Top Banner
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi. Kerjasama internasional justru semakin menjadi hal yang umum dan kerap dilakukan. Salah satu alasan yang melatarbelakangi suatu aktor, yaitu negara, melakukan kerjasama adalah adanya upaya pemenuhan kebutuhan. Tidak semua negara dapat memenuhi kebutuhan tersebut baik atas kebutuhan negara itu sendiri maupun kebutuhan rakyatnya. Kekayaan alam dan kemajuan industri yang tidak berimbang pun akan dapat menimbulkan hubungan dan kerjasama antar negara yang kemudian membentuk kerjasama internasional di sektor tersebut. 1 Meskipun demikian, dorongan untuk melakukan kerjasama tidak hanya dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan dari satu dan atau pun antar negara. Sebagaimana tercantum dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982 Bab V ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) pasal 61-67 tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan oleh RFMO (Regional Fisheries Management Organization) dan Bab VII pasal 118 tentang Laut Lepas mengamanatkan bahwa negara-negara harus melakukan kerjasama satu dengan yang lainnya dalam upaya konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di daerah laut lepas. Berkaitan dengan substansi dalam UNCLOS 1982 tersebut, rezim internasional dapat dikatakan sebagai salah satu aspek yang membawa pengaruh besar di dalam kerjasama internasional. Rezim yang dalam hal ini dikembangkan 1 Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Alumni.
20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

Mar 19, 2019

Download

Documents

vukhue
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

Kerjasama internasional justru semakin menjadi hal yang umum dan kerap

dilakukan. Salah satu alasan yang melatarbelakangi suatu aktor, yaitu negara,

melakukan kerjasama adalah adanya upaya pemenuhan kebutuhan. Tidak semua

negara dapat memenuhi kebutuhan tersebut baik atas kebutuhan negara itu sendiri

maupun kebutuhan rakyatnya. Kekayaan alam dan kemajuan industri yang tidak

berimbang pun akan dapat menimbulkan hubungan dan kerjasama antar negara

yang kemudian membentuk kerjasama internasional di sektor tersebut.1

Meskipun demikian, dorongan untuk melakukan kerjasama tidak hanya

dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan dari satu dan atau pun antar negara.

Sebagaimana tercantum dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law

of the Sea) tahun 1982 Bab V ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) pasal 61-67 tentang

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan oleh RFMO (Regional Fisheries

Management Organization) dan Bab VII pasal 118 tentang Laut Lepas

mengamanatkan bahwa negara-negara harus melakukan kerjasama satu dengan

yang lainnya dalam upaya konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di

daerah laut lepas.

Berkaitan dengan substansi dalam UNCLOS 1982 tersebut, rezim

internasional dapat dikatakan sebagai salah satu aspek yang membawa pengaruh

besar di dalam kerjasama internasional. Rezim yang dalam hal ini dikembangkan

1 Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta:

Alumni.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

2

oleh aktor-aktor internasional dipercaya dapat menciptakan kesepakatan bersama

yang ditentukan dan dalam prakteknya harus ditaati oleh seluruh anggota dalam

rezim tersebut. Rezim tersebut dibentuk untuk memfasilitasi hubungan kerjasama

dalam membahas isu-isu tertentu dengan seperangkat aturan-aturan yang

disepakati bersama-sama.

Salah satu hal terkait pengelolaan sumber kekayaan hayati sebagaimana

diatur dalam UNCLOS 1982 tersebut adalah upaya konservasi dan pemanfaatan

yang tepat dan optimal terhadap spesies atau ikan yang beruaya jauh (highly

migratory fish). Spesies atau ikan yang beruaya jauh mencakup semua jenis

spesies atau ikan yang dalam habitatnya kerap bermigrasi dengan jarak yang

sangat jauh melintasi samudera. Tak jarang, wilayah habitat spesies atau ikan

tersebut kerap melintasi batas wilayah laut suatu negara baik laut teritorial

maupun wilayah zona ekonomi eksklusif. Sehingga upaya konservasi dan

pengelolaannya tidak hanya menjadi kepentingan atau tanggung jawab bagi satu

negara. Akan tetapi diperlukan adanya kerjasama antar negara-negara yang

memiliki kepentingan langsung terhadap tangkapan spesies atau ikan tersebut

maupun negara-negara yang wilayah perairan lautnya menjadi jalur migrasinya.

