1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembicaraan mengenai bahasa yang digunakan di Indramayu tidak terlepas dari pembicaraan tentang sejarah yang melatarbalakanginya. Indramayu, sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang keberadaan wilayahnya diapit oleh dua bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu Jawa dan Sunda, sedikit banyak terpengaruh oleh kedua budaya dan bahasa tersebut. Pengaruh budaya Jawa terletak di sebelah timur dan utara, sedangkan pengaruh Sunda terletak di selatan dan barat. Kasim (2013) menyebutkan bahwa di Kabupaten Indramayu terdapat dua bahasa yang digunakan oleh masyarakat, yaitu bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa Sunda dituturkan di beberapa wilayah Kecamatan Gantar, Kecamatan Haurgeulis, satu blok (dusun/padukuhan) di Kecamatan Anjatan, satu desa di Terisi, tiga desa di Kecamatan Kandanghaur, dan dua desa di Kecamatan Lelea, sedangkan bahasa Jawa meliputi seluruh wilayah Kabupaten Indramayu kecuali yang beberapa wilayah yang telah disebutkan tersebut. Dengan demikian, kontak bahasa antara penutur bahasa Jawa dan bahasa Sunda di Kabupaten Indramayu tidak dapat dielakkan lagi. Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa di Kabupaten Indramayu, seperti yang telah dilakukan oleh Nothofer (1992) dan Wahya (1995), disebutkan bahwa bahasa Sunda yang terdapat di Indramayu merupakan sebuah enklave.
28
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94087/potongan/S2-2016...bahasa yang digunakan oleh ... Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa ... khusus
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembicaraan mengenai bahasa yang digunakan di Indramayu tidak
terlepas dari pembicaraan tentang sejarah yang melatarbalakanginya. Indramayu,
sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang keberadaan wilayahnya
diapit oleh dua bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu Jawa dan Sunda, sedikit
banyak terpengaruh oleh kedua budaya dan bahasa tersebut. Pengaruh budaya
Jawa terletak di sebelah timur dan utara, sedangkan pengaruh Sunda terletak di
selatan dan barat.
Kasim (2013) menyebutkan bahwa di Kabupaten Indramayu terdapat dua
bahasa yang digunakan oleh masyarakat, yaitu bahasa Sunda dan bahasa Jawa.
Bahasa Sunda dituturkan di beberapa wilayah Kecamatan Gantar, Kecamatan
Haurgeulis, satu blok (dusun/padukuhan) di Kecamatan Anjatan, satu desa di
Terisi, tiga desa di Kecamatan Kandanghaur, dan dua desa di Kecamatan Lelea,
sedangkan bahasa Jawa meliputi seluruh wilayah Kabupaten Indramayu kecuali
yang beberapa wilayah yang telah disebutkan tersebut. Dengan demikian, kontak
bahasa antara penutur bahasa Jawa dan bahasa Sunda di Kabupaten Indramayu
tidak dapat dielakkan lagi.
Dalam penelitian sebelumnya mengenai bahasa di Kabupaten Indramayu,
seperti yang telah dilakukan oleh Nothofer (1992) dan Wahya (1995), disebutkan
bahwa bahasa Sunda yang terdapat di Indramayu merupakan sebuah enklave.
2
Penyebutan tersebut mengacu pada keberadaan bahasa Sunda di Indramayu pada
saat ini yang cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan bahasa Jawa yang
lebih dominan. Enklave bahasa Sunda yang dimaksud oleh Nothofer dan Wahya
tersebut adalah bahasa Sunda yang terdapat di beberapa desa di Kecamatan
Kandanghaur dan Kecamatan Lelea.
Jika dilihat dari sejarahnya, bahasa Jawa di Kabupaten Indramayu—
selanjutnya disebut sebagai BJI—bisa berada di wilayah Jawa Barat (wilayah
tutur bahasa Sunda) karena adanya transmigrasi lokal pada masa pemerintahan
Kerajaan Mataram (Mataram Baru). Transmigrasi lokal yang dimaksud di sini
adalah perpindahan penduduk Kerajaan Mataram yang berada di Yogyakarta dan
Jawa Tengah ke wilayah pesisir pantai utara mulai dari Tegal hingga perbatasan
Batavia di Jawa Barat (Graaf, 1990; Kasim, 2013; dan Safari1, 2015).
Transmigrasi lokal tersebut berkaitan dengan siasat perang Sultan Agung untuk
mempersiapkan perbekalan perang melawan Belanda di Batavia, yaitu dengan
cara membuka pemukiman dan pertanian di wilayah pesisir Pantai Utara,
termasuk Indramayu di dalamnya. Dengan mengacu pada fakta sejarah mengenai
perpindahan penutur bahasa Jawa dari wilayah asalnya ke wilayah Jawa Barat
yang dominan dengan penutur bahasa Sunda tersebut, bahasa yang digunakan di
Kabupaten Indramayu disebut sebagai wilayah kantong (enklave) bahasa Jawa di
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Berdasarkan fakta sejarah tersebut dan pengamatan awal secara sepintas,
bahasa Jawa yang terdapat di Indramayu dihipotesiskan memiliki kekerabatan 1 M. Safari adalah budayawan yang berasal dari Muntilan, Jawa Tengah. M. Safari banyak membahas dan mengkaji mengenai kebudayaan dan sejarah Indonesia khususnya budaya dan sejarah Jawa.
3
yang cukup erat dengan bahasa Jawa Banyumas—selanjutnya disebut sebagai
BJB—sebagai tanah asal dari BJI.
Di samping itu, karena jarak antara BJI dengan pusat pemerintahan
(bahasa Jawa Yogyakarta, yang disebut BJY) yang cukup jauh, BJI memiliki
banyak bentuk-bentuk tuturan kuno (relik). Dengan kata lain, perubahan yang
terjadi di daerah pusat tidak turut terjadi dalam BJI. Meskipun demikian,
penyediaan data dari lapangan dan analisis diakronis secara kuantitatif dan
kualitatif perlu dilakukan untuk membuktikan hipotesis tersebut.
