Top Banner
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembicaraan mengenai bahasa yang digunakan di Indramayu tidak terlepas dari pembicaraan tentang sejarah yang melatarbalakanginya. Indramayu, sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang keberadaan wilayahnya diapit oleh dua bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu Jawa dan Sunda, sedikit banyak terpengaruh oleh kedua budaya dan bahasa tersebut. Pengaruh budaya Jawa terletak di sebelah timur dan utara, sedangkan pengaruh Sunda terletak di selatan dan barat. Kasim (2013) menyebutkan bahwa di Kabupaten Indramayu terdapat dua bahasa yang digunakan oleh masyarakat, yaitu bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa Sunda dituturkan di beberapa wilayah Kecamatan Gantar, Kecamatan Haurgeulis, satu blok (dusun/padukuhan) di Kecamatan Anjatan, satu desa di Terisi, tiga desa di Kecamatan Kandanghaur, dan dua desa di Kecamatan Lelea, sedangkan bahasa Jawa meliputi seluruh wilayah Kabupaten Indramayu kecuali yang beberapa wilayah yang telah disebutkan tersebut. Dengan demikian, kontak bahasa antara penutur bahasa Jawa dan bahasa Sunda di Kabupaten Indramayu tidak dapat dielakkan lagi. Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa di Kabupaten Indramayu, seperti yang telah dilakukan oleh Nothofer (1992) dan Wahya (1995), disebutkan bahwa bahasa Sunda yang terdapat di Indramayu merupakan sebuah enklave.
28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

Mar 10, 2019

Download

Documents

buicong
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembicaraan mengenai bahasa yang digunakan di Indramayu tidak

terlepas dari pembicaraan tentang sejarah yang melatarbalakanginya. Indramayu,

sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang keberadaan wilayahnya

diapit oleh dua bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu Jawa dan Sunda, sedikit

banyak terpengaruh oleh kedua budaya dan bahasa tersebut. Pengaruh budaya

Jawa terletak di sebelah timur dan utara, sedangkan pengaruh Sunda terletak di

selatan dan barat.

Kasim (2013) menyebutkan bahwa di Kabupaten Indramayu terdapat dua

bahasa yang digunakan oleh masyarakat, yaitu bahasa Sunda dan bahasa Jawa.

Bahasa Sunda dituturkan di beberapa wilayah Kecamatan Gantar, Kecamatan

Haurgeulis, satu blok (dusun/padukuhan) di Kecamatan Anjatan, satu desa di

Terisi, tiga desa di Kecamatan Kandanghaur, dan dua desa di Kecamatan Lelea,

sedangkan bahasa Jawa meliputi seluruh wilayah Kabupaten Indramayu kecuali

yang beberapa wilayah yang telah disebutkan tersebut. Dengan demikian, kontak

bahasa antara penutur bahasa Jawa dan bahasa Sunda di Kabupaten Indramayu

tidak dapat dielakkan lagi.

Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa di Kabupaten Indramayu,

seperti yang telah dilakukan oleh Nothofer (1992) dan Wahya (1995), disebutkan

bahwa bahasa Sunda yang terdapat di Indramayu merupakan sebuah enklave.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

2

Penyebutan tersebut mengacu pada keberadaan bahasa Sunda di Indramayu pada

saat ini yang cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan bahasa Jawa yang

lebih dominan. Enklave bahasa Sunda yang dimaksud oleh Nothofer dan Wahya

tersebut adalah bahasa Sunda yang terdapat di beberapa desa di Kecamatan

Kandanghaur dan Kecamatan Lelea.

Jika dilihat dari sejarahnya, bahasa Jawa di Kabupaten Indramayu—

selanjutnya disebut sebagai BJI—bisa berada di wilayah Jawa Barat (wilayah

tutur bahasa Sunda) karena adanya transmigrasi lokal pada masa pemerintahan

Kerajaan Mataram (Mataram Baru). Transmigrasi lokal yang dimaksud di sini

adalah perpindahan penduduk Kerajaan Mataram yang berada di Yogyakarta dan

Jawa Tengah ke wilayah pesisir pantai utara mulai dari Tegal hingga perbatasan

Batavia di Jawa Barat (Graaf, 1990; Kasim, 2013; dan Safari1, 2015).

Transmigrasi lokal tersebut berkaitan dengan siasat perang Sultan Agung untuk

mempersiapkan perbekalan perang melawan Belanda di Batavia, yaitu dengan

cara membuka pemukiman dan pertanian di wilayah pesisir Pantai Utara,

termasuk Indramayu di dalamnya. Dengan mengacu pada fakta sejarah mengenai

perpindahan penutur bahasa Jawa dari wilayah asalnya ke wilayah Jawa Barat

yang dominan dengan penutur bahasa Sunda tersebut, bahasa yang digunakan di

Kabupaten Indramayu disebut sebagai wilayah kantong (enklave) bahasa Jawa di

Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Berdasarkan fakta sejarah tersebut dan pengamatan awal secara sepintas,

bahasa Jawa yang terdapat di Indramayu dihipotesiskan memiliki kekerabatan 1 M. Safari adalah budayawan yang berasal dari Muntilan, Jawa Tengah. M. Safari banyak membahas dan mengkaji mengenai kebudayaan dan sejarah Indonesia khususnya budaya dan sejarah Jawa.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

3

yang cukup erat dengan bahasa Jawa Banyumas—selanjutnya disebut sebagai

BJB—sebagai tanah asal dari BJI.

Di samping itu, karena jarak antara BJI dengan pusat pemerintahan

(bahasa Jawa Yogyakarta, yang disebut BJY) yang cukup jauh, BJI memiliki

banyak bentuk-bentuk tuturan kuno (relik). Dengan kata lain, perubahan yang

terjadi di daerah pusat tidak turut terjadi dalam BJI. Meskipun demikian,

penyediaan data dari lapangan dan analisis diakronis secara kuantitatif dan

kualitatif perlu dilakukan untuk membuktikan hipotesis tersebut.

Fakta ini sejalan dengan pendapat Nothofer (1992) yang menyatakan

bahwa dialek bahasa Jawa yang terletak di sebelah barat Yogyakarta cenderung

lebih konservatif (banyak ciri yang mirip dengan bahasa Jawa Kuna) daripada

dialek Yogyakarta. Penggunaan bentuk arkais ini bisa saja dipengaruhi oleh letak

Indramayu di pinggiran Sunda dan Jawa, yaitu daerah yang paling rendah tingkat

aksesnya ke dalam pusat kebudayaan dan kekuasaan di kedua wilayah Jawa Barat

dan Jawa Tengah.