Ikan tuna merupakan salah satu jenis ikan yang termasuk dalam kategori

spesies atau ikan yang beruaya jauh. Secara biologis, ikan tuna diketahui

melakukan migrasi yang disebabkan oleh kebutuhan ikan tersebut dalam

beradaptasi dengan habitatnya. Mengingat karater ikan tuna sebagai ikan yang

beruaya jauh, tentunya dalam upaya konservasi dan pengelolaannya diperlukan

kerjasama dengan negara lain. Salah satu jenis ikan tuna yang paling potensial

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

3

adalah ikan tuna sirip biru selatan. Ikan jenis ini dapat mencapai ukuran yang

besar serta kandungan lemak dalam daging yang sangat banyak. Hal tersebut yang

menyebabkan permintaan konsumen akan ikan tuna sirip biru selatan semakin

meningkat terutama untuk konsumen sashimi di Jepang. Akibat permintaan yang

semakin meningkat inilah terjadi penangkapan tuna sirip biru selatan secara besar-

besaran (over exploitation) yang menyebabkan ketersediaan dan kelestarian tuna

tersebut terancam.

Untuk memastikan, melalui pengelolaan yang tepat, upaya konservasi dan

pemanfaatan optimal terhadap sumber daya tuna sirip biru selatan, dibentuklah

sebuah RFMO bernama CCSBT. CCSBT atau Commission for the Conservation

of Southern Bluefin Tuna dibentuk pada tahun 1993 dengan dilatarbelakangi oleh

fenomena semakin berkurangnya stok ketersediaan tuna sirip biru selatan akibat

adanya tangkapan besar-besaran yang dilakukan terhadap jenis ikan tuna tersebut.

Beberapa negara yang terdiri dari Jepang, Australia dan Selandia Baru secara

sukarela membentuk peraturan-peraturan yang berkaitan dengan upaya konservasi

dan pengelolaan tuna sirip biru selatan demi menjaga kelestariannya. Peraturan

tersebut kemudian diterapkan secara resmi pada 20 Mei 1994 dengan

terbentuknya CCSBT.

Sebagai sebuah rezim perikanan yang menangani segala isu dan

permasalahan terkait tuna sirip biru selatan, CCSBT memuat seperangkat aturan

dan prosedur maupun ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan sesuai standar

yang berlaku. Kesemuanya itu terbentuk atas dasar kesepakatan antar negara-

negara anggota yang selanjutnya wajib untuk diterapkan dalam sistem

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

4

pengelolaan tuna sirip biru selatan di negaranya masing-masing. Selain terdiri dari

aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan

pengelolaan, terdapat pula hal-hal yang berkaitan dengan upaya penyelesaian

masalah berkaitan dengan spesies tuna sirip biru selatan.

Indonesia telah bergabung secara resmi dalam keanggotaan CCSBT pada

tanggal 8 April 2008. Bergabungnya Indonesia menjadi anggota CCSBT tidak

hanya dilatarbelakangi adanya keharusan bagi negara-negara untuk melakukan

kerjasama dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati

sebagaimana tercantum dalam UNCLOS 1982. Akan tetapi, bergabungnya

Indonesia dalam rezim perikanan tuna tersebut juga didorong karena Indonesia

memiliki kepentingan langsung terhadap tangkapan tuna sirip biru selatan.

B. Identifikasi Masalah

Di Indonesia, perikanan tuna menduduki peringkat tinggi dalam kategori

perikanan tangkap. Nilai keseluruhan tangkapan perikanan tuna dari perairan laut

Indonesia secara umum mencapai 613.575 ton atau setara dengan 6,3 triliun

rupiah per tahunnya. Meskipun wilayah perairan selatan Indonesia merupakan

area pemijahan bagi jenis ikan ini (spawning ground), namun dalam hitungan

tersebut, tuna sirip biru selatan hanya menyumbang tangkapan sebesar 4% dari

total tangkapan tuna di Indonesia. Meskipun tangkapannya dinilai kecil, harga per

ekor tuna sirip biru selatan tangkapan Indonesia tetap bernilai tinggi. Dimana

ukuran dan banyaknya kandungan lemak dalam dagingnya lah yang menjadikan

permintaan akan ikan ini semakin meningkat.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

5

Di satu sisi produksi tuna sirip biru selatan Indonesia dapat dikatakan bagus,

terlebih lagi dengan didukung wilayah starategis dimana perairan Laut Jawa

selatan Indonesia merupakan area pemijahan bagi ikan tuna sirip biru selatan.

Selain itu dengan bergabungnya Indonesia sebagai anggota CCSBT semestinya

akan berdampak pada kemudahan yang diperoleh Indonesia dalam mengelola

sumber daya tuna sirip biru selatan ini tentunya dengan tetap memperhatikan

segala hak dan kewajiban yang harus dijalankan Indonesia sebagai anggota rezim

tersebut.