Fakta ini sejalan dengan pendapat Nothofer (1992) yang menyatakan
bahwa dialek bahasa Jawa yang terletak di sebelah barat Yogyakarta cenderung
lebih konservatif (banyak ciri yang mirip dengan bahasa Jawa Kuna) daripada
dialek Yogyakarta. Penggunaan bentuk arkais ini bisa saja dipengaruhi oleh letak
Indramayu di pinggiran Sunda dan Jawa, yaitu daerah yang paling rendah tingkat
aksesnya ke dalam pusat kebudayaan dan kekuasaan di kedua wilayah Jawa Barat
dan Jawa Tengah.
Berikut ini adalah contoh kosakata bahasa Jawa Indramayu (BJI)
dibandingkan dengan bahasa Jawa Banyumas dan bahasa Jawa Yogyakarta (BJY)
pada saat ini.
Tabel 1. Perbandingan Kosakata Bahasa Jawa Indramayu dengan bahasa Jawa Banyumas dan Bahasa Jawa Yogyakarta No. Gloss BJI BJB BJY 1. kanan [tn] [tn] [tn] 2. datang [tka] [tka] [tk] 3. tidak [bli] [ora] [ora] [ora] 4. punggung [gigir] [ggr] [ggr] 5. hidung [cuur] [iru] [irU] 6. mata [mata] [mata] [mt]
Dengan adanya temuan yang menyatakan bahwa BJI jauh dari pengaruh
pusat pemerintahan dan dilengkapi dengan latar belakang sejarah seperti di atas
maka selain dapat dilihat adanya bahasa yang konservatif, tidak menutup
kemungkinan terlihatnya jenis tingkat tutur (level of speech) yang berbeda pula
5
dengan bahasa Jawa baku (bahasa Jawa Yogyakarta/Solo). Kasim2 (2015)
menyebutkan bahwa BJI mengenal dua jenis tingkat tutur, yaitu basa
bagongan/padinan dan basa bebasan/krama. Pernyataan tersebut juga menambah
daya tarik tersendiri untuk mengkaji lebih dalam BJI.
Untuk membuktikan hipotesis-hipotesis tersebut, diperlukan penelitian
lebih lanjut mengenai status kebahasaan antara tuturan BJI di beberapa wilayah
Kabupaten Indramayu, serta perlu dilihat hubungan historis antara BJI dengan
bahasa Jawa Kuno dan bahasa proto yang menjadi bahasa induknya. Analisis
terhadap BJI tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan dialektologi diakronis,
baik dengan metode kuantitatif maupun kualitatif.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Bagaimana deskripsi sinkronis struktur fonologi, morfologi, sintaksis,
morfofonemik, leksikon, dan tingkat tutur bahasa Jawa Indramayu?
b. Bagaimana relasi historis bahasa Jawa Indramayu dengan Proto-
Melayo-Javanic dan perbandingannya terhadap bahasa Jawa
Banyumas baik secara kualitatif maupun kuantitatif?
c. Mengapa bahasa Jawa Indramayu cenderung mengalami retensi, di
samping inovasi, jika dibandingkan dengan bahasa Jawa Banyumas?
2 Data ini diperoleh dari wawancara peneliti dengan Supali Kasim. Supali Kasim adalah budayawan, sejarawan, guru, dan peneliti yang berkonsentrasi mengangkat isu-isu yang beredar di Kabupaten Indramayu pada khususnya dan Jawa Barat pada umumnya.
6
1.3 Tujuan Penelitian
Beranjak dari rumusan masalah di atas, tujuan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
a. Mendeskripsikan secara sinkronis struktur fonologi, morfologi,
sintaksis, morfofonemik, leksikon dan tingkat tutur bahasa Jawa
Indramayu.
b. Mendeskripsikan relasi historis bahasa Jawa Indramayu dengan Proto-
Melayo-Javanic dan perbandingannya terhadap bahasa Jawa
Banyumas baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
c. Menjelaskan alasan terjadinya bentuk relik dan bentuk inovasi bahasa
Jawa Indramayu jika dibandingkan dengan bahasa Jawa Banyumas.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencakup analisis dialektologi Diakronis untuk mengkaji
relasi historis antara bahasa Jawa Indramayu dengan bahasa Banyumas dan
bahasa protonya (Proto-Melayo-Javanic). Kajian linguistik diakronis terhadap
bahasa Jawa Indramayu tersebut dititikberatkan pada bidang fonologi dan
leksikal. Hubungan kekerabatan antar titik pengamatan dalam bahasa Jawa
Indramayu dan dengan bahasa Jawa Banyumas dikaji secara kuantitatif. Pencarian
bentuk pewarisan dari bahasa proto dan pencarian kesamaan dan perbedaan
dengan bahasa di daerah asal dilakukan secara kualitatif. Setelah itu, dapat
ditentukan daerah konservatif dan inovatif bahasa Jawa Indramayu.
7
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis
maupun praktis. Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pengetahuan bagi penelitian linguistik, khususnya dialektologi.
Sementara itu, manfaat praktis dari penelitian ini, yaitu pendokumentasian bahasa
Jawa Indramayu. Di samping hal itu, penelitian ini dapat memberikan kontribusi
dalam pelestarian bahasa dan budaya Kabupaten Indramayu.
1.6 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua buah
tinjauan, yaitu tinjauan pustaka berdasarkan penelitian kebahasaan yang berkaitan
dengan Kabupaten Indramayu dan penelitian kebahasaan terkait penelitian
dialektologi diakronis pada enklave bahasa. Berdasarkan pengamatan peneliti,
penelitian kebahasaan yang berkaitan dengan Kabupaten Indramayu meliputi
penelitian Nothofer (1992), Wahya (1995), Andoyo Sastromiharjo (2010), dan
Sri Wiyanti (2011). Adapun topik penelitian yang membahas dialektologi
diakronis pada suatu enklave bahasa antara lain pernah dilakukan oleh Sukmawati
(2012), Suryadi (2000), Kurniawan (2013), dan Wijayatiningsih (2012).
1.6.1 Penelitian Kebahasaan yang Berkaitan dengan Kabupaten
Indramayu
Penelitian kebahasaan yang dilakukan di Kabupaten Indramayu, misalnya
penelitian Nothofer (1992) dengan judul “Tinjauan Sinkronis dan Diakronis
8
Dialek-dialek Bahasa Jawa di Jawa Barat dan di Jawa Tengah (Bagian Barat)”.