Berikut ini adalah contoh kosakata bahasa Jawa Indramayu (BJI)

dibandingkan dengan bahasa Jawa Banyumas dan bahasa Jawa Yogyakarta (BJY)

pada saat ini.

Tabel 1. Perbandingan Kosakata Bahasa Jawa Indramayu dengan bahasa Jawa Banyumas dan Bahasa Jawa Yogyakarta No. Gloss BJI BJB BJY 1. kanan [tn] [tn] [tn] 2. datang [tka] [tka] [tk] 3. tidak [bli] [ora] [ora] [ora] 4. punggung [gigir] [ggr] [ggr] 5. hidung [cuur] [iru] [irU] 6. mata [mata] [mata] [mt]

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

4

Tabel 1. Lanjutan

7. minum [inu] [inum] [ombe] 8. duduk [ḍḍk] [njag] [ligUh] 9. ibu [mimi] [biyu] [simb] 10. bapak [mama] [bapa] [bapa] [bapa] 11. bertumbuh [cukul] [ṭukul] [ṭukUl] 12. akar [yd] [yd] [yt] 13. kutu [tuma] [tuma] [tum] 14. saya [kita] [reya] [ñ] [aku] 15. pendek [cnḍk] [cnḍk] [cnḍa]

Berdasarkan tabel tersebut dapat diamati bahwa BJI dengan BJB dan BJY

memiliki persamaan dan perbedaan tuturan baik secara fonologi maupun leksikal.

Dalam bidang fonologi, BJI dan BJB cenderung menggunakan vokal [a] dari pada

[] di setiap suku kata terbuka. Selain itu, khusus pada wilayah Indramayu bagian

timur—yang berbatasan langsung dengan Cirebon—yaitu di Desa Krangkeng

Kecamatan Krangkeng—terdapat perbedaan, jika BJI pada umumnya melafalkan

bunyi [a] di akhir silabel dengan bunyi yang sama [a], di Desa Krangkeng

cenderung menggunakan bunyi [], seperti gloss ‘ular’ BJI [ula]>Krangkeng

[ul]>BJY [ul]; gloss ‘apa’ BJI [apa]>Krangkeng [ap]>BJY [p]; gloss

‘kamu’ BJI [sira]>Krangkeng [sir]>BJY [kowe].

Dengan adanya temuan yang menyatakan bahwa BJI jauh dari pengaruh

pusat pemerintahan dan dilengkapi dengan latar belakang sejarah seperti di atas

maka selain dapat dilihat adanya bahasa yang konservatif, tidak menutup

kemungkinan terlihatnya jenis tingkat tutur (level of speech) yang berbeda pula

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

5

dengan bahasa Jawa baku (bahasa Jawa Yogyakarta/Solo). Kasim2 (2015)

menyebutkan bahwa BJI mengenal dua jenis tingkat tutur, yaitu basa

bagongan/padinan dan basa bebasan/krama. Pernyataan tersebut juga menambah

daya tarik tersendiri untuk mengkaji lebih dalam BJI.

Untuk membuktikan hipotesis-hipotesis tersebut, diperlukan penelitian

lebih lanjut mengenai status kebahasaan antara tuturan BJI di beberapa wilayah

Kabupaten Indramayu, serta perlu dilihat hubungan historis antara BJI dengan

bahasa Jawa Kuno dan bahasa proto yang menjadi bahasa induknya. Analisis

terhadap BJI tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan dialektologi diakronis,

baik dengan metode kuantitatif maupun kualitatif.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

a. Bagaimana deskripsi sinkronis struktur fonologi, morfologi, sintaksis,

morfofonemik, leksikon, dan tingkat tutur bahasa Jawa Indramayu?

b. Bagaimana relasi historis bahasa Jawa Indramayu dengan Proto-

Melayo-Javanic dan perbandingannya terhadap bahasa Jawa

Banyumas baik secara kualitatif maupun kuantitatif?

c. Mengapa bahasa Jawa Indramayu cenderung mengalami retensi, di

samping inovasi, jika dibandingkan dengan bahasa Jawa Banyumas?

2 Data ini diperoleh dari wawancara peneliti dengan Supali Kasim. Supali Kasim adalah budayawan, sejarawan, guru, dan peneliti yang berkonsentrasi mengangkat isu-isu yang beredar di Kabupaten Indramayu pada khususnya dan Jawa Barat pada umumnya.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

6

1.3 Tujuan Penelitian

Beranjak dari rumusan masalah di atas, tujuan dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut.

a. Mendeskripsikan secara sinkronis struktur fonologi, morfologi,

sintaksis, morfofonemik, leksikon dan tingkat tutur bahasa Jawa

Indramayu.

b. Mendeskripsikan relasi historis bahasa Jawa Indramayu dengan Proto-

Melayo-Javanic dan perbandingannya terhadap bahasa Jawa

Banyumas baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

c. Menjelaskan alasan terjadinya bentuk relik dan bentuk inovasi bahasa

Jawa Indramayu jika dibandingkan dengan bahasa Jawa Banyumas.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup analisis dialektologi Diakronis untuk mengkaji

relasi historis antara bahasa Jawa Indramayu dengan bahasa Banyumas dan

bahasa protonya (Proto-Melayo-Javanic). Kajian linguistik diakronis terhadap

bahasa Jawa Indramayu tersebut dititikberatkan pada bidang fonologi dan

leksikal. Hubungan kekerabatan antar titik pengamatan dalam bahasa Jawa

Indramayu dan dengan bahasa Jawa Banyumas dikaji secara kuantitatif. Pencarian

bentuk pewarisan dari bahasa proto dan pencarian kesamaan dan perbedaan

dengan bahasa di daerah asal dilakukan secara kualitatif. Setelah itu, dapat

ditentukan daerah konservatif dan inovatif bahasa Jawa Indramayu.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

7

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis

maupun praktis. Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pengetahuan bagi penelitian linguistik, khususnya dialektologi.

Sementara itu, manfaat praktis dari penelitian ini, yaitu pendokumentasian bahasa

Jawa Indramayu. Di samping hal itu, penelitian ini dapat memberikan kontribusi

dalam pelestarian bahasa dan budaya Kabupaten Indramayu.