Akan tetapi, di sisi lain Indonesia masih dihadapkan pada beberapa isu,

hambatan maupun permasalahan terkait pengelolaan sumber daya tuna sirip biru

selatan. Hal tersebut dapat dilihat dengan masih adanya kasus IUU fishing,

pembatasan dan atau penurunan alokasi kuota tangkap tuna sirip biru selatan, dan

tuduhan atas pelanggaran penangkapan baby tuna.

IUU fishing merupakan aktivitas penangkapan ikan ilegal, tidak terlaporkan

dan tidak terregulasi yang dilakukan oleh nelayan atau kapal penangkap ikan

suatu negara yang bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan

perikanan. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa IUU fishing tersebut dilakukan

terhadap sumber daya tuna sirip biru selatan yang juga bertentangan dengan

aturan-aturan terkait upaya konservasi dan pemanfaatan tuna sirip biru selatan

yang ditetapkan CCSBT. Indonesia kerap mendapat tuduhan atas tindakan IUU

fishig tersebut yang berakibat pada terhambatnya distribusi atau kegiatan ekspor

tuna sirip biru selatannya. Tuna sirip biru selatan hasil tangkapan Indonesia

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

6

diklaim merupakan tangkapan ilegal dimana wilayah penangkapannya melanggar

batas laut teritorial dan ZEE negara lain.

Sebagai anggota dari CCSBT Indonesia diwajibkan untuk menyetujui dan

melaksanakan segala aturan yang ditetapkan rezim perikanan tuna tersebut. salah

satu aturan atau ketentuannya adalah alokasi kuota tangkapan tuna sirip biru

selatan. Hingga tahun 2014, Indonesia memperoleh alokasi kuota tangkapan

sebanyak 750 ton tiap tahunnya. Alokasi tersebut dinilai tidak adil dengan alasan

bahwa besarnya alokasi kuota tersebut lebih kecil dan atau tidak sebanding

dengan kemampuan produksi tuna sirip biru di perairan laut Indonesia. Ketika

alokasi kuota tangkapan lebih kecil dibadingkan dengan kemampuan produksi

tuna sirip biru selatan Indonesia, menyebabkan terjadinya kelebihan tangkapan

terhadap ikan tersebut di perairan dalam negeri. Akibat adanya pelanggaran kuota

ini kemudian menyebabkan Indonesia kembali dihadapkan pada masalah

pengurangan kuota oleh CCSBT.

Sebagai upaya Indonesia untuk mendapatkan alokasi tambahan kuota

tangkapan tuna sirip biru selatan, Indonesia mengajukan klaim kepada CCSBT

bahwa Indonesia memiliki peran penting dalam upaya konservasi untuk menjaga

kelestarian sumber daya ikan tersebut. Menurut beberapa penelitian yang

dilakukan, wilayah perairan Laut Jawa selatan Indonesia merupakan area

pemijahan bagi sumber daya tuna sirip biru selatan sebelum akhirnya ikan-ikan

tersebut bermigrasi ke perairan laut yang lebih dalam dengan jarak yang sangat

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

7

jauh.2 Oleh karena itu, Indonesia dinilai memiliki hak atas tambahan alokasi kuota

tangkapan tuna sirip biru selatan. Namun hasilnya, Indonesia justru dihadapkan

atas pelanggaran penangkapan terhadap tuna-tuna kecil (baby tuna) dimana ikan

tuna hasil tangkapan Indonesia berukuran relatif kecil dan belum memenuhi

standar yaitu <Lm (Lm: 119-130cm).

Gambar 1. Peta Persebaran Habitat Tuna Sirip Biru Selatan3

Dari pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa ada ketidaksesuaian antara

keadaan dimana semestinya sistem pengelolaan tuna sirip biru selatan Indonesia

yang lebih baik yang dapat dicapai dengan masuknya Indonesia menjadi anggota

resmi CCSBT dengan keadaan yang sebenarnya dimana Indonesia masih

dihadapkan pada beberapa isu, hambatan maupun permasalahan terkait sumber

daya tuna sirip biru selatan. Dengan bergabungnya Indonesia secara resmi

2 Yukinawa M. 1987. Report on 1986 research cruise of the R/V Shoyo Maru. Distribution

of tuna and billfishes larvae and oceanographic observation in the eastern Indian Ocean January

– March, 1987. Rep. Res. Div., Fish. Agency Jpn. 61:1-100. 3 Shingu C. 1981. Ecology and Stock of Southern Bluefin Tuna. Australian CSIRO Division

Fishery and Oceanography. 131: 79.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