Penelitian tersebut merupakan penelitian geografi dialek yang bertujuan untuk
memetakan penggunaan dialek-dialek bahasa Jawa di Jawa Barat, di Jawa Tengah
(Bagian Barat), dan enklave bahasa Jawa yang berada di daerah bahasa Sunda,
serta untuk penentuan daerah persebaran bahasa Sunda, Jawa, dan Melayu Jakarta.
Dengan menggunakan metode dialektometri, Nothofer menemukan bahwa
terdapat delapan dialek bahasa Jawa, yaitu dialek Banten, dialek Krawang, dialek
Indramayu, dialek Cirebon, dialek Banyumas, dialek Ciamis, dialek Yogyakarta,
dan dialek desa 128. Selain itu, Nothofer juga menyimpulkan bahwa dialek bahasa
Jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian barat cenderung konservatif
dibandingkan dengan dialek bahasa Jawa di Yogyakarta.
Dalam penelitian tersebut, Nothofer menggunakan objek penelitian di
Kabupaten Indramayu. Namun, meskipun demikian, penelitian tersebut berbeda
dengan penelitian ini. Nothofer hanya mengambil sampel data sebanyak lima titik
pengamatan, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan 8 titik pengamatan
yang rinciannya, 5 titik pengamatan merupakan desa pantai (berbatasan langsung
dengan laut) dan 3 titik pengamatan merupakan desa yang jauh dari pantai dan
berbatasan dengan Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten
Majalengka. Dengan adanya jumlah titik pengamatan yang lebih banyak
diharapkan penelitian ini akan diperoleh temuan-temuan yang berbeda dan lebih
mendalam. Di samping itu, cakupan penelitian Nothofer dirasa sangat
luas/general—melingkupi Jawa Tengah bagian barat hingga Jawa Barat—tidak
9
menutup kemungkinan adanya temuan penting yang belum disebutkan atau tidak
ditemukan oleh Nothofer.
Dalam penelitian tersebut, Nothofer tidak menyinggung bahwa di salah
satu desa di Indramayu (Desa Krangkeng/ titik pengamatan ke-3) terdapat
keunikan bahasa yang tidak ditemukan di daerah Indramayu yang lainnya.
Keunikan tersebut misalnya, pada kata ‘lebar’ di Desa Krangkeng disebut [amb],
sedangkan di desa atau titik pengamatan lain disebut [amba] (dapat diamati
dalam lampiran). Perubahan bunyi [a] pada BJI pada umumnya menjadi [] pada
Desa Krangkeng tersebut terjadi pada setiap posisi ultima suku terbuka.
Wahya (1995) dalam tesisnya yang berjudul “Bahasa Sunda di Kecamatan
Kandanghaur dan Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu: Kajian Geografi
Dialek” mengkaji mengenai 1) pemetaan dan penafsiran unsur bahasa dalam
bahasa Sunda di Kecamatan Kandanghaur dan Kecamatan Lelea, 2) penentuan
persentase penggunaan bahasa Sunda Kandanghaur dan Lelea serta penggunaan
bahasa Sunda Baku dan pengaruh bahasa Jawa Indramayu terhadap bahasa Sunda
Kanganghaur dan Lelea, dan 3) penentuan daerah inti Bahasa Sunda, Bahasa Jawa
Indramayu, Bahasa Sunda Kandanghaur, dan Bahasa Sunda Kandanghaur Lelea,
dan bahasa Jawa Kandanghaur Lelea. Kecamatan Kandanghaur dan Kecamatan
Lelea menurut Wahya merupakan enklave bahasa Sunda yang terletak pada
wilayah tutur bahasa Jawa (bahasa Jawa Indramayu).
Jika penyebutan “enklave bahasa Sunda” dalam penelitian Wahya tersebut
dikaitkan dengan sejarah bahasa Jawa dan bahasa Sunda—dalam kaitannya
dengan sejarah Kabupaten Indramayu—penyebutan tersebut kurang tepat. Sebab,
10
penutur bahasa Jawa di Kabupaten Indramayu itu merupakan pendatang pada
masa Kerajaan Mataram Baru. Oleh karena pengaruh bahasa Jawa yang begitu
kuat—ditandai dengan kekuasaan Mataram Baru yang melingkupi seluruh Pulau
Jawa kecuali Banten dan Batavia—maka bahasa Sunda yang ada di Kabupaten
Indramayu terdesak sehingga jumlah penuturnya menjadi sedikit dan terkesan
bahwa Indramayu merupakan salah satu enklave bahasa Sunda.
Titik pengamatan yang digunakan Wahya dalam pengambilan data, yaitu
Desa Ilir, Desa Bulak, dan Desa Parean Girang Kecamatan Kandanghaur dan
Desa Lelea dan Desa Tamansari Kecamatan Lelea. Adapun kosakata yang
digunakan sebagai penjaring data berjumlah 1056 kosakata yang terdiri atas 200
kosakata dasar Swadesh dan sisanya merupakan kosakata budaya menurut bidang.
Berdasarkan pada analisis yang dilakukan oleh Wahya, diperoleh 110
kosakata yang dipetakan. Dari total keseluruhan peta tersebut, sebanyak 25 buah
peta menunjukkan adanya perbedaan fonologis dan morfofonemis, 9 peta
menunjukkan perbedaan morfologi, dan 76 peta menunjukkan perbedaan leksikal.
Mengacu pada penghitungan persentase yang dilakukan oleh Wahya,
disebutkan bahwa inti daerah pakai bahasa Sunda Baku dan bahasa Sunda
setempat (Kandanghaur dan Lelea) masing-masing terdapat di Desa Bulak dan
Parean Girang Kecamatan Kandanghaur, sedangkan inti daerah pengaruh bahasa
Jawa Indramayu terletak di Desa Tamansari, Kecamatan Lelea. Adapun hasil
perbandingan kosakata bahasa Sunda Kandanghaur dan Lelea dengan bahasa
Sunda Baku dengan menggunakan metode dialektometri menunjukkan angka
11
persentase perbedaan sebesar 51,9%, yaitu menunjukkan adanya perbedaan
dialek.