1.6 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua buah

tinjauan, yaitu tinjauan pustaka berdasarkan penelitian kebahasaan yang berkaitan

dengan Kabupaten Indramayu dan penelitian kebahasaan terkait penelitian

dialektologi diakronis pada enklave bahasa. Berdasarkan pengamatan peneliti,

penelitian kebahasaan yang berkaitan dengan Kabupaten Indramayu meliputi

penelitian Nothofer (1992), Wahya (1995), Andoyo Sastromiharjo (2010), dan

Sri Wiyanti (2011). Adapun topik penelitian yang membahas dialektologi

diakronis pada suatu enklave bahasa antara lain pernah dilakukan oleh Sukmawati

(2012), Suryadi (2000), Kurniawan (2013), dan Wijayatiningsih (2012).

1.6.1 Penelitian Kebahasaan yang Berkaitan dengan Kabupaten

Indramayu

Penelitian kebahasaan yang dilakukan di Kabupaten Indramayu, misalnya

penelitian Nothofer (1992) dengan judul “Tinjauan Sinkronis dan Diakronis

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

8

Dialek-dialek Bahasa Jawa di Jawa Barat dan di Jawa Tengah (Bagian Barat)”.

Penelitian tersebut merupakan penelitian geografi dialek yang bertujuan untuk

memetakan penggunaan dialek-dialek bahasa Jawa di Jawa Barat, di Jawa Tengah

(Bagian Barat), dan enklave bahasa Jawa yang berada di daerah bahasa Sunda,

serta untuk penentuan daerah persebaran bahasa Sunda, Jawa, dan Melayu Jakarta.

Dengan menggunakan metode dialektometri, Nothofer menemukan bahwa

terdapat delapan dialek bahasa Jawa, yaitu dialek Banten, dialek Krawang, dialek

Indramayu, dialek Cirebon, dialek Banyumas, dialek Ciamis, dialek Yogyakarta,

dan dialek desa 128. Selain itu, Nothofer juga menyimpulkan bahwa dialek bahasa

Jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian barat cenderung konservatif

dibandingkan dengan dialek bahasa Jawa di Yogyakarta.

Dalam penelitian tersebut, Nothofer menggunakan objek penelitian di

Kabupaten Indramayu. Namun, meskipun demikian, penelitian tersebut berbeda

dengan penelitian ini. Nothofer hanya mengambil sampel data sebanyak lima titik

pengamatan, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan 8 titik pengamatan

yang rinciannya, 5 titik pengamatan merupakan desa pantai (berbatasan langsung

dengan laut) dan 3 titik pengamatan merupakan desa yang jauh dari pantai dan

berbatasan dengan Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten

Majalengka. Dengan adanya jumlah titik pengamatan yang lebih banyak

diharapkan penelitian ini akan diperoleh temuan-temuan yang berbeda dan lebih

mendalam. Di samping itu, cakupan penelitian Nothofer dirasa sangat

luas/general—melingkupi Jawa Tengah bagian barat hingga Jawa Barat—tidak

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

9

menutup kemungkinan adanya temuan penting yang belum disebutkan atau tidak

ditemukan oleh Nothofer.

Dalam penelitian tersebut, Nothofer tidak menyinggung bahwa di salah

satu desa di Indramayu (Desa Krangkeng/ titik pengamatan ke-3) terdapat

keunikan bahasa yang tidak ditemukan di daerah Indramayu yang lainnya.

Keunikan tersebut misalnya, pada kata ‘lebar’ di Desa Krangkeng disebut [amb],

sedangkan di desa atau titik pengamatan lain disebut [amba] (dapat diamati

dalam lampiran). Perubahan bunyi [a] pada BJI pada umumnya menjadi [] pada

Desa Krangkeng tersebut terjadi pada setiap posisi ultima suku terbuka.

Wahya (1995) dalam tesisnya yang berjudul “Bahasa Sunda di Kecamatan

Kandanghaur dan Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu: Kajian Geografi

Dialek” mengkaji mengenai 1) pemetaan dan penafsiran unsur bahasa dalam

bahasa Sunda di Kecamatan Kandanghaur dan Kecamatan Lelea, 2) penentuan

persentase penggunaan bahasa Sunda Kandanghaur dan Lelea serta penggunaan

bahasa Sunda Baku dan pengaruh bahasa Jawa Indramayu terhadap bahasa Sunda

Kanganghaur dan Lelea, dan 3) penentuan daerah inti Bahasa Sunda, Bahasa Jawa

Indramayu, Bahasa Sunda Kandanghaur, dan Bahasa Sunda Kandanghaur Lelea,

dan bahasa Jawa Kandanghaur Lelea. Kecamatan Kandanghaur dan Kecamatan

Lelea menurut Wahya merupakan enklave bahasa Sunda yang terletak pada

wilayah tutur bahasa Jawa (bahasa Jawa Indramayu).

Jika penyebutan “enklave bahasa Sunda” dalam penelitian Wahya tersebut

dikaitkan dengan sejarah bahasa Jawa dan bahasa Sunda—dalam kaitannya

dengan sejarah Kabupaten Indramayu—penyebutan tersebut kurang tepat. Sebab,

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

10

penutur bahasa Jawa di Kabupaten Indramayu itu merupakan pendatang pada

masa Kerajaan Mataram Baru. Oleh karena pengaruh bahasa Jawa yang begitu

kuat—ditandai dengan kekuasaan Mataram Baru yang melingkupi seluruh Pulau

Jawa kecuali Banten dan Batavia—maka bahasa Sunda yang ada di Kabupaten

Indramayu terdesak sehingga jumlah penuturnya menjadi sedikit dan terkesan

bahwa Indramayu merupakan salah satu enklave bahasa Sunda.

Titik pengamatan yang digunakan Wahya dalam pengambilan data, yaitu

Desa Ilir, Desa Bulak, dan Desa Parean Girang Kecamatan Kandanghaur dan

Desa Lelea dan Desa Tamansari Kecamatan Lelea. Adapun kosakata yang

digunakan sebagai penjaring data berjumlah 1056 kosakata yang terdiri atas 200

kosakata dasar Swadesh dan sisanya merupakan kosakata budaya menurut bidang.

Berdasarkan pada analisis yang dilakukan oleh Wahya, diperoleh 110

kosakata yang dipetakan. Dari total keseluruhan peta tersebut, sebanyak 25 buah

peta menunjukkan adanya perbedaan fonologis dan morfofonemis, 9 peta

menunjukkan perbedaan morfologi, dan 76 peta menunjukkan perbedaan leksikal.