8

menjadi anggota CCSBT, Indonesia diwajibkan untuk mengadaptasi dan

mengimplementasi segala aturan dan ketentuan terkait pengelolaan tuna sirip biru

selatan di dalam negeri. Dipatuhinya segala aturan tersebut diharapkan akan

membawa Indonesia pada sistem pengelolaan tuna yang lebih baik sesuai dengan

standar yang telah ditentukan dalam rezim tersebut. Namun, kenyataannya

Indonesia masih dihadapkan pada beberapa isu dan permasalahan terkait

pengelolaan tuna sirip biru selatan. Adanya ketidaksesuaian tersebut kemudian

menimbulkan anggapan bahwa rezim cenderung tidak menguntungkan karena

dianggap hanya sebagai alat bagi negara-negara maju untuk mengeksploitasi

sumber kekayaan hayati yang dimiliki oleh negara berkembang seperti Indonesia.

C. Rumusan Masalah

Dari penjabaran latar belakang tersebut maka penulis ingin mengeskplorasi

lebih jauh mengenai pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan

tuna sirip biru selatan di Indonesia. Selanjutnya penulis menuliskannya dalam

bentuk pertanyaan:

Bagaimana rezim perikanan tuna CCSBT memengaruhi pengelolaan tuna

sirip biru selatan di Indonesia?

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini penulis merujuk pada beberapa referensi yang

berhubungan dengan variabel-variabel dalam topik penelitian ini. Referensi

tersebut terdiri dari jurnal penelitian, tesis dan web resmi terkait. Sebagai variabel

independen, rezim perikanan tuna memiliki peran tersendiri dalam upayanya

mengelola sektor perikanan tuna yang juga diiringi dengan upaya konservasi

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

9

untuk menjaga ketersediaan sumber daya ikan tersebut. Rezim mempunyai

mekanismenya sendiri dalam melaksanakan upaya konservasi dan pengelolaan

perikanan tuna secara optimal agar dapat dicapai hasil yang maksimal sesuai

dengan tujuan utama rezim tersebut. Adapun beberapa rezim yang berkenaan

dengan pengelolaan perikanan tuna yang juga berbatasan secara langsung dengan

perairan laut Indonesia meliputi CCSBT (Commission for the Conservation of

Southern Bluefin Tuna), IOTC (Indian Ocean Tuna Commission) dan WCPFC

(Western and Central Pacific Fisheries Commission).

Beberapa penelitian terkait rezim perikanan tuna baik regional maupun

internasional digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini. Pertama, penelitian

yang dilakukan oleh Dewi Indira Biasane dalam tesisnya yang berjudul

“Kerjasama Maritim Asia Tenggara dalam Penanggulangan Penangkapan Ikan

Ilegal: Studi Kasus Praktik Penangkapan Ikan Ilegal di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Republik Indonesia”. Dalam tesis tersebut dijelaskan mengenai peran

rezim internasional dalam upayanya menanggulangi praktik penangkapan ikan

ilegal melalui kerangka regional yaitu RPOA to promote responsible fishing

practices, including combating illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing

in the region. Akan tetapi dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa RPOA-

IUU Fishing dinilai belum dapat menjadi sebuah rezim perikanan yang kuat

karena dalam mekanismenya belum memasukkan variabel penyelesaian sengketa

(dispute settlement). Hal yang membedakan penelitian tersebut dengan penelitian

penulis terletak pada kedua variabel yang digunakan. Meskipun inti dari

penelitian tersebut serupa, yaitu tentang peran atau kontribusi rezim perikanan

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

10

terhadap hal yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan tuna, cakupan

independen penelitian tersebut lebih spesifik yaitu fokus terhadap RPOA-IUU

fishing tetapi cakupan variabel dependennya lebih luuas yaitu berkaitan dengan

praktik IUU fishing terhadap sumber daya ikan secar umum. Sedangkan dalam

penelitian penulis, variabel independen merujuk pada rezim perim perikanan tuna

CCSBT dengan variabel dependen yang lebih spesifik yaitu tentang pengelolaan

tuna sirip biru selatan di Indonesia.

