan, dibentuklah
sebuah RFMO bernama CCSBT. CCSBT atau Commission for the Conservation
of Southern Bluefin Tuna dibentuk pada tahun 1993 dengan dilatarbelakangi oleh
fenomena semakin berkurangnya stok ketersediaan tuna sirip biru selatan akibat
adanya tangkapan besar-besaran yang dilakukan terhadap jenis ikan tuna tersebut.
Beberapa negara yang terdiri dari Jepang, Australia dan Selandia Baru secara
sukarela membentuk peraturan-peraturan yang berkaitan dengan upaya konservasi
dan pengelolaan tuna sirip biru selatan demi menjaga kelestariannya. Peraturan
tersebut kemudian diterapkan secara resmi pada 20 Mei 1994 dengan
terbentuknya CCSBT.
Sebagai sebuah rezim perikanan yang menangani segala isu dan
permasalahan terkait tuna sirip biru selatan, CCSBT memuat seperangkat aturan
dan prosedur maupun ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan sesuai standar
yang berlaku. Kesemuanya itu terbentuk atas dasar kesepakatan antar negara-
negara anggota yang selanjutnya wajib untuk diterapkan dalam sistem
4
pengelolaan tuna sirip biru selatan di negaranya masing-masing. Selain terdiri dari
aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan
pengelolaan, terdapat pula hal-hal yang berkaitan dengan upaya penyelesaian
masalah berkaitan dengan spesies tuna sirip biru selatan.
Indonesia telah bergabung secara resmi dalam keanggotaan CCSBT pada
tanggal 8 April 2008. Bergabungnya Indonesia menjadi anggota CCSBT tidak
hanya dilatarbelakangi adanya keharusan bagi negara-negara untuk melakukan
kerjasama dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati
sebagaimana tercantum dalam UNCLOS 1982. Akan tetapi, bergabungnya
Indonesia dalam rezim perikanan tuna tersebut juga didorong karena Indonesia
memiliki kepentingan langsung terhadap tangkapan tuna sirip biru selatan.
B. Identifikasi Masalah
Di Indonesia, perikanan tuna menduduki peringkat tinggi dalam kategori
perikanan tangkap. Nilai keseluruhan tangkapan perikanan tuna dari perairan laut
Indonesia secara umum mencapai 613.575 ton atau setara dengan 6,3 triliun
rupiah per tahunnya. Meskipun wilayah perairan selatan Indonesia merupakan
area pemijahan bagi jenis ikan ini (spawning ground), namun dalam hitungan
tersebut, tuna sirip biru selatan hanya menyumbang tangkapan sebesar 4% dari
total tangkapan tuna di Indonesia. Meskipun tangkapannya dinilai kecil, harga per
ekor tuna sirip biru selatan tangkapan Indonesia tetap bernilai tinggi. Dimana
ukuran dan banyaknya kandungan lemak dalam dagingnya lah yang menjadikan
permintaan akan ikan ini semakin meningkat.
5
Di satu sisi produksi tuna sirip biru selatan Indonesia dapat dikatakan bagus,
terlebih lagi dengan didukung wilayah starategis dimana perairan Laut Jawa
selatan Indonesia merupakan area pemijahan bagi ikan tuna sirip biru selatan.
Selain itu dengan bergabungnya Indonesia sebagai anggota CCSBT semestinya
akan berdampak pada kemudahan yang diperoleh Indonesia dalam mengelola
sumber daya tuna sirip biru selatan ini tentunya dengan tetap memperhatikan
segala hak dan kewajiban yang harus dijalankan Indonesia sebagai anggota rezim
tersebut.
Akan tetapi, di sisi lain Indonesia masih dihadapkan pada beberapa isu,
hambatan maupun permasalahan terkait pengelolaan sumber daya tuna sirip biru
selatan. Hal tersebut dapat dilihat dengan masih adanya kasus IUU fishing,
pembatasan dan atau penurunan alokasi kuota tangkap tuna sirip biru selatan, dan
tuduhan atas pelanggaran penangkapan baby tuna.
IUU fishing merupakan aktivitas penangkapan ikan ilegal, tidak terlaporkan
dan tidak terregulasi yang dilakukan oleh nelayan atau kapal penangkap ikan
suatu negara yang bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan
perikanan. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa IUU fishing tersebut dilakukan
terhadap sumber daya tuna sirip biru selatan yang juga bertentangan dengan
aturan-aturan terkait upaya konservasi dan pemanfaatan tuna sirip biru selatan
yang ditetapkan CCSBT. Indonesia kerap mendapat tuduhan atas tindakan IUU
fishig tersebut yang berakibat pada terhambatnya distribusi atau kegiatan ekspor
tuna sirip biru selatannya. Tuna sirip biru selatan hasil tangkapan Indonesia
6
diklaim merupakan tangkapan ilegal dimana wilayah penangkapannya melanggar
batas laut teritorial dan ZEE negara lain.