Mengacu pada penghitungan persentase yang dilakukan oleh Wahya,

disebutkan bahwa inti daerah pakai bahasa Sunda Baku dan bahasa Sunda

setempat (Kandanghaur dan Lelea) masing-masing terdapat di Desa Bulak dan

Parean Girang Kecamatan Kandanghaur, sedangkan inti daerah pengaruh bahasa

Jawa Indramayu terletak di Desa Tamansari, Kecamatan Lelea. Adapun hasil

perbandingan kosakata bahasa Sunda Kandanghaur dan Lelea dengan bahasa

Sunda Baku dengan menggunakan metode dialektometri menunjukkan angka

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

11

persentase perbedaan sebesar 51,9%, yaitu menunjukkan adanya perbedaan

dialek.

Andoyo Sastromiharjo, dkk. (2010) dalam Laporan Penelitian Hibah

Kompetitif mengangkat penelitian mengenai “Pemetaan Perbedaan Isolek di

Kabupaten Indramayu”. Penelitian Sastromiharjo tersebut terbagi dalam tiga

rumusan masalah, yaitu 1) deskripsi perbedaan bahasa yang terjadi di Kabupaten

Indramayu berdasarkan perbandingan kata kerabat dan korespondensi bunyi, 2)

bentuk-bentuk pemetaan isolek di Kabupaten Indramayu, dan 3) penentuan status

kebahasaan dan silsilah kekerabatan isolek di Kabupaten Indramayu. Terkait

dengan ketiga masalah tersebut, Sastromiharjo menggunakan 200 kosakata dasar

Swadesh sebagai alat penjaring data serta enam titik pengamatan, meliputi

Kecamatan Kandanghaur, Kecamatan Lelea, Kecamatan Bangodua, Kecamatan

Sindang, Kecamatan Haurgeulis, dan Kecamatan Juntinyuat sebagai lokasi yang

dipilih dalam pengambilan data.

Berdasarkan deskripsi perbandingan kata kerabat dan korespondensi bunyi

pada 200 kosakata dasar Swadesh, ditemukan adanya 153 kosakata yang berbeda.

Perbedaan kosakata tersebut meliputi, 93 kosakata berbeda pada tataran fonologis,

33 kosakata berbeda secara morfologis, dan 25 kosakata berbeda secara leksikal.

Disamping penemuan mengenai perbedaan tersebut, ditemukan pula persamaan

dari segi bentuk dan makna yang berjumlah 47 kosakata. Jumlah perbedaan

persamaan tersebut terakumulasi dari seluruh jumlah perbedaan dan persamaan

dari enam titik pengamatan.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

12

Hasil pemetaan isolek Indramayu, disebutkan bahwa bahasa Jawa

merupakan bahasa yang dominan digunakan di Kabupaten Indramayu. Di

samping itu ditemukan beberapa kosakata bahasa Sunda di Kecamatan Lelea.

Bahasa Sunda di Lelea tersebut dianggap sebagai pinjaman dari bahasa Sunda

Sumedang. Alasannya adalah karena posisi Kecamatan Lelea yang berbatasan

langsung dengan Kabupaten Sumedang yang mayoritas berbahasa Sunda.

Dengan demikian, Sastromiharjo tidak menyebutkan bahwa di Kecamatan

Kandanghaur, Kecamatan Haurgeulis dan Kecamatan Gantar juga terdapat tuturan

bahasa Sunda. Selain itu, tidak disebutkan pula bahwa Kecamatan Kandanghaur

dan Kecamatan Lelea dahulu termasuk dalam wilayah kekuasaan (daerah

peninggalan) Kerajaan Sunda yang hingga saat ini tetap mempertahankan bahasa

Sunda dalam komunikasi sehari-hari, di samping bahasa Jawa.

Di samping itu, Sastromiharjo menyatakan bahwa Kecamatan Haurgeulis

sebagai salah satu wilayah dari Kabupaten Indramayu yang mayoritas berbahasa

Jawa. Pernyataan Sastromiharjo tersebut tidak sesuai dengan yang ditemukan oleh

peneliti ketika berada di lapangan. Peneliti menemukan bahwa masyarakat di

Kecamatan Haurgeulis cenderung menggunakan tuturan bahasa Sunda daripada

bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari. Temuan peneliti ini di perkuat dengan

temuan Kasim (2013:25) yang menyatakan bahwa Kecamatan Haurgeulis

cenderung menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari

dibandingkan bahasa Jawa—bahasa Jawa bersifat minoritas.

Dalam penentuan status kebahasaan di Kabupaten Indramayu,

Sastromiharjo menggunakan perhitungan dialektometri. Berdasarkan perhitungan

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

13

tersebut diperoleh hasil yang menunjukkan adanya perbedaan dialek. Penentuan

status tersebut didasarkan pada hasil perhitungan dari jumlah beda (S) sebanyak

153 kosakata dibagi dengan jumlah kata yang diteliti (n) sebanyak 200 (kosakata

dasar Swadesh) dikali 100%. Adapun hasil dari perhitungan tersebut diperoleh

angka 76,5%. Selanjutnya, mengacu pada hasil perhitungan tersebut,

Sastromiharjo menyimpulkan bahwa isolek-isolek dari daerah-daerah yang

dijadikan titik pengamatan dalam penelitian tersebut sebagai dialek dari bahasa

Jawa. Penentuan status kebahasaan tersebut dihitung dengan cara mencari

keseluruhan jumlah beda dari seluruh titik pengamatan, tidak menggunakan teknik

permutasi antar titik pengamatan atau pun segitiga antar desa.

Sri Wiyanti (2011) dalam laporan penelitiannya yang berjudul

“Kekerabatan Bahasa Jawa Dialek Serang dan Bahasa Jawa Dialek Indramayu

(Kajian Dialektologi)” membahas mengenai hubungan kekerabatan antara dialek

bahasa Jawa Serang dan bahasa Jawa Indramayu dengan cara membandingkan

kemiripan kosakata dari kedua dialek tersebut dengan kajian Dialektologi,

khususnya dengan perhitungan dialektometri.

Data penelitian Wiyanti diperoleh dengan wawancara langsung dengan

informan (pupuan lapangan). Adapun instrumen penelitian yang digunakan untuk

penjaringan data adalah 100 kosakata dasar yang diadaptasi dari daftar kosakata

Swadesh. Titik pengamatan yang digunakan sebagai pengambilan data terdiri atas

empat titik pengamatan, yaitu Kecamatan Lelea dan Kecamatan Bangodua di

Kabupaten Indramayu dan Kecamatan Pontang dan Kecamatan Kasemen di

Kabupaten Serang.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

14

Selain itu, penelitian Wiyanti tersebut hanya memfokuskan kajiannya pada

bidang fonologi saja, sedangkan perbedaan leksikal dan morfologi diabaikan.