Andoyo Sastromiharjo, dkk. (2010) dalam Laporan Penelitian Hibah
Kompetitif mengangkat penelitian mengenai “Pemetaan Perbedaan Isolek di
Kabupaten Indramayu”. Penelitian Sastromiharjo tersebut terbagi dalam tiga
rumusan masalah, yaitu 1) deskripsi perbedaan bahasa yang terjadi di Kabupaten
Indramayu berdasarkan perbandingan kata kerabat dan korespondensi bunyi, 2)
bentuk-bentuk pemetaan isolek di Kabupaten Indramayu, dan 3) penentuan status
kebahasaan dan silsilah kekerabatan isolek di Kabupaten Indramayu. Terkait
dengan ketiga masalah tersebut, Sastromiharjo menggunakan 200 kosakata dasar
Swadesh sebagai alat penjaring data serta enam titik pengamatan, meliputi
Kecamatan Kandanghaur, Kecamatan Lelea, Kecamatan Bangodua, Kecamatan
Sindang, Kecamatan Haurgeulis, dan Kecamatan Juntinyuat sebagai lokasi yang
dipilih dalam pengambilan data.
Berdasarkan deskripsi perbandingan kata kerabat dan korespondensi bunyi
pada 200 kosakata dasar Swadesh, ditemukan adanya 153 kosakata yang berbeda.
Perbedaan kosakata tersebut meliputi, 93 kosakata berbeda pada tataran fonologis,
33 kosakata berbeda secara morfologis, dan 25 kosakata berbeda secara leksikal.
Disamping penemuan mengenai perbedaan tersebut, ditemukan pula persamaan
dari segi bentuk dan makna yang berjumlah 47 kosakata. Jumlah perbedaan
persamaan tersebut terakumulasi dari seluruh jumlah perbedaan dan persamaan
dari enam titik pengamatan.
12
Hasil pemetaan isolek Indramayu, disebutkan bahwa bahasa Jawa
merupakan bahasa yang dominan digunakan di Kabupaten Indramayu. Di
samping itu ditemukan beberapa kosakata bahasa Sunda di Kecamatan Lelea.
Bahasa Sunda di Lelea tersebut dianggap sebagai pinjaman dari bahasa Sunda
Sumedang. Alasannya adalah karena posisi Kecamatan Lelea yang berbatasan
langsung dengan Kabupaten Sumedang yang mayoritas berbahasa Sunda.
Dengan demikian, Sastromiharjo tidak menyebutkan bahwa di Kecamatan
Kandanghaur, Kecamatan Haurgeulis dan Kecamatan Gantar juga terdapat tuturan
bahasa Sunda. Selain itu, tidak disebutkan pula bahwa Kecamatan Kandanghaur
dan Kecamatan Lelea dahulu termasuk dalam wilayah kekuasaan (daerah
peninggalan) Kerajaan Sunda yang hingga saat ini tetap mempertahankan bahasa
Sunda dalam komunikasi sehari-hari, di samping bahasa Jawa.
Di samping itu, Sastromiharjo menyatakan bahwa Kecamatan Haurgeulis
sebagai salah satu wilayah dari Kabupaten Indramayu yang mayoritas berbahasa
Jawa. Pernyataan Sastromiharjo tersebut tidak sesuai dengan yang ditemukan oleh
peneliti ketika berada di lapangan. Peneliti menemukan bahwa masyarakat di
Kecamatan Haurgeulis cenderung menggunakan tuturan bahasa Sunda daripada
bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari. Temuan peneliti ini di perkuat dengan
temuan Kasim (2013:25) yang menyatakan bahwa Kecamatan Haurgeulis
cenderung menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari
dibandingkan bahasa Jawa—bahasa Jawa bersifat minoritas.
Dalam penentuan status kebahasaan di Kabupaten Indramayu,
Sastromiharjo menggunakan perhitungan dialektometri. Berdasarkan perhitungan
13
tersebut diperoleh hasil yang menunjukkan adanya perbedaan dialek. Penentuan
status tersebut didasarkan pada hasil perhitungan dari jumlah beda (S) sebanyak
153 kosakata dibagi dengan jumlah kata yang diteliti (n) sebanyak 200 (kosakata
dasar Swadesh) dikali 100%. Adapun hasil dari perhitungan tersebut diperoleh
angka 76,5%. Selanjutnya, mengacu pada hasil perhitungan tersebut,
Sastromiharjo menyimpulkan bahwa isolek-isolek dari daerah-daerah yang
dijadikan titik pengamatan dalam penelitian tersebut sebagai dialek dari bahasa
Jawa. Penentuan status kebahasaan tersebut dihitung dengan cara mencari
keseluruhan jumlah beda dari seluruh titik pengamatan, tidak menggunakan teknik
permutasi antar titik pengamatan atau pun segitiga antar desa.
Sri Wiyanti (2011) dalam laporan penelitiannya yang berjudul
“Kekerabatan Bahasa Jawa Dialek Serang dan Bahasa Jawa Dialek Indramayu
(Kajian Dialektologi)” membahas mengenai hubungan kekerabatan antara dialek
bahasa Jawa Serang dan bahasa Jawa Indramayu dengan cara membandingkan
kemiripan kosakata dari kedua dialek tersebut dengan kajian Dialektologi,
khususnya dengan perhitungan dialektometri.
Data penelitian Wiyanti diperoleh dengan wawancara langsung dengan
informan (pupuan lapangan). Adapun instrumen penelitian yang digunakan untuk
penjaringan data adalah 100 kosakata dasar yang diadaptasi dari daftar kosakata
Swadesh. Titik pengamatan yang digunakan sebagai pengambilan data terdiri atas
empat titik pengamatan, yaitu Kecamatan Lelea dan Kecamatan Bangodua di
Kabupaten Indramayu dan Kecamatan Pontang dan Kecamatan Kasemen di
Kabupaten Serang.
14
Selain itu, penelitian Wiyanti tersebut hanya memfokuskan kajiannya pada
bidang fonologi saja, sedangkan perbedaan leksikal dan morfologi diabaikan.
Bentuk-bentuk berian yang menunjukkan adanya perbedaan fonologi dianalisis
dan dipaparkan bukti-bukti perbedaannya dengan cara mengorespondensikan
pasangan-pasangan bunyi di antaranya. Setelah itu, kemudian dilakukan
penghitungan dialektometri untuk menentukan hubungan kekerabatan antara
bahasa Jawa dialek Serang dengan dialek Indramayu.