Kedua, penelitian mengenai efektivitas rezim yang dilakukan oleh Soni

Martin Anwar. Penelitian yang diberi judul “Analisis Efektivitas Rezim Perikanan

Regional IOTC (Indian Ocean Tuna Commission) dalam Pengelolaan Perikanan

Samudra Hindia” bertujuan untuk menganalisa efektivitas rezim perikanan

regional IOTC dalam menghadapi permasalahan perikanan tuna di wilayah

Samudra Hindia. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa rezim

perikanan tuna IOTC dinilai efektif. Hal tersebut ditunjukkan bahwa rezim, dalam

kapasitasnya, dinilai mampu menangani masalah yang dihadapi. Selain itu,

masalah-masalah yang dihadapi rezim tersebut bersifat benign atau dengan kata

lain benignity permasalahan yang dihadapi cukup tinggi. Penelitian tersebut

memiliki tujuan yang hampir sama yaitu melihat bagaimana peran rezim

internasional dalam pengelolaan perikanan tuna. Akan tetapi, tetap ada pembeda

antar penelitian tersebut dengan penelitian penulis. Analisis yang digunakan

dalam penelitian tersebut menggunakan teknis analisis efektivitas rezim

sebagaimana digagas oleh Underdal. Ada dua variabel yang digunakan dalam

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

11

analisis tersebut yaitu variabel dependen dan independen. 4 Variabel dependen

merujuk pada efektivitas rezim dan variabel independen merujuk pada dua hal

utama yakni tipe permasalahan (problem benignity) dan kemampuan dalam

mengatasi permasalahan (problem solving capacity). Kedua hal tersebut nantinya

akan berpengaruh terhadap tingkat kolaborasi (level of collaboration).

Searah dengan pembahasan mengenai efektivitas rezim perikanan tersebut,

Miles dkk. membahas tentang evaluasi terhadap beberapa rezim perikanan tuna

regional yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup. Dalam buku berjudul

Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence ini juga

dipaparkan indikator-indikator yang dapat digunakan dalam mengevaluasi

efektivitas rezim sehingga sebagai hasilnya akan dapat diketahui seberapa efektif

atau tidaknya rezim tersebut.5

Ketiga, penelitian berjudul “Pengelolaan Kuota Penangkapan Tuna Sirip

Biru Selatan di Indonesia” yang dilakukan oleh Novia Tri Rahmawati. Dalam

penelitian tersebut dipaparkan masalah-masalah terkait pengelolaan tuna sirip biru

selatan. Sebagai hasil dari penelitian tersebut kemudian diusulkan sistem

penangkapan tuna sirip biru selatan yang dinilai lebih baik yang dapat mengatasi

segala permasalahan terkait pengelolaan tuna sirip biru selatan tersebut. Hal yang

membedakan penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah penelitian

tersebut lebih berfokus pada manajemen pengelolaan kuota tuna sirip biru selatan

yang disertai dengan penjelasan mengenai prosedur pengelolaan yang lebih

4 Underdal, Arild, 2002. One Question, Two Answers dalam Edward L. Miles, et.al., 2002.

Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Cambridge,

Massachusetts: MIT Press. 5 Miles, Edward L., et.al. 2002. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory With

Evidence. Cambridge, Massachusetts: MIT Press.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

12

bersifat teknis. Metode yang digunakan dalam kedua penelitian ini pun berbeda

dimana penelitian mengenai pengelolaan kuota tuna sirip biru selatan tersebut

menggunakan analisis untuk mengetahui komposisi hasil tangkapan, analisis

produktivitas kapal penangkap ikan, analisis pendugaan musim penangkapan,

analisis ukuran rata-rata tertangkap dan analisis soft system methodology.

Sedangkan dalam penelitian penulis, analisis dilakukan untuk mengetahui

pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan tuna sirip biru

selatan di Indonesia. Analisis tersebut dilakukan dengan mengadaptasi komponen

efektivitas rezim yang terdiri dari komponen output, outcome dan impact.6

Dengan menggunakan beberapa acuan referensi tersebut penulis mencoba

untuk menguraikan pembahasan secara lebih rinci dalam menjawab rumusan

pertanyaan penelitian. Dalam hal ini akan dapat diketahui bagaimana pengaruh

rezim perikanan CCSBT terhadap perdagangan perikanan tuna sirip biru

Indonesia. Sehingga nantinya penelitian ini dapat menunjukkan hasil yang relevan

dan akurat.

E. Kerangka Konseptual

Rezim Internasional

Untuk mengetahui pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap

pengelolaan tuna sirip biru selatan Indonesia maka penulis menggunakan konsep

rezim internasional sebagai kerangka dalam memahami fenomena yang dibahas

dalam penelitian ini. Rezim dapat didefinisikan seperangkat prinsip-prinsip,

norma-norma, peraturan, dan prosedur pembuatan keputusan baik itu secara

6 Underdal, Arild. Op.Cit. halaman 5-6.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

13

eksplisit maupun implisit dimana harapan-harapan para aktor menyatu di dalam

hubungan internasional.7 Rezim yang di dalamnya berisi serangkaian aturan main

berfungsi untuk mengelola hubungan-hubungan kekuasaan tertinggi. Tujuan

dibentuknya rezim itu sendiri adalah sebagai wujud dari kesepakatan bersama dari

aktor-aktor yang berkepentingan atas isu permasalahan tertentu dalam

meminimalisir konflik yang terjadi dari terjalinnya hubungan antar aktor tersebut

yang masing-masing cenderung bersifat otonom.