Bentuk-bentuk berian yang menunjukkan adanya perbedaan fonologi dianalisis

dan dipaparkan bukti-bukti perbedaannya dengan cara mengorespondensikan

pasangan-pasangan bunyi di antaranya. Setelah itu, kemudian dilakukan

penghitungan dialektometri untuk menentukan hubungan kekerabatan antara

bahasa Jawa dialek Serang dengan dialek Indramayu.

Berdasarkan hal tersebut, diperoleh 45 kosakata yang berbeda, yaitu

meliputi perbedaan fonologis sebanyak 19 kosakata, perbedaan morfologi

sebanyak 3 kosakata, dan perbedaan leksikal sebanyak 22 kosakata. Adapun

kosakata yang sama ditemukan sebanyak 55 kosakata. Dengan mengacu pada

perhitungan dialektometri, Wiyanti memperoleh hasil perhitungan sebesar 45%,

yaitu adanya perbedaan subdialek. Dengan demikian disimpulkan bahwa

hubungan kekerabatan antara bahasa Jawa dialek Serang dan dialek Indramayu

adalah hubungan subdialek.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai

enklave bahasa Jawa di Indramayu yang diangkat oleh peneliti ini berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh Nothofer, Sastromiharjo, Wahya, dan Wiyanti

meskipun objek penelitian yang diangkat sama-sama berkaitan dengan Kabupaten

Indramayu. Enklave yang dimaksud dalam penelitian ini berbeda dengan

penelitian Nothofer dan Wahya, yang menganggap bahwa bahasa Sunda yang

terdapat di Kabupaten Indramayu merupakan enklave. Dalam penelitian ini,

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

15

enklave yang dimaksud adalah bahasa Jawa. Di samping itu, fokus penelitian ini

berbeda dengan keempat penelitian sebelumnya tersebut.

1.6.2 Penelitian Kebahasaan Terkait Penelitian Dialektologi Diakronis pada

Enklave Bahasa

Topik penelitian yang membahas dialektologi diakronis pada suatu

enklave bahasa antara lain pernah dilakukan oleh Sukmawati (2012) dalam

tesisnya yang berjudul “Enklave Bahasa Jawa di Provinsi Bengkulu: Kajian

Dialektologi Diakronis”. Penelitian tersebut bertujuan untuk membuat deskripsi

sinkronis dan diakronis dari bahasa Jawa yang terdapat di Enklave Bengkulu.

Deskripsi sinkronis dalam tesis tersebut diklasifikasikan menjadi dua macam,

yaitu deskripsi sinkronis dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Deskripsi

sinkronis dimensi vertikal meliputi deskripsi unsur fonologi, morfologi, leksikon,

dan sekilas pemaparan sintaksis, sedangkan deskripsi sinkronis dimensi horisontal

berkaitan dengan aspek sosiolinguistik, dalam hal ini adalah tingkat tutur.

Sementara itu, deskripsi diakronis meliputi pemaparan bukti kuantitatif

dan kualitatif dari bahasa Jawa enkalve Bengkulu (BJEB). Bukti kuantitatif yang

disajikan berupa hasil perhitungan leksikostatistik, sedangkan bukti kualitatif

yang disajikan berupa pemaparan unsur-unsur inovasi dan retensi yang terjadi

pada BJEB. Tesis tersebut mengungkapkan adanya perbedaan yang mencolok

antara BJEB dengan bahasa di daerah asalnya. Perbedaan paling terlihat pada

tataran leksikal yang ditandai dengan banyaknya penggunaan bahasa Indonesia.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

16

Selain itu, diungkapkan pula bahwa tingkat tutur sudah mulai ditinggalkan oleh

masyarakat Jawa di enklave Bengkulu.

Suryadi (2000) dalam tulisannya yang berjudul “Bahasa Jawa Carita

Enklave di Jawa Barat yang Terancam Eksistensinya” membahas bahasa Jawa

yang digunakan di Desa Carita yang terletak di pantai utara bagian barat Propinsi

Jawa Barat. Metode penelitian yang digunakan oleh Suryadi adalah metode

kualitatif yang berupa pencarian unsur relik dan unsur pinjaman. Adapun

pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sinkronis dan diakronis.

Berdasarkan analisis yang dilakukan Suryadi, ditemukan bahwa bahasa Jawa

Carita mulai terancam eksistensinya, yang ditandai dengan lambatnya

perkembangan bahasa Jawa di Desa Carita dan besarnya pengaruh bahasa Sunda

terhadap bahasa Jawa Carita. Selain itu Suryadi menambahkan bahwa bahasa

Jawa Carita sebagai enklave Jawa di bagian barat masih menyimpan bentuk-

bentuk yang relik dan bentuk-bentuk yang khas yang berbeda dengan bahasa Jawa

lainnya.

Selanjutnya, Kurniawan (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Enklave

Melayu Ampenan dan Enklave Melayu Loloan: Studi Dialektologi Diakronis”

membahas mengenai asal usul MA dan ML secara sinkronis dan diakronis serta

menganalis mengenai retensi inovasi dari kedua bahasa tersebut. Analisis data

dilakukan dengan metode kuantitatif, yaitu teknik leksikostatistik dan metode

kualitatif, yaitu teknik rekonstruksi dari atas ke bawah (top-down methodology).

Kurniawan menyimpulkan bahwa MA lebih cenderung terpengaruh bahasa

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

17

Indonesia, sedangkan ML cenderung mengalami inovasi internal terhadap

sejumlah leksikon.

Wijayatiningsih (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Isolek Sumbawa

Siren dan Taliwang di Lombok: Kajian Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa”

membahas mengenai keberadaan enklave bahasa Sumbawa Siren dan Sumbawa

Taliwang sebagai bahasa minoritas yang terdapat di pulau Lombok yang

menimbulkan permasalahan pergeseran atau pemertahanan bahasa. Untuk itu,

penelitian ini bertujuan menganalisis unsur bahasa Sasak dalam Bahasa Sumbawa

Siren dan Sumbawa Taliwang secara kuantitatif dan kuakitatif. Metode kuantitatif

dilakukan dengan menggunakan dialektometri, untuk menentukan status kedua

enklave bahasa tersebut. Metode kualitatif yang digunakan adalah metode padan

yang berupa teknik hubung-banding menyamakan dan teknik hubung-banding

membedakan, serta metode ciri-ciri kesamaan linguistik khususnya yang berupa

inovasi bersama yang bersifat eksklusif. Tesis tersebut membuktikan bahwa

enklave bahasa Sumbawa Siren dan Sumbawa Taliwang merupakan varian bahasa

Sumbawa di daerah asalnya, bukan merupakan varian dari bahasa Sasak,

Sumbawa Taliwang, Sumbawa Siren, dan Sumbawa di pulau Sumbawa, sama-

sama memiliki ciri linguistik (fonologis dan leksikal) yang berupa inovasi

bersama secara eksklusif, yaitu dalam merefleksikan kata yang memiliki urutan

konsonan nasal hambat. Secara garis besar, pemakaian varian Sumbawa Taliwang

dan Sumbawa Siren berada pada posisi pilihan bahasa dengan persentase tertinggi

(100%).