Berdasarkan hal tersebut, diperoleh 45 kosakata yang berbeda, yaitu
meliputi perbedaan fonologis sebanyak 19 kosakata, perbedaan morfologi
sebanyak 3 kosakata, dan perbedaan leksikal sebanyak 22 kosakata. Adapun
kosakata yang sama ditemukan sebanyak 55 kosakata. Dengan mengacu pada
perhitungan dialektometri, Wiyanti memperoleh hasil perhitungan sebesar 45%,
yaitu adanya perbedaan subdialek. Dengan demikian disimpulkan bahwa
hubungan kekerabatan antara bahasa Jawa dialek Serang dan dialek Indramayu
adalah hubungan subdialek.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai
enklave bahasa Jawa di Indramayu yang diangkat oleh peneliti ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Nothofer, Sastromiharjo, Wahya, dan Wiyanti
meskipun objek penelitian yang diangkat sama-sama berkaitan dengan Kabupaten
Indramayu. Enklave yang dimaksud dalam penelitian ini berbeda dengan
penelitian Nothofer dan Wahya, yang menganggap bahwa bahasa Sunda yang
terdapat di Kabupaten Indramayu merupakan enklave. Dalam penelitian ini,
15
enklave yang dimaksud adalah bahasa Jawa. Di samping itu, fokus penelitian ini
berbeda dengan keempat penelitian sebelumnya tersebut.
1.6.2 Penelitian Kebahasaan Terkait Penelitian Dialektologi Diakronis pada
Enklave Bahasa
Topik penelitian yang membahas dialektologi diakronis pada suatu
enklave bahasa antara lain pernah dilakukan oleh Sukmawati (2012) dalam
tesisnya yang berjudul “Enklave Bahasa Jawa di Provinsi Bengkulu: Kajian
Dialektologi Diakronis”. Penelitian tersebut bertujuan untuk membuat deskripsi
sinkronis dan diakronis dari bahasa Jawa yang terdapat di Enklave Bengkulu.
Deskripsi sinkronis dalam tesis tersebut diklasifikasikan menjadi dua macam,
yaitu deskripsi sinkronis dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Deskripsi
sinkronis dimensi vertikal meliputi deskripsi unsur fonologi, morfologi, leksikon,
dan sekilas pemaparan sintaksis, sedangkan deskripsi sinkronis dimensi horisontal
berkaitan dengan aspek sosiolinguistik, dalam hal ini adalah tingkat tutur.
Sementara itu, deskripsi diakronis meliputi pemaparan bukti kuantitatif
dan kualitatif dari bahasa Jawa enkalve Bengkulu (BJEB). Bukti kuantitatif yang
disajikan berupa hasil perhitungan leksikostatistik, sedangkan bukti kualitatif
yang disajikan berupa pemaparan unsur-unsur inovasi dan retensi yang terjadi
pada BJEB. Tesis tersebut mengungkapkan adanya perbedaan yang mencolok
antara BJEB dengan bahasa di daerah asalnya. Perbedaan paling terlihat pada
tataran leksikal yang ditandai dengan banyaknya penggunaan bahasa Indonesia.
16
Selain itu, diungkapkan pula bahwa tingkat tutur sudah mulai ditinggalkan oleh
masyarakat Jawa di enklave Bengkulu.
Suryadi (2000) dalam tulisannya yang berjudul “Bahasa Jawa Carita
Enklave di Jawa Barat yang Terancam Eksistensinya” membahas bahasa Jawa
yang digunakan di Desa Carita yang terletak di pantai utara bagian barat Propinsi
Jawa Barat. Metode penelitian yang digunakan oleh Suryadi adalah metode
kualitatif yang berupa pencarian unsur relik dan unsur pinjaman. Adapun
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sinkronis dan diakronis.
Berdasarkan analisis yang dilakukan Suryadi, ditemukan bahwa bahasa Jawa
Carita mulai terancam eksistensinya, yang ditandai dengan lambatnya
perkembangan bahasa Jawa di Desa Carita dan besarnya pengaruh bahasa Sunda
terhadap bahasa Jawa Carita. Selain itu Suryadi menambahkan bahwa bahasa
Jawa Carita sebagai enklave Jawa di bagian barat masih menyimpan bentuk-
bentuk yang relik dan bentuk-bentuk yang khas yang berbeda dengan bahasa Jawa
lainnya.
Selanjutnya, Kurniawan (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Enklave
Melayu Ampenan dan Enklave Melayu Loloan: Studi Dialektologi Diakronis”
membahas mengenai asal usul MA dan ML secara sinkronis dan diakronis serta
menganalis mengenai retensi inovasi dari kedua bahasa tersebut. Analisis data
dilakukan dengan metode kuantitatif, yaitu teknik leksikostatistik dan metode
kualitatif, yaitu teknik rekonstruksi dari atas ke bawah (top-down methodology).
Kurniawan menyimpulkan bahwa MA lebih cenderung terpengaruh bahasa
17
Indonesia, sedangkan ML cenderung mengalami inovasi internal terhadap
sejumlah leksikon.
Wijayatiningsih (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Isolek Sumbawa
Siren dan Taliwang di Lombok: Kajian Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa”
membahas mengenai keberadaan enklave bahasa Sumbawa Siren dan Sumbawa
Taliwang sebagai bahasa minoritas yang terdapat di pulau Lombok yang
menimbulkan permasalahan pergeseran atau pemertahanan bahasa. Untuk itu,
penelitian ini bertujuan menganalisis unsur bahasa Sasak dalam Bahasa Sumbawa
Siren dan Sumbawa Taliwang secara kuantitatif dan kuakitatif. Metode kuantitatif
dilakukan dengan menggunakan dialektometri, untuk menentukan status kedua
enklave bahasa tersebut. Metode kualitatif yang digunakan adalah metode padan
yang berupa teknik hubung-banding menyamakan dan teknik hubung-banding
membedakan, serta metode ciri-ciri kesamaan linguistik khususnya yang berupa
inovasi bersama yang bersifat eksklusif. Tesis tersebut membuktikan bahwa
enklave bahasa Sumbawa Siren dan Sumbawa Taliwang merupakan varian bahasa
Sumbawa di daerah asalnya, bukan merupakan varian dari bahasa Sasak,
Sumbawa Taliwang, Sumbawa Siren, dan Sumbawa di pulau Sumbawa, sama-
sama memiliki ciri linguistik (fonologis dan leksikal) yang berupa inovasi
bersama secara eksklusif, yaitu dalam merefleksikan kata yang memiliki urutan
konsonan nasal hambat. Secara garis besar, pemakaian varian Sumbawa Taliwang
dan Sumbawa Siren berada pada posisi pilihan bahasa dengan persentase tertinggi
(100%).