Jika dijabarkan dalam konsep rezim internasional, CCSBT (Commission for

the Conservation of Southern Bluefin Tuna) merupakan sebuah komisi untuk

konservasi yang mulanya dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama negara-

negara yang memiliki kepentingan terhadap sumber daya ikan tuna sirip biru.

Kesepakatan itu dibentuk secara sukarela dimana negara-negara yang

berkepentingan tersebut membangun kesadaran bersama dalam upaya pengelolaan,

konservasi dan pemanfaatan sumber daya ikan tuna sirip biru secara tepat. Upaya-

upaya tersebut perlu dilakukan sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi

yaitu menurunnya kuota hasil tangkapan ikan tuna sirip biru. Sejak saat itu

negara-negara utama pemancing ikan yakni Jepang, Australia dan Selandia Baru

mulai menerapkan kuota ketat untuk armada penangkapan ikan mereka sebagai

upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan tuna sirip biru secara

optimal.8

7 Krasner, Stephen D. 1983. “Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as

Intervening Variables”. USA: Cornell University Press. 8 The Origin of the Convention diakses melalui

http://www.ccsbt.org/site/origins_of_the_convention.php pada 18 Mei 2014

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

14

Rezim juga dapat dipahami sebagai serangkaian prosedur yang meliputi

peraturan dan norma yang bersifat jelas dan masuk akal dan saling memberi

keuntungan antar aktornya. 9 Jika nantinya terjadi perubahan atas prinsip dan

norma maka akan berpengaruh juga terhadap perubahan rezim itu sendiri. Begitu

juga ketika inkonsistensi atas prinsip dan norma tersebut terjadi akan berdampak

pada melemahnya rezim tersebut. Selain dibentuk atas adanya kesepakatan dan

persamaan kepentingan terhadap isu perikanan tuna sirip biru, CCSBT juga

memiliki seperangkat aturan yang terangkum dalam sebuah prosedur manajemen.

Di dalam prosedur manajemen tersebut telah diatur mengenai perubahan total

hasil tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch) bagi negara-negara

penangkap ikan tuna sirip biru yang juga menjadi anggota dalam rezim perikanan

regional tersebut.

Analisis terhadap pengaruh yang ditimbulkan rezim perikanan tuna CCSBT

terhadap pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia dilakukan dengan

mengadaptasi komponen dalam efektivitas rezim yaitu output, outcome dan

impact.10 Output melihat pengaruh yang ditimbulkan dari proses pembentukan

baik tertulis maupun tidak tertulis seperti konvensi, rules of law, treaty, deklarasi,

atau dapat pula dalam bentuk norma, prinsip, dan lain sebagainya. Melalui

penelitian ini, output mengalisis pengaruh dengan melihat adanya seperangkat

aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia

terkait dengan bergabungnya Indonesia menjadi anggota dalam CCSBT. Outcome

9 Haas, Ernst. “Technological Self-Reliance for Latin America: the OAS Contribution”

International Organization 34, 4 (Autumn 1980), halaman 553. dalam Krasner, Stephen D. 1983.

“Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables”. USA: Cornell

University Press (halaman: 2). 10 Underdal, Arild. Op.Cit. halaman 5-6.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

15

berhubungan dengan adanya perubahan perilaku subyek dalam rezim tersebut.

Perubahan perilaku yang dialami subyek dalam rezim tersebut juga dapat dilihat

sebagai upaya subyek atau negara dalam menyesuaikan diri dengan segala aturan

maupun ketentuan yang telah ditetapkan CCSBT. Sedangkan impact menganalisis

pengaruh dengan melihat dampak yang muncul yang berkaitan dengan perubahan

lingkungan biofisik. Tentunya perubahan lingkungan biofisik yang dimaksudkan

berkaitan dengan ketersediaan sumber daya tuna sirip biru selatan di perairan laut

Indonesia.