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

18

Pada dasarnya, penelitian ini akan membahas hal (kajian) yang sama

dengan penelitian sebelumnya seperti yang telah diuraikan di atas. Namun, sejauh

pengamatan peneliti, penelitian terkait bahasa Jawa yang terletak di enklave

Indramayu belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Dengan demikian,

penelitian ini layak untuk dilaksanakan.

1.7 Landasan Teori

Dialektologi adalah cabang ilmu bahasa yang khusus mempelajari variasi-

variasi bahasa dalam semua aspeknya (Keraf, 1991:143). Dialektologi memiliki

dua bidang kajian, yaitu dialektologi sinkronis dan dialektologi diakronis.

Dialektologi sinkronis cenderung mengkaji dialek suatu bahasa yang bersifat

kekinian saja, tanpa melihat sejarah perkembangan bahasa yang diteliti.

Dialektologi diakronis merupakan bidang ilmu bahasa yang menyelidiki

perkembangan dan perbandingan suatu variasi bahasa dengan melihat sejarah

yang melatarbelakangi bahasa tersebut (Mahsun, 2011).

Mahsun (1995) menyatakan bahwa penelitian dialektologi yang lengkap

dan menyeluruh hendaknya bersifat diakronis dan sinkronis. Pernyataan tersebut

didasarkan pada asumsi bahwa perubahan suatu bahasa tidak terjadi dalam satu

waktu, tetapi melalui perkembangan historis. Dengan kata lain, variasi bahasa

yang ada pada saat ini (sinkronis) dapat dirunut keberadaannya pada masa lampau

(diakronis).

Kajian variasi bahasa dalam dialektologi diakronis terdiri dari dua aspek,

yaitu aspek deskriptif dan diakronis (Mahsun, 2011). Dalam aspek deskriptif,

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

19

dasar kajian dialektologi meliputi: deskripsi unsur kebahasaan yang berbeda

dalam bahasa yang sedang diteliti, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, lesikon,

dan semantik, termasuk sosiolinguistik; pemetaan unsur kebahasaan yang

berbeda; penentuan status isolek berdasarkan perbedaan unsur-unsur kebahasaan

yang telah dideskripsikan dan dipetakan; dan deskripsi yang menjelaskan ciri khas

dialek yang sedang diteliti dengan dialek yang lain. Adapun aspek diakronis yang

dimaksud adalah pembuatan rekonstruksi prabahasa; penelusuran pengaruh

antardialek dan persebarannya; penelusuran unsur inovasi internal dan eksternal

dalam bahasa yang diteliti; penelusuran unsur relik dialek beserta persebaran

geografisnya; penelusuran hubungan antara unsur kebahasaan yang berbeda

diantara dialek bahasa yang diteliti; analisis dialek yang bersifat inovatif dan

konservatif; dan pembuatan rekonstruksi sejarah daerah yang bahasanya sedang

diteliti.

Aspek deskriptif yang dimaksud Mahsun di atas adalah deskripsi sinkronis

menurut Nothofer (dalam Sukmawati, 2012). Dalam Jurnal Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa yang berjudul “Cita-cita Penelitian Dialek”, Nothofer

menyatakan bahwa deskripsi sinkronis dalam penelitian dialektologi terdiri dari

dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horisontal. Deskripsi sinkronis dimensi

vertikal meliputi deskripsi fonologi, morfologi, sintaksis, morfofonemik, dan

leksikon. Deskripsi sinkronis dimensi horisontal yang dimaksud adalah deskripsi

sosiolinguistik, yaitu yang berkaitan dengan tingkat tutur. Terkait dengan uraian

tersebut, penelitian ini akan menggunakan istilah Nothofer dan akan

mendeskripsikan secara sinkronis kedua dimensi tersebut.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

20

Dalam kaitannya dengan aspek diakronis atau deskripsi diakronis atau

relasi historis, penelitian ini menggunakan dua buah pendekatan, yaitu pendekatan

kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dalam penelitian

dialektolgi diakronis dilakukan dengan penerapan teknik dialektometri yang

dirumuskan:

(𝑺× 𝟏𝟎𝟎)𝒏 = 𝒅%

keterangan: S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain; n = jumlah peta yang dibandingkan; dan d = jarak kosa kata dalam persentase.

Penentuan status hubungan antartitik pengamatan dalam penelitian ini didasarkan

pada teori Guiter (dalam Zulaeha, 2010: 37), yaitu jika penghitungan

menghasilkan:

81% ke atas : dianggap sudah mewakili dua bahasa yang berbeda (language),

51-80% : dianggap ada perbedaan dialek (dialecte), 31-50% : dianggap ada perbedaan subdialek (sousdialecte), 21-30% : dianggap ada perbedaan wicara (parler), 20% ke bawah: dianggap tidak ada perbedaan (negligeable).

Adapun dalam penghitungan perbedaan jarak kosakata dalam penelitian

ini digunakan teknik permutasi antar titik pengamatan, yaitu dengan cara

membandingkan tiap-tiap titik pengamatan secara menyeluruh. Ketentuan dalam

perbandingan dan perhitungan tersebut adalah sebagai berikut.

1) Jika di sebuah titik pengamatan dikenal lebih dari satu berian, dan

salah satu berian tersebut dikenal di titik pengamatan lain maka

perbedaan tersebut dianggap tidak ada.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

21

2) Jika di titik-titik pengamatan yang dibandingkan itu salah satu

diantaranya tidak ada beriannya, perbedaan itu dianggap ada.

3) Jika di tiap-tiap titik pengamatan yang dibandingkan itu tidak ada

beriannya maka titik-titik pengamatan itu dianggap sama.

4) Dalam penghitungan dialektometri, perbedaan fonologi, morfologi dan

leksikal dianggap ada (melihat perbedaan dalam bentuk sekecil-

kecilnya).