18
Pada dasarnya, penelitian ini akan membahas hal (kajian) yang sama
dengan penelitian sebelumnya seperti yang telah diuraikan di atas. Namun, sejauh
pengamatan peneliti, penelitian terkait bahasa Jawa yang terletak di enklave
Indramayu belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Dengan demikian,
penelitian ini layak untuk dilaksanakan.
1.7 Landasan Teori
Dialektologi adalah cabang ilmu bahasa yang khusus mempelajari variasi-
variasi bahasa dalam semua aspeknya (Keraf, 1991:143). Dialektologi memiliki
dua bidang kajian, yaitu dialektologi sinkronis dan dialektologi diakronis.
Dialektologi sinkronis cenderung mengkaji dialek suatu bahasa yang bersifat
kekinian saja, tanpa melihat sejarah perkembangan bahasa yang diteliti.
Dialektologi diakronis merupakan bidang ilmu bahasa yang menyelidiki
perkembangan dan perbandingan suatu variasi bahasa dengan melihat sejarah
yang melatarbelakangi bahasa tersebut (Mahsun, 2011).
Mahsun (1995) menyatakan bahwa penelitian dialektologi yang lengkap
dan menyeluruh hendaknya bersifat diakronis dan sinkronis. Pernyataan tersebut
didasarkan pada asumsi bahwa perubahan suatu bahasa tidak terjadi dalam satu
waktu, tetapi melalui perkembangan historis. Dengan kata lain, variasi bahasa
yang ada pada saat ini (sinkronis) dapat dirunut keberadaannya pada masa lampau
(diakronis).
Kajian variasi bahasa dalam dialektologi diakronis terdiri dari dua aspek,
yaitu aspek deskriptif dan diakronis (Mahsun, 2011). Dalam aspek deskriptif,
19
dasar kajian dialektologi meliputi: deskripsi unsur kebahasaan yang berbeda
dalam bahasa yang sedang diteliti, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, lesikon,
dan semantik, termasuk sosiolinguistik; pemetaan unsur kebahasaan yang
berbeda; penentuan status isolek berdasarkan perbedaan unsur-unsur kebahasaan
yang telah dideskripsikan dan dipetakan; dan deskripsi yang menjelaskan ciri khas
dialek yang sedang diteliti dengan dialek yang lain. Adapun aspek diakronis yang
dimaksud adalah pembuatan rekonstruksi prabahasa; penelusuran pengaruh
antardialek dan persebarannya; penelusuran unsur inovasi internal dan eksternal
dalam bahasa yang diteliti; penelusuran unsur relik dialek beserta persebaran
geografisnya; penelusuran hubungan antara unsur kebahasaan yang berbeda
diantara dialek bahasa yang diteliti; analisis dialek yang bersifat inovatif dan
konservatif; dan pembuatan rekonstruksi sejarah daerah yang bahasanya sedang
diteliti.
Aspek deskriptif yang dimaksud Mahsun di atas adalah deskripsi sinkronis
menurut Nothofer (dalam Sukmawati, 2012). Dalam Jurnal Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa yang berjudul “Cita-cita Penelitian Dialek”, Nothofer
menyatakan bahwa deskripsi sinkronis dalam penelitian dialektologi terdiri dari
dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horisontal. Deskripsi sinkronis dimensi
vertikal meliputi deskripsi fonologi, morfologi, sintaksis, morfofonemik, dan
leksikon. Deskripsi sinkronis dimensi horisontal yang dimaksud adalah deskripsi
sosiolinguistik, yaitu yang berkaitan dengan tingkat tutur. Terkait dengan uraian
tersebut, penelitian ini akan menggunakan istilah Nothofer dan akan
mendeskripsikan secara sinkronis kedua dimensi tersebut.
20
Dalam kaitannya dengan aspek diakronis atau deskripsi diakronis atau
relasi historis, penelitian ini menggunakan dua buah pendekatan, yaitu pendekatan
kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dalam penelitian
dialektolgi diakronis dilakukan dengan penerapan teknik dialektometri yang
dirumuskan:
(𝑺× 𝟏𝟎𝟎)𝒏 = 𝒅%
keterangan: S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain; n = jumlah peta yang dibandingkan; dan d = jarak kosa kata dalam persentase.
Penentuan status hubungan antartitik pengamatan dalam penelitian ini didasarkan
pada teori Guiter (dalam Zulaeha, 2010: 37), yaitu jika penghitungan
menghasilkan:
81% ke atas : dianggap sudah mewakili dua bahasa yang berbeda (language),
51-80% : dianggap ada perbedaan dialek (dialecte), 31-50% : dianggap ada perbedaan subdialek (sousdialecte), 21-30% : dianggap ada perbedaan wicara (parler), 20% ke bawah: dianggap tidak ada perbedaan (negligeable).
Adapun dalam penghitungan perbedaan jarak kosakata dalam penelitian
ini digunakan teknik permutasi antar titik pengamatan, yaitu dengan cara
membandingkan tiap-tiap titik pengamatan secara menyeluruh. Ketentuan dalam
perbandingan dan perhitungan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Jika di sebuah titik pengamatan dikenal lebih dari satu berian, dan
salah satu berian tersebut dikenal di titik pengamatan lain maka
perbedaan tersebut dianggap tidak ada.
21
2) Jika di titik-titik pengamatan yang dibandingkan itu salah satu
diantaranya tidak ada beriannya, perbedaan itu dianggap ada.
3) Jika di tiap-tiap titik pengamatan yang dibandingkan itu tidak ada
beriannya maka titik-titik pengamatan itu dianggap sama.
4) Dalam penghitungan dialektometri, perbedaan fonologi, morfologi dan
leksikal dianggap ada (melihat perbedaan dalam bentuk sekecil-
kecilnya).
Selain pendekatan kuantitatif di atas, penelitian ini juga menggunakan
pendekatan kualitatif untuk memperkuat evidensi dari pendekatan kuantitatif yang
telah dilakukan sebelumnya. Pendekatan kualitatif ini ditujukan untuk mencari
bentuk retensi (pemertahanan) dan inovasi (perubahan) yang terjadi dari dialek
yang sedang diteliti. Inovasi dan retensi dari bahasa yang diteliti dapat dilakukan
dengan cara membandingkan bahasa yang diteliti dengan Proto-Melayo-Javanic
sebagai bahasa induknya dan membandingkannya dengan bahasa Jawa Banyumas
sebagai bahasa dari daerah asalnya.