Sebagai anggota dari CCSBT Indonesia diwajibkan untuk menyetujui dan
melaksanakan segala aturan yang ditetapkan rezim perikanan tuna tersebut. salah
satu aturan atau ketentuannya adalah alokasi kuota tangkapan tuna sirip biru
selatan. Hingga tahun 2014, Indonesia memperoleh alokasi kuota tangkapan
sebanyak 750 ton tiap tahunnya. Alokasi tersebut dinilai tidak adil dengan alasan
bahwa besarnya alokasi kuota tersebut lebih kecil dan atau tidak sebanding
dengan kemampuan produksi tuna sirip biru di perairan laut Indonesia. Ketika
alokasi kuota tangkapan lebih kecil dibadingkan dengan kemampuan produksi
tuna sirip biru selatan Indonesia, menyebabkan terjadinya kelebihan tangkapan
terhadap ikan tersebut di perairan dalam negeri. Akibat adanya pelanggaran kuota
ini kemudian menyebabkan Indonesia kembali dihadapkan pada masalah
pengurangan kuota oleh CCSBT.
Sebagai upaya Indonesia untuk mendapatkan alokasi tambahan kuota
tangkapan tuna sirip biru selatan, Indonesia mengajukan klaim kepada CCSBT
bahwa Indonesia memiliki peran penting dalam upaya konservasi untuk menjaga
kelestarian sumber daya ikan tersebut. Menurut beberapa penelitian yang
dilakukan, wilayah perairan Laut Jawa selatan Indonesia merupakan area
pemijahan bagi sumber daya tuna sirip biru selatan sebelum akhirnya ikan-ikan
tersebut bermigrasi ke perairan laut yang lebih dalam dengan jarak yang sangat
7
jauh.2 Oleh karena itu, Indonesia dinilai memiliki hak atas tambahan alokasi kuota
tangkapan tuna sirip biru selatan. Namun hasilnya, Indonesia justru dihadapkan
atas pelanggaran penangkapan terhadap tuna-tuna kecil (baby tuna) dimana ikan
tuna hasil tangkapan Indonesia berukuran relatif kecil dan belum memenuhi
standar yaitu <Lm (Lm: 119-130cm).
Gambar 1. Peta Persebaran Habitat Tuna Sirip Biru Selatan3
Dari pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa ada ketidaksesuaian antara
keadaan dimana semestinya sistem pengelolaan tuna sirip biru selatan Indonesia
yang lebih baik yang dapat dicapai dengan masuknya Indonesia menjadi anggota
resmi CCSBT dengan keadaan yang sebenarnya dimana Indonesia masih
dihadapkan pada beberapa isu, hambatan maupun permasalahan terkait sumber
daya tuna sirip biru selatan. Dengan bergabungnya Indonesia secara resmi
2 Yukinawa M. 1987. Report on 1986 research cruise of the R/V Shoyo Maru. Distribution
of tuna and billfishes larvae and oceanographic observation in the eastern Indian Ocean January
– March, 1987. Rep. Res. Div., Fish. Agency Jpn. 61:1-100. 3 Shingu C. 1981. Ecology and Stock of Southern Bluefin Tuna. Australian CSIRO Division
Fishery and Oceanography. 131: 79.
8
menjadi anggota CCSBT, Indonesia diwajibkan untuk mengadaptasi dan
mengimplementasi segala aturan dan ketentuan terkait pengelolaan tuna sirip biru
selatan di dalam negeri. Dipatuhinya segala aturan tersebut diharapkan akan
membawa Indonesia pada sistem pengelolaan tuna yang lebih baik sesuai dengan
standar yang telah ditentukan dalam rezim tersebut. Namun, kenyataannya
Indonesia masih dihadapkan pada beberapa isu dan permasalahan terkait
pengelolaan tuna sirip biru selatan. Adanya ketidaksesuaian tersebut kemudian
menimbulkan anggapan bahwa rezim cenderung tidak menguntungkan karena
dianggap hanya sebagai alat bagi negara-negara maju untuk mengeksploitasi
sumber kekayaan hayati yang dimiliki oleh negara berkembang seperti Indonesia.
C. Rumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang tersebut maka penulis ingin mengeskplorasi
lebih jauh mengenai pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan
tuna sirip biru selatan di Indonesia. Selanjutnya penulis menuliskannya dalam