CCSBT memiliki tujuan utama yaitu pencapaian konservasi terhadap

ketersediaan sumber daya tuna sirip biru selatan melalui upaya pengelolaan yang

tepat. Dalam konteks kebijakan lingkungan, sebagaimana ditulis oleh Underdal,

dijelaskan bahwa hal yang dinilai paling menentukan dalam konsep efektivitas

rezim ini dapat dispesifikasikan dengan membedakan antara konsekuensi yang

berupa perubahan subyek atau anggota dalam rezim tersebut dan konsekuensi

yang terwujud melalui perubahan lingkungan biofisik itu sendiri. Sehingga

bagaimana pun juga hal yang paling utama adalah terjaganya nilai-nilai

lingkungan.

Analisis melalui output, outcome, dan impact dimulai dengan mengalisis

satu titik awal yang kemudian hasilnya digunakan untuk mengalisis tahap

berikutnya. Pertama, diawali dengan menganalisis output untuk melihat aturan-

aturan maupun norma-norma yang diberlakukan dalam proses pembuatan

keputusan dan atau pada tahap pembentukan rezim itu sendiri. Analisis terhadap

aturan-aturan tersebut sekaligus dapat digunakan untuk melihat bagaimana bentuk

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

16

rezim yang sebenarnya yaitu mengikat atau tidak mengikat. Kedua, dari hasil

analisis terhadap aturan-aturan yang diberlakukan dalam rezim tersebut kemudian

dilanjutkan untuk menganalisis impact. Analisis impact ini melihat perubahan

perilaku subyek dalam rezim yang disebabkan adanya aturan-aturan yang

ditetapkan sebelumnya. Perubahan perilaku tersebut juga dapat dilihat sebagai

upaya penyesuaian diri dari subyek tersebut terhadap norma-norma dan atau

aturan yang berlaku dalam rezim. Sebuah rezim dikatakan baik apabila dapat

menimbulkan perubahan perilaku subyek dalam rezim tersebut. Selanjutnya, dari

perubahan perilaku tersebut akan dianalisis kembali dengan melihat perubahan

lingkungan biofisik yang menjadi target utama mengingat tujuan utama

dibentuknya rezim tersebut adalah untuk mengupayakan konservasi terhadap

sumber daya tuna sirip biru selatan Indonesia.

Object Output Outcome Impact

(regime formation) (regime implementation)

Time Level 1: Measures are in effect, and Nature responds

The international target groups adjust. to changes

agreement signed. in human

Level 2: behaviour.

Domestic measures

are taken.

Gambar 2. Konsep Analisis Output, Outcome, dan Impact11

F. Argumen Utama

Sebagai sebuah rezim perikanan tuna yang beranggotakan beberapa negara

yang berkepentingan terhadap sumber daya ikan tuna sirip biru selatan, adanya

CCSBT secara otomatis telah mampu memengaruhi perilaku para anggotanya

11 Underdal, Arild. Op.Cit. halaman 7.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

17

termasuk Indonesia. Pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan

tuna sirip biru selatan di Indonesia telah mendatangkan perubahan terutama dalam

sistem pengelolaan tuna sirip biru selatan di perairan laut Indonesia. Selain itu,

dengan dikeluarkannya beberapa resolusi oleh CCSBT yang kemudian diadaptasi

dan diimplementasikan dalam sistem pengelolaan tuna sirip biru selatan di

Indonesia telah mampu mengurangi aktivitas IUU fishing terhadap sumber daya

tuna sirip biru selatan di perairan laut Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dari tesis ini terdiri dari lima bab dengan substansi

masing-masing bab tersebut masih berkaitan dengan bahasan utama yaitu tentang

pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan tuna sirip biru

selatan di Indonesia. Bab I diawali dengan pendahuluan yang di dalamnya berisi

penjelasan mengenai latar belakang dilanjutkan dengan penjelasan mengenai

masalah-masalah terkait perikanan tuna sirip biru di Indonesia. Sebagai batasan

pembahasan tesis ini, penulis merumuskan sebuah rumusan dalam bentuk

pertanyaan rumusan masalah. Sebagai referensi dalam tinjauan pustaka, penulis

merujuk pada beberapa tulisan yang mengandung informasi yang signifikan dan

memiliki keterkaitan dengan tema bahasan penulis. Sedangkan konsep yang

digunakan dalam menganalisis pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap

pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia, penulis menggunakan konsep

rezim internasional dan mengadaptasi komponen efektivitas rezim yaitu output,

outcome dan impact. Selanjutnya dalam bab ini juga menjelaskan mengenai

argumen utama penulis, jangkauan penelitian dan manfaat penelitian.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

18

Bab II berisi gambaran pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia

dengan jangkauan waktu dari tahun 2006-2007. Batasan tahun tersebut didasarkan

pada pertimbangan bahwa pada tahun tersebut, Indonesia belum bergabung secara

resmi sebagai anggota CCSBT. Selain itu disebabkan oleh pertimbangan bahwa

data perikanan di Indonesia baru tercatat secara resmi dalam data statistik nasional

berdasarkan perbedaan spesies pada tahun 2006.