1.8 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini berangkat dari hasil perhitungan dialektometri
terhadap data sekunder 200 kosakata dasar Swadesh terhadap bahasa Jawa
Indramayu dengan bahasa Jawa Banyumas. Berdasarkan perhitungan tersebut
diperoleh persentase jarak kosakata yang cukup kecil, yaitu 39% yang
menunjukkan hubungan subdialek. Di samping itu, adanya kecenderungan
penggunaan bunyi [a] daripada [] pada setiap suku terbuka pada setiap kosakata
22
mengasumsikan bahwa bahasa Jawa Indramayu lebih dekat dengan bahasa Jawa
Banyumas daripada bahasa Jawa Standar. Hasil perhitungan dialektometri dan
pengamatan sepintas tersebut diperoleh dari data sekunder (observasi awal) yaitu
yang diambil sebelum pengambilan data primer.
Bahasa Jawa Banyumas merupakan bahasa Jawa yang cenderung
konservatif jika dibandingkan dengan bahasa Jawa di daerah lainnya. Berdasarkan
hal tersebut, diasumsikan bahwa bahasa Jawa Indramayu juga termasuk bahasa
yang konservatif. Berkaitan dengan hal tersebut, di samping memiliki banyak
kesamaan dengan bahasa Jawa Banyumas, bahasa Jawa Indramayu juga banyak
mewarisi bentuk-bentuk relik yang terdapat dalam Proto-Melayo-Javanic.
Apabila bahasa Jawa Indramayu terbukti berasal dari bahasa Jawa
Banyumas maka akan ditemukan kemiripan atau kesamaan fonologi dan leksikal
dengan Banyumas dan Proto-Melayo-Javanic yang terefleksi dalam perubahan
fonologi dan leksikal. Dengan demikian dapat dirumuskan alasan-alasan yang
melatarbelakangi terjadinya kesamaan-kesamaan (retensi) dan perubahan-
perubahan (inovasi) tersebut.
1.9 Metode Penelitian
Sumber data penelitian ini berwujud data lisan, yaitu berupa tuturan
bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Kabupaten Indramayu. Terkait
dengan hal tersebut, populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh tuturan bahasa
Jawa dengan segala aspek yang ada di lokasi penelitian tersebut. Dengan
demikian, sampel dalam penelitian ini adalah tuturan bahasa Jawa yang telah
23
ditetapkan dalam instrumen penelitian yang berupa daftar pertanyaan, yaitu 200
kosakata dasar Swadesh dan ditambah dengan 741 kosakata budaya, 30 struktur
frasa, serta 40 kalimat.
1.9.1 Metode Pengumpulan Data
Dalam kaitannya dengan metode pengumpulan data, penelitian ini
mengikuti kaidah pengumpulan data yang sampaikan oleh Ayatrohaedi (2002).
Ayatrohaedi menyatakan bahwa terdapat empat hal yang perlu dipersiapkan
sebelum dilaksanakan penelitian dialek, yaitu penentuan daerah penelitian, daftar
pertanyaan, peneliti, dan informan. Hal yang berkaitan dengan peneliti tersebut,
penelitian ini dilakukan oleh peneliti sendiri.
Sebelum terjun ke lapangan untuk pengambilan data, langkah pertama
yang dilakukan peneliti adalah penentuan daerah penelitian. Daerah penelitian
yang dituju dalam penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu yang meliputi 8
titik pengamatan yang berada pada 9 kecamatan. Kesembilan titik pengamatan
tersebut meliputi, Kecamatan Indramayu (TP 1), Kecamatan Juntinyuat (TP 2),
Kecamatan Krangkeng (TP 3), Kecamatan Lelea (TP 4), Kecamtan Cikedung (TP
5), Kecamatan Gantar dan Kecamatan Haurgeulis (TP 6), Kecamatan Sukra (TP
7), dan Kecamatan Kandanghaur (TP 8). Kecamatan Gantar dan Kecamatan
Haurgeulis digabungkan menjadi satu titik pengamatan karena sebelumnya
Kecamatan Gantar merupakan bagian dari Kecamatan Haurgeulis, Kecamatan
Gantar adalah daerah pemekaran dari Kecamatan Haurgeulis.
24
Langkah selanjutnya adalah pembuatan daftar pertanyaan. Daftar
pertanyaan dalam penelitian ini berjumlah 941 kosakata, yang terdiri dari 200
kosakata dasar Morris Swadesh (diangkat dari Keraf, 1991) dan 741 kosakata
yang berkenaan dengan sifat dan kebudayaan daerah penelitian, 30 struktur frasa
serta 40 kalimat. Daftar pertanyaan tersebut meliputi anggota tubuh; kata ganti,
sapaan, dan acuan; sistem kekerabatan; waktu, musim keadaan alam, benda alam,
dan arah; perangai dan sifat; warna; gerak dan kerja; tumbuhan dan bagian-
bagiannya; binatang dan bagian-bagiannya; bilangan; kata tanya; alat; rumah dan
bagian-bagiannya; penyakit; serta permainan tradisional.
Selain itu, daftar pertanyaan tersebut disusun secara berurutan dan
dikelompokkan berdasarkan medan makna, misalnya kosakata tangan, kaki,
kepala, dan rambut di kelompokkan dalam medan makna anggota tubuh. Sistem
pengelompokkan ini dimaksudkan untuk memfokuskan pikiran informan pada
satu topik pembicaraan ketika wawancara berlangsung. Sistem pengelompokan
tersebut juga memudahkan dalam analisis status kebahasaan—pernyataan ini
berdasarkan pendapat Kurath dalam Mahsun (1995: 110) yang menyatakan bahwa
sistem medan makna merupakan sistem yang cukup representatif dalam pemilihan
isolek menjadi dialek/subdialek.
Selain disajikan dalam bentuk kosakata, instrumen dalam penelitian ini
juga disertai dengan gambar peraga yang mengacu pada kosakata yang tertulis dan
tersusun. Gambar peraga tersebut terbatas pada kosakata yang acuannya berupa
benda yang berwujud, seperti anggota badan, gambar binatang, dan gambar
anatomi tumbuhan. Penggunaan gambar peraga ini ditujukan untuk memudahkan
25
informan dalam menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh peneliti. Selain itu,
agar peneliti mendapatkan data yang akurat dan spontan dari informan.