Selain pendekatan kuantitatif di atas, penelitian ini juga menggunakan

pendekatan kualitatif untuk memperkuat evidensi dari pendekatan kuantitatif yang

telah dilakukan sebelumnya. Pendekatan kualitatif ini ditujukan untuk mencari

bentuk retensi (pemertahanan) dan inovasi (perubahan) yang terjadi dari dialek

yang sedang diteliti. Inovasi dan retensi dari bahasa yang diteliti dapat dilakukan

dengan cara membandingkan bahasa yang diteliti dengan Proto-Melayo-Javanic

sebagai bahasa induknya dan membandingkannya dengan bahasa Jawa Banyumas

sebagai bahasa dari daerah asalnya.

1.8 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini berangkat dari hasil perhitungan dialektometri

terhadap data sekunder 200 kosakata dasar Swadesh terhadap bahasa Jawa

Indramayu dengan bahasa Jawa Banyumas. Berdasarkan perhitungan tersebut

diperoleh persentase jarak kosakata yang cukup kecil, yaitu 39% yang

menunjukkan hubungan subdialek. Di samping itu, adanya kecenderungan

penggunaan bunyi [a] daripada [] pada setiap suku terbuka pada setiap kosakata

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

22

mengasumsikan bahwa bahasa Jawa Indramayu lebih dekat dengan bahasa Jawa

Banyumas daripada bahasa Jawa Standar. Hasil perhitungan dialektometri dan

pengamatan sepintas tersebut diperoleh dari data sekunder (observasi awal) yaitu

yang diambil sebelum pengambilan data primer.

Bahasa Jawa Banyumas merupakan bahasa Jawa yang cenderung

konservatif jika dibandingkan dengan bahasa Jawa di daerah lainnya. Berdasarkan

hal tersebut, diasumsikan bahwa bahasa Jawa Indramayu juga termasuk bahasa

yang konservatif. Berkaitan dengan hal tersebut, di samping memiliki banyak

kesamaan dengan bahasa Jawa Banyumas, bahasa Jawa Indramayu juga banyak

mewarisi bentuk-bentuk relik yang terdapat dalam Proto-Melayo-Javanic.

Apabila bahasa Jawa Indramayu terbukti berasal dari bahasa Jawa

Banyumas maka akan ditemukan kemiripan atau kesamaan fonologi dan leksikal

dengan Banyumas dan Proto-Melayo-Javanic yang terefleksi dalam perubahan

fonologi dan leksikal. Dengan demikian dapat dirumuskan alasan-alasan yang

melatarbelakangi terjadinya kesamaan-kesamaan (retensi) dan perubahan-

perubahan (inovasi) tersebut.

1.9 Metode Penelitian

Sumber data penelitian ini berwujud data lisan, yaitu berupa tuturan

bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Kabupaten Indramayu. Terkait

dengan hal tersebut, populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh tuturan bahasa

Jawa dengan segala aspek yang ada di lokasi penelitian tersebut. Dengan

demikian, sampel dalam penelitian ini adalah tuturan bahasa Jawa yang telah

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

23

ditetapkan dalam instrumen penelitian yang berupa daftar pertanyaan, yaitu 200

kosakata dasar Swadesh dan ditambah dengan 741 kosakata budaya, 30 struktur

frasa, serta 40 kalimat.

1.9.1 Metode Pengumpulan Data

Dalam kaitannya dengan metode pengumpulan data, penelitian ini

mengikuti kaidah pengumpulan data yang sampaikan oleh Ayatrohaedi (2002).

Ayatrohaedi menyatakan bahwa terdapat empat hal yang perlu dipersiapkan

sebelum dilaksanakan penelitian dialek, yaitu penentuan daerah penelitian, daftar

pertanyaan, peneliti, dan informan. Hal yang berkaitan dengan peneliti tersebut,

penelitian ini dilakukan oleh peneliti sendiri.

Sebelum terjun ke lapangan untuk pengambilan data, langkah pertama

yang dilakukan peneliti adalah penentuan daerah penelitian. Daerah penelitian

yang dituju dalam penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu yang meliputi 8

titik pengamatan yang berada pada 9 kecamatan. Kesembilan titik pengamatan

tersebut meliputi, Kecamatan Indramayu (TP 1), Kecamatan Juntinyuat (TP 2),

Kecamatan Krangkeng (TP 3), Kecamatan Lelea (TP 4), Kecamtan Cikedung (TP

5), Kecamatan Gantar dan Kecamatan Haurgeulis (TP 6), Kecamatan Sukra (TP

7), dan Kecamatan Kandanghaur (TP 8). Kecamatan Gantar dan Kecamatan

Haurgeulis digabungkan menjadi satu titik pengamatan karena sebelumnya

Kecamatan Gantar merupakan bagian dari Kecamatan Haurgeulis, Kecamatan

Gantar adalah daerah pemekaran dari Kecamatan Haurgeulis.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

24

Langkah selanjutnya adalah pembuatan daftar pertanyaan. Daftar

pertanyaan dalam penelitian ini berjumlah 941 kosakata, yang terdiri dari 200

kosakata dasar Morris Swadesh (diangkat dari Keraf, 1991) dan 741 kosakata

yang berkenaan dengan sifat dan kebudayaan daerah penelitian, 30 struktur frasa

serta 40 kalimat. Daftar pertanyaan tersebut meliputi anggota tubuh; kata ganti,

sapaan, dan acuan; sistem kekerabatan; waktu, musim keadaan alam, benda alam,

dan arah; perangai dan sifat; warna; gerak dan kerja; tumbuhan dan bagian-

bagiannya; binatang dan bagian-bagiannya; bilangan; kata tanya; alat; rumah dan

bagian-bagiannya; penyakit; serta permainan tradisional.

Selain itu, daftar pertanyaan tersebut disusun secara berurutan dan

dikelompokkan berdasarkan medan makna, misalnya kosakata tangan, kaki,

kepala, dan rambut di kelompokkan dalam medan makna anggota tubuh. Sistem

pengelompokkan ini dimaksudkan untuk memfokuskan pikiran informan pada

satu topik pembicaraan ketika wawancara berlangsung. Sistem pengelompokan

tersebut juga memudahkan dalam analisis status kebahasaan—pernyataan ini

berdasarkan pendapat Kurath dalam Mahsun (1995: 110) yang menyatakan bahwa

sistem medan makna merupakan sistem yang cukup representatif dalam pemilihan

isolek menjadi dialek/subdialek.