Bab III kembali menjelaskan mengenai gambaran pengelolaan tuna sirip

biru selatan Indonesia dengan batasan tahun sejak tahun 2008-2014. Batasan

tahun tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa pada tahun tersebut

Indonesia sudah bergabung secara resmi menjadi anggota CCSBT.

Bab IV berisi jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian atau analisis

pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan tuna sirip biru

selatan di Indonesia. Sebelum dianalisis melalui tiga komponen output, outcome

dan impact terlebih dahulu penulis melihat perubahan yang terjadi dengan cara

membandingkan antara keadaan sebelum dan setelah Indonesia masuk menjadi

anggota resmi CCSBT. Gambaran keadaan sebelum dan setelah Indonesia

menjadi anggota CCSBT dapat dilihat pada penjelasan yang dipaparkan di bab II

dan bab III. Dari perubahan tersebut kemudian penulis malanjutkan analisis

dengan menggunakan tiga komponen output, outcome dan impact. Sedangkan bab

V atau bab terakhir berisi kesimpulan secara keseluruhan dari pembahasan dalam

penelitian.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

19

H. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.

Perolehan data penelitian dilakukan melalui teknik wawancara terstruktur secara

langsung dengan para stakeholder yang terlibat dalam komisi CCSBT delegasi

Indonesia. Untuk mempertajam analisis dan mendukung kelengkapan data,

penulis juga melakukan studi pustaka dari buku, jurnal penelitian terdahulu, situs

web resmi yang terkait dengan tema penelitian, dan sumber-sumber lain yang

dinilai valid serta akurat.

I. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh yang ditimbulkan oleh

rezim CCSBT terhadap pengelolaan perikanan tuna sirip biru di Indonesia sejak

Indonesia masuk dalam keanggotaan CCSBT yaitu tahun 2008 hingga saat ini.

J. Jangkauan Penelitian

Jangkauan penelitian dibagi ke dalam dua periode. Periode pertama antara

tahun 2006 - 2007 dan periode kedua antara tahun 2008 - 2014. Pembatasan tahun

tersebut didasarkan atas alasan bahwa pada tahun 2006 Indonesia belum masuk

sebagai anggota dalam CCSBT. Selain itu data perikanan Indonesia baru tercatat

secara resmi di data statistik nasional pada tahun 2006. Periode kedua antara

tahun 2008 – 2014 yang didasarkan atas pertimbangan bahwa tahun tersebut

merupakan tahun dimana Indonesia mulai masuk menjadi anggota resmi CCSBT

hingga saat ini.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77855/potongan/S2-2015... · aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan,

20

K. Manfaat Penelitian

Penulis berharap tesis ini akan bermanfaat bagi para pihak yang

berkepentingan langsung terhadap pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia

yang terdiri dari nelayan yang melakukan tangkapan secara langsung, para pelaku

industri perikanan tuna, dan tentunya pemerintah atau institusi yang berwenang

dalam bidang perikanan. Pengetahuan tentang rezim perikanan tuna CCSBT

dengan segala aturan dan ketetapan serta pengaruhnya terhadap pengelolaan tuna

sirip biru selatan di Indonesia juga diperlukan bagi para nelayan dan pelaku

industri perikanan tuna mengingat pengelolaan perikanan tidak hanya menyangkut

permasalahan kebijakan. Akan tetapi, pengelolaan tersebut juga menyangkut

kegiatan penangkapan, distribusi dan pengolahan ikan tuna. Dalam CCSBT aturan

dan ketentuan mengenai pengelolaan tuna sirip biru selatan telah diatur dari mulai

proses penangkapan hingga distribusinya dimana aturan dan ketetapan tersebut

sudah dijadikan standar yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh negara-negara

anggota CCSBT. Jika ada tindakan pengelolaan yang tidak sesuai dengan aturan

dan ketetapan tersebut maka sanksi akan diberikan atas ketidakpatuhan tersebut.

Maka dari itu jika nelayan dapat memahami standar pengelolaan CCSBT secara

teori diharapkan nantinya dapat menjadi bekal yang kemudian diimplementasikan

dalam prosedur penangkapan secara langsung. Penulis juga berharap tesis ini akan

memberikan kontribusi positif sebagai referensi untuk penelitian-penelitian

selanjutnya terkait rezim dan pengelolaan perikanan tuna.