Persiapan terakhir, yaitu penentuan informan sebagai sumber data dalam
penelitian ini. Pada setiap titik pengamatan diambil tiga orang informan, satu
sebagai informan utama dan yang lainnya sebagai informan pendamping.
Informan utama adalah orang yang diprioritaskan informasinya. Apabila peneliti
merasa kurang puas dengan jawaban informan utama, maka peneliti dapat
memberikan pertanyaan kepada informan pendamping. Disamping berfungsi
mendampingi informan utama, informan pendamping ini difungsikan untuk
menghindari pengumpulan data yang bersifat idiolek (Lauder, 1993: 56).
Adapun kriteria informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kriteria informan yang disampaikan oleh Ayatrohaedi (1983 dan 2002) dan
dikombinasikan dengan kriteria Nothofer dan Fernandes (dalam Zulaeha, 2010:
53-54), yaitu:
1) Pemilihan informan dalam penelitian ini tidak memandang jenis kelamin si
informan. Hal ini, berdasarkan pendapat Pop (dalam Lauder, 1993: 55) yang
menyatakan bahwa, penggunaan informan lelaki dan perempuan secara
bersamaan dapat memberikan informasi kebahasaan di bidangnya masing-
masing.
2) Tiap titik pengamatan dipilih informan yang berusia 45—50 tahun.
Pemilihan ini disarankan oleh Ayatrohaedi (1983: 48), yaitu bahwa usia
pertengahan (40—50 tahun) telah menguasai bahasa atau dialeknya, tetapi
belum sampai pada taraf pikun.
26
3) Asal usul informan juga menjadi bahan pertimbangan dalam penelitian ini.
Ayatrohaedi (1983: 48) menyatakan bahwa asal usul informan harus
diusahakan berasal dari desa atau tempat yang diteliti, serta jarang sekali
atau tidak pernah meninggalkan desa setempat.
4) Informan harus menguasai bahasa dan dialeknya dengan baik.
5) Dapat berbahasa Indonesia. Syarat ini digunakan untuk memudahkan
peneliti dalam menjelaskan daftar pertanyaan yang dimaksud oleh peneliti.
6) Sehat rohani dan jasmani dalam arti tidak sedang dalam tekanan batin dan
alat bicaranya sempurna.
Setelah empat hal tersebut telah dipersiapkan, maka dapat dilaksanakan
pengambilan data. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pupuan lapangan yang dilaksanakan dengan dua teknik, yaitu pencatatan
langsung dan perekaman. Pencatatan langsung yang dimaksud di sini berupa
pencatatan jawaban informan berdasarkan pertanyaan pancingan dari daftar
pertanyaan yang telah disusun. Jawaban dari informan tersebut kemudian dicatat
dalam bentuk transkrip fonetis, sedangkan perekaman difungsikan sebagai alat
konfirmasi data dari hasil mencatat serta sekaligus untuk mengecek ulang data
ketika terjadi keragu-raguan pada saat analisis data. Dengan demikian, data yang
digunakan pada saat analisis merupakan data yang sudah dikonfirmasi, baik
melalui teknik pencatatan maupun teknik rekam. Kegiatan pengumpulan data ini
berakhir setelah peneliti telah menata hasil catatan dan rekaman dalam bentuk
transkripsi fonetis. Transkripsi tersebut mengacu pada IPA (International
Phonetics Associations).
27
1.9.2 Metode Analisis Data
Setelah semua data telah terkumpul dan ditranskripsikan, langkah
selanjutnya adalah analisis data yang berkaitan dengan deskripsi sinkronis.
Apabila tahapan tersebut telah terlaksana maka dapat dilakukan analisis dengan
pendekatan kuantitatif dengan rumus perhitungan dialektometri, sehingga dapat
diketahui persamaan dan perbedaan (status) tuturan antar titik pengamatan beserta
daerah asalnya (Banyumas).
Setelah itu, dilakukan analisis dengan pendekatan kualitatif terkait bentuk-
bentuk inovasi dan retensi yang terjadi antara tiap-tiap titik pengamatan
dibandingkan dengan bahasa proto (PMJ) dan bahasa asalnya (BJB). Dengan telah
dilaluinya tahapan analisis tersebut maka dapat dirumuskan alasan yang
melatarbelakangi terjadinya retensi dan inovasi BJI jika dibandingkan dengan
BJB.
1.9.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data merupakan tahap terakhir dari sebuah
penelitian. Sudaryanto (1993: 145—146) menyatakan bahwa, hasil analisis data
dapat disajikan secara formal (tanda dan lambang) dan informal (kata-kata biasa).
Dalam penelitian ini, hasil analisis yang telah dilakukan akan disajikan dalam
bentuk formal dan informal. Penyajian bentuk formal digunakan dalam
pengolahan data yang berbentuk lambang-lambang bunyi bahasa, bagan, gambar,
tabel, dan rumus. Bentuk informal dalam tulisan ini berfungsi untuk
mendeskripsikan hasil analisis—termasuk bagan, gambar, skema, gambar dan
rumus—dengan kata-kata.
28
1.10 Sistematika Penyajian
Penelitian ini disajikan dalam enam bab. Bab pertama memuat
pendahuluan, yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, data dan metode penelitian,
dan sistematika penyajian. Bab kedua menjelaskan mengenai deskripsi wilayah
penelitian, yang meliputi letak geografis, sejarah, kondisi masyarakat, kebudayaan
dan pariwisata, serta situasi kebahasaan daerah penelitian. Bab ketiga berisi
deskripsi sinkronis struktur fonologi, morfologi, sintaksis, morfofonemik,
leksikon dan tingkat tutur bahasa Jawa Indramayu. Bab empat menguraikan relasi
historis bahasa Jawa Indramayu dengan bahasa proto (PMJ) dan bahasa Jawa
Banyumas (BJB). Bab kelima berisi penjelasan mengenai alasan bahasa Jawa
Indramayu cenderung mengalami retensi, di samping inovasi, jika dibandingkan
dengan bahasa Jawa Banyumas. Dalam bab enam diakhiri dengan penutup yang