Selain disajikan dalam bentuk kosakata, instrumen dalam penelitian ini

juga disertai dengan gambar peraga yang mengacu pada kosakata yang tertulis dan

tersusun. Gambar peraga tersebut terbatas pada kosakata yang acuannya berupa

benda yang berwujud, seperti anggota badan, gambar binatang, dan gambar

anatomi tumbuhan. Penggunaan gambar peraga ini ditujukan untuk memudahkan

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

25

informan dalam menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh peneliti. Selain itu,

agar peneliti mendapatkan data yang akurat dan spontan dari informan.

Persiapan terakhir, yaitu penentuan informan sebagai sumber data dalam

penelitian ini. Pada setiap titik pengamatan diambil tiga orang informan, satu

sebagai informan utama dan yang lainnya sebagai informan pendamping.

Informan utama adalah orang yang diprioritaskan informasinya. Apabila peneliti

merasa kurang puas dengan jawaban informan utama, maka peneliti dapat

memberikan pertanyaan kepada informan pendamping. Disamping berfungsi

mendampingi informan utama, informan pendamping ini difungsikan untuk

menghindari pengumpulan data yang bersifat idiolek (Lauder, 1993: 56).

Adapun kriteria informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kriteria informan yang disampaikan oleh Ayatrohaedi (1983 dan 2002) dan

dikombinasikan dengan kriteria Nothofer dan Fernandes (dalam Zulaeha, 2010:

53-54), yaitu:

1) Pemilihan informan dalam penelitian ini tidak memandang jenis kelamin si

informan. Hal ini, berdasarkan pendapat Pop (dalam Lauder, 1993: 55) yang

menyatakan bahwa, penggunaan informan lelaki dan perempuan secara

bersamaan dapat memberikan informasi kebahasaan di bidangnya masing-

masing.

2) Tiap titik pengamatan dipilih informan yang berusia 45—50 tahun.

Pemilihan ini disarankan oleh Ayatrohaedi (1983: 48), yaitu bahwa usia

pertengahan (40—50 tahun) telah menguasai bahasa atau dialeknya, tetapi

belum sampai pada taraf pikun.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

26

3) Asal usul informan juga menjadi bahan pertimbangan dalam penelitian ini.

Ayatrohaedi (1983: 48) menyatakan bahwa asal usul informan harus

diusahakan berasal dari desa atau tempat yang diteliti, serta jarang sekali

atau tidak pernah meninggalkan desa setempat.

4) Informan harus menguasai bahasa dan dialeknya dengan baik.

5) Dapat berbahasa Indonesia. Syarat ini digunakan untuk memudahkan

peneliti dalam menjelaskan daftar pertanyaan yang dimaksud oleh peneliti.

6) Sehat rohani dan jasmani dalam arti tidak sedang dalam tekanan batin dan

alat bicaranya sempurna.

Setelah empat hal tersebut telah dipersiapkan, maka dapat dilaksanakan

pengambilan data. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pupuan lapangan yang dilaksanakan dengan dua teknik, yaitu pencatatan

langsung dan perekaman. Pencatatan langsung yang dimaksud di sini berupa

pencatatan jawaban informan berdasarkan pertanyaan pancingan dari daftar

pertanyaan yang telah disusun. Jawaban dari informan tersebut kemudian dicatat

dalam bentuk transkrip fonetis, sedangkan perekaman difungsikan sebagai alat

konfirmasi data dari hasil mencatat serta sekaligus untuk mengecek ulang data

ketika terjadi keragu-raguan pada saat analisis data. Dengan demikian, data yang

digunakan pada saat analisis merupakan data yang sudah dikonfirmasi, baik

melalui teknik pencatatan maupun teknik rekam. Kegiatan pengumpulan data ini

berakhir setelah peneliti telah menata hasil catatan dan rekaman dalam bentuk

transkripsi fonetis. Transkripsi tersebut mengacu pada IPA (International

Phonetics Associations).

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

27

1.9.2 Metode Analisis Data

Setelah semua data telah terkumpul dan ditranskripsikan, langkah

selanjutnya adalah analisis data yang berkaitan dengan deskripsi sinkronis.

Apabila tahapan tersebut telah terlaksana maka dapat dilakukan analisis dengan

pendekatan kuantitatif dengan rumus perhitungan dialektometri, sehingga dapat

diketahui persamaan dan perbedaan (status) tuturan antar titik pengamatan beserta

daerah asalnya (Banyumas).

Setelah itu, dilakukan analisis dengan pendekatan kualitatif terkait bentuk-

bentuk inovasi dan retensi yang terjadi antara tiap-tiap titik pengamatan

dibandingkan dengan bahasa proto (PMJ) dan bahasa asalnya (BJB). Dengan telah

dilaluinya tahapan analisis tersebut maka dapat dirumuskan alasan yang

melatarbelakangi terjadinya retensi dan inovasi BJI jika dibandingkan dengan

BJB.

1.9.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data merupakan tahap terakhir dari sebuah

penelitian. Sudaryanto (1993: 145—146) menyatakan bahwa, hasil analisis data

dapat disajikan secara formal (tanda dan lambang) dan informal (kata-kata biasa).

Dalam penelitian ini, hasil analisis yang telah dilakukan akan disajikan dalam

bentuk formal dan informal. Penyajian bentuk formal digunakan dalam

pengolahan data yang berbentuk lambang-lambang bunyi bahasa, bagan, gambar,

tabel, dan rumus. Bentuk informal dalam tulisan ini berfungsi untuk

mendeskripsikan hasil analisis—termasuk bagan, gambar, skema, gambar dan

rumus—dengan kata-kata.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus

28

1.10 Sistematika Penyajian

Penelitian ini disajikan dalam enam bab. Bab pertama memuat

pendahuluan, yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, data dan metode penelitian,

dan sistematika penyajian. Bab kedua menjelaskan mengenai deskripsi wilayah

penelitian, yang meliputi letak geografis, sejarah, kondisi masyarakat, kebudayaan

dan pariwisata, serta situasi kebahasaan daerah penelitian. Bab ketiga berisi

deskripsi sinkronis struktur fonologi, morfologi, sintaksis, morfofonemik,

leksikon dan tingkat tutur bahasa Jawa Indramayu. Bab empat menguraikan relasi

historis bahasa Jawa Indramayu dengan bahasa proto (PMJ) dan bahasa Jawa

Banyumas (BJB). Bab kelima berisi penjelasan mengenai alasan bahasa Jawa

Indramayu cenderung mengalami retensi, di samping inovasi, jika dibandingkan

dengan bahasa Jawa Banyumas. Dalam bab enam diakhiri dengan penutup yang

meliputi kesimpulan dan